Angkola adalah salah satu etnik Batak yang bermukim di Kabupaten Tapanuli
Selatan, Kota Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara dan Padang Lawas. Nama "angkola"
diyakini berasal dari nama sebuah sungai "Batang Angkola" yang berada di daerah Angkola.
Dari cerita rakyat Angkola, bahwa sungai ini diberi nama oleh Rajendra Kola (Chola) I,
penguasa kerajaan Chola (1014 - 1044 M) yang berasal dari India Selatan, yang memasuki
Angkola melalui daerah Padang Lawas. Daerah Angkola terdiri dari 2 wilayah, yaitu sebelah
selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (Hilir) dan sebelah Utara diberi nama
Angkola Julu (Hulu).
Sepeninggal kekuasaan Radjendra Chola I, muncul seorang tokoh dari Tano
Angkola, yang bernama Oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe. Oppu Jolak Maribu
ini mendirikan huta (kampung) pertama di daerah Angkola yang bernama Sitamiang. Setelah
sekian lama masyarakat Angkola tumbuh dan berkembang di daerah Angkola, maka
kemudian orang-orang dari suku-suku lain masuk segala penjuru hidup berbaur dan turut
dalam adat-istiadat suku Angkola, tetapi ada juga kelompok yang tetap mempertahankan adat
nya sendiri.
Sistem Kekerabatan
Seperti etnis Batak pada umumnya, tradisi marga dan Dalihan Na Tolu juga
berkembang dalam masyarakat suku Batak Angkola. Dari segi garis keturunan yang
menerapkan sistem patrilineal, masyarakat Angkola ditandai dengan marga/clan yang
dominan seperti Harahap, Siregar, Dalimunthe, Daulay, Ritonga, Pane. Sistem interaksi sosial
yang menganut filosofi Dalihan Na Tolu (tungku yang tiga/bersusun) terdiri dari Mora,
Kahanggi, dan Anakboru. Mora yaitu pihak keluarga yang memberi boru (perempuan/istri).
Dalam setiap acara adat, Mora mempunyai derajat ‘paling tinggi’, posisinya di samping Raja
dan pemangku adat. Kahanggi adalah saudara semarga, yaitu keluarga yang mempunyai
hajatan/Horja adat, termasuk di dalamnya Suhut selaku Tuan Rumah. Anak Boru yaitu pihak
keluarga yang memberi boru (Pangalehenan Boru). Masyarakat Angkola mengenal
pelarangan kawin semarga.
Secara sejarah suku Angkola ini masih berkerabat dengan suku Batak Toba dan Batak
Mandailing. Beberapa marga pada masyarakat Angkola juga masih terlihat pada marga-
marga yang ada di suku Batak Toba dan Batak Mandailing. Saat ini suku Batak Angkola
berkembang dan diakui sebagai suku tersendiri, karena mereka memiliki tradisi budaya dan
bahasa sendiri. Antara suku Batak Angkola dengan suku Batak Mandailing, dari segi budaya
dan bahasa banyak terdapat kemiripan, sehingga antara orang Angkola dan orang Mandailing
agak susah dibedakan. Dari segi bahasa, Bahasa Angkola memang mirip dengan bahasa
Batak Toba dan Bahasa Batak Mandailing, tapi perbedaan dapat dilihat dari intonasi dialek.
Dialek orang Angkola terdengar lebih lembut dibanding bahasa orang Toba, tapi sedikit lebih
tegas dan keras dibanding dialek orang Mandailing. Bahasa Batak Angkola meliputi daerah
Padangsidempuan, Batang Toru, Sipirok, dan seluruh bagian kabupaten Tapanuli Selatan.
Sistem Kepercayaan
Sebagian besar masyarakat Angkola memeluk agama Islam setelah mendapat
pengaruh Islam dari dari Tuanku Lelo (Idris Nasution) yang menyebarkan Islam dalam misi
Padri (1821) dari Minangkabau. Tetapi sebagian lain tetap mempertahankan agama adat yang
telah mereka amalkan sejak dari zaman leluhurnya, seperti pelbegu dan malim. Tak lama
kemudian, masuklah pasukan Belanda ke wilayah Angkola mengusir pasukan Padri yang
berusaha mengislamkan wilayah tersebut, dan sebagian masyarakat Angkola yang tadinya
bertahan dari pengaruh Islam Padri, akhirnya menerima ajaran Kristen yang diperkenalkan
oleh para misionaris Belanda. Walaupun dalam masyarakat Angkola terdapat 2 agama yang
berbeda, tapi kerukunan beragama sangat terjaga dengan baik dari dahulu hingga sekarang.
Agama “Malim” percaya dan menyembah Ompu Mulajadi Na Bolon (Sang Maha
Pencipta. Mulajadi=Pencipta, Na Bolon= Sang Akbar/Maha Besar). Ompu Mulajadi Na
Bolon sebagai Debata (Tuhan) yang menciptakan semesta raya, bumi beserta isinya,
termasuk manusia. Menurut “Parmalim,” Ompu Mulajadi Na Bolon sebagai penguasa
tertinggi di jagad raya, yang tidak bermula dan tidak berakhir (Na so marmula jala Na so
marujung), bertahta di tempat maha tinggi di langit yang tertinggi (hundul di tatuan, di
ginjang ni ginjangan, di langit ni langitan).
Rumah Adat
Rumah Adat Batak Mandailing disebut sebagai Bagas Godang sebagai kediaman para
raja, terletak disebuah kompleks yang sangat luas dan selalu didampingi dengan Sopo
Godang sebagai balai sidang adat. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang
berjumlah ganjil sebagaimana juga jumlah anak tangganya.
Bagas Godang merupakan rumah berarsitektur Mandailing dengan konstruksi yang
khas. Berbentuk empat persegi panjang yang disangga kayu-kayu besar berjumlah ganjil.
Ruang terdiri dari ruang depan, ruang tengah, ruang tidur, dan dapur. Terbuat dari kayu,
berkolong dengan tujuh atau sembilan anak tangga, berpintu lebar dan berbunyi keras jika
dibuka. Kontruksi atap berbentuk tarup silengkung dolok, seperti atap pedati.