Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

SISTEMATIKA VERTEBRATA
JENIS-JENIS BURUNG DI KAWASAN RIAM ERIA
SINGKAWANG TIMUR KALIMANTAN BARAT

NAMA KELOMPOK
1. EVI NURMEITI H1041161082
2. FRANSISKA ERIKA H1041161072
3. MUHAMMAD REZKY ABRAR H1041161025
4. NABILAH NURULHUDA H1041161017
5. SEPTILIA NUR CAHYA H1041161079
6. SILBVIANUS DEDI KURNIAWAN H1041161037
7. SYIFA QURATTAL AINI H1041161008
8. TYSA PRASTYANINGTIAS H1041161063
9. VERA SARTIKA H1041161049

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMUPENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Riam Eria merupakan salah satu objek wisata yang terletak di Nyarumkop Kecamatan
Singkawang Timur Kota Singkawang. Riam atau Air Terjun Eria menjadi sumber air bagi
masyarakat sekitar untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Aliran sungai Eria termasuk
komponen yang penting terkait kesehatan masyrakat dan harus terjamin dalam segi kualitas.
Kualitas air dapat dipengaruhi oleh kualitas tanah dan hutan di sekitarnya karena air yang
terdapat di aliran sungai merupakan hasil absorbsi dari tanah. Cara mengetahui kualitas air
tidak hanya melalui pengukuran fisik air tetapi juga dapat melalui jenis-jenis hewan yang ada
di wilayah itu (Aharoni et al., 2005).

Riam Eria merupakan salah satu obyek wisata yang memiliki suhu yang cocok untuk
area kehidupan jenis burung karena memiliki air yang jernis, kelembaban yang tinggi. Objek
wisata Riam Eria memiliki hutan tembawang berupa perkebunan karet, durian maupun
tanaman lainnya. Pembukaan lahan untuk perkebunan ini akan mnyebabkan penyempitan
Kawasan di wilayah tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi keberadaan burung yang ada di
sekitarnya. Sehingga sangat penting untuk mengetahui informasi keberadaan burung ini
dengan cara melihat keanekaragamannya.

Aves merupakan salah satu satwa vertebrata yang memiliki tingkat biodiversitas yang
tinggi selain ikan, dan ditemukan pada hampir seluruh permukaan bumi. Dimanapun kita
berada, burung merupakan jenis satwa yang paling mudah untuk ditemui, didengar dan
diamati prilakunya. Dari ujung daerah kutub es, daratan tertinggi di Himalaya, dilautan yang
jauh dari pantai,f dihutan yang lebat, daerah gurun yang tandus dan gersang, bahkan sampai
didaerah perkotaan yang ramai dan padat. Hanya dibagian tengah dari benua Antartika saja
burung tidak ditemukan (Peterson, 1964).

Aves adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang yang berdarah panas,
memiliki bulu yang menutupi seluruh permukaan tubuhnya, yang berasal dari epidermal,
bulu-bulunya terutama terdapat disayap, semakin tua semakin ringan, lebar, kuat dan
tersusun rapat. Bulu-bulu ini tersusun sedemikian rupa sehingga mampu menolak air dan
memelihara tubuh burung agar tetap hangat ditengah udara dingin. Anggota gerak depannya
sudah yermodifikasi menjadi sayap dan anggota gerak belakangnya beradaptasi untuk
berjalan, untuk berenang atau bertengger. Pada tangkai terdapat sisik. Mulut termodifikasi
menjadi paruh yang terdiri dari zat tanduk. Rangka kecil dengan beberapa penyatuan. Tulang
belakang menjadi semakin ringan karena rongga udara didalamnya, namun tetap kuat
menopang tubuh. Tulang dada tumbuh membesar dan memipih sebagai tempat pelekatan
otot-otot terbang yang lam membantu pernafasan terutama pada saat terbang. Berkembang
biak dengan bertelur (Tim Taksonomi Hewan Vertebrata, 2010).

Oleh karena itu, untuk membuat suatu pengklasifikasian dibutuhkan adanya


pengamatan morfologi dari parameter yang sudah ditentukan, sehingga dari parameter
morfologi dapat dilakukan pengindentifikasiannya dan berakhir dengan pembuatan kunci
determinasi dai aves ini, khususnya pada hewan yang dipratikumkan.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Spesies burung apa saja yang terdapat di kawasan ekosistem hutan Riam Eria,Singkawang
Timur ?
2. Bagaimanakah keanekaragaman spesies burung pada kawasan ekosistem hutan Riam
Eria,Singkawang Timur ?

1.3 Tujuan Tujuan Penelitian


Tujuan dari praktikum lapangan ini adalah :
1. Untuk mengetahui spesies burung yang terdapat di kawasan ekosistem danau hutan Riam
Eria,Singkawang Timur.
2. Untuk mengetahui keanekaragaman burung pada kawasan ekosistem danau hutan Riam
Eria,Singkawang Timur.

1.4 Manfaat
Hasil dari praktikum lapangan ini diharapkan dapat digunakan dan bermanfaat :
1. Bagi pendidikan, dapat dijadikan sebagai penunjang dan rujukan atau informasi tambahan
dalam pembelajaran tentang jenis-jenis burung
2. Bagi pemerintah Kota Singkawang dan masyarakat Kalimantan Barat pada umumnya,
sebagai data awal untuk menggambarkan spesies burung yang terdapat di kawasan d
hutan Riam Eria,Singkawang Timur.
3. Bagi konservasi, dapat dijadikan bahan pertimbangan dan wujud kepedulian tentang
perlindungan satwa liar terutama burung yang ada di kawasan hutan Riam
Eria,Singkawang Timur.

