Anda di halaman 1dari 92

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumba merupakan salah satu pulau besar yang berada dalam wilayah

Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya pada posisi 92º22º-10º20ºLS, 118º55º-

120º23ºBT. Beberapa literatur menyebutkan bahwa pulau ini muncul

kepermukaan dari kedalaman laut jutaan tahun silam dan terletak diluar jalur

gunung berapi yang membentang sepanjang kepulauan nusantara. Menurut

Woha(2008)seperti dikutip Umbu Pura Woya dalam bukunya yang berjudul

“Sejarah di Pulau Sumba”, secara harafiah Sumba yang juga sering disebut

Humba atau Hubba, berarti asli. Orang Sumba sendiri kerap menyebut pulau

mereka sebagai tanah humba atau tanah asli, dan memanggil diri mereka dengan

sebutan ata humba atau orang asli. Pada awalnya, meneruskan apa yang telah

dimulai sejak era kolonial, pulau ini terbagi menjadi 2 kabupaten yaitu kabupaten

Sumba Barat dengan Ibu Kota Waikabubak, dan Kabupaten Sumba Timur yang

beribukota Waigapu. Lalu di tahun 2007 Kabupaten Sumba Barat mekar lagi

menjadi 3 kabupaten. Dua kabupaten baru tersebut adalah Kabupaten Sumba

Barat Daya dan Kabupaten Sumba Tengah.

Sumba mempunyai daya tarik tersendiri dengan upacara adat Pasola,

pacuan kuda/njara. Apa lagi dengan adanya tujuh kampung adat yang masih ada

hingga saat ini, diantaranya Kampung Adat Praigolli, Kampung Adat Waikawolu,

Kampung Adat Waiwuli, Kampung Adat Ubu Bewi, Kampung Adat Kabba,

1
Kampung Adat Wai Galli, Dan Kampung Adat Koduku. Selain itu juga terdapat

enam pantai berpasir putih, yaitu Pantai Rua, Pantai Nihi Watu, Pantai Pawihi,

Pantai Lai Liang, dan Pantai Teitena dengan satu air terjun Lai Popu dan satu

taman nasional Manu Peu serta sebuah sungai sepanjang 80 kilometer yang

mengairi wilayah persawahan Wanokaka sampai ke laut.

Salah satu kegiatan budaya adat masyarakat Sumba yang memiliki

pengaruh besar bagi kehidupannya ialah ke-njara-an ‘kuda’. Bagi masyarakat

Sumba ke-njara-an telah menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dari

kehidupannya karena setiap aspek atau peristiwa yang dilakukan masyarakat

Sumba melibatkan perlunya eksistensi kuda. Dengan kata lain, kuda menjadi

entitas budaya yang berharga di mata masyaraka Sumba. Perlunya eksistensi kuda

dapat dilihat ketika peristiwa-peristiwa adat diselenggarakan, seperti pesta

perkawinan, alat tukar, kegiatan sehari-hari masyarakat yang memanfaatkan kuda

sebagai alat transportasi, peristiwa pacuan kuda, dan pertunjukkan pasola.

Peristiwa pacuan kuda merupakan suatu peristiwa adat yang memanfaatkan kuda

melakukan kegiatan balapan. Peristiwa pertunjukkan pasola ialah sautu peristiwa

yang memeragakan kegiatan berperang dengan saling melempar tombak dari atas

kuda. Pentingnya ke-njara-an dalam peristiwa pacuan kuda dan pertunjukkan

pasola bagi seluruh kalangan masyarakat Sumba sering mendorong pemerintah

setempat untuk meliburkan setiap instansi pemerintahan pada hari pertunjukkan

tersebut diselenggarakan.

Dilihat dari aspek kebahasaan ke-njara-an memiliki dependensi dan

interkoneksi dengan berbagai entitas dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat

2
Sumba. Dengan kata lain terdapat banyak bahasa dalam bentuk leksikon yang

berkaitan dengan ke-njara-an. Hanya saja sangat sulit untuk mengidentikasi

masing-masing dari entitas yang berhubungan dengan ke-njara-an tersebut yang

pada kenyataannya memunculkan kekayaan leksikon, yang secara semantic

memiliki makna kultural, sosio-kultural, dan ideologis masyarakat setempat.

Pertunjukkan pasola hanya merupakan salah satu dari aspek yang memiliki

hubungan erat dengan ke-njara-an dan memiliki perbendaharaan leksikon yang

kaya akan makna. Secara sintaksis, Pasola berkategori nomina dan secara

semantis merupakan label untuk suatu perisitiwa adat masyarakat yang menjadi

salah satu bentuk budaya unik yang merefleksikan konsep entitas kuda dalam

pandangan masyarakat Sumba, yang mungkin tidak dimiliki oleh kelompok

masyarakat lain.

Njara ‘kuda’ adalah ternak serbaguna, berfungsi sebagai sarana angkutan,

dipakai dalam peperangan, penentu status social bahkan memiliki nilai ekonomis

yang tinggi. Dalam budaya, njara ‘kuda’ merupakan symbol yang penting dalam

adat perkawinan dan symbol kendaraan untuk orang mati dalam adat kematian.

Njara ‘kuda’ melambangkan Kejantanan, Keberanian, Ketangkasan,

Kepahlawanan. Selain digunakan untuk acara adat, kuda/njara dalam dunia kain

tenun juga biasa digunakan dalam keseharian. Di daerah Sumba Barat masih

banyak ditemukan orang yang memakai aksesori itu. Dalam keseharian pria

dewasa di Sumba, selalu ada kain yang dililitkan di kepala dan pinggang.

Aksesori tersebut mereka pakai dalam berbagai kesempatan, mulai dari pergi ke

kebun sampai acara pengambilan rapor anaknya di sekolah. Sebuah parang

3
biasanya terselip di kain yang melilit pinggang dan selalu mereka bawa ke

manapun, meski tidak sedang berkebun atau mengikuti acara adat. Sepertinya

merupakan sebuah kebanggaan bagi pria Sumba untuk mengenakan dua lembar

kain tenun dan parang yang terselip di pinggang.Dengan demikian budaya

kenjara-an masyarakat Sumba memiliki nilai etis yang ilmiah bila dikaji dengan

pendekatan teori ekolinguistik yang memberi sorotan terhadap hubungan timbal

balik serta interdepensi antara bahasa dan manusia serta manusia danaspek

ekologis atau lingkungannya.

Ekologi merupakan totalitas manusia dengan lingkungan yang

berisikanhubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya. Manusia

danlingkungan adalah komponen yang secara teratur berinteraksi dan

salingtergantung membentuk keseluruhan untuk menjamin kelangsungan

hidupkeduanya(Odum, 1996) . Manusia dan lingkungan, baik lingkungan

alammaupun lingkungan sosial-budaya, merupakan sebuah sistem yang saling

terkait satu sama lain. Manusia dalam menjalani kehidupannya tidak akan terlepas

dari pengaruh sosial, budaya, dan lingkungan alam dan semuanya itu membangun

pola pikir atau ide setiap manusia terhadap keberadaannya dalam lingkungan yang

melingkupinya. Setiap manusia harus memiliki pengetahuan tentang lingkungan

tempatnya berada, memiliki kekuatan untuk memberdayakan lingkungan

disekitarnya,dan mampu mengubah, bahkan tak jarang merusak lingkungan.

Dalam kaitannya dengan lingkungan, ragam dan nama-nama bahasa

padaumumnya dihubungkan dengan penuturnya dan dimana penutur itu hidup.

Dan hal inilah yang menjadikan penelitian tentang bahasa dan lingkungan ini

4
mulaibanyak menarik perhatian para mahasiswa untuk mengkaji lebih dalam

lagimelalui kajian ekolinguistik.Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai

suku. Tiap sukumempunyai tradisi dan adat istiadat yang merupakan kekayaan

bangsa. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan arus modernisasi, terjadi

perubahan baik di lingkungan ragawi dan lingkungan sosial. Tradisi dan adat

istiadat serta bahasa sebagai ciri utama keberadaan suku bangsa Indonesia

perlahan mengalami erosi.

Bahasa dan lingkungan memiliki hubungan satu sama lain dalam

konsepbahasa lingkungan dan lingkungan bahasa. Hubungan antara bahasa

danlingkungan mencetuskan konsep bahasa lingkungan dan lingkungan

bahasa(Mbete, 2011). Bahasa lingkungan adalah bahasa yang

menggambarkanlingkungan. Bahasa lingkungan merekam dan mengonstruksi

realitas lingkungan bahasa, sedangkan lingkungan bahasa adalah lingkungan atau

tempat bahasa itu hidup seperti manusia, lingkungan alam, dan lingkungan sosial

bahasa(Desriani, 2016). Berbicara mengenai daya hidup bahasa, tiada lain adalah

mempermasalahkan sikap, perilaku, dan terutama tingkat kecerdasan bahasa dan

budaya generasi penerus sesuai dengan ruang dan lahan fungsionalnya dalam

kehidupan. Bahasa yang hidup dalam hal ini bukan hanya bahasa yang berada

dalam pikiran atau kognisi, tetapi juga bahasa yang berwujud performansi yang

komunikatif, produktif, dan kreatif baik lisan maupun tulisan.

Penelitian-penelitian ekolinguistik terhadap leksikon-leksikon alam atau

ekoleksikal bukan pertama kalinya dilakukan. Banyak penelitian mengenai hal

tersebut telah dilakukan. Kajian pustaka yang pertama dimuat dalam penelitian ini

5
yakni: Penelitian oleh (Sukhrani, 2010) berjudul “Leksikon Nomina Bahasa Gayo

dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik”. Penelitian

Sukhrani mengungkap keberadaan leksikon nomina bahasa Gayo dan lingkungan

ragawi Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik. (Tangkas, 2013) melakukan

penelitian ekolinguistik yang berjudul Khazanah Verbal Kepadian Komunitas

Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik. Penelitian ini

menggunakan teori ekolinguistik dialektikal oleh (Bang & Door, 1993). (Rana, I

Wayan, & Binawati, 2013) menulis artikel yang berjudul Pengetahuan Tanaman

Obat Tradisional untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Sebuah

Kajian Ekolinguistik. Objek penelitian yang digunakan adalah leksikon-leksikon

tanaman obat tradisional untuk penyakit anak. Selanjutnya (Renjaan, 2014)

melakukan kajian ekolinguistik dengan judul Pemahaman dan Kebertahanan

Ekoleksikal Kelautan Guyub Tutur Bahasa Kei: Kajian Ekolinguistik.

Dalam kajian lainnya sudah dikaji namun hasilnya berbeda dengan kondisi

yang nyata tentang fungsi ke-njara-an di masyarakat Sumba. Penelitian yang

dilakukan oleh (Jagalimu, 2017) yang berjudul “Makna Tanda Pertunjukan

Pasola” dalam penelitian ini membahas kajian semiotika terhadap pertunjukan

pasola di desa Waihura kecamatan Wanokaka kabupaten Sumba Barat. Dengan

kata lain Jagalimu hanya mengkaji pada bagian budaya pertunjukkan pasola

saja.Dari hasil penelitian Jagalimu (2017) ada persamaan pertunjukan di mana

membangun strategi makna pertunjukan dan rumah adat. Namun penelitian

terdahulu ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan sekarang. Penelitian

sekarang berusaha mengkaji budaya ke-njara-an masyarakat Sumba dari

6
perspektif ekolinguistik. Secara spesifik, kajian ini meniti beratkan pada telaah

tentang bentuk leksikon yang memiliki hubungan erat dengan entitas ke-njaraaan

sebagai bagian dari budaya yang hidup masyarakat Sumba. Mengidentifikasi

bentuk dan kategori gramatikal dari setiap leksikon yang ada dalam lingkup

budaya ke-njara-an serta mengungkap makna kultur, makna filosofis, serta makna

sosial yang menentukan cara pandang masyarakat Sumba terhadap eksistensi

kuda, merupakan tujuan utama penelitian. Berdasarkan pernyataan yang telah

dipaparkan di atas, penelitian ini dirancang dengan judul “Ekoleksikon ke-njara-

an Masyarakat Sumba Barat Daya”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang, masalah yang akan diteliti

dalam tulisan ini diuraikan seperti berikut.

1. Apa sajakah ekoleksikon yang terdapat dalam ke-njara-an masyarakat

Sumba Barat Daya?

2. Apa sajakah makna sosial kultur yang terkandung dalam khazanah

ekoleksikon ke-njara-an Sumba Barat Daya?

3. Bagaimanakah makna dimensi praksis sosial ekoleksikon ke-njara-an

dalam ungkapan simile masyarakat Sumba Barat Daya?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua,

yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Masing-masing dijabarkan berikut ini.

7
1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian adalah untuk memperluas

pengetahuan kalangan akademik maupun kalangan masyarakat tentang

tradisi lisan masyarakat Sumba tentang ke-njara-an. Selain itu penelitian

ini juga bertujuan untuk mengembangkan teori ekoleksikon tentang kuda.

1.3.2 Tujuan Khusus

Selain tujuan umum, penelitian ini juga memimiliki tujuan khusus.

Adapun tujuan khusus yaitu untuk :

1. Untuk mendeskripsikan leksikon apa saja yang terdapat dalam ke-njara-an

masyarakat Sumba Barat Daya.

2. Untuk mengetahui makna sosial kultur yang terkandung dalam khazanah

ekoleksikon keke-njara-an masyarakat Sumba Barat Daya.

3. Untuk mengkaji makna dimensi praksis sosial ekoleksikon dalam

ungkapan Simile ke-njara-an masyarakat Sumba Barat Daya.

1.4 Manfaat Peneltian

Manfaat penelitian ini merupakan uraian tentang temuan baru yang akan

diteliti dalam pelaksanaan penelitian. Manfaat penelitian ini juga terdiri dari

manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang teori

kajian ekolinguistik, khususnya pengetahuan mengenai leksikon yang

berhubungan dengan ke-njara-an. Manfaat teoretis adalah manfaat yang

8
berhubungan dengan teori dan pengembangannya terkait dengan hal tersebut.

Manfaat teoretis dalam penelitian ini terdiri atas dua.

1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan terutama

dalam aspek ekologi dan budaya, khususnya hubungan antara manusia dengan

lingkungan ke-njara-anmasyarakat Sumba.

2. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya faktor tentang

kebenaran teoretis dan pembuktiannya, dan teknik analisis terhadap karya

lingkungan lainnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Selain manfaat teoretis, penelitian ini juga memiliki manfaat praktis.

Manfaat praktis peneltian ini terdiri atas empat, yaitu:

1. Membantu masyarakt Sumba untuk menjaga sumber pengetahuan tentang

bentuk, fungsi, dan makna dari budaya ke-njaraa-n untuk kemudian dapat

merealisasikan dalam kehidupan nyata, seperti menghargai pentingnya kuda

bagi manusia, bukan hanya sekedar binatang.

2. Bagi pembaca hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman tentang memahami

dan bertindak dalam komunikasi atau interaksi sosial dengan masyarakat

Sumba, terutama yang menyangkut tentang kebudayaan njara ‘kuda’. Selain

itu, pembaca juga diberi pengetahuan baik tentang bahasa maupun budaya

yang dapat digunakan ketika berkomunikasi dengan orang atau berkunjung di

Sumba.

9
3. Bagi dunia pendidikan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan ajaran untuk

menanamkan nilai-nilai memelihara dan mengakui eksistensi hewan, terutama

kuda entitas yang memberi manfaat banyak bagi kehidupan manusia.

4. Membantu memberikan pengetahuan terhadap pembaca tentang apa dan

bagaimana kekayaan leksikon dalam keke-njara-an, sebagai kekayaan

kebudayaan Sumba Barat Daya berbasis ke-njara-an.

