PENDAHULUAN
Sumba merupakan salah satu pulau besar yang berada dalam wilayah
kepermukaan dari kedalaman laut jutaan tahun silam dan terletak diluar jalur
“Sejarah di Pulau Sumba”, secara harafiah Sumba yang juga sering disebut
Humba atau Hubba, berarti asli. Orang Sumba sendiri kerap menyebut pulau
mereka sebagai tanah humba atau tanah asli, dan memanggil diri mereka dengan
sebutan ata humba atau orang asli. Pada awalnya, meneruskan apa yang telah
dimulai sejak era kolonial, pulau ini terbagi menjadi 2 kabupaten yaitu kabupaten
Sumba Barat dengan Ibu Kota Waikabubak, dan Kabupaten Sumba Timur yang
beribukota Waigapu. Lalu di tahun 2007 Kabupaten Sumba Barat mekar lagi
pacuan kuda/njara. Apa lagi dengan adanya tujuh kampung adat yang masih ada
hingga saat ini, diantaranya Kampung Adat Praigolli, Kampung Adat Waikawolu,
Kampung Adat Waiwuli, Kampung Adat Ubu Bewi, Kampung Adat Kabba,
1
Kampung Adat Wai Galli, Dan Kampung Adat Koduku. Selain itu juga terdapat
enam pantai berpasir putih, yaitu Pantai Rua, Pantai Nihi Watu, Pantai Pawihi,
Pantai Lai Liang, dan Pantai Teitena dengan satu air terjun Lai Popu dan satu
taman nasional Manu Peu serta sebuah sungai sepanjang 80 kilometer yang
Sumba ke-njara-an telah menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dari
Sumba melibatkan perlunya eksistensi kuda. Dengan kata lain, kuda menjadi
entitas budaya yang berharga di mata masyaraka Sumba. Perlunya eksistensi kuda
Peristiwa pacuan kuda merupakan suatu peristiwa adat yang memanfaatkan kuda
yang memeragakan kegiatan berperang dengan saling melempar tombak dari atas
tersebut diselenggarakan.
2
Sumba. Dengan kata lain terdapat banyak bahasa dalam bentuk leksikon yang
Pertunjukkan pasola hanya merupakan salah satu dari aspek yang memiliki
kaya akan makna. Secara sintaksis, Pasola berkategori nomina dan secara
semantis merupakan label untuk suatu perisitiwa adat masyarakat yang menjadi
salah satu bentuk budaya unik yang merefleksikan konsep entitas kuda dalam
masyarakat lain.
dipakai dalam peperangan, penentu status social bahkan memiliki nilai ekonomis
yang tinggi. Dalam budaya, njara ‘kuda’ merupakan symbol yang penting dalam
adat perkawinan dan symbol kendaraan untuk orang mati dalam adat kematian.
Kepahlawanan. Selain digunakan untuk acara adat, kuda/njara dalam dunia kain
tenun juga biasa digunakan dalam keseharian. Di daerah Sumba Barat masih
banyak ditemukan orang yang memakai aksesori itu. Dalam keseharian pria
dewasa di Sumba, selalu ada kain yang dililitkan di kepala dan pinggang.
Aksesori tersebut mereka pakai dalam berbagai kesempatan, mulai dari pergi ke
3
biasanya terselip di kain yang melilit pinggang dan selalu mereka bawa ke
manapun, meski tidak sedang berkebun atau mengikuti acara adat. Sepertinya
merupakan sebuah kebanggaan bagi pria Sumba untuk mengenakan dua lembar
kenjara-an masyarakat Sumba memiliki nilai etis yang ilmiah bila dikaji dengan
balik serta interdepensi antara bahasa dan manusia serta manusia danaspek
terkait satu sama lain. Manusia dalam menjalani kehidupannya tidak akan terlepas
dari pengaruh sosial, budaya, dan lingkungan alam dan semuanya itu membangun
pola pikir atau ide setiap manusia terhadap keberadaannya dalam lingkungan yang
Dan hal inilah yang menjadikan penelitian tentang bahasa dan lingkungan ini
4
mulaibanyak menarik perhatian para mahasiswa untuk mengkaji lebih dalam
suku. Tiap sukumempunyai tradisi dan adat istiadat yang merupakan kekayaan
bangsa. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan arus modernisasi, terjadi
perubahan baik di lingkungan ragawi dan lingkungan sosial. Tradisi dan adat
istiadat serta bahasa sebagai ciri utama keberadaan suku bangsa Indonesia
tempat bahasa itu hidup seperti manusia, lingkungan alam, dan lingkungan sosial
bahasa(Desriani, 2016). Berbicara mengenai daya hidup bahasa, tiada lain adalah
budaya generasi penerus sesuai dengan ruang dan lahan fungsionalnya dalam
kehidupan. Bahasa yang hidup dalam hal ini bukan hanya bahasa yang berada
dalam pikiran atau kognisi, tetapi juga bahasa yang berwujud performansi yang
tersebut telah dilakukan. Kajian pustaka yang pertama dimuat dalam penelitian ini
5
yakni: Penelitian oleh (Sukhrani, 2010) berjudul “Leksikon Nomina Bahasa Gayo
Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik. Penelitian ini
menggunakan teori ekolinguistik dialektikal oleh (Bang & Door, 1993). (Rana, I
Wayan, & Binawati, 2013) menulis artikel yang berjudul Pengetahuan Tanaman
Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Sebuah
Dalam kajian lainnya sudah dikaji namun hasilnya berbeda dengan kondisi
kata lain Jagalimu hanya mengkaji pada bagian budaya pertunjukkan pasola
6
perspektif ekolinguistik. Secara spesifik, kajian ini meniti beratkan pada telaah
tentang bentuk leksikon yang memiliki hubungan erat dengan entitas ke-njaraaan
bentuk dan kategori gramatikal dari setiap leksikon yang ada dalam lingkup
budaya ke-njara-an serta mengungkap makna kultur, makna filosofis, serta makna
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang, masalah yang akan diteliti
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Masing-masing dijabarkan berikut ini.
7
1.3.1 Tujuan Umum
Manfaat penelitian ini merupakan uraian tentang temuan baru yang akan
diteliti dalam pelaksanaan penelitian. Manfaat penelitian ini juga terdiri dari
8
berhubungan dengan teori dan pengembangannya terkait dengan hal tersebut.
dalam aspek ekologi dan budaya, khususnya hubungan antara manusia dengan
lingkungan lainnya.
bentuk, fungsi, dan makna dari budaya ke-njaraa-n untuk kemudian dapat
2. Bagi pembaca hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman tentang memahami
itu, pembaca juga diberi pengetahuan baik tentang bahasa maupun budaya
Sumba.
9
3. Bagi dunia pendidikan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan ajaran untuk
10
BAB II
PENELITIAN
proposisi, konsep, atau pendekatan baru yang ada hubungannya dengan penelitian
dalam penelitian ini. Meskipun berbeda nama, namun penelitian tersebut secara
sistematik memiliki kesamaan yaitu menggunakan teori yang sama yaitu teori
semiotik.
11
ekolinguistik.Penelitian Sukhrani mengungkap keberadaan leksikon nomina
bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik.
Penelitian yang dilakukan oleh Sukhrani ini berbeda dengan penelitian ini
karena penelitiannya mengkaji Bahasa Gayo dalam lingkungan danau Lut Tawar,
Selain itu penelitian relevan yang lain juga pernah dilakukan, yaitu yang berjudul
teori ekolinguistik dialektikal (Bang & Door, 1993). Objek penelitian ini adalah
meskipun teori yang digunakan dalam penelitian ini dan penelitian yang dilakukan
(2013) adalah khazanah verbal kepadian komunitas tutur bahasa Kodi, sedangkan
penelitian ini menggunakan objek penelitian leksikon metaforis dalam teks Maena
12
pada Komunitas Remaja di Bali: Sebuah KajianEkolinguistik” telah dilakukan
bentuk, fungsi dan makna tanaman obat tradisional (Rasna dkk., 2013). Dalam
tanaman obat tradisional untuk penyakit anak. Artikel ini kurang jelas memuat
teori ekolinguistik yang digunakan, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa artikel
penelitian yang ditulis Rasna dkk. (2013) tentang kajian ekolinguistik memiliki
Haugen danteori semantik leksikal oleh Parera. Objek penelitian yang digunakan
Renjaan (2014) adalah ekoleksikal kelautan guyub tutur bahasa Kei. Berdasarkan
berbeda dengan penelitian ini dalam hal teori yang digunakan dan objek penelitian
yang dikaji.