BAB II
TiINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelas Aves
Burung atau aves adalah salah satu kelompok yang paling banyak dan paling terkenal
di dunia. Mereka berdarah panas seperti mamalia tetapi lebih dekat kekerabatannya dengan
reptil, mereka berkembang sejak 135 juta tahun yang lalu. Semua burung lebih dulu bernenek
moyang dari fosil burung pertama, yaitu Archaeopteryx (Mac Kinnon, 1991).

Kelas Aves adalah kelas hewan vertebrata yang berdarah panas dengan memiliki bulu
dan sayap. Tulang dada tumbuh membesar dan memipih, anggota gerak belakang
beradaptasi untuk berjalan, berenang dan bertengger. Mulut sudah termodifikasi menjadi
paruh, punya kantong hawa, jantung terdiri dari empat ruang, rahang bawah tidak
mempunyai gigi karena gigi-giginya telah menghilang yang digantikan oleh paruh ringan dari
zat tanduk dan berkembang biak dengan bertelur. Kelas ini dimanfaatkan oleh manusia
sebagai sumber makanan, hewan ternak, hobi dalam peliharaan. Dalam bidang industri
bulunya dapat dimanfaatkan contohnya baju, hiasan dinding, dan lainnya. (Mukayat, 1990).
Meskipun burung berdarah panas, ia berkerabat dekat dengan reptil. Bersama
kerabatnya terdekat, suku Crocodylidae alias keluarga buaya, burung membentuk
kelompok hewan yang disebut Archosauria. Diperkirakan burung berkembang dari
sejenis reptil di masa lalu, yang memendek cakar depannya dan tumbuh bulu-bulu
yang khusus di badannya. Pada awalnya, sayap primitif yang merupakan
perkembangan dari cakar depan itu belum dapat digunakan untuk sungguh-sungguh
terbang, dan hanya membantunya untuk bisa melayang dari suatu ketinggian ke
tempat yang lebih rendah ( Anwar, 1984)

Anggota kelas aves memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap


lingkungannya, sehingga hewan ini mampu bertahan dan berkembang biak pada suatu
tempat. Struktur dan fisiologi burung diadaptasikan dalam berbagai cara untuk penerbangan
yang efisien. Yang paling utama di antara semuanya adalah sayap. Meskipun sekarang sayap
itu memungkinkan burung untuk terbang jauh mencari makanan yang cocok dan berlimpah,
mungkin saja sayap itu dahulu timbul sebagai adaptasi yang membantu hewan ini lolos dari
pemangsanya. Adanya burung-burung yang tidak memiliki sayap yang hidup di Antartika,
Selandia Baru dan daerah-daerah lain yang jarang ada pemangsanya membuktikan hal ini
(Kimball, 1983).
Kelas aves memiliki kemajuan bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang
mendahuluinya dalam hal; 1. Tubuh mempunyai penutup yang bersifat isolasi, 2. Darah vena
dan arteri terpisah secara sempurna dalam sirkulasi pada jantung, 3. Pengaturan suhu tubuh,
4. Rata-rata metabolisme aves tinggi, 5. Mempunyai kemampuan untuk terbang, 6. Suaranya
berkembang dengan baik, 7. Menjaga anaknya dengan baik dan cara khusus (Jasin, 1992).

Struktur dan fisiologi burung diadaptasikan dalam berbagai cara untuk penerbangan
efisien. Yang paling utama dari semua ini tentu saja adalah sayap. Meskipun sekarang sayap
itu bisa memungkinkan burung untuk terbang jarak jauh untuk mencari makanan yang cocok
dan berlimpah. Mungkin saja sayap itu dahulu timbul sebagai adaptasi yang membantu
mereka meloloskan diri dari pemangsanya (Kimball, 1999).

Adanya bulu pada burung merupakan karakter spesifik yang menunjukkan jenis
burung. Sayap merupakan adaptasi dari burung yang jelas untuk terbang. Merupakan airfoil
yang menggambarkan prinsip aerodinamika. Sisik pada kaki burung merupakan sisa evolusi
dari reptil. Bulu adalah salah satu adaptasi vertebrata yang paling luar biasa karena sangat
ringan dan kuat. Bulu terbuat dari keratin, protein yang juga menyusun rambut dan kuku pada
mammalia dan sisik pada reptilia. Pertama kali, burung merupakan hewan yang memiliki
sayap sebagai penyekat selama evolusi hewan endoterm, setelah itu baru dimanfaatkan
sebagai peralatan terbang. Selain itu bulu juga dapat dimanipulasi untuk mengntrol
pengerukan udara di sekitar sayap (Kimball, 1999).

Bulu adalah ciri khas kelas aves yang tidak dimiliki oleh vertebrata lain. Hampir seluruh
tubuh aves ditutupi oleh bulu, yang secara filogenetik berasal dari epidermal tubuh, yang
pada reptile serupa dengan sisik. Secara embriologis bulu aves bermula dari papil dermal yang
selanjutnya mencuat menutupi epidermis. Dasar bulu itu melekuk ke dalam pada tepinya
sehingga terbentuk folikulus yang merupakan lubang bulu pada kulit. Selaput epidermis
sebelah luar dari kuncup bulu menanduk dan membentuk bungkus yang halus, sedang
epidermis membentuk lapisan penyusun rusuk bulu.Sentral kuncup bulu mempunyai bagian
epidermis yang lunak dan mengandung pembuluh darah sebagai pembawa zat-zat makanan
dan proses pengeringan pada perkembangan selanjutnya (Jasin, 1992).

