Anda di halaman 1dari 19

Rumah Betang atau rumah panjang atau dalam bahasa Dayak Sub Suku Dayak Tamambaloh

Apalin disebut dengan Sao Langke. Suku Dayak Sub Suku Tamambaloh Apalin adalah Sub
Suku Dayak yang bermukim di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Merupakan bagian
rumpun Banuaka. Wilayah adatnya meliputi sepanjang aliran sungai Apalin, sungai Alau’k dan
sungai Nyabo, yang merupakan wilayah admistratif dari 4 desa yaitu desa lauk, desa benua
tengah, desa nanga nyabau dan desa sungai uluk palin. Sub Suku Dayak ini memang kurang
dikenal karena keberadaan mereka yang tinggal di ujung utara Kapuas Hulu. Orang lebih
mengenal Suku Dayak yang berada di bagian utara Kapuas Hulu adalah Dayak Iban, padahal
Sub Suku Dayak ini sejarahnya adalah pendatang dari Serawak, Malaysia.
Salah satu ciri khas masyarakat Dayak tamambaloh apalin adalah agraris dan rumah
betang. Namun seiring perkembangan zaman kini mulai memudar. Banyak rumah betang yang
telah hilang atau ditinggalkan. Kini hanya tinggal beberapa yang masih tersisa dan digunakan.
Saat ini rumah betang yang masih tersisa di sub suku dayak tamambaloh apalin ini ada dua yaitu
rumah betang dipanimpan bolong desa nanga nyabau dan rumah betang dai bolong pambean di
dusun banua tengah hilir desa benua tengah. Disini yang akan dibahas yaitu rumah betang dai
bolong pambean.
Lokasi rumah betang (Sao Langke) Dai Bolong Pambean sekitar 50 Km dari Putussibau
ke arah utara. Menuju lokasi ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dan roda dua.
Jalan menuju desa Benua Tengah telah beraspal dan berada di Jalan Poros Putussibau - Badau
yang menuju perbatasan Indonesia - Malaysia. Dari jalan poros menuju lokasi rumah betang
sekitar 5 Km melalui jalan berkerikil dan sebagian telah ada pengerasan.
Pada zaman dahulu rumah betang yang ada di aliran sungai apalin sangatlah banyak dari
bagian hulu sungai Apalin rumah betang milik bakik (kakek) toan (dekat kawasan taman
nasional betung kerihun) sampai perbatasan dengan nanga nyabau bakik marong yang ada di
pinjawan. Makannya pada zaman dahulu perkampungan di aliran sungai apalin ini dinamai
dengan banua sariu. Konon katanya jika perwakilan dari masing masing perwakilan dari tiap
kamping meletakkan tombaknya di pohon kelapa, pohon tersebut akan condong. penduduk
banua sariu ini akhirnya mengalami kematian besar-besaran akibat polek mopa (racun) yang
dilakukan oleh seorang nenek (piang indu kamaluan) yang membalaskan dendam anak dan
cucunya yang dibunuh oleh penduduk setempat yang akhirnya beliau meracun air sungai apalin
untuk membalaskan dendam tersebut, sehingga penduduk yang minum air dari sungai apalin
keracunan yang kemudian mengakibatkan seluruh penduduk banua sariu meninggal semua,
kecuali mereka yang melarikan diri ke anak sungai yang terdekat. Dan diyakini bahwa penduduk
yang hidup saat ini berasal dari pinjawan keturunan bakik giling yang kemudian mendirikan
betang baru di daerah kansorena tendek (nama tempat) yang kemudian dipindahkan lagi ke
lokasi yang saai ini dan betang sekarang dikenal dengan nama dai bolong pambean.
Rumah betang ini merupakan rumah betang tertua yang ada di Kapuas Hulu, bahkan
Kalimantan Barat. Rumah betang ini diperkirakan dibangun pada tahun 1864 oleh Bakik Layo,
kemudian renovasi I oleh bakik arugun tahun 1940, renovasi II tahun 2005. Rumah Betang yang
disebut Sao Langke Dai Bolong Pambean dalam bahasa sastra dayak tamambaloh apalin.
Lengkapnya nama betang ini (danginan) dalam bahasa sastra dayak tamambaloh apalin yaitu dai
bolong pambean dai danum sandikan sunge sanduk buk banang sunge lapi’k buk loe’k yang
artinya secara singkay yaitu rumah betang yang terletak di sunge apalin yang panjang dan kecil.
Pada awal dibangun, rumah betang ini tingginya mencapai 7,3 meter (sebelum renovasi
pertama). Namun kini tinggal 4,50 meter karena banyak kayu yang lapuk dan susah mencari
pengganti kayu yang panjangnya hingga 7 meter maka ketinggiannya diturunkan. Untuk panjang
dan lebarnya sendiri rumah betang ini sekarang yaitu 160 meter dan 18,6 meter. Untuk jumlah
bilik rumah betang ini terdiri dari 42 bilik yang terdiri dari 1 bilik galery dan 1 bilik homstay.
Atapnya pun sudah tidak menggunakan sirap atau rumbia namun telah ada bebera yang
mengguakan atap seng.
Bangunan rumah betang dan telah ditetapkan menjadi cagar budaya pada tahun 2006 dengan SK
bupati kapuas hulu No 47 tahun 2006 dan sudah masuk dalam data kementerian pendidikan dan
kebudayaan republik indonesia dengan kode pengelolaan KB003042 (
