Anda di halaman 1dari 18

NASIEB REJANG KEPAHYANG:

SEBUAH ANALISIS TEORI KELISANAN ALBERT B. LORD

A. Latar Belakang

Sastra lisan sebagai karya kesusastraan lama dan kekayaan budaya Indonesia yang
tersebar di berbagai daerah di Nusantara merupakan salah satu ekspresi kebudayaan daerah
yang berharga yang di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya dari masyarakat
pendukungnya sekaligus dapat terkandung nilai-nilai budaya dari masyarakat baru
(Danandjaja: 2007). Corak khas sastra lisan menemukan bentuknya ditiap-tiap daerah dalam
ruang etnis yang mengusung folk budaya dan adat yang berbeda-beda. Sastra lisan sebagai
salah satu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, tidak hanya mengandung unsur-
unsur keindahan (estetik), tetapi juga mengandung berbagai informasi tentang nilai-nilai
kebudayaan tradisi yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai salah satu data budaya, sastra
lisan dapat diperlakukan sebagai gerbang untuk memahami salah satu unsur kebudayaan yang
bersangkutan.
Sastra lisan memiliki keterkaitan yang erat dengan folklor, khususnya folklor lisan.
Adapun folklor itu sendiri adalah sebagian kebudayan kolektif yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, diantara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu
pengingat (Danandjaja, 2007:22). Sastra lisan adalah jenis sastra atau kelas sastra tertentu
yang dituturkan dari mulut ke mulut tersebar secara lisan, anonim, dan menggambarkan
kehidupan masyarakat masa lampau. Ia merupakan intuisi dan kreasi sosial yang
menggunakan bahasa sebagai media. Dengan demikian, sastra lisan adalah bagian khazanah
pengungkapan dunia sastra tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai baru yang hidup dan
berkembang pada masyarakat, padahal bentuk ini dipandang secara antropologis dibentuk
oleh tradisi masyarakat. Ini berarti pula bahwa terdapat nilai-nilai yang pernah dianut oleh
masyarakat.
Membongkar sastra lisan sebagai bagian dari folklor, yang ada dalam masyarakat,
berarti berusaha untuk mengenal identitas dan budaya yang ada dalam masyarakat tersebut.
Danandjaja (1998: 70) mengatakan bahwa membongkar sastra lisan berarti membongkar
identitas masyarakat pendukungnya, karena lewat karya-karya kolektif masyarakat tersebut,
masyarakat dapat menggambarkan nilai-nilai budaya yang dimilikinya Salah satu kelompok

1
masyarakat yang memiliki sastra lisan adalah suku Rejang. Suku Rejang, yang dikenal
sebagai satu di antara sedikit suku asli penduduk Provinsi Bengkulu, memiliki budaya yang
beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra.
Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain
Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, Serambeak, dan Nasieb.
Menurut Tommy, yang kini menjabat Kepala bagian Humas Pemda Kodya Bengkulu,
Nasieb dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku Rejang. Ketika menyambut tamu
yang dihormati, serta dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam pergaulan muda-mudi,
dan lain-lain. Walaupun nasieb isisnya tentang kesedihan namun penggunaanya untuk
menyadarkan pendengar untuk saling merasakan satu sama lain.
Keunikan suku Rejang yang jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa — mereka
menghuni Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Musi Rawas
(Sumsel), dan Kabupaten Lahat (Sumsel) — mampu menarik perhatian peneliti asing. Burhan
Firdaus dalam bukunya Bengkulu dalam Sejarah yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Budaya
Nasional Indonesia 1988, mengungkapkan adanya seorang peneliti dari Australia Prof MA
Jaspan dari Australia National University (ANU) yang menetap bersama keluarga setempat
tahun 1961-1963 untuk meneliti suku bangsa Rejang. Jaspan menghasilkan beberapa buku,
antara lain From Patriliny to Matriliny, Structural Change Amongst the Redjang of Soutwest
Sumatra, Folk Literature of South Sumatra: Redjang Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang
Village Tribunal.
Buku-buku itu sampai kini jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa asing yang
mengambil studi sejarah budaya Indonesia. Residen kedua Bengkulu, Prof Dr Hazairin SH,
yang oleh pemerintah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 1999,
mempertahankan disertasi doktornya berjudul De Redjang untuk mendapatkan gelar PhD,
dalam bidang hukum adat. Menurut Ketua Masyarakat Adat Bengkulu Zamhari Amin,
serambeak membuktikan bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan
santun, perasaan hati nurani yang halus, dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya. Oleh
karena itu, sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian,
pengumpulan, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi nilainya agar
diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.
Analisis sastra lisan suku Rejang ini akan berfokus pada daerah Kepahyang dengan
objek kajian sastra lisan yaitu Nasieb menggunakan teori Albert B. Lord. Penulis akan
menganalisis unsur esensial (formula dan tema) dan unsur nonesensial (fungsi dan
komposisi) yang terkandung di dalam Nasieb. Namun sebelum menganalisis unsur-unsur