Umumnya burung mengalami pergantian bulu sekali dalam satu tahun, tetapi burung
kolibri betina mengalami pergantian bulu sekali dalam dua tahun.Pergantian bulu biasanya
terjadi sebelum atau sesudah perkembangbiakan. Namun ada juga yang mengalami
pergantian bulu parsial oleh sebab tertentu. Pergantian bulu burung dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain faktor fisiologis yaitu adanya hormon tiroksin. Sempurnanya bulu setiap
spesies burung sejak menetas sampai dewasa berbeda-beda. Ada beberapa spesies burung
yang pada saat menetas telanjang /tidak memiliki bulu. Bulu pada saat menetas disebut
dengan natal plumage. Sebagian besar spesies burung memiliki jumlah bulu bervariasi pada
saat menetas, hanya beberapa deret bulu pada spesies altrical(misalnya merpati) atau
seluruh tubuh tertutup bulu pada burung precocial muda (misal ayam) (Anonymous, 2010).

Bulu adalah ciri khas kelas aves yang tidak dimiliki oleh vertebrata lain. Hampir seluruh
tubuh aves ditutupi oleh bulu, yang secara filogenetik berasal dari epidermal tubuh, yang
pada reptile serupa dengan sisik. Secara embriologis bulu aves bermula dari papil dermal yang
selanjutnya mencuat menutupi epidermis. Dasar bulu itu melekuk ke dalam pada tepinya
sehingga terbentuk folikulus yang merupakan lubang bulu pada kulit. Selaput epidermis
sebelah luar dari kuncup bulu menanduk dan membentuk bungkus yang halus, sedang
epidermis membentuk lapisan penyusun rusuk bulu.Sentral kuncup bulu mempunyai bagian
epidermis yang lunak dan mengandung pembuluh darah sebagai pembawa zat-zat makanan
dan proses pengeringan pada perkembangan selanjutnya (Jasin, 1992).

Pada bagian mulut terdapat bagian yang terproyeksi sebagai paruh ( Rostrum) yang
terbentuk oleh maxila pada ruang bagian atas dan mandibula pada ruang bagian bawah.
Pada bagian luar dari rostrum dilapisi oleh pembungkus zat tanduk dan pada
kelompok burung Neornithes tidak bergigi. Tubuhnya dibungkus oleh kulit, pada kulit
terdapat bulu yang merupakan hasil derivat epidermis menjadi bentuk yang ringan, fleksibel,
dan sebagai sebagai pembungkus tubuh yang sangat resisten (Jasin, 1992).

Burung pada umumnya mempunyai kulit yang tipis, mengandung keratin sedikit
sekali. Hubungan dengan jaringan yang ada disebelahnya tidak erat. Struktur tambahan dari
kulit ialah bulu mengalami penandukan kuat sekali. Bagian bawah kaki dan jari, ditutupi oleh
sisik tanduk yang terdapat pada Archosauria dan ini mengelupas. Paruh juga mengalami
penandukan (Djuhanda, 1983).

Burung berkembang biak dengan bertelur. Telur burung mirip telur reptil, hanya
cangkangnya lebih keras karena berkapur. Beberapa jenis burung seperti burung
maleo dan burung gosong, menimbun telurnya di tanah pasir yang bercampur serasah, tanah
pasir pantai yang panas, atau di dekat sumber air panas. Alih-alih mengerami, burung-burung
ini membiarkan panas alami dari daun-daun membusuk, panas matahari, atau panas bumi
menetaskan telur-telur itu. persis seperti yang dilakukan kebanyakan reptil.Akan tetapi
kebanyakan burung membuat sarang, dan menetaskan telurnya dengan mengeraminya di
sarangnya itu. Sarang bisa dibuat secara sederhana dari tumpukan rumput, ranting, atau batu
atau sekedar kaisan di tanah berpasir agar sedikit melekuk, sehingga telur yang diletakkan
tidak mudah terguling. (Anonimous, 2010).

Walaupun kebanyakan burung mampu terbang, terdapat beberapa spesies yang tidak
mapu terbang seperti burung penguin, unta, rea, emu, kiwi, dan lain-lain. Burung adalah
oviparous atau bertelur, kadang kala kedua pasangan akan bergilir (penguin) dan dalam
setengah spesies burung hanya burung jantan yang akan mengerami telur. Terdapat juga
spesies burung yang bertelur dalam sarang burung burung lain untuk dieramkan oleh burung
lain (Jasin, 1992).
Burung ada pula yang memiliki cakar tajam untuk mencengkram mangsanya, cakar
pemanjat pohon, cakar penggali tanah dan sarasah, cakar berselaput untuk berenang, cakar
kuat untuk berlari dan merobek mangsa. Tipe-tipe cakar ini merupakan adaptasi dari
pengaruh habitat dan fungsinya. Burung berkembang biak dengan bertelur. Telur burung
mirip telur reptil, hanya saja cangkangnya lebih keras karena mengandung zat kapur. Burung
kebanyakan mengerami telurnya, tapi ada beberapa jenis burung yang menimbunnya dalam
pasir atau sarasah seperti burung Maleo dan burung Gasong. Sebagai ganti mengerami telur
burung-burung ini mengandalkan panas bumi dan fermentasi dari sarasah/sampah yang
membusuk persis seperti yang dilakukan kebanykan reptil (Djuhanda, 1983).

