Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sumber daya manusia sebagai prediktor dalam keterikatan kerja memiliki andil

yang sangat besar pada organisasi. Ketika karyawan memiliki kondisi mental yang positif

dan merasa puas akan pekerjaannya, menurut Bakker dan Demerouti (2008), akan muncul

semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan penghayatan (absorbtion). Semangat disini

lebih mengacu pada perasaan penuh energi ketika bekerja. Dedikasi mengarah pada

adanya keterlibatan yang kuat pada suatu pekerjaan dan merasakan suatu pengalaman

yang antusias, menginspirasi, membanggakan, dan penuh tantangan. Sedangkan

penghayatan dipahami dengan penuh konsentrasi dan ketika bekerja, pekerja merasa

bahwa waktu berjalan dengan cepat sehingga mengalami kesulitan untuk lepas dari

pekerjaan.

Kenyataannya, ketika seorang karyawan dalam menjalankan tugasnya, ia

mengalami banyak sekali tantangan. Tantangan-tantangan yang dihadapinya itu tidak

jarang membuat ia ingin menyerah dan berhenti mengerjakan pekerjaannya. Hal itu juga

yang melatarbelakangi besarnya turnover pada perusahaan/organisasi tersebut.

Profesionalisme dalam pelayanan dan meningkatnya beban kerja karyawan mewajibkan

karyawan untuk memiliki kecerdasan yang tinggi. Kecerdasan menjelaskan sifat pikiran

yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan,

memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan

belajar.

Salah satu kecerdasan yang berhubungan dengan kinerja karyawan adalah

Adversity Quotient (AQ) dan Internal Locus of Controlp (ILOC). Definisi AQ menurut
Stoltz (2000), adalah nilai yang menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengatasi

dan bertahan dalam kesulitan yang dihadapi. Orang dengan AQ tinggi diharapkan akan

mampu membantu dirinya dalam meningkatkan daya saing, produktivitas, kreativitas dan

inovasi, juga motivasi. Stoltz (2000) juga menambahkan bahwa control, origin and

ownership, reach, dan endurance (CO2RE) sebagai aspek-aspek dari AQ,

mengungkapkan tentang bagaimana seseorang dalam mengendalikan peristiwa yang

menimbulkan kesulitan dan berkaitan dengan cara merespon dan menangani kesulitan

tersebut, sehingga ketika menalani pekerjaannya, individu tersebut merasa mendapatkan

kepuasan. Dan orang tersebut menurut Stoltz termasuk dalam salah satu pendaki

kesuksesan atau climber dan tergolong sebagai orang yang memiliki AQ tinggi.

Pusat kendali atau locus of control merupakan sebuah variabel yang seringkali

dikaitkan dengan self esteem, kepuasan kerja, etika kerja atau kinerja. Pusat kendali

menjadi penting karena kotrol kinerja seseorang bisa diukur dari kemampuan seseorang

dalam menguasai peristiwa yang terjadi pada dirinya. Locus of control dapat diartikan

sebagai cara pandang seseorang terhadap sesuatu peristiwa apakah dia dapat atau

tidak dapat mengendalikan peristiwa yang terjadi pada dirinya. Locus of control

menurut Kreitner dan Kinicki (2001) terdiri dari dua konstruk yaitu internal dan

eksternal, dimana apabila seseorang yang meyakini bahwa apa yang terjadi selalu

berada dalam kontrolnya dan selalu mengambil peran serta bertanggung jawab

dalam setiap pengambilan keputusan termasuk dalam internal locus of control,

sedangkan seseorang yang meyakini bahwa kejadian dalam hidupnya berada

diluar kontrolnya termasuk dalam external locus of control.

Pada penelitian ini, difokuskan pada internal locus of control. Yaitu

kontrol seseorang ada pada dalam dirinya. Mantis dan Roesleer (2010) menyatakan

bahwa internal locus of control merupakan cara pandang bahwa hasil yang baik atau
buruk dapat diperoleh dari tindakan sesuai kapasitas diri (dapat dikontrol) atau faktor dari

dalam diri sendiri.

Kinerja merupakan tolak ukur karyawan dalam melaksanakan tugas yang

ditargetkan untuk diselesaikan. Upaya untuk melakukan penilaian kinerja menjadi

penting dengan diketahuinya pengukuran kinerja yang tepat. Kinerja diukur berdasar

kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektifitas, kemandirian dan komitmennya (Bernadin

dalam Ayudiati, 2010). Menurut Dessler (2005) kinerja merupakan prestasi kerja yakni

perbandinagn antara hasil kerja nyata dan standar kerja yang ditetapkan. Karena

organisasi merupakan lembaga yang digerakkan oleh manusia maka kesesuaian perilaku

karyawan dengan standar kerja akan menghasilkan kinerja yang diharapkan

Menurut Payaman Simanjuntak (2000) kinerja adalah tingkat pencapaian

hasil atas pelaksanaan tugas tertentu.Dengan demikian kinerja merupakan suatu

fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan

seseorang sepaturnya memiliki kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu ( Rivai,

2014:406).

Kinerja karyawan merupakan istilah yang berasal dari kata job performnce

atau actual performance (prestasi karya atau prestasi sesungguhnya yang dicapai

seseorang). Definisi kinerja karyawan yang dikemukakan oleh Bambang Kusriyanto

(dalam Mangkunegara, 2005) adalah perbandingan hasil yang dicapai dengan peran

serta tenaga kerja persatuan waktu. Sementara menurut Mangkunegara (2004) bahwa

kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh

seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab

yang diberikan kepadanya. Maka dapat dikatakan juga bahwa kinerja adalah suatu

hasil kerja seseorang berdasarkan standar kinerja yang telah ditentukan oleh

perusahaan tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan, maka peneliti

menganalisa hubungan Adversity Quotient dan Internal Locus of Control

terhadapl kinerja karyawan dengan judul penelitian.”Hubungan Adversity

Quotient dan Internal Locus of Control dengan Kinerja Karyawan. “

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan

masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana hubungan Adversity Quotient dengan Kinerja Karyawan?