2
esensial dan nonesensial tersebut penulis akan menguraikan terlebih dahulu macam-macam
sastra lisan yang dimiliki suku Rejang. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengungkapkan
unsur esensial dan nonesensial yang dimiliki oleh sastra lisan Nasieb, selain itu juga
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengkajian sastra lisan di
Indonesia, khususnya daerah Rejang Kepahyang.

B. Landasan Teori

Teori Parry-Lord menegaskan bahwa penyair lisan dalam menciptakan dan merangkai
larik puisinya memanfaatkan semacam persediaan formula dan unsur formulaik sebgai
modalnya. Cara membangun larik dengan memanfaatkan formula menghasilkan suatu puisi
lisan seperti diungkapkan oleh Jakobson, yakni dominannya unsur paralelisme, sinonim,
homonim, dan lain-lainnya (Lord, 1981: 34-67).
Formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra
yang sama untuk mengungkapkan suatu ide yang esensial atau pokok. Formula itu muncul
berkali-kali dalam cerita, yang mungkin berupa kata, frase, klausa, atau larik. Untuk
menghasilkan perulangan itu, ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita, yakni mengingat
perulangan dan menciptakan melalui analogi dengan perulangan kata, frasa, klausa, dan larik
yang telah ada (Lord, 1981: 30 dan 43)
Teori formula Lord digunakan untuk meneliti cerita-cerita rakyat Yugoslavia oleh
para penyair tradisonal. Penyair-penyair itu tidak mengahafalkan puisinya lewat naskah atau
tulisan. Setiap penyair tradisional membawakan ceritanya dengan menciptakan kembali
secara spontan dan memakai sejumlah unsur bahasa (kata, majemuk, frasa) yang tersedia
baginya (stock-in-trade) yang siap pakai. Unsur-unsur yang dipakai memperlihatkan bentuk
yang identik atau variasi yang sesuai dengan tuntutan tata bahasa, matra, dan irama puisi
yang dipakai (Lord, 1981:34). Pencerita mempunyai kebebasan memilih dan memasangkan
formula itu pada saat pertunjukkan. Teknik formula dikembangkan untuk melayani dirinya
sebagai seorang ahli seniman (Lord, 1981:54).
Pencerita mencoba mengingat frasa-frasa yang didengarnya dari pencerita lain yang
telah berkali-kali dipergunakan mereka. Mereka menggunakan ingatan, seperti orang biasa,
dan bukan menggunakan hafalan. Hal ini berarti bahwa pencerita disamping mampu
mengingat formula sesuai keinginannya waktu menceritakan, juga menceritakan kembali
cerita-cerita lisan. Konsep kelisanan tidak hanya dimaknai sebagai komposisi selama
terjadinya penampilan secara lisan. Upaya untuk mempelajari, menyusun, dan menampilkan