Untuk mengidentifikasi burung, warna merupakan cara identifikasi utama, kemudian


dilanjutkan dengan melihat pola warna bulu-bulu burung tersebut. Pengklasifikasian lebih
lanjut perlu diketahui ukuran, keistimewaannya, ciri-ciri khusus, tingkah laku, cara terbang,
dan tempat burung tersebut ditemukan (Mackinnon et.al,1998).

2.2 Deskripsi Ciri Morfologi Burung

Burung merupakan hewan yang dikelompokkan ke dalam kelas aves. Jumlah burung
yang terdapat di dunia lebih dari 8.500 spesies burung yang tersebar di padang pasir, hutan
tropis, pantai, kebun, persawahan dan pemukiman. Burung merupakan salah satu
keanekaragan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Terdapat 1.666 spesies burung di
Indonesia. Burung termasuk hewan homoiterm yang tubuhnya ditutupi bulu dan
mempunyai sayap untuk terbang, hal ini yang menjadi keunikan yang hanya dimiliki oleh
kelas aves. Meskipun semua burung mempunyai sayap untuk terbang, namun tidak semua
burung dapat terbang. Burung yang mempunyai kemampuan terbang mempunyai tulang
dada dengan lunas besar yang dinamakan carina (Adiwibawa, 2000).
Burung adalah vertebrata yang dapat terbang, karena mempunyai sayap yang
merupakan modifikasi anggota gerak anterior. Sayap berasal dari elemen-elemen tubuh
tengah dan distal.16 Tubuh burung yang dirancang untuk terbang, dengan otot dada yang
kuat dan melengkung untuk memberikan daya angkat sayap. Perbedaan bentuk sayap
memberikan keuntungan yang berbeda untuk berbagai spesies burung. Sayap yang sempit,
berujung tajam memberikan kecepatan sedangkan elang dapat melambung tinggi dengan
sayap yang memiliki ukuran lebih panjang dari pada lebarnya (Kindangan, 2013).
Tubuh burung terdiri atas kepala, leher, badan dan ekor. Pada burung terdapat
sepasang sayap yang berfungsi untuk terbang serta kaki yang digunakan untuk berjalan.
Tungkai belakang bersisik dengan bentuk tungkai belakang dan cakar yang bermacam-macam
sesuai dengan tipe makanan dan cara hidup burung di habitatnya(Jasin,1984). Burung terdiri
dari 2 subkelas, yaitu Archaeornithes (dalam bentuk fosil) dan subkelas Neornithes (burung-
burung sejati) dengan 30 ordo (Salsabila, 1985). Fisiognomi morfologi burung dapat dilihat
pada Gambar 2.1 dibawah ini :

Gambar 2.1 Morfologi Burung (Mackkinnon,2000).

2.2.1 Morfologi Kepala


Burung memiliki bentuk kepala yang relatif kecil. Kepala memiliki bebebrapa organ
diantaranya seperti mata, hidung, paruh, da penutup telinga. Rostrum (paruh) yang terbentuk
oleh maxilla dan mandibula. Nares (hidung) terletak pada bagian lateral rostrum bagian atas.
Mata dikelilingi oleh kulit yang berbulu. Mata burung terdapat iris yang berwarna kuning atau
jingga kemerah-merahan, juga terdapat pupil yang relatif besar dibandingkan dengan
matanya, sedangkan membrane lubang telinga dalam terdapat pada sudut medial mata.
Lubang telinga luar terletak di sebelah ujung mata (Brotowidjoyo, 1989).
Morfologi kepala burung dapat dilihat pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Morfologi Kepala Burung (Mackkinnon, 2000)
2.2. 2 Morfologi Bulu

Bulu adalah struktur sangat kompleks yang hanya dimiliki burung. Bulu burung terbuat
dari bahan keratin. Burung mempertahankan bulu dalam kondisi yang baik dengan cara
teratur membersihkan, meminyaki, dan membentuk ulang bulu memakai paruhnya. Bentuk
perawatan lainnya yang dilakukan burung yaitu mencakar, mandi, dan berjemur. Bulu burung
akan rontok dan akan tumbuh kembali setahun sekali (Ensiklopedia,2010).
Bulu burung terdiri dari tiga macam yaitu bulu kontur (contour feather), bulu halus
(down feather), dan filoplum (filoplume). Bulu kontur adalah bulu yang dapat terlihat
langsung pada tubuh burung karena bulu ini terdapat hampir di seluruh tubuh burung. Bulu
halus terdapat di bawah bulu kontur yang berfungsi menjaga tubuh burung tetap hangat dari
lingkungan tempat tinggal burung, sedangkan filoplum lebih berfungsi sebagai sensor atau
indera yang tumbuh di tempat tertentu saja (Avibat, 2015).
Morfologi Bulu pada burung dapat dilihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Morfologi Bulu pada Burung (Mackkinnon, 2000).

