Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN

A. Tujuan

Tujuan praktikum pengamatan membran ekstra embrional adalah :


1. Mengenali dan menggambar morfologi membran ekstra embrional pada
vertebrata.
2. Menjelaskan fungsi membran ekstra embrional masing-masing.

B. Manfaat

Manfaat praktikum pengamatan membran ekstra embrional adalah mengenali


morfologi membran ekstra embrional serta mengetahui fungsi-fungsi membran ekstra
embrional sehingga dapat diterapkan pada bidang embriologi oleh para ilmuwan
biologi, para ilmuwan bidang peternakan serta peternak ayam petelur.

1
II. MATERI DAN PROSEDUR KERJA

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum membran ekstra embrional adalah


pinset, gelas arloji dan pensil.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah embrio mencit, embrio
mentok dan embrio kadal.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan dalam praktikum membran ekstra embrional


adalah:
1. Embrio mencit, mentok dan kadal disiapkan.
2. Membran ekstra embrional mencit, mentok dan kadal diamati.

2
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1
2

(A)

Keterangan :
Gambar (A) : Membran Ekstra Embrional pada Embrio Mentok
Keterangan Gambar :
1. Allantois
2. Saccus vitellinus
3. Yolk
4. Albumen
5. Embrio
6. Amnion

(B)

(B)

3
Keterangan :
Gambar (B) : Membran Ekstra Embrional pada Embrio Kadal
Keterangan Gambar :
1. Yolk
2. Embrio
3. Amnion

1
2

(C)

Keterangan :
Gambar (C) : Membran Ekstra Embrional pada Embrio Mencit
Keterangan Gambar :
1. Kepala
2. Plasenta
3. Embrio
4. Tangan
5. Amnion

4
B. Pembahasan

Membran ekstra embrional merupakan membran atau selaput seluler yang


dibentuk bersamaan dengan perkembangan embrio serta memiliki peran yang sangat
penting. Strukturnya dibentuk dari jaringan embrional tetapi tidak menjadi bagian
tubuh organisme pada periode setelah kelahiran ataupun penetasan. Membran ekstra
embrional memiliki peran vital dalam perkembangan embrio, yaitu sebagai sarana
untuk mengeluarkan sisa metabolisme, mentransfer nutrisi dari induk kepada embrio
dan perlindungan dari factor kimia, fisik maupun biologis (Niknejad et al., 2014).
Menurut Soeminto (2004) membran ekstra embrional berupa amnion, chorion,
allantois, dan saccus vitellinus mempunyai fungsi yang berbeda-beda yaitu:
1. Amnion merupakan membran ekstra embrional yang berguna untuk menjalankan
fungsi perlindungan terhadap embrio. Amnion yang berbentuk cairan tidak akan
terpengaruh terhadap goncangan mekanik yang berasal dari lingkungan. Cairan
tersebut juga berfungsi untuk menjaga agar fetus tidak mengalami dehidrasi saat
berada didalam kantung amnion. Amnion sendiri terbentuk dari somatopleura yaitu
gabungan antara lapisan mesoderma lateral bagian somato yang bergabung dengan
lapisan ektoderma, sedangkan menurut Bhushan et al (2015), membran amniotic
berkembang dari jaringan embrionik yang terdiri dari komponen embrio (lempeng
karionik) dan komponen indukan (deciduas). Kedua bagian ini disatukan oleh vili
karionik menghubungkannya chytotrophoblastic shell dari kantong karionik ke
desidua basalis. Membran amniochorionic membentuk bagian luar batas kantung
yang membungkus janin, sedangkan lapisan paling dalam dari kantung memiliki
tebal sekitar 10-15 mikrometer yang terdiri dari dua membran, yakni membran
amnion bagian dalam danchorion luar. Lapisan yang paling dalam dekat janin
disebut epitel amnion dan terdiri dari satu lapisan sel ang tersusun secara seragam
pada membran dasar.
2. Chorion merupakan selaput embrio bagian terluar. Bersama allantois di bawah
pori-pori cangkang respirasi (O2 ↓ CO2↑), pada sauropsida menyerap Ca untuk
rangka embrio, cangkang rapuh pada penetasan. Struktur chorion dibentuk
bersamaan dengan dengan pembentukan amnion (Nalbandov, 1976). Chorion pada
mamalia akan berdiferensiasi menjadi bagian embrional yang menusun plasenta.
Saccus vitelinus terbentuk dari splanknopleura yaitu lapisan rangkap meso dan
entoderma yang melipat ke arah ventral embrio. Dinding saccus vitelinus memiliki