3
suatu karya secara lisan merupakan bentuk rangkaian kelisanan yang dimaknai sebagai
kelisanan dalam teknis atau harfiah (Lord, 1981: 5). Penganalisisan terhadap teks harus
dimulai dengan pengamatan yang cermat terhadap frase-frase yang mengalami perulangan.
Hal ini dilakukan untuk menemukan formula dengan berbagai variasi polanya (Lord,
1981:45).
Sementara itu, ekspresi formulaik ialah larik atau paro lirik yang disusun sesuai
dengan pola formula (Lord, 1981: 4). Dengan formula sebagai dasar, pencerita dapat
menyusun larik-larik dengan rapi dan cepat pada posisi dan keadaan tertentu. Pencerita dalam
penyususnan cerita memakai formulaik, sehingga terjadi proses pergantian, kombinasi,
pembentukan model, dan penambahan kata-kata atau ungkapan baru pada pola formula,
sesuai dengan kebutuhan penceritaan. Dengan demikian, pencerita dapat membangun larik
terus-menerus, sesuai dengan keinginan dan kreatifitasnya. Oleh sebab itu ekspresi formulaik
dapat juga membantu terbentuknya wacana ritmis yang merupakan salah satu alat bantu
untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat, dan tepat cerita yang disampaikan (Lord,
1981: 30).
Tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam
cerita. Tema adalah sekelompok ide yang secara teratur digunakan pada penciptaan suatu
cerita dalam gaya formulaik. Tema disusun dari adegan-adegan, yang telah ada dalam pikiran
pencerita dan digunakan untuk merakit cerita itu. Dalam pikiran pencerita yang telah mapan,
tema mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh sifat lentur formula dan pencerita
tidak memakai formula yang sama dalam setiap penceritaan (Lord, 1981: 4 dan 68). Tema
bukanlah kreasi seni yang sungguh-sungguh statis, mealinkan kreasi seni yang hidup dan
berubah sesuai dengan situasi (Lord, 1981: 94).
Tema dapat diekspresikan dengan sekumpulan kata-kata. Pencerita tidak pernah
memproduksi tema dengan kata-kata yang persis sama. Ini merupakan suatu keharusan dan
bersifat normal. Tema bukanlah sekumpulan kata yang tepat, melainkan merupakan
pengelompokkan ide-ide (Lord, 1981:61). Selain unsur-unsur esensial tersebut, terdapat juga
unsur-unsur nonesensial, yaitu komposisi, pola cerita, dan fungsi. Komposisi adalah
keseluruhan unsur-unsur yang telah disebutkan ketika disusun pada saat pertunjukan
berlangsung. Pola cerita di sini dapat dimaknai sebagai urutan cerita berdasarkan tema dan
formula yang disampaikan ketika pertunjukan berlangsung. Sedangkan, fungsi adalah pesan,
salah satunya adalah pesan moral cerita.

4
C. Sejarah dan Budaya Rejang

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa
Melayu. Suku Rejang menyebar sampai ke daerah Lebong, Kepahiang, Curup dan sampai di
tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan. Suku Rejang terbanyak
menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, dan kabupaten Lebong. Bila
kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan penutur bahasa Rejang, sangat jelas perbedaan
antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatera lainnya. Suku Rejang merupakan salah
satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia.

1. Budaya
Suku Rejang menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, kabupaten
Bengkulu Utara, dan kabupaten Lebong di provinsi Bengkulu dan Kabupaten Musi Rawas di
provinsi Sumatera Selatan. Suku ini merupakan suku dengan populasi terbesar di provinsi
Bengkulu, namun secara sumber daya manusia, agaknya suku ini kurang begitu adaptif
terhadap perkembangan di luar daerah. Ini dikarenakan kultur masyarakat Rejang yang sulit
untuk menerima pendapat di luar dari pendapat kelaziman menurut pendapat mereka, dan
masih rendahnya tingkat pendidikan.
Pada umumnya sifat dan watak dari suku Rejang masih primitif. Karena mayoritas
suku Rejang masih primitif, potensi SDM mereka relatif lamban dalam berkembang. Apalagi
sifat iri dan dengki yang menjadi tradisi dan ciri khas dari sifat primitif itu sendiri. Sehingga
proses kemajuan semakin terhambat. Tetapi kini beberapa putra-putri suku Rejang telah
menempuh pendidikan tinggi seperti ilmu pendidikan keguruan, ilmu kesehatan, ilmu hukum,
ilmu ekonomi, sastra, dan lain lain. Banyak yang telah menekuni profesi sebagai guru,
pejabat teras, dokter, pegawai swasta, pengacara, polisi, dan berbagai profesi yang lebih
tinggi statusnya ketimbang petani ataupun sekadar tukang ojek.

2. Bahasa
Suku Rejang memiliki perbedaan yang mencolok dalam dialek penuturan bahasa.
Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek Rejang di Kabupaten Rejang
Lebong yang dikenal dialek Rejang Curup (Rejang Musi), dialek Rejang Bengkulu Utara
(identik dengan dialek Lebong), dan dialek Lebong yang penduduknya di wilayah kabupaten
Lebong. Sehingga secara kenyataan yang ada, dialek dominan Rejang terdiri lima macam.
Dialek tersebut adalah sebagai berikut:

5
1) Dialek Rejang Kepahiang (Kebanagung)
2) Dialek Rejang Curup (Musi)
3) Dialek Rejang Lebong (Lebong)
4) Dialek Rejang Rawas (Rawas)
5) Dialek Rejang Pesisir (Mirip dgn Lebong).