2.3 Klasifikasi Burung


Dasar-dasar klasifikasi burung dilihat berdasarkan hal-hal sebagai berikut : (1) Persamaan dan
perbedaan spesies burung, (2) Ciri morfologi dan anatomi burung, (3) Spesies makanan dan
habitat dari spesies burung, dan (4) Kemampuan burung untuk terbang (Ensiklopedia,2010).
Klasifikasi ilmiah burung sebagai berikut:
Kigdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Class : Aves (Harshman, 2018).

Kelas aves terbagi dalam beberapa bangsa (ordo) yang dikenal baik karakteristiknya.
Ada 2 sub kelas aves yaitu sebagai berikut:
1. Sub kelas Archaeornithes (burung bengkarung)
Karakteristiknya yaitu mempunyai gigi, telah punah, hidup dalam periode Jurassaik,
metakarpal terpisah, tidak ada pigostil, tulang belakang masing-masing dengan bulu-bulu
berpasangan. Contoh spesies dari kelas Archaeornithes yaitu Archaeopteryx sp. Fosilnya
terdapat di Jerman(Dyke, 2004).
2. Sub kelas Neornithes
Karakteristiknya yaitu ada yang telah punah, tetapi ada yang termasuk burung modern,
ada yang bergigi atau tidak bergigi, metakarpal bersatu, vertebra kaudal tidak ada yang
mempunyai bulu berpasangan. Kebanyakan mempunyai pigostil, sternum ada yang
berlunas, ada pula yang rata. Mulai ada sejak zaman Kretaseus.
a. Odontognathae. Karakteristiknya bergigi, dan telah punah. Contoh: Hesperrornis dan
Ichthyornis, keduanya ditemukan di Amerika Serikat.
b. Palaeognathae. Karakteristiknya berjalan atau sedikit saja terbang, tulang sternum tidak
berlunas, tulang vomer yang berbentuk jembatan pada tulang langit-langit, tidak bergigi,
vertebra kaudal bebas, tulang korakoid dan skapula kecil (Dyke, 2004).
Ada beberapa ordo dari sub kelas Neornithes yaitu sebagai berikut:1). Ordo
Struthionifofmis. Contoh Struthio camelus, 2). Ordo Rheiformes. Contoh Rhea sp. 3). Ordo
Casuariformes. Contoh Dromaius novaehollandiae, 3). Ordo Dinonithiformes. Contoh
Dinornithidae, 4). Ordo Aepyornithiformes. Contoh Apteryx, dan 5). Ordo Tinamiformes.
Contoh Tinamus sp.
c. Impennes. Karakteristiknya sayap (anggota gerak anterior) digunakan untuk berenang,
tidak dapat terbang, metatarsus bersatu (tetapi tidak sempurna), jari-jari dengan selaput
kulit. Lapisan lemak tebal terdapat di bawah kulit, cepat menyelam, dan terdapat 20
spesies dari golongan ini. Sub kelas Impennes mempunayi 1 ordo yaitu ordo
Sphenisciformes. Contoh Aptenodytes fosteri (penguin raja), tingginya 1 meter lebih dan
mempunyai spesies penguin yang berukuran kecil.
d. Neognathae, merupakan burung-burung modern. Karakteristiknya berlunas, metatarsus
bersatu, vomer kecil, dan tidak terbentuk jembatan pada langit-langit.
Ada beberapa ordo dari sub kelas Neognathae yaitu sebagai berikut: 1). Ordo
Gaviiformes. Contoh Gavia immer, 2). Ordo Podicipitiformes. Contoh Podilymbus podiceps,
3). Ordo Procellariiformes. Contoh Diomedea exulans, 4). Ordo Pelecaniformes. Contoh
Pelecanus erythrorhynchus, 5). Ordo Ciconiiformes. Contoh Ardea herodias, 6). Ordo
Anseriformes. Contoh Anas platyrhynchos, 7). Ordo Falconiformes. Contoh Cathartes aura, 8).
Ordo Galliformes. Contoh Gallus domestica, 9). Ordo Gruiformes. Contoh Grus sp., 10). Ordo
Diatrymiformes. Contoh Diatryma sp., 11). Ordo Columbiformes. Contoh Columba livia, 12).
Ordo Psittaciformes. Contoh Rhynchopsitta sp., 13). Ordo Cuculiformes. Contoh Coccyzus sp.,
14). Ordo Strigiformes. Contoh Tyto alba,15). Ordo Caprimulgiformes. Contoh Antrostomus
vociferus, 16). Ordo Micropodiformes. Contoh Archilochus colibris, 17). Ordo Coliiformes.
Contoh Colius sp.,18). Ordo Trogoniformes. Contoh Trogon elegans, 19). Ordo Coraciiformes.
Contoh Megaceryle alcyon, 20). Ordo Piciformes. Contoh Dendrocopoc macei, 21). Ordo
Passeriformes. Contoh Corvus sp (Clark, 2016).