10
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah kajian terhadap penelitian yang mutakhir dengan

penelitian yang dilakukan. Pengkajian terhadap sejumlah penelitian yang telah

dilakukan sangat bermanfaat bagi seorang peneliti karena dapat menambah

wawasan, memahami, dan manfaatkan metode dan landasan teori ataupun

mempersiapkan strategi untuk mengatasi berbagai kendala yang mungkin

muncul pada penelitian bersangkutan. Kajian pustaka juga memuat teori,

proposisi, konsep, atau pendekatan baru yang ada hubungannya dengan penelitian

yang dilakukan. Adapun penelitian-penelitian yang menjadi bahan kajian pustaka

dalam penelitian ini. Meskipun berbeda nama, namun penelitian tersebut secara

sistematik memiliki kesamaan yaitu menggunakan teori yang sama yaitu teori

semiotik.

Penelitian-penelitian ekolinguistik terhadap leksikon-leksikon alam atau

ekoleksikal bukan pertama kalinya dilakukan. Banyak penelitian mengenai

haltersebut telah dilakukan. Penelitian yang berjudul “Leksikon Nomina Bahasa

Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik” telah

dilakukan untuk mengkaji khazanah leksikon berbentuk nomina (Sukhrani,

2010).Secara spesifik penelitian tersebut mengungkap eksistensi leksikon nomina

bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui perspektif

11
ekolinguistik.Penelitian Sukhrani mengungkap keberadaan leksikon nomina

bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik.

Penelitian yang dilakukan oleh Sukhrani ini berbeda dengan penelitian ini

karena penelitiannya mengkaji Bahasa Gayo dalam lingkungan danau Lut Tawar,

sedangkan penelitian ini menggunakan bahasa Sumba sebagai bahasa kajiannya.

Selain itu penelitian relevan yang lain juga pernah dilakukan, yaitu yang berjudul

“Khazanah Verbal Kepadian KomunitasTutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya:

Kajian Ekolinguistik” (Tangkas, 2013). Tangkas (2013) melakukan penelitian

ekolinguistik yang berjudul “Khazanah Verbal Kepadian Komunitas Tutur Bahasa

Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik”. Penelitian ini menggunakan

teori ekolinguistik dialektikal (Bang & Door, 1993). Objek penelitian ini adalah

khazanah verbal kepadian komunitas tutur bahasa Kodi. Dengan demikian,

penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Tangkas (2013)

meskipun teori yang digunakan dalam penelitian ini dan penelitian yang dilakukan

Tangkas (2013) sama yaitu ekolinguistik dialektikal, perbedaanya terletak pada

objek penelitian yang dikaji.Objek penelitian yang digunakan oleh Tangkas

(2013) adalah khazanah verbal kepadian komunitas tutur bahasa Kodi, sedangkan

penelitian ini menggunakan objek penelitian leksikon metaforis dalam teks Maena

Nias. Penelitian Tangkas merupakan referensi dalam hal penerapan teori

ekolinguistik dialektikal Bang dan Døør.Penelitian inimenggunakan teori

ekolinguistik dialektikal oleh (Bang & Door, 1993).

Di samping itu penelitian yang menelaah masyarakat tentang tanaman obat

tradisional yang “Pengetahuan Tanaman ObatTradisional untuk Penyakit Anak

12
pada Komunitas Remaja di Bali: Sebuah KajianEkolinguistik” telah dilakukan

untuk mendeskripsikan sejauh mana masyarakat setempat memahami jenis,

bentuk, fungsi dan makna tanaman obat tradisional (Rasna dkk., 2013). Dalam

kajian ini tampak jelas bahwa objek penelitiannya adalah leksikonleksikon

tanaman obat tradisional untuk penyakit anak. Artikel ini kurang jelas memuat

teori ekolinguistik yang digunakan, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa artikel

penelitian yang ditulis Rasna dkk. (2013) tentang kajian ekolinguistik memiliki

perbedaan dalam hal objek penelitian yang dikaji.

Penelitian lain yang mengkaji leksikon dengan pendekatan teori

ekolingusitik telah dilakukan untuk menelusuri kebertahanan leksikon guna

mengungkap kembali kekerabatan manusia dengan alam lingkungannya yang

tersalurkan lewat bahasa (Renjaan, 2014). Renjaan membuat judul penelitiannya

“Pemahaman dan Kebertahanan Ekoleksikal Kelautan Guyub Tutur Bahasa Kei:

Kajian Ekolinguistik”.Renjaan (2014) melakukan kajian ekolinguistik dengan

judul Pemahaman dan Kebertahanan Ekoleksikal Kelautan Guyub Tutur Bahasa

Kei: Kajian Ekolinguistik. Penelitian saat ini menggunakan teori ekolinguistik

Haugen danteori semantik leksikal oleh Parera. Objek penelitian yang digunakan

Renjaan (2014) adalah ekoleksikal kelautan guyub tutur bahasa Kei. Berdasarkan

gambaran singkat tersebut, penelitian yang telah dilakukan Renjaan (2014)

berbeda dengan penelitian ini dalam hal teori yang digunakan dan objek penelitian

yang dikaji.

Penelitian di tahun yang sama dilakukan oleh Sarmi (2015)yang berjudul

“Khazanah Leksikon Lingkungan Alam dalam Dinamika Guyub Tutur Bahasa

13
Using: Kajian Ekolinguistik. Penelitian Sarmi didasarkan pada perspektif

fenomenologis denganmenerapkan dua pendekatan, yakni pendekatan kualitatif

dan pendekatankuantitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini tidak

memilikikesamaan dengan pendekatan yang digunakan oleh Sarmi, karena

penelitian ini hanya menggunakan pendekatan kualitatif saja.

Selain itu satu kajian ilmiah lain dilakukan untuk mengkaji beblabadan

bahasa Bali, yakni oleh Rajistha (2016) berjudul “Beblabadan Bahasa Bali Dalam

Perspektif Ekolinguistik”. Dalam kajian ini Rajistha juga menggunakan teori

ekolinguistik oleh Bang dan Døør. Rajistha (2016) juga melakukan penelitian

kajian ekolinguistik yangberjudul “Beblabadan Bahasa Bali Dalam Perspektif

Ekolinguistik”. Penelitian Rajistha ini menggunakan teori ekolinguistik dialektikal

sebagai teori paying dalam penelitiannya. Adapun perbedaan utama dari kedua

penelitian ini yakniterletak pada lokasi dan bahasa yang dikaji. Adapun tiga

temuan dalam analisisyang dilakukan oleh Rajistha yaitu (1) Kategori gramatikal

dari leksikon alamdalam beblabadan adalah verba seperti mabawang (berlaku

sebagai bawang) dannomina seperti Jaka (pohon enau); (2) Konstruksi sintaksis

dari beblabadan(metafora) yang mengandung leksikon-leksikon alam tersebut

antara lain frasanomina seperti base wayah (seperti daun sirih tua), frasa verba

seperti mabawangputih (seperti bawang putih), dan klausa seperti ental magulung

(daun lontar di gulung); dan (3) Dimensi praksis sosial dari beblabadan (metafora)

ditunjukkanoleh pola-pola acuan tertentu.

Penelitian yang dilakukan oleh Jagalimu (2017) yang berjudul “Makna

Tanda Pertunjukan Pasola” dalam penelitian ini membahas kajian semiotika

14
terhadap pertunjukan pasola di Desa Waihura Kecamatan Wanokaka Kabupaten

Sumba Barat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kosat (2017) yang berjudul

“Khazanah Leksikon Pendirian Uma Bokolo Guyub Tutur Bahasa Kodi, Sumba

Barat Daya”.

Dari sejumlah penelitian di atas, membuktikan bahwa bahasa Sumba yang

diteliti dan dibahas dengan menggunakan kajian ekolinguistik masih belum ada,

terutama mengenai ke-njara-an. Sehingga hal inilah yang mendorong peneliti

untuk mengkaji penelitian tentang leksikon yang berhubungan dengan budaya ke-

njara-an masyarakat Sumba. Beberapa yang akan menjadi fokus telaah penelitian

ialah jenis leksikon, kategori gramatikal dari setiap leksikon itu, “Leksikon dalam

kekayaan ke-njara-an sekaligus mengungkap dimensi praksis sosial masyarakat

Sumba yang tercermin melalui budaya ke-njara-an tersebut. Untuk mencapai

tujuan analisis ini, dalam mengkaji struktur atau kategori gramatikal leksikon

yang berkaitan erat dengan budaya ke-njara-an teori ekolinguistik Haugen (1972)

digunakan dalam kajian ini.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang dimaksudkan sebagain

dasar rujukan empiris tentang konsep yang dikaji, sehingga apabila ditemukan di

lapangan dapat dijadikan gambaran yang tepat tentang kosep tersebut sehingga

konsep dapat diamati dan diukur. Ada beberapa konsep yang berkaitan dengan

penelitian ini diantaranya: ekolinguistik dan leksikon.

2.2. Konsep

Konsep merupakan hasil abstraksi dan sintesis dari teori yang dikaitkan

dengan masalah penelitian yang dihadapi di samping untuk menjawab dan

15
memecahkan masalah penelitian. Konsep memberikan batasan terhadap

terminologi teknis yang merupakan komponen kerangka teori. Hipotesis (bila ada)

memiliki pengertian yang sama seperti pada usulan penelitian kualitatif. terkait

dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, beberapa konsep yang perlu

disajikan adalah konsep tentang, makna, upacara adat, tradisi lisan.

Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya Gunung Wanggameti (1.225

m). Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut,

Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara. Selat Sumba terletak di

utara pulau ini. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak

di sebelah selatan dan barat. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah

Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten:

Kabupaten Sumba Barat,Kabupaten Sumba Timur. Di Kabupaten Sumba Timur

terdapat pelabuhan terbesar di pulau Sumba yang terletak di Waingapu. Kota

tersebut juga terdapat bandar udara dan pelabuhan laut yang menghubungkan

Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia seperti Pulau Sumbawa,

Pulau Flores, dan Pulau Timor.

Sebelum dikunjungi bangsa Eropa pada 1522, Sumba tidak pernah

dikuasai oleh bangsa manapun. Sejak 1866, pulau ini dikuasai oleh Hindia

Belanda dan selanjutnya menjadi bagian dari Indonesia. Masyarakat Sumba secara

rasial merupakan campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid. Sebagian besar

penduduknya menganut kepercayaan animisme Marapu dan agama Kristen, baik

16
protestan maupun katolik. KaumMuslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di

sepanjang kawasan pesisir.

2.2.1 Relasi Makna

Djajasudarma (Djajasudarma, 1993:5) berpendapat bahwa makna adalah

pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata).

Artinya. setiap pertau-tan unsur-unsur bahasa menimbulkan makna tertentu.

Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan

pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Sejalan dengan pendapat di atas,

Soedjito (1990:63) mengemukakan bahwa makna ialah hubungan antara bentuk

bahasa dan barang (hal) yang diacunya.

2.2.2 Leksikon

Dalam konteks ekolinguistik, keberagaman isi lingkungan itu, yang karena

melalui interaksi, interelasi, dan interdependensi dalam kurun waktu yang

lama,ditandai, diwadahi, dikondekan dan direpresentasikan secara verbal dalam

Bahasa-bahasa yang ada di lingkungan itu. Ini berarti dimensi keberagaman

(diversity) itu tidak dapat dilepaskan pula dengan dimensi interelasi, interaksi, dan

interdependensi.

Ada beberapa pandangan para ahli untuk mengemukakan konsep leksikon,

salah satunya adalah Elson dan Pickett (1987: 1) mendefinisikan leksikon sebagai

kosakata suatu bahasa atau kosakata yang dimiliki oleh seorang penutur bahasa,

atau seluruh jumlah morfem atau kata-kata sebuah bahasa. Kata-kata yang

dimaksudkan oleh Elson dan Picket (1987) bukanlah katakata yang hanya

17
mengandung makna secara terpisah, melainkan maknanya dipengaruhi oleh

konteks situasi, juga mengandung makna referensial eksternal yang entitas-entitas

nyata dapat ditemukan secara empiric (lih. Verhaar, 2006: 389); kata-kata yang

menyertainya, posisinya dalam pola gramatikal, serta cara penggunaannya secara

sosial.

Sementara itu, Martin Haspelmath (2002: 39) menjelaskan leksikon

sebagai sebuah istilah yang mengacu pada kamus mental dan aturan-aturan

gramatikal tentang bahasanya yang harus dimiliki oleh penutur suatu bahasa.

Selain itu, Crystal (1985:78) mengatakan bahwa leksikon merupakan komponen

yang mengandung informasi tentang ciri-ciri kata dalam suatu bahasa, seperti

perilaku semantis, sintaktis, dan fonologis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2008:805) tercantum bahwa leksikon merupakan kosakata; komponen bahasa

yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa;

kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa.

Kridalaksana (1985) mendefinisikan leksikon sebagai berikut: (1)

komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian

kata dalam bahasa; (2) kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis,

atau suatu bahasa; kosakata; perbendaharaan kata; (3) daftar kata yang disusun

seperti kamus tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis. Konsep leksikon

yang digunakan dalam kajian ini adalah leksikon menurut Kridalaksana maka

dalam kajian ini diterapkan konsep leksikon yang dikemukakan oleh Kridalaksana

(1985) karena leksikon yang dimaksud dalam kajian ini adalah sejumlah daftar

18
kata-kata tentang lingkungan alam yang disertai dengan penjelasannya dan juga

mengacu pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang.

2.2.3 Makna

Makna merupakan batasan terhadap terminologi teknis sejumlah konsep

operasional yang komponen kerangka teori yang tidak terpisahkan dari semantik

dan selalu dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri

sangatlah beragam. Saeed (2009)mengemukakan makna merupakan rujukan dari

sebuah kata atau ungkapan yang menunjukkan hubungan dari kata atau ungkapan

tersebut dengan situasi nyata yang ditunjuk. Istilah makna merupakan kata-kata

dan istilah yang membingungkan karena makna tersebut selalu menyatu pada

tuturan kata maupun kalimat(Pateda, 2001: 79;Saeed, 2009;Kroeger,

2018;2019).Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna merupakan konsep

tentang hubungan antara simbol dan rujukan yang dari sebuah, kata, klausa

maupun ujaran.

2.2.4 Kenjaraan

Ke-njara-an‘kuda’ merupakan alat transportasi utama masyarakat Sumba

yaitu dengan cara bisa mengangkut barang atau bisa juga membawa orang kemana

saja tujuannya. Konteks yang dimiliki ke-njara-an atau kuda ada beberapa macam

umumnya. Ke-njara-an dilaksanakan pada acara-acara yang bersifat sukacita

seperti pada upacara padikinaminne ‘perkawinan’, pamalle jara ‘pacuan kuda’,

untuk keperluan pertunjukan/pementasan setiap konteks pelaksanaan ke-njara-

19
anmemiliki ciri dan karakter masing-masing terutama perihal isi teks ke-njara-an

ketika ada upacara adat maupun upacara perkawinan.

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada

aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara

dalam kehidupan masyarakat, antara lain, upacara penguburan, upacara

perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat adalah suatu

upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di suatu daerah.

Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri, seperti

upacara perkawinan, upacara labuhan, upacara camas pusaka dan sebagainya.

Upacara adat yang dilakukan di daerah, sebenar- nya juga tidak lepas dari unsur

sejarah.

Upacara adat adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat

pada aturan berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara

dalam kehidupan masyarakat, antara lain: upacara penguburan, upacara

perkawinan, dan upacara peminangan perempuan. Upacara adat adalah upacara

yang dilakukan secara turun temurun yang berlaku di setiap daerah masyarakat

sumba. Upacara adat yang dilakukan masyarakt sumba tidak lepas dari unsur

sejarah.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini dilakukan atas dasar eksistensi budaya ke-njaraa-an dan atas

batas-batas kajian pustaka yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Selain

itu untuk mewujudkan tujuan analisis dalam penelitian ini, beberapa teori yang

dijadikan pedoman akan digunakan. Teori-teori yang dimaksud ialah teori

20
ekolinguistik dan teori relasi makna. Untuk mengkaji leksikon budaya ke-njaraan

dari perspektif ekolinguistik, teori Haugen (1972) akan digunakan; sementara

untuk mengkaji relasi makna leksikonnya, teori relasi makna yang dikemukakan

oleh Soedjito (1990) akan digunakan. Berikut mengenai kedua teori ini diuraikan.