Dari kelima pengelompokan dari dialek Rejang tersebut, kini suku Rejang terdiri dari
Rejang Kepahiang, Rejang Curup, Rejang Lebong, Rejang Rawas dan Rejang Pesisir.
Namun, meskipun dialek dari kelima bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tapi setiap
penutur asli bahasa Rejang masih dapat memahami perbedaan kosakata disaat komunikasi
berlangsung. Karena perbedaan tersebut dapat diumpakan seperti perbedaan dialek pada
bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris Australia. Secara
filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor jarak, faktor sosial, dan faktor
psikologis dari suku Rejang itu sendiri. Contoh perbedaan itu antara Rejang Kepahiang
dengan yang lain ada perbedaan pemakaian huruf a dan o pada beberapa kata.

3. Sejarah
Mengenai asal-usul ataupun sejarah suku Rejang, masih terdapat kesimpang-siuran
pendapat. Kalau diamati dari publikasi mengenai Rejang, Rejang Lebong masih sangat
mendominasi tentang asal-usul Rejang. Tapi pada kenyataannya, itu semua terjadi karena
tulisan mengenai Rejang banyak dirintisi oleh suku Rejang yang berasal dari Lebong saja.
Apa yang terjadi tentang suku Rejang Kepahiang? Maka oleh sebab itu, Wikipedia bahasa
Indonesia menjadi perintis mengenai ensiklopedia tentang suku Rejang secara nyata dan
modern berdasarkan fakta yang ada serta bukan hanya sekedar mitos belaka.
Apalagi secara logika, mengenai sejarah yang telah dipublikasi, banyak yang
reliabilitas dan validitasnya masih diragukan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Rejang terbagi
tiga kelompok besar yang sudah pasti ada keterkaitan asal-usul. Tetapi dari ketiga Rejang
tersebut tidak ada yang mendominasi secara sejarah, adat, maupun tradisi kehidupan yang
berdasarkan kenyataan yang ada.

4. Macam-Macam Sastra Lisan Rejang


Sastra Lisan adalah kesusastraan yang mencangkup ekspresi warganya dalam suatu
kebudayaan yang disebarkan secara lisan sehingga isi dapat berubah (bisa bertambah ataupun
berkurang). Sejarah mengungkapkan bahwa sebelum mulainya tradisi tulis, masyarakat

6
menggunakan tradisi lisan. Segala sesuatu disampaikan secara turun temurun. Baik itu
pepatah, nasihat, dan cerita orang-orang yang pertama membangun kampung tersebut.
Masyarakat Rejang masih memiliki budaya lisan yang disampaikan kepada generasi muda
untuk menyampaikan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam sastra lisan tersebut. Sastra lisan
yang hidup dalam masyarakat Rejang Kepahyang adalah pantun, syair, iben penyambut tamu,
rejung. Diakui masyarakatnya sebagai sejarah, hal ini terlihat dari warisan nilai-nilai adat
pada masyarakat tersebut. Berikut adalah beberapa contoh sastra lisan Rejang :

4. Nasieb (Lagu Rejang)

Nasieb adalah nama lagu daerah Rejang yang selalu identik dengan lagu-lagu yang
syairnya berupa ratapan-ratapan, menceritakan kesusahan dan kesedihan. Nasieb biasanya
didendangkan pada saat acara pernikahan atau cara penyambutan tamu atau hanya untuk
hiburan semata. Tujuan dinyanyikannya lagu ini adalah agar orang yang mendengarkan
mengingat kesusahan, tidak hanya larut dalam kesenangan sehingga lebih mendekatkan
kepada Tuhan.

Dibawakan oleh Ridwan Ch.