2. Bagaimana hubungan Internal Locus of Control dengan Kinerja

Karyawan?

3. Bagaimana hubungan Adversity Quotient dan Internal Locus of Control

dengan Kinerja Karyawan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan

masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Hubungan Adversity Quotient dengan Kinerja Karyawan

2. Hubungan Internal Locus of Control dengan Kinerja Karyawan

3. Hubungan Adversity Quotient dan Internal Locus of Control dengan

Kinerja Karyawan.
D. Manfaat Penelitian

1. Diharapkan hasil penelitian yang dilaksanakan ini akan memberikan

sumbangan ilmiah pada pengetahuan tentang AQ dan ILOC dalam

meningkatkan kinerja karyawan.

2. Dapat memberi masukan yang berarti bagi pengembangan ilmu psikologi,

khususnya psikologi industri, sesuai dengan bagaimana karyawan pada

sekolah tinggi mampu bertahan dari permasalahan dalam pekerjaannya dan

bagaimana ia mengoptimalkan hal-hal positif dari dirinya untuk mencapai

keterikatan kerja yang tinggi

3. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang hendak melakukan

penelitian sejenis.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Adversity Quotient

1. Pengertian Adversity Quotient

Adversity Quotient merupakan faktor yang dapat menentukan bagaimana,

jadi atau tidaknya, sertasejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja dapat

terlaksana dengan baik. Menurut Stoltz (2000:18), orang yang memiliki

Adversity Quotient tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya

dibandingkan orang yang Adversity Quotientnya lebih rendah. Untuk

memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung.

Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian yaitu

Quitter, Camper, dan Climber dengan ciri, deskripsi dan karakteristik sebagai

berikut :

a) Quitters, yaitu orang yang langsung berhenti di awal pendakian.

Mereka cenderung untuk selalu memilih jalan yang lebih datar dan

lebih mudah. Mereka umumnya bekerja sekedar untuk hidup,

semangat kerja yang minim, tidak berani mengambil resiko dan

cenderung tidak kreatif. Umumnya tidak memiliki visi yang jelas

serta berkomitmen rendah ketika menghadapi tantangan di hadapan.

Disamping itu Quitter cenderung menghindari tantangan berat dan

terampil dalam menggunakan kata-kata yang sifatnya membatasi,

seperti “mustahil”, “ini konyol”, “tidak mungkin” dan sebagainya

(Stoltz, 2000:18).
b) Campers, yaitu orang yang berhenti dan tinggal di tengah pendakian.

Mendaki secukupnya lalu berhenti kemudian mengakhiri

pendakiannya. Umumnya setelah mencapai tingkat tertentu dari

pendakiannya maka fokusnya berpaling untuk kemudian menikmati

kenyamanan dari hasil pendakiannya. Maka banyak kesempatan

untuk maju menjadi lepas karena fokus sudah tidak ada lagi pada

pendakiannya. Sifatnya adalah satisficer atau merasa puas dengan

hasil yang sudah dicapai. Akan tetapi camper ini lebih baik karena

biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi

tetap mengambil resiko yang terukur dan aman. “ngapain capek-

capek” atau “segini juga sudah cukup” adalah moto para Camper.

Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan dan

selangkah lebih maju dari para Quitter. Sayangnya banyak potensi

diri yang tidak teraktualisasikan dan yang jelas pendakian itu

sebenarnya belum selesai (Stoltz, 2000:18).

c) Climber, yaitu orang yang berhasil mencapai puncak pendakian.

Mereka senantiasa terfokus pada usaha pendakian tanpa mengiraukan

kemungkinan dan tidak akan pernah terkendala oleh hambatan yang

dihadapinya. Mundur sejenak adalah proses alamiah dari pendakian

dan mereka senantiasa mempertimbangkan dan mengevaluasi hasil

pendakiannya untuk kemudian bergerak lagi maju hingga puncak

pendakian tercapai. Orang tipe ini selamanya hidup selalu merasa

tertantang untuk mendaki puncak yang lebih tinggi. Tidak peduli

latar belakang, nasib atau keuntungan dia meneruskan pendakian.


Dalam konteks ini, para Climber dianggap memiliki Adversity

Quotient tinggi. Dengan kata lain Adversity Quotient membedakan

antara para Climber, Camper dan Quitter (Stoltz, 2000:18).

2. Dimensi-Dimensi Adversity Quotient

Stoltz dan Erik Weihenmayer ( 2000:44) menjelaskan bahwa AQ terdiri

atas empat dimensi yang disingkat dengan CORE (Control, Ownership, Reach,

Endurance). Sebelumnya Stoltz (2000:42) mengatakan bahwa dimensi AQ

terdiri dari Control, Origin, dan Ownership, Reach, dan Endurance (CO2RE).

Dalam penelitiannya Stoltz mengatakan bahwa dimensi Origin dan Ownership

saling berkaitan, seseorang harus menyalahkan orang lain untuk peristiwa yang

buruk agar tetap gembira padahal orang yang paling efektik adalah memikul

tanggung jawab untuk menghadapi maslalah, tidak peduli apa yang

menyebabkan kesulitan. Jadi Stoltz memutuskan bahwa dimensi AQ adalah

Control, Ownership, Reach,dan Endurance.

a) C = Control (Pengendalian) Mengendalikan diri saat menghadapi

masalah.