2.3.1 Teori Ekolinguistik

Konsep ekolinguistik pertama digagas oleh Haugen (1972) dengan fokus

pengkajian pada keterkaitan antara bahasa dalam hubungannya dengan

lingkungan yaitu manusia sebagi pengguna bahasa dan lingkungan alam. Menurut

Haugen, ekologi bahasa adalah interaksi antara bahasa yang sudah ada dengan

lingkungannya yaitu masyarakat atau komunitas pemakai bahasa tersebut yakni

sosiolinguistik.

Menurut Haugen (1972), ada tiga komponen dasar dalam membedah

ekolinguistik, yakni (1) ideology: bahasa hanya ada dalam pikiran para

penuturnya, dan akan berfungsi jika para penuturnya berhubungan satu sama lain

secara alami sebagaimana dalam lingkungan sosial dan alamiah mereka, (2)

psikologis: hubungannya dengan bahasa lain dalam pikiran penutur bilingual atau

multilingual, dan (3) sosiologis: hubungan dengan masyarakat dalam hubunganya

sebagai media komunikasi.

Mekanisme kerja dari ketiga komponen ini diramu oleh Warami (2013:5)

seperti yang digambarkan dalam bagan 1 berikut.

21
Bagan 1. Trilogi Haugen (1972)

Selanjutnya Haugen juga mengemukakan tiga parameter yang dapat

digunakan dalam penelitian ekolinguistik (Haugen,1972), selanjutnya diperkuat

oleh Fill dan Mushlhausler (2001:1) dan Mbete (2011), yakni (1)

interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan), (2) environment (lingkungan

ragawi dan sosial), (3) diversity (keberagaman bahasa dan lingkungan). Ketiga

parameter penelitian ekolinguistik ini diramu oleh Warami (2013:6) seperti yang

nampak pada bagan 2 berikut.

Bagan 2. Parameter Segitiga Haugen (1972)

Kajian ekolinguistik terhadap fenomena bahasa patut dibekali dengan

pengetahuan referensial, karena referensi mengandung konsep tentang sesuatu

yang terdapat di dalam dunia realitas. Karena konstruksi psikologis tidak memiliki

denotasi material maka pengalaman setiap penutur mewarnai kerangka acuannya

secara khusus. Kerangka acuan itu berbeda dari orang atau kelompok lain bahkan

dengan orang yang seguyub tutur (speech community). Realitas, struktur sosial,

22
dan cara hidup bervariasi antar guyub tutur. Medan makna mencerminkan

perbedaan ini, kendati di antaranya tidak selalu relevan lagi dalam masyarakat

kontemporer. Sebuah satuan makna mungkin merujuk ke dalam medan yang

berbeda dalam bahasa-bahasa yang berbeda. Bahasa manusia antargenerasi

misalnya, membekali kita dengan sejumlah besar hasil rakitan kebahasaan dengan

tata makna yang siap pakai.

Ada beberapa parameter atau dimensi yang juga bertolak dari parameter

ekologi dan menjadi parameter ekolinguistik yakni satuan-satuan bentuk dan

makna lingual. Menurut Mbete (2011), dimensi atau parameter itu adalah

environment (lingkungan bahasa hidup nyata dengan lingkungan khusus),

diversity (keberagaman), interrelation, interaction, dan juga interdependence

(kesalinghubungan, interaksi dan saling keterhubungan). Keberagaman atau

kebervariasian bentuk leksikon, bentuk gramatika, bentuk teks, budaya dengan

ekologinya, mencerminkan interaksi atau relasi suatu bahasa dan lingkungannya,

baik alam maupun masyarakat bahasa dengan budayanya. Seperti yang dinyatakan

Derni (2008) bahwa ekolinguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dengan

lingkungan yang memiliki intrarelasi, interrelasi, ekstrarelasi dan kombinasi satu

sama lain di antara unsur-unsur tersebut.

Dari hasil pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahasa dan

budaya erat kaitannya dengan ekologi, di mana bahasa dan budaya tersebut di

tuturkan. Namun sayangnya, ada hal lain seperti bahasa daerah yang belum

tereksplor dan diekspos dengan baik, bahkan cenderung dilupakan.

23
2.3.2 Relasi Makna

Djajasudarma (Djajasudarma, 1993:5) berpendapat bahwa makna adalah

pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata).

Artinya. setiap pertau-tan unsur-unsur bahasa menimbulkan makna tertentu.

Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan

pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Sejalan dengan pendapat di atas,

Soedjito (1990:63) mengemukakan bahwa makna ialah hubungan antara bentuk

bahasa dan barang (hal) yang diacunya.

2.4. Teori Ekolinguistik Dialektkal

Menurut pandangan ekolinguistik dialektikal ataulinguistik dialektikal

(dialecticallinguistics),bahasa merupakan bagian yang membentuk dan sekaligus

dibentuki olehpraksis sosial (Bundsgaard, 2000). Bahasa merupakan produk sosial

dari aktifitas manusia danpada saatsama bahasa juga mengubah dan

mempengaruhi aktifitas manusia atau praksissosial. Dengan demikian, terdapat

hubungan dialektikal antara bahasa dan praksissosial. Konsep praksis sosial dalam

konteks ini mengacu pada semua tindakan,aktifitas dan perilaku masyarakat, baik

terhadap sesama masyarakat maupun terhadap lingkungan alam di sekitarnya.

(Døør, 1993) menjelaskan bahwa ‘ecolinguistics is thepartof critical,

applied linguistics concerned with theways in which languageand linguistics

areinvolvedinthe ecologicalcrisis’ yang berarti bahwa‘ekolinguistik merupakan

bagian dari kritis, linguistik terapan yang terkait dengan cara-cara dimana bahasa

dan ilmu bahasa terlibat dalam krisis ekologis’. Lebih lanjut (Bundsgaard, 2000)

24
menjelaskan ekolinguistik atau ekolinguistik dialektikal berdasarkan sudut

pandangThe ELI Research Group,k elompok penelitian lingkungan, bahasa dan

ideology yang dikembangkan oleh Bang dan Døør, merupakan ilmu yang

mempelajari hubungan timbale balik antara dimensi biologis, sosiologis, dan

ideologis dari bahasa. Ketiga dimensi ini merupakan ekologi atau lingkungan dari

bahasa yang mengacu pada perilaku masyarakat dengan lingkungannya.

Dimensi ideologis merupakan sistem mental individu dan koleksif, sistem

kognitif, sistem ideologis dan psikis. Dimensi ideologis menunjukkan adanya

hubungan individual dengan mental kolektif beserta kognitifnya termasuk

khazanah pengetahuan leksikon dan ungkapan, tuturan atau wacana, sitem fisik

yang berupa unsur-unsur material baik biotik maupun abiotik seperti air, udara.

Setiap pengetahuan kognitif baik berupa leksikon, ungkapan dan teks memiliki

keberadaan ideologikal bagi masyarakat bahasa yang dapat diketahui

keberadaannya melalui produksi dan penggunaan oleh masyarakat bahasa itu

sendiri (Bundsgaard, 2000). Pengetahuan kognitif tiap individu menunjukkan

adanya hubungan yang terjaga antara individu dan alam sekitar.

Dimensi sosiologis yaitu tentang bagaimana kita mengatur hubungan

antarindividu agar tetap bertahan. Pengetahuan tentang leksikon sudah

diperkenalkan terlebih dahulu dalam dimensi/keberadaan sosiologikal, dan sudah

pernah mereka dengar dalam situasi dialogikal /percakapan dalam praksis sosial

(Bundsgaard, 2000). Bundsgaard juga menyebutkan bahwa dalam dimensi ini,

adanya pengetahuan yang terekan dalam masyarakat yang jika diujarkan, maka

akan masuk ke dalam lingkungan sosiologikal dan akan menghilang ketika tidak

25
dituturkan lagi, atau yang dekenal dengan sebutan neologisme. Dimensi biologis

yaitu dimensi mengenai keberadaan kita secara biologis yang bersanding dengan

spesies lain, baik makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan, mikroorganisme,

maupun benda mati seperti air, batu, pasir, dan lautan (Bundsgaard, 2000).

Implikasi dari hubungan dialektikal antara bahasa dan praksis sosial

adalah bahwa kajian terhadap bahasa berartipula kajian terhadap praksis sosial,

dan dengan demikian teori bahasa adalah juga teori praksis sosial. Untuk itu,

kajian ekolinguistik dalam teori dilektikal adalah kajian tentang interrelasi

dimensi ideologis, dimensi sosiologis dan dimensi biologis dalam bahasa. Ini

merupakan inti teori dialektikal, yang kemudian melahirkan empat model kajian

ekolinguistik, yakni model dialog, model dieksis (triplemodelof reference), model

matriks semantik,dan model kontradiksi inti (Døør, 1993). Dari keempat model

ekolinguistik ini, model yang pertama yakni model dialog, yang akan dibahas

dalam penelitian ini untuk menggambarkan dimensi praksis sosial dalam leksikon

Ke-njara-an bahasa Sumba Barat Daya.

2.4.1 Model Dialog

Kerangka teori dari tiga dimensi praksis sosial (ideologis, sosiologis, dan

biologis) dirumuskan dalam dialogue model (model dialog). Bahasa dan

ekolinguistik merupakan bagian dari budaya, formasi sosial serta praksis. Konsep

praksis sosial dalam aliran Odense mengacu kepada aktivitas sosial manusia yang

dianggap merupakan proses yang memiliki makna dan didasarkan pada nilai-nilai

dalam konsep ini bahasa dianggap sebagai bagian dari aktivitas sosial yang

sekaligus berfungsi menginformasi atau mengritik praktis sosial. Oleh karena itu,

26
setiap perubahan yang terjadi didalam penggunaan bahasa sekaligus

mengindentifikasi adanya perubahan praksis sosial (Døør, 1993).

Praksis sosial ini terdiri atas kontradiksi-kontra diksi inti yang membatasi

sekaligus mengkondisikan setiap aktivitas sosial, termasuk di dalamnya

aktivitas penggunaan bahasa maupun aktivitas linguistik. Dalam konteks ini,

hubungan dialogis melibatkan empat konstituen, yakni penutur,mitra tutur,objek

yang diacu atau masalah yang dibicarakan,dan satu konstituen lain yang bisa saja

tidak berada dalam situasi dialogis tetapi turut menentukan jalannya komunikasi,

seperti yang dirumuskan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Model Dialog

Model dialog dalam gambar tersebut menjelaskan bahwa empat konstituen

yaitu S1,S2,S3, dan O terjadi dalam topos (ruang,tempat, dan waktu) dengan latar

belakang tiga dimensi praksis sosial yaitu dimensi idiologis, dimensi sosiologis,

dan dimensi biologis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa S1 merupakan pembuat teks,

S2 merupakan konsumen teks, S3 merupakan subjek yang diwujudkan atau tidak

berada dalam situasi dialog, dan O merupakan objek yang dirujuk dalam

komunikasi (Bundsgaard, 2000).

27
2.5 Model Penelitian

Ekolinguistik

Leksikon

Ke-njara-an Sumba

Apa sajakah leksikon yang Bagaimanakah relasi makna Bagaimanakah metafora


terdapat dalam Ke-njaraa-an ekoleksikon Ke-njara-an? leksikon Ke-njara-an?
bahasa Sumba?

Teori Ekolinguistk Teori Relasi Makna Teori Metafora Haugen


Haugen (1972) (Soedjito, 1990: 76) (1972)

Temuan
Penelitian

Bagan 3.1 Model Penelitian

28
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Seperti dijelaskan pada bagian pendahuluan bahwa penelitian ini

menyangkut eksistensi budaya ke-njara-an masyarakat sumba sebagai bagian yang

tidak terlepas dari kehidupannya yang memberikan keunikan yang khas, termasuk

pada aspek kebahasaan, oleh sebab untuk dapat mencapai tujuan tersebut desain

penelitian kualitatif akan diterapkan. Penelitian kualitatif merupakan metode-

metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu

atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau

kemanusiaan(Creswell, 2010). Dengan pendekatan penelitian kualitatif, gejala

sosial yang terealisasi pada penggunaan bahasa dalam lingkup budaya ke-njara-an

ditelaah untuk kemudian diungkap dengan metode yang sistematis, meliputi

serangkaian aktivitas yang dimulai dari pengamatan di lapangan, penemuan

masalah, penyusunan rancangan penelitian, dan pelaksanaan penelitian. Tahapan

pelaksanaan penelitian meliputi pengumpulan data, penganalisian data, pembuatan

laporan hasil penelitian dan penarikan simpulan.

3.2 Jenis dan Sumber Data


3.2.1 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data dalam bentuk lisan

yang kemudian ditranskripsikan dalam bentuk data tulis yang diperoleh dari

29
wawancara dan juga data tulis yang diperoleh dari cerita rakyat masyarakat

Sumba.

3.2.2 Sumber Data

Sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena

ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan

dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh (Sutopo, 2002). Sumber data

dalam penelitian ini adalah informan, yaitu masyarakat Sumba. Informan akan

dipilih berdasarkan beberapa kriteria, yaitu: (1) berjumlah tidak kurang dari 5

orang; (2) penutur asli bahasa Sumba; (3) berumur 25-60 tahun; dan (4)

setidaknya pernah terlibat pada kegiatan budaya ke-njara-an. Data juga dapat

diperoleh dari wawancara tentang informasi yang berkaitan denganmasyarakat

Sumba yaituke-njara-an, seperti teks-teks yang berisi cerita rakyat dan penelitian-

penelitian di bahasa Sumba yang relevan yang dikaji, baik dalam kaitannya

dengan Bahasa, budaya, maupun keanekaragaman yang ada di lingkungan.

3.2.3 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagaiinstrumen kunci dalam

mengumpulkan data. Namun ada tambahan instrumen yang juga digunakan untuk

membantu dalam mengumpulkan data. Instrumen dimaksud ialah hape genggam

(android). Hape genggam dipilih karena memiliki aplikasi kamera yang dapat

digunakan untuk membuat fotograf dan rekaman video dengan hasil yang

maksimal (tidak buram) dan juga mampu merekam suara secara serempak ketika

30
melakukan perekaman video yang digunakan pada saat wawancara dengan

informan.

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini akan dikumpulkan dengan menerapkan metode

wawancara. Metode wawancara adalah metode yang melibatkan peneliti

melakukan percakapan dengan informan selaku nara sumber. peneliti melakukan

wawancara yang terbuka dan mendalam dengan informan. Tujuannya untuk

menggali dan menjaring informasi, pengetahuan tentang leksikon yang terdapat

pada budaya ke-njara-an. Selain itu wawancara juga dilakukan untuk mencari

aspek sosiologis dan ideologis masyarakat Sumba tentang budaya ke-njara-an

tersebut. Kegiatan wawancara dilakukan secara berulang selama beberapa kali

dari satu informan ke informan lain. Untuk menunjang kelancaran dan keterarahan

pelaksanaan wawancara, penulis menyiapkan sejumlah pertanyaan tertulis yang

berisi beberapa pokok pikiran utama berkaitan dengan budaya kenjara-an. Daftar

pertanyaan tersebut berfungsi sebagai pedoman umum, sehingga komunikasi dan

interaksi dengan informan dalam kerangka pemerolehan data tidak membias di

luar lingkup masalah yang diteliti. Metode dokumentasi juga akan diterapkan

untuk merekam seluruh objek yang berhubungan dengan ke-njara-an

menggunakan android. Fotograf akan dijadikan salah satu bahan yang disajikan

pada penyajian hasil analisis data untuk mendukung pernyataan-pernyataan

tentang penjelasan dan pengintepretasian hasil analisis data. Ada dua cara kategori

foto yang dihasilkan orang lain dan foto yang di hasilkan oleh peneliti

sendiri(Bogdan & Biklen, 1982). Semua yang diuraikan diatas pada umumnya

31
memberikan gambaran tentang foto sebagai data atau pendorong ke arah

menghasilkan data. Pada umumnya foto tidak dilakukan secara tunggal untuk

menganalisis data.