Uku lak alew mai Sadie perbo, Temeu punguk nak pengei dalen, Alang ke malang nasib ku
iyo, Awie ba punguk indeu ngen bulen, Alang ke malang nasib ku iyo, Awie ba punguk indeu
ngen bulen,
Saya pergi ke dusun perbo, Ketemu pungguk di pinggir jalan, Sungguh malang nasib ku ini,
Bagaikan pungguk rindukan bulan, Sungguh malang nasib ku ini, Bagaikan pungguk
rindukan bulan,
Uku terus mai Sadie saweak, Temeu sawei nak bioa musei, Amen ku namen etun temegea’,
Nemak ku anduk gen mlap bio matei, Amen ku namen etun temegea’, Nemak ku anduk gen
mlap bio matei,
Lalu saya ke dusun sawah, Ketemu sawah di piggir air musi, Jika kutahu orang melarang,
Akan kuambil handuk untuk menghapus air mata, Jika kutahu orang melarang, Akan kuambil
handuk untuk menghapus air mata,
Uku terus mai taba renea’, Singa’ uku nak sipang epat, Men ku namen eko lak nikea’,
Kunyeu ba uku idup melarat, Men ku namen eko lak nikea’, Kunyeu ba uku idup melarat,

7
Aku lanjut ke tabarenah, Mampir aku di simpang empat, Jika kutahu engkau akan menikah,
Biarlah aku hidup menderita, Jika kutahu engkau akan menikah, Biarlah aku hidup
menderita,
Uku belek mai bioa ambei, Mlitas uku kak Sadie cu’up, Amen ku namen eko bi jijei, Baik ba
uku dami ba idup, Amen ku namen eko bi jijei, Baik ba uku dami ba idup,
Aku pulang ke air rambai, melewati dusun curup, Jika kutahu engkau sudah jadi, Lebih baik
aku tak usah hidup, Jika kutahu engkau sudah jadi, Lebih baik aku tak usah hidup,
Uku terus mai taba renea’, Singa’ uku nak sipang epat, Men ku namen eko lak nikea’ Kunyeu
ba uku idup melarat, Men ku namen eko lak nikea’ Kunyeu ba uku idup melarat,
Aku lanjut ke tabarenah, Mampir aku di simpang empat, Jika kutahu engkau akan menikah,
Biarlah aku hidup menderita, Jika kutahu engkau akan menikah, Biarlah aku hidup
menderita,
Uku belek mai bioa ambei, Mlitas uku kak Sadie cu’up, Amen ku namen eko bi jijei, Baik ba
uku dami ba idup, Amen ku namen eko bi jijei, Baik ba uku dami ba idup,
Aku pulang ke air rambai, melewati dusun curup, Jika kutahu engkau sudah jadi, Lebih baik
aku tak usah hidup, Jika kutahu engkau sudah jadi, Lebih baik aku tak usah hidup,

Dibawakan oleh Roman

Uku alew mai Sadei perbo, Temeu punguk nak pengei dalen, lang ke malang nasieb ku iyo,
Awei ba punguk indeu ngen bulen, lang ke malang nasieb ku iyo, Awei ba punguk indeu
ngen bulen,
Saya pergi ke dusun perbo, Ketemu pungguk di pinggir jalan, Sungguh malang nasib ku ini,
Bagaikan pungguk rindukan bulan, Sungguh malang nasib ku ini, Bagaikan pungguk
rindukan bulan,
Uku teus mai Sadie saweak, Temeu saweak nak bioa musei, men ku namen etun temegea’,
Nemak ku anduk gen mlap bioa matei, Amen ku namen etun temegea’ Nemak ku anduk gen
mlap bioa matei,
Lalu saya ke dusun sawah, Ketemu sawah di piggir air musi, Jika kutahu orang melarang,
Akan kuambil handuk untuk menghapus air mata, Jika kutahu orang melarang, Akan kuambil
handuk untuk menghapus air mata,
Uku teus mai taba renea’, Singa’ uku nak sipang epat, Men ku namen eko lak nikea’, Kunyeu
ba uku idup melarat, Men ku namen eko lak nikea’, Kunyeu ba uku idup melarat,

8
Aku lanjut ke tabarenah, Mampir aku di simpang empat, Jika kutahu engkau akan menikah,
Biarlah aku hidup menderita, Jika kutahu engkau akan menikah, Biarlah aku hidup
menderita,
Uku belek mai bioa ambei, Mlitas uku kak Sadei cu’up, men ku namen eko bi jijei, Baik ba
uku dami ba idup, men ku namen eko bi jijei, Baik ba uku dami ba idup,
Aku pulang ke air rambai, melewati dusun curup, Jika kutahu engkau sudah jadi, Lebih baik
aku tak usah hidup, Jika kutahu engkau sudah jadi, Lebih baik aku tak usah hidup

Selanjutnya penulis akan menganalisis unsur esensial dan nonesensial dari sastra lisan
Nasieb (lagu Rejang).