2.4 Keanekaragaman Burung


Keanekaragaman gen adalah keanekaragaman individu dalam satu spesies makhluk
hidup. Keanekaragaman tingkat ini dapat dilihat dengan adanya variasi dalam satu spesies.
Keanekaragaman spesies menunjukkan seluruh variasi yang terjadi antara spesies yang masih
dalam satu family. Keanekaragaman pada tingkat ekosistem terjadi akibat interaksi antara
makhluk hidup dengan lingkungan. Keanekaragaman adalah totalitas variasi gen, spesies dan
ekosistem yang menunjukkan berbagai variasi bentuk, frekuensi dan ukuran serta sifat
lainnya (Tim GBS, 2007).
Keanekaragaman burung dapat diartikan sebagai jumlah spesies burung beserta
kelimpahannya di suatu area. Keanekaragaman spesies burung berhubungan dengan
keseimbangan dalam komunitas. Tingginya indeks keanekaragaman spesies burung
mempengaruhi tingginya jumlah spesies burung dan kesamarataan populasinya. Beberapa
peneliti seperti MacArthur and MacArthur menjelaskan bahwa keanekaragaman burung akan
berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah lainnya karena dipengaruhi oleh berbagai faktor,
diantaranya keanekaragaman struktur tumbuhan dan struktur vegetasi seperti keragaman
tajuk vegetasi dan stratifikasi vegetasi, ketersediaan bunga dan buah vegetasi, gangguan
manusia serta alam, dan efek tepi terhadap komunitas (Firdaus, 2014).
Keberadaan spesies burung atau keanekaragaman spesies burung di suatu komunitas
juga ditentukan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu waktu, heterogenitas, ruang,
persaingan, pemangsaan, dan kestabilan lingkungan dan produktivitas. Hilangnya vegetasi
juga menyebabkan hilangnya sumber pakan bagi burung, sehingga akan berpengaruh bagi
keanekaragaman burung disuatu wilayah. Keanekaragaman spesies burung dapat menjadi
salah satu gambaran bagi kondisi lingkungan dan cerminan keseimbangan suatu ekosistem
(Putra, 2011)
Berdasarkan jumlah spesies burung, Indonesia menempati peringkat keempat di
dunia, setelah Kolombia, Peru, dan Brazil. Jika dilihat berdasarkan tingkat endemisitas,
Indonesia adalah negara dengan tingkat endemisitas burung tertinggi di dunia. Total jumlah
spesies burung di Indonesia tercatat sebanyak 1.666 spesies. Jumlah ini meningkat drastis
dibandingkan rilis tahun sebelumnya yang hanya 1.605 spesies burung. Penambahan hingga
61 spesies tersebut sebagian besar merupakan hasil pemisahan dari spesies yang sudah ada.
Berdasarkan penelitian terbaru, spesies-spesies tersebut memiliki perbedaan morfologi atau
pun suara sehingga diakui sebagai spesies baru (Saefullah, 2016).
Keanekaragaman spesies dan struktur komunitas burung berbeda dari suatu wilayah
dengan wilayah yang lainnya. Keanekaragaman spesies disuatu wilayah ditentukan oleh
berbagai faktor dan mempunyai sejumlah kompenen yang dapat memberi reaksi secara
berbeda-beda terhadap geografi, perkembangan dan fisik keanekaragaman spesies yang kecil
terdapat pada komunitas daerah dengan lingkungan ekstrem seperti daerah kering, bekas
kebakaran atau letusan gunung merapi. Keanekaragaman yang tinggi biasanya terdapat pada
lingkungan yang optimum, kawasan yang memiliki vegetasi hutan yang baik, sehingga
memiliki ketersediaan pakan yang baik bagi burung serta menyediakan tempat untuk
bersarang (Ali, 2008)

2.5 Distribusi Burung


Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan
maupun habitat bukan hutan seperti tanaman perkebunan, tanaman pertanian, pekarangan,
gua, padang rumput, savana dan habitat perairan (Alikodra, 2002; Syafrudin, 2011).
Penyebaran jenis burung dipengaruhi oleh kesesuaian lingkungan tempat hidup burung,
meliputi adaptasi burung terhadap perubahan lingkungan, kompetisi dan seleksi alam (Welty,
1982; Dewi, 2005; Syafrudin, 2011).
Pergerakan satwaliar baik dalam skala sempit maupun luas merupakan usaha untuk
memenuhi tuntutan hidupnya. Burung membutuhkan suatu koridor untuk melakukan
pergerakan yang dapat menghubungkan dengan sumber keane-karagaman. Penyebaran
suatu jenis burung disesuaikan dengan kemampuan pergerakkannya atau kondisi lingkungan
seperti pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat dan letak geografis. Burung merupakan
kelompok satwaliar yang paling merata penyebarannya, ini disebabkan karena kemampuan
terbang yang dimilikinya (Alikodra, 2002; Syafrudin 2011).
Kehadiran suatu burung pada suatu habitat merupakan hasil pemilihan karena habitat
tersebut sesuai untuk kehidupannya. Pemilihan habitat ini akan menen-tukan burung pada
lingkungan tertentu (Partasasmita, 2003; Rohadi, 2011). Beberapa spesies burung tinggal di
daerah-daerah tertentu, tetapi banyak spesies yang bermigrasi secara teratur dari suatu
daerah ke daerah yang lain sesuai dengan perubahan musim. Jalur migrasi yang umum
dilewati oleh burung yaitu bagian Utara dan Selatan bumi yang disebut Latitudinal. Pada
musim panas, burung-burung bergerak atau tinggal di daerah sedang dan daerah-daerah sub
Arktik dimana terdapat tempat-tempat untuk makan dan bersarang, serta kembali ke daerah
tropik untuk beristirahat selama musim salju. Beberapa spesies burung melakukan migrasi
altitudinal yaitu ke daerah-daerah pegunungan selama musim panas dan ini terdapat di
Amerika Utara bagian Barat (Pratiwi, 2005; Rohadi, 2011).