3.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Patton(1980) menjelaskan bahwa analisis data adalah proses mengatur

urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian

dasar. Sedangkan menurut Bogdan & Taylor(1975), analisis data sebagai proses

yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan

hipotesis (ide) seperti yang di sarankan dan sebagai usaha untuk memberikan

bantuan dan tema pada hipotesis. Analisis data bermaksud mengorganisasikan

data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan

komentar peneliti, gambar, foto, dokumen, berupa laporan, biografi, artikel, dan

sebagainya.

Dalam teknik analisis data ini peneliti menggunakan teknik yaitu:

perekamanan telpon seluler atau video call whatsapp, dan analisis data.

Transkripsi adalah kegiatan yang terdapat dalam ke-njara-an atau kuda dan

hubungannya dengan kain tenun Sumba yang telah direkam, di tuangkan dalam

bahasa tulis atau dalam bentuk lisan dan tulisan untuk diarsipkan. Pengarsipan ini

disertai dengan identitas informan yang meliputi (1) nama; (2) umur; (3) jenis

kelamin; (4) pekerjaan; (5) bahasa yang dikuasai; dan (6) alamat pada bagian

kanan atas.

Analisis data adalah data yang diolah dengan menggunakan metode

analisis triangulasi untuk memperoleh hasil wawancara dari tokoh adat atau

32
sejarawan, ahli kebudayaan, dan hasil pengamatan. Jenis metode yang dipakai

dalam menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode

Triangulasi. Triangulasi adalah salah satu cara mengecek keabsahan data. Ini

digunakan untuk mengecek kebenaran dan penafsiran data yang diperoleh melalui

observasi, pencatatan, rekaman dari hasil wawancara dan rekaman foto, sehingga

data ini sifatnya ganda. Pengambilan data dilakukan terhadap lebih dari satu orang

sehingga akan menghasilkan berbagai pendapat. Triangulasi yang digunakan

dalam penelitian ini ialah triangulasi dengan penggunaan beberapa data.

Pengambilan data dilakukan pada sejumlah sumber data yang berbeda-beda, data

dianggap valid bila jawaban sumber data yang satu sesuai atau sama dengan

jawaban sumber data yang lainnya (Sugiyono, 2012).

3.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil penyajian dalam penelitian ini disajikan dengan metode formal dan

informal. Metode formal digunakan untuk menyajikan hasil analisa data yang

berupa leksikon kuda dan hubungannya dengan kain tenun Sumba, sedangkan

metode informal digunakan untuk menyajikan hasil data yang berupa paparan

kata. Melalui penyajian hasil analisis data secara informal dan formal tersebut,

maka hasil penelitian tentang leksikon kuda dan hubungannya dengan kain tenun

Sumba dalam masyarakat Sumba dalam kajian ekolinguistik dapat dideskripsikan

sesuai dengan tujuan penelitian.

33
BAB IV
EKOLEKSIKON KE-NJARA-AN MASYARAKAT SUMBA

4.1 Pengantar

Seperti yang dijelaskan pada bagian pendahuan dan bagian metode penelitian

bahwa penelitian ini dilakukan untuk mengkaji leksikon yang berkaitan tentang

budaya ke-jara-an masyarakat Sumba, beberapa hal yang terkait dengan lokasi,

subejk, dan objek penelitian diuraikan untuk memberi gambaran komprehensif

tentang objek kajian utama dan rumusan masalah penelitian ini. Beberapa hal

memiliki kaitan tentang penelitian ini secara holistik, seperti informasi tentang

lokasi penelitian, subjek penelitian, dan objeknya. Dengan kata lain, sajian yang

diuraikan pada bab ini tidak hanya meliputi leksikon-leksikon tentang ke-njara-an

masyarakat Sumba.

Penelitian ini dilakukan di Sumba Barat Daya. Data yang dikumpulkan

merupakan tuturan berbentuk lisan dan tulisan. Cerita rakyat yang ditulis pada

bahasa Indonesia dan diunggah di internet. Tuturan lisan dikumpulkan dengan

menghubungi 5 orang informan yang dipilih berdasarkan beberapa kriteria, yakni

(1) masyarakat asli Sumba Barat Daya; (2) tinggal di Sumba; (3) berumur dari 25

hingga 50 tahun; (4) memiliki pemamahan dan pengalaman yang banyak tentang

budaya ke-njara-an masyarakat Sumba Barat Daya; (5) merupakan penutur asli

bahasa Sumba Barat Daya; dan (6) sering mengikuti acara-acara yang melibatkan

njara ‘kuda’, seperti Pertunjukkan Pasola, Pacuan Kuda, dan pernikahan adat

34
masyarakat Sumba, atau oleh masyarakat setempat disebut Pinda Ikat. Informan

dihubungi telepon seluler.

Data berbentuk tulisan, yang meliputi cerita-cerita rakyat, dikumpulkan

dengan menjelajahi situs web Anak Sumba di

http://derosaryebed.blogspot.com/2011/11/wee-wini-dan-legenda-sebuah

kampung.html, yang ditulis oleh Penulis: Baktiar. Cerita rakyat tersebut dijadikan

referensi dalam menjelaskan leksikon tentang ke-njara-an masyarakat Sumba,

termasuk fungsi dan nilai budaya serta sosial bagi masyarakat setempat yang

terkandung dalam eksistensi kuda. Selain itu teks-teks dalam cerita rakyat juga

dijadikan sumber yang memberi pemahaman tentang eksistensi kuda dan fungsi

kultural dan sosialnya bagi masyarakat Sumba Barat Daya.

4.2 Leksikon Ke-njara-an Masyarakat Sumba Barat Daya

Ke-njara-an dalam penelitian ini berkaitan dengan pelbagai bagian dan

hal-hal tentang njara (kuda) yang dalam bahasa latinnya disebut dengan Equus

caballus, baik isinya dengan keanekaragaman hayatinya (biodiversity),

keadaannya, maupun persepsi (ideologi atau adicita) tentang ke-njara-an di

kalangan masyarakatnya. Kesemuanya itu merupakan kekayaan bahasa Sumba

yang memberi gambaran bahwa adanya hubungan yang kaya makna antara

manusia dengan lingkungan alam ke-njara-an. Konteks yang dimiliki ke-njara-an

atau kuda ada beberapa macam umumnya. Ke-njara-an dilaksanakan pada acara-

acara yang bersifat sukacita seperti pada upacara padiki naminne ‘perkawinan’,

pamalle jara ‘pacuan kuda’, untuk keperluan pertunjukan/pementasan setiap

35
konteks pelaksanaan ke-njara-an memiliki ciri dan karakter masing-masing

terutama perihal isi teks ke-njara-an ketika ada upacara adat maupun upacara

perkawinan.

Kuda Sandelwood (Equus caballus) selalu menemani orang Sumba dari

momen kelahiran hingga kematian. Kuda Sandelwood selalu ada dalam setiap

nafas orang Sumba. Seluruh hidup orang Sumba dari lahir sampai mati tidak

terlepas dengan kuda, kuda itu kekuatan, dia simbol ketangkasan, jadi semuanya

dilambangkan dengan kuda. Kuda (Equus caballus) juga dijadikan bekal kubur.

Bagi orang Sumba, kuda itu harga diri. Dalam perspektif ekolinguistik, parameter

lingkungan merupakan sumber bahasa yang melahirkan variasi-variasi bentuk dan

makna ekoleksikon ke-njaraan.

Ekoleksikon berkategori nomina yang menggambarkan keanekaragaman

(diversity), juga merepresentasikan parameter interaksi, interelasi, dan

interdependensi antara bahasa Sumba dengan keanekaragamn di lingkungan

(environment). Ada perbedaan pula antara lingkungan perladangan dengan

lingkungan persawahan. Berikut perangkat ekoleksikon ke-njara-an yang

diketahui dan dipahami oleh Bahasa Sumba.

Terdapat sejumlah leksikon yang berkaitan dengan njara ‘kuda’ dan ke-

njara-an, yang merupakan salah satu dari sekian banyak item dan simbol budaya

masyarkat Sumba Barat Daya. Leksikon-leksikon tersebut diklasifikasikan mulai

dari nama-nama bagian internal dari entitas njara, hingga pada hal-hal atau

entitas-entitas yang berkaitan dengan njara tersebut yang berada di luarnya.

Entitas yang berada di luar njara yang dimaksud di sini ialah entitas-entitas yang

36
mempergunakan kuda tersebut dalam berbagai kegiatan, yang memberi nilai

kultural dan manfaat yang tidak terbatas, hingga sebuah ideologi tentang njara

yang terefleksikan melalui budaya ke-njara-an terbentuk.

Pada tabel 4.1 leksikon-leksikon yang berkaitan dengan ke-njara-an

masyarakt Sumba Barat Daya disertai dengan kategori gramatikalnya disajikan

disajikan.

Tabel 4.1 Ekoleksikon Ke-njara-an Masyarakat Sumba


Kategori
Leksikon
No
Gramatikal
Bahasa Sumba Bahasa Indonesia Nomina Verba
1 njara atau ndara Kuda √
2 ndara ole urra kuda yang segaris tangan √
3 njapu damangu ngara kuda yang tidak dinamai √
4 Wulla poddu bulan purnama √
5 mara’i ndara kening kuda √
6 korru njara hidung kuda √
7 mata njara mata kuda √
8 katilu njara telinga kuda √
9 wa’i njara kaki kuda √
10 kikku njara ekor kuda √
11 loge ndara surai kuda √
12 ngundu njara gigi kuda √
13 katowa njara kepala kuda √
14 ti’a njara perut kuda √
15 Katanga tali penopang gigi √
16 Kasasi tali pengikat kepala √
17 ku’u njara kuku kuda √
18 Pasola Pasola √
19 Pacuan Pacuan √
20 Joki penunggang kuda √
21 Patauna mengadu kuda √
22 Hela Pelana √
23 Tonggu Menarik √
24 Padikkiwi memindahkan √
25 ka’ila Meringkik √
26 Patenda Menendang √
27 Enu Minum √
28 Pario memandikan √

37
29 Karawa Memelihara √
30 panga’awi memberi makan √
31 rahi njara hiasan kepala √
32 bukku njara leher kuda √
33 welli ranga belis berupa kuda √
34 Ruta Rumput √
35 Parengga penjemputan √
36 njara mane kuda jantan √
37 bei njara kuda betina √
38 njara kaka kuda putih √
39 njara mette kuda hitam √
40 ndara koni kuda belang √
41 ana njara anak kuda √
42 ndara kalada kuda besar √
43 ndara tale rara kuda yang diikat tali kuning √
44 njara jaga kuda yang kokoh √
dewa njara rara ura ahu arwah yang punya karisma
45 √
kaka
46 ndara pakklete kuda untuk bekal mati √
47 Loko Sungai √
48 Gallu Kandang √
49 Maradda padang rumput √
50 Weemahi Pantai √
51 kalete ndara menunggang kuda √
52 ghughu ndara sepatu kuda √
53 palu ndara cemeti kuda √
54 kalita ndara kulit kuda √
Njara madewa Kuda sehidup semati
55. √
Loddo ndua Hari baik/mengamati bulan
56. √

Seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.1 terdapat 56 leksikon yang

memiliki kaitan erat njara ‘kuda’ dan kehidupannya. Secara sintaksis ke-56

leksikon tersebut memiliki kategori gramatikal nomina atau frasa nomina dan

verba. Terdapat 45 leksikon yang berkategori gramatikal nomina atau frasa

nomina dan yang lainnya berkategori gramatikal verba. Seperti yang tampak pada

38
tabel tersebut, terdapat leksikon yang terdiri lebih dari satu kata, tetapi dalam

analisis ini dikelompokkan berdasarkan nomina atau verba. Oleh karena itu frasa

yang berinti nomina digolongkan sebagai nomina dan frasa yang berinti verba

digolongkan sebagai verba.

Selain itu, seperti yang telah dinyatakan di atas bahwa ke-56 leksikon

memiliki kaitan erat dengan kuda, itu berarti masih terdapat sejumlah leksikon-

leksikon lain yang juga berhubungan dengan njara ‘kuda’ tetapi kaitannya dengan

fungsi kuda dalam ke-njara-an masyarakat tidak terlalu dekat. Dengan kata lain

leksikon yang disajikan pada tabel 4 adalah leksikon yang kaitannya dengan kuda

erat ialah leksikon yang referennya berhubungan dekat dengan budaya njara bagi

masyarakat Sumba.

Pada tabel di 4.1 telah diklasifikasikan leksikon ke-njara-an masyarakat

Sumba Barat Daya berdasarkan jumlah total dan kategori gramatikalnya. Pada

bagian berikut, bentuk, makna, dan fungsi dari setiap leksikon tersebut diuraikan

satu per satu. Bentuk-bentuk yang dimaksud meliputi bentuk gramatikal, masing-

masing leksikon termasuk bentuk dasar atau bentuk turunan. Makna leksikal,

makna sosial, serta makna kultural dari setiap leksikon tersebut juga dijelaskan.

Dalam pembahasan ini makna leksikon mencakup makna referensial yang

mengacu pada enitas-entitas yang disimbolkan melalui bentuk leksikon-leksikon

tersebut. Selain itu fungsi dari setiap leksikon mencakup fungsi kultural dan sosial

yang selalu direalisasikan oleh masyarakat Sumba Barat Daya dalam komunikasi

sehari-hari, khususnya yang berhubungan dengan njara ‘kuda’ (Equus caballus).

39
Khazanah verbal dalam wujud ekoleksikon yang secara semantik terkait

dengan ke-njara-an atau kuda (Equus caballus) meliputi unsur-unsur yang

tergolong biotik dan abiotik. Secara linguistik, perangkat ekoleksikon itu

termasuk kategori nomina(noun), verba, dan adjektiva, dan segi-segi semantik

ekoleksikon dengan fitur-fitur semantik yang bernyawa dan tak bernyawa.

Khazanah verbal yang tergolong biotik dan abiotik dalam ekoleksikon ke-njara-an

adalah sebagai berikut.

4.2.1 Ekoleksikon Biotik Ke-Njara-an (Equus caballus) Sumba

1. Njara ‘kuda’(Equus caballus)

Secara gramatikal njara ‘kuda’ berbentuk dasar dan berkategori nomina.

Leksikon tersebut mengacu pada hewan yang bertubuh besar dan berkaki empat.

Referen dari leksikon tersebut meliki fungsi sebagai hewan piharaan dan memberi

manfaat bagi masyarakat secara umum, misalnya sebagai alat transportasi yang

membantu manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Selain itu kuda

juga dapat dimanfaatkan sebagai pengangkut barang-barang, kebutuhan manusia.

Bagi masyarakat Sumba, fungsi kuda tidak hanya sebatas itu. Njara atau kuda

memiliki fungsi spesifik yang bernilai kultural, yang mana, kuda dimanfaatkan

sebagai bahan pertunjukkan substansi budaya khas masyarakat Sumba. Di

beberapa aspek lain kehidupan masyarakat Sumba, kuda memiliki fungsi yang

sama, yakni sebagai simbol kultur yang telah menjadi salah satu warisan kearifan

lokal dari nenek moyang masyarakat Sumba yang dipelihara secara turun-

temurun.

40
2. Mara’i Ndara ‘kening kuda’

Secara gramatikal mara’i ndara ‘kening kuda’ berkategori frasa dan

berbentuk turuna karena diperoleh dari dua bentuk lingual, yaitu mara’i ‘kening’

dan ndara ‘kuda’. Kedua leksikon ini digunakan untuk mendeskripsikan bagian

depan atas di kepala kuda. Dengan kata lain bentuk tersebut digunakan untuk

menamai salah satu bagian tubuh kuda.

3. Korru Njara ‘hidung kuda’

Korru njara ‘hidung’ kuda adalah leksikon lain yang berhubungan

dengan kuda, terutama bagian tubuhnya. Secara gramatikal bentuk tersebut

diperoleh dari korru ‘hidung’ dan njara ‘kuda’, dan berkategori frasa nomina dan

berbentuk turunan. Bentuk tersebut merupakan dua jenis leksikon yang digunakan

untuk menamai bagian tubuh kuda yang berfungsi untuk mencium dan secara

41
biologis melakukan kegiatan respirasi. Dalam kegiatan memanfaatkan kuda

sebagai alat pengangkut dalam kegiatan sehari-hari dan kegiatan-kegiatan khusus,

seperti kegiatan-kegiatan adat, hidung kuda dapat membantunya mengenali jalan

dan mengenali penunggang atau pemiliknya ketika kepala ditutupi kain.