13
Using: Kajian Ekolinguistik. Penelitian Sarmi didasarkan pada perspektif
Selain itu satu kajian ilmiah lain dilakukan untuk mengkaji beblabadan
bahasa Bali, yakni oleh Rajistha (2016) berjudul “Beblabadan Bahasa Bali Dalam
ekolinguistik oleh Bang dan Døør. Rajistha (2016) juga melakukan penelitian
sebagai teori paying dalam penelitiannya. Adapun perbedaan utama dari kedua
penelitian ini yakniterletak pada lokasi dan bahasa yang dikaji. Adapun tiga
temuan dalam analisisyang dilakukan oleh Rajistha yaitu (1) Kategori gramatikal
sebagai bawang) dannomina seperti Jaka (pohon enau); (2) Konstruksi sintaksis
antara lain frasanomina seperti base wayah (seperti daun sirih tua), frasa verba
seperti mabawangputih (seperti bawang putih), dan klausa seperti ental magulung
(daun lontar di gulung); dan (3) Dimensi praksis sosial dari beblabadan (metafora)
14
terhadap pertunjukan pasola di Desa Waihura Kecamatan Wanokaka Kabupaten
Sumba Barat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kosat (2017) yang berjudul
“Khazanah Leksikon Pendirian Uma Bokolo Guyub Tutur Bahasa Kodi, Sumba
Barat Daya”.
diteliti dan dibahas dengan menggunakan kajian ekolinguistik masih belum ada,
untuk mengkaji penelitian tentang leksikon yang berhubungan dengan budaya ke-
njara-an masyarakat Sumba. Beberapa yang akan menjadi fokus telaah penelitian
ialah jenis leksikon, kategori gramatikal dari setiap leksikon itu, “Leksikon dalam
tujuan analisis ini, dalam mengkaji struktur atau kategori gramatikal leksikon
yang berkaitan erat dengan budaya ke-njara-an teori ekolinguistik Haugen (1972)
dasar rujukan empiris tentang konsep yang dikaji, sehingga apabila ditemukan di
lapangan dapat dijadikan gambaran yang tepat tentang kosep tersebut sehingga
konsep dapat diamati dan diukur. Ada beberapa konsep yang berkaitan dengan
2.2. Konsep
Konsep merupakan hasil abstraksi dan sintesis dari teori yang dikaitkan
15
memecahkan masalah penelitian. Konsep memberikan batasan terhadap
terminologi teknis yang merupakan komponen kerangka teori. Hipotesis (bila ada)
memiliki pengertian yang sama seperti pada usulan penelitian kualitatif. terkait
dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, beberapa konsep yang perlu
Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya Gunung Wanggameti (1.225
m). Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut,
Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara. Selat Sumba terletak di
utara pulau ini. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak
di sebelah selatan dan barat. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten:
tersebut juga terdapat bandar udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan
dikuasai oleh bangsa manapun. Sejak 1866, pulau ini dikuasai oleh Hindia
Belanda dan selanjutnya menjadi bagian dari Indonesia. Masyarakat Sumba secara
rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid. Sebagian besar
16
protestan maupun katolik. KaumMuslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di
pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata).
Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan
2.2.2 Leksikon
(diversity) itu tidak dapat dilepaskan pula dengan dimensi interelasi, interaksi, dan
interdependensi.
salah satunya adalah Elson dan Pickett (1987: 1) mendefinisikan leksikon sebagai
kosakata suatu bahasa atau kosakata yang dimiliki oleh seorang penutur bahasa,
atau seluruh jumlah morfem atau kata-kata sebuah bahasa. Kata-kata yang
dimaksudkan oleh Elson dan Picket (1987) bukanlah katakata yang hanya
17
mengandung makna secara terpisah, melainkan maknanya dipengaruhi oleh
nyata dapat ditemukan secara empiric (lih. Verhaar, 2006: 389); kata-kata yang
sosial.
sebagai sebuah istilah yang mengacu pada kamus mental dan aturan-aturan
gramatikal tentang bahasanya yang harus dimiliki oleh penutur suatu bahasa.
yang mengandung informasi tentang ciri-ciri kata dalam suatu bahasa, seperti
perilaku semantis, sintaktis, dan fonologis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa;
komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian
kata dalam bahasa; (2) kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis,
atau suatu bahasa; kosakata; perbendaharaan kata; (3) daftar kata yang disusun
seperti kamus tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis. Konsep leksikon
yang digunakan dalam kajian ini adalah leksikon menurut Kridalaksana maka
dalam kajian ini diterapkan konsep leksikon yang dikemukakan oleh Kridalaksana
(1985) karena leksikon yang dimaksud dalam kajian ini adalah sejumlah daftar
18
kata-kata tentang lingkungan alam yang disertai dengan penjelasannya dan juga
2.2.3 Makna
operasional yang komponen kerangka teori yang tidak terpisahkan dari semantik
dan selalu dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri
sebuah kata atau ungkapan yang menunjukkan hubungan dari kata atau ungkapan
tersebut dengan situasi nyata yang ditunjuk. Istilah makna merupakan kata-kata
dan istilah yang membingungkan karena makna tersebut selalu menyatu pada
tentang hubungan antara simbol dan rujukan yang dari sebuah, kata, klausa
maupun ujaran.
2.2.4 Kenjaraan
yaitu dengan cara bisa mengangkut barang atau bisa juga membawa orang kemana
saja tujuannya. Konteks yang dimiliki ke-njara-an atau kuda ada beberapa macam
19
anmemiliki ciri dan karakter masing-masing terutama perihal isi teks ke-njara-an
aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara
perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat adalah suatu
Upacara adat yang dilakukan di daerah, sebenar- nya juga tidak lepas dari unsur
sejarah.
pada aturan berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara
yang dilakukan secara turun temurun yang berlaku di setiap daerah masyarakat
sumba. Upacara adat yang dilakukan masyarakt sumba tidak lepas dari unsur
sejarah.
Penelitian ini dilakukan atas dasar eksistensi budaya ke-njaraa-an dan atas
batas-batas kajian pustaka yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Selain
itu untuk mewujudkan tujuan analisis dalam penelitian ini, beberapa teori yang
20
ekolinguistik dan teori relasi makna. Untuk mengkaji leksikon budaya ke-njaraan
untuk mengkaji relasi makna leksikonnya, teori relasi makna yang dikemukakan
oleh Soedjito (1990) akan digunakan. Berikut mengenai kedua teori ini diuraikan.
lingkungan yaitu manusia sebagi pengguna bahasa dan lingkungan alam. Menurut
Haugen, ekologi bahasa adalah interaksi antara bahasa yang sudah ada dengan
sosiolinguistik.
ekolinguistik, yakni (1) ideology: bahasa hanya ada dalam pikiran para
penuturnya, dan akan berfungsi jika para penuturnya berhubungan satu sama lain
secara alami sebagaimana dalam lingkungan sosial dan alamiah mereka, (2)
psikologis: hubungannya dengan bahasa lain dalam pikiran penutur bilingual atau
Mekanisme kerja dari ketiga komponen ini diramu oleh Warami (2013:5)
21
Bagan 1. Trilogi Haugen (1972)
oleh Fill dan Mushlhausler (2001:1) dan Mbete (2011), yakni (1)
ragawi dan sosial), (3) diversity (keberagaman bahasa dan lingkungan). Ketiga
parameter penelitian ekolinguistik ini diramu oleh Warami (2013:6) seperti yang
yang terdapat di dalam dunia realitas. Karena konstruksi psikologis tidak memiliki
secara khusus. Kerangka acuan itu berbeda dari orang atau kelompok lain bahkan
dengan orang yang seguyub tutur (speech community). Realitas, struktur sosial,
22
dan cara hidup bervariasi antar guyub tutur. Medan makna mencerminkan
perbedaan ini, kendati di antaranya tidak selalu relevan lagi dalam masyarakat
misalnya, membekali kita dengan sejumlah besar hasil rakitan kebahasaan dengan
Ada beberapa parameter atau dimensi yang juga bertolak dari parameter
makna lingual. Menurut Mbete (2011), dimensi atau parameter itu adalah
baik alam maupun masyarakat bahasa dengan budayanya. Seperti yang dinyatakan
Derni (2008) bahwa ekolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dengan
budaya erat kaitannya dengan ekologi, di mana bahasa dan budaya tersebut di
tuturkan. Namun sayangnya, ada hal lain seperti bahasa daerah yang belum
23
2.3.2 Relasi Makna
pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata).
Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan
hubungan dialektikal antara bahasa dan praksissosial. Konsep praksis sosial dalam
konteks ini mengacu pada semua tindakan,aktifitas dan perilaku masyarakat, baik
bagian dari kritis, linguistik terapan yang terkait dengan cara-cara dimana bahasa
dan ilmu bahasa terlibat dalam krisis ekologis’. Lebih lanjut (Bundsgaard, 2000)
24
menjelaskan ekolinguistik atau ekolinguistik dialektikal berdasarkan sudut
ideology yang dikembangkan oleh Bang dan Døør, merupakan ilmu yang
ideologis dari bahasa. Ketiga dimensi ini merupakan ekologi atau lingkungan dari
khazanah pengetahuan leksikon dan ungkapan, tuturan atau wacana, sitem fisik
yang berupa unsur-unsur material baik biotik maupun abiotik seperti air, udara.
Setiap pengetahuan kognitif baik berupa leksikon, ungkapan dan teks memiliki
pernah mereka dengar dalam situasi dialogikal /percakapan dalam praksis sosial
adanya pengetahuan yang terekan dalam masyarakat yang jika diujarkan, maka
akan masuk ke dalam lingkungan sosiologikal dan akan menghilang ketika tidak
25
dituturkan lagi, atau yang dekenal dengan sebutan neologisme. Dimensi biologis
yaitu dimensi mengenai keberadaan kita secara biologis yang bersanding dengan
maupun benda mati seperti air, batu, pasir, dan lautan (Bundsgaard, 2000).
adalah bahwa kajian terhadap bahasa berartipula kajian terhadap praksis sosial,
dan dengan demikian teori bahasa adalah juga teori praksis sosial. Untuk itu,
dimensi ideologis, dimensi sosiologis dan dimensi biologis dalam bahasa. Ini
merupakan inti teori dialektikal, yang kemudian melahirkan empat model kajian
matriks semantik,dan model kontradiksi inti (Døør, 1993). Dari keempat model
ekolinguistik ini, model yang pertama yakni model dialog, yang akan dibahas
dalam penelitian ini untuk menggambarkan dimensi praksis sosial dalam leksikon
Kerangka teori dari tiga dimensi praksis sosial (ideologis, sosiologis, dan
ekolinguistik merupakan bagian dari budaya, formasi sosial serta praksis. Konsep
praksis sosial dalam aliran Odense mengacu kepada aktivitas sosial manusia yang
dianggap merupakan proses yang memiliki makna dan didasarkan pada nilai-nilai
dalam konsep ini bahasa dianggap sebagai bagian dari aktivitas sosial yang
sekaligus berfungsi menginformasi atau mengritik praktis sosial. Oleh karena itu,
26
setiap perubahan yang terjadi didalam penggunaan bahasa sekaligus
Praksis sosial ini terdiri atas kontradiksi-kontra diksi inti yang membatasi
yang diacu atau masalah yang dibicarakan,dan satu konstituen lain yang bisa saja
tidak berada dalam situasi dialogis tetapi turut menentukan jalannya komunikasi,
yaitu S1,S2,S3, dan O terjadi dalam topos (ruang,tempat, dan waktu) dengan latar
belakang tiga dimensi praksis sosial yaitu dimensi idiologis, dimensi sosiologis,
dan dimensi biologis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa S1 merupakan pembuat teks,
berada dalam situasi dialog, dan O merupakan objek yang dirujuk dalam
27
2.5 Model Penelitian
Ekolinguistik
Leksikon
Ke-njara-an Sumba
Temuan
Penelitian
28
BAB III
METODE PENELITIAN
tidak terlepas dari kehidupannya yang memberikan keunikan yang khas, termasuk
pada aspek kebahasaan, oleh sebab untuk dapat mencapai tujuan tersebut desain
metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu
sosial yang terealisasi pada penggunaan bahasa dalam lingkup budaya ke-njara-an
yang kemudian ditranskripsikan dalam bentuk data tulis yang diperoleh dari
29
wawancara dan juga data tulis yang diperoleh dari cerita rakyat masyarakat
Sumba.
Sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena
ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan
dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh (Sutopo, 2002). Sumber data
dalam penelitian ini adalah informan, yaitu masyarakat Sumba. Informan akan
dipilih berdasarkan beberapa kriteria, yaitu: (1) berjumlah tidak kurang dari 5
orang; (2) penutur asli bahasa Sumba; (3) berumur 25-60 tahun; dan (4)
setidaknya pernah terlibat pada kegiatan budaya ke-njara-an. Data juga dapat
Sumba yaituke-njara-an, seperti teks-teks yang berisi cerita rakyat dan penelitian-
penelitian di bahasa Sumba yang relevan yang dikaji, baik dalam kaitannya
mengumpulkan data. Namun ada tambahan instrumen yang juga digunakan untuk
(android). Hape genggam dipilih karena memiliki aplikasi kamera yang dapat
digunakan untuk membuat fotograf dan rekaman video dengan hasil yang
maksimal (tidak buram) dan juga mampu merekam suara secara serempak ketika
30
melakukan perekaman video yang digunakan pada saat wawancara dengan
informan.
pada budaya ke-njara-an. Selain itu wawancara juga dilakukan untuk mencari
dari satu informan ke informan lain. Untuk menunjang kelancaran dan keterarahan
berisi beberapa pokok pikiran utama berkaitan dengan budaya kenjara-an. Daftar
luar lingkup masalah yang diteliti. Metode dokumentasi juga akan diterapkan
menggunakan android. Fotograf akan dijadikan salah satu bahan yang disajikan
tentang penjelasan dan pengintepretasian hasil analisis data. Ada dua cara kategori
foto yang dihasilkan orang lain dan foto yang di hasilkan oleh peneliti
sendiri(Bogdan & Biklen, 1982). Semua yang diuraikan diatas pada umumnya
31
memberikan gambaran tentang foto sebagai data atau pendorong ke arah
menghasilkan data. Pada umumnya foto tidak dilakukan secara tunggal untuk
menganalisis data.
urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian
dasar. Sedangkan menurut Bogdan & Taylor(1975), analisis data sebagai proses
yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan
hipotesis (ide) seperti yang di sarankan dan sebagai usaha untuk memberikan
data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan
komentar peneliti, gambar, foto, dokumen, berupa laporan, biografi, artikel, dan
sebagainya.
perekamanan telpon seluler atau video call whatsapp, dan analisis data.
Transkripsi adalah kegiatan yang terdapat dalam ke-njara-an atau kuda dan
hubungannya dengan kain tenun Sumba yang telah direkam, di tuangkan dalam
bahasa tulis atau dalam bentuk lisan dan tulisan untuk diarsipkan. Pengarsipan ini
disertai dengan identitas informan yang meliputi (1) nama; (2) umur; (3) jenis
kelamin; (4) pekerjaan; (5) bahasa yang dikuasai; dan (6) alamat pada bagian
kanan atas.
analisis triangulasi untuk memperoleh hasil wawancara dari tokoh adat atau
32
sejarawan, ahli kebudayaan, dan hasil pengamatan. Jenis metode yang dipakai
Triangulasi. Triangulasi adalah salah satu cara mengecek keabsahan data. Ini
digunakan untuk mengecek kebenaran dan penafsiran data yang diperoleh melalui
observasi, pencatatan, rekaman dari hasil wawancara dan rekaman foto, sehingga
data ini sifatnya ganda. Pengambilan data dilakukan terhadap lebih dari satu orang
Pengambilan data dilakukan pada sejumlah sumber data yang berbeda-beda, data
dianggap valid bila jawaban sumber data yang satu sesuai atau sama dengan
Hasil penyajian dalam penelitian ini disajikan dengan metode formal dan
informal. Metode formal digunakan untuk menyajikan hasil analisa data yang
berupa leksikon kuda dan hubungannya dengan kain tenun Sumba, sedangkan
metode informal digunakan untuk menyajikan hasil data yang berupa paparan
kata. Melalui penyajian hasil analisis data secara informal dan formal tersebut,
maka hasil penelitian tentang leksikon kuda dan hubungannya dengan kain tenun
33
BAB IV
EKOLEKSIKON KE-NJARA-AN MASYARAKAT SUMBA
4.1 Pengantar
Seperti yang dijelaskan pada bagian pendahuan dan bagian metode penelitian
bahwa penelitian ini dilakukan untuk mengkaji leksikon yang berkaitan tentang
budaya ke-jara-an masyarakat Sumba, beberapa hal yang terkait dengan lokasi,
tentang objek kajian utama dan rumusan masalah penelitian ini. Beberapa hal
memiliki kaitan tentang penelitian ini secara holistik, seperti informasi tentang
lokasi penelitian, subjek penelitian, dan objeknya. Dengan kata lain, sajian yang
diuraikan pada bab ini tidak hanya meliputi leksikon-leksikon tentang ke-njara-an
masyarakat Sumba.