D. Analisis dan Pembahasan Unsur Esensial Dan Nonesensial Nasieb

Objek penelitian ini adalah Nasieb berupa lagu yang merupakan bagian dari sastra
lisan Rejang. Nara sumbernya adalah Bapak Ridwan Ch yang rumahnya di dusun I dan
Bapak Roman yang rumahnya di dusun II. Kedua narasumber tersebut bertempat tinggal di
desa kelobak, Kepahyang.

1. Formula, Tema, dan Subtema

Pada bagian ini, formula, tema, dan dijadikan satu subbahasan karena formula
merupakan wujud dari tema yang diverbalkan, sedangkan subtema merupakan bagian-bagian
kecil dari tema. Formulaik lagu ini tidak dianalisis karena lagu ini tidak berbentuk bait dan
larik yang merupakan bentuk/wujud dari formulaik itu sendiri. Namun hanya berbentuk
kalimat yang saling sambung menyambung.

a. Tema dan Subtema

Penulis terlebih dahulu akan membahas subtema tiap-tiap bagian dari Nasieb
kemudian akan menyimpulkannya dalam bentuk tema.

Subtema bagian 1

9
Nasieb 1 : Kerinduan tokoh akan seseorang. Hal ini tercermin dari kata-kata sungguh
malang nasibku ini bgai punguk merindukan bulan.
“Uku lak alew mai Sadie perbo, Temeu punguk nak pengei dalen, Alang ke malang
nasib ku iyo, Awie ba punguk indeu ngen bulen, Alang ke malang nasib ku iyo, Awie
ba punguk indeu ngen bulen”.

Nasieb 2 : Kerinduan tokoh akan seseorang. Hal ini tercermin dari kata-kata sungguh
malang nasibku ini bagai punguk merindukan bulan.
“Uku alew mai Sadei perbo, Temeu punguk nak pengei dalen, lang ke malang nasieb
ku iyo, Awei ba punguk indeu ngen bulen, lang ke malang nasieb ku iyo, Awei ba
punguk indeu ngen bulen”.

Subtema bagian 2

Nasieb 1 : Kesedihan tokoh karena cintanya tidak direstui. Hal ini tercermin dari
makna, bila kutau orang melarang maka akan kuambil handuk untuk menghapus air mata.
“Uku terus mai Sadie saweak, Temeu sawei nak bioa musei, Amen ku namen etun
temegea’, Nemak ku anduk gen mlap bio matei, Amen ku namen etun temegea’,
Nemak ku anduk gen mlap bio matei”

Nasieb 2 : Kesedihan tokoh karena cintanya tidak direstui. Hal ini tercermin dari
makna, bila kutau orang melarang maka akan kuambil handuk untuk menghapus air mata.
“Uku teus mai Sadie saweak, Temeu saweak nak bioa musei, men ku namen etun
temegea’, Nemak ku anduk gen mlap bioa matei, Amen ku namen etun temegea’
Nemak ku anduk gen mlap bioa matei”

Subtema bagian 3 :

Nasieb 1 : Kekasih tokoh akan menikah dengan orang lain. Hal ini membuat tokoh
sedih, hal itu telah ditunjukkan pada bagian awal subtema. Peristiwa tersebut tercemin dari
makna lagu yaitu jika ku tahu engkau akan menikah biarlah aku hidup menderita

10
“Uku terus mai taba renea’, Singa’ uku nak sipang epat, Men ku namen eko lak
nikea’, Kunyeu ba uku idup melarat, Men ku namen eko lak nikea’, Kunyeu ba uku
idup melarat”

Nasieb 2: Kekasih tokoh akan menikah dengan orang lain. Hal ini membuat tokoh
sedih, hal itu telah ditunjukkan pada bagian awal subtema. Peristiwa tersebut tercemin dari
makna lagu yaitu jika ku tahu engkau akan menikah biarlah aku hidup menderita
“Uku teus mai taba renea’, Singa’ uku nak sipang epat, Men ku namen eko lak nikea’,
Kunyeu ba uku idup melarat, Men ku namen eko lak nikea’, Kunyeu ba uku idup
melarat”

Subtema bagian 4

Nasieb 1 : Tokoh menderita karena ternyata orang yang dicintainya benar-benar telah
menikah. Hal ini tercermin dari makna, jika kutau kau seudah jadi, lebih baik aku tak usah
hidup.
“Uku belek mai bioa ambei, Mlitas uku kak Sadie cu’up, Amen ku namen eko bi jijei,
Baik ba uku dami ba idup, Amen ku namen eko bi jijei, Baik ba uku dami ba idup”.