5
enzim yang dapat mencerna cadang nutrisi berupa yolk dan dilengkapi dengan
pembuluh darah untuk memfasilitasi transport nutrisi ke tubuh embrio (Balinsky,
1970). Menurut Blanc et al. (2014), saccus vitellinus berfungsi sebagai sumber sel-
sel darah. Seiring bertambahnya usia embrio, saccus vitellinus akan mengecil
karena nutrisi di dalamnya telah terserap embrio. Nutrien yang mempengaruhi
bobot telur antara lain lemak dan protein, kekurangan protein akan mengakibatkan
menurunnya jumlah albumen telur, dan besar telur menjadi lebih kecil meskipun
jumlah kuning telur tetap (Kusumasari et al., 2014).
3. Saccus vitelinus merupakan membran ekstra embrional yang bertugas untuk
menyediakan nutrisi bagi embrio berupa cairan kuning telur yang lebih dikenal
dengan kuning telur. Perkembangan saccus vitellinus hanya berlangsung sementara
saja dikarenakan suplai nutrisi dari embrio pada mamalia, mencit khususnya
dilakukan oleh plasenta yang langsung berhubungan dengan induk untuk menyuplai
segala kebutuhan embrio terkait dengan nutrisi. Saccus vitellinus hilang seiring
dengan berjalannya waktu. Saccus vitellinus juga sering dikenal dengan yolk sac,
yang juga berkembang dari bagian splancno mesoderma lateral yang melipat kearah
bagian ventral. Menurut Yadgary et al. (2014), kapasitas pemanfaatan yolk sac oleh
embrio ayam dapatdipengaruhi oleh struktur perubahan pada membrane yolk sac
dan mekanismepemasangan dalam selnya untuk pencernaan, penyerapan dan
transfer nutrisi.
4. Allantois merupakan selaput embrio yang terbentuk paling akhir, bermula sebagai
evaginasi ventral dari usus belakang, tersusun oleh lapisan lembaga endoderm dan
mesoderm splanknik, serupa dengan kantung yolk, pada ayam, allantois dan korion
(korioallantois) berperan dalam respirasi melalui pembuluh-pembuluh darah
allantois, terjadi juga penyerapan kalsium melalui pembuluh-pembuluh darah
tersebut sehingga cangkang kapur akan menjadi rapuh dan hal ini memudahkan
penetasan kelak. Bagian proksimal allantois membentuk tangkai allantois yang
pangkalnyaakan tetap berada dalam tubuh embrio.bagian distal allantois
membentuk kantong yang tumbuh membesar kedalam coelom kestrel embrio, yang
hampir memenuhi rongga telur, selain itu allantois berada dibawah korion
(Syahrum et al., 1994).
Membran ekstra embrional hewan terestrial dan akuatik memiliki sedikit
perbedaan. Pisces yang merupakan hewan akuatik yang hanya memiliki kantung yolk
(saccus vitellinus), pada pisces proses embrionik dapat dikatakan sangat cepat bila

6
dibandingkan dengan aves dan mamalia, sehingga membran ekstra embrionalnya pun
sangat sederhana. Selain itu juga hewan akuatik tidak memiliki chorion karena pada
hewan akuatik chorion tidak digunakan, hal ini disebabkan karena chorion melekat
pada cangkang sedangkan umumnya hewan akuatik tidak memiliki cangkang
(Djuhanda, 1991).
Telur aves sebagai hewan terestrial dengan pisces, sebagian reptil dan amfibi
sebagai hewan akuatik memiliki perbedaan. Proses gastrulasi embrio aves mengalami
proses-proses dasar yang sama dengan gastrulasi embrio amfibi. Perbedaan paling
penting adalah dalam aves yolknya sangat banyak sehingga walaupun pada embrio
burung atau ayam terbentuk juga blastopor, tetapi tidak sebagai blastopor yang bulat
dan berlubang seperti pada amfibi. Adanya hambatan yolk yang banyak, menyebabkan
blastopor embrio ayam hanya berupa satu sayatan membujur kearah cranio-caudal
(Syahrum et al., 1994).
Membran ekstra embrional pada mamalia sebagai hewan vivipar berbeda
dengan hewan vertebrata ovipar. Aves mempunyai kantung yolk yang cukup besar
dengan kandungan yolk sangat banyak sedangkan embrio mamalia tidak mempunyai
yolk atau sangat sedikit, namun kantung yolk masih dipertahankan. Kantung yolk
berfungsi untuk membungkus kuning telur pada telur megalechital dan mamalia
bertelur (megatromata), tempat berjalannya pembuluh darah vitellin untuk menyerap
yolk. Berbeda dengan mamalia sebagai hewan yang umumnya vivipar, kantung yolk
hanya sebagai tempat berjalannya pembuluh darah. Awal perkembangan embrio ayam
menunjukkan bahwa splanknopleura dan somatopleura ke luar dari tubuh embrio
hingga di atas yolk. Daerah di luar tubuh embrio dinamakan daerah ekstra embrio.
Mula-mula tubuh embrio aves tidak mempunyai batas sehingga lapisan-lapisan ekstra
embrio dan intra embrio saling berkelanjutan (Patten, 1971).
aves memiliki allantois yang bersama-sama dengan chorion berperan dalam
respirasi melalui pembuluh darah allantois, juga berperan dalam penyerapan kalsium
sehingga cangkang kapur menjadi rapuh dan hal ini memudahkan penetasan. kantung
allantois sangat besar karena telur merupakan suatu sistem yang tertutup, maka
allantois harus memisahkan sisa-sisa metabolisme nitrogen agar tidak menimbulkan
efek toksik terhadap embrio. Sedangkan peran allantois pada mamalia
erat hubungannya dengan efisiensi pertukaran yang berlangsung pada perbatasan fetus
induk. Lapisan penyusun kantung allantois sama dengan kantung yolk, yaitu
splanknopleura yang terdiri atas endoderm di dalam dan mesoderm splankik di luar.