https://referensi.data.kemendikbud.go.ig/kebudayaan/index.php/chome/profilobjekkebudayaan/6
0D16BF7-7E-481E-B82D-2D9FFA5C1246 ) makanya tidak heran setiap tahun banyak
wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke Rumah Betang ini. Mereka  takjub
melihat arsitektur bangunan dan keramahan penduduk lokalnya Sampai sekarang model fisik
bangunan masih asli. Bila dilihat dari kondisi bangunannya, bangunan rumah tersebut modelnya
memanjang dan memiliki pondasi tiang lebih tinggi dari rumah-rumah biasa pada umumnya.
Kondisi bangunan sengaja dibuat orang zaman dahulu dengan model pondasi tiang yang
tinggi, untuk menjaga agar musuh tidak bisa menombak penghuni rumah dari bawah bangunan
tersebut. Secara logika memang tidak masuk akal, di mana kayu dengan diameter 80 cm dan
panjang 20 meter dapat didirikan untuk pondasi bangunan. Apalagi bila mengingat orang zaman
dahulu, belum menggunakan peralatan modern seperti eksavator, ceng hok dan sebagainya.
Ada sekitar 34 tiang/pondasi utama yang digunakan untuk medirikan rumah betang ini.
Menurut cerita orang dahulu, pendirian tiang besar untuk pondasi Rumah Betang tersebut,
menggunakan rotan khusus yang sudah dianyam. Pembangunan Rumah Betang dengan kondisi
yang memanjang tersebut bertujuan menjaga persatuan, kekompakan, persaudaraan, gotong-
royong dan tolong menolong antar sesama.Untuk kepemilikan bilik ini, diatur berdasarkan waris
keturunan.
Rumah Betang ini biasanya dijadikan tempat ritual adat rutin. Seperti gawai bila ada
orang tempatan yang menikah dengan orang yang berbeda kampung. Gawai Pamindara Ulu
Tangka, Gawai Pamindara Ando pun digelar oleh penduduk Rumah Betang.  Tidak hanya itu
gawai besar lainnya pun seperti gawai mamasi sao langke (gawai peresmian rumah betang yang
dilakukan secara ritual adat dayak tamambaloh apalin) tahun 2012 dan gawai marabut tambang
dan mangulambu (gawai buang pantang/masa duka panjang untuk seorang sesepuh golongan
samagat/bangsawan yang berjasa dalam mengayomi masyarakat adat setempat dan magulambu
merupakan salah salatu ritual adat untuk menghormati leluhur/anggota keluarga yang sudah
meninggal ) pada tahun 2016. Untuk gawai besar seperti mamasi sao, marabut tambang dan
mangulambu ini tidak dilaksanakan tiap tahun dilaksanakan. Untuk gawai mamasi sao ini
dilaksanakan apabila mendirikan rumah betang baru ataupun merenovasi rumah betang
tujuannya adalah sebagai ucapan syukur kepada alatala (tuhan yang maha kuasa) atas berkat
yang diberikan sehingga usaha yang dilakukan oleh masyarakat yang mendirikan atau
merenovasi rumah betang tersebut dengan kata lain sebagai acara peresmian dan pemberkatan
secara adat dayak tamambaloh apalin agar nantinya selama mendiami rumah betang tersebut
terhindar dari marah bahaya, dari segala macam penyakit dan kemalangan, begitulah kira-kira
tujuan dari gawai ini. Tidak tanggung-tangung acara ini dihadiri oleh masyarakat dari satu
ketemenggungan dan diadakan selama malam hari tiga malam dengan beberapa rangkaian adat.
Acara intinya pada gawai ini merupakan siamasan. Untuk gawai marabut tambang dan
mangulambu, sebelumnya kita perlu tahu dulu apa yang dimaksud dengan tambang. Tambang
yaitu suatu patung yang bagian kepalanya berbentuk runcing yang terbuat dari kayu belian atau
ulin. Tambang sendiri ini akan diadakan jika seseorang sesepuh/berpengaruh/berwibawa dari
golongan/kasta samagat/bangsawan yang dapat mengayomi masyarakat meninngal maka
dibuatkanlah tambang sebagai petanda yang berbentuk patung/tambang sebagai tanda masa duka
yang mendalam dan relatif panjang dan tidak bisa ditentukan waktu untuk mencabutnya sampai
generasi orang/almarhu/almarhumah orang yang meninggal menginginkan untuk mencabut masa
duka/berkabung tersebut. Untuk mencabut tambang tersebut maka dilakukanlah gawai marabut
tambang ini untuk mengakhiri masa duka panjang ini. Acara gawai marabut tambang ini
dilaksanakan dengan mengundang masyarakat dalam satu ketemenggungan. Syarat marabut
tambang ini harus ditumbaliani ( digabungkan) dengan mangulambu. Mangulambu ini
merupakan ritual untuk menghormati para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal.
Untuk marabut tambang sangat jarang dilakukan, untuk tambang yang dicabut pada tahun 2016
usianya sudah 35 tahun. Orang yang marabut tambang tidak boleh sembarangan harus orang
yang terpilih oleh keluarga dari orang yang dicabut tambangnya dan tidak sembarangan mereka
adalah sesepuh/tua-tua adat. Acara inti dari gawai marabut tambang dan mangulambu yaitu acara
marabut (mencabut) tambang dan siamasan.
lampiran

Anda mungkin juga menyukai