Anda di halaman 1dari 13

Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65

DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

Wasiat Leluhur: Respons Orang Using


terhadap Sakralitas dan Fungsi Sosial Ritual Seblang

Heru S.P. Saputra

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember, Jember 68121, Indonesia

E-mail: heruespe@gmail.com

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan respons orang Using terhadap sakralitas dan fungsi sosial ritual Seblang
dalam konteks struktur sosial masyarakat Using, Banyuwangi, Jawa Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah
kajian pustaka, observasi partisipasi, dan wawancara mendalam, dengan metode analisis fungsional-struktural. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pranata ritual Seblang merupakan institusi sosial yang difungsikan oleh orang Using
sebagai bagian integral dari struktur sosial mereka. Sakralitas Seblang juga menjadi ajang bertemunya alam alus dan
alam kasar; manusia dan dhanyang; mikrokosmos dan makrokosmos. Eksistensi pranata ritual Seblang yang mampu
melintas-batas tetap diuri-uri oleh orang Using hingga kini lantaran didukung oleh kondisi budaya dan kondisi sosial.
Kondisi budaya terkait dengan sistem religi dan sistem pengetahuan, sedangkan kondisi sosial terkait dengan struktur
sosial dan lingkungan geografis pedesaan. Kondisi budaya dan kondisi sosial tersebut menjadi keyakinan orang Using
atas fungsi sosial-kultural Seblang bagi kesuburan pertanian dan kesejahteraan hidup mereka. Ritual Seblang tidak
dapat diintervensi oleh kekuatan luar, baik kekuasaan maupun politik. Memori implisit dan metakognisi yang telah
terkonstruksi dalam benak masyarakat berkontribusi atas kepercayaan mereka terhadap sakralitas ritual Seblang.
Pengingkaran atas wasiat leluhur tersebut diyakini akan menimbulkan disharmoni, baik secara sosial maupun
psikologis, yang sekaligus akan menimbulkan disharmoni pada struktur sosial masyarakat Using.

Ancestors Legacy: Response of Using People to


Sacred Values and Social Function of Seblang Ritual

Abstract
This article discusses the response of Using people to sacred values and social function of Seblang ritual in the context
of Using societys social structure in Banyuwangi, East Java. Library study, participatory observation, and in-depth
interview are methods used in this research, while the analysis uses functional-structural method. The result of this
study shows that the Seblang ritual is a social institution functioned by Using people as an integral part of their social
structure. The sacredness of Seblang also become a meeting point between alam alus and alam kasar; between the
spirits of villages ancestors (dhanyang) and human beings; between macro cosmos and micro cosmos. The existence of
the Seblang rituals institution crosses over the temporal boundaries, so until now Using people still maintain the
practice as their social and cultural condition support its preservation. The cultural condition relates to religious and
knowledge system, while the social condition relates to social structure and geographical environment of village. Such
cultural and social conditions become the belief of Using people toward socio-cultural function of Seblang, particularly
for fertility in agriculture and their welfare. The outer power, both states authority and political parties, cannot
intervene the Seblang ritual. Implicit memory and meta-cognition constructed in the minds of the public have
contributed to their belief in the value of sacred Seblang ritual. They believe the negation of ancestors legacy will cause
disharmony, both socially and psychologically, which will also lead to disharmony in the social structure of Using society.

Keywords: response, sacred, Seblang ritual, social function, social structure, Using people

Citation:
Saputra, H. S. P. (2014). Wasiat leluhur: Respons orang Using terhadap sakralitas dan fungsi sosial ritual Seblang.
Makara Hubs-Asia, 18(1), 53-65. DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

53
54 Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

1. Pendahuluan cenderung bersifat kolektif. Was-was, jika tidak


diangkatke (dirayakan), jangan-jangan akan terjadi
Orang Using dikenal sebagai indigenous people pewaris sesuatu. Atmosfer seperti itulah yang membayangi
Kerajaan Blambangan yang menghuni wilayah ujung pikiran dan perasaan orang Using, sehingga pelaksanaan
timur Pulau Jawa. Sebagai masyarakat agraris, mereka ritual Seblang tetap jalan.
lekat dengan pranata tradisional yang menjadi weluri
atau wasiat nenek moyang, baik yang terkait dengan Tulisan ini hendak mengkaji respons orang Using
siklus hidup yang bersifat individual, maupun yang terhadap sakralitas dan fungsi sosial ritual Seblang,
berhubungan dengan ranah sosial, seperti pranata ritual- khususnya Seblang Olehsari. Hal tersebut setidaknya
sakral bersih desa, yang pada umumnya berorientasi terkait dengan tiga hal berikut. Pertama, Seblang
pada kesuburan dan tolak balak. Pranata ritual seperti merupakan representasi dari wacana ritual yang
Seblang, Kebo-keboan, Ider Bumi (Barong Kemiren), sekaligus menjadi cikal-bakal (asal-usul) upacara-
Ndhog-ndhogan, Rebo Wekasan, dan Gelar Pitu (lihat, upacara ritual lainnya serta menjadi simbol angan-angan
Sutarto, 2003) merupakan contoh wasiat leluhur orang kolektif masyarakat Using, terutama yang terkait
Using yang hingga zaman modern ini masih tetap eksis dengan keyakinan mistis, sehingga membentuk ruang
dan senantiasa diupayakan untuk dilaksanakan sesuai batin yang mampu menjadi pengikat kolektivitas.
adat-istiadat Using. Dari beberapa ritual tersebut, Kedua, Seblang diyakini oleh orang Using sebagai
menurut orang Using, ritual Seblang merupakan ritual embrio seni tari Gandrung, sedangkan Gandrung
yang diyakini tidak dapat ditinggalkan untuk merupakan tari pergaulan yang menjadi identitas
menghindari munculnya hal-hal yang tidak diinginkan sekaligus representasi seni populer masyarakat
alias musibah. Banyuwangi, sehingga popularitasnya mampu
membetot kesadaran kolektif masyarakat Banyuwangi
Menurut masyarakat Using, Seblang, yang merupakan dan menjadi maskot Banyuwangi yang juga dikenal
kebudayaan peninggalan pra-Hindu, adalah pranata sebagai kota Gandrung. Ketiga, pranata ritual Seblang
ritual paling awal yang dimiliki oleh masyarakat merefleksikan adanya berbagai relasi, baik
setempat. Dalam beberapa kajian terdahulu (Saputra, mikrokosmos dengan makrokosmos, alam alus (dunia
2008; Singodimayan, 2009; Anoegrajekti, 2010) dan halus/gaib) dengan alam kasar (dunia kasar/nyata),
juga informasi yang diperoleh di lapangan, diketahui makhluk manusia dengan makhuk lain (tumbuhan,
bahwa Seblang muncul sekitar tahun 1770-an. Ritual hewan), maupun hamba dengan Sang Khalik. Relasi
tersebut diperkirakan mendapat pengaruh dari budaya tersebut menjadi semacam oposisi biner yang
Bali, yang berada di seberang dengan batasan Selat Bali. membentuk struktur tertentu. Pada tataran yang lebih
Ritual ini setidaknya mirip dengan tari shangyang dari konkret, relasi pranata ritual Seblang dengan eksistensi
Bali. Pranata ritual Seblang merupakan seperangkat masyarakat membentuk relasi yang bersifat struktur
upacara adat yang berintikan pada tarian in trance sosial. Bertolak dari tiga hal tersebut, menjadi menarik
bersifat ritmis-magis yang hanya dilaksanakan di dua untuk membahas sakralitas dan fungsi pranata ritual
desa dengan tata cara yang berbeda, yakni di Desa Seblang dalam implikasinya dengan struktur sosial.
Olehsarisetelah Idul Fitri, dilaksanakan selama tujuh
haridan di Desa Bakungansetelah Idul Adha, Jika dicermati, beberapa studi tentang Seblang yang
dilaksanakan selama satu hari (Saputra, 2013). Momen telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya cenderung
pentas tari itu sendiri hanyalah salah satu tahapan dari menggunakan paradigma fungsionalisme, tafsir
serangkaian tahapan yang ada dalam ritual Seblang. kebudayaan, dan feminisme. Paradigma fungsionalisme,
Seblang Olehsari, misalnya, secara lengkap meliputi khususnya fungsionalisme Malinowksi, digunakan
tahapan: (1) kejiman, (2) rapat desa, (3) pasang tarub untuk mengkaji Seblang oleh Tabalong (2004), dan
dan genjot, (4) menyiapkan sajen dan bersaji, (5) Singodimayan (2009). Meskipun memiliki ragam detail
slametan, (6) pembuatan omprok dan rias busana, (7) yang berbeda, kajian-kajian tersebut memiliki orientasi
sajian tari, (8) ider bumi dan rebutan, (9) siraman, dan akhir yang paralel, yakni aspek fungsional Seblang dalam
(10) syukuran. konteks kehidupan kultural orang Using. Eksistensi
Seblang tidak dapat dilepaskan dari implikasi fungsional
Orang Using sangat meyakini bahwa pranata ritual tradisi, yang menjadi karakteristik masyarakat agraris
Seblang merupakan ritus kesuburan dan tolak balak tersebut, bagi masyarakat pemiliknya. Sementara itu,
yang besifat sakral, sehingga mereka tidak mempunyai paradigma tafsir kebudayaan digunakan Wessing (1999)
keberanian untuk tidak melaksanakannya. Melanggar dan Anoegrajekti (2010) untuk memaknai ritual bersih
weluri atau wasiat leluhur diyakini akan berdampak desa yang merupakan peninggalan zaman pra-Hindu.
pada kehidupan sosial mereka, yakni berakibat pada Wessing (1999) sampai pada kesimpulan bahwa
disharmoni sosial, entah dalam bentuk pageblug Seblang merupakan simbol gerak kehidupan lokal,
(musibah) atau kondisi kekacauan sosial lainnya. sedangkan Anoegrajekti (2010) lebih memaknainya
Mereka bukan tidak bisa menolak, melainkan lebih sebagai simbol kehidupan masyarakat agraris. Adapun
dikarenakan perasaan khawatir dan was-was, dan itu paradigma feminisme digunakan oleh Effendi dan
Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65 55
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