7
Pangkal allantois menjadi vesikula urinaria. Allantois pada mamalia umumnya tidak
berupa kantung, kecuali yang berkembang adalah mesoderm splanknik bersama-sama
dengan chorion membentuk plasenta (Effendi, 2002).

8
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Membran ekstra embrional pada embrio mencit yaitu amnion, chorion, saccus
vettelinus dan allantois serta plasenta. Membran ekstra embrional pada mentok
yaitu amnion, chorion, saccus vettelinus dan allantois. Sedangkan membran
ekstra embrional pada embrio kadal adalah amnion, embrio, dan yolk.
2. Amnion, berfungsi melindungi embrio dari dehidrasi, peleketan organ-organ
tubuh yang terbentuk. Chorion , berfungsi sebagai pertukaran gas O2, CO2 antara
embrio dengan udara. Saccus vettelinus berfungsi untuk transport nutrisi ke
tubuh embrio dan allantois berfungsi menampung sisa metabolisme embrio
terutama dalam bentuk asam urat serta plasenta berfungsi menyalurkan nutrisi
dari induk ke embrio.

B. Saran

Praktikan sebaiknya dapat melakukan pengambilan embrio mencit, kadal, dan


mentok agar lebih memahami prosesnya.

9
DAFTAR REFERENSI

Blanc, S., Ruggiero, F., Birot, A.M., Acloque, H., & Decimo, D., 2014. Subcellular
Localization of ENS-1/ERNI in Chick Embryonic Stem Cells. PLoSONE, (9)3,
pp. 6-12.
Bhushan, K. S., Singh, G., Chauhan, G., & Prakash, S., 2015. Amniotic Membrane
and Its Structure, Feature and Uses in Dentistry. International Journal of
Advanced Reaserch, (3)11, pp. 354-360.
Djuhanda, T., 1991. Embriologi Perbandingan. Bandung: Armico.
Effendi, M. I., 2002. Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Nusatama.
Kusumasari, P. D., Mangisah, I., & Estiningdriati, I., 2014. Pengaruh Penambahan
Vitamin A dan E dalam Ransum terhadap Bobot Telur dan Mortalitas Embrio
Ayam Kedu Hitam. Animal Agriculture Journal, (2)1, pp. 191 – 200.
Nalbandov, A. V., 1976. Fisiologi Reproduksi Mamalia dan Unggas. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Niknejjad, H., Peirovi, Jorjani, H., & Masoumeh., 2014. Properties of The Amniotic
Membrane for Potential Use in Tissue Engineering. Journal of HE
Unroikpneeajna Dc Eetl Lasl and Materials, (15)3, pp. 88-99.
Patten, B.M., 1971. Foundations of Embriology. New Delhi: Mc Graw-Hill Inc.
Soeminto., 2004. Embriologi Vertebrata. Purwokerto: Fakultas Biologi UNSOED.
Syahrum, M. H., Kamaluddin, & Tjokronegoro, A., 1994. Reproduksi dan
Embriologi: Dari Satu Sel Menjadi Organisme. Jakarta: FKUI.
Yadgary, L. O., Kedar, O., Adepeju., & Uni, Z., 2014. Changes in Yolk Sac
Membrane Absorptive Area and Fat Digestion during Chick Embryonic
Development. Journal of Poultry Science, (92)2, pp. 1634-1640.

10

Anda mungkin juga menyukai