C adalah singkatan dari “Control” atau kendali. Kendali yaitu sejauh

mana seseorang mampu mengendalikan respon individu secara positif

terhadap situasi apapun. Dimensi Control mempertanyakan “berapa

banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang

menimbulkan kesulitan”. Yang menjadi titik fokus di sini adalah

kalimat “rasakan”. Kendali terhadapat seberapa banyak masalah yang

kita dapatkan hampir tidak dapat diukur. Kendali terhadap bagaimana


kita rasakan terhadap masalah tersebut jauh lebih penting. Mereka

yang AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas

peristiwa dalam hidupnya daripada seseorang yang memiliki AQ yang

lebih rendah dan mereka yang AQ-nya lebih tinggi cenderung

melakukan pendakian dan relative kebal terhadap ketidakberdayaan,

sementara orang yang AQ-nya lebih rendah cenderung berkemah atau

berhenti (Stoltz, 2000:141).

b) O = Ownership (Penguasaan Diri).

Dimensi ini mempertanyakan: sejauh mana individu

mengandalkan diri sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi,

tanpa memperdulikan penyebabnya. Individu yang memiliki

Ownership tinggi akan mengambil tanggung jawab untuk

memperbaiki keadaan, apapun penyebabnya. Adapun individu yang

memiliki Ownership sedang memiliki cukup tanggung jawab atas

kesulitan yang terjadi, tapi mungkin akan menyalahkan diri sendiri

atau orang lain ketika ia lelah. Sedangkan individu yang memiliki

Ownership yang rendah akan menyangkal tanggung jawab dan

menyalahkan orang lain atas kesulitan yang terjadi (Stoltz, 2000:147)

c) R = Reach (Jangkauan)

Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan

menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Respon-

respon AQ yang rendah akan membuat kesulitan memasuki segi-segi

lain dari kehidupan seseorang. Semakin rendah skor Reach

(jangkauan) seseorang, semakin besar kemungkinannya orang tersebut


menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana. Kadang-

kadang rapat yang tidak berjalan dengan lancar bisa mengacaukan

seluruh kegiatan pada hari itu, sebuah konflik bisa merusakkan

seluruh hubungan yang sudah terjalin, suatu penilaian kinerja yang

negatif akan menghambat karir yang kemudian akan menimbulkan

kepanikan secara finansial, sulit tidur, kepahitan, menjaga jarak

dengan orang lain dan pengambilan keputusan yang buruk (Stoltz,

2000:104).

d) E= Endurance (Daya Tahan)

Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan berapa lamakah

kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan

itu akan berlangsung. Semakin rendah Endurance (daya tahan )

semakin besar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan dan

penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama.

Kebanyakan orang akan kehilangan harapan ketika situasi berubah

menjadi sulit. Dimensi terakhir dari CORE yaitu Endurance,

berkaitan dengan waktu dan lamanya. Dimensi ini cenderung

mendorong dan mematikan harapan. Ketika kesulitan menghantam,

ketahanan berarti menanyakan dan memprediksi berapa lama

kesulitan tersebut akan berlangsung atau bertahan. Orang dengan AQ

tinggi tetap berharap dan bersikap optimis. Mereka bisa menyaksikan

lewat keadaan paling buruk sekalipun. Orang dengan AQ rendah

cenderung melihat kemunduran dalam jangka panjang, kalau bukan


permanen. Persepsi ini bisa menghancurkan kemungkinan untuk

keluar dari sisi lain.

Endurance memainkan peranan penting dengan perubahan. Orang

yang melihat kesempatan yang ada sebagai sesuatu yang bersifat

sementara dan sesuatu yang bisa mereka kerjakan untuk mempercepat

transisi cenderung diperkuat oleh perubahan. Orang yang merasakan

perubahan sebagai proses melelahkkan, mengerikan dan berlangsung

lama cenderung hancur di bawah reruntuhannya yang gelap (Stolzt,

2000:108).

3. Peranan Adversity Quotient dalam Kehidupan

Faktor-faktor kesuksesan berikut ini dipengaruhi oleh kemampuan

pengendalian individu serta cara individu tersebut merespon kesulitan,

diantaranya :

a) Daya Saing

Seseorang yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat

diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil lebih banyak

resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan

menimbulkan lebih banyak bersikap pasif dan hati-hati. Seseorang

yang bereaksi secara konstruktif terhadap kesulitan lebih tangkas

dalam memelihara energi, fokus, dan tenaga yang diperlukan supaya

berhasil dalam persaingan. Persaingan sebagian besar berkaitan

dengan harapan, kegesitan, dan keuletan yang sangat ditentukan oleh

cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan dalam kehidupan

(Stoltz, 2000:330).
b) Produktivitas

Orang yang tidak dapat merespon kesulitan yang dia alami dengan

baik akan kurang bisa melakukan sesuatu yang dia kerjakan seperti

apa yang seharusnya dia lakukan, dan biasanya kinerjanya dalam

melakukan sesuatu akan terlihat tidak maksimal dibandingkan orang

yang dapat merespon segala sesuatunya dengan baik. Orang yang

dapat merespon segala sesuatunya dengan sudut pandang yang positif

akan dapat melakukan seuatu yang harus dikerjakannya dengan lebih

maksimal, bahkan cenderung melebihi apa yang harus dia kerjakan

c) Kreatifitas

Kreativitas seseorang sangat diperlukan ketika dia menghadapi sesuatu

yang sepertinya tidak mungkin untuk dilakukan. Joel Barker

mengemukakan bahwa orang-orang yang tidak mampu menghadapi

kesulitan dengn baik menjadi tidak mampu untuk bertindak kreatif dan

memandang segala sesuatunya serba tidak mungkin

d) Motivasi

Motivasi yang tinggi akan mendorong seseorang ke tingkat yang

mugkin dianggap orang-orang yang ber-AQ sedang atau rendah

sebagai sesuatu hal yang mustahil bahkan tidak mungkin untuk

dilakukan.

e) Mengambil Resiko

Seseorang yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, bersedia

untuk mengambil banyak resiko dalam melakukan sesuatu. Resiko

merupakan aspek paling penting dalam pendakian seseorang dalam


memposisikan diri lebih tinggi dari orang lain. Orang yang

memandang resiko sebagai suatu hal yang positif dan merupakan

bagian dari sebuah kesuksesan, akan lebih bisa mencoba sesuatu yang

tidak bisa dikerjakan oleh orang yang ber-AQ sedang atau rendah.

f) Ketekunan

Ketekunan merupakan inti untuk maju. Ketekunan adalah kemampuan

seseorang untuk terus menerus melakukan sesuatu walaupun kadang

dalam segala hal yang dia lakukan akan dihadapkan dengan berbagai

hambatan bahkan kegagalan.

g) Belajar

Seseorang dengan respon-respon yang pesimistis terhadap berbagai

hambatan dan kesulitan tidak akan banyak belajar dan menciptakan

berbagai peluang untuk mengatasi kesulitan tersebut dibandingkan

dengan orang-orang yang lebih optimis. Seseorang yang ber-AQ

tinggi akan bersikap optimis ketika menghadapi kesulitan dan

hambatan, sehingga setiap hal terjadi selalu dipandang memiliki celah

dan peluang untuk menjadikannya lebih maju.

B. Internal Locus of Control

1. Pengertian Locus of Control

Dwinta (2010: 133) mendefinisikan Locus of control sebagai cara pandang

seseorang bahwa dia dapat mengendalikan atau tidak, sebuah peristiwa yang

terjadi. Locus of control sebagai suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan

individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.


Sumanto (2012:187) dijelaskan bahwa Locus of control ialah bagaimana

individu merasa atau melihat garis atau hubungan antara tingkah lakunya dan

akibatnya, apakah dia dapat menerima tangung jawab atau tidak atas tindakannya

Jadi, Locus of control adalah persepsi seseorang terhadap keberhasilan atau

kegagalannya dalam melakukan berbagai kegiatan dalam hidupnya yang

disebabkan oleh kendali dirinya atau di luar dirinya.

ILOC sebagai suatu identifikasi variabel kepribadian yang dianggap

memiliki beberapa aspek dari Adversity Quotient (Ambriz, Izal, Montorio, 2012).

Skala ILOC merupakan suatu skala yang dapat memperkirakan para mahasiswa,

bagaimana ia mendasarkan penghargaan sebagai suatu penguatan dari

perilakunya. Terdapat dua lokus untuk sumber penguatan, lokus internal dan lokus

eksternal. Penguatan dari dalam diri individu, dimana ia melakukan suatu

tindakan secara pribadi. Dari dalam dirinya, ia menumbuhkan penghargaan.

Sedangkan lokus eksternal merupakan kontrol penguatan yang diperoleh dari luar

lingkungan.

Intern self control dapat digambarkan dengan lima indikator, 1) konsepl

diri memadai, 2) perilaku berorientasi tugas dengan tujuan yang jelas, 3) Aspirasi

realistis terkait dengan kemungkinan, 4) kemampuan menangani frustasi; dan 5)

penerimaan terhadapl norma hukum dan moral (Gierowski, 2003:130).

Masih menurut Rotter, individu dengan internal locus of control dapat

digambarkan sebagai: 1.Memperlakukan hidup sebagai tugas yang akan

dilakukan; 2. Memiliki tingkat realisme yang tinggi; 3. Berorientasi menerima

informasi dari lingkungan mereka, dan juga mencari informasi baru tentang diri

mereka sendiri dan dunia, untuk diterapkan dalam tindakan konkret; 4. Tidak
melampirkan penting pendapat orang lain, tetapi dipandu oleh kontrol diri mereka

sendiri; 5. Memanfaatkan pengalaman sebelumnya ketika menyadari tugas hidup

saat ini; 6. Memiliki kepekaan untuk mengebangkan tanggung jawab; 7. Memiliki

beberapa kesulitan dengan adaptasi terhadap lingkungan, tetapi mereka lebih

memilih untuk mengubah lingkungan daripada diri mereka sendiri; 8. Tahan

terhadap stres dan frustras

2. Macam-Macam Locus of Control

Konsep mengenai Locus of control yang digunakan Rotter memiliki 4

konsep dasar, yaitu potensi perilaku, harapan, nilai unsur penguat dan suasana

psikologis (Soemanto, 2012:187):

a) Potensi perilaku yaitu setiap kemungkinan perilaku yang secara

relatif dilakukan pada situsai tertentu, berkaitan dengan hasil yang

diinginkan dari perilaku tersebut.

b) Harapan merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang

akan terjadi dan dialami oleh seseorang.

c) Nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan

penguatan atas hasil dari berbagai penguat hasil lainya yang dipilih

pada situasi-situasi yang dialami.

d) Suasana psikologis adalah bentuk rangsangan baik secara internal

maupun eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu,

yang meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya

hasil yang sangat diharapkan.

Jika individu tersebut meyakini bahwa keberhasilan atau kejadian

hidupnya merupakan tanggung jawab pribadi dan merupakan usaha sendiri,


berarti orang tersebut dikatakan memiliki Locus of control internal. Sedangkan

Locus of control eksternal merupakan keyakinan individu bahwa keberhasilan

atau kegagalan ditentukan oleh kekuasaan yang berad diluar dirinya atau nasib,

keberuntungan atau kekuatan lain (Rotter, 2010: 133).