4. Mata Njara ‘mata kuda’

Nama bagian tubuh yang lain dari kuda ialah mata njara ‘mata kuda’.

Leksikon tersebut terdiri dari dua bentuk lingual, yakni mata ‘mata’ dan njara

‘kuda’. Kategori gramatikal dari bentuk tersebut ialah frasa nomina dan bentuk

gramatikalnya ialah turunan. Bentuk tersebut digunakan untuk menamai bagian

fungsional tubuh kuda yang digunakan untuk melihat.

5. Katilu Njara ‘telinga kuda’

Katilu njara ‘telinga kuda’ ialah leksikon lain yang digunakan untuk

menamai bagian tubuh kuda. Bentuk tersebut termasuk kategori frasa nomina dan

berbentuk turunan. Hal itu karena bentuknya diperoleh dari dua bentuk lingual,

yakni nomina katilu ‘telinga’ dan nomina njara ‘kuda’. Leksikon tersebut

digunakan untuk menamai bagian tubuh kuda yang berfungsi sebagai mendengar.

6. Wa’i Njara ‘kaki kuda’

Bagian tubuh kuda yang lain ialah kaki. Pada masyarakat Sumba bagian

tubuh kuda tersebut diberi nama wa’i njara ‘kaki kuda’. Bentuk itu diperoleh dari

nomina nomina wa’i ‘kaki’ dan nomina njara ‘kuda’. Oleh karena itu leksikon

tersebut termasuk frasa nomina dan berbentuk gramatikal turunan.

42
7. Kikku Njara ‘ekor kuda’

Kikku njara ‘ekor kuda’ adalah nama bagian tubuh lain dari kuda. Secara

gramatikal leksikon tersebut berbentuk frasa nomina dan termasuk frasa nomina.

Leksikon itu terdiri dari dua bentuk lingual, yaitu kikku ‘ekor’ dan njara ‘kuda’.

Secara sosiologis leksikon tersebut digunakan untuk menamai bagian tubuh kuda

paling belakang dan biasanya berbulu tebal.

8. Loge Njara ‘surai kuda’

Loge njara ‘surai kuda’ ialah leksikon lain yang berhubungan dengan

kuda. Bentuk gramatikal dari leksikon tersebut ialah turunan dan kategori

gramatikalnya ialah frasa nomina. Dinyatakan demikian karena leksikon tersebut

terdiri dari bentuk lingual, yaitu loge ‘surai’ dan njara ‘kuda’. Loge njara ialah

leksikon yang digunakan untuk menamai bulu-bulu kuda yang tebal, terutama

yang terletak di bagian kepala di atas mata dan di bagian ekor.

9. Ngundu Njara ‘gigi kuda’

Sebagai makhluk hidup, kuda juga memiliki bagian tubuh yang berposisi

dan berfungsi sama dengan bagian tubuh manusia. Ngundu njara ‘gigi kuda’

adalah leksikon yang digunakan untuk menamai bagian tubuh kuda yang bersifat

keras dan terletak di dalam mulut. Entitas dari leksikon tersebut ialah bagian

tubuh yang berfungsi sebagai pengunyah makanan. Secara gramatikal leksikon

tersebut terdiri dari dua bentuk lingual, yakni nomina ngundu ‘gigi’ dan nomina

njara ‘kuda’. Oleh karena itu kategori dari leksikon tersebut ialah frasa nomina

dan bentuk gramatikalnya ialah turunan.

43
10. Katowa Njara ‘kepala kuda’

Leksikon lain yang mempunyai hubungan erat dengan kuda pada

masyarakat Sumba ialah katowa njara. Katowa njara ‘kepala kuda’ secara

gramatikal berbentuk turunan karena diperoleh dari dua bentuk linguistik, nomina

katowa ‘kepala’ dan nomina njara ‘kuda’. Dengan demikian leksikon tersebut

juga berkategori gramatikal frasa nomina. Oleh masyarakat Sumba leksikon

tersebut digunakan untuk menamai bagian terdepan dari tubuh kuda, yakni bagian

tubuh yang mengontrol seluruh anggota tubuh yang lain, karena pada bagian

tubuh ini terdapat mulut, hidung, mata, dan telinga dan yang paling penting ialah

otak berada pada bagian dalam bagian tubuh tersebut.

11. Ti’a Njara ‘perut kuda’

Ti’a njara ‘perut kuda’ ialah bagian tubuh kuda yang memiliki banyak

fungsi, terutama dalam sebagai sumber dan penyimpan energi kuda. Secara

gramatikal leksikon tersebut berbentuk turunan yang diperoleh dari dua bentuk

lingual yaitu ti’a ‘perut’ dan njara ‘kuda’. Oleh karena itu leksikon tersebut juga

berkategori gramaikal nomina. Entitas yang dirujuk oleh leksikon tersebut ialah

bagian tengah dari tubuh kuda yang digunakan untuk menyimpan makanan dan

minuman yang dimasukkan melalui rongga mulut.

12. Joggi ‘joki’

44
Joki ‘penunggang kuda’ adalah leksikon lain yang digunakan untuk

menamai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kuda. Secara gramatikal

bentuk tersebut berkategori nomina dan berbentuk dasar. Sesorang yang

menunggang seekor kuda berhubungan erat dengan kuda tersebut. Pada situasi

seperti itu kuda digunakan dimanfaatkan sebagai alat yang memikul manusia.

Oleh karena itu kuda memberi manfaat atau fungsi yang selain ditunggangi

manusia juga sebagai pengisi substansi kultural masyarakat Sumba, terutama

ketika pertunjukkan pasola berlangsung.

13. Patauna njara ‘kuda diadu’

Leksikon lain yang berhubungan dengan kuda ialah patauna ‘mengadu

kuda’. Secara gramatikal leksikon tersebut berkategori verba dan berbentuk

turunan. Secara morfologis leksikon tersebut diperoleh dari bentuk dasar tauna

‘pengaduan’ tetapi dibubuhi prefiks {pa-} yang berfungsi membentuk kategori

gramatikal baru, yakni verba. Masyarakat Sumba sering melakukan kegiatan adat

berupa mengadu antara kuda yang satu dengan kuda yang lain. Kegiatan ini

45
disebut patauna ‘mengadu’. Makna sosial dari kegiatan mangdu kuda bagi

masyarakat Sumba ialah menumbuhkan rasa solidaritas atau keakraban (intimacy)

antar anggota masyarakat.

14. Njara Mane ‘kuda jantan’

Salah satu leksikon yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis kelamin

kelamin kuda iaah njara mane ‘kuda jantan’. Secara gramatikal leksikon tersebut

berbentuk turunan dan berkategori frasa nomina. Leksikon tersebut terdiri atas

nomina njara ‘kuda’ dan adjektiva mane ‘jantan’. Fungsi leksikon tersebut ialah

mendeskripsikan kuda yang berjenis kelamin jantan.

15. Bei Njara ‘kuda betina’

Leksikon lain yang digunakan untuk membedakan jenis kelamin kuda

pada masyarakat Sumba ialah bei njara ‘kuda betina’. Secara gramatikal leksikon

tersebut berkategori frasa nomina dan berbentuk turunan. Bei njara terbentuk atas

dua bentuk lingual, yaitu bei betina dan njara ‘kuda’. Jadi, leksikon tersebut

digunakan untuk mengidentifikasi nomina yang berjenis kelamin betina.

46
16. Njara Kaka ‘kuda putih’

Njara kaka ‘kuda putih’ ialah leksikon lain yang digunakan untuk

mendeskripsikan warna bulu kuda. Secara gramatikal leksikon tersebut berbentuk

turunan dan berkategori gramatikal. Njara kaka diperoleh dari nomina njara

‘kuda’ dan adjektiva kaka ‘putih’. Dengan demikian leksikon tersebut berfungsi

mengidentifikasi kuda yang berbulu putih.

17. Njara Mette ‘kuda hitam’

Salah satu leksikon yang digunakan untuk membedakan warna kuda pada

masyarakat Sumba ialah mane ‘hitam’, sehingga menjadi njara mane ‘kuda’

hitam. Secara gramatikal leksikon tersebut berbentuk turunan dan berkategori

frasa nomina. Njara mane terbentuk atas dua bentuk lingual, yakni njara ‘kuda’

dan mane ‘hitam’.

47
18. Ndara Koni ‘kuda belang’

Leksikon lain yang digunakan untuk mengidentifikasi warna bulu kuda

ialah njara koni ‘kuda berwarna belang’. Secara gramatikal leksikon tersebut

berbentuk turunan dan berkategori gramatikal frasa nomina. Leksikon tersebut

terdiri dari njara ‘kuda’ dan koni ‘belang’. Jadi untuk setiap kuda yang berwarna

belang-belang, leksikon tersebut digunakan.

48
19. Ana Njara ‘anak kuda’

Salah satu leksikon yang digunakan untuk mengklasifikasi berdasarkan

kedewasaan ialah ana njara ‘anak’ kuda. Kategori gramatikal dari leksikon

tersebut ialah frasa nomina. Bentuk gramatikalnya ialah turunan. Hal itu karena

leksikon tersebut diperoleh dari nomina ana ‘anak’ dan nomina njara ‘kuda’.

Oleh karena itu leksikon tersebut digunakan untuk mengidentifikasi kuda yang

masih kecil atau anak kuda.

20. Njara Kalada ‘kuda besar’

Kebalikan dari ana njara, leksikon njara kalada ‘kuda’ besar digunakan

untuk mendeskripsikan kuda yang sudah besar. Leksikon tersebut berbentuk

turunan dan berkategori gramatikal frasa nomina. Leksikon tersebut diperoleh dari

dua bentuk lingual, yaitu njara ‘kuda’ dan kalada ‘besar’. Setiap kuda yang

dianggap dapat dilibatkan dalam acara-acar adat, seperti pertunjukkan pasola dan

perlombaan-perlombaan yang melibatkan kuda, diidenfikasi kalada ‘besar’.

49
21. Ruta ‘rumput’

Secara gramatikal leksikon ruta ‘rumput’ berkategori nomina dan

berbentuk dasar. Leksikon tersebut digunakan untuk menamai entitas atau

tumbuhan yang menjadi makanan kuda. Pemberian rumput sebagai makan kuda

mempunyai peranan penting dalam kehidupan kuda. Oleh karena itu seseorang

yang memelihara kuda diwajibkan mengumpulkan rumput atau setidaknya

mencari rumput untuk diberikan pada kuda peliharaan.

22. Bukku Njara ‘leher kuda’

Bukku njara ‘leher kuda’ adalah nama bagian tubuh lain dari kuda.

Secara gramatikal leksikon tersebut berbentuk turunan dan berkategori gramatikal

frasa nomina. Leksikon tersebut dikatakan berbentuk turunan karena terdiri dari

bentuk lingual, yakni bukku ‘leher’ dan njara ‘kuda’. Leksikon tersebut digunakan

untuk menamai bagian antara kepala dan bahu kuda.

50
Berdasarkan data yang ditemukan, khazanah verbal dalam wujud

ekoleksikon yang secara semantik terkait dengan ke-njara-an atau kuda (Equus

caballus) meliputi unsur-unsur yang tergolong biotik adalah sebanyak 22

leksikon. Leksikon biotik tentang ke-njara-an atau kuda (Equus caballus)

termasuk bagian-bagian tubuh kuda seperti sepatu leher, mata, telinga,kepala dan

istilah-istilah biotik lain yang berhubungan dengan ke-njaraan seperti rumput dan

joki kuda.

4.2.2 Ekoleksikon Abiotik Ke-Njara-an (Equus caballus) Sumba

1. Ndara Ole Ura ‘kuda yang segaris tangan’

Ndara ole urra secara sintaksis berkategori frasa dan secara gramatikal

berbentuk turunan. Frasa tersebut terdiri dari nomina ndara atau njara ‘kuda’, ole

‘tangan’, dan urra ‘hujan’. Seseorang mungkin berpikir bahwa makna semantis

frasa tersebut ialah kuda tangan hujan. Bentuk itu digunakan secara pragmatik

atau memiliki makna sosial tersendiri. Oleh masyarakat Sumba frasa tersebut

digunakan untuk mengungkapkan keadaan kuda yang berukuran segaris tangan.

Segaris tangan di sini mengandung arti bahwa kuda diukur sejak kecil. Oleh

karena itu fungsi sosial dari frasa ndara ole urra ialah alat untuk mengungkapkan

keadaan kuda menurut umur atau perkembangan fisiknya.

2. Njara Damangngu Ngara ‘kuda tanpa nama’

Pada masyarakat Sumba juga terdapat kuda yang tidak beri nama, yaitu

yng diungkapkan dengan njara damangngu ngara. Secara sintaksis bentuk

tersebut termasuk frasa nomina, yang terdiri dari njara ‘kuda’, damangngu

51
‘tanpa’, dan ngara ‘nama’. Bentuk tersebut kerap digunakan dalam tuturan-

tuturan untuk merujuk pada kuda yang liar, tidak terpelihara. Dengan kata lain

bentuk tersebut merupakan simbol linguistik yang mengacu pada kuda-kuda yang

kurang terurus.

3. Wulla Poddu ‘bulan purnama’

Wulla poddu ‘bulan purnama’ memiliki bentuk gramatikal turunan, yakni

diperoleh dari dua leksikon, nomina wulla ‘bulan’ dan nomina poddu ‘pahit’. Bila

diterjemahkan secara literal, frasa tersebut memiliki arti ‘bulan pahit’. Namun

berbeda dengan makna sosial pada masyarakat Sumba, bentuk tersebut

mengandung arti ‘bulan purnama’. Tuturan itu diucapkan ketika musim bulan

purnama tiba. Namun musim tersebut terjadi secara khusus pada bulan Maret.

Hubungan antara frasa tersebut dengan njara ‘kuda’ ialah pada acara

pertunjukkan pasola, kuda digunakan pemimpin peristiwa adat tersebut. Namun

kegiatan pertunjukkan pasola dilakukan dengan menghitung selama tujuh atau

delapan hari mulai dari bulan bulan purnama. Penghitungan hari tersebut

dilakukan oleh rato ‘imam’ atau ‘tetua adat’.

4. Njara Madewa ‘kuda sehidup semati’

Bentuk njara madewa secara gramatikal ialah turuan, yang terdiri dari

njara ‘kuda’ dan madewa ‘dewa’. Namun fungsi sosialnya memberi nama sosial

istilah sosial sebagai rujukannya. Kuda tunggangan pilihan disebut njara madewa,

artinya kuda sehidup semati, yang ketaatatannya tidak terbatas di dunia saja,

bahkan juga di alam baka. Itu sebabnya banyak yang berpendirian bahwa kuda

52
kesayangan harus dikorbankan pada saat kubur majikannya hendak ditutup untuk

selamanya agar bersamaan dengan lepasnya roh dari kubur, roh kuda

kesayangannya telah siap mengantar roh majikannya.

5. Katanga ‘tali penopang gigi’

Katanga ‘tali penopang gigi’ adalah leksikon lain yang berhubungan erat

dengan tubuh kuda. Kategori gramatikal dari leksikon tersebut ialah nomina dan

bentuk gramatikalnya ialah dasar. leksikon tersebut digunakan untuk menamai

alat yang dilekatkan pada bagian tubuh kuda, terutama gigi. Fungsi dari katangga

ialah untuk menopang gigi kuda supaya tidak menggigit. Pada saat-saat tertentu,

kuda dibiarkan tidak menggigit, misalnya ketika kuda sedang ditunggangi. Oleh

karena itu untuk menghindari kegiatan menggigit yang selain selain bertujuan

agar tidak menghambat kegiatan penunggang juga agar tidak menggigit

penunggangnya, mengikat gigit kuda perlu dilakukan.