Nasieb 2 : Tokoh menderita karena ternyata orang yang dicintainya benar-benar telah
menikah. Hal ini tercermin dari makna, jika kutau kau seudah jadi, lebih baik aku tak usah
hidup.
"Uku belek mai bioa ambei, Mlitas uku kak Sadei cu’up, men ku namen eko bi jijei,
Baik ba uku dami ba idup, men ku namen eko bi jijei, Baik ba uku dami ba idup”.

Tema : berdasarkan subtema yang terdapat pada bagian 1-4 pada lagu yang
dibawakan oleh Ridwan dan Romlah ternyata memiki kesamaan yang sama persis, maka
dapat disimpulkan bahwa tema yang terdapat pada lagu Nasieb adalah mengenai ratapan
kesedihan tokoh karena ditinggal menikah oleh orang yang dicintainya.
b. Formula

Selanjutnya akan dianalisis adalah formula yang terdapat pada sastra lisan Nasieb.
Nasieb pertama dan nasieb kedua memiliki persamaan subtema dan tema namun diwujudkan

11
dalam dialek yang berbeda, hal ini menyebabkan perbedaan formula pada nasieb 1 dan nasieb
2. Berikut adalah uraiannya.

Bagian 1

Nasieb 1 : “Uku lak alew mai Sadie perbo, Temeu punguk nak pengei dalen, Alang ke
malang nasib ku iyo, Awie ba punguk indeu ngen bulen, Alang ke malang
nasib ku iyo, Awie ba punguk indeu ngen bulen”

Nasieb 2 : “Uku alew mai Sadei perbo, Temeu punguk nak pengei dalen, lang ke
malang nasieb ku iyo, Awei ba punguk indeu ngen bulen, lang ke malang
nasieb ku iyo, Awei ba punguk indeu ngen bulen”.

Berdasarkan kata yang digarisbawahi diatas maka terlihatlah perbedaan formula


berupa kata-kata pada nasieb 1 dan nasieb 2 yaitu lak alew (ingin pergi), alang (alangkah),
nasib (nasib), awie (seperti) pada nasieb 1 dan alew (pergi), lang (alangkah), naseib (nasib),
awei (seperti) pada nasieb 2 namun seperti penulis katakan sebelumnya kedua nasieb ini
memilki makna yang sama hanya dialeknya yang berbeda sehingga menciptakan formula
yang berbeda pula.

Bagian 2

Nasieb 1 : Uku terus mai Sadie saweak, Temeu sawei nak bioa musei, Amen ku namen
etun temegea’, Nemak ku anduk gen mlap bio matei, Amen ku namen etun
temegea’, Nemak ku anduk gen mlap bio matei.

Nasieb 2 : Uku teus mai Sadie saweak, Temeu saweak nak bioa musei, men ku namen
etun temegea’, Nemak ku anduk gen mlap bioa matei, Amen ku namen etun
temegea’ Nemak ku anduk gen mlap bioa matei,

Berdasarkan kata yang digarisbawahi diatas maka terlihatlah perbedaan formula


berupa kata-kata pada nasieb 1 dan nasieb 2 yaitu terus (terus), amen (kalau), bio (air)
sedangkan pada nasieb 2 yaitu teus (terus), men (kalau), bioa (air).

12
Bagian 3

Nasieb 1 : Uku terus mai taba renea’, Singa’ uku nak sipang epat, Men ku namen eko
lak nikea’, Kunyeu ba uku idup melarat, Men ku namen eko lak nikea’,
Kunyeu ba uku idup melarat.

Nasieb 2 : Uku teus mai taba renea’, Singa’ uku nak sipang epat, Men ku namen eko
lak nikea’, Kunyeu ba uku idup melarat, Men ku namen eko lak nikea’,
Kunyeu ba uku idup melarat.

Berdasarkan kata yang digarisbawahi diatas maka terlihatlah perbedaan formula


berupa kata-kata pada nasieb 1 dan nasieb 2 hanya terletak pada kata terus (terus) pada
nasieb 1 dan teus (terus) pada nasieb 2.

