Hari : Senin
Tanggal : 08 Oktober 2018
A. Tujuan
B. Manfaat
2
II. MATERI DAN PROSEDUR KERJA
A. Materi
B. Prosedur Kerja
3
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
4
2
Keterangan :
1. Amnion
2. Yolk sac
3. Albumin
5
B. Pembahasan
Membran ekstra embrional merupakan selaput/membran yang dibentuk
bersamaan dengan pembentukan embrio. Membran tersebut dibentuk dari jaringan
embrional tetapi tidak menjadi bagian dari embrio itu. Membran ekstra embrional
berperan penting dalam perkembangan embrio. Secara umum, membran ekstra
embrional berfungsi sebagai nutrisi bagi embrio, sarana pembuangan sisa-sisa
metabolisme embrio, dan pelindung dari segala sesuatu yang membahayakan embrio
(Sumarmin, 2016). Selain memasok nutrisi ke embrio, membran ekstra embrional
juga berkontribusi terhadap pola embrio awal, perkembangan jaringan janin,
hematopoiesis primitif, pembentukan pembuluh darah de novo - penting untuk
plasenta chorio-allantoic dan untuk kesehatan janin sebagai respon terhadap nutrisi
ibu (Hue et al., 2015).
Menurut Hue et al. (2015), membran ekstra embrional yaitu amnion,
chorion, allantois, dan saccus vitellinus atau yolk sac. chorion adalah bilayer dari
ektoderm dan mesoderm, sedangkan kantung kuning telur (yolk sac) dan allantois
adalah bilayer endoderm dan mesoderm. Saccuss vitellinus merupakan membran
ekstra embrio yang terbentuk paling awal dari splanknopleura dengan endoderm di
sebelah dalam dan mesoderm splanknik di luarnya (Blanc et al., 2014). Saccuss
vitellinus ini meluas di atas massa kuning telur. Sel-sel saccuss vitellinus akan
mencerna kuning telur, dan pembuluh darah yang berkembang di membran itu akan
membawa nutrien ke dalam embrio (Campbell, 2004). Berfungsi sebagai sumber sel-
sel darah. Seiring bertambahnya usia embrio, saccus vitellinus akan mengecil karena
nutrisi di dalamnya telah terserap embrio, memberi nutrisi pada embrio dan kuning
telur bekerja dalam waktu yang cukup singkat (karena fungsi kerjanya dalam
pertumbuhan berikutnya akan dilanjutkan oleh allantois) (Mulyani et al., 2015).
Amnion merupakan jaringan semi transparan tipis yang membentuk lapisan terdalam
membran ekstra embrional. Amnion berasal dari jaringan ekstra embrional yang
terdiri dari komponen fetus/embrio dan komponen maternal. Fungsi amnion antara
lain menyelubungi dan melindungi embrio dari tekanan fisik, memungkinkan
pergerakan tungkai dari tubuh embrio, melindungi embrio dari dehidrasi dan
mencegah perlekatan oran-organ yang sudah terbentuk (Syahredi et al., 2015).
Karion atau serosa adalah membran embrio yang paling luar dan berbatasan dengan
cangkang atau jaringan induk. Bersama alantois di bawah pori‐pori cangkang
respirasi (pertukaran oksidgen dengan karbon dioksida), pada sauropsida menyerap
6
Ca⁺ untuk rangka embrio, cangkang rapuh pada penetasan. Struktur chorion dibentuk
bersamaan dengan dengan pembentukan amnion dan akan berdiferensiasi menjadi
plasenta pada mamalia. Amnion bersama dengan chorion menyediakan bantalan
bagi embrio agar terlindung dari guncangan mekanis (Sumarmin, 2016). Allantois,
berasal dari pelipatan ke luar bagian abdomen ke belakang embrio. Allantois adalah
kantung yang memanjang ke dalam selom ekstra embrional. Selama
perkembangannya, allantois menekan chorion ke saccus vitellinus. Allantois
bersama chorion membentuk organ respirasi yang mendukung embrio.
Allantois berfungsi sebagai kantung pembuangan sisa-sisa metabolisme, khususnya
asam urat, yaitu limbah bernitrogen yang tidak larut dari embrio (Campbell, 2004).
Menurut kelompok kami, membran ekstra embrional pada hewan akuatik dan
hewan teresterial memiliki struktur yang berbeda. Bagian bagian dari membran
ekstra embrional hewan teresterial adalah amnion, chorion, allantois, dan saccus
vitellinus atau yolk sac serta plasenta (pada mamalia) atau dapat dikatan lengkap.
Sedangkan pada hewan akuatik tidaklah lengkap karena hanya memiliki saccus
vitellinus atau yolk sac. Maka terjadi berbagai pertanyaan mengapa pada hewan
akuatik hanya terdapat saccus vitellinus atau yolk sac. Pertama, amnion merupakan
selaput yang membungkus embrio pada hewan amniota, hewan teresterial merupakan
hewan amniota sehingga mempunyai selaput amnion. Sedangkan hewan air
merupakan hewan anamniota sehingga tidak memiliki amnion pada saat embrio hal
ini juga dinyatakan oleh Elinson et al. (2014). Kedua, selaput korion pada hewan
akuatik sudah terbentuk pada saat oosit sebelum fertilisasi, sehingga pada masa
embrio sudah tidak ada. Terakhir, allantois merupakan kantung yang berfungsi untuk
menampung urine dan asam urat yang tidak larut dalam air. Sedangkan pada hewan
akuatik urinnya berupa amonia (ammonoletik) yang larut dalam air sehingga tidak
membutuhkan allantois (Sumarmin, 2016).
Membran ekstra embrional pada hewan ovipar dan hewan vivipar memiliki
perbedaan teritama pada fungsi bagian-bagiannya. Pada hewan-hewan ovipar, korion
berfungsi sebagai pertukaran gas bagi respirasi. Pada hewan vivipar seperti mamalia,
korion tidak hanya berperan sebagai pembungkus dan respirasi saja tetapi juga dalam
nutrisi, ekskresi, filtrasi, dan sintesis hormon. Kemudian yolk sac pada hewan ovipar
berfungsi untuk membungkus kuning telur. Sedangkan pada hewan vivipar seperti
mamalia adalah tempat dari awal pembentukan sel-sel darah yang kemudian
bermigrasi menjadi embrio. Allantois menentukan limbah dalam telur hewan ovipar
7
seperti aves dan reptil, sedangkan pada hewan vivipar seperti mamalia termasuk ke
dalam tali pusat (Sumarmin, 2016).
8
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
9
DAFTAR REFERENSI
Blanc, S., Ruggiero, F., Birot, A.M., Acloque, H., and Decimo, D. 2014. Subcellular
Localization of ENS-1/ERNI in Chick Embryonic Stem Cells. PloS ONE,
9(3): 6-12.
Hue, I., Danièle E. B., Thierry, F., & Séverine, A. D., 2015. Primary Bovine Extra-
Embryonic Cultured Cells: A New Resource for the Study of In Vivo Peri-
Implanting Phenotypes and Mesoderm Formation, PLOS ONE, (1) 1, pp: 1-
20.
Mulyani, Y. W. T., Dedy, D. S., & Ridwan, A. 2015. Efisiensi Penyerapan Kuning
Telur dan Morfogenesis Pralarva Ikan Arwana Silver Osteoglossum
bicirrhosum (Cuvier, 1829) pada Berbagai Interaksi Suhu dan Salinitas,
Jurnal Iktiologi Indonesia, (3) 15, pp: 179-191.
10