C. Kinerja Karyawan

1. Pengertian Kinerja Pegawai

Menurut Payaman Simanjuntak (2000:12) kinerja adalah tingkat pencapaian

hasil atas pelaksanaan tugas tertentu.Dengan demikian kinerja merupakan suatu

fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan

seseorang sepaturnya memiliki kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu ( Rivai,

2014:406).

Sementara itu Robert L. Mathius dan John H. Jackson (2006) menyatakan

penilaian kinerja (performance appraisal) adalah mengevaluasi seberapa baik

karyawan melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat

standart, dan kemudian mengomunikasikan informasi tersebut pada karyawan.

Mathis(2002) mengidentifikasi kinerja adalah apayangdilakukan atau tidak

dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa

banyak mereka member kontribusi kepada perusahaan yang antara lain termasuk:

1) Kuantitas output.

2) Kualitas output.

3) Jangka waktu output.

4) Kehadiran di tempat kerja.

5) Sikap kooperatif.
Haryanto (2002) mendefinisikan kinerja karyawan sebagai proses kerja

yang dilakukan karyawan terutama berkaitan dengan pemecahan masalah.

Ferguson (1997) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas dari serangkaian

pekerjaan secara keseluruhan merupakan komponen utama dalam estimasi kinerja.

Secara definisi operasional, kinerja mengkombinasikan efisiensi pekerja (atau

seberapa cepat mereka menyelesaikan pekerjaan) dan efektivitas (atau seberapa

baik mereka menyelesaikan pekerjaan) pada suatu pekerjaan secara utuh.

Ferguson juga menyatakan bahwa perilaku atau faktor-faktor individual

terhadap penggunaan komputer dalam lingkungannya akan mempengaruhi

kinerjanya.

2. Faktor- faktor yang mempengaruhi Kinerja

Dharma (2005: 33) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang

mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu:

a) Pegawai, berkenaan dengan kemauan dan kemampuan dalam

melaksanakan pekerjaan.

b) Pekerjaan, menyangkut desain pekerjaan, uraian pekerjaan dan sumber

daya untuk melaksakan pekerjaan.

c) Mekanisme kerja, mencakup Sistim, prosuder pendelegasian dan serta

organisasi.

d) Lingkungan kerja, meliputi faktor-faktor lokasi dan kondisi kerja, iklim

organisasi dan komunikasi.

3. Tujuan Penilaian Kinerja

Suatu perusahaan melakukan penilaian kinerja didasarkan pada dua alasan

pokok, yaitu (1) manager memerlukan evaluasi yang objectif terhadap kinerja
karyawan pada masa lalu yang digunakan untuk membuat keputusan dibidang

SDM dimasa datang; dan (2) manager memerlukan alat yang memungkinkan

untuk membantu karyawannya memperbaiki kinerja, merencanakan pekerjaan,

mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk perkembangan karier dan

memperkuat kualitas hubungan antar manajemen yang bersangkutan dengan

karyawannya.

Selain itu penilaian kinerja dapat digunakan:

1) Mengetahui pengembangan, yang meliputi: (a) indentifikasikebutuhan

pelatihan, (b) umpan balik kinerja, (c) menentukan transfer dan penugasan,

dan (d) identifikasi kekuatan dan kelemahan karyawan.

2) Pengambilan keputusan admistratif, yang meliputi: (a) keputusan untuk

menentukan gaji, mempertahan atau memberhentikan karyawan, (b)

pengakuan kinerja karyawan, (c) pemutusan hubungan kerja dan (d)

mengidentifikasi yang buruk.

3) Keperluan perusahaan, yang meliputi: (a) perencanaan SDM, (b)

menentukan kebutuhan pelatihan, (c) evaluasi pencapaian tujuan

perusahaan, (d) informasi untuk identifikasi tujuan, (e) evaluasi terhadap

Sistim SDM, dan (f) penguatan terhadap kebutuhan pengembangan

perusahaan.

4) Dokumentasi, yang meliputi: (a) kriteria untuk validasi penelitian, (b)

dokumentasi keputusan-keputusan tentang SDM, dan (c) membantu untuk

memenuhi persyaratan hukum.

Untuk mengetahui hasil kerja yang dicapai oleh seorang pekerja harus

dilakukan penilaian kinerja. Menurut Gibson(1996:104) penilaian kinerja


meliputi evaluasi formal kinerja pekerjaan seseorang. Penilaian itu meliputi

umpan balik kepada pegawai dan menentukan apakah dan bagaimana kinerja

dapat diperbaiki.Sebagai suatu teknik pengendalian, maka penilaian kinerja yang

efektif memerlukan standart, informasi, dan tindakan pembetulan.

4. Kriteria Penyelia (Penilai)

a) Yang dapat berfungsi sebagai penilai dalam penilaian kinerja adalah:

a) Atasan (atasan langsung, atasan tidak langsung)

b) Bawahan langsung (jika karyawan yang dinilai mempunyai

bawahan langsung).

b) Pada umumnya karyawan hanya dinilai oleh atasannya (baik oleh

atasan langsung maupun tidak langsung). Penilaian oleh rekan dan

bawahan hamper tidak pernah dilaksanakan kecuali untuk keperluan

riset.

c) Karyawan berada dalam keadaan yang sangat bergantung kepada

atasannya, jika penilaian kinerja hanya dilakukan oleh atasan

langsung.

d) Untuk menghindari atau meringankan keadaan ketergantungan

tersebut dilakukan beberapa usaha lain dengan mengadakan penilaian

kinerja yang terbuka (penilaian atasan dibicarakan dengan karyawan

yang dinilai) atau dengan menambah jumlah atasan yang menilai

kinerja karyawan (biasanya atasan dari atasan langsung yang

berfungsi sebagai penilai kedua (Rivai, 2014:410).