Bagian 4

Nasieb 1 : Uku belek mai bioa ambei, Mlitas uku kak Sadie cu’up, Amen ku namen
eko bi jijei, Baik ba uku dami ba idup, Amen ku namen eko bi jijei, Baik
ba uku dami ba idup.

Nasieb 2 : Uku belek mai bioa ambei, Mlitas uku kak Sadei cu’up, men ku namen eko
bi jijei, Baik ba uku dami ba idup, men ku namen eko bi jijei, Baik ba uku
dami ba idup

Berdasarkan kata yang digarisbawahi diatas maka terlihatlah perbedaan formula


berupa kata-kata pada nasieb 1 dan nasieb 2 yaitu sadie (desa) dan amen (kalau) pada nasieb
1 dan sadei (desa) dan men (kalau) pada nasieb 2.

Kesimpulan dari analisis formula dari bagian pertama hingga keempat pada kedua
nasieb ini adalah terdapat perbedaan formula pada nasieb 1 dan nasieb 2 berupa kata-kata
namun semuanya memilki makna yang sama.

2. Komposisi dan Pola Cerita

13
Pada sastra lisan nasieb 1 dan nasieb 2 memiliki tema dan subtema yang persis sama
hanya saja ada beberapa formula (kata-kata) yang berbeda hal ini menyebabkan komposisi
dan pola ceritanya pun menjadi sama. Berikut adalah uraian mengenai pola cerita dari sastra
lisan nasieb.

Gambaran kerinduan tokoh  kesedihan tokoh karena cintanya tidak direstui 


kesedihan tokoh karena orang yang dicintai tokoh akan menikah  kesedihan tokoh
mendalam karena orang yang dicintainya telah menikah.

Perbedaan formula yang terdapat pada nasieb 1 dan nasieb 2 tidak terlalu mengubah
panjang-pendek struktur sastra lisan tersebut sebab perbedaan formulanya hanya terletak pada
kata atau perbedaan kata karena perbedaan dialek yang digunakan kedua narasumber. Hal ini
menjadikan komposisi dan pola cerita pada sastra lisan ini persis sama.

3. Fungsi Nasieb Sebagai Sastra Lisan

Nasieb adalah lagu Rejang yang berisi tentang kesedihan seseorang yang merupakan
sastra lisan masyarakar Rejang Kepahyang Kabupaten Bengkulu Utara. Nasieb biasanya
didendangkan dalam acara pernikahan atau menyambut tamu. Tujuannya adalah agar
kebahagian yang ada tidak terlalu berlebihan sehingga mengingat Tuhan. Adapun fungsi dari
nasieb ini adalah :
1. Nasieb menjadi dokumen masyarakat setempat
2. Nasieb merupakan hiburan bagi masyarakat baik dalam menyambut tamu atau
dalam acara pernikahan.
3. Nasieb memiliki pesan moral agar jika megalami kebahagian tidak takabur dan
mengingat sang pencipta, oleh karena itu nasieb didendangkan pada waktu acara-
acara bahagia berlangsung

E. Penutup

Dari apa yang telah dipaparkan pada bagian pembahasan dapat disimpulkan bahwa
nasieb yang dibawakan oleh Romlah dan Ridwan yang menjadi objek penelitian ini memiliki
persamaan tema dengan subtema yang serupa pula sehingga menjadikan pola cerita dan
komposis keduanya memiliki kesamaan yang utuh. Namun terdapat formula yang berbeda

14
antar keduanya, hal ini tercermin dari pengunaan dialek pada kedua narasumber sehingga
produk kata yang dihasilkan pun sedikit berbeda antar satu dengan yang lain.

Daftar Rujukan

Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Imu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Grafiti Pers.
Lord, Albert B. 1971. The Singer of Tale. New York: Atheneum.

IDENTITAS PENCERITA

1. Nama : Ridwan Ch.


Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : petani

15
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
Alamat : Dusun 1 Desa Kelobak, Kepahyang

2. Nama : Roman
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : petani
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Alamat : Dusun II Desa Kelobak, Kepahyang

Dokumentasi

16
Pertunjukan mendendangkan nasieb oleh Ridwan

Pengiring nasieb yang pada bagian tertentu membunyikan rebana

17
Pertunjukan mendendangkan Nasieb oleh Roman

\
Pada pertunjukan Roman tidak mengunakan rebana tapi hanya tepuk tangan

18

Anda mungkin juga menyukai