merupakan tuturan berbentuk lisan dan tulisan. Cerita rakyat yang ditulis pada
(1) masyarakat asli Sumba Barat Daya; (2) tinggal di Sumba; (3) berumur dari 25
hingga 50 tahun; (4) memiliki pemamahan dan pengalaman yang banyak tentang
budaya ke-njara-an masyarakat Sumba Barat Daya; (5) merupakan penutur asli
bahasa Sumba Barat Daya; dan (6) sering mengikuti acara-acara yang melibatkan
njara ‘kuda’, seperti Pertunjukkan Pasola, Pacuan Kuda, dan pernikahan adat
34
masyarakat Sumba, atau oleh masyarakat setempat disebut Pinda Ikat. Informan
http://derosaryebed.blogspot.com/2011/11/wee-wini-dan-legenda-sebuah
kampung.html, yang ditulis oleh Penulis: Baktiar. Cerita rakyat tersebut dijadikan
termasuk fungsi dan nilai budaya serta sosial bagi masyarakat setempat yang
terkandung dalam eksistensi kuda. Selain itu teks-teks dalam cerita rakyat juga
dijadikan sumber yang memberi pemahaman tentang eksistensi kuda dan fungsi
hal-hal tentang njara (kuda) yang dalam bahasa latinnya disebut dengan Equus
yang memberi gambaran bahwa adanya hubungan yang kaya makna antara
atau kuda ada beberapa macam umumnya. Ke-njara-an dilaksanakan pada acara-
acara yang bersifat sukacita seperti pada upacara padiki naminne ‘perkawinan’,
35
konteks pelaksanaan ke-njara-an memiliki ciri dan karakter masing-masing
terutama perihal isi teks ke-njara-an ketika ada upacara adat maupun upacara
perkawinan.
momen kelahiran hingga kematian. Kuda Sandelwood selalu ada dalam setiap
nafas orang Sumba. Seluruh hidup orang Sumba dari lahir sampai mati tidak
terlepas dengan kuda, kuda itu kekuatan, dia simbol ketangkasan, jadi semuanya
dilambangkan dengan kuda. Kuda (Equus caballus) juga dijadikan bekal kubur.
Bagi orang Sumba, kuda itu harga diri. Dalam perspektif ekolinguistik, parameter
Terdapat sejumlah leksikon yang berkaitan dengan njara ‘kuda’ dan ke-
njara-an, yang merupakan salah satu dari sekian banyak item dan simbol budaya
dari nama-nama bagian internal dari entitas njara, hingga pada hal-hal atau
Entitas yang berada di luar njara yang dimaksud di sini ialah entitas-entitas yang
36
mempergunakan kuda tersebut dalam berbagai kegiatan, yang memberi nilai
kultural dan manfaat yang tidak terbatas, hingga sebuah ideologi tentang njara
disajikan.
37
29 Karawa Memelihara √
30 panga’awi memberi makan √
31 rahi njara hiasan kepala √
32 bukku njara leher kuda √
33 welli ranga belis berupa kuda √
34 Ruta Rumput √
35 Parengga penjemputan √
36 njara mane kuda jantan √
37 bei njara kuda betina √
38 njara kaka kuda putih √
39 njara mette kuda hitam √
40 ndara koni kuda belang √
41 ana njara anak kuda √
42 ndara kalada kuda besar √
43 ndara tale rara kuda yang diikat tali kuning √
44 njara jaga kuda yang kokoh √
dewa njara rara ura ahu arwah yang punya karisma
45 √
kaka
46 ndara pakklete kuda untuk bekal mati √
47 Loko Sungai √
48 Gallu Kandang √
49 Maradda padang rumput √
50 Weemahi Pantai √
51 kalete ndara menunggang kuda √
52 ghughu ndara sepatu kuda √
53 palu ndara cemeti kuda √
54 kalita ndara kulit kuda √
Njara madewa Kuda sehidup semati
55. √
Loddo ndua Hari baik/mengamati bulan
56. √
memiliki kaitan erat njara ‘kuda’ dan kehidupannya. Secara sintaksis ke-56
leksikon tersebut memiliki kategori gramatikal nomina atau frasa nomina dan
nomina dan yang lainnya berkategori gramatikal verba. Seperti yang tampak pada
38
tabel tersebut, terdapat leksikon yang terdiri lebih dari satu kata, tetapi dalam
analisis ini dikelompokkan berdasarkan nomina atau verba. Oleh karena itu frasa
yang berinti nomina digolongkan sebagai nomina dan frasa yang berinti verba
Selain itu, seperti yang telah dinyatakan di atas bahwa ke-56 leksikon
memiliki kaitan erat dengan kuda, itu berarti masih terdapat sejumlah leksikon-
leksikon lain yang juga berhubungan dengan njara ‘kuda’ tetapi kaitannya dengan
fungsi kuda dalam ke-njara-an masyarakat tidak terlalu dekat. Dengan kata lain
leksikon yang disajikan pada tabel 4 adalah leksikon yang kaitannya dengan kuda
erat ialah leksikon yang referennya berhubungan dekat dengan budaya njara bagi
masyarakat Sumba.
Sumba Barat Daya berdasarkan jumlah total dan kategori gramatikalnya. Pada
bagian berikut, bentuk, makna, dan fungsi dari setiap leksikon tersebut diuraikan
satu per satu. Bentuk-bentuk yang dimaksud meliputi bentuk gramatikal, masing-
masing leksikon termasuk bentuk dasar atau bentuk turunan. Makna leksikal,
makna sosial, serta makna kultural dari setiap leksikon tersebut juga dijelaskan.
tersebut. Selain itu fungsi dari setiap leksikon mencakup fungsi kultural dan sosial
yang selalu direalisasikan oleh masyarakat Sumba Barat Daya dalam komunikasi
39
Khazanah verbal dalam wujud ekoleksikon yang secara semantik terkait
Khazanah verbal yang tergolong biotik dan abiotik dalam ekoleksikon ke-njara-an
Leksikon tersebut mengacu pada hewan yang bertubuh besar dan berkaki empat.
Referen dari leksikon tersebut meliki fungsi sebagai hewan piharaan dan memberi
manfaat bagi masyarakat secara umum, misalnya sebagai alat transportasi yang
membantu manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Selain itu kuda
Bagi masyarakat Sumba, fungsi kuda tidak hanya sebatas itu. Njara atau kuda
memiliki fungsi spesifik yang bernilai kultural, yang mana, kuda dimanfaatkan
beberapa aspek lain kehidupan masyarakat Sumba, kuda memiliki fungsi yang
sama, yakni sebagai simbol kultur yang telah menjadi salah satu warisan kearifan
lokal dari nenek moyang masyarakat Sumba yang dipelihara secara turun-
temurun.
40
2. Mara’i Ndara ‘kening kuda’
berbentuk turuna karena diperoleh dari dua bentuk lingual, yaitu mara’i ‘kening’
dan ndara ‘kuda’. Kedua leksikon ini digunakan untuk mendeskripsikan bagian
depan atas di kepala kuda. Dengan kata lain bentuk tersebut digunakan untuk
diperoleh dari korru ‘hidung’ dan njara ‘kuda’, dan berkategori frasa nomina dan
berbentuk turunan. Bentuk tersebut merupakan dua jenis leksikon yang digunakan
untuk menamai bagian tubuh kuda yang berfungsi untuk mencium dan secara
41
biologis melakukan kegiatan respirasi. Dalam kegiatan memanfaatkan kuda
Nama bagian tubuh yang lain dari kuda ialah mata njara ‘mata kuda’.
Leksikon tersebut terdiri dari dua bentuk lingual, yakni mata ‘mata’ dan njara
‘kuda’. Kategori gramatikal dari bentuk tersebut ialah frasa nomina dan bentuk
Katilu njara ‘telinga kuda’ ialah leksikon lain yang digunakan untuk
menamai bagian tubuh kuda. Bentuk tersebut termasuk kategori frasa nomina dan
berbentuk turunan. Hal itu karena bentuknya diperoleh dari dua bentuk lingual,
yakni nomina katilu ‘telinga’ dan nomina njara ‘kuda’. Leksikon tersebut
digunakan untuk menamai bagian tubuh kuda yang berfungsi sebagai mendengar.
Bagian tubuh kuda yang lain ialah kaki. Pada masyarakat Sumba bagian
tubuh kuda tersebut diberi nama wa’i njara ‘kaki kuda’. Bentuk itu diperoleh dari
nomina nomina wa’i ‘kaki’ dan nomina njara ‘kuda’. Oleh karena itu leksikon
42
7. Kikku Njara ‘ekor kuda’
Kikku njara ‘ekor kuda’ adalah nama bagian tubuh lain dari kuda. Secara
gramatikal leksikon tersebut berbentuk frasa nomina dan termasuk frasa nomina.
Leksikon itu terdiri dari dua bentuk lingual, yaitu kikku ‘ekor’ dan njara ‘kuda’.
Secara sosiologis leksikon tersebut digunakan untuk menamai bagian tubuh kuda
Loge njara ‘surai kuda’ ialah leksikon lain yang berhubungan dengan
kuda. Bentuk gramatikal dari leksikon tersebut ialah turunan dan kategori
terdiri dari bentuk lingual, yaitu loge ‘surai’ dan njara ‘kuda’. Loge njara ialah
leksikon yang digunakan untuk menamai bulu-bulu kuda yang tebal, terutama
Sebagai makhluk hidup, kuda juga memiliki bagian tubuh yang berposisi
dan berfungsi sama dengan bagian tubuh manusia. Ngundu njara ‘gigi kuda’
adalah leksikon yang digunakan untuk menamai bagian tubuh kuda yang bersifat
keras dan terletak di dalam mulut. Entitas dari leksikon tersebut ialah bagian
tersebut terdiri dari dua bentuk lingual, yakni nomina ngundu ‘gigi’ dan nomina
njara ‘kuda’. Oleh karena itu kategori dari leksikon tersebut ialah frasa nomina
43
10. Katowa Njara ‘kepala kuda’
masyarakat Sumba ialah katowa njara. Katowa njara ‘kepala kuda’ secara
gramatikal berbentuk turunan karena diperoleh dari dua bentuk linguistik, nomina
katowa ‘kepala’ dan nomina njara ‘kuda’. Dengan demikian leksikon tersebut
tersebut digunakan untuk menamai bagian terdepan dari tubuh kuda, yakni bagian
tubuh yang mengontrol seluruh anggota tubuh yang lain, karena pada bagian
tubuh ini terdapat mulut, hidung, mata, dan telinga dan yang paling penting ialah
Ti’a njara ‘perut kuda’ ialah bagian tubuh kuda yang memiliki banyak
fungsi, terutama dalam sebagai sumber dan penyimpan energi kuda. Secara
gramatikal leksikon tersebut berbentuk turunan yang diperoleh dari dua bentuk
lingual yaitu ti’a ‘perut’ dan njara ‘kuda’. Oleh karena itu leksikon tersebut juga
berkategori gramaikal nomina. Entitas yang dirujuk oleh leksikon tersebut ialah
bagian tengah dari tubuh kuda yang digunakan untuk menyimpan makanan dan
44
Joki ‘penunggang kuda’ adalah leksikon lain yang digunakan untuk
menunggang seekor kuda berhubungan erat dengan kuda tersebut. Pada situasi
seperti itu kuda digunakan dimanfaatkan sebagai alat yang memikul manusia.
Oleh karena itu kuda memberi manfaat atau fungsi yang selain ditunggangi
turunan. Secara morfologis leksikon tersebut diperoleh dari bentuk dasar tauna
gramatikal baru, yakni verba. Masyarakat Sumba sering melakukan kegiatan adat
berupa mengadu antara kuda yang satu dengan kuda yang lain. Kegiatan ini
45
disebut patauna ‘mengadu’. Makna sosial dari kegiatan mangdu kuda bagi
kelamin kuda iaah njara mane ‘kuda jantan’. Secara gramatikal leksikon tersebut
berbentuk turunan dan berkategori frasa nomina. Leksikon tersebut terdiri atas
nomina njara ‘kuda’ dan adjektiva mane ‘jantan’. Fungsi leksikon tersebut ialah
pada masyarakat Sumba ialah bei njara ‘kuda betina’. Secara gramatikal leksikon
tersebut berkategori frasa nomina dan berbentuk turunan. Bei njara terbentuk atas
dua bentuk lingual, yaitu bei betina dan njara ‘kuda’. Jadi, leksikon tersebut
46
16. Njara Kaka ‘kuda putih’
Njara kaka ‘kuda putih’ ialah leksikon lain yang digunakan untuk
turunan dan berkategori gramatikal. Njara kaka diperoleh dari nomina njara
‘kuda’ dan adjektiva kaka ‘putih’. Dengan demikian leksikon tersebut berfungsi
Salah satu leksikon yang digunakan untuk membedakan warna kuda pada
masyarakat Sumba ialah mane ‘hitam’, sehingga menjadi njara mane ‘kuda’
frasa nomina. Njara mane terbentuk atas dua bentuk lingual, yakni njara ‘kuda’
47
18. Ndara Koni ‘kuda belang’
ialah njara koni ‘kuda berwarna belang’. Secara gramatikal leksikon tersebut
terdiri dari njara ‘kuda’ dan koni ‘belang’. Jadi untuk setiap kuda yang berwarna
48
19. Ana Njara ‘anak kuda’
kedewasaan ialah ana njara ‘anak’ kuda. Kategori gramatikal dari leksikon
tersebut ialah frasa nomina. Bentuk gramatikalnya ialah turunan. Hal itu karena
leksikon tersebut diperoleh dari nomina ana ‘anak’ dan nomina njara ‘kuda’.
Oleh karena itu leksikon tersebut digunakan untuk mengidentifikasi kuda yang
Kebalikan dari ana njara, leksikon njara kalada ‘kuda’ besar digunakan
turunan dan berkategori gramatikal frasa nomina. Leksikon tersebut diperoleh dari
dua bentuk lingual, yaitu njara ‘kuda’ dan kalada ‘besar’. Setiap kuda yang
dianggap dapat dilibatkan dalam acara-acar adat, seperti pertunjukkan pasola dan
49
21. Ruta ‘rumput’
tumbuhan yang menjadi makanan kuda. Pemberian rumput sebagai makan kuda
mempunyai peranan penting dalam kehidupan kuda. Oleh karena itu seseorang
Bukku njara ‘leher kuda’ adalah nama bagian tubuh lain dari kuda.
frasa nomina. Leksikon tersebut dikatakan berbentuk turunan karena terdiri dari
bentuk lingual, yakni bukku ‘leher’ dan njara ‘kuda’. Leksikon tersebut digunakan
50
Berdasarkan data yang ditemukan, khazanah verbal dalam wujud
ekoleksikon yang secara semantik terkait dengan ke-njara-an atau kuda (Equus
termasuk bagian-bagian tubuh kuda seperti sepatu leher, mata, telinga,kepala dan
istilah-istilah biotik lain yang berhubungan dengan ke-njaraan seperti rumput dan
joki kuda.
Ndara ole urra secara sintaksis berkategori frasa dan secara gramatikal
berbentuk turunan. Frasa tersebut terdiri dari nomina ndara atau njara ‘kuda’, ole
‘tangan’, dan urra ‘hujan’. Seseorang mungkin berpikir bahwa makna semantis
frasa tersebut ialah kuda tangan hujan. Bentuk itu digunakan secara pragmatik
atau memiliki makna sosial tersendiri. Oleh masyarakat Sumba frasa tersebut
Segaris tangan di sini mengandung arti bahwa kuda diukur sejak kecil. Oleh
karena itu fungsi sosial dari frasa ndara ole urra ialah alat untuk mengungkapkan
Pada masyarakat Sumba juga terdapat kuda yang tidak beri nama, yaitu
tersebut termasuk frasa nomina, yang terdiri dari njara ‘kuda’, damangngu
51
‘tanpa’, dan ngara ‘nama’. Bentuk tersebut kerap digunakan dalam tuturan-
tuturan untuk merujuk pada kuda yang liar, tidak terpelihara. Dengan kata lain
bentuk tersebut merupakan simbol linguistik yang mengacu pada kuda-kuda yang
kurang terurus.
diperoleh dari dua leksikon, nomina wulla ‘bulan’ dan nomina poddu ‘pahit’. Bila
diterjemahkan secara literal, frasa tersebut memiliki arti ‘bulan pahit’. Namun
mengandung arti ‘bulan purnama’. Tuturan itu diucapkan ketika musim bulan
purnama tiba. Namun musim tersebut terjadi secara khusus pada bulan Maret.
Hubungan antara frasa tersebut dengan njara ‘kuda’ ialah pada acara
delapan hari mulai dari bulan bulan purnama. Penghitungan hari tersebut
Bentuk njara madewa secara gramatikal ialah turuan, yang terdiri dari
njara ‘kuda’ dan madewa ‘dewa’. Namun fungsi sosialnya memberi nama sosial
istilah sosial sebagai rujukannya. Kuda tunggangan pilihan disebut njara madewa,
artinya kuda sehidup semati, yang ketaatatannya tidak terbatas di dunia saja,
bahkan juga di alam baka. Itu sebabnya banyak yang berpendirian bahwa kuda
52
kesayangan harus dikorbankan pada saat kubur majikannya hendak ditutup untuk
selamanya agar bersamaan dengan lepasnya roh dari kubur, roh kuda
Katanga ‘tali penopang gigi’ adalah leksikon lain yang berhubungan erat
dengan tubuh kuda. Kategori gramatikal dari leksikon tersebut ialah nomina dan
alat yang dilekatkan pada bagian tubuh kuda, terutama gigi. Fungsi dari katangga
ialah untuk menopang gigi kuda supaya tidak menggigit. Pada saat-saat tertentu,
kuda dibiarkan tidak menggigit, misalnya ketika kuda sedang ditunggangi. Oleh
karena itu untuk menghindari kegiatan menggigit yang selain selain bertujuan
53
6. Kasasi ‘tali pengikat kepala’
menamai entitas lain yang berhubungan dengan tubuh dan fungsi kuda. Secara
gramatikal bentuk leksikon tersebut ialah dasar dan kategorinya ialah nomina.
tunggangan berikut ikat pada bagian kepala. Tujuan dari mengikat bagian kepala
kuda ialah untuk meletakkan tali pegangan tangan penunggang dan untuk
Leksikon ku’u njara ‘kuku kuda’ juga berhubungan dengan kuda karena
itu merupakan leksikon yang digunakan untuk mendeskripsikan salah satu bagian
tubuh dari kuda itu sendiri. Secara gramatikal bentuk leksikon tersebut ialah
turunan karena diperoleh dari dua bentuk dasar nomina, yakni nomina ku’u ‘kuku’
dan njara ‘kuda’. Kategori gramatikalnya ialah frasa nomina. Leksikon tersebut
54
digunakan untuk menamai bagian tubuh kuda yang terletak diujung jarinya dan
berbentuk tajam.
8. Pahola ‘pasola’
sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat
imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Pasola atau pahola
berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung
kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola
kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret
setiap tahunnya.
55
9. Palapang njara ‘pacuan kuda’
yakni istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menamakan suatu kegiatan
berbentuk turunan, diperoleh dari verba pacu ‘pacu’ dan sufiks {-an}. Peristiwa
pacuan kuda adalah peristiwa yang memanfaatkan kuda sebagai alat untuk
berlomba atau bermain, yang mana, para peserta atau disebut pemacu duduk di
atas kuda.
tersebut berkategori nomina dan berbentuk dasar. Leksikon ini digunakan untuk
menamai entitas yang berbentuk kain dan dilekatkan di atas punggung kuda untuk
56
11. Tonggu ‘menarik’
satu kegiatan yang dilakukan dengan kuda. Secara gramatikal leksikon tersebut
kegiatan menarik kuda dengan tali yang diikatkan pada bagian kepala. Selain itu
ketika membawa kuda kesuatu tempat, seperti memberinya makan atau minum
untuk kuda. Secara gramatikal leksikon tersebut termasuk verba yang berbentuk
turunan, yakni bentuk dasar dikkiwi ‘tarik’ dan prefiks {pa-}. Leksikon tersebut
digunakan untuk menamani kegiatan untuk memindahkan kuda dari satu tempat
ke tempat lain. Kuda-kuda piharaan atau yang dipelihara secara sengaja dijaga
padikkiwi.
57
13. Ka’ila ‘meringkik’
berkategori verba dan berbentuk dasar. Leksikon itu gunakan untuk menjelaskan
karena leksikon tersebut diperoleh dari bentuk dasar tenda ‘tendang’ dan dibubuhi
sering salah kegiatan yang dilakukan kuda, terutama ketika kuda sedang diadu dan
ketika kuda merasa tidak senang atau nyaman dengan sesuatu, termasuk manusia.
58
15. Enu ‘minum’
kegiatan yang dilakukan oleh kuda untuk meminum air. Sebagai salah satu
makhluk hidup, kuda juga pasti merasakan kehausan. Oleh karena itu meminum
air juga merupakan salah satu kegiatan utama yang dilakukan oleh kuda. Secara
memandikan kuda disebut pario oleh masyarakat Sumba. Dilihat dari aspek
Berbentuk turunan karena leksikon tersebut diperoleh dari bentuk dasar rio
‘mandi’ dan prefiks {pa-}. Memandikan kuda membantu agar kuda tetap sehat
dan kuat, selain sebagai salah satu upaya untuk membuat kuda semakin mengenal
pemiliknya.
yang erat dengan kuda. Secara gramatikal leksikon tersebut berkategori verba dan
59
berbentuk dasar. Karawa merupakan leksikon yang digunakan untuk
Setiap kuda pilihan yang digunakan secara khusus sebagai kuda tunggangan
oleh manusia dan berhubungan erat dengan kuda. Secara gramatikal leksikon
tersebut termasuk verba yang berbentuk turunan. Leksikon tersebut diperoleh dari
bentuk dasar nga’a ‘makan’ dan diberi prefiks {pa-} dan sufiks {-wi} sehingga
rutin yang harus dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup kuda sebagai
Terdapat leksikon lain yang memiliki hubungan dengan kuda, yaitu rahi
njara ‘hiasan kepala kuda’. Secara gramatikal leksikon tersebut termasuk frasa
tersebut diperoleh dari dua bentuk lingual, yakni nomina rahi ‘hiasan’ dan njara
‘kuda’. Menghias kuda merupakan salah satu kegiatan yang memberi nilai estetis
pada kuda, apalagi terhadap kuda peliharaan yang sering memenang peraduan
dengan kuda lain. Biasanya hiasan yang dilekatkan pada bagian kepala kuda.
Hiasan tersebut berbentuk bulu, yang biasanya berwarna kuning, dan diperoleh
60
dari bahan benang. Ketika dikenakan di atas kepala kuda, hiasan tersebut tampak
seperti mahkota.
memberi kuda sebagai belis atau mahar. Oleh masyarakat setempat belis tersebut
dinamakan welli rangga ‘belis kuda’. Secara sintaksis leksikon tersebut ialah
berkategori gramatikal frasa nomina dan berbentuk turunan. Welli ‘mahar’ ialah
pernikahan dan ranga ialah leksikon berbentuk dasar dan juga berkategori nomina
yang mengacu pada kuda yang dijadikan mahar dalam perkawinan. Bagi
hewan lain, seperti kerbau atau babi. Pada situasi ini njara atau kuda memiliki
61
fungsi sosial dan kutural bagi masyarakat Sumba. Implikasi sosialnya dan kultural
rengga ‘jemput’ tetapi dibubuhi prefiks {pa-} sehingga berkategori nomina dan
dengan kuda karena pada waku menjelang malam, kuda-kuda yang dititipkan di
kuda yang diikat dengan tali merah. Secara gramatikal leksikon tersebut berbentuk
turunan dan berkategori frasa nomina. Leksikon tersebut diperoleh dari tiga
bentuk lingual, yakni njara ‘kuda’, tale ‘tali’, dan ‘rara’ ‘merah’. Kuda diikat
dengan tali merah menandakan bahwa kuda tersebut akan dibawa pada acara adat.
Njara jaga ‘kuda yang kokoh’ ialah leksikon lain yang digunakan untuk
leksikon tersebut ialah turunan dan kategori gramatikalnya ialah frasa nomina.
Konstruksi frasa tersebut diperoleh dari njara ‘kuda’ dan jaga ‘kokoh’. Kudah
yang kokoh merupakan pilihan masyarakat Sumba karena dapat ditunggangi dan
62
dibawa pada acara pacuan kuda, serta pada acara-acara lain yang melibatkan
penunggangan kuda.
24. Dewa Njara Rara Ura Ahu Kaka ‘arwa kuda yang karisma’
eksistensi kuda. Kuda dipercaya merupakan hewan yang memiliki kesetiaan dan
ketaatan tidak hanya di dunia saja tetapi bahkan ketika majikannya mati. Itu
pada saat kubur majikannya hendak ditutup untuk selamanya agar bersamaan
dengan lepasnya roh dari kubur, roh kuda kesayangannya telah siap mengantar
ini, masyarakat Sumba menggunakan istilah dewa njara rara ura ahu kaka, yang
berbentuk turunan dan berkategori frasa nomina. Njara ‘kuda’ berkategori nomina
63
leksikon tersebut termasuk nomina yang berbentuk dasar. Sungai adalah tempat
paling tepat untuk memandikan sungai dan membawa mereka untuk meminum
air. Menurut masyarakt Sumba, di sungai kuda bisa merasa leluasa meminum air
Gallu ‘kandang’ adalah leksikon yang tentu saja berkaitan erat dengan
kehidupan kuda. Secara gramatikal bentuk leksikon tersebut ialah nomina yang
berbentuk dasar. Gallu atau kandang merupakan tempat peristrahatan kuda setelah
tersebut terbuat dari kayu atau dari bambu. Pada saat hujan di siang hari kuda
Oleh masyarakat Sumba tempa semacam itu disebut maradda ‘padang rumput’.
Bentuk gramatikal leksikon tersebut ialah dasar dan kategori gramatikalnya ialah
nomina. Pemiliki kuda juga perlu mencari padang rumput untuk membiarkan
kudanya dengan leluasa memakan rumput. Oleh karena itu leksikona maradda
64
29. Weemahi ‘pantai’
kegiatan adat yang melibatkan kuda. Oleh masyarakat Sumba tempat tersebut
pacuan kuda, mengadu kuda di pantai. Hal itu karena pantai diangga merupakan
tempat yang tida hanya luas tetapi juga memberi kebebasan kuda dan penunggang
kuda dalam berkativitas, selain untuk menghindari situasi berantakan bila kegiatan
65
30. Kalete Njara ‘menunggang kuda’
termasuk frasa verba dan berbentuk turunan. Leksikon tersebut diperoleh dari
verba kalete ‘menunggang’ dan njara ‘kuda’. Dari terjemahan literal dapat ditebak
turunan. leksikon tersebut diperoleh dari dari nomina ghughu ‘sepatu’ dan njara
‘kuda’. Kuda juga diberi sepatu untuk menghidari agar kakinya tidak terluka
ketika menempuh medan bebatuan atau ketika dibawa pada kegiatan berpacu
kuda.
66
32. Palu Njara ‘cemeti kuda’
turunan. Kategori gramatikalnya ialah frasa nomina. Leksikon tersebut terdiri atas
palu ‘cemeti’ atau ‘cambuk’ dan njara ‘kuda’. Cemeti juga sangat diperlukan
ketika menunggangi kuda. Namun biasanya kuda yang memerlukan cemeti ialah
kuda yang dimanfaatkan untuk menarik gerobak, yang disebut kereta kuda.
tulisan ini ialah kalita njara ‘kulit kuda’. Secara gramatikal kategori leksikon
tersebut ialah frasa nomina dan bentuknya ialah turunan. Disebut berbentuk
turunan karena leksikon tersebut diperoleh dari dua bentuk lingual, yaitu kalita
67
‘kulit’ dan njara ‘kuda’. Kalita njara adalah leksikon yang digunakan untuk
untuk melakukan serangkaian ritual dan pemujaan, antara lain kajalla, ritual ini
sebagai media untuk meramalkan kejadian-kejadian yang bakal terjadi saat Pasola
berlangsung, dan sekali lagi mengamati bulan yang kali ini muncul sempurna
sebagai pertanda final datangnya Nyale dan Pasola. Makna bulan memberikan
ekoleksikon yang secara semantik terkait dengan ke-njara-an atau kuda (Equus
68
leksikon. Leksikon abiotik tentang ke-njara-an atau kuda (Equus caballus)
termasuk peralatan yang melekat pada kuda seperti sepatu kuda, hiasan kepala,
tali kekang, dan istilah-istilah yang berhungan dengan ke-njaraan seperti pantai
dan sungai.
Ndara yang berarti kuda mengisi ruang hidup dalam keseharian orang Sumba.
ragawi menyangkut geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara
(pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas curah
hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri atas fauna, flora, dan
ekoleksikon yang dikemukakan dalam peneltian ini meliputi makna bahasa dan
cultural (budaya). Makna bahasa dan cultural (budaya) yang ingin diungkapkan
di dalam penelitian ini adalah makna yang tersurat maupun tersirat dari setiap
69
berkaitan dengan nilai agama, alam, dan sosial. Relasi makna ekoleksikon ke
Agama yang dianut oleh orang Sumba secara turun temurun adalah
Marapu. Agama ini memiliki kepercayaan untuk menyembah kepada roh leluhur.
Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara
dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di
utama dan dianggap membawa kejayaan pada pemiliknya ialah kuda. Ketaatan
kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi juga di akhirat sebagai tunggangan
halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat permujaan khusus yang disebut uma
njara, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kejayaan dan kekayaan.
Sumba. Kuda disebut ndara dalam bahasa setempat. Di Sumba, tidak ada kuda
yang diberi nama, sebab hewan ini dipandang hampir sejajar dengan arwah nenek
moyang, si penguasa semesta: njapu numa ngara, njapa taki tamo, zat agung yang
tak ter-nama-i.
70
b) Dewa jara rara ura ahu kaka ‘arwah yang punya karisma’
menempati tempat yang penting bagi masyarakat Sumba. Mereka percaya bahwa
‘dewa’ atau leluhur yang kuat dapat berupa seekor kuda. Dewa yang berwujud
kuda ini memiliki karisma yang menarik dan menjadi panutan bagi yang hidup.
"tunggangan" bagi arwah orang yang meninggal dunia itu. Faham atau pesan
d) Njara nyale
lautan. Kuda nyale adalah kuda yang pertama memasuki arena Pasola untuk
memulai perang.
alam. Keduanya memiliki relasi yang unik dan mendalam. Kedalaman relasi itu
kekurangan satu pun, sebab segalanya telah di sediakan oleh alam. Dalam
penelitian tentang ke-njara-an ini, relasi makna yang berhubungan dengan alam
71
adalah orang Sumba sangat bergantung pada kuda. Keduanya memiliki relasi yang
unik dan mendalam. Kedalaman relasi itu terletak pada keyakinan bahwa
juga hewan untuk dipelihara. Dalam penelitian tentang ke-njara-an ini, relasi
dimulainya suatu ritual. Pada bulan purnama, para Rato akan memutuskan awal
dari ritual mencari cacing nyale yang menjadi awal dari pasola.
b) Njara “kuda”
Adalah hewan yang menjadi ciri khas dari kebudayaan Sumba. Kuda
menjadi penanda status sosial dan menjadi simbol dari kepemimpinan dan
kekuasaan. Kuda juga dianggap sebagai makluk yang setia pada tuannya dan
merupakan bekal mati, belis, perdamaian pada sengketa adat dan juga sebagai
kuda pacu.
merupakan turangga, kendaraan hidup yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan
pribadi orang Sumba. Kuda bagi orang Sumba merupakan alat transportasi
72
terpencil, jauh dari jangkauan transportasi umum dan yang bermedan sulit dicapai
Orang Sumba dan kuda ibarat sisi mata uang yang tak dapat dilepas
dalam syair adat orang Sumba dan disandingkan dengan kesetiaan seekor anjing
kepadatuannya, "ndara ole urra, bangga ole ndewa" (kuda yang segaris tangan
Relasi makna sosial dari ke-njara-an adalah Njara atau Kuda digunakan
sebagai bahan belis dalam perkawinan. Biasanya dalam pemberian belis, jumlah
kuda lebih banyak dibandingkan kerbau. Kuda juga merupakan hewan yang
digunakan sebagai mas kawin yang diberikan keluarga pihak anak laki-laki
seseorang.
dalam berburu. Dalam upacara kematian, jika si mati mempunyai kuda tunggang
bahan makanan, kuda jarang dikonsumsi. Kulit kuda digunakan sebagai bahan
dalam alat musik pukul. Ekor Kuda dipakai salah satu pelengkap tarian di Sumba
73
orang Sumba. Dalam sejarah perang, Kuda merupakan hewan penting karena
menjadi tunggangan para pria yang berperang. Pada masa sekarang, sudah jarang
orang Sumba yang memiliki kuda, Kuda biasanya hanya dimiliki oleh orang kaya
saja. Sebagai alat transportasi pun, Kuda sudah banyak digantikan dengan
Pemanfaatan Kuda secara tidak langsung hadir dalam istilah adat Sumba
dan motif tenunan orang Sumba Timur. Contoh istilah yang menggunakan Kuda
dalam kosa katanya manu wolu jara djaga yang menyatakan doa orang tua untuk
anaknya agar seperti ayam jantan yang kuat dan kuda yang kokoh tinggi. Contoh
lain adalah dewa jara rara uraahu kaka yang menyatakan arwah seseorang yang
bagian luar batu kubur orang “besar”. Gambar yang dilukis pada bagian luar batu
kubur biasanya merupakan harta yang dimiliki saat masih hidup. Kuda merupakan
salah satu harta kebanggaan orang Sumba maka seringkali dilukis pada batu
kubur.
untuk mengkaji data dalam penelitian ini yaitu teori ekolinguistik dialektikal yang
merujuk pada kajian dimensi praksis sosial, yang meliputi dimensi sosiologis,
74
ditemukan melalui pengunaan bahasa dalam bentuk ungkapan/percakapan.