2.6 Habitat Burung


Burung dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik habitat hutan
maupun habitat bukan hutan. Menurut Welty (1982) dalam Darmawan (2006), setiap burung
yang hidup di alam membutuhkan dua kebutuhan dasar yaitu bahan dan energi. Bahan
menyediakan media untuk hidup burung, seperti udara dan daratan, sedangkan energi
didapatkan burung dari makanan dan energi matahari. Sebagai komponen habitat burung,
pohon dapat berfungsi sebagai cover (tempat berlindung dari cuaca dan predator, bersarang,
bermain beristirahat, dan mengasuh anak). Selain menyediakan bagian-bagian pohon (daun,
bunga, dan buah) suatu pohon dapat berfungsi sebagai habitat (atau niche habitat) berbagai
jenis organisme lain yang merupakan makanan tersedia bagi burung (Setiawan, Alikodra,
Gunawan, dan Darnaedi, 2006).
Faktor yang menentukan keberadaan burung adalah ketersediaan makanan, tempat
untuk istirahat, bermain, kawin, bersarang, bertengger dan berlindung. Kemampuan areal
menampung burung ditentukan oleh luasan, komposisi dan struktur vegetasi, banyaknya tipe
ekosistem dan bentuk areal serta keamanan (Muhammad, 2012). Hernowo (1985) dalam
Syafrudin (2011), mengatakan bahwa burung merupakan salah satu margasatwa yang
terdapat hampir di setiap tempat, tetapi untuk hidupnya memerlukan syarat-syarat tertentu
yaitu adanya kondisi habitat yang cocok, baik, serta aman dari segala macam gangguan.
Habitat yang baik harus dapat menyediakan pakan, air, tempat berlindung, tempat
beristirahat dan tidur malam, serta tempat untuk berkembangbiak baik ditinjau dari segi
kuantitas dan kualitas.
Habitat burung terbentang mulai dari tepi pantai hingga ke puncak gunung. Burung
yang memiliki habitat khusus di tepi pantai tidak dapat hidup di pegunungan dan sebaliknya.
Namun ada pula spesies burung-burung generalis yang dapat dijumpai di beberapa habitat.
Misalnya burung Kutilang (Pycnonotus aurigaster) yang dapat dijumpai pada habitat bakau
hingga pinggiran hutan dataran rendah (Suryadi, 2006).
Tipe habitat utama pada jenis burung sangat berhubungan dengan kebutuhan hidup dan
aktivitas hariannya. Tipe burung terdiri dari tipe burung hutan (forest birds), burung hutan
kayu terbuka (open woodland birds), burung lahan budidaya (cultivated birds), burung
pekarangan rumah (rural area birds), burung pemangsa (raptor birds) dan burung air atau
perairan (water birds) (Kurnia, 2003; Rohadi, 2011).
Menurut komposisinya di alam, habitat satwa liar terdiri dari 3 komponen utama
yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu:
1. Komponen biotik meliputi: vegetasi, satwaliar, dan organisme mikro.
2. Komponen fisik meliputi: air, tanah, iklim, topografi, dll.
3. Komponen kimia, meliputi seluruh unsur kimia yang terkandung dalam komponen biotik
maupun komponen fisik.
Secara fungsional, seluruh komponen habitat di atas menyediakan pakan, air dan
tempat berlindung bagi satwa liar burung. Jumlah dan kualitas ketiga sumber daya fungsional
tersebut akan membatasi kemampuan habitat untuk mendukung populasi satwa liar.
Komponen fisik habitat (iklim, topografi, tanah dan air) akan menentukan kondisi fisik habitat
yang merupakan faktor pembatas bagi ketersediaan komponen biotik di habitat tersebut
(Irwanto, 2006).

2.7 Makanan Burung


Makanan adalah bahan yang dimakan dan mengandung nutrisi yang diperlukan oleh
tubuh. Aktivitas harian dari perilaku mencari makan sama antara burung jantan dan burung
betina sama-sama membutuhkan banyak makanan. Burung memiliki banyak strategi untuk
mendapatkan makanannya, beberapa burung memakan hamper semua spesies makanan dan
beberapa burung hanya memakan beberapa spesies makanan saja (Sukarsono, 2009).
Ketersediaan sumber makanan yang melimpah serta keadaan hutan yang masih
sangat alami sangat berpengaruh terhadap keberadaan spesies burung dan kelimpahannya
di suatu wilayah. Peran ekologi burung sebagai pememcaran biji sangat penting bagi
kelanjutan ekosistem hutan. Biji dari buah yang dimakan oleh burung yang tidak hancur ketika
dicerna akan tumbuh dan berkembang menjadi individu baru. Hubungan timbal balik antara
tumbuhan sebagai produsen dengan konsumen yaitu burung memiliki keterkaitan yang erat
sehingga jika salah satunya mengalami kepunahan akan berpengaruh terhadap keberlanjutan
ekosistem hutan (Brayen, 2015).
Berdasarkan makanannya, burung di golongkan kedalam enam golongan, yaitu :
spesies burung pemakan daging di sebut carnivora. Spesies burung pemakan buah-buahan di
sebut burung frugifora. Spesies burung pemakan pemakan biji-bijian disebut granivora.
Spesies burung pemakan madu di sebut nektarivora. Spesies burung pemakan ikan disebut
fishcivora dan spesies burung pemakan serangga disebut insectivora (Widodo, 2006).