53
6. Kasasi ‘tali pengikat kepala’

Kasasi ‘tali pengikat kepala’ ialah leksikon yang digunakan untuk

menamai entitas lain yang berhubungan dengan tubuh dan fungsi kuda. Secara

gramatikal bentuk leksikon tersebut ialah dasar dan kategorinya ialah nomina.

Seperti kuda-kuda pada wilayah masyarakat dalam kelompok lain, kuda

tunggangan berikut ikat pada bagian kepala. Tujuan dari mengikat bagian kepala

kuda ialah untuk meletakkan tali pegangan tangan penunggang dan untuk

menghindari kuda yang sedang ditungganggi mengikuti jalan yang dihendakinya,

bukan yang dihendaki penunggangnya.

7. Ku’u Njara ‘kuku kuda’

Leksikon ku’u njara ‘kuku kuda’ juga berhubungan dengan kuda karena

itu merupakan leksikon yang digunakan untuk mendeskripsikan salah satu bagian

tubuh dari kuda itu sendiri. Secara gramatikal bentuk leksikon tersebut ialah

turunan karena diperoleh dari dua bentuk dasar nomina, yakni nomina ku’u ‘kuku’

dan njara ‘kuda’. Kategori gramatikalnya ialah frasa nomina. Leksikon tersebut

54
digunakan untuk menamai bagian tubuh kuda yang terletak diujung jarinya dan

berbentuk tajam.

8. Pahola ‘pasola’

Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti

sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang

sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat

imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Pasola atau pahola

berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung

kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola

merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh

orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal

masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat kampung di

kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara

lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat

kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret

setiap tahunnya.

55
9. Palapang njara ‘pacuan kuda’

Pacuan ‘pacuan’ ialah leksikon yang berhubungan di luar tubuh kuda,

yakni istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menamakan suatu kegiatan

yang melibatkan kuda. Perisiwa dimaksud ialah perisiwa permainan atau

perlombaan memacu kuda. Secara gramatikal leksikon terkatgori nomina dan

berbentuk turunan, diperoleh dari verba pacu ‘pacu’ dan sufiks {-an}. Peristiwa

pacuan kuda adalah peristiwa yang memanfaatkan kuda sebagai alat untuk

berlomba atau bermain, yang mana, para peserta atau disebut pemacu duduk di

atas kuda.

10. Hela ‘pelana’

Hela ‘pelana’ adalah nama entitas yang berhubungan dengan kuda,

terutama mengenai fungsinya sebagai pengangkut. Secara gramatikal leksikon

tersebut berkategori nomina dan berbentuk dasar. Leksikon ini digunakan untuk

menamai entitas yang berbentuk kain dan dilekatkan di atas punggung kuda untuk

kemudian dijadikan alas atau tempat duduk oleh penunggang kuda.

56
11. Tonggu ‘menarik’

Tonggu ‘menarik’ leksikon yang digunakan untuk mendeskripsikan salah

satu kegiatan yang dilakukan dengan kuda. Secara gramatikal leksikon tersebut

berkategori verba dan berbentuk dasar. Kegiatan menunggangi kuda melibatkan

kegiatan menarik kuda dengan tali yang diikatkan pada bagian kepala. Selain itu

ketika membawa kuda kesuatu tempat, seperti memberinya makan atau minum

atau memandikannya, proses menarik juga dilakukan. Leksikon tonggu digunakan

untuk menjelaskan kegiatan-kegiatan tersebut.

12. Padikkiwi ‘memindahkan’

Padikkiwi ‘memindahkan’ juga merupakan kegiatan lain yang dilakukan

untuk kuda. Secara gramatikal leksikon tersebut termasuk verba yang berbentuk

turunan, yakni bentuk dasar dikkiwi ‘tarik’ dan prefiks {pa-}. Leksikon tersebut

digunakan untuk menamani kegiatan untuk memindahkan kuda dari satu tempat

ke tempat lain. Kuda-kuda piharaan atau yang dipelihara secara sengaja dijaga

kesehatannya, dengan membuatkannya mereka kandang, memindahkan dari panas

dan hujan. Kegiatan memindahkan kuda oleh masyarakat Sumba disebut

padikkiwi.

57
13. Ka’ila ‘meringkik’

Ka’ila ‘meringkik’ adalah leksikon yang menggambarkan salah satu

kegiatan yang dilakukan oleh kuda. Secara gramatikal leksikon tersebut

berkategori verba dan berbentuk dasar. Leksikon itu gunakan untuk menjelaskan

kegiatan meringkik yang biasanya dilakukan oleh kuda.

14. Patenda ‘menendang’

Leksikon lain yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan lain yang

dilakukan seekor kuda ialah patenda ‘menendang’. Secara gramatikal leksikon

tersebut berkategori verba dan berbentuk turunan. Dikatakan berbentuk turunan

karena leksikon tersebut diperoleh dari bentuk dasar tenda ‘tendang’ dan dibubuhi

prefiks {pa-} sehingga mengandung arti menendang. Kegiatan menendang juga

sering salah kegiatan yang dilakukan kuda, terutama ketika kuda sedang diadu dan

ketika kuda merasa tidak senang atau nyaman dengan sesuatu, termasuk manusia.

58
15. Enu ‘minum’

Enu ‘minum’ adalah leksikon yang digunakan untuk menggambarkan

kegiatan yang dilakukan oleh kuda untuk meminum air. Sebagai salah satu

makhluk hidup, kuda juga pasti merasakan kehausan. Oleh karena itu meminum

air juga merupakan salah satu kegiatan utama yang dilakukan oleh kuda. Secara

gramatikal leksikon enu berktegori verba dan berbentuk dasar.

16. Pario ‘memandikan’

Sebagai makhluk hidup, kuda juga perlu dimandikan. Kegiatan

memandikan kuda disebut pario oleh masyarakat Sumba. Dilihat dari aspek

gramatikalnya leksikon tersebut termasuk verba yang berbentuk turunan.

Berbentuk turunan karena leksikon tersebut diperoleh dari bentuk dasar rio

‘mandi’ dan prefiks {pa-}. Memandikan kuda membantu agar kuda tetap sehat

dan kuat, selain sebagai salah satu upaya untuk membuat kuda semakin mengenal

pemiliknya.

17. Karawa ‘memelihara’

Karawa ‘memelihara’ juga merupakan leksikon yang memiliki hubungan

yang erat dengan kuda. Secara gramatikal leksikon tersebut berkategori verba dan

59
berbentuk dasar. Karawa merupakan leksikon yang digunakan untuk

mendeskripsikan kegiatan yang pertama sekali dilakukan untuk mejinakkan kuda.

Setiap kuda pilihan yang digunakan secara khusus sebagai kuda tunggangan

memerlukan proses pemeliharaan yang teratur.

18. Panga’awi ‘memberi makan’

Panga’awi ‘memberi makan’ merupakan leksikon lain yang dilakukan

oleh manusia dan berhubungan erat dengan kuda. Secara gramatikal leksikon

tersebut termasuk verba yang berbentuk turunan. Leksikon tersebut diperoleh dari

bentuk dasar nga’a ‘makan’ dan diberi prefiks {pa-} dan sufiks {-wi} sehingga

mengandung arti ‘memberi makan’. Memberi makan kuda merupakan kegiatan

rutin yang harus dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup kuda sebagai

bagian dari makhluk hidup.

19. Rahi Njara ‘hiasan kepala’

Terdapat leksikon lain yang memiliki hubungan dengan kuda, yaitu rahi

njara ‘hiasan kepala kuda’. Secara gramatikal leksikon tersebut termasuk frasa

nomina yang berbentuk turunan. dikatakan berbentuk turunan karena leksikon

tersebut diperoleh dari dua bentuk lingual, yakni nomina rahi ‘hiasan’ dan njara

‘kuda’. Menghias kuda merupakan salah satu kegiatan yang memberi nilai estetis

pada kuda, apalagi terhadap kuda peliharaan yang sering memenang peraduan

dengan kuda lain. Biasanya hiasan yang dilekatkan pada bagian kepala kuda.

Hiasan tersebut berbentuk bulu, yang biasanya berwarna kuning, dan diperoleh

60
dari bahan benang. Ketika dikenakan di atas kepala kuda, hiasan tersebut tampak

seperti mahkota.

20. Welli Ranga ‘mahar’

Salah satu wujud budaya khas masyarakat dalam pernikahan ialah

memberi kuda sebagai belis atau mahar. Oleh masyarakat setempat belis tersebut

dinamakan welli rangga ‘belis kuda’. Secara sintaksis leksikon tersebut ialah

berkategori gramatikal frasa nomina dan berbentuk turunan. Welli ‘mahar’ ialah

leksikon berbentuk nomina yang digunakan untuk menamai mahar dalam

pernikahan dan ranga ialah leksikon berbentuk dasar dan juga berkategori nomina

yang mengacu pada kuda yang dijadikan mahar dalam perkawinan. Bagi

masyarakat Sumba, kuda sebagai mahar perkawinan dapat diberikan apabila

seseorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan tetapi tidak memiliki

hewan lain, seperti kerbau atau babi. Pada situasi ini njara atau kuda memiliki

61
fungsi sosial dan kutural bagi masyarakat Sumba. Implikasi sosialnya dan kultural

bagi masyarakat Sumba ialah setiap orang perlu memelihara kuda.

21. Parengga ‘penjemputan’

Parengga ‘penjemputan’ adalah leksikon yang berasal dari bentuk dasar

rengga ‘jemput’ tetapi dibubuhi prefiks {pa-} sehingga berkategori nomina dan

mengandung arti penjemputan. Leksikon parengga juga mempunyai hubungan

dengan kuda karena pada waku menjelang malam, kuda-kuda yang dititipkan di

padang rumput dijemput untuk kemudian dibawa kembali ke kandang.

22. Njara Tale Rara ‘kuda tali merah’

Njara tale rara ialah leksikon yang digunakan untuk mengidentifikasi

kuda yang diikat dengan tali merah. Secara gramatikal leksikon tersebut berbentuk

turunan dan berkategori frasa nomina. Leksikon tersebut diperoleh dari tiga

bentuk lingual, yakni njara ‘kuda’, tale ‘tali’, dan ‘rara’ ‘merah’. Kuda diikat

dengan tali merah menandakan bahwa kuda tersebut akan dibawa pada acara adat.

23. Njara Jaga ‘kuda yang kokoh’

Njara jaga ‘kuda yang kokoh’ ialah leksikon lain yang digunakan untuk

mengidentifikasi kuda menurut kekuatan fisiknya. Bentuk gramatikal dari

leksikon tersebut ialah turunan dan kategori gramatikalnya ialah frasa nomina.

Konstruksi frasa tersebut diperoleh dari njara ‘kuda’ dan jaga ‘kokoh’. Kudah

yang kokoh merupakan pilihan masyarakat Sumba karena dapat ditunggangi dan

62
dibawa pada acara pacuan kuda, serta pada acara-acara lain yang melibatkan

penunggangan kuda.

24. Dewa Njara Rara Ura Ahu Kaka ‘arwa kuda yang karisma’

Masyarakat Sumba memiliki tradisi menghargai dan menjunjung tinggi

eksistensi kuda. Kuda dipercaya merupakan hewan yang memiliki kesetiaan dan

ketaatan tidak hanya di dunia saja tetapi bahkan ketika majikannya mati. Itu

sebabnya banyak yang berpendirian bahwa kuda kesayangan harus dikorbankan

pada saat kubur majikannya hendak ditutup untuk selamanya agar bersamaan

dengan lepasnya roh dari kubur, roh kuda kesayangannya telah siap mengantar

roh majikannya ke Parai Marapu. Untuk mendeskripsikan keadaan kuda seperti

ini, masyarakat Sumba menggunakan istilah dewa njara rara ura ahu kaka, yang

berarti bahwa arwah kuda yang punya kharisma.

25. Njara Pakklete ‘kuda yang gagah’

Njara pakklete ialah leksikon yang digunakan untuk mendeksripsikan

jenis kuda berdasarkan penampilannya. Secara gramatikal leksikon tersebut

berbentuk turunan dan berkategori frasa nomina. Njara ‘kuda’ berkategori nomina

dan pakklete ‘gagah’ berkategori adjektiva. Leksikon tersebut digunakan untuk

mengidentifikasi nomina yang bernampian gagah dan kuat.

26. Loko ‘sungai’

Loko ‘sungai’ merupakan entitas alamiah yang memiliki hubungan

dengan kuda, terutama pada aspek kehidupan hariannya. Secara gramatikal

63
leksikon tersebut termasuk nomina yang berbentuk dasar. Sungai adalah tempat

paling tepat untuk memandikan sungai dan membawa mereka untuk meminum

air. Menurut masyarakt Sumba, di sungai kuda bisa merasa leluasa meminum air

dan merasa nyaman ketika dimandikan.

27. Gallu ‘kandang’

Gallu ‘kandang’ adalah leksikon yang tentu saja berkaitan erat dengan

kehidupan kuda. Secara gramatikal bentuk leksikon tersebut ialah nomina yang

berbentuk dasar. Gallu atau kandang merupakan tempat peristrahatan kuda setelah

melakukan aktivitas-aktivitas dalam membantu masyarakat Sumba. Kandang

tersebut terbuat dari kayu atau dari bambu. Pada saat hujan di siang hari kuda

dibawa masuk ke gallu untuk menjaga kesehatan tubuhnya.

28. Maradda ‘padang rumput’

Kuda memerlukan lapangan sebagai tempat untuk makan secara bebas.

Oleh masyarakat Sumba tempa semacam itu disebut maradda ‘padang rumput’.

Bentuk gramatikal leksikon tersebut ialah dasar dan kategori gramatikalnya ialah

nomina. Pemiliki kuda juga perlu mencari padang rumput untuk membiarkan

kudanya dengan leluasa memakan rumput. Oleh karena itu leksikona maradda

berkaitan erat dengan kehidupan kuda.

64
29. Weemahi ‘pantai’

Selain di lapangan terbuka terdapat tempat lain untuk melakukan

kegiatan adat yang melibatkan kuda. Oleh masyarakat Sumba tempat tersebut

dinamakan weemahi ‘pantai’. Secara gramatikal leksikon tersebut berkategori

nomina dan berbentuk dasar. Masyarakat sering melakukan kegiatan pasola,

pacuan kuda, mengadu kuda di pantai. Hal itu karena pantai diangga merupakan

tempat yang tida hanya luas tetapi juga memberi kebebasan kuda dan penunggang

kuda dalam berkativitas, selain untuk menghindari situasi berantakan bila kegiatan

menunggang kuda dilakukan di lapangan di sekitar perumahan.

65
30. Kalete Njara ‘menunggang kuda’

Kalete njara ‘menungga kuda’ merupakan leksikon lain yang berhungan

dengan aktivitas yang melibatkan kuda. Secara gramatikal leksikon tersebut

termasuk frasa verba dan berbentuk turunan. Leksikon tersebut diperoleh dari

verba kalete ‘menunggang’ dan njara ‘kuda’. Dari terjemahan literal dapat ditebak

bahwa leksikon tersebut mendeskripsikan kegiatan menunggang kuda.

31. Ghughu Njara ‘sepatu kuda’

Ghughu njara ialah leksikon yang berkaitan dengan keperluan kuda.

Secara gramatikal leksikon tersebut berkategori frasa nomina dan berbentuk

turunan. leksikon tersebut diperoleh dari dari nomina ghughu ‘sepatu’ dan njara

‘kuda’. Kuda juga diberi sepatu untuk menghidari agar kakinya tidak terluka

ketika menempuh medan bebatuan atau ketika dibawa pada kegiatan berpacu

kuda.

66
32. Palu Njara ‘cemeti kuda’

Palu njara ‘cemeti kuda’ juga merupakan leksikon lain yang

berhubungan dengan kuda. Bentuk gramatikal dari leksikon tersebut ialah

turunan. Kategori gramatikalnya ialah frasa nomina. Leksikon tersebut terdiri atas

palu ‘cemeti’ atau ‘cambuk’ dan njara ‘kuda’. Cemeti juga sangat diperlukan

ketika menunggangi kuda. Namun biasanya kuda yang memerlukan cemeti ialah

kuda yang dimanfaatkan untuk menarik gerobak, yang disebut kereta kuda.

Cemeti dibunakan untuk menuntun dan mengarahkan atau memberi isyarat

kepada kuda untuk berjalan.

33. Kalita Njara ‘kulit kuda’

Leksikon terakhir yang berhubungan dengan kuda yang dikaji dalam

tulisan ini ialah kalita njara ‘kulit kuda’. Secara gramatikal kategori leksikon

tersebut ialah frasa nomina dan bentuknya ialah turunan. Disebut berbentuk

turunan karena leksikon tersebut diperoleh dari dua bentuk lingual, yaitu kalita

67
‘kulit’ dan njara ‘kuda’. Kalita njara adalah leksikon yang digunakan untuk

mendeskripsikan bagian tubuh kuda terluar yang ditumbuhi bulu.

34. Loddo ndua ‘hari baik’

Malam harinya semua penyelenggara Pasola berkumpul di Ubbu Wewi

untuk melakukan serangkaian ritual dan pemujaan, antara lain kajalla, ritual ini

pertanggungjawaban yang disampaikan dalam bentuk pantun Tanya jawab oleh

seluruh kabisu penyelengara Pasola. Ada pula penyembelihan sejumlah ayam

sebagai media untuk meramalkan kejadian-kejadian yang bakal terjadi saat Pasola

berlangsung, dan sekali lagi mengamati bulan yang kali ini muncul sempurna

sebagai pertanda final datangnya Nyale dan Pasola. Makna bulan memberikan

petunjuk akan berjalannya Pasola.

Berdasarkan data yang ditemukan, khazanah verbal dalam wujud

ekoleksikon yang secara semantik terkait dengan ke-njara-an atau kuda (Equus

caballus) meliputi unsur-unsur yang tergolong abiotik adalah sebanyak 34

68
leksikon. Leksikon abiotik tentang ke-njara-an atau kuda (Equus caballus)

termasuk peralatan yang melekat pada kuda seperti sepatu kuda, hiasan kepala,

tali kekang, dan istilah-istilah yang berhungan dengan ke-njaraan seperti pantai

dan sungai.

4.2 Relasi Makna Ekoleksikon Ke-njara-an

Ke-njara-an merupakan identitas budaya orang Sumba. Njara atau

Ndara yang berarti kuda mengisi ruang hidup dalam keseharian orang Sumba.

Berdasarkan makna ke-njara-an memiliki makna-makna khusus. Lingkungan

bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial Lingkungan

ragawi menyangkut geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara

(pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas curah

hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri atas fauna, flora, dan

sumber-sumber mineral; sedangkan lingkungan sosial terdiri atas berbagai

kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu di

antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni.

Berdasarkan sudut pandang dalam mengkaji objek penelitian, makna

ekoleksikon yang dikemukakan dalam peneltian ini meliputi makna bahasa dan

cultural (budaya). Makna bahasa dan cultural (budaya) yang ingin diungkapkan

di dalam penelitian ini adalah makna yang tersurat maupun tersirat dari setiap

leksikon yang digunakan di dalam ke-njara-an sebagai wujud tradisi yang

diciptakan masyarakat Sumba.

Berdasarkan data yang ditemukan, dapat dikatakan bahwa makna bahasa

dan cultural (budaya) yang terdapat dalam ke-njara-an berhubungan dan

69
berkaitan dengan nilai agama, alam, dan sosial. Relasi makna ekoleksikon ke

njara-an dalam bahasa Sumba adalah sebagai berikut.

4.2.1 Relasi Makna yang Berhubungan dengan Agama

Agama yang dianut oleh orang Sumba secara turun temurun adalah

Marapu. Agama ini memiliki kepercayaan untuk menyembah kepada roh leluhur.

Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara

dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di

surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.

Dalam agama marapu, binatang yang melambangkan ketaatan paling

utama dan dianggap membawa kejayaan pada pemiliknya ialah kuda. Ketaatan

kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi juga di akhirat sebagai tunggangan

majikannya. Oleh karena itu, ketika majikannya meninggal, kuda kesayangan

harus dikorbankan untuk mengantar arwah majikannya ke parai marapu. Seperti

halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat permujaan khusus yang disebut uma

njara, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kejayaan dan kekayaan.

a) Njapu numa ngara ‘kuda yang tidak dinamai’

Yang dimaksudkan dengan kalimat ini adalah bahwa kuda dalam

kebudayaan Sumba menempati peran sentral dalam kehidupan beragama orang

Sumba. Kuda disebut ndara dalam bahasa setempat. Di Sumba, tidak ada kuda

yang diberi nama, sebab hewan ini dipandang hampir sejajar dengan arwah nenek

moyang, si penguasa semesta: njapu numa ngara, njapa taki tamo, zat agung yang

tak ter-nama-i.

70
b) Dewa jara rara ura ahu kaka ‘arwah yang punya karisma’

Berdasarkan kalimat diatas, maka dapat diketahui bahwa kuda

menempati tempat yang penting bagi masyarakat Sumba. Mereka percaya bahwa

‘dewa’ atau leluhur yang kuat dapat berupa seekor kuda. Dewa yang berwujud

kuda ini memiliki karisma yang menarik dan menjadi panutan bagi yang hidup.

c) Njara Pakklete ‘kuda sebagai bekal kubur’

Orang Sumba percaya, pada saat orang Sumba meninggal dunia,

khususnya pada saat pemakaman, kuda ikut disembelih sebagai kuda

"tunggangan" bagi arwah orang yang meninggal dunia itu. Faham atau pesan

penyembelihan kuda pada saat pemakaman dimengerti sebagai kendaraan yang

dapat mempercepat perjalanan arwah ke "praing Marapu" (Sumba Timur) atau

"Wanno Kalada" (Sumba Barat Daya) yang berarti firdaus.

d) Njara nyale

Kuda nyale, kuda titisan dewi pesisiran yang bersemayam di dasar

lautan. Kuda nyale adalah kuda yang pertama memasuki arena Pasola untuk

memulai perang.

4.2.2 Relasi Makna yang Berhubungan dengan Alam

Manusia sangat bergantung pada alam. Kehidupannya di topang oleh

alam. Keduanya memiliki relasi yang unik dan mendalam. Kedalaman relasi itu

terletak pada keyakinan bahwa manusia, sejauh kehidupannya pastilah tidak

kekurangan satu pun, sebab segalanya telah di sediakan oleh alam. Dalam

penelitian tentang ke-njara-an ini, relasi makna yang berhubungan dengan alam

71
adalah orang Sumba sangat bergantung pada kuda. Keduanya memiliki relasi yang

unik dan mendalam. Kedalaman relasi itu terletak pada keyakinan bahwa

manusia, sejauh kehidupannya pastilah melibatkan kuda sebagai simbol hidup

juga hewan untuk dipelihara. Dalam penelitian tentang ke-njara-an ini, relasi

makna yang berhubungan dengan alam adalah sebagai berikut.

a) Wulla poddu ‘bulan purnama’

Bulan purnama dalam budaya Sumba kerap diasumsikan sebagai awal

dimulainya suatu ritual. Pada bulan purnama, para Rato akan memutuskan awal

dari ritual mencari cacing nyale yang menjadi awal dari pasola.

b) Njara “kuda”

Adalah hewan yang menjadi ciri khas dari kebudayaan Sumba. Kuda

menjadi penanda status sosial dan menjadi simbol dari kepemimpinan dan

kekuasaan. Kuda juga dianggap sebagai makluk yang setia pada tuannya dan

merupakan bekal mati, belis, perdamaian pada sengketa adat dan juga sebagai

kuda pacu.

4.2.3 Relasi Makna kemasyarakatan dalam Guyub Tutur Bahasa Sumba

a) Turangga “kuda tunggang”

Bagi masyarakat Sumba, kuda bukan sekadar tunggangan. Kuda

merupakan turangga, kendaraan hidup yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan

pribadi orang Sumba. Kuda bagi orang Sumba merupakan alat transportasi

penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi masyarakat pedesaan

72
terpencil, jauh dari jangkauan transportasi umum dan yang bermedan sulit dicapai

seperti mobil atau kendaraan lain.

b) njara ole urra

Orang Sumba dan kuda ibarat sisi mata uang yang tak dapat dilepas

pisahkan. Ia mengatakan, kuda juga menjadi simbol kesetiaan yang diungkapkan

dalam syair adat orang Sumba dan disandingkan dengan kesetiaan seekor anjing

kepadatuannya, "ndara ole urra, bangga ole ndewa" (kuda yang segaris tangan

dan anjing yang sejiwa dengan pemiliknya).

c) Welli ranga ‘mahar’

Relasi makna sosial dari ke-njara-an adalah Njara atau Kuda digunakan

sebagai bahan belis dalam perkawinan. Biasanya dalam pemberian belis, jumlah

kuda lebih banyak dibandingkan kerbau. Kuda juga merupakan hewan yang

digunakan sebagai mas kawin yang diberikan keluarga pihak anak laki-laki

kepada pihak keluarga perempuan. Kuda juga mencerminkan status sosial

seseorang.

Selain itu, dalam perburuan, kuda digunakan sebagai alat transportasi

dalam berburu. Dalam upacara kematian, jika si mati mempunyai kuda tunggang

maka saatpenguburan kuda tersebut dibunuh tetapi tidak dikonsumsi. Sebagai

bahan makanan, kuda jarang dikonsumsi. Kulit kuda digunakan sebagai bahan

dalam alat musik pukul. Ekor Kuda dipakai salah satu pelengkap tarian di Sumba

Timur yang dinamakan kikukanda. Kikudanda digunakan seperti rumbai-rumbai

di tangan yang diputar-putar saat menari. Kuda merupakan simbol kebanggaan

73
orang Sumba. Dalam sejarah perang, Kuda merupakan hewan penting karena

menjadi tunggangan para pria yang berperang. Pada masa sekarang, sudah jarang

orang Sumba yang memiliki kuda, Kuda biasanya hanya dimiliki oleh orang kaya

saja. Sebagai alat transportasi pun, Kuda sudah banyak digantikan dengan

kendaraan umum. Namun, pada wilayah-wilayah yang sulit dilalui kendaraan,

kuda masih menjadi alat transportasi penting bagi orang Sumba.

Pemanfaatan Kuda secara tidak langsung hadir dalam istilah adat Sumba

dan motif tenunan orang Sumba Timur. Contoh istilah yang menggunakan Kuda

dalam kosa katanya manu wolu jara djaga yang menyatakan doa orang tua untuk

anaknya agar seperti ayam jantan yang kuat dan kuda yang kokoh tinggi. Contoh

lain adalah dewa jara rara uraahu kaka yang menyatakan arwah seseorang yang

punya karisma. Motif Kuda dalam tenunan melambangkan keperkasaan dan

kejayaan. Kebanggaan memiliki Kuda juga termuat dalam gambar-gambar pada

bagian luar batu kubur orang “besar”. Gambar yang dilukis pada bagian luar batu

kubur biasanya merupakan harta yang dimiliki saat masih hidup. Kuda merupakan

salah satu harta kebanggaan orang Sumba maka seringkali dilukis pada batu

kubur.

4.3 Dimensi Praksis Sosial Ekoleksikon ke-njara-an masyarakat Sumba

Pada Bab sebelumnya telah dibahas mengenai teori yang digunakan

untuk mengkaji data dalam penelitian ini yaitu teori ekolinguistik dialektikal yang

merujuk pada kajian dimensi praksis sosial, yang meliputi dimensi sosiologis,

dimensi ideologis, dan dimensi biologis. Dimensi sosiologis yaitu tentang

bagaimana kita mengatur hubungan dengan lingkungan alam yang dapat

74
ditemukan melalui pengunaan bahasa dalam bentuk ungkapan/percakapan.

Dimensi sosiologis ini berkaitan dengan latar belakang bahasa yang digunakan

masyarakat dalam mangatur hubungan antarindividu yang satu dengan yang

lainnya. Dimensi ideologis menunjukkan adanya hubungan individual dengan

mental kognitif beserta kolektif termasuk khazanah pengetahuan leksikon dan

ungkapan, tuturan atau wacana, sisten fisik yang berupa unsure-unsur material

baik biotik maupun abiotik, seperti air, udara. Setiap pengetahuan kognitif ini

memiliki keberadaan ideologikal bagi masyarakat bahasa yang dapat diketahui

keberadaannya melalui produksi dan penggunaan bahasa oleh masyarakat bahasa

itu sendiri. Sedangkan dimensi biologis yaitu mengenai hubungan atau

keberadaan kita secara biologis yang bersanding dengan spesies lain, baik

makhluk hidup maupun benda mati. Masyarakat Sumba sangat dekat dekat

hubungannya dengan njara. Hai ini terlihat dari penggunaan leksikon njara dalam

bahasa Sumba, khususnya dalam metafora.

Ada beberapa simile yang menggunakan leksikon ke-njara-an, yaitu

sebagai berikut:

1. Parawina olenai njara bata kalerre

Perbuatannya seperti kuda putus tali

‘Perbuatannya seperti kuda yang lepas kendali’

2. Olenai Njara ole urra

Seperti kuda teman hujan

‘kuda yang segaris tangan’

3. Angu olenai njara kapandu tolekanna

75
Macam seperti kuda gelap hidupnya

‘seperti kuda di malam hari kehidupannya’

4. Olenai rahi njara welli touna

seperti mahkota kuda harga dirinya

‘seperti mahkota harga dirinya’

5. parawina olenai njara kaka

perbuatannya seperti kuda putih

‘perbuatannya seperti kuda putih’

Penjelasan tentang makna kias atau metafora ekoleksikon ke-njara-an ini

lebih detail dideskripsikan sebagai berikut.

1. Olenai njara bata kalerre


Seperti kuda putus tali

Simile di temukan pula dalam guyub tutur bahasa wewewa, yang

berbunyi Olenai njara bata kalerre atau yang dalam bahasa Indonesia berarti

‘Seperti kuda putus tali’ menunjukkan adanya penggunaan leksikon ke-njara-an,

yaitu njara. Kata putus tali dalam simile ini merupakan bahasa tidak langsung

untuk menggambarkan orang atau perbuatan orang tidak terkendali atau tidak

terkontrol. Sama seperti kuda yang tidak/putus talinya. Pada prakteknya, kuda

yang lepas tali pengikatnya akan susah untuk dikendalikan, dia akan

berjalan/berlari kemana pun dia mau. Kalimat ini biasanya digunakan oleh

masyarakat Sumba khusunya orang tua untuk menyindir anak-anak muda yang

kerjanya hanya bersenang-senang, bebas-tidak mau diatur. Penggunaan leksikon

njara sebagai bahasa tidak langsung untuk menggambarkan perbuatan anak muda

76
merupakan dimensi sosiologis dari metafora tersebut. Sedangkan penanaman

konsep yang ditanamkan di dalam metafora ini disebut dimensi ideologis, yaitu

konsep sikap/perbuatan. Sementara itu secara biologis, kuda adalah binatang

berkaki empat yang mempunyai ekor dan mahkota (walaupun tidak semua kuda

bermahkota).

2. Olenai njara ole urra


‘Seperti kuda segaris tangan’

Metafora yang berbunyi Olenai njara ole urra atau yang dalam bahasa

Indonesia berarti ‘seperti kuda segaris tangan’ juga mengandung leksikon ke-

njara-an. Leksikon ke-njara-an yang digunakan dalam metafora ini adalah njara

ole ura ‘kuda segaris tangan’. Kata garis tangan dalam metafora ini sama seperti

ungkapan pada umumnya yaitu mengandung arti ‘takdir’. Jadi, segaris tangan

mengandung arti setakdir atau senasib. Ungkapan ini biasanya diucapkan oleh

pengantin pria kepada pengantin wanita saat acara belis. Maksud dari ungkapan

ini adalah bahwa si pengantin pria siap untuk sehidup-semati dengan si

perempuan atau pengantin wanita, bahwa mereka sudah ditakdirkan untuk

bersama. selain itu kuda ole ura ‘kuda segaris tangan’ juga menggambarkan

kesederhanaan dari pengantin pria. Kuda segaris tangan merupakan ukuran kuda

yang hanya segaris tangan. Penggunaan leksikon njara ole ura ‘kuda segaris

tangan’ sebagai bahasa tidak langsung untuk menggambarkan perasaan dalam

metafora ini merupakan dimensi sosiologis. Sedangkan konsep yang ditanamkan

dalam metafora ini merupakan dimensi ideologis, yaitu konsep keyakinan dan

77
kesederhanaan. Sementara secara biologis, kuda sama seperti deskripsi

sebelumnya yaitu binatang peliharaan berkaki empat.