Dimensi sosiologis ini berkaitan dengan latar belakang bahasa yang digunakan
ungkapan, tuturan atau wacana, sisten fisik yang berupa unsure-unsur material
baik biotik maupun abiotik, seperti air, udara. Setiap pengetahuan kognitif ini
keberadaan kita secara biologis yang bersanding dengan spesies lain, baik
makhluk hidup maupun benda mati. Masyarakat Sumba sangat dekat dekat
hubungannya dengan njara. Hai ini terlihat dari penggunaan leksikon njara dalam
sebagai berikut:
75
Macam seperti kuda gelap hidupnya
berbunyi Olenai njara bata kalerre atau yang dalam bahasa Indonesia berarti
yaitu njara. Kata putus tali dalam simile ini merupakan bahasa tidak langsung
untuk menggambarkan orang atau perbuatan orang tidak terkendali atau tidak
terkontrol. Sama seperti kuda yang tidak/putus talinya. Pada prakteknya, kuda
yang lepas tali pengikatnya akan susah untuk dikendalikan, dia akan
berjalan/berlari kemana pun dia mau. Kalimat ini biasanya digunakan oleh
masyarakat Sumba khusunya orang tua untuk menyindir anak-anak muda yang
njara sebagai bahasa tidak langsung untuk menggambarkan perbuatan anak muda
76
merupakan dimensi sosiologis dari metafora tersebut. Sedangkan penanaman
konsep yang ditanamkan di dalam metafora ini disebut dimensi ideologis, yaitu
berkaki empat yang mempunyai ekor dan mahkota (walaupun tidak semua kuda
bermahkota).
Metafora yang berbunyi Olenai njara ole urra atau yang dalam bahasa
Indonesia berarti ‘seperti kuda segaris tangan’ juga mengandung leksikon ke-
njara-an. Leksikon ke-njara-an yang digunakan dalam metafora ini adalah njara
ole ura ‘kuda segaris tangan’. Kata garis tangan dalam metafora ini sama seperti
ungkapan pada umumnya yaitu mengandung arti ‘takdir’. Jadi, segaris tangan
mengandung arti setakdir atau senasib. Ungkapan ini biasanya diucapkan oleh
pengantin pria kepada pengantin wanita saat acara belis. Maksud dari ungkapan
bersama. selain itu kuda ole ura ‘kuda segaris tangan’ juga menggambarkan
kesederhanaan dari pengantin pria. Kuda segaris tangan merupakan ukuran kuda
yang hanya segaris tangan. Penggunaan leksikon njara ole ura ‘kuda segaris
dalam metafora ini merupakan dimensi ideologis, yaitu konsep keyakinan dan
77
kesederhanaan. Sementara secara biologis, kuda sama seperti deskripsi
Metafora angu olenai njara kapandu tolekanna atau yang dalam bahasa
Indonesia mengandung arti ‘seperti kuda malam hari’ mengandung leksikon ke-
njara-an. Leksikon ke-njara-an yang digunakan dalam metafora ini adalah njara.
Secara biologis njara adalah binatang berkaki empat, berekor. Dalam pandangan
masyarakat Sumba, njara mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi. Njara juga
digunakan oleh masyarakat Sumba sebagai tenaga kerja. Njara bisa mengangkut
atau membawa beban berat, seperti padi, beras. Tapi, , njara hanya boleh
dipekerjakan pada siang hari, tidak pada malam hari. Selain karena njara harus
beristirahat, mempekerjakan njara pada malam hari juga sangat sulit, karena
gelap. Akan sangat susah untuk menuntunnya. Jadi, metafora seperti kuda di
malam hari menggambarkan orang yang kehidupannya sangat gelap. Konsep yang
kehidupan.
78
Metafora yang berbunyi Olenai rahi njara welli touna atau yang dalam
Leksikon yang digunakan dalam metafora ini adalah njara. Secarais biologis
empat. Selain berkaki empat, njara juga ada yang bermahkota. Njara yang
mahkota biasanya diberikan oleh laki-laki kaya yang terhormat, dan diberikan
untuk pengantin wanita yang kaya dan terhormat juga. Jadi, njara mahkota
kehormatan atau harga diri seorang wanita. Konsep yang disampaikan dalam
Metafora yang berbunyi parawina olenai njara kaka atau yang dalam
Leksikon ke-njara-an yang digunakan dalam metafora ini adalah njara kaka.
Secara biologis, njara ini adalah binatang berkaki empat yang berwarna putih.
Njara kaka biasanya digunakan dalam pasola ‘pacuan kuda’. Dalam tradisi ini
njara kaka yang paling pertama masuk/tampil di lapangan. Njara kaka akan
memimpin njara-njara yang lain pada barisannya. Jadi, secara sosiologis njara
kaka adalah bahasa tidak langsung untuk menggambarkan laki-laki jantan, yang
79
berjiwa pemimpin. Ungkapan seperti ini biasanya digunakan saat acara nikahan.
Ungkapan ini merupakan nasihat kepada pengantin pria agar mampu menjadi
pemimpin atau dalam hal ini adalah kepala rumah tangga yang akan selalu mampu
kepemimpinan/kejantanan.
80
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
gramatikal terbagi dalam leksikon yang berbentuk dasar dan leksikon yang
81
dari budaya ke-njara-an yang berhubungan kehidupan masyarakat Sumba
memiliki kaitan yang erat dengan alam yang terwujud dalam budaya kuda
kuda.
5.2 Saran
82
upacaraupacara kegiatan leluhur kemudian diwariskan bagi generasi.
2) Bagi Pembaca
leluhur yang berfungsi sebagai tuntutan dalam hal hidup. Maka dari itu
melestarikan nilai dan eksistensi yang ada dan sudah menjadi warisan
83
DAFTAR PUSTAKA
84
Kroeger, P. R. (2018). Analyzing Meaning: An Introdution to Semantics and
Pragmatics. Berlin: Language Science Press.
Rana, I Wayan, S., & Binawati. (2013). Pengetahuan Tanaman Obat Tradisional
untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Sebuah Kajian
Ekolinguistik. Jurnal Bumi Lestari, 2(4).
Saeed, J. I. (2009). Semantics (3rd ed.). UK: Registered Office John Wiley &
Sons Ltd.
Soedjito. (1990). Kosa Kata Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Sugiyono.
(2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
85
Woha, U. P. (2008). Sejarah, Musyawarah, dan Adat Isti Adat Sumba Timur (2nd
ed.). Surabaya: Cipta Sarana Jaya
Lampiran 1
DATA INFORMAN
Informan 1
Identitas
Bahasa
Bahasa Pertama : Sumba
Bahasa Ibu : Sumba
Bahasa Ayah : Sumba Barat Daya
Bahasa Istri : Bahasa Sumba
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Sumba
Bahasa Lain yang dikuasai : Bahasa Indonesia, digunakan pada situasi tertentu
Dihubungi : Via Whatsapp, pada tanggal 21 February 2019
Informan II
Identitas
86
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Wee Rame
Kecamatan Wee Maliti
Kabupaten Sumba Barat Daya
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Petani
Kewarganegaraan : WNI
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar (SD)
Bahasa
Bahasa Pertama : Sumba
Bahasa Ibu : Sumba
Bahasa Ayah : Sumba Barat Daya
Bahasa Istri : Bahasa Sumba
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Sumba
Bahasa Lain yang dikuasai : Bahasa Indonesia, digunakan pada situasi tertentu
Dihubungi : Via Whatsapp, pada tanggal 10 Maret 2019.
87
Informan III
Identitas
Bahasa
Bahasa Pertama : Sumba
Bahasa Ibu : Sumba
Bahasa Ayah : Sumba Barat
Bahasa Istri : Bahasa Sumba
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Sumba
Bahasa Lain yang dikuasai : Bahasa Indonesia, digunakan pada situasi tertentu
Dihubungi : Via Whatsapp, pada tanggal 12 Maret 2019.
Informan IV
Identitas
Nama : Belo
Tempat/Tanggal Lahir : Tana Righu, 26 Februari 1956
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Tana Rara
Kecamatan Kerekaduku
88
Kabupaten Sumba Barat
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Petani
Kewarganegaraan : WNI
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar (SD)
Bahasa
Bahasa Pertama : Sumba
Bahasa Ibu : Sumba
Bahasa Ayah : Sumba Barat
Bahasa Istri : Bahasa Sumba
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Sumba
Bahasa Lain yang dikuasai : Bahasa Indonesia, digunakan pada situasi tertentu
Dihubungi : Via Whatsapp, pada tanggal 15 Maret 2019.
89
DAFTAR LEKSIKON Ke-njara-an:
pahola ‘pasola’
90
patauna njara ‘kuda diadu’
hela ‘pelana’
tongngu ‘menarik’
padikkiwi ‘memindahkan’
ka’ila ‘meringkik’
patenda ‘menendang’
enu ‘minum’
pario ‘dimandikan’
karawa ‘memelihara’
parengga ‘penjemputan’
dewa njara rara ura ahu kaka ‘kuda yang punya arwa karisma’
91
njara pakklete ‘kuda bekal mati’
loko ‘sungai’
gallu ‘kandang’
weemahi ‘pantai’
92