Anoegrajekti (2004) untuk mengkaji peran perempuan kejiman, ritual berupa tarian ritmis-magis selama tujuh
dalam konteks tradisi Using. Kajiannya sampai pada hari (pukul 14.00-17.00 WIB), hingga prosesi ider bumi
kesimpulan bahwa dalam konteks tradisi, perempuan (keliling desa), serta siraman sebagai penutup
memiliki peran yang dominan. rangkaian ritual. Selain itu, peneliti juga mencermati
dimensi sosial dari berbagai slametan yang menjadi
Sementara itu, kajian ini menggunakan paradigma bagian dari rangkaian ritual. Kajian pustaka dilakukan
fungsionalisme-struktural Radcliffe-Brown (Marzali, untuk mendapatkan data dan informasi pendukung,
1997). Hal ini dilandasi oleh asumsi dasar bahwa segala terutama terkait penelitian-penelitian sebelumnya,
sesuatu memiliki fungsi, tetapi fungsi tersebut selalu khususnya yang sudah diterbitkan dalam bentuk jurnal
berimplikasi pada struktur sosial. Perubahan fungsi dan buku. Sebagai informasi tambahan, data yang
pranata ritual Seblang akan berpengaruh terhadap terkumpul dan kemudian dianalisis tidak hanya dibatasi
struktur sosial masyarakat Using, Banyuwangi. Dalam pada data yang berhasil dieksplorasi selama satu
konteks ini, struktur sosial yang dimaksud bukan hanya rangkaian penelitian, tetapi juga ditambahkan data-data
hubungan sosial antar makhluk hidup, melainkan juga lain yang peneliti dapatkan pada rangkaian penelitian
hubungan antara makhluk hidup dengan institusi sosial sebelumnya (lihat Saputra 2007a; 2007b; 2008; Saputra
(Saputra, 2013). Dengan demikian, tulisan berikut lebih & Mustamar, 2009) karena peneliti telah beberapa kali
menyelami ritual Seblang sebagai bagian integral dari menonton ritual Seblang Olehsari.
struktur sosial.
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis
Kerangka teoretis yang digunakan untuk menganalisis fungsional-struktural (Marzali, 1997). Analisis ini
data dan kemudian menjawab pertanyaan penelitian dilakukan secara deskriptif, baik dalam rangka
adalah teori fungsionalisme-struktural Radcliffe-Brown. mendeskripsikan respons orang Using terhadap
Teori fungsionalisme-struktural Radcliffe-Brown sakralitas Seblang, maupun untuk menafsirkan fungsi
(Marzali, 1997) melihat bahwa segala sesuatu memiliki ritual Seblang dalam konteks kehidupan sosial orang
fungsi, tetapi fungsi tersebut selalu berimplikasi pada Using. Analisis ini bertujuan untuk menghasilkan
struktur-sosial. Fungsi merupakan suatu peranan atau pernyataan-pernyataan yang menunjukkan relasi
sumbangan yang diberikan kepada sistem sosial. fungsional antara fenomena pranata ritual Seblang
Sementara itu, struktur merupakan seperangkat dengan struktur sosial masyarakat Using, Banyuwangi.
hubungan di antara satuan entitas atau kerangka/bentuk Dalam konteks ini, pranata ritual Seblang dipahami
yang menghubungkan pihak-pihak yang terkait sebagai sebagai institusi sosial yang tidak lepas implikasinya
bentuk relasi-relasi, tetapi isinya bisa berubah atau dengan struktur sosial masyarakat.
berganti. Format sosial yang demikian akan berlangsung
terus-menerus sehingga struktur membentuk suatu 3. Hasil dan Pembahasan
institusi atau pranata sosial. Fungsi unsur-unsur
kebudayaan dipergunakan untuk memelihara keutuhan Ruang batin sebagai pengikat kolektivitas. Masyarakat
dan sistematika struktur sosial. Perubahan fungsi akan Using, termasuk yang tinggal di Desa Olehsari,
berpengaruh terhadap struktur sosial. bukanlah masyarakat terbelakang, apalagi masyarakat
tribal, melainkan masyarakat yang telah maju
2. Metode Penelitian sebagaimana masyarakat lain, dengan mengakomodasi
berbagai perangkat modern, baik yang bersifat fisik
Penelitian lapangan ini tergolong dalam kategori maupun nonfisik. Meskipun telah menjadi masyarakat
penelitian kualitatif dengan menggunakan metode modern, masyarakat Using masih setia merawat tradisi
etnografi, khususnya yang bersifat emik, sehingga lebih yang notabene mampu menumbuhkan sikap kultural
menekankan pandangan terhadap fenomena sosial dan sekaligus mampu memupuk ruang batin yang bisa
budaya yang berdasarkan perspektif masyarakat yang menjembatani relasi sosial di antara mereka. Ritual
diteliti (Ahimsa-Putra, 1997). Eksplorasi respons orang Seblang Olehsari diposisikan seperti itu oleh orang
Using terhadap sakralitas dan fungsi sosial pranata ritual Using, yakni sebagai pengisi ruang batin yang mampu
Seblang dilakukan dengan wawancara. Wawancara menjadi pengikat kolektivitas dalam relasi sosial.
dilakukan terhadap pelaku ritual Seblang, dukun
Seblang, ketua panitia, pemangku adat, budayawan, dan Kepercayaan masyarakat Using terhadap sakralitas
tokoh masyarakat, serta masyarakat umum (penonton) upacara adat Seblang tidak muncul secara tiba-tiba,
untuk mendapatkan gambaran tentang respons mereka melainkan melalui proses panjang yang bersifat turun-
terhadap sakralitas dan fungsi sosial ritual Seblang. temurun dengan berbagai dinamikanya. Peristiwa-
Selain itu, juga dilakukan observasi partisipasi di Desa peristiwa mistis yang muncul dalam narasi keseharian,
Olehsari selama prosesi ritual Seblang berlangsung baik pada tataran keluarga maupun lingkungan sosial
untuk mendapatkan gambaran empiris pelaksanaan yang lebih luas, memperkuat kepercayaan orang Using
prosesi Seblang di lapangan. Dalam hal ini, peneliti atas sakralitas Seblang. Paralel dengan fenomena
mencermati berbagai fenomena sosial, sejak prosesi semacam itu, ritual-ritual lain di berbagai area budaya,
56 Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