3. Angu olenai njara kapandu tolekanna


‘Seperti kuda di malam hari’

Metafora angu olenai njara kapandu tolekanna atau yang dalam bahasa

Indonesia mengandung arti ‘seperti kuda malam hari’ mengandung leksikon ke-

njara-an. Leksikon ke-njara-an yang digunakan dalam metafora ini adalah njara.

Secara biologis njara adalah binatang berkaki empat, berekor. Dalam pandangan

masyarakat Sumba, njara mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi. Njara juga

digunakan oleh masyarakat Sumba sebagai tenaga kerja. Njara bisa mengangkut

atau membawa beban berat, seperti padi, beras. Tapi, , njara hanya boleh

dipekerjakan pada siang hari, tidak pada malam hari. Selain karena njara harus

beristirahat, mempekerjakan njara pada malam hari juga sangat sulit, karena

gelap. Akan sangat susah untuk menuntunnya. Jadi, metafora seperti kuda di

malam hari menggambarkan orang yang kehidupannya sangat gelap. Konsep yang

disampaikan melalui metafora ini merupakan dimensi sosiologis. Sedangkan

konsep yang ditanamkan adalah merupakan dimensi ideologis, yaitu konsep

kehidupan.

4. Olenai rahi njara welli touna


‘seperti mahkota kuda’

78
Metafora yang berbunyi Olenai rahi njara welli touna atau yang dalam

bahasa Indonesia ‘seperti mahkota kuda’ mengandung leksikon ke-njara-an.

Leksikon yang digunakan dalam metafora ini adalah njara. Secarais biologis

njara dapat dideskripsikan seperti deskripsi sebelumnya yaitu binatang berkaki

empat. Selain berkaki empat, njara juga ada yang bermahkota. Njara yang

bermahkota biasanya dipakai untuk belis. Tidak semua njara bermahkota.

Karenanya, cukup sulit untuk mendapatkan njara yang bermahkota. Njara

mahkota biasanya diberikan oleh laki-laki kaya yang terhormat, dan diberikan

untuk pengantin wanita yang kaya dan terhormat juga. Jadi, njara mahkota

digunakan sebagai bahasa tidak langsung untuk menggambarkan sebuah

kehormatan atau harga diri seorang wanita. Konsep yang disampaikan dalam

metafora ini adalah merupakan dimensi sosiologis. Sedangkan penanaman konsep

yang ditanamkan merupakan dimensi ideologis, yaitu konsep kehormatan.

5. Parawina olenai njara kaka


‘seperti kuda putih’

Metafora yang berbunyi parawina olenai njara kaka atau yang dalam

bahasa Indonesia ‘seperti kuda putih’ juga mengandung leksikon ke-njara-an.

Leksikon ke-njara-an yang digunakan dalam metafora ini adalah njara kaka.

Secara biologis, njara ini adalah binatang berkaki empat yang berwarna putih.

Njara kaka biasanya digunakan dalam pasola ‘pacuan kuda’. Dalam tradisi ini

njara kaka yang paling pertama masuk/tampil di lapangan. Njara kaka akan

memimpin njara-njara yang lain pada barisannya. Jadi, secara sosiologis njara

kaka adalah bahasa tidak langsung untuk menggambarkan laki-laki jantan, yang

79
berjiwa pemimpin. Ungkapan seperti ini biasanya digunakan saat acara nikahan.

Ungkapan ini merupakan nasihat kepada pengantin pria agar mampu menjadi

pemimpin atau dalam hal ini adalah kepala rumah tangga yang akan selalu mampu

memimpin rumah tangganya. Penyampaian konsep dalam metafora ini merupakan

dimensi sosiologis. Sedangkan penanaman konsep yang ditanamkan dalam

metafora ini adalah merupakan dimensi ideologis, yaitu konsep

kepemimpinan/kejantanan.

80
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Pada hasil analisis data ditemukan kenyataan-kenyataan tentang

leksikon-leksikon ke-njara-an atau kuda (Equus caballus) yang mampu

menjawab pertanyaan yang diangkat sebagai rumusan masalah penelitian.

Budaya ke-njara-an masyarakat Sumba merupakan sebuah budaya

memiliki manfaat di berbagai aspek kehidupannya, termasuk pada aspek

agama, alam, dan sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 56

jenis leksikon yang berkaitan dengan budaya ke-njara-an masyarakat

Sumba. Dikaitkan dengan ekoleksikon ke-njara-an, terdapat 22 leksikon

biotik dan 34 leksikon abiotik. Masing-masing leksikon tersebut secara

gramatikal terbagi dalam leksikon yang berbentuk dasar dan leksikon yang

berbentuk turunan. Dilihat kategori sintaksisnya leksikon-leksikon ke-

njara-an masyarakat sumba dapat berbentuk nomina, frasa nomina, verba,

dan frasa verba.

Hasil penelitian ini juga mengungkap relasi-relasi makna kultural

81
dari budaya ke-njara-an yang berhubungan kehidupan masyarakat Sumba

dan aspek-aspek dai kehidupannya itu. Makna leksikona ke-njara-an

memiliki relasi dengan agama, yakni bahwa masyarakat Sumba ialah

kelompok masyarakat yang menganut sistem kepercayaan Marapu, yang

dimulai dari nenek moyang dan diteruskan secara turun-temurun; relasi

makna yang berhubungan dengan alam, yakni bahwa masyarakat Sumba

memiliki kaitan yang erat dengan alam yang terwujud dalam budaya kuda

sebagai entitas natural yang dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang

berhubungan dengan alam pula; dan relasi makna yang berhubungan

dengan aspek sosial masyarakat Sumba, yaitu bahwa kuda(Equus

caballus) ditunggangi. Dalam menunggangi kuda (Equus caballus)

terdapat berbedai tujuan, seperti melakukan kegiatan berburu dengan kuda

yang tentunya melibatkan kerja antar anggota masyarakat, melakukan

kegiatan beradu kuda (Equus caballus) untuk melatih kuda dan

menciptakan rasa solidaritas antar anggota masyarakat yang ikut dalam

kegiatan tersebut, menyelenggarakan acara-acara adat yang melibatkan

tenaga kuda, seperti pertunjukkan pasola, dan melakukan kegiatan pacuan

kuda.

5.2 Saran

1) Bagi Masyarakat Sumba

Masyarakat agar dapat menjaga segala aspek budaya yang

seharusnya patut dilestarikan seperti dalam bentuk budaya karya, leluhur

yaitu ke-njara-an sebagai simbol budaya dalam hal rangkaian

82
upacaraupacara kegiatan leluhur kemudian diwariskan bagi generasi.

2) Bagi Pembaca

Ke-njara-an ini merupakan yang didalamnya mengandung nilai

leluhur yang berfungsi sebagai tuntutan dalam hal hidup. Maka dari itu

budaya yang fumdamental pada masyarakat tetap menjaga dan

melestarikan nilai dan eksistensi yang ada dan sudah menjadi warisan

individu maupun kelompok.

83
DAFTAR PUSTAKA

Bang & Door, J. (1993). Eco-Linguistics: A Framework.

Bogdan, R. C., & Biklen, S. K. (1982). Qualitative Research for Education: An


Introduction to theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Bogdan, & Taylor. (1975). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja.

Creswell, J. W. (2010). Research design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan


Mixed. Yogjakarta: PT Pustaka Pelajar.

Derni, A. (2008). The Ecolinguistic Paradigm: An Integrationist Trend in


Language Study. The International Journal of Language Society and
Culture, (24).

Desriani. (2016). Leksikon, Ungkapan Metaforis, dan Mitos Kebambuan Guyub


Tutur Bahasa Bali Dalam Masyarakat Desa Penglipuran, Bangli, Bali:
Kajian Ekolinguistik. Denpasar: Universitas Warmadewa.

Djajasudarma, F. T. (1993). Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan


Kajian. Bandung: PT. Eresco.

Haugen, E. (1972). The Ecology Of Language. London: Stanford University


Press.

Jagalimu, R. U. P. (2017). Tesis makna tanda pertunjukan pasola di desa waihura


kecamatan wanokaka kabupaten sumba barat kejian semiotik. Universitas
Warmadewa.

Kosat, P. M. Y. (2017). Tesis khazanah leksikon pendirian uma bokolo guyub


tutur bahasa kodi, sumba barat daya. Universitas Warmadewa.

Kridalaksana. (1985). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

84
Kroeger, P. R. (2018). Analyzing Meaning: An Introdution to Semantics and
Pragmatics. Berlin: Language Science Press.

Kroeger, P. R. (2019). Analyzing Meaning: An Introduction to Semantics and


Pargamtics. Berlin: Language Science Press.

Mbete, A. M. (2011). Ilmu Bahasa, Lingkungan Bahasa dan Bahasa Lingkungan:


Bahan Matrikulasi bagi Karyasiswa Program Magister Linguistik. Denpasar.

Odum, E. P. (1996). Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Pateda, M. (2001). Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Patton, M. Q. (1980). Qualitative Evaluation Methods. Sage Publications.

Rajistha. (2016). Beblabadan Bahasa Bali dalam Perspektif Ekolinguistik.


EJournal, 3(4).

Rana, I Wayan, S., & Binawati. (2013). Pengetahuan Tanaman Obat Tradisional
untuk Penyakit Anak pada Komunitas Remaja di Bali: Sebuah Kajian
Ekolinguistik. Jurnal Bumi Lestari, 2(4).

Renjaan. (2014). Pemahaman dan Kebertahanan Ekoleksikal Kelautan Guyub


Tutur Bahasa Kei: Kajian Ekolinguistik. Universitas Udayana.

Saeed, J. I. (2009). Semantics (3rd ed.). UK: Registered Office John Wiley &
Sons Ltd.

Sarmi, N. N. (2015). Khazanah Leksikon Lingkungan Alam dalam Dinamika


Guyub Tutur Bahasa Using: Kajian Ekolinguistik (Thesis). Denpasar:
Universitas Udayana.

Soedjito. (1990). Kosa Kata Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Sugiyono.
(2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

Sukhrani, D. (2010). Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan


Kedanauan Lut Tawar. Universitas Warmadewa.

Sutopo, H. B. (2002). Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas


Sebelas Maret Press.

Tangkas, P. R. D. (2013). Khazanah Verbal Kepadian Komunitas Tutur Bahasa


Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik. Universitass Udayana.

85
Woha, U. P. (2008). Sejarah, Musyawarah, dan Adat Isti Adat Sumba Timur (2nd
ed.). Surabaya: Cipta Sarana Jaya

Lampiran 1

DATA INFORMAN

Informan 1
Identitas

Nama : Yohanes Umbu Robaka


Tempat/Tanggal Lahir : Lingulango, 31 Desember 1970
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Palla
Kecamatan Lingulango
Kabupaten Sumba Barat Daya
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Petani
Kewarganegaraan : WNI
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar (SD)

Bahasa
Bahasa Pertama : Sumba
Bahasa Ibu : Sumba
Bahasa Ayah : Sumba Barat Daya
Bahasa Istri : Bahasa Sumba
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Sumba
Bahasa Lain yang dikuasai : Bahasa Indonesia, digunakan pada situasi tertentu
Dihubungi : Via Whatsapp, pada tanggal 21 February 2019

Informan II

Identitas

Nama : Malo Wunda


Tempat/Tanggal Lahir : Todduwee, 10 Januari 1943

86
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Wee Rame
Kecamatan Wee Maliti
Kabupaten Sumba Barat Daya
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Petani
Kewarganegaraan : WNI
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar (SD)

Bahasa
Bahasa Pertama : Sumba
Bahasa Ibu : Sumba
Bahasa Ayah : Sumba Barat Daya
Bahasa Istri : Bahasa Sumba
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Sumba
Bahasa Lain yang dikuasai : Bahasa Indonesia, digunakan pada situasi tertentu
Dihubungi : Via Whatsapp, pada tanggal 10 Maret 2019.

87
Informan III

Identitas

Nama : Dapa Ole Ate


Tempat/Tanggal Lahir : Wee Tobula, 21 Maret 1935
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Wee Tobula
Kecamatan Mata Wee Karoro
Kabupaten Sumba Barat
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Petani
Kewarganegaraan : WNI
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar (SD)

Bahasa
Bahasa Pertama : Sumba
Bahasa Ibu : Sumba
Bahasa Ayah : Sumba Barat
Bahasa Istri : Bahasa Sumba
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Sumba
Bahasa Lain yang dikuasai : Bahasa Indonesia, digunakan pada situasi tertentu
Dihubungi : Via Whatsapp, pada tanggal 12 Maret 2019.
Informan IV

Identitas

Nama : Belo
Tempat/Tanggal Lahir : Tana Righu, 26 Februari 1956
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Tana Rara
Kecamatan Kerekaduku

88
Kabupaten Sumba Barat
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Petani
Kewarganegaraan : WNI
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar (SD)

Bahasa
Bahasa Pertama : Sumba
Bahasa Ibu : Sumba
Bahasa Ayah : Sumba Barat
Bahasa Istri : Bahasa Sumba
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Sumba
Bahasa Lain yang dikuasai : Bahasa Indonesia, digunakan pada situasi tertentu
Dihubungi : Via Whatsapp, pada tanggal 15 Maret 2019.

89
DAFTAR LEKSIKON Ke-njara-an:

Njara atau ndara ‘kuda’(Equus caballus)

Ndara ole urra ‘kuda yang segaris tangan’

Njara damangu ngara ‘kuda tanpa nama’

Wulla poddu ‘bulan purnama’

Mara’i njara ‘kening kuda’

Korru njara ‘hidung kuda’

Mata njara ‘mata kuda’

Katillu njara ‘telinga kuda’

Wa’i njara ‘kaki kuda’

Kikku njara ‘ekor kuda’

Loge njara ‘surai kuda’

Ngundu njara ‘gigi kuda’

Katowa njara ‘kepala kuda’

Ti’a njara ‘perut kuda’

katanga ‘tali penopang gigi’

kasasi ‘tali pengikat kepala’

ku’u njara ‘kuku kuda’

pahola ‘pasola’

palapang njara ‘pacuan kuda’

90
patauna njara ‘kuda diadu’

hela ‘pelana’

tongngu ‘menarik’

padikkiwi ‘memindahkan’

ka’ila ‘meringkik’

patenda ‘menendang’

enu ‘minum’

pario ‘dimandikan’

karawa ‘memelihara’

panga’awi ‘memberi makan’

rahi njara ‘hiasan kuda’

bukku njara ‘leher kuda’

welli ranga ‘mahar’

ruta njara ‘rumput kuda’

parengga ‘penjemputan’

njara mane ‘kuda jantan’

bei njara ‘kuda betina’

njara kaka ‘kuda putih’

njara mette ‘kuda hitam’

njara koni ‘kuda belang’

ana njara ‘anak kuda’

njara kalada ‘kuda besar’

njara tale rara ‘kuda tali merah’

njara jaga ‘kuda yang kokoh’

dewa njara rara ura ahu kaka ‘kuda yang punya arwa karisma’

91
njara pakklete ‘kuda bekal mati’

loko ‘sungai’

gallu ‘kandang’

maradda ‘padang rumput’

weemahi ‘pantai’

kalete njara ‘penunggang kuda’

ghughu njara ‘sepatu kuda’

palu njara ‘cemeti kuda’

kalita njara ‘kulit kuda’

njara madewa ‘kuda sehidup semati’

loddo ndua ‘hari baik’

92

Anda mungkin juga menyukai