Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Steers (2006) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan dapat dilihat

dari dua sisi, yaitu lingkungan luar dan lingkungan dalam. Lingkungan luar

umumnya menggambarkan kekuatan yang berada di luar organisasi,

sedangkan lingkungan dalam merujuk pada faktor-faktor di dalam organisasi

yang menciptakan banyak kultural dan sosial tempat berlangsungnya

kegiatan. Lingkungan dalam ini biasanya disebut dengan istilah

Psychological Climate.

Menyadari betapa Psychological Climate memiliki kontribusi yang

cukup signifikan terhadap setiap individu di organisasi, yang pada ujung-

ujungnya akan berpengaruh terhadap kualitas kerja, maka dengan sendirinya

perlu pemahaman yang baik tentang Psychological Climate. Penelitian yang

dilakukan oleh Yekty (2006) menyatakan bahwa Psychological Climate

berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Hal ini menyimpulkan bahwa

apabila perusahaan mampu menciptakan Psychological Climate yang baik

maka kepuasan kerja karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya akan

semakin baik pula.

Kepuasan kerja karyawan ini merupakan salah satu faktor yang tidak

bisa lepas dari isu penting dalam suatu perusahaan, karena memiliki implikasi

langsung terhadap fisik, psikologis dan perilaku karyawan.

1
2

Survei mengenai kesejahteraan karyawan pernah dilakukan oleh Portal

Lowongan kerja di Indonesia, jobsDB Indonesia, yang bertujuan untuk

mengetahui tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan pekerja di Indonesia.

Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 73% responden merasa tidak

sejahtera dengan pekerjaan mereka sekarang. Dari sejumlah responden yang

mengaku tidak sejahtera tersebut, 26% di antaranya mengaku merasa sangat

tidak sejahtera dengan alasan kebanyakan menjawab bahwa gaji, fasilitas

dan bonus yang diberikan perusahaan tidak sesuai dengan beban kerja,

jenjang karier yang lambat, minimnya program pengembangan karyawan,

dan tidak puas dengan sistem dan proses kerja yang dianut oleh perusahaan.

Survei ini adalah bagian dari kampanye jobsDB bertajuk Happy is a Better

Job yang dilaksanakan pada Mei 2015 yang diikuti oleh 2.324 responden di

Indonesia dengan bidang pekerjaan dan level karier beragam. Survei serupa

juga dilaksanakan di beberapa negara seperti Hong Kong, Singapura, dan

Thailand dengan jumlah total koresponden sebesar 7.278 orang

(Nirwahyudi, 2015).

Dengan kata lain, bahwa kesejahteraan karyawan dapat membawa

pengaruh yang positif terhadap performa seseorang, baik di tempat kerjanya

maupun dalam kehidupan sehari-hari. Karyawan adalah aset penting bagi

suatu organisasi atau perusahaan, karena dengan karyawan yang memiliki

etos kerja yang baik maka suatu perusahaan akan dapat mencapai target-target

yang telah ditentukan sebelumnya seperti pencapaian profit ataupun untuk

kemajuan dari perusahaan itu sendiri. Dengan memperlakukan karyawan


3

sebagai aset yang penting maka perusahaan haruslah dapat memberikan

perhatian yang lebih kepada para karyawannya, agar para karyawan merasa

nyaman dan aman selama bekerja sehingga karyawan dapat menganggap

pekerjaannya tersebut adalah sesuatu yang berharga dan menjadi terikat

dengan pekerjaannya tersebut.

Selain dari Psychological Climate hal lain yang penting untuk

dipehatikan oleh perusahaan untuk menjaga performa karyawannya tetap

baik adalah dengan menjaga kondisi dimana para karyawan berada dikondisi

psikologis yang baik dan mampu memberikan performa terbaik hal ini lebih

dikenal dengan Psychological Capital, menurut Luthan (2004).

Psychological Capital adalah kombinasi dari konsep self efficacy, hope,

optimism, dan resilence yang akan memberikan hubungan yang baik terhadap

suatu organisasi.

Psychological capital adalah karakteristik yang seharusnya dimiliki

oleh pegawai untuk menciptakan perilaku organisasi yang positif (POB)

dalam lingkungan organisasi tersebut. Psychological capital berhubungan

langsung dengan emosi positif (Luthans, Norman, Avolio, Avey, 2008).