2.8 Peranan Burung


Burung memiliki peranan yang luar biasa dalam kehidupan, baik bagi alam (ekosistem)
maupun manusia. Burung memiliki manfaat bagi ekosistem yaitu sebagai keseimbangan
lingkungan. Keberadaan burung tidak perlu diragukan lagi, burung yang memakan serangga
dan besarnya porsi makan burung maka fungsi pengontrol utama serangga di hutan tropika
adalah burung. Seekor burung dapat memakan setiap hari kurang lebih sepertiga berat
badannya. Mulai dari lantai hutan hingga tajuk utama, serta serangga-serangga yang
berkeliaran di udara menjadi makanan burung. Suatu daerah yang memiliki kelimpahan
burung yang tinggi, maka dapat menjadi salah satu indikator bahwa kondisi lingkungan
daerah tersebut baik. Hal ini dikarenakan burung memiliki kemampuan untuk menyebarkan
biji, membantu penyerbukan, predator alami satwa lain, dan lain-lain. Burung dalam
melakukan aktivitasnya membutuhkan habitat yang baik dan memiliki cukup ketersediaan
pakan (Saefullah, 2015).

BAB III
METODE KERJA
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Lapangan Sistematika Vertebrata tentang jenis-jenis burung dilaksanakan
pada hari Minggu, 18 Novemberl 2018 yang berlokasi di Riam Eria, Kelurahan Nyarumkop,
Kecamatan Singkawang Timur, Singkawang. Pelaksanaan Praktikum Lapangan dimulai pada
pukul 06.00-07.30 WIB kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi jenis-jenis burung di
Laboratorium Zoologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Tanjungpura.

3.2 Deskripsi lokasi


Riam Eria secara administratif terletak di Desa Nyarumkop, Kecamatan Singkawang
Timur, Kota Singkawang, Propinsi Kalimantan Barat dengan letak geografis antara 00 45’17” -
01001’ 21,51” LU dan 1080 59’ 45,1” - 1090 10’19”BT. Daerah ini terletak di sisi barat
Kalimantan Barat dan terletak 145 km ke arah utara dari Kota Pontianak. Bagian timurnya
berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang. Bagian barat dan utara berbatasan dengan Laut
Natuna, sedang bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Mempawah.
Riam Eria termasuk Cagar Alam Gunung Pasi. Keadaan topografi kawasan Cagar Alam
Raya Pasi atau Objek Wisata Alam Gunung Poteng pada umumnya bergelombang, sedang
sampai berat dan bergunung dengan kemiringan 15-650. Ketinggiannya berkisar antara 150–
920 m dpl. Habitat dan Tipe ekosistem pada kawasan ini adalah tipe hutan dataran rendah,
perbukitan dan tipe vegetasi pegunungan.
Riam Eria merupakan salah satu destinasi wisata yang memiliki air yang jernih dan
besih, air riam ini berasal dari pegunungan di sekitar bukit Poteng. Secara geografis Riam Eria
tersusun atas hutan sekunder yang telah dimanfaatkan warga sekitar untuk perkebunan
Air sungai Eria sangat jernih, segar, dan bersih. Cocok untuk mandi. Anda dapat
menikmati kesegaran air Eria dengan berendam di sungai tersebut. Badan Anda yang penak,
akan terasa segar saat berendam di sungai tersebut. Air sungai tersebut berasal dari
pegunungan di sekitar gunung Poteng.
Gambar 3.2.1 Peta Lokasi

3.3 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah berupa jam digital, binokuler,
lembar pengamatan/ tally shett, alat rulis dan ebook panduan lapangan burung-burung di
Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan karangan (Mac Kinnon, Philipps, dan Van Balen, tahun
1998).
Bahan yang digunakan adalah spesies burung yang ada di lokasi praktikum.

3.4 Metode
Metode pengumpulan data dalam praktikum ini yaitu orientasi di lapangan untuk
mengenal areal penelitian, kondisi di lapangan dan titik pengamatan untuk memudahkan
pengamatan. Pengamatan burung dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan
secara langsung yaitu menggunakan metode Point Count Kondisi umum areal pengamatan
diamati dengan metode rapid assessment untuk mendapatkan gambaran secara umum tipe
vegetasi (Brower, Jerrold, and Vonende, 1990).
Pengamatan jenis-jenis burung dilakukan dengan metode titik hitung (point count)
atau IPA (Induces Ponctuel d’Abodance /indeks kelimpahan pada titik) dengan koordinat GPS
titik 1 (N 00° 51’54.27” E 109° 04’23.47) titik 2 (N 00° 51’53.00 E 109° 04’ 25.00) (Bibby, dkk.,
2000). Pengamatan burung menggunakan dua titik dilakukan secara langsung pada pagi hari
pukul 06.00- 07.30 WIB , dengan berdiam pada titik-titik yang telah ditentukan dan mencatat
perjumpaan terhadap burung. Parameter yang diukur adalah jenis burung,jumlah individu
dari tiap jenis burung.
3.5 Identifikasi
Identifikasi dilakukan dengan melihat kunci determinasi dalam buku-buku identifikasi
yang ada ada di Laboratorium Zoology Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Tanjungpura Pontianak serta melihat di ebook.

Anda mungkin juga menyukai