seperti ritual ruwatan (keselamatan seseorang) di Jawa Kesenian Blambangan/DKB, Komunitas Sejarah
(Darmoko, 2002), ritual pikukuh (harmoni dengan Banyuwangi/Koseba, sanggar-sanggar seni), serta
alam) di Baduy (Permana, et al., 2011), ritual sumpah pelatihan budaya (termasuk kepada Jebeng-Thulik).
pocong (bersumpah dalam keadaan terbungkus kain Kegiatan kultural tersebut memang tidak terfokus untuk
kafan) di wilayah Tapal Kuda (Jawa Timur) (Saputra, mengkonstruksi sikap kultural agar mempercayai hal-
dkk., 2009), atau ritual lain yang dimanfaatkan sebagai hal yang sakral. Akan tetapi, dengan materi akademis
media integrasi sosial (Siregar, 1997), diyakini oleh dan pengetahuan tentang budaya Using yang notabene
pendukungnya sebagai mekanisme kultural yang efektif, akomodatif terhadap dimensi sakralitas atau mistis,
sekaligus mampu menjadi media kohesi sosial. Bahkan, maka nilai-nilai sakralitas akan tercakup dalam
praktik ritual lainnya integral dengan varian dari kegiatan-kegiatan budaya tersebut. Dalam konteks
dimensi-dimensi religiusitas masyarakat lokal (Sidky, semacam itu, weluri dari para leluhur dapat dicerna
2010; Daud, 2010; Wilson, 2011). dan lambat-laun merasuk dalam persepsi yang
mendasari sikap kultural masyarakat Using.
Bagi orang Using, dalam konteks ritual Seblang, kisah
tentang para buyut atau leluhur yang mbahureksa Gambaran diakronis semacam itu menjadi pondasi bagi
(menjaga) wilayah setempat, baik yang diperkuat orang Using untuk memahami Seblang bukan hanya
dengan bukti fisik berupa makam maupun hanya sebagai tradisi yang mengakar sekaligus prospektif bagi
sekadar tanda tertentu yang mengindikasikan sebagai penguatan lokalitas Using, tetapi juga menjadi institusi
tempat werit (keramat), juga menjadi embrio sosial yang mengiringi dinamika sosiokultural masyarakat
tumbuhnya persepsi kultural orang Using tentang Using. Eksistensi Seblang menjadi penyeimbang dalam
Seblang. Belum lagi adanya kabar yang beredar dari relasi antara mikrokosmos dan makrokosmos, baik pada
mulut ke mulut tentang pengalaman-pengalaman para tataran individual maupun sosial. Seblang diyakini mampu
Seblang ketika in trance selama tujuh hari menari di menjadi penjaga harmoni, baik dalam konteks penolak
atas genjot (panggung) di bawah payung agung. balak maupun penopang kesuburan dan kemakmuran,
Pengalaman mereka bersama roh leluhur yang pada bukan saja pada dimensi material melainkan juga
umumnya menyenangkanseperti diajak datang dan spiritual. Seblang juga menjadi media dalam merawat
dijamu di istana emas Sayu Sarinah, kemudian ruang batin yang bersifat kolektif, yang sekaligus menjadi
tamasya melintasi laut dengan kereta kencana, atau sarana perekat yang fleksibel dalam relasi sosial. Merawat
menyusuri keramaian bersama Aji Anggring, menikmati dan ngangkatke (merayakan) Seblang dipahami oleh
panorama alam yang menakjubkan bersama Mbah Jalil, masyarakat Using bukan saja sebatas nguri-uri weluri
dengan berlanjut bermain di atas ketinggian pepohonan leluhur, melainkan juga menjaga dan mengakomodasi
bersama Buyut Saridinmerupakan pengalaman yang amanat generasi penerus, khususnya yang memiliki
menginspirasi sekaligus menjadi spirit bagi masyarakat garis genetis Seblang. Generasi keturunan Seblang
lokal untuk merawat weluri atau pesan kultural dari inilah yang menjadi pihak atau komunitas yang paling
leluhur. Berbagai informasi, kisah, mitos, dan bertanggung jawab atas eksistensi ritual Seblang. Jika
pengetahuan lokal semacam itu saling berkelindan ritual tersebut tidak diangkatke, atau diangkatke tetapi
sehingga merasuk dan mengendap dalam benak tidak sesuai dengan adat, maka bukan saja disharmoni
masyarakat Using, yang pada gilirannya membangun sosial yang akan menjadi taruhan, melainkan juga
kesadaran mereka dan membentuk persepsi, sifat, dan disharmoni psikologis/batiniah, bahkan ancaman maut.
sikap kultural berupa kepercayaan terhadap ritual Meskipun demikian, dari waktu ke waktu, ada saja
Seblang sebagai kesatuan kosmis. Implikasi dan pembaruan yang dilakukan masyarakat setempat
proyeksi dari kesadaran kosmis tersebut mengangankan dalan rangka menyesuaikan perkembangan zaman,
relasi yang simbiosis dan seimbang antara mikrokosmos misalnya terkait dengan sarana-prasarana pendukung,
dan makrokosmos, sehingga terbangun kondisi yang yang tentu saja tidak sampai mengganggu substansi dan
slamet. Hal tersebut sekaligus merepresentasikan angan- kekhidmatan sakralitas Seblang.
angan kolektif masyarakat lokal, yakni harmoni sosial.
Konteks sosio-kultural semacam itu menjadi penting
Proses internalisasi nilai-nilai semacam itu, kemudian sebagai pondasi untuk memahami substansi pranata
diperkuat dengan perangkat pranata sosial setempat yang ritual Seblang. Sebagai sebuah upacara adat yang sakral,
mengiringi dan memfasilitasi gerak sosial dan interaksi pranata ritual Seblang tidak dapat dilepaskan dari
kultural masyarakat Using. Proses institusionalisasi nilai- implikasinya dengan hal-hal yang gaib, di antaranya
nilai lokalitastermasuk sakralitas Seblangkepada terkait dengan mantra dan dhanyang. Tidak sedikit
generasi penerus dilakukan dengan beragam perangkat, fenomena kultural lain yang memanfaatkan sarana
mulai dari pengajaran bahasa Usingyang memuat mantra dengan beragam fungsi, baik yang bersifat
wacana tradisi Usingsebagai muatan lokal dalam personal maupun dalam implikasinya dengan relasi
pendidikan formal, kegiatan-kegiatan budaya di bawah sosial (Wessing, 1996; Setyawati, 2006; Setiati, 2008;
naungan pemerintah (Banyuwangi Ethno Carnival/BEC, Saputra, 2010; Syarifuddin, 2010). Dukunlah orang
Hari Jadi Banyuwangi/Harjaba) dan komunitas (Dewan yang memiliki otoritas dalam hal mantra dan dhanyang
Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65 57
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

tersebut. Dalam konteks ini, dukun pun bukan dhanyang. Dhanyang dipahami oleh masyarakat
sembarang dukun, tetapi khusus dukun Seblang. Peran Olehsari sebagai roh leluhur yang mbahureksa wilayah
dukun dalam memfungsikan mantra dalam rangkaian setempat. Dalam pranata ritual Seblang, ada saat-saat
pranata ritual Seblang diawali sejak prosesi kejiman. terjadinya pertemuan atau komunikasi antara manusia
Prosesi kejiman biasanya dilaksanakan sekitar dua dan roh atau dhanyang. Pertemuan tersebut bisa terjadi
minggu sebelum waktu pelaksanaan ritual Seblang. secara langsung dan juga secara tidak langsung.
Kejiman itu sendiri berarti masuknya jim alias jin ke Pejumpaan secara langsung, selain dialami oleh dukun
dalam raga seseorang dalam rangkaian proses penentuan dan pawang, juga dialami oleh mediator kejiman dan si
penari Seblang (sering disebut Seblang saja) (Saputra & penari Sebang. Dukun dan pawang ketika ngundang
Mustamar, 2009). Sebagai ilustrasi, siapa yang akan atau memanggil roh dengan mantranya, baik ngundang
menjadi penari Seblang untuk periode sekarang ketika prosesi kejiman, maupun pada momen-momen
(dilaksanakan setahun sekali), tidak ditunjuk atas yang lain, pada prinsipnya merupakan komunikasi dan
wewenang Pak Lurah atau Pak RT atau bahkan dukun, perjumpaan antara dukun dan pawang dengan roh
melainkan wewenang jim yang mbahureksa wilayah leluhur.
Olehsari dan sekitarnya, atau jim leluhur, dengan
melalui mediator. Istri dukun atau orang lain dapat Sementara itu, mediator kejiman ketika kerawuhan
menjadi mediator. Ketika jim telah masuk ke dalam raga (kedatangan) tamu yang diundang oleh sang dukun,
seorang mediator, maka dukun akan bertanya atau juga mengalami perjumpaan. Raga atau badan si
berdialog dengan si mediator yang telah memasuki mediator menjadi tempat untuk berdiamnya roh leluhur,
kondisi in trance. Dengan demikian, ucapan dan meskipun hanya bersifat sementara. Bentuk fisiknya
jawaban yang dilontarkan si mediator sebenarnya adalah si mediator, namun isi-nya, yang bersuara dan
merupakan ucapan dan jawaban dari jim yang memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan sang
merasukinya. Dalam dialog gaib inilah akan diketahui dukun, merupakan roh yang telah merasuk ke dalam diri
siapa sebenarnya yang akan menjadi penari Seblang si mediator. Mengingat bahwa isi yang ada di dalam
pada periode tersebut. bentuk merupakan sesuatu yang berbeda dari apa yang
seharusnya ada, maka karakteristik jawaban-jawaban
Tahap setelah kejiman adalah pembuatan tarub dan yang keluar dari bentuk tersebut juga tidak menunjuk-
pemasangan genjot. Di dalam tarub ditata kursi untuk kan kebiasaan yang dimiliki oleh bentuk tersebut.
tempat duduk pesinden dan keluarga Seblang. Pada Dengan demikian, bentuk dan isi merupakan dua
bagian depan-atas tarub dihiasi para bungkil yang hal yang berbeda, tetapi kemudian menyatu, dan isi
sekaligus sebagai sesaji upacara. Para bungkil meliputi mempengaruhi serta menggerakkan bentuk.
buah-buahan, sayur-sayuran, umbi-umbian, biji-bijian,
daun-daunan, dan bunga-bungaan. Para bungkil Selain pada saat prosesi kejiman, perjumpaan yang
tersebut digantung di atap tarub. Pada bagian atas- dialami oleh si mediator juga terjadi ketika si penari
belakang tarub juga disediakan tempat khusus untuk Seblang melakukan prosesi ider bumi. Ider bumi dalam
sajen. Sementara itu, genjot adalah tempat pertujukan pranata ritual Seblang Olehsari merupakan prosesi
tari Seblang yang berupa panggung. Pada bagian tengah terakhir dari rangkaian pranata Seblang selama tujuh
panggung dipasang sebuah payung besar (payung hari. Dalam prosesi yang intinya adalah kirab keliling
agung) yang berwarna putih. Bagian bawah payung desa dengan menghampiri tempat-tempat keramat di
digunakan untuk tempat orkestrasi atau gamelan, yang lingkungan Olehsari tersebut, rumah si mediator
terdiri atas kendang (dua buah), kempul, gong, demung, kejiman juga didatangi. Ketika dalam posisi siap
ricikan dan saron (dua buah). menerima kedatangan Seblang, dan saat Seblang telah
mendekat, tiba-tiba si mediator seperti kelojotan
Tahap-tahap berikutnya, baik bersesaji di mata air, kemasukan dhanyang, dan segera dibantu oleh beberapa
bersesaji di kuburan, pembuatan omprok, maesi orang di sekitarnya untuk dipapah dan dibawa ke dalam
Seblang, ngundang roh, ider bumi atau mubeng desa, rumah. Momen tersebut merupakan momen perjumpaan,
maupun siraman, pada prinsipnya merupakan tahapan dan juga momen berkomunikasi, antara alam alus dan
yang melibatkan dukun dengan kelengkapan mantra dan alam kasar, antara manusia dan dhanyang.
kekuatan gaibnya. Sementara itu, omprok adalah sejenis
mahkota yang harus dikenakan penari Seblang, yang Perjumpaan yang serupa juga dialami oleh penari
dibuat dari bahan-bahan yang cukup sederhana, yakni Seblang. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
daun pisang muda (pupus), aneka bunga, dan janur bahwa ketika dalam kondisi in trance, penari Seblang
(daun kelapa muda). Semua bahan tersebut dapat merasa diajak jalan-jalan ke tempat-tempat yang belum
diperoleh secara mudah di lingkungan Desa Olehsari, pernah ia kunjungi. Pengalaman semacam itu dialami
cukup dengan cara meminta kepada tetangga. oleh hampir semua penari Seblang di Olehsari. Tutik
(tahun 1995), Yuni (tahun 2007), dan Idah atau Suidah
Sebagaimana telah disinggung, pranata ritual Seblang (tahun 2013), yang terekam dalam observasi partisipasi
juga tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang di lapangan dan mengisahkan pengalamannya, menun-
58 Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