Emosi positif merupakan produk samping dari psychological capital dan sifat

positif secara umum. Sifat positif dari psychological capital dapat memicu

keadaan afektif positif seseorang yang dapat memudahkan perluasan

pemikiran serta tindakan seseorang (Fredickson, 2001, 2009), yang mengarah

ke kreativitas yang tinggi (Luthans, Avey, Reichard, Mhatre. 2011) dan jalur

yang lebih luas (Snyder, 2000).


4

Luthans, Ronda, Smith, and Noel, Palmer (2015), mendefinisikan

psychological capital sebagai keadaan perkembangan psikologi individu

positif yang ditandai dengan: (a) adanya kepercayaan diri untuk melakukan

tindakan yang perlu untuk mencapai kesuksesan dalam tugas-tugas yang

menantang; (b) atribusi yang positif yaitu mengenai sukses pada masa

sekarang dan masa yang akan datang; (c) persistensi dalam mencapai tujuan,

dengan kemampuan mendefinisikan kembali jalur untuk mencapai tujuan jika

diperlukan untuk mencapai kesuksesan; dan (d) ketika menghadapi masalah

dan kesulitan, mampu bertahan dan terus maju untuk mencapai kesuksesan.

Dari penjabaran di atas, psychological capital dapat dikatakan sebagai modal

psikologis atau semacam modal sikap serta perilaku yang berperan besar

dalam menentukan keberhasilan seseorang.

Adapun dimensi psychological capital menurut Luthans, Norman,

Avolio, Avey (2007), yaitu: a) Self Efficacy, adalah suatu keyakinan (atau

kepercayaan diri) seseorang mengenai kemampuannya dalam mengerahkan

motivasi dan melakukan tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai

keberhasilan dalam melaksanakan tugas (Stajkovic Luthans, 1998). b)

Optimism dalam PsyCap akan membuat seseorang menjadi seorang realistis

dan fleksibel. Hal tersebut dikarenakan optimism dalam PsyCap tidak hanya

perasaan positif saja tetapi optimism dalam PsyCap merupakan suatu

pembelajaran yang kuat dalam hal disiplin diri, Analisa kesalahan masa lalu,

dan perencanaan pencegahan terjadinya hal buruk (Luthans, Norman, Avolio,

Avey, 2007).
5

Individu dengan optimism PsyCap yang tinggi akan mampumerasakan

implikasi secara kognitif dan emosional ketika mendapatkan kesuksesan.

Individu tersebut juga mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa

diremehkan orang lain. Individu dengan optimism PsyCap juga, memberikan

ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terkait ketika individu tersebut

mencapai kesuksesan (Luthans, Norman, Avolio, Avey, 2007). c) Hope,

adalah suatu keadaan motivasi positif yang didasari oleh agency (energi untuk

mencapai tujuan) dan pathway (perencanaan untuk mencapai tujuan) yang

saling mempengaruhi untuk mencapai kesuksesan (Synder, 2000). Orang

yang memiliki hope tinggi adalah orang yang memiliki harapan, tujuan dan

mengetahui cara untuk mencapai tujuan harapannya.

Pekerja yang memiliki hope tinggi cenderung menjadi pemikir yang

independen, memiliki kontrol penuh dalam mengatur energi yang digunakan

untuk mencapai tujuan, tekun dalam mencapai tujuan bila perlu mencari

alternatif pilihan (jalan lain) ketika menghadapi kesulitan, sehingga sasaran

dapat dicapai (Luthans, Norman, Avolio, Avey, 2007). d) Resiliency,

didefinisikan sebagai suatu fenomena dalam konteks situasi yang

menyulitkan atau keterpurukkan. Resiliency dalam psychological capital

tidak hanya sekedar “memantul kembali” atau bangkit kembali dari kesulitan,

konflik, ataupun kegagalan ke keadaan semula tetapi juga harus mampu

menjadi lebih positif dari keadaan semula.

Karyawan seharusnya tidak lagi dianggap sebagai robot, karena

aktivitas karyawan dan kegiatan sosial dapat mempengaruhi fungsi dari


6

kegiatan perusahaan tersebut. Dalam hal ini manajemen personalia sangat

penting sekali dalam pengelolaan karyawan dengan sebaik mungkin melalui

kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis karyawannya.