D. Penelitian yang Relevan


Penelitian pertama yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah

peneloitian oleh endah Woro Utami (2013) dengan judul penelitian, “ Pengaruh

Adversity Quotient terhadap Kinerja Perawat dengan morivasi kerja sebagai

variabelp Mediasi (Studi di RSUD “Ngudi Waluyo.”) Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh Adversity Quotient terhadap kinerja perawat dalam pendokumentasian

standar asuhan keperawatan melalui motivasi kerja di RSUD ”Ngudi Waluyo” Wlingi Kabupaten

Blitar. Desain penelitian ini merupakan survey diskriptif analitik menggunakan metode cross

sectional study, pada 76 responden dengan teknik cluster random sampling perawat di RSUD

”Ngudi Waluyo” Wlingi Kabupaten Blitar. Instrument penelitian menggunakan kuesioner

Adversity Quotient, motivasi kerja, dan study dokumentasi kinerja perawat dalam

pendokumentasian standar asuhan keperawatan. Teknik analisis data menggunakan path analysis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Adversity Quotient berpengaruh tidak langsung terhadap

kinerja perawat dalam pendokumentasian standar asuhan keperawatan melalui motivasi kerja di

RSUD ”Ngudi Waluyo” Wlingi.

Penelitian kedua adalah penelitian oleh Ratri Holiday Putri (2009) dengan

judul penelitian, “Hubungan Antraa Adversity Quotient dengan Kinerja

Karyawan.” Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1)

Mengetahui hubungan antara adversity quotient dengan kinerja karyawan, 2)

Mengetahui peranan adversity quotient terhadap kinerja karyawan, 3) Mengetahui

tingkat adversity quotient dan tingkat kinerja karyawan. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode kualitatif menggunakan wawancara dan

kuisioner. Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara adversity quotient terhadap kinerja karyawan.


E. Kerangka Berpikir

Salah satu kecerdasan yang berhubungan dengan kinerja karyawan adalah

Adversity Quotient (AQ) dan Internal Locus of Control (ILOC). Definisi AQ menurut

Stoltz (2000), adalah nilai yang menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengatasi

dan bertahan dalam kesulitan yang dihadapi. Orang dengan AQ tinggi diharapkan akan

mampu membantu dirinya dalam meningkatkan daya saing, produktivitas, kreativitas dan

inovasi, juga motivasi. Stoltz (2000) juga menambahkan bahwa control, origin and

ownership, reach, dan endurance (CO2RE) sebagai aspek-aspek dari AQ,

mengungkapkan tentang bagaimana seseorang dalam mengendalikan peristiwa yang

menimbulkan kesulitan dan berkaitan dengan cara merespon dan menangani kesulitan

tersebut, sehingga ketika menalani pekerjaannya, individu tersebut merasa mendapatkan

kepuasan. Dan orang tersebut menurut Stoltz termasuk dalam salah satu pendaki

kesuksesan atau climber dan tergolong sebagai orang yang memiliki AQ tinggi.

Pusat kendali atau locus of control merupakan sebuah variabel yang seringkali

dikaitkan dengan self esteem, kepuasan kerja, etika kerja atau kinerja. Pusat kendali

menjadi penting karena kotrol kinerja seseorang bisa diukur dari kemampuan seseorang

dalam menguasai peristiwa yang terjadi pada dirinya. Locus of control dapat diartikan

sebagai cara pandang seseorang terhadap sesuatu peristiwa apakah dia dapat atau

tidak dapat mengendalikan peristiwa yang terjadi pada dirinya. Locus of control

menurut Kreitner dan Kinicki (2001) terdiri dari dua konstruk yaitu internal dan

eksternal, dimana apabila seseorang yang meyakini bahwa apa yang terjadi selalu

berada dalam kontrolnya dan selalu mengambil peran serta bertanggung jawab

dalam setiap pengambilan keputusan termasuk dalam internal locus of control,

sedangkan seseorang yang meyakini bahwa kejadian dalam hidupnya berada

diluar kontrolnya termasuk dalam external locus of control.


Pada penelitian ini, difokuskan pada internal locus of control. Yaitu

kontrol seseorang ada pada dalam dirinya. Mantis dan Roesleer (2010) menyatakan

bahwa internal locus of control merupakan cara pandang bahwa hasil yang baik atau

buruk dapat diperoleh dari tindakan sesuai kapasitas diri (dapat dikontrol) atau faktor dari

dalam diri sendiri.

Kinerja merupakan tolak ukur karyawan dalam melaksanakan tugas yang

ditargetkan untuk diselesaikan. Upaya untuk melakukan penilaian kinerja menjadi

penting dengan diketahuinya pengukuran kinerja yang tepat. Kinerja diukur berdasar

kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektifitas, kemandirian dan komitmennya (Bernadin

dalam Ayudiati, 2010). Menurut Dessler (2005) kinerja merupakan prestasi kerja yakni

perbandinagn antara hasil kerja nyata dan standar kerja yang ditetapkan. Karena

organisasi merupakan lembaga yang digerakkan oleh manusia maka kesesuaian perilaku

karyawan dengan standar kerja akan menghasilkan kinerja yang diharapkan. Secara

sederhana penelitian akan dilaksanakan sebagai berikut:

Adversity Quotient

Kinerja Karyawan

Internal Locus of
Control

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif. Alasan pemilian metode penelitian ini sejalan dengan pendapat

Cresswell (2014:28) yang menyatakan bahwa peneliti kualitatif berusaha

membangun makna tentang suatu fenomena berdasarkan pandangan-pandangan

dari para partisipan. Menurut Sugiyono (2012: 8) ada lima ciri pokok karakteristik metode

penelitian kualitatif yaitu: 1) Menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data.

2)9 Memiliki sifat deskriptif analitik. 3) Tekanan pada proses bukan hasil. 4)

Bersifat induktif, dan 5) Mengutamakan makna.

Metode kuantitatif dilakukan melalui pengisian kuesioner. Pendekatan

kuantitatif ini diharapkan dapat menjawab bagaimana hubungan AQ dan ILOC

terhadap kinerja karyawan. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan

teknik wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih sesuai dengan

kebutuhan dan observasi yang bertujuan untuk memperkuat data penelitian

kuantitatif.

B. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pada penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan AQ dan ILOC pada kinerja karyawan .

2. Mendeskripsikan variable dominan antara AQ dan ILOC terhadap

kinerja karyawan.
C. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan kantor.............. Pemilihan lokasi dilakukan

secara purposive karena beberapa pertimbangan, diantaranya ialah:

1. AQ basic skill yang harus dikuasai oleh karyawan.

2. Hubungan AQ dan ILOC terhadap kinerja karyawan masih belum

pernah dianalisis sebelumnya.

D. Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

a) Data Kualitatif

Data primer Kualitatif dalam penelitian ini didapat dari hasil

wawancara dan sumber-sumber tertulis lainnya yang dikumpulkan

peneliti dari responden mengenai hubungan AQ dan ILOC terhadap

kinerja karyawan.

b) Data Kuantitatif

Data primer kuantitatif dalam penelitian ini adalah hasil

penyebaran kuisioner kepada karyawan yang dijadikan responden

mengenai hubungan AQ dan ILOC terhadap kinerja karyawan.

2. Data Sekunder

Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini,

yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya.

E. Instrumen Penelitian

1) Observasi
Pengamatan merupakan alat pengumpulan data guna merumuskan nilai-

nilai yang berlaku di masyarakat (Arikunto, 2013:272). Pengamatan yang

dilakukan peneliti adalah menganalisa hubungan AQ dan ILOC terhadap

kinerja karyawan.

2) Dokumentasi

Soerjono Soekanto (2012:27) menjelaskan bahwa, studi dokumen

merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data

tertulis dengan mempergunakan “content analysis”. Pada Penelitian ini,

Penulis melakukan studi dokumen terhadap data sekunder untuk

memperoleh landasan teoritis yang dapat digunakan untuk menganalisis

hubungan AQ dan ILOC terhadap kinerja karyawan.

3) Kuisioner

Kuesioner teknik pengumpulan data dilakukan dengan menyembarkan

kuesioner kepadan responden untuk mendapatkan jawaban yang sesuai

dengan variabel penelitian, sebagai bahan pembuktian terhdapa hipotesis

yang daijukan. Responden diminta untuk memberikan jawaban atau

pendapat atas suatu pertanyaan, dimana masing-masing pertanyaan

disediakan lima kemungkinan jawaban yang berada dalam satu kontinum

yang diberi bobot sesuai dengan item, dan dalam penelitian ini bobotnya

adalah satu sampai lima (1 sampai 5). Skala ini disebut skala Likert.

Berikut ini aadalah contoh alternatif jawaban yang akan digunakan dalam

kuisioner penelitian ini :

(1) Jawaban Sangat Setuju (SS) dengan skor 5

(2) Jawaban Setuju (S) dengan skor 4


(3) Jawaban Netral (N) dengan skor 3

(4) Jawan Tidak Setuju (TS) dengan skor 2

(5) Jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) dengan skor 1

F. Populasi dan Teknik Pengambil Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek dan

subjek yang menjadi kuantitas dari karekteristik tertentu yang

diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulan (Sugiyono,1997:57). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh karyawan berjumlah 34 orang.

2. Sampel

Singarimbun (1995:105) menyatakan bahwa untuk menentukan

jumlah sampel digunakan metode yang representative di mana

karakterisitik yang terdapat pada sampel yang terbatas itu bena-benar

menggambarkaan kondisi yang sebenarnya dalam keseluruhan dari

populasi.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Arikunto (2012:57), apabila

subyek yang diteliti kurang dari 100 maka lebih baik subyek tersebut

diambil seluruhnya, tetapi apabila subyek tersebut melebihi 100 maka

subyek tersebut dapat diambil 10-15 % atau 20-25 %.Jadi, sampel

yang diambil yang digunakan dalam penelitian ini adalah 34 orang.


Table : 3.1
Penyebaran Responden Berdasarkan Unit Kerja

Jumlah
Unit Pegawai
Sekretariat 9
Bidang Formasi dan Informasi 6
Bidang Mutasi 7
Bidang Pendidikan dan Pelatihan 6
Bidan Kesejahteraan dan Pebinaan Disiplin 6
TOTAL
pegawai 34

G. Metode Analisis Data

Sejalan dengan tujuan penelitian dan rumusan hipotesis, maka analisis

data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Analisis Dengan Model Regresi Linear Berganda

Merupakan analisis yang bersifat kuantitatif digunakan untuk

membuktikan hipostesis penelitian model ini dipilih karena penulis

ingin mengetahui seberapa besar hubungan AQ dan ILOC terhadap

kinerja pegawai dengan model analisis regresi linear berganda yang

dibantu dengan perhitungan komputer SPSS Versi 19 maka besarnya

pengaruh variabel independen tersebut dapat diketahui.

a. Uji Model Regresi

Model regresi yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian

seperti setelah dikemukakan adalah regresi liniear berganda,

yakni :

Y = α + β1 X 1 +β 2 X 2 + e

Dimana :
Y : Kinerja

α : Konstanta

X1 : AQ

X2 : ILOC

b1, b2 : Koefisien Parsial Regresi

e : Variabel Pengganggu

1) Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi yaitu alat analisis yang digunkan

untuk mengetahui besarnya sumbangan variabel bebas secara

simultan terhadap naik turunnya variabel terikat.Kegunaan dari

variabel koefisien determinasi adalah untuk mengukur ketepatan

yang paling baik dari analisis regresi. Semakin besar R2, berarti

semakin tepat persamaan perkiraan regresi linear berganda

tersebut dipakai sebagai alat untuk peramalan, yang dapat

dirumuskan sebagai berikut :

Sum of Square Regression


R2 =
Sum of Square Total

2) Analisis Koefisien Korelasi

Analisis koefisien korelasi berganda (R) untuk mengetahui

keeratan hubungan antara variabel terikat dengan analisis

koefisien korelasi berganda dibantu hasil output SPSS Versi 19.

Analisis korelasi parsial (r2) digunakan untuk mengetahui

pengaruh atau proposi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh

variabel bebas secara parsial. Sedangkan analisis koefisien


parsial (r) digunakan untuk mengetahui kuat tidaknya hubungan

atau korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikatnya

dengan membandingkan koefisien parsial (r2) dibantu output

SPSS Versi 19.

H. Teknik Analisa Data

1. Analisa Data

menganalisis data penulis menggunakan metode analisis statistik,

karena dengan metode ini kebenaran hasil penelitian dapat

dipertanggungjawabkan. Metode analisis statistik adalah cara

penganalisis data dengan penghitungan-penghitungan yang pasti

tentang masalah yang penulis teliti mengenai hubungan dua variabel.

Data dari hasil tes dan pengukuran setelah diolah dan dimasukkan

kedalam tabel-tabel kemudian tersebut dianalisa dengan menggunakan

teknik “Analisa Statistik Korelasi Product Moment. Adapun rumus

analisis tersebut menurut Suharsimi Arikunto (2013:314) adalah

sebagai berikut :

N  XY - (  X ) (  Y )
rxy 
{ N  X 2  (  X ) 2 } { N Y 2  (Y) 2 }

Keterangan :
rxy = Koefisien hubung
X= Variabel AQ dan ILOC
Y = Variabel Kinerja
N = Jumlah sampel
Kriteria Pengujian:

Hipotesis diterima apabila nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel (r

hitung ≥ r tabel ) dengan derajat kebebasan (df = n – 1). dan  = 0.05 (95

%). Ini artinya ada hubungan yang berarti (signifikan) antara kedua

variabel yang diteliti.

Dalam Sugiyono (2008: 226) Kuatnya hubungan antar variabel

dinyatakan dalam koefisien korelasi. Koefisien korelasi positif terbesar = 1

dan koefisien korelasi negatif terbesar = -1, sedangkan yang terkecil

adalah 0. Bila hubungan antara dua variabel atau lebih itu mempunyai

koefisien korelasi = 1 atau -1, maka hubungan tersebut sempurna. Kaidah

pengujian signifikan : Jika r hitung ≥ r tabel , maka tolak Ho artinya ada

hubungan yang signifikan dan jika r hitung < r tabel, maka terima Ho

artinya tidak ada hubungan yang signifikan.

b. Uji Hipotesis

Uji hipotesis secara simultan (Uji F) bertujuan untuk mengetahui

variabel bebas mana yang signifikan dari semua variabel bebas

terhadap variabel terikat. Uji F dapat digambarkan sebagai berikut

1) Perumusan Hipotesis

H0 : β1 =β 2 = 0

Variabel bebas secara bersama-sama tidak mempunyai

hubungan terhadap variabel terikat

Ha : β1 ≠β 2≠ 0
Variabel bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh

yang signifikan terhadap variabel terikat kinerja karyawan.

2) Penentuan taraf signifikansi (α)

3) Uji statistik menggunakan uji F

4) Karena penelitian menggunakan program SPSS 19 maka

diperoleh nilai Sig F.

5) Pengambilan kesimpulan untuk uji F.

Jika nilai Sig F < α, maka tolak H0 (variabel X berpengaruh

secara keseluruhan terhadap variabel Y). Jika nilai Sig F > α,

maka terima H0 (variabel X tidak berpengaruh secara

keseluruhan terhadap variabel Y).

c. Uji Hipotesis 2 Secara Parsial (Uji t)

Melakukan uji t untuk melihat siginfikansi pengaruh variabel bebas

AQ dan ILOC terhadap kinerja karyawan. Langkah-langkah yang

dilakukan dalam uji parsial (uji t) adalah :

1) Memformulasikan Hipotesis

Rumusan hipotesis yang akan dibuktikan adalah :

H0 : b = 0, i = 1,2……,4; artinya variabel bebas (X) secara parsial

tidak memiliki pengaruh yang sifnifikan terhadap variabel terikat (Y).

H0 : b ≠ 0, i = 1,2……,4; artinya variabel bebas (X) secara parsial

memiliki pengaruh yang sifnifikan terhadap variabel terikat (Y).

2) Penentuan Taraf Signifikansi (α)

3) Taraf signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar

5% (0,05).
4) Uji Statistik Menggunakan Uji t.

5) Karena penelitian menggunakan program SPSS 19 maka diperoleh

nilai Sig t.

6) Pengambilan Kesimpulan Untuk Uji t.

Jika nilai Sig t < α, maka tolak H0 (variabel X berpengaruh secara individu

terhadap variabel Y). Jika nilai Sig t > α, maka terima H0 (variabel X tidak

berpengaruh secara individu terhadap variabel Y).

7) Pengujian Hipotesis Penelitian 2

Hipotesis penelitian 2 yaitu diduga bahwa variabel bebas berpengaruh

dominan terhadap kinerja karyawan. Hipotesis 2 diterima jika uji t parsial

untuk X1 signifikan dan koefisien arah β1 ≠ lebih besar dari pada koefisien β2.

Anda mungkin juga menyukai