jukkan hal serupa. Ketika dalam situasi hilang kesadaran, masyarakat yang tinggal di bagian utara dan barat tlatah
mereka tidak merasa bahwa dirinya sedang menari di Blambangan tersebut cukup akomodatif terhadap
atas panggung dan di bawah payung agung. Mereka muncul dan eksisnya Seblang, karena dalam habitat
juga tidak merasa ditonton oleh banyak orang. Yang yang paralel, yakni animistis. Kehadiran Seblang yang
mereka rasakan adalah seperti berpergian dan diajak relatif sederhana penampilannya mampu memberi tanda
jalan-jalan. Seseorang atau sesuatu yang mengajak simbolis bagi masyarakat sekitar: bahwa mereka
inilah yang bukan manusia biasa, melainkan dhanyang memiliki format untuk menyampaikan ucapan terima
atau roh leluhur. Wujud dhanyang tersebut dapat kasih atas limpahan rezeki dari hasil panen; kondisi
berbeda antara yang dialami oleh satu orang dengan harmoni dalam relasinya dengan berbagai makhluk
orang lain, oleh penari Seblang yang satu dengan yang hidup; serta sekaligus sebagai penghormatan atas roh-
lain. roh nenek moyang yang telah menghadap Sanghyang
Widi. Tradisi Seblang, layaknya berbagai tradisi
Perjumpaan-perjumpaan antara alam alus dan alam slametan lainnya, memiliki fungsi utama untuk
kasar, baik secara individual (perjumpaan langsung) mencapai kondisi slamet atau selamat, baik dari
maupun kolektif (perjumpaan tak langsung), sebenarnya gangguan yang berasal dari dalam maupun dari luar
dapat dipahami sebagai proses pemfungsian masing- termasuk dari kekuatan-kekuatan supranatural. Kondisi
masing peran dalam konfigurasi dan struktur yang slamet adalah kondisi yang mengindikasikan terciptanya
membentuk harmoni sosial. Hal tersebut sekaligus menjadi hubungan harmonis antara mikrokosmos dan
pengejawantahan relasi simbolis antara mikrokosmos makrokosmos. Harmoni merupakan wujud dari puncak
dan makrokosmos yang berorientasi pada kondisi yang politik rasa bagi masyarakat tradisional. Dengan
slamet. Kondisi slamet merupakan spirit dan gambaran demikian, kondisi slamet merupakan simbol kesatuan
dunia dalam yang merepresentasikan dunia luar, mistis dan sosial bagi masyarakat lokal-tradisional.
yakni dunia sosial di lingkungan masyarakat sekitar. Hal
ini menunjukkan berfungsinya masing-masing elemen Dalam perkembangannya kini, meskipun orang Using
sehingga membentuk keharmonisan struktur sosial. banyak memeluk Islam, mereka cenderung berorientasi
pada Islam yang bersifat tradisional, dan bahkan
Kondisi budaya dan sosial yang mendukung. sebagian cenderung abangan, sehingga tetap saja
Eksistensi pranata ritual Seblang bagi masyarakat Using akomodatif terhadap berbagai ritual-sakral dan
merupakan upacara adat yang paling tua, yang fenomena supranatural. Dalam konteks ini, kepercayaan
merepresentasikan kondisi harmoni sosial dalam relasi atas kesatuan antara kekuatan mistis dan kekuatan sosial
mikrokosmos dan makrokosmos serta alam alus dan masih berlanjut hingga kini.
alam kasar. Pranata tersebut juga menjadi simbol
eksistensi peradaban masyarakat Olehsari dan sekitarnya Simbol kesatuan mistis dan sosial ini perlu mendapat
yang notabene mayoritas berprofesi sebagai petani, penekanan lebih, karena dari sinilah embrio sekaligus
sehingga mitos Dewi Sri yang mengejawantah dalam pengembangbiakan pranata ritual Seblang dapat
prosesi ritual tersebut menjadi bagian integral dari beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sebagaimana
produk peradaban mereka. Eksistensi suatu produk telah dibahas pada bagian sebelumnya, salah satu
budaya, termasuk pranata ritual Seblang, tidak dapat momen penting yang menjadi bekal dalam mempertebal
dilepaskan dari kondisi-kondisi yang mendukungnya. keyakinan bagi masyarakat Using, khususnya Olehsari
Hal tersebut mengindikasikan bahwa produk budaya dan sekitarnya, adalah perjumpaan-perjumpaan mistis
tersebut memiliki fungsi, baik dalam konteks individu yang terjadi selama prosesi ritual Seblang, baik yang
maupun sosial. dilakukan secara individual atau secara langsung
maupun secara kolektif atau secara tidak langsung.
Kondisi-kondisi yang mendukung kehadiran pranata Momen-momen semacam itu bisa jadi merupakan
ritual Seblang dengan seperangkat sistem budaya dan akibat, tetapi bisa juga sebagai sebab. Sebagai akibat
berbagai keunikannya dalam konteks masyarakat Using momen-momen tersebut terkait dengan landasan
dapat diidentifikasi berdasarkan kondisi budaya dan kepercayaan dan keyakinan dalam religi animistis,
kondisi sosial. Kondisi budaya yang mendukung kemudian kepercayaan tersebut mewujud dalam realitas
kehadiran dan eksistensi pranata ritual Seblang terkait sosial dalam bentuk perjumpaan mistis dalam format
dengan sistem religi dan sistem pengetahuan, sedangkan ritual Seblang. Di sisi lain, sebagai sebab berarti bahwa
kondisi sosial terkait dengan struktur sosial dan momen perjumpaan mistis telah menjadi ajang untuk
lingkungan geografis pedesaan atau pinggiran. Kondisi- melangkah ke ranah realitas sosial dan bahwa keyakinan
kondisi pendukung tersebut dipaparkan dalam uraian mereka selama ini bukan sekadar imajinasi. Dengan
berikut. demikian, relasi antara kesatuan mistis dan kesatuan
sosial sebenarnya merupakan format yang membentuk
Dalam konteks budaya, sebagaimana telah disinggung, struktur sosial. Artinya, ada relasi struktural dan
Seblang merupakan produk budaya pra-Hindu. Sistem sosiologis antara pranata-pranata kultural yang menjadi
religi yang dianut dan diyakini oleh sebagian sistem budaya dengan berbasis pada kepercayaan yang
Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65 59
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

dilakoni oleh masyarakat pemiliknya dengan realitas- seseorang tetapi tidak mempengaruhi posisinya dalam
realitas sosial yang berbasis pada nalar-aktual. struktur sosial, sehingga mereka menganggap bahwa hal
tersebut masih tetap dalam kesetaraan struktur sosial.
Dalam konteks tersebut, sistem pengetahuan yang Demikian juga hubungan antara makhluk dan institusi
dimiliki oleh masyarakat tradisional, termasuk masyara- sosial, dipandang sebagai hubungan yang egaliter.
kat Olehsari dan sekitarnya, bukan lebih menekankan Struktur sosial yang egaliter didukung oleh bahasa yang
pada pengetahuan dalam arti ilmu modern yang hanya mereka fungsikan sebagai alat komunikasi, yakni
didasarkan atas logika dan hitungan matematis; bahasa Using, yang notabene juga besifat egaliter
melainkan sebaliknya, yakni pengetahuan kultural yang lantaran tidak memiliki tingkatan bahasa.
berbasis religi sehingga hal-hal gaib dipahami sebagai
suatu keniscayaan realitas. Sebagaimana dalam ranah Di sisi lain, karakteristik orang Using dikenal bersifat
psikologi kognitif, pengetahuan adalah memori (Solso, aclak, ladak, dan bingkak (Saputra, 2007a; 2007b;
dkk., 2007), sehingga memori kolektif orang Using 2012). Aclak berarti sok ingin memudahkan orang lain
menjadi pondasi nalar mereka. Dalam konteks semacam atau sikap yang memposisikan diri sebagai sosok yang
ini, memori implisit lebih dominan dibandingkan dengan lebih tahu dan tidak takut merepotkan diri sendiri
memori eksplisit. Memori implisit mengindikasikan walaupun tidak sanggup melakukannya atau sering juga
pemrosesan informasi secara otomatis, sedangkan disebut sebagai maunya diri; sedangkan ladak adalah
memori eksplisit merupakan upaya aktif dan dilakukan sikap yang di dalamnya terkandung nilai kesombongan,
secara sadar untuk menelaah memori (Solso, dkk., meskipun dibalut dengan sikap canda, atau cara
2007). Internalisasi nilai-nilai yang diserap masyarakat pandang yang menganggap orang lain tidak lebih tinggi
Using melalui beragam sumber informasi, yang salah daripada dirinya. Adapun bingkak berarti acuh tak acuh,
satu di antaranya mengerucut pada persoalan sakralitas kurang peduli, dan cerminan perilaku bahwa seseorang
Seblang dan fungsi sosialnya bagi keharmonisan relasi tidak harus menghormati orang lain. Sikap akomodatif
sosial, akan menjadi memori implisit yang mampu terhadap kekuatan supranatural atau kekuatan gaib yang
muncul secara otomatis ketika kehadirannya dibutuhkan. bersifat magis juga merupakan dimensi dari sifat sinkretis
Kepercayaan terhadap weluri leluhur, khususnya tentang budaya Using. Sebagaimana diketahui, Banyuwangi
pelaksanaan ritual Seblang, dan dampak negatif berupa merupakan salah satu wilayah yang penduduk asli-
musibah atau pageblug ketika weluri tersebut tidak nya berbasis kekuatan supranatural dengan ditopang
dilaksanakan, telah mengendap menjadi memori tradisi bermantra. Bahkan, tidak sedikit orang Using
implisit. Aksioma yang demikian akan menuju pada yang merasa bahwa ngelmu orang Using lebih tinggi
kondisi bahwa kepercayaan, pandangan, nilai-nilai atau atau lebih tua dibandingkan dengan ngelmu orang
praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi Banten. Atau, setidak-tidaknya, Banyuwangi merupakan
menjadi mapan dan mempunyai kekuatan seperti hukum wilayah segi tiga magis di samping Banten dan Lombok.
(Ahimsa-Putra, 2009). Meskipun demikian, sebagai Konteks semacam itu, secara langsung maupun tidak
nilai budaya, tradisi juga berpotensi mengalami langsung, menyuburkan kepercayaan orang Using
perubahan sesuai fungsi adaptifnya. Dalam konteks terhadap ngelmu, baik santet (pengasihan) maupun sihir
seperti itu, oposisi biner antara alam alus dan alam (menyakiti/membunuh), dan termasuk juga ngelmu
kasar dipahami dan dilihat sebagai dua wilayah yang pengasihan lain, yakni lentrek/lintrik (pengasihan/
memiliki kualifikasi dan tingkat realitas yang sejajar ramalan), pengirut (pemikat), dan sensren/pesensren
sehingga keduanya berpotensi untuk melakukan dialog. (daya tarik). Meskipun demikian, kasus pembantaian
Dalam konteks yang demikian, kepercayaan dan dukun 1998 bukan semata-mata terkait dengan
nglakoni terhadap wasiat leluhur atau dhanyang tidak persoalan sosial-kultural, melainkan juga terkait dengan
berani untuk diingkari. Pengingkaran terhadap wasiat persoalan politik atau kekuasaan (lihat, Herriman, 2009;
leluhur diyakini akan berdampak pada disharmoni, baik 2010; 2012). Dengan adanya atmosfer ke-ngelmu-an
secara individu maupun sosial, baik kini maupun nanti. yang berbasis kekuatan supranatural, tidak mengherankan
apabila kekuatan-kekuatan yang bersifat magis tersebut
Selain kondisi budaya, kondisi sosial yang juga menjadi pada akhirnya dijadikan sebagai alternatif pranata sosial
faktor pendukung eksisnya pranata ritual Seblang adalah tradisional. Hal itu biasanya dilakukan apabila pranata-
struktur sosial dan lingkungan geografis pedesaan atau pranata formal kemasyarakatan sudah tidak mampu lagi
pinggiran. Struktur sosial merupakan jaringan hubungan mengakomodasi kepentingan mereka.
sosial yang menghubungkan antarmakhluk atau makhluk
dengan institusi sosial. Struktur sosial masyarakat Using Selain struktur sosial, kondisi lain yang juga mendu-
bersifat egaliter, karena relasi antarmakhluk sosial kung keberadaan dan keberlangsungan pranata ritual
bersifat setara. Orang biasa dan orang tidak biasa Seblang adalah kondisi lingkungan geografis pedesaan
(pejabat) oleh orang Using dianggap sebagai orang- atau pinggiran. Sebagaimana diketahui, Seblang memiliki
orang yang secara struktur sosial memiliki kesetaraan. habitat lingkungan pedesaan, khususnya dalam konteks
Jabatan dan kekayaan serta tingkat kesalehan dalam masyarakat pertanian. Habitat pedesaan terlihat dari
masyarakat Using dipahami sebagai kelebihan tempat diselenggarakannya Seblang, yang hanya
60 Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

diadakan di Desa Olehsari dan Desa Bakungan. Kedua Respons orang using terhadap ritual seblang.
wilayah yang berada di Kecamatan Glagah tersebut dan Sebagaimana telah disinggung bahwa ritual Seblang
juga lingkungan di sekitarnya merupakan lahan merupakan ritual paling awal yang kemudian menjadi
pertanian yang secara umum menjadi ladang cikal-bakal ritual-ritual lain, termasuk sebagai embrio
kehidupan utama bagi masyarakat setempat. Sebagian seni tari profan yang menjadi maskot Banyuwangi,
di antara masyarakat setempat masih menggunakan yakni Gandrung. Sebagai upacara adat yang sakral,
pola-pola tradisional dalam menggarap sawah dan prinsip dan substansi mekanisme prosesi ritual Seblang
ladang. Di satu sisi, mereka adalah manusia-manusia dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan yang
rasional yang berupaya mengeksplorasi kekayaan alam cukup berarti. Meskipun demikian, persoalan eksternal
melalui sawah dan ladang dengan cara-cara yang (hal-hal di luar intisari Seblang) yang menyertai
rasional. Namun, di sisi lain, mereka juga merupakan rangkaian ritual Seblang, di antaranya sarana-prasarana
makhluk-makhluk teologis yang mempercayaidan pendukung upacara dan respons masyarakat lokal,
bahkan meyakinibahwa tidak semua elemen mengalami dinamika, karena memang tidak semata-
kehidupan cukup hanya dihadapi dengan rasio, tetapi mata statis. Sarana-prasarana eksternal ritual Seblang
ada kekuatan-kekuatan tertentu yang ada di luar rasio. dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Pada awal-
awal kemunculannyaritual Seblang diperkirakan telah
Konteks seperti inilah yang kemudian menggiring ada sejak tahun 1770-an, tetapi nama-nama penari ritual
kepercayaan orang Using atas kekuatan sakral dari Seblang Olehsari yang berhasil dilacak adalah penari
pranata ritual Seblang dalam hal kesuburan. Mitos Dewi sejak tahun 1930 (Singodimayan, 2009)ritual Seblang
Sri atau Dewi Padi berfungsi sebagai legitimasi kultural dilaksanakan secara sederhana, dengan arena berupa
atas angan-angan kolektif masyarakat agraris-tradisional hamparan tanah datar, dengan sarana pakaian dan
dalam mengkonstruksi dimensi kesuburan pertanian. kelengkapan gamelan yang seadanya. Seiring
Bagi mereka, kesuburan pertanian tidak hanya berurusan berjalannya waktu, sarana eksternal tersebut mengalami
dengan pupuk atau zat-zat kimia lainnya yang perbaikan dan pengembangan seturut dengan
tekandung di dalam tanah ataupun pola tanam, musim, peningkatan taraf hidup masyarakat setempat dan gerak
dan kecukupan air, tetapi juga berurusan dengan modernitas, tetapi tetap mengacu pada prinsip bahwa
keyakinan bahwa ada kekuatan adikodrati yang sarana eksternal tidak boleh mengganggu substansi
menggerakkannya. Di sisi lain, dalam realitas sosial, ritual. Sejak beberapa tahun terakhir, arena ritual telah
personil-personil pelaku ritual Seblang banyak yang dibangun dengan sarana bangunan modern, meski tetap
tidak memiliki lahan pertanian, termasuk yang bukan sederhana, dengan bentuk semacam panggung di tengah
bekerja sebagai tenaga buruh pada lahan pertanian. Hal arena untuk menari Seblang dan tembok-pendek-
ini seperti bertolak-belakang dari tujuan utama ritual bertangga melingkar di sekeliling arena untuk penonton.
Seblang, yakni ritus kesuburan. Persoalannya terletak Meskipun berbentuk panggung, hamparan lantai untuk
pada kepentingan komunal, sehingga meskipun orang- arena menari tetap berupa tanah (bumi), karena Seblang
orang yang terlibat dalam ritual Seblang tidak memiliki sebagai simbolisasi Dewi Sri tidak bisa terpisah dari
implikasi langsung dengan lahan pertanian, sebagai penyatuannya dengan bumi. Performance pendukung di
bagian dari komunitas mereka turut menanggung luar arena belakangan ini juga semakin semarak, dengan
kepentingan komunal tersebut. Pada sisi inilah angan- adanya umbul-umbul (termasuk dari sponsor tertentu)
angan kolektif itu terpenuhi melalui media ritual Seblang. dan spanduk di ujung gang pintu masuk tentang
penegasan terhadap upaya untuk melestarikan khazanah
Bertolak dari berbagai kondisi yang mendukung kearifan lokal. Kesan semarak juga dipertegas dengan
tersebut, eksistensi pranata-pranata ritual-sakral menjadi munculnya para pedagang makanan dan mainan di
bagian integral dalam kehidupan kultural orang Using. lingkungan sekitar arena, yang sekaligus menandakan
Mengingat bahwa pranata ritual Seblang telah menjadi bahwa di lingkungan tersebut sedang ada tontonan.
bagian integral dari kehidupan kultural orang Using,
maka kemudian menjadi kewajiban bagi mereka Dinamika juga terjadi pada respons terhadap ritual
untuk melaksanakan upacara ritual tersebut sesuai adat- Seblang, baik respons dari orang-orang yang terlibat
istiadat Using. Ritual tersebut telah menjadi institusi langsung dalam pelaksanaan ritual, maupun dari
sosial yang memiliki kekuatan seperti hukum. penonton. Orang-orang yang terlibat langsung dalam
Pengingkaran untuk tidak melaksanakan pranata ritual ritual, mulai dari pemangku adat, dukun Seblang,
Seblang, yang berakibat pada disharmoni sosial, pendamping, pengundang, penari Seblang, dan
menjadi legitimasi kultural yang tidak terbantahkan bagi keluarga/keturunan Seblang, pada umumnya sangat
orang Using. Di sisi lain, ketika pelaksanaan pranata mendukung eksistensi dan kelancaran pelaksanaan ritual
ritual Seblang tidak sesuai dengan adat-istiadat Using, tersebut. Mereka merasa bahwa khazanah kultural
maka disharmoni sosial juga muncul. Hal ini menjadi tersebut merupakan milik bersama yang harus diuri-uri
bukti atau legitimasi keanehan berikutnya, yang mau dan dilaksanakan sehingga tidak berimplikasi pada
tidak mau harus dipahami dan diterima oleh orang kejadian atau hal-hal yang tidak dinginkan. Meskipun
Using sebagai realitas sosial. demikian, terdapat satu keluarga/keturunan Seblang,
Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65 61
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

yakni keluarga Tirah, yang tidak mengizinkan anak- yang muncul adalah sederhana, datar, dan apa adanya.
anaknya untuk menjadi Seblang. Sikap semacam itu Meskipun demikian, ketika yang menjadi ketua panitia
selama ini dianggap tidak wajar, karena berdasarkan adalah generasi muda yang kreatif, setidak-tidaknya
kepercayaan masyarakat setempat, keturunan Seblang yang tampak dalam lima tahun terakhir, maka
sudah memiliki garis untuk suatu saat tertentu, ketika performance di lingkungan sekitar arena Seblang
mendapat gilirannya, ditunjuk sebagai Seblang. menjadi tampak sisi hiburan-nya: perbaikan
Konvensi seperti itu telah menjadi semacam hukum pakaian/seragam dan sarana pendukung; adanya umbul-
yang tidak boleh dilanggar, karena jika dilanggar akan umbul dan spanduk; pedagang mainan dan makanan
terkena hukuman. Sikap keluarga Tirah yang tidak ditata; penitipan motor diatur; penonton yang menjadi
wajar tersebut akhirnya mendapat hukuman yang juga tamu undangan disediakan tempat; genjot disterilkan
tidak wajar, yakni satu per satu dari ketiga anak dari penonton dan fotografer/kameramen; sesepuh dan
perempuannya, Asrah, Asnah, dan Liswati, menjadi pemuda yang terlibat kegiatan berpakaian adat. Kesan
tidak waras. Kini ketiganya telah tiada. Bagi orang yang semula hanya apa adanya, kini berubah menjadi
Using, fenomena tersebut merupakan implikasi dari meriah dengan tetap menjaga sakralitas prosesi Seblang.
sikap keluarga Tirah yang tidak menghormati leluhur Sebagai ketua panitia, Desta atau yang juga akrab
mereka karena tidak bersedia menjadi Seblang. dipanggil Andik, memang bermaksud menyisipkan
unsur entertainment pada bagian eksternal, sehingga
Dinamika juga tercermin dari pandangan dukun Seblang Seblang tidak semata-mata menjadi upacara adat yang
yang baru, yakni Pak Akuwan, tentang penari sakral, tetapi sekaligus bisa menjadi tontonan yang
Seblang. Dukun Seblang yang menggantikan menarik perhatian publik. Misi Desta bukan tanpa
pendahulunyaPak Saleh, karena meninggal dunia halangan, karena sebagian dari orang-orang yang
sejak tahun 2012 tersebut berpandangan bahwa yang terlibat langsung dalam ritual Seblang memberi respons
menjadi Seblang di Olehsari tidak harus perawan. yang negatif, karena ritual dianggap mulai melenceng
Padahal selama ini menurut pemahaman masyarakat, dari pakem atau adat. Meskipun demikian, seiring
termasuk pemahaman dukun-dukun sebelumnya, dengan misi yang dimiliki Desta, antusiasme penonton
menegaskan bahwa Seblang Olehsari harus perawan. meningkat, bahkan pada hari terakhir (ketujuh)
Menurut Pak Akuwan, yang profesi kesehariannya pelaksanaan, yakni pada saat ider bumi, penonton dapat
adalah pedagang kacang di Bali, yang dimaksud dikatakan membludak. Respons dari penonton cukup
perawan bukanlah penari Seblangnya, melainkan ketika positif karena mereka datang ke ritual Seblang tidak
slametan di makam Buyut Ketutyang terletak di semata-mata untuk menyaksikan ritual yang sakral
pinggir jalan utama Desa Olehsari, yang dianggap tersebut, tetapi juga memiliki tujuan sampingan, yakni
sebagai tuan rumah pelaksanaan ritual Seblang mencari hiburan dalam frame profan, berkumpul dengan
sebagai awal atau ucapan permisi (kulanuwun) kepada teman-teman, mencari pandangan (dalam konteks
dhanyang yang mbahureksa wilayah Olehsari, seorang muda-mudi) yang memang semakin kondusif.
dukun harus membawa-serta seorang perempuan yang Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa respons
masih perawan. Ketika peneliti menanyakan lebih penonton menjadi dinamis seiring dinamika yang
lanjut, apakah perawan tersebut dipersembahkan kepada didesain oleh panitia melalui performance Seblang.
Buyut Ketut, Pak Akuwan menjawab dengan tidak
yakin, Mungkin saja begitu. Tapi, yang jelas, pada saat Sebagaimana telah disinggung, ketika pelaksanaan ritual
slametan di makam Buyut Ketut tersebut harus ada dikemas sedemikian rupa sehingga tampak dominan
perawannya. Terkait dengan konteks semacam itu, sebagai tontonan, respons negatif tidak dapat
menurut ketua masyarakat adat Using, Purwadiyang dibendung, terutama datang dari generasi tua yang ingin
akrab dipanggil Kang Pur, menyatakan bahwa yang menjaga naturalitas Seblang sebagaimana adat-nya.
menjadi Seblang di Olehsari tidak harus perawan, Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, karena
karena dirinya pernah menonton ada Seblang yang kemudian terbukti muncul kasus yang tidak wajar.
sedang hamil. Tetapi, Kang Pur tidak ingat, periode Sebagaimana disampaikan oleh Hasnan Singodimayan
tahun kapan hal tersebut terjadi. (76) budayawan terkemuka Usingdan juga oleh Sri
Hidayati (45) aktivis budaya yang turut nguri-uri
Respons yang juga penting adalah dari ketua panitia. Seblang, yang tinggal di Olehsari, dan bekerja sebagai
Ketua panitia tidak harus keturunan Seblangpenari perangkat desa di Kantor Kepala Desa Olehsari, yang
Seblang, pemangku adat, dukun, pendamping, akrab dipanggil Mbok Sriketika berbincang dengan
pengundang, pembuat omprok, dan pesinden harus peneliti, jika pelaksanaan upacara adat Seblang tidak
memiliki garis keturunan Seblang, sedangkan panjak sesuai dengan adat Using, maka akan kacau. Seakan
tidak harus keturunan Seblang. Ketua panitia serentak, kemudian Pak Hasnan dan Mbok Sri menu-
berperanan penting dalam mendesain formattanpa turkan dua kasus yang menurut kedua tokoh Using itu
mengubah/mempengaruhi substansipelaksanaan merupakan peristiwa yang dikategorikan sebagai kacau.
Seblang. Mengingat bahwa ritual Seblang merupakan Pertama, kasus tahun 1980-an, yakni pementasan
upacara adat yang sakral, maka selama ini kesan utama Seblang yang difungsikan sebagai suguhan bagi
62 Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

wisatawan. Kedua, kasus tahun 2008, yakni tersebut, menurut Mbok Sri, diperparah oleh garis
pementasan Seblang yang terkooptasi oleh partai politik. keturunan Atika (sebagai Seblang) yang hanya sebagai
ranting, bukan sebagai cabang atau pohon.
Kasus tahun 1980-an itu merupakan kasus yang Kedua, menurut Kang Pur ketua masyarakat adat
sempat membuat bingung banyak orang, terutama Using, kasus tersebut mencuat karena tidak
orang-orang yang terlibat atau terkait langsung dengan sinkronnya jadwal pelaksanaan upacara yang ditentukan
pementasan Seblang tersebut. Sebagaimana diketahui, secara mistis melalui kejiman dengan jadwal yang
Seblang merupakan pranata ritual-sakral yang hanya ditetapkan oleh panitia. Dalam hal ini, panitia
dilaksanakan pada tempat dan waktu yang telah mengabaikan petunjuk mistis kejiman lantaran alasan
disesuaikan dengan adat. Seblang Olehsari hanya boleh teknis. Ketiga, menurut Desta atau yang juga sering
dilaksanakan di Desa Olehsari dalam waktu setelah hari dipanggil Andik ketua panitia upacara adat Seblang
raya Idul Fitri, sedangkan Seblang Bakungan hanya 2008 persoalan tersebut bersumber dari diri Seblang
dilaksanakan di Desa Bakungan dalam waktu setelah sendiri, yang kurang memiliki sugesti secara total, dan
hari raya Idul Adha. Namun, karena ada kepentingan tidak ada hubungannya dengan politik sebagaimana
kekuasaan dalam rangka membangun citra tertentu, yang dituduhkan kepada dirinya. Desta menjadi pihak
yakni upaya melestarikan dan menghargai seni-seni yang merasa paling terpojok dengan merebaknya kabar
tradisi, maka kehendak kekuasaan itu pun tidak dapat bahwa kasus tidak in trance-nya Seblang lantaran
ditolak, meskipun masyarakat di tingkat desa banyak kuatnya aroma politik di seputar arena Seblang.
yang kasak-kusuk tidak menyetujuinya. Sebenarnya
maksudnya baik, tetapi tidak tepat atau bukan pada Dari ketiga kemungkinan tersebut, kemungkinan yang
tempatnya. Akibatnya, tiga hari Seblangnya tidak dapat paling dipercaya oleh masyarakat luas sebagai pemicu
disembuhkan dari kondisi in trance. persoalan adalah kemungkinan pertama. Kepercayaan yang
mengkristal pada persepsi bahwa kemurnian sakralitas
Kasus berikutnya adalah kasus tahun 2008. Seblang tidak boleh diganggu oleh kepentingan apa pun,
Meskipun berbeda dari kasus sebelumnya, tetapi termasuk kepentingan politik, merupakan memori
keduanya memiliki kemiripan pola, yakni adanya implisit yang secara otomatis muncul sebagai bentuk
pengaruh dari luar, adanya kooptasi atau intervensi reaksi atas aksi yang ada. Aroma politis yang sejak awal
dari pihak tertentu. Artinya, kuasa yang mengatur dirasakan oleh warga, akhirnya mengkondisikan mereka
pranata ritual Seblang bukan dari dalam tetapi dari untuk membentuk memori implisit. Memori implisit yang
luar. Jika pada kasus pertama pihak luar itu berada pada habitat yang kondusif akan mengkonstruksi
adalah kekuasaan atau negara, maka dalam kasus pengetahuan seseorang atau komunitas hingga memben-
kedua pihak luar itu adalah politik atau partai politik. tuk metakognisi. Sebagaimana dijelaskan Solso, dkk.
Dengan demikian, kasus tahun 2008 adalah kasus (2007), bahwa metakognisi merupakan bagian dari
pementasan Seblang yang terkooptasi atau terintervensi kemampuan monitor diri terhadap pengetahuan pribadi
oleh partai politik, hingga mampu menggagalkan yang mengalami pemrosesan otomatis, atau sering juga
prosesi ritual Seblang. Tafsir orang Using atas kasus disebut sebagai mengetahui tentang mengetahui
tersebut memang tidak bersifat tunggal, tetapi kemudian secara otomatis. Artinya, sebagaimana memori implisit,
mengerucut pada persoalan politik. Paling tidak ada tiga metakognisi bukan menekankan pengetahuan pada
kabar alternatif yang berkembang di masyarakat tataran kesadaran berpikir, melainkan ingatan atau
mengenai penyebab kasus tersebut. Pertama, menurut monitoring yang secara tiba-tiba muncul ketika ada
Mbok Sri dan Pak Hasnan serta sebagian besar orang pemicu (prime) yang datang. Dalam konteks kasus
Using, kasus tersebut disebabkan oleh kuatnya aroma Seblang tersebut, mengingat bahwa sejak awal persepsi
politik yang mengitari lingkungan lokasi ritual masyarakat terkonstruksi oleh hiruk-pikuk nuansa
Seblang, sehingga kekhidmatan dan sakralitas upacara politismenjadi terasa hiruk-pikuk karena memang
adat menjadi terganggu dan prosesi tidak bisa berjalan tidak terbiasa muncul fenomena semacam itu dalam
sesuai adat. Dalam konteks itu, masyarakat juga menjelang pelaksanaan ritual Seblangmaka hal itu
memandang bahwa pelaksanaan ritual cukup dominan mengendap dalam metakognisi, dan kemudian muncul
dimensi entertainment-nya sehingga dianggap tidak secara otomatis ketika ada pemicunya, yakni suasana
sejalan dengan sakralitas Seblang. Sementara itu, panitia gaduh karena Seblang tidak in trance. Sistem
membantah tuduhan tersebut, karena menurut mereka metakognisi mencakup dua jenis monitoring, yakni
sisi hiburan yang disisipkan tidak sampai mengganggu monitoring yang bersifat prospektif dan monitoring
prosesi ritual, lantaran tempelan entertainment yang bersifat retrospektif (Solso, dkk., 2007). Dalam
tersebut berada di bagian eksternal dari ritual, bukan kasus Seblang tersebut, metakognisi terjadi pada
bagian internal. Mereka memberi tempelan hiburan monitoring yang bersifat retrospektif, yakni mengungkap
sebagai bentuk negosiasi dengan tujuan untuk kenangan yang telah tersimpan dalam benak, dalam hal
mengangkat citra Seblang agar lebih menjadi milik ini adalah persepsi dalam bentuk memori implisit
publik. Meskipun demikian, masyarakat merasa kurang tentang aroma politis yang menyelimuti pesiapan
dapat menerima argumentasi panitia. Bahkan kasus pelaksanaan ritual Seblang.
Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65 63
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

Reaksi, sikap, dan persepsi masyarakat bisa terbentuk Sementara itu, ketika menyaksikan keanehan itu, Mbok
dan kemudian mempercayai bahwa penyebab kasus Sri sendiri bertanya-tanya dalam hati, khawatir, dan
Seblang adalah persoalan politis, karenasebagaimana takut, sekaligus sedih. Muaranya, tak dapat dipungkiri,
telah disinggung sebelumnyasejak tahap awal nuansa bahwa relasi sosial antarwarga, baik pihak-pihak yang
politis sudah merebak. Suasana sosial menjadi semakin berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan
menegang tatkala ufuk timur menyingsing (pada hari kasus tersebut, menjadi terganggu. Saling curiga dan
pertama upacara adat) didapati spanduk politik dari saling menyalahkan tidak dapat dihindarkan.
Partai Gerindra terbentang di mulut gang lokasi upacara
Seblang. Tidak ada yang mengetahui secara persis siapa Meskipun demikian, persoalan tersebut tidak cukup
yang memasang spanduk tersebut. Pagi yang cerah itu untuk diributkan, melainkan harus segera dicari
seketika berubah menjadi pagi yang resah. Kenapa alternatif penyelesaiannya. Jajaran panitia, tokoh
tidak? Gerindra mencuri kesempatan, dan masyarakat masyarakat, pemerintahkepala desa, camat, dinas
kecolongan, karena tidak satu pun warga yang kebudayaan dan pariwisatadan anggota DPRD segera
mengetahui siapa atau pihak mana yang memasang melakukan ikhtiar. Mereka bernegosiasi dengan para
spanduk yang mengatasnamakan Gerindra tersebut. leluhur. Negosiasi tersebut dilakukan dengan cara
Keresahan individual merembet menjadi keresahan mendatangi tempat-tempat yang dipercaya sebagai
sosial. Saling curiga dan saling tuduh pun tak tempat tinggal roh leluhur orang Using, di antaranya Alas
terhindarkan. Meskipun demikian, panitia berusaha Purwo (yang terletak di Semenanjung Blambangan,
sigap dan tidak ingin berlama-lama menelantarkan yang notabene dipercaya sebagai tempat paling keramat
kasus tersebut. Pagi itu pula, dengan terlebih dahulu dan menjadi sumber asal-usul kehidupan) dan Selo Giri
melapor ke Polsek Glagah, akhirnya panitia menurunkan- (makam Buyut Makuda dan Buyut Tika), serta makam
paksa spanduk tersebut. Meskipun spanduk telah dising- Buyut Congking (di Desa Bakungan). Dengan ritual
kirkan, toh efek sosial-psikologisnya terus merembet tertentu mereka mengadu dan mencari jawab mengapa
dan mengalir, dari satu telinga ke telinga berikutnya. muncul anomali dalam upacara adat Seblang tersebut.
Atau, dalam konteks tradisi lisan, kegelisahan sosial
tersebut bersosialisasi dari mulut ke mulut. Polisi dan Akhirnya, mereka mendapatkan jawaban berupa
hansip siap siaga siang-malam untuk mengantisipasi kejiman atau in trance yang dialami oleh salah satu
kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan. penonton, yang kemudian menyebut nama Suidah
Kondisi semacam ini mengakibatkan interaksi sosial sebagai pengganti Atika yang bermasalah. Penyebutan
menjadi tidak lagi nyaman, bahkan sikap curiga dan nama semacam ini tidak akan dipertanyakan lagi oleh
was-was senantiasa menghantui setiap langkah. masyarakat Olehsari, apalagi ditolak. Penyebutan nama
tersebut sekaligus menjadi petunjuk definitif untuk
Pada hari ketiga, sanksi ritual tersebut muncul dijalankan tanpa perlu bertanya dan bertanya lagi. Akhir
menjadi kenyataan, yakni Atika (penari Seblang) tidak dari semua kisah tersebut, Suidah menjalaninya dengan
mengalami in trance. Penari Seblang tidak bisa tulus dan ikhlas hingga hari ke-7, dengan diakhiri ider
mengalami in trance, tetapi justru di sana-sini beberapa bumi di lingkungan Desa Olehsari untuk menyapa
penonton mendadak in trance. Aneh memang; bukan para roh leluhur di lingkungan desa tersebut. Sementara
Seblang yang mengalami in trance, tetapi penonton, itu, di benak Atika sendiri tentu saja ada rasa malu.
bukan hanya satu, melainkan tiga hingga empat orang. Secara adat, Atika kemudian dislameti dengan kupat
Peristiwa tersebut bukanlah peristiwa biasa. Bahkan ada luar, yang berarti telah keluar dari tanggung jawab
yang mengatakan sebagai anomali. Kasus tersebut sebagai Seblang pada masa-masa mendatang.
bukan hanya berlangsung sehari atau dua hari, tetapi
lima hari. Jadi, selama dua hari Seblang mengalami in Kasus tersebut menyisakan hikmah bahwa sakralitas
trance, tetapi kemudian selama lima hari tidak Seblang tidak bisa diintervensi oleh kekuatan luar,
mengalami in trance. Para generasi tua yang memahami baik kekuasaan maupun politik. Perilaku individu yang
sejarah dan tradisi ritual Seblang, merasa heran, mengakibatkan munculnya disharmoni dalam implikasi-
prihatin, dan sedih. Dalam benak mereka terbayang nya dengan Seblang juga merepresentasikan betapa
betapa musibah besaratau bahkan pageblugakan institusi sosial Seblang integral dengan struktur sosial
segera menimpa masyarakat Olehsari, sehingga banyak masyarakat Using. Kesadaran dan kepercayaan kolektif
di antara mereka tidak mampu membendung air mata. masyarakat Using menjadi agen dalam bernegosiasi
Raut muka mereka memancarkan kepanikan yang dengan tatanan dan struktur sosial. Relasi antara agen
mendalam. Begitu juga dengan para penonton pada dan struktur sosial berlangsung secara berkelindan
umumnya, yang mengalami kegelisahan kolektif dan dalam simbiosis mutualisme. Di sisi lain, perilaku
kepanikan masal. Meskipun demikian, tidak dapat individu dapat menjadi pemicu munculnya disharmoni
dipungkiri, bahwa segelintir penontonkhususnya kaum struktur sosial. Hal semacam itu tampak misalnya ketika
mudamerasa girang karena sedang mendapati sensasi ketua panitia dianggap kurang tegas dalam mengan-
tontonan Seblang yang selama ini tidak pernah mereka tisipasi keriuhan politik di seputar ritual Seblang maka
dapatkan atau bahkan sekadar mereka bayangkan. dirinya menjadi tumpuan kesalahan. Bahkan, muncul
64 Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

juga tuduhan bahwa ketua panitia membonceng Sutarto, M.A. (Ko-Promotor) yang telah memberi
popularitas melalui Seblang. Bukan hanya itu, tuduhan inspirasi, dukungan, dan bimbingan untuk membahas
bahwa undangan telah beredar sebelum terjadi kejiman mantra dan ritual Using, Banyuwangi, pada Program S3
juga memperburuk situasi. Tuduhan kesalahan juga FIB UGM, yang saya mulai dengan tulisan ini. Terima
ditimpakan kepada oknum Partai Gerindra yang dianggap kasih juga kepada Manneke Budiman, Ph.D. yang telah
mencuri kesempatan. Sementara itu, pihak keluarga Atika memberi masukan mendasar dan pendampingan untuk
(Seblang yang gagal), dicurigai telah memaksakan perbaikan tulisan ini.
kehendak agar Atika menjadi Seblang, padahal garis
keturunan lain yang lebih kuat masih ada. Gambaran Daftar Acuan
keriuhan semacam itu merepresentasikan betapa paralel-
nya antara institusi sosial Seblang dengan realitas dalam Ahimsa-Putra, H.S. (1997). Etnografi sebagai kritik
struktur sosial masyarakat Using. budaya: Mungkinkah di Indonesia?. Jerat Budaya, 1(1),
1640.
4. Simpulan
Ahimsa-Putra, H.S. (2009). Fenomenologi agama:
Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa pranata Pendekatan fenomenologi untuk memahami agama.
ritual Seblang merupakan institusi sosial yang difungsi- Walisongo, 17(2), 133.
kan oleh orang Using sebagai bagian integral dari struktur
sosial mereka. Ritual Seblang merupakan upacara adat Anoegrajekti, N. (2010). Estetika sastra dan budaya:
tertua dalam budaya Using, Banyuwangi. Sakralitas Seblang Membaca tanda-tanda. Jember: Jember University Press.
didukung oleh penggunaan mantra beserta kekuatan gaib
dari roh leluhur yang mbahureksa wilayah setempat. Darmoko. (2002). Ruwatan: Upacara pembebasan
Upacara adat Seblang juga menjadi ajang bertemunya malapetaka, tinjauan sosiokultural masyarakat Jawa.
antara alam alus dan alam kasar, antara manusia dan Makara, Sosial Humaniora, 6(1), 3036.
dhanyang, antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Daud, H. (2010). Oral traditions in Malaysia: A
Eksistensi pranata ritual Seblang yang mampu melintas- discussion of shamanism. Wacana, 12(1), 181200.
batas hingga tetap diuri-uri oleh orang Using hingga
kini, lantaran adanya kondisi-kondisi yang mendukung- Effendi, B. & Anoegrajekti, N. (2004). Mengangan
nya. Kondisi-kondisi yang mendukung kehadiran pranata dewi sri, membayang perempuan. Srinthil: Media
ritual Seblang dengan seperangkat sistem budaya dan Perempuan Multikultural, 7, 726.
berbagai keunikannya itu, yakni kondisi budaya dan
kondisi sosial. Kondisi budaya yang mendukung Herriman, N. (2009). A din of whispers: The in-group
kehadiran dan eksistensi pranata ritual Seblang terkait manifestation of sorcery in rural Banyuwangi.
dengan sistem religi dan sistem pengetahuan, sedangkan Anthropological Forum, 19(2), 119141.
kondisi sosial terkait dengan struktur sosial dan
lingkungan geografis pedesaan atau pinggiran. Kondisi Herriman, N. (2010). The great rumor mill: Gossip,
budaya dan kondisi sosial tersebut menjadi keyakinan mass media, and the ninja fear. The Journal of Asian
orang Using atas fungsi sosial-kultural Seblang bagi Studies, 69(3), 723748.
kesuburan pertanian dan kesejahteraan hidup mereka.
Ritual Seblang tidak dapat diintervensi oleh kekuatan Herriman, N. (2012). Sorcery, theft, and affinity: The
luar, baik kekuasaan maupun politik. Memori implisit estrangement of intimacy in Eastern Java. The Asia
dan metakognisikhususnya jenis monitoring yang Pacific Journal of Anthropology, 13(5), 454468.
bersifat retrospektif yang telah terkonstruksi dalam
benak masyarakat, memberi kontribusi atas kepercayaan Marzali, A. (1997). Struktural-fungsionalisme.
mereka terhadap sakralitas ritual Seblang. Pengingkaran Antropologi Indonesia, 52, 3343.
atas wasiat leluhur untuk senantiasa melaksanakan upacara
ritual Seblang sebagaimana adat Usingmisalnya tidak Permana, R.C.E., Nasution, I.P., & Gunawijaya, J. (2011).
dilaksanakan ataupun dilaksanakan tetapi tidak sesuai Kearifan lokal tentang mitigasi bencana pada masyarakat
adat Usingdiyakini akan menimbulkan disharmoni, Baduy. Makara, Sosial Humaniora, 15(1), 6776.
baik secara sosial maupun psikologis. Disharmoni
tersebut juga berimplikasi pada struktur sosial, sehingga Saputra, H.S.P. & Mustamar, S. (2009). Dimensi
struktur sosial juga mengalami disharmoni. sakralitas dalam kosmologi budaya Using, Banyuwangi.
Sosiohumaniora, 2, 5469.
Ucapan Terima Kasih
Saputra, H.S.P. (2007a). Aroma mistis perempuan
Terima kasih kepada Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa- lintrik. Srinthil: Media Perempuan Multikulural, 12,
Putra, M.A., M.Phil. (Promotor) dan Prof. Dr. Ayu 112131.
Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): 53-65 65
DOI: 10.7454/mssh.v18i1.3461

Saputra, H.S.P. (2007b). Memuja mantra mendamba Singodimayan, H. (2009). Ritual adat seblang: Sebuah
hasrat: pemaknaan ritus mantra sabuk mangir orang seni perdamaian masyarakat Using, Banyuwangi.
Using. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 8(1), 6685. Banyuwangi: Dewan Kesenian Blambangan.

Saputra, H.S.P. (2008). Dimensi raligiusitas dan Siregar, M. (1997). Tabuik piaman: Mitos, ritual, dan
mekanisme mistis: Refleksi pranata budaya lokal orang komunitas. Antropologi Indonesia, 53, 116136.
Using, Banyuwangi. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial.
9(2), 5869. Solso, R.L., Maclin, O.H., & Maclin, M.K. (2007).
Psikologi kognitif (Edisi kedelapan). Terjemahan
Saputra, H.S.P. (2010). Formula dan ekspresi formulaik: Rahardanto, M. & Batuadji, K. Jakarta: Erlangga.
Aspek kelisanan mantra dalam pertunjuan reog.
Atavisme, 13 (2), 161174. Sutarto, A. (2003). Etnografi masyarakat Using.
Laporan Penelitian, Universitas Jember.
Saputra, H.S.P. (2012). Inspirasi dari Banyuwangi:
Mengkreasi tradisi lisan menjadi industri kreatif. Jurnal Syarifuddin. (2010). Penciptaan dan pentransmisian
ATL, 6, 410. mantra Bajo di Sumbawa: Sebuah penelusuran kekuatan
dan kesakralan mantra serta perpindahan habitat
Saputra, H.S.P. (2013). Menghayati ritual, mengangan etnisnya. Metasastra, 3(2), 161171.
struktur sosial: Fenomena seblang, kebo-keboan, dan
barong dalam masyarakat Using, Banyuwangi. Dalam Tabalong, R.B. (2004). Seblang: Dunia yang mempesona.
Endraswara, S., Pujiharto, Taum, Y.Y., Widayat, A., & Jurnal Srinthil: Media Perempuan Multikultural, 7, 33
Santoso, E. (Ed). Folklor dan folklife dalam kehidupan 46.
modern: kesatuan dan keberagaman (Proseding kongres
internasional folklor Asia III). Yogyakarta: Ombak. Wessing, R. (1996). Rumours of sorcery at an
Indonesian University. Journal of Southeast Asian
Saputra, H.S.P., Marwoto, Subaharianto, A. (2009). Studies, 27(2), 261-279.
Sumpah pocong: Pranata peradilan tradisional sebagai
media integrasi sosial. Kultur, 3(1), 5470. Wessing, R. (1999). A dance of life: the seblang of
Banyuwangi, Indonesia. Bijdragen tot de Taal-, Land-
Setiati, E. (2008). Mantra Maanyan: Jenis, fungsi, dan en Volkenkunde, 155(4), 644682.
makna. Kultur, 2(1), 1839.
Wilson, L. (2011). Beyond the exemplary centre:
Setyawati, K. (2006). Mantra pada koleksi naskah Knowledge, power, and sovereign bodies in Java.
Merapi-Merbabu. Humaniora, 16(1), 6377. Journal of the Royal Anthropological Institute, 17(2),
301317.
Sidky, H. (2010). On the antiquity of shamanism and its
role in human religiosity. Method and Theory in the
Study of Religion, 22, 6892.

Anda mungkin juga menyukai