Well-being pada karyawan menjadi salah satu faktor penting yang harus

diperhatikan. Menurut Institute of Director dalam panduan untuk

kesejahteraan karyawan (2006) jika karyawan dalam keadaan baik secara

kesehatan dan kesejahteraan dapat berkontribusi terhadap kinerja yang

sukses.

Kesejahteraan karyawan yaitu Employee well-being. Employee well-

being adalah istilah untuk “semua orang mengerti maknanya namun tidak ada

yang bisa memberikan definisi secara tepat” (Lyubomirs, 2001). (Zheng, Zhu,

Zhao, dan Zhang, 2015) menyimpulkan bahwa ada dua perspektif filosofis

utama tentang kesejahteraan, yang pertama adalah kebahagiaan berorientasi

misalnya hedonisme, pengalaman subjektif dari kebahagiaan. Perspektif yang

lain menyadari kekuatan potensial manusia misalnya eudaimonism hasil dari

prestasi pribadi, aktualisasi diri, atau posisi diri. Kebanyakan penelitian

terkini kesejahteraan menerima dua persprektif yang berbeda tersebut.

Employee well-being dapat didefinisikan sebagai kualitas kehidupan

karyawan dan status psikologis di tempat kerja dan kesejahteraan secara

keseluruhan, kepuasan kerja, dan kelelahan emosional (Zheng, Zhu, Zhao,

dan Zhang, 2015).

Page dan Vella-Brodrick (2009) berpedapat bahwa Employee well-

being harus diukur dalam hal Subjective well-being, Psychological well-


7

being, pengaruh terkait pekerjaan dan kepuasan kerja. Mereka menyarankan

memasukan kepuasan kerja sebagai salah satu dimensi Employee well-being

dari studi yang dilakukan oleh Wright, Cronpanzano, dan Bonett 2007

(Zheng, Zhu, Zao, Zhang, 2015) yang menemukan bahwa kepuasan kerja

adalah predictor kinerja yang valid, dengan efek ini dimoderasi oleh

Employee well-being. Bersama-sama kepuasan kerja dan pengaruh terkait

dengan pekerjaan dalam bentuk kesejahteraan tempat kerja karyawan

Workplace well-being. Dalam model ini, Employee well-being terdiri dari tiga

komponen : Subjective well-being, Psychological well-being, dan Workplace

well-being. Kemudian Subjective well-being terdiri dari kepuasan hidup dan

pengaruh disposisi, sedangkan Workplace well-being mencakup kepuasan

kerja dan pengaruh yang terkait dengan pekerjaan. Baik pengaruh

disposisional dan yang berhubungan dengan pekerjaan terdiri dari komponen

positif dan negative. Psychological well-being terdiri dari enam dimensi yaitu

penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan,

otonomi, pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup (Page and Vella-Brodrick,

2009)

Dengan demikian, dalam usaha perusahaan untuk meningkatkan

performa karyawannya dengan adanya Psychological Climate dan

Psychological Capital yang mana dianggap sangat penting untuk

diperhatikan dan perusahaan pun harus dapat mengusahakan hal tersebut agar

bisa tercapai apa yang menjadi tujuan dari perusahaan dapat diraih dan para

karyawan ada dalam kondisi psikis yang baik merasakan kenyamanan selama
8

bekerja di perusahaan tersebut, maka dari itu guna menciptakan

Psychological Climate dan Psychological Capital yang baik dari banyak

karyawan yang memiliki karakter yang berbeda beda agar satu tujuan dengan

perusahaan maka perlu diketahui faktor-faktor yang bisa membuat hal itu

terjadi, dimana garis besarnya kondisi tempat bekerja yang dapat mendukung

terciptanya hal tersebut. Untuk memunculkan Psychological Climate dan

Psychological Capital pada individu, pentingnya adanya Employee Well-

being sebagai mediator.

Employee Well-Being sebagai mediator hubungan antara Psychological

Climate dan Psychological Capital dalam penelitian ini mengangkat

permasalahan yang terjadi di indonesia. Hasil observasi langsung ke salah

satu perusahaan, permasalahan yang terkait dengan Psychological Climate

dan Psychological Capital diakibatkan ruang lingkup kerja. Yang tergolong

cukup luas dimana dalam sehari terdapat empat (4) shift karyawan yang

bekerja dengan orang yang berbeda setiap harinya. Kondisi ini akan

mempengaruhi persepsi karyawan tentang situasi kerja sehingga timbul

diferensiasi sikap kerja antar karyawan. Perbedaan persepsi tersebut

menyebabkan ketidak cocokan antar beberapa karyawan. Persepsi dari satu

individu akan mempengaruhi persepsi individu lainnya sehingga terbentuklah

Psychological Capital.

Hasil wawancara langsung dengan divisi Human Resources

menunjukkan bahwa sebanyak 73% responden yang resign dengan alasan

merasa tidak sejahtera dengan pekerjaan mereka. Dari sejumlah responden


9

yang mengaku tidak sejahtera tersebut, 26% di antaranya mengaku merasa

sangat tidak sejahtera dengan alasan kebanyakan menjawab bahwa gaji,

fasilitas dan bonus yang diberikan perusahaan tidak sesuai dengan beban

kerja dan hubungan dengan atasan. Survei wawancara ini dilakukan pada Mei

2019 yang diambil 15 data karyawan yang resign selama 1 tahun dengan

bidang pekerjaan dan level karier yang berbeda.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka peneliti

mengajukan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah ada hubungan antara Psychological Capital dan Psychological

Climate pada karyawan yang bekerja di Pesona Alam Resort & Spa,

Hotel ?

2. Apakah ada hubungan antara Employee Well-Being dan Psychological

Capital pada karyawan yang bekerja di Pesona Alam Resort & Spa, Hotel

3. Apakah ada hubungan antara Employee Well-Being dan Psychological

Climate pada karyawan yang bekerja di Pesona Alam Resort & Spa,

Hotel ?

4. Apakah Employee Well-Being berperan menjadi mediator hubungan

antara Psychological Capital dan Psychological Climate pada karyawan

yang bekerja di Pesona Alam Resort & Spa, Hotel ?


10

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan, peneliti memiliki tujuan yaitu

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara Psychological Capital dan

Psychological Climate pada karyawan yang bekerja di Pesona Alam

Resort & Spa, Hotel ?

2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara Employee Well-Being dan

Psychological Capital pada karyawan yang bekerja di Pesona Alam Resort

& Spa, Hotel ?

3. Untuk mengetahui ada hubungan antara Employee Well-Being dan

Psychological Climate pada karyawan yang bekerja di Pesona Alam

Resort & Spa, Hotel ?

4. Untuk mengetahui peran Employee Well-Being menjadi mediator

hubungan antara Psychological Capital dan Psychological Climate pada

karyawan yang bekerja di Pesona Alam Resort & Spa, Hotel ?

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk berkontribusi pada pengembangan

penelitian keilmuan dibidang psikologi, literatur kepustakaan dan penelitian

selanjutnya. Khususnya bidang psikologi industri dan organisasi, yang

berkaitan dengan apakah Employee Well-Being berperan menjadi mediator

hubungan antara Psychological Capital dan Psychological Climate pada

karyawan yang bekerja di Pesona Alam Resort & Spa, Hotel.


11

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Perusahaan

Diharapkan dapat lebih memperhatikan kebutuhan para pekerja dan

lebih memaksimalkan pengembangan perusahaan agar bersama-sama

mensukseskan program kerja dengan mengembangkan kemampuan

dari para karyawan. Serta memberikan contoh untuk selalu percaya

kepada kemampuan yang dimiliki. Dengan pembentukan lingkungan

kerja yang nyaman bagi pekerja dimana akan berpengaruh juga pada

keadaan positif pada kognitif pekerja sebagai pemenuhan kesejahteraan

Psychological Climate. Diperlukan juga untuk selalu membina

hubungan yang baik antara pimpinan dan karyawannya.

b. Karyawan

Diharapkan menjadi sarana pengembangan diri untuk meningkatkan

produktivitas dan kualitas pekerja dengan memahami faktor - faktor

yang dapat membuat kinerja dalam bekerja lebih baik sehingga dapat

lebih memahami arti dari pekerjaannya dan lebih menikmati proses dari

pekerjaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai