Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arus globalisasi dan informasi yang sifatnya temporal merupakan gejala

wajar dinamika perubahan dunia. Arus-arus tersebut merupakan dampak

pertemuan bahkan percaturan kekuatan-kekuatan ide yang subur bertumbuh di

belahan-belahan dunia. Tatkala arus dan dampak globalisasi menerpa semua

bidang kehidupan, bukan hanya sains, teknologi dan ekonomi, tetapi juga

orientasi dan nilai budaya yang inovatif, karena konteks budaya dan sosial politik

tidak terpisahkan dari sains, teknologi dan ekonomi. Globalisasi dan informasi

secara komprehensif dapat dikemukakan sebagai pertemuan dan pergulatan

kebudayaan (Daeng, 2008:306).

Salah satu bentuk kebudayaan yang dapat terpengaruh oleh globalisasi

adalah nilai hidup. Nilai hidup adalah wujud ideal pertama dari kebudayaan. Nilai

hidup bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, tempatnya di dalam kepala atau

di dalam alam pikiran warga masyarakat. Ide-ide atau gagasan-gagasan manusia

banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat dan memberi jiwa pada

masyarakat itu (Sudarta, 2016:36).

Nilai hidup yang dipegang kuat dalam masyarakat desa Mata Kapore ini

dikarenakan dalam keyakinan mereka dalam diri manusia, keteraturan menyata

dalam bentuk hati yang tenang damai, atau tubuh yang sehat segar lagi kuat.

Keteraturan dalam masyarakat terwujud kalau sudah ada hubungan yang baik

antara manusia dengan ina-ama. Untuk memelihara hubungan baik ini manusia

mesti melaksanakan banyak peraturan dan kewajiban. Misalnya upacara- upacara,

1
menolong orang lain, menghormati ina-ama. Bila semua peraturan dan kewajiban

itu dilaksanakan dengan teliti, hidupnya kan menjadi sejahtera (Ujan, 2012: 20).

Nilai hidup adalah segala hal yang dianggap bernilai tinggi bagi kehidupan

individu sebagai anggota masyarakat. Nilai hidup merupakan pedoman tertinggi

bagi pikiran, perasaan, sikap dan tingkah laku manusia di dalam masyarakat. Bisa

terjadi bahwa nilai hidup itu serupa bagi suatu kelompok masyarakat atau bagi

suatu masyarakat, karena mereka telah mengalami proses sosialisasi yang sama

dalam kebudayaan yang sama. Hal ini berarti ada nilai hidup perorangan, nilai

hidup suatu kelompok dan nilai hidup suatu masyarakat. Nilai hidup tersebut tidak

nampak, tetapi tercermin pada tingkah laku seseorang, suatu kelompok atau

masyarakat dan memberikan arah dan bentuk kepada seseorang, kelompok atau

masyarakat yang bersangkutan (Sudarta, 2016:38).

Alasan ketertarikan peneliti menganalisis nilai hidup masyarakat petani

adalah karena umumnya para petani hanya mempunyai perhatian untuk hari

sekarang, bagaimana keadaan hari kemudian mereka tidak peduli. Mereka

terlampau miskin untuk dapat memikirkan hal itu. Pandangan hidup petani yang

sederhana ini tentunya akan menyulitkan mereka menghadapi era globalisasi

dimana semua perubahan berlangsung cepat. Tanah pertanian yang menghasilkan

produk pertanian yang tidak begitu memuaskan akan membuat petani merasa

putus asa dan menjualnya untuk dijadikan tempat industri. Para petani yang

biasanya mengolah tanah akan menjadi buruh pabrik, atau dengan kemungkinan

buruk karena kurangnya keterampilan akan kehilangan mata pencahariannya.

Kurang mampunya masyarakat petani dalam mempertahankan aset dan

bersaing ini sejalan dengan pendapat Hidayat (2015) yaitu globalisasi secara

2
umum adalah suatu proses menuju tatanan masyarakat yang mendunia yang

menyangkut semua bidang kehidupan seperti ideologi, politik, sosial budaya,

hankam, dan lain lain sehingga antar negara seolah-olah tidak mengenal batas

wilayah lagi. Globalisasi terbentuk sebagai akibat adanya perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi komunikasi internasional yang majunya sangat pesat

atau cepat.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti mengajukan penelitian untuk

mendeskripsikan nilai hidup masyarakat petani di desa Matakapore. Hal tersebut

dilakukan untuk mengetahui nilai hidup para petani tersebut dalam perubahan jaman.

Judul penelitian yang diajukan adalah, “Nilai Hidup Masyarakat Petani Pada Era

Globalisasi di Masyarakat Desa Matakapore Kecamatan Kodi Bangedo

Kabupaten Sumba Barat Daya.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

yang diajukan dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana nilai hidup masyarakat

petani pada era globalisasi di masyarakat desa Matakapore Kecamatan Kodi

Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya?”

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan penelitian adalah untuk

mendapatkan gambaran objektif tentang nilai hidup masyarakat petani pada era

globalisasi di masyarakat desa Matakapore Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten

Sumba Barat Daya.

3
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Penulisan ini juga merupakan salah satu tugas atau syarat yang harus

dipenuhi untuk mencapai Gelar Sarjana di IKIP Budi Utomo Malang.

2. Bagi masyarakat Sumba

Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan agar masyarakat tetap

mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada terutama untuk mengkaji

nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai pedoman hidup

bermasyarakat.

3. Bagi lembaga

Sebagai referensi bagi yang membutuhkan terutama mahasiswa dalam

melengkapi literatur tentang masalah dinamika masyarakat.

E. Definisi Operasional

1. Nilai Hidup

Nilai hidup adalah segala hal yang dianggap bernilai tinggi bagi

kehidupan individu sebagai anggota masyarakat. Nilai hidup merupakan

pedoman tertinggi bagi pikiran, perasaan, sikap dan tingkah laku manusia

di dalam masyarakat. Bisa terjadi bahwa nilai hidup itu serupa bagi suatu

kelompok masyarakat atau bagi suatu masyarakat, karena mereka telah

mengalami proses sosialisasi yang sama dalam kebudayaan yang sama.

Hal ini berarti ada nilai hidup perorangan, nilai hidup suatu kelompok dan

nilai hidup suatu masyarakat. Nilai hidup tersebut tidak nampak, tetapi

4
tercermin pada tingkah laku seseorang, suatu kelompok atau masyarakat

dan memberikan arah dan bentuk kepada seseorang, kelompok atau

masyarakat yang bersangkutan (Sudarta, 2016:38).

2. Era Globalisasi

Era globalisasi secara umum adalah suatu proses menuju tatanan

masyarakat yang mendunia yang menyangkut semua bidang kehidupan

seperti ideologi, politik, sosial budaya, hankam, dan lain lain sehingga

antar negara seolah-olah tidak mengenal batas wilayah lagi. Globalisasi

terbentuk sebagai akibat adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi komunikasi internasional yang majunya sangat pesat atau cepat

(Hidayat, 2015).

3. Masyarakat

Koenjaranigrat (2009:116) secara etimologis, pengertian

masyarakat dalam bahasa Inggris masyarakat di sebut society asal kata

socius yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar

kata Arab “syaraka” yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Saling

bergaul ini tentu ada bentuk-bentuk aturan hidup, yang bukan disebabkan

oleh manusia sebagai perseorangan, melainkan unsur-unsur kekuatan

kaida dalam lingkungan sosial yang merupakan suatu kesatuan.

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau

dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat

mempunyai perasaan agar warganya dapat saling berinteraksi. Negara

modern misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam

5
prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara

intensif, dan dengan frekuensi yang tinggi.

4. Desa Matakapore

Desa Mataapore adalah salah satu desa di bawah adminisrasi

kecamatan Kodi Bangedo di Kabupaten Sumba Barat Daya. Mayoritas

penduduk desa Matakapore adalah petani dan menggantungkan hidupnya

dari sektor pertanian.

6
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Nilai Hidup

Nilai hidup adalah wujud ideal pertama dari kebudayaan. Nilai hidup bersifat

abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, tempatnya di dalam kepala atau di dalam

alam pikiran warga masyarakat. Ide-ide atau gagasan-gagasan manusia banyak

yang hidup bersama dalam suatu masyarakat dan memberi jiwa pada masyarakat

itu. Nilai hidup adalah segala hal yang dianggap bernilai tinggi bagi

kehidupan individu sebagai anggota masyarakat. Nilai hidup merupakan

pedoman tertinggi bagi pikiran, perasaan, sikap dan tingkah laku manusia di

dalam masyarakat. Bisa terjadi bahwa nilai hidup itu serupa bagi suatu

kelompok masyarakat atau bagi suatu masyarakat, karena mereka telah

mengalami proses sosialisasi yang sama dalam kebudayaan yang sama. Hal

ini berarti ada nilai hidup peroranga, nilai hidup suatu kelompok dan nilai

hidup suatu masyarakat. Nilai hidup tersebut tidak nampak, tetapi tercermin

pada tingkah laku seseorang, suatu kelompok atau masyarakat dan

memberikan arah dan bentuk kepada seseorang, kelompok atau masyarakat

yang bersangkutan (Sudarta, 2016:38).

Menurut Sudarta (2016:38), jalan pikiran dan perasaannya, telah sejak

kanak-kanak diresapi nilai hidup. Isi dari nilai hidup telah berurat berakar di

dalam batin atau hati nurani sedemikian rupa, sehingga yang bersangkutan

memahami mana yang baik dan yang buruk, yang cocok dan yang tidak

cocok, yang diperkenankan untuk dilakukan dan yang dilarang dan

7
sebagainya. Oleh karena telah berakar atau meresap sangat dalam, maka nilai

hidup sangat lambat atau sulit berubah. Isi nilai hidup tersebut, biasanya

mencakup hal-hal sebagai berikut:

1) Nilai kepercayaan, misalnya percaya kepada hal-hal yang gaib seperti

makluk halus, dewi-dewi, hal-hal yang keramat dan sebagainya.

2) Nilai pandangan (falsafah) hidup, misalnya pandangan terhadap hidup,

karya, waktu, alam, dan sesama manusia

3) Nilai pergaulan hidup, misalnya sopan santun (tata krama), budi pekerti,

tolong menolong, gotong royong dan sebagainya.

Sebagai salah satu bagian dari isi nilai hidup tersebut, berikut ini diuraikan

pandangan hidup petani, terutama para petani pedesaan di Indonesia berdasarkan

kerangka pemikiran Kluckhon seperti tercantun pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Kerangka Kluckon Mengenai Lima Masalah Hidup yang


Menentukan Orientasi Nilai Budaya
Masalah hidup Orientasi nilai Budaya
Hakikat dan sifat Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk,
hidup tetapi harus
diperbaiki
Hakikat karya Karya itu untuk Karya itu untuk Karya itu untuk
hidup kedudukan menambah karya

Hakikat kedudukan Masa lalu Masa kini Masa depan


manusia dalam ruang
waktu
Hakikat hubungan Tunduk Mencari Menguasai alam
manusia dengan alam terhadap alam keselarasan
dengan alam
Hakikat hubungan Memandang Mementingkan Mementingkan
manusia dengan tokoh-tokoh rasa rasa tidak
manusia atasan jetergantungan tergantung
kepada kepada
sesamanya sesamanya
(berjiwa gotong (berjiwa
royong) individualis)
(Sumber: Koentjaraningrat, 1969)

8
Berdasarkan kerangka Kluckon pada tabel 2.1, dapat dirumuskan oleh para

ahli mengenai pandangan hidup para petani perdesaan di Indonesia seperti

akan diuraikan berikut ini.

1) Pandangan perani terhadap pandangan hidup

Umumya petani terutama di pedesaan, pada dasarnya memandang

hidup mereka sebagai suatu hal yang buruk, penuh dosa, dan

kesengsaraan. Tetapu hal itu tidak berarti bahwa mereka harus begitu saja

menghindari hidup yang nyata dan mengundurkan diri dengan

bersembunyi di alam kebatinan atau dengan bertapa. Mereka malahan

wajib menyadari keburukan hidup itu dengan berlalku prihatin dan

ikhtiar.

2) Pandangan petani terhadap hakikat karya

Para petani bekerja untuk hidup yaitu hanya untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari, terutama makan. Kadang-kadang kalau

mungkin mereka untuk mencapai kedudukan dan status.

3) Pandangan petani terhadap hakikat waktu

Umumnya para petani hanya mempunyai perhatian untuk hari

sekarang, bagaimana keadaan hari kemudian mereka tidak peduli. Mereka

terlampau miskin untuk dapat memikirkan hal itu. Hanya kadang-kadang

mereka rindu akan masa lampau, yang menurut dongeng-dongeng orang

tua merupakan suatu masa kejayaan.

4) Pandangan Petani Terhadap Hakikat Hubungan Manusia Dengan Alam

Umumnya alam tidak begitu mengerikan bagi para petani. Apabila

ada bencana alam berupa gunung meletus atau banjir besar, mereka

9
menerima sebagai suatu nasib yang kebetulan buruk saja. Apabila hama

atau penyakit menyerang atau merusak budidaya tanaman mereka, mereka

tidak takut. Mereka tahu cara-cara mengatasi bencana-bencana seperti itu.

5) Pandangan petani terhadap hakikat hubungan manusia dengan manusia

Umumnya masyarakat petani menilai tinggi hidup sama rasa

dengan sesama manusia. Ini artinya, masyarakat petani lebih

mementingkan hubungan horisontal dari pada hubungan vertikal

(memandang tokoh-tokoh tingkat atas). Seseorang harus memellihara

hubungan baik dengan sesama manusia baik kerabat maupun bukan

kerabatnya dilandasi oleh sistem bantu membantu (berjiwa gotong-

royong), sifat pergaulan masyarakat tidak ke atasm tetapi terungkung

dalam dunia kecil, yakni sebatas sistem sosial mereka.

Menurut Sudarta (2016:40) uraian tersebut menunjukkan bahwa

pandangan hidup para petani di indonesia, baik terhadap hakikat hidup,

karya, waktu, alam, maupun hakikat hubungan antara manusia dengan

sesamanya, umumnya bersifat negatif. Tentu pandangan-pandangan

seperti itu kurang menguntungkan bagi akselerasi pembangunan

pertanian. Walaupun begitu, tidak sedikit petani yang tela mencapai

kemajuan hidup, baik di bindang pendidikan, wiraswasta, jabata, maupun

di bidang-bidang lainnya. Hal ini berarti, tidak seluruh petani

berpenandangan negatif terhadap lima masalah hidup tersebut.

10
B. Masyarakat

1. Pengertian

Koenjaranigrat (2009:116) secara etimologis, pengertian masyarakat dalam

bahasa Inggris masyarakat di sebut society asal kata socius yang berarti “kawan”.

Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab “syaraka” yang berarti “ikut

serta, berpartisipasi”. Saling bergaul ini tentu ada bentuk-bentuk aturan hidup,

yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai perseorangan, melainkan unsur-

unsur kekuatan kaida dalam lingkungan sosial yang merupakan suatu kesatuan.

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul” atau dengan istilah

ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai perasaan

agar warganya dapat saling berinteraksi. Negara modern misalnya, merupakan

kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para

warganya untuk berinteraksi secara intensif, dan dengan frekuensi yang tinggi.

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang

yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana

sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam

kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa

Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan

hubungan-hubungan antar entitas- entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas

yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah

masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama

dalam satu komunitas yang teratur(Wikipedia, 2016).

Masyarakat didefinisikan sebagai kumpulan orang- orang yang berinteraksi

satu sama lain di dalam suatu wilayah tertentu dan yang menghayati kebudayaan

11
yang sama. Elemen penting dari masyarakat adalah manusia. Manusia-manusia itu

harus berinteraksi supaya mereka dapat dianggap sebegai masyarakat. Mereka

biasanya menghayati kebudayaan yang sama dan mendiami wilayah tertentu

(Raho, 2016: 157).

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu

sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu

rasa identitas bersama (Koenjaranigrat, 2009:118). Dari berbagai definisi yang

ada, dapat dicatat beberapa unsur penting masyarakat sebagai berikut:

1) Adanya sekelompok manusia yang hidup bersama. Dalam hal ini, tidak

dipersoalkan berapa jumlah manusia yang hidup bersama itu. Sedikitnya

ada dua orang.

2) Kehidupan hersama tersebut berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

Ungkapan “cukup lama” bukanlah sebuah ukuran angka. Melainkan,

hendak menunjukkan bahwa kehidupan bersama tersebut tidak bersifat

insidental dan spontan, namun dilakukan untuk jangka panjang.

3) Adanya kesadaran di antara anggota bahwa mereka merupakan satu

kehidupan bersama. Dengan demikian, ada solidaritas di antara warga dan

kelompok manusia tersebut.

4) Kelompok manusia tersebut merupakan sebuah kehidupan bersama.

Maksudnya, mereka memiliki budaya bersama yang membuat anggota

kelompok saling terikat satu sama lain.

2. Masyarakat Desa

Masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal di desa. Pada umumnya

penduduk pedesaan di Indonesia ini, apabila ditinjau daru segi kehidupan, sangat

12
terikat dan sangat tergantung dari tanah (earth-bound). Pada masyarakat

pedesaan tidak akan dijumpai pembagian kerja berdasarkan keahlian, tetapi

biasanya pembagian kerja didasarkan pada usia, mengingat kemampuan fisik

masung-masing dan juga atas dasar perbedaan kelamin (Soekanto, 2012: 137).

Warga pedesaan, suatu masyarakat mempunyai hubungan yang lebih erat

dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan masyarakat pedesaan

lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem

kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari

pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian adalah pekerjaan sambilan

saja karena bila masa panen atau masa menanam padi, pekerjaan-pekerjaan

sambilan tadi segera ditinggalkan (Soekanto, 2012: 136).

Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1979, desa diartikan sebagai suatu

wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang di

dalamnya merupakan kesatuan hukum yang memiliki organisasi pemerintahan

terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah

tangganya sendiri (otonomi) dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1, desa

diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul

dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan

berada di daerah kabupaten. Lebih jauh lagi, pasal tersebut juga menjelaskan

tentang kawasan desa. Dalam konteks ini kawasan desa adalah kawasan yang

memiliki kegiatan utama seperti pertanian, perkebunan, pengelolaan sumber

13
daya alam, pelayanan sosial, kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,

pelayanan jasa pemerintahan dan kegiatan ekonomi.

Desa merupakan perwujudan dan kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik

dan kultur yang terdapat di tempat itu, dalam hubungan dan pengaruhnya secara

timbal balik dengan daerah lain. Landis (Ahmadi, 2003: 241) menyatakan desa

adalah wilayah yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri sebagai

berikut:

a) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan

jiwa.

b) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebebasan.

c) Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat

dipengaruhi alam seperti: iklim, keadaan alam, kekayaan alam,

sedangkan pekerjaan yang bukan agraris bersifat sambilan.

Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya

memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka

apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kesukarannya adalah golongan

orang-orang tua itu mempunyai pandangan yang didasarkan pada tradisi yang kuat

sehingga sukar untuk mengadakan perubahan-perubahan yang nyata.

Pengendalian sosial masyarakat terasa sangat kuat sehingga perkembangan jiwa

individu sangat sukar untuk dilaksanakan (Soekanto, 2012: 137).

3. Ciri-Ciri Masyarakat

1) Aglomerasi dari unit biologis dimana setiap anggota dapat melakukan

reproduksi dan beraktivitas

2) Memiliki wilayah tertentu

14
3) Memiliki cara untuk berkomunikasi

4) Terjadinya diskriminasi antara warga masyarakat dan bukan warga

masyarakat

5) Secara kolektif menghadapi ataupun menghindari musuh.(Basic of Society

oleh Ayodoha Prasad, goolebooks)

Menurut Soekanto (2012: 32), ciri-ciri dari masyarakat yaitu:

1) Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama

2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama

3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan

4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama

Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri masyarakat yang dikemukakan para

ahli di atas dapat di simpulkan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan

manusia (individu) yang bertempat tinggal di wilayah tertentu dimana saling

berinteraksi dalam kehidupan sosialnya, berkumpul dan saling ketergatungan

antara individu satu dan individu lainnya.

C. Era Globalisasi

Menurut Hidayat (2015) globalisasi secara umum adalah suatu proses

menuju tatanan masyarakat yang mendunia yang menyangkut semua bidang

kehidupan seperti ideologi, politik, sosial budaya, hankam, dan lain lain sehingga

antar negara seolah-olah tidak mengenal batas wilayah lagi. Globalisasi terbentuk

sebagai akibat adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi

internasional yang majunya sangat pesat atau cepat.

15
Arus globalisasi dan informasi yang sifatnya temporal merupakan gejala

wajar dinamika perubahan dunia. Arus-arus tersebut merupakan dampak

pertemuan bahkan percaturan kekuatan-kekuatan ide yang subur bertumbuh di

belahan-belahan dunia. Tatkala arus dan dampak globalisasi menerpa semua

bidang kehidupan, bukan hanya sains, teknologi dan ekonomi, tetapi juga

orientasi dan nilai budaya yang inovatif, karena konteks budaya dan sosial politik

tidak terpisahkan dari sains, teknologi dan ekonomi. Globalisasi dan informasi

secara komprehensif dapat dikemukakan sebagai pertemuan dan pergulatan

kebudayaan (Daeng, 2008:306).

D. Kerangka Berpikir

Desa Matapore adalah salah satu desa di bawah adminisrasi kecamatan

Kodi Bangedo di Kabupaten Sumba Barat Daya. Mayoritas penduduk desa

Matakapore adalah petani dan menggantungkan hidupnya dari sektor

pertanian. Masyarakat desa Matakapore rata-rata masih hidup di bawah garis

kemiskinan, meskipun beberapa keluarga berhasil menyekolahkan anak-

anaknya sampai tingkat perguruan tinggi.

Warga pedesaan, suatu masyarakat mempunyai hubungan yang lebih erat

dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan masyarakat

pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem

kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari

pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian adalah pekerjaan

sambilan saja karena bila masa panen atau masa menanam padi, pekerjaan-

pekerjaan sambilan tadi segera ditinggalkan (Soekanto, 2012: 136).

16
Sebagai orang desa, masyarakat desa Matakapore memiliki nilai hidup

yang dipegang teguh dari masa ke masa dan bekerja dalam sektor pertanian.

Sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (2015:41) yang menyatakan orang

desa biasanya bekerja dalam sektor pertanian, dan mentalitas mereka adalah

suatu mentalitas yang khas, yang dapat disebut dengan mentalitas petani.

Umumnya para petani hanya mempunyai perhatian untuk hari sekarang,

bagaimana keadaan hari kemudian mereka tidak peduli. Mereka terlampau

miskin untuk dapat memikirkan hal itu. Pandangan hidup petani yang

sederhana ini tentunya akan menyulitkan mereka menghadapi era globalisasi

dimana semua perubahan berlangsung cepat. Tanah pertanian yang

menghasilkan produk pertanian yang tidak begitu memuaskan akan membuat

petani merasa putus asa dan menjualnya untuk dijadikan tempat industri. Para

petani yang biasanya mengolah tanah akan menjadi buruh pabrik, atau dengan

kemungkinan buruk karena kurangnya keterampilan akan kehilangan mata

pencahariannya.

Salah satu bentuk kebudayaan yang dapat terpengaruh oleh globalisasi

adalah nilai hidup. Nilai hidup adalah wujud ideal pertama dari kebudayaan.

Nilai hidup bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, tempatnya di dalam

kepala atau di dalam alam pikiran warga masyarakat. Ide-ide atau gagasan-

gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat dan

memberi jiwa pada masyarakat itu (Sudarta, 2016:36).

Tatkala arus dan dampak globalisasi menerpa semua bidang kehidupan,

bukan hanya sains, teknologi dan ekonomi, tetapi juga orientasi dan nilai

budaya yang inovatif, karena konteks budaya dan sosial politik tidak

17
terpisahkan dari sains, teknologi dan ekonomi. Globalisasi dan informasi

secara komprehensif dapat dikemukakan sebagai pertemuan dan pergulatan

kebudayaan (Daeng, 2008:306). Secara sederhana, kerangka berpikir

penelitian ini adalah sebagai berikut.

Latar Belakang Penelitian


Alasan ketertarikan peneliti menganalisis nilai hidup masyarakat
petani adalah karena umumnya para petani hanya mempunyai
perhatian untuk hari sekarang. Pandangan hidup petani yang
sederhana ini tentunya akan menyulitkan mereka menghadapi era
globalisasi dimana semua perubahan berlangsung cepat.

Rumusan Masalah
Bagaimana nilai hidup masyarakat petani pada era
globalisasi di masyarakat desa Matakapore Kecamatan
Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya?

Metode Penelitian
1) penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dengan pendekatan deskriptif
2) Instrumen utama adalah peneliti, instrumen
bantu penelitian ini adalah lembar wawancara
3) Analisis data dilaksanakan menggunakan
analisis data Miles dan Hubberman

Hasil Analisis Data Dan Pembahasan

Kesimpulan

18
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan atau desain penelitian adalah rencana dan struktur penelitian

yang disusun sedemikian rupa, sehingga kita bisa memperoleh jawaban atas

permasalahan-permasalahan penelitian (Setyosari, 2010:199). Penelitian yang

akan dilaksanakan ini adalah menganalisa nilai hidup masyarakat petani pada

era globalisasi di masyarakat desa Matakapore Kecamatan Kodi Bangedo

Kabupaten Sumba Barat Daya. Sehingga pendekatan yang paling tepat adalah

dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Berdasarkan pendekatan penelitian, maka penelitian ini adalah penelitian

kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif digunakan sebab

data yang didapatkan dijabarkan secara rinci dan menggambarkan data yang

telah terkumpul sebagaimana adanya.

B. Sumber Data

Menurut Loftland dan Loftland (dalam Moloeng, 2016: 157) sumber data

utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya

adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu

pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber

data tertulis, foto, dan statistik.

1) Informan merupakan orang yang benar-benar mengetahui permasalahan

yang akan diteliti.

19
a) Informan kunci, yaitu orang-orang yang sangat memahami permasalahan

yan diteliti. Adapun yang dimaksud sebagai informan kunci dalam

penelitian ini adalah Kepala Desa Mata Kapore yaitu Daud Horo.

b) Informan non kunci, yaitu orang yang dianggap mengetahui

permasalahan yang diteliti. Informan non kunci dalam penelitian ini

adalah ketua kelompok tani Mata Kapore yaitu Daniel Ndara.

2) Dokumen

Menurut Moloeng (2012: 159) dilihat dari segi sumber data, bahan

tambahan yang berasal dari dokumen dapat dibagi atas sumber buku dan

majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi dan

foto. Sumber tertulis dalam penelitian ini berkaitan dengan nilai hidup

masyarakat petani pada era globalisasi di masyarakat desa Matakapore

Kecamatan Kodi Bangedo.

Menurut Moloeng (2012: 160) foto sudah lebih banyak dipakai sebagai

alat untuk keperluan penelitian kualitatif karena dapat dipakai dalam berbagai

keperluan. Foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering

digunakan untuk menelaah segi-segi subyektif dan hasilnya sering dianalisis

sedcata induktif. Ada dua kategori foto yang dapat dimanfaatkan dalam

penelitian kualitatif, yaitu foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan

oleh peneliti sendiri. Foto dalam penelitian ini adalah foto yang berkaitan

dengan penelitian yaitu nilai hidup masyarakat petani pada era globalisasi di

masyarakat desa Matakapore Kecamatan Kodi Bangedo.

20
3) Lingkungan Sosial

Sumber data lingkungan sosial pada penelitian kualitatif diawali dari lapangan

atau lingkungn sosial subyek penelitian yaitu fakta empiris. Peneliti terjun

langsung ke lapangan, mempelajari suatu proses penemuan yang terjadi secara

alami dengan mencatat, menganalisis dan melaporkan serta menarik

kesimpulan dari proses berlangsungnya penelitian tersebut.

C. Pengumpulan Data

1. Observasi (pengamatan)

Observasi dilaksanakan oleh peneliti sendiri selaku instrument

pengumpul data penelitian. Observasi merupakan salah satu teknik yang

palng banyak dilakukan dalam penelitian. Teknik pengamatan ini

didasarkan atas pengamatan langsung. Pengamatan juga memungkinan

melihat dan mengamati sendiri. Pengamatan memungkinkan peneliti

mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan

proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data

(Moelong, 2012:174).

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Pecakapan

itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan

pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan

itu (Moeleng, 2012:186). Proses wawancara dalam penelitian ini dilakukan

dengan kepalad desa dan ketua kelompk tani tentang nilai hidup

21
masyarakat petani pada era globalisasi di masyarakat desa Matakapore

Kecamatan Kodi Bangedo.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan data yang didapat dari proses

perekaman kegiatan penelitian. Bisa berupa foto-foto ataupun catatan.

Dokumentasi dilakukan untuk mengetahui keadaan masyarakat petani pada

era globalisasi di masyarakat desa Matakapore Kecamatan Kodi Bangedo.

D. Analisis Data

Analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi

terus menerus terhadap data, mengajukan pertanyaan analitis dan menulis

catatan singkat sepanjang penelitian (Creswell, 2014:274). Analisis data

kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi kesatuan yang dapat

dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa

yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain (Moloeng, 2012: 248).

Berikut adalah tahap analisis data dalam penelitian ini menurut Miles dan

Huberman (2014:20):

22
Bagai 3.1 Tahap Analisa Data penelitian

Sumber: Miles dan Huberman (2014:20)

Berdasarkan gambar analisa data diatas, maka dapat dijabarkan tahapan

analisa dapat pada penelitian ini adalah,

1. Pengumpulan Data

Analisis data dimulai dengan pengumpulan data sebagai berikut.

a. Peneliti melakukan wawancara dengan kepala desa.

b. Peneliti mendokumentasikan hasil wawancara dan mengambil foto.

2. Penyajian Data

Alur penting yang kedua dan kegiatan analisis adalah penyajian data.

Miles dan Huberman (2014:17) membatasi suatu “penyajian” sebagai

sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan. Béraneka penyajian yang dapat

ditemukan dalam kehidupan sehari-hari mulai dati alat pengukur bensin, surat

kabar, sampai layar komputer. Dengan melihat penyajian-penyajian kita akan

dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan lebih

jauh mengailalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman

yang didapat dan penyajian-penyajian tersebut.

23
3. Peneliti melaksanakan reduksi data

Miles dan Huberman (2014:16) reduksi data diartikan sebagai proses

pemilihan, pemusatan perhatian pada pada penyederhanaan, pengabstrakan,

dan transformasi data “kasar” yang muncul dari càtatan-catatan tertulis di

lapangan. Sebagaimana kita ketahui, reduksa data, berlangsung terus-menerus

selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung. Sebenarnya bahkan

sebelum data benar-benar terkimpul, antisipasi ákan adanya reduksi data sudah

tampak waktu penelitinya memutuskan (acapkali tanpa disadari sepenuhnya)

kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan

pendekátan pengumpulan data yang mana yang dipilihnya. Selama

pengumpulan data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi selanjutnya

(membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, rnembuat gugus-gugus,

membuat partisi, menulis memo). Reduksi data/proses-transformasi ini

berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap

tersusun

4. Kesimpulan

Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan

verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif

mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan. penjelasan, konfigurasi-

koritigurasi yang mungkin, alur sebab- akibat, dan proposisi. Miles dan

Huberman (2014:18) mengatakan kesimpulan adalah tinjauan ulang pada

catatan di lapangan atau kesimpulan dapat ditinjau sebagai makna yang muncul

dari data yang harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya,

yaitu yang merupakan validitasnya. Dalam penelitian ini, Peneliti menyusun

24
kesimpulan berdasarkan data yang telah dimaknai tentang nilai hidup

masyarakat petani pada era globalisasi di masyarakat desa Matakapore

Kecamatan Kodi Bangedo.

E. Pengecekan Keabsahan Data

1. Perpanjangan Kehadiran

Perpanjangan kehadiran peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan

data. Perpanjangan kehadiran peneliti tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu

singkat, tetapi memerlukan perpanjangan kehadiran peneliti pada latar penelitian.

Perpanjangan kehadiran peneliti akan memungkinkan peningkatan derajat

kepercayaan data yang dikumpulkan.Peneliti dengan perpanjangan kehadirannya

akan banyak mempelajari “kebudayaan” dapat menguji ketidakbenaran informasi

yang diperkenalkan oleh distorsi, baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari

responden, dan membangun kepercayaan subjek. Dengan demikian, penting sekali

arti perpanjangan kehadiran peneliti itu guna berorientasi dengan situasi, juga

guna memastikan apakah konteks itu dipahami dan dihayati (Miles dan

Hubberman, 2014:176).

Perpanjangan kehadiran juga menuntut peneliti agar terjun ke dalam

lokasi dan dalam waktu yang cukup panjang guna mendeteksi dan

memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data.

2. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain( Miles dan Huberman, 2014: 330). Teknik triangulasi lebih

mengutamakan efektivitas proses dan hasil yang diinginkan. Triangulasi

dilakukan dengan menguji apakah proses wawancara dan hasil tes yang

25
digunakan sudah berjalan dengan baik. Tes dan wawancara saling dipadukan

untuk mendapatkan kesesuaian informasi data. Apabila informasi yang

didapatkan dari hasil tes siswa belum bisa memenuhi keakuratan data, maka

akan digali lebih dalam pada saat wawancara. Sehingga akan tecapai suatu

perpaduan hasil tes dan wawancara yang selanjutnya akan dipakai untuk

menarik kesimpulan.

Jadi Triangulasi adalah suatu teknik yang bertujuan untuk menjaga

keobjektifan dan keabsahan data dengan cara membandingkan informasi data

yang diperoleh dari beberapa sumber sehingga data yang diperoleh merupakan

data yang absah.

3. Pendapat Ahli

Pendapat ahli adalah salah satu pengecekan keabsahan data dengan

menggunakan pendapat ahli untuk membandingkan informasi data yang

diperoleh dari beberapa sumber sehingga data yang diperoleh merupakan data

yang absah.

26
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi lokasi penelitian

Desa Matakapore adalah salah satu wilayah yang berada di bawah

wilayah administrasi kecamatan Kodi. Awal terbentuknya desa Matakapore

adalah pada tahun 1989, setelah mekar dari desa Waikadada. Luas desa

Matakapore adalah 19.14 Km2 . maka untuk mempercepat pelayanan kepada

masyaraat, dan proses perencanaan pembangunan maka desa Matakapore

membagi wilayah menjadi 4 dusun.

Jumlah penduduk di desa Matakapore adalah 2350 orang yang terdiri

atas 128 penduduk laki-laki dan 1070 penduduk perempuan. Untuk tingkat

pendidikan formal, 89 orang tamat SD, 78 orang tamat SMP, 45 orang tamat

SMA dan 15 orang tamat perguruan tinggi. Batas-batas desa Matakapore adalah

sebagai berikut.

- Bagian timur berbatasan dengan wilayah desa Buru Kaghu kecamatan

Wewewa selatan.

- Bagian barat berbatasan dengan desa Waikadada kecamatan Kodi Bangedo.

- Bagian utara berbatasan dengan desa Noha kecamatan kodi utara.

- Bagaian selatan berbatasan dengan desa Wailangira kecamatan Kodi

Balaghar.

27
2. Nilai hidup masyarakat petani pada era globalisasi di masyarakat desa

Matakapore Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya

a. Nilai kepercayaan di masyarakat desa Matakapore

Nilai kepercayaan misalnya percaya kepada hal-hal yang gaib seperti

makluk halus, dewi-dewi, hal-hal yang keramat dan sebagainya. Nilai

kepercayaan masyarakat petani pada era globalisasi di masyarakat desa

Matakapore Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya dapat

diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber Bapa Daud Horo

sebagai kepala desa Matakapore sebagai berikut.

Masalah nilai kepercayaan, kami orang Sumba ini percaya pada Marapu
sekalipun banyak dari kami yang sudah memeluk agama pemerintah. Jaman
memang sudah canggih dan kita juga masuk di dalam era globalisasi, tapi
penghargaan kami terhadap ajaran nenek moyang masih terjaga. Marapu
berasal dari dua kata yaitu ma berarti ‘Yang’ dan rapu artinya ‘dihormati’,
‘disembah’, dan ‘didewakan’. Ada juga mengatakan Marapu terdiri dari kata
mera artinya ‘serupa’ dan appu artinya ‘nenek moyang’. Sehingga banyak
yang mengartikan Marapu adalah roh-roh leluhur atau nenek moyang.
Kehadiran Marapu diwujudkan dalam berbagai bentuk benda, seperti
tombak, emas, gading, gong, manik-manik dan lain sebagainya. Di samping
para leluhur dijadikan objek penyembahan, ada kampung-kampung tertentu
yang menyembah binatang-binatang tertentu, dan yang pada dasarnya
mewujudkan Marapu. Binatang-binatang tersebut seperti ular, buaya,
anjing, dan lain sebagainya.

Berdasarkan hasil wawancara maka dapat diketahui dalam masyarakat di

desa Matakapore, masih banyak yang menganut kepercayaan marapu. Meskipun

di era globalisasi yang menuntut semua menjadi serba modern, kepercayaan

terhadap Marapu tidak dapat bergitu saja punah. Kepercayaan khas daerah

Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di tengah-tengah

masyarakat Sumba. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan

budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu)

28
rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-

ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain

hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata. Masyarakat Sumba

terkenal akan budayanya yang masih sangat kental meskipun saat ini telah

dimasuki oleh banyaknya pengaruh dari luar masyarakat Sumba.

Nilai kepercayaan masyarakat petani di desa Matakapore ini juga ditegaskan

berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Rofinus Umbu Walla sebagai berikut.
Orang Sumba itu pada dasarnya tunduk pada leluhurnya. Sekarang sudah ada
hape, tivi, juga internet yang membuat anak muda sedikit lupa daratan. Tetapi,
kepercayaan Marapu yang masih melekat itu tidak begitu saja pudar. Sebab,
Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Sang
Marapu inilah yang menyampaikan permohonan kepada Sang Pencipta dan Sang
Pencipta menjawabnya melalui Marapu (dalam konsep modern disebut
animisme). Bagi masyarakat Sumba, Marapu menjadi falsafah hidup bagi
berbagai ungkapan budaya Sumba. Mulai dari upacara-upacara adat, rumah-
rumah ibadat (umaratu), rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunannya,
sampai kepada seluruh aspek kehidupan dan kegiatan orang Sumba. Salah satu
bentuk kepercayaan Marapu tersebut dalam masyarakat kita adalah pesta Pasola
yang diadakan tiap tahun sekali itu. Pesta pasola itu pesta menyambut panen dan
menghargai leluhurkita.

Berdasarkan hasil wawancara maka dapat diketahui bahwa masyarakat

petani di desa Matakapore masih menjunjung tinggi nilai kepercayaan berupa

Marapu. Meskipun jaman sudah semakin canggih dan dunia telah terbuka lebar

akibat pengaruh internet, kepercayaan terhadap Marapu tidak serta merta hilang

begitu saja. Masyarakat masih memegang teguh ajaran Marapu dan

melestarikannya. Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan

manusia. Sang Marapu inilah yang menyampaikan permohonan kepada Sang

Pencipta dan Sang Pencipta menjawabnya melalui Marapu (dalam konsep modern

disebut animisme). Bagi masyarakat Sumba, Marapu menjadi falsafah hidup bagi

29
berbagai ungkapan budaya Sumba. Mulai dari upacara-upacara adat, rumah-

rumah ibadat (umaratu), rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunannya,

sampai kepada seluruh aspek kehidupan dan kegiatan orang Sumba.

Nilai hidup berdasarkan aspek kepercayaan pada Orang Sumba yang

masih melandaskan pada Marapu ini sangat sulit untuk dihilangkan meskipun

rata-rata masyarakat desa Matakapore telah memeluk agama kristen atau katholik.

Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan Daniel Ndara

sebagai berikut.

Kalau masalah kepercayaan, kami masih mengakui Marapu. Ya, memang sudah
ada yang memeluk agama kristen atau katolik. Pergi ke sekolah minggu bahkan
ada yang kaul kekal melayani Yesus. Namun, mereka tidak akan lupa dengan
akar budaya disini, yaitu Marapu. Nanti anak lihat kalau ada acara macam Pasola
yang tiap tahun itu, akan ada pemberkatan oleh orang gereja juga itu. Padahal
acara itu kalau menurut ajaran agama acara untuk dewa-dewa pagan. Tapi mau
bagaimana, kalau gereja mau hidup ya harus menghormati kepercayaan asli
masyarakat. Kami disini percaya, kalau pasola sampai tidak diadakan, panen akan
gagal. Kami akan ditimpa musim lapar, kena penyakit dan ternak mati. Kita pu
bapak sudah membuktikan itu, adat lebih jatuh daripada agama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Daniel Ndara tentang nilai

kepercayaan sebagai nilai hidup yang di anut oleh masyarakat petani desa

Matakapore dapat diketahui bahwa masyarakat desa Matakapore masih

memegang teguh kepercayaan kepada Marapu. Daniel Ndara memakai istilah

adat lebih jatuh daripada agama yang berarti masyarakat lebih takut tidak

menjalankan adat daripada mengikuti ajaran agama yang datang kemudian.

Masyarakat percaya pada Marapu yang ada dalam setiap elemen kehidupan, dan

mesti dihormati keberadaannya. Lebih lanjut Daniel Ndara menjelaskan

kepercayaan masyarakat desa Matakapore sebagai berikut.

30
Kita orang tua ini mau masuk gereja juga karena Yesus itu punya Bapa, Marapu
juga itu. Banyak ritual gereja itu yang tidak menghilangkan ciri-ciri Marapu.
Yesus kan anak Tuhan dan Dia tunduk pada kehendak Bapa. Jadi, kami orang tua
ini menganggap Yesus itu Marapu juga. Menyembah pada Bapa, yang dituakan.
Mungkin kalau istilah sekarang itu orang Sumba tidak tau menyebut Yesus.
Tuhan hanya nama-nya beda, di Sumba disebut Marapu, diluar sana disebut
Yesus. Kalau Yesus lahir di Sumba, mungkin namanya Yenggo atau Yawe.
Kepercayaan masyarakat petani di desa Matakapore tidak lepas dari

kepercayaan Marapu. Berdasarkan hasil wawancara maka dapat diketahui bahwa

masyarakat petani di desa Matakapore menjunjung nilai kepercayaan sebagai

berikut;

(1) Masyarakat memegang teguh ajaran Marapu meskipun telah mengenal

agama pemerintah seperti katholik, protestan dan islam.

(2) Masyarakat tetap mempercayai Marapu ada dalam setiap benda di

sekeliling mereka dan menghargai Marapu meskipun jaman telah semakin

canggih.

(3) Masyarakat masih mengadakan pesta panen tahunan yang dinamakan

Pasola meskipun itu memakan biaya yang besar karena perta panen Pasola

tersebut merupakan ajaran Marapu.

b. Nilai pandangan (falsafah) hidup

Nilai pandangan hidup misalnya pandangan terhadap hidup, karya, waktu,

alam, dan sesama manusia. Nilai pandangan hidup masyarakat petani dalam

era globalisasi di desa Matakapore dapat diketahui berdasarkan hasil

wawancara dengan Daud Horo sebagai berikut.

Kami disini untuk mengelola pertanian ada yang dinamakan


kaliwu. Kaliwu adalah mode pertanian yang telah diwariskan
secara turun temurun dari jaman nenek moyang. Jadi, sebagian
memang ada yang mengikuti cara bertani modern yang memakai
traktor dan handtraktor itu, tapi sebagian lain termasuk kami ini
tidak. Model pengelolaan Kaliwu memiliki manfaat ekologis,

31
ekonomis dan sosial. Secara ekologis kaliwu dapat mencegah erosi
dan meningkatkan cadangan air tanah. Masyarakat memanfaatkan
ruang tumbuh vertikal dan horisontal secara optimal dengan
melakukan kombinasi tanaman yang beragam yaitu tanaman
pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Secara ekonomi, hasil yang
diperoleh dari tanaman perkebunan dan pangan di kaliwu dapat
memenuhi kebutuhan hidup maupun dijual ke pasar.

Berdasarkah hasil wawancara maka dapat diketahui bahwa nilai hidup

berupa nilai pandangan hidup masyarakat petani di desa Matakapore sebagian

telah mengikuti cara bercocok tanam secara modern mengikuti era globalisasi

yang menggunakan mesin dalam pengolahan pertanian. Namun, sebagian besar

masih menggunakan cara bercocok tanam tradisional yang dinamakan Kaliwu.

Model pengelolaan kaliwu ini mirip dengan konsep tumpang sari dimana

masyarakat melakukan kombinasi tanaman yang beragam yaitu tanaman

pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Lebih jauh lagi, nilai pandangan hidup

masyarakat petani yang merasa perlu melestarikan alam dan memperoleh

kemanfaatan darinya dapat diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan

Bapak Rofinus Umbu Walla sebagai berikut.

Secara sosial, Kaliwu ditempatkan sebagai bagian dari proses interaksi


sosial di masyarakat dan menerapkan pengetahuan asli masyarakat secara
turun-temurun. Lebih jauh lagi, Kaliwu merupakan media bagi masyarakat
Sumba untuk berinteraksi secara sosial, memelihara pengetahuan
bercocok-tanam di lahan kering secara tradisional, serta menjamin
ketersediaan pangan dan papan. Keberadaan Kaliwu telah menjadi ikon
identitas bagi masyarakat Sumba

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dapat diketahui bahwa

cara bercocok tanam kaliwu menjunjung tinggi nilai pandangan hidup

masyarakat desa Matakapore yang menyukai interaksi sosial. Masyarakat masih

memelihara pengetahuan tentang bercocok tanam di lahan kering dan

mewariskannya secara turun temurun untuk kesejahteraan anak cucunya kelak.

32
Sistem Kaliwu di Matakapore memiliki karakteristik spesifik dalam pemilihan

lokasi lahan. Hamparan lahan dibentuk dengan susunan pola tata ruang, dimana

lokasi Kaliwu yang ditumbuhi tanaman perkebunan berkayu maupun tanaman

kehutanan, biasanya diselingi dengan lahan terbuka yang ditanami tanaman

pangan seperti jagung, ubi, dan keladi. Lahan terbuka tersebut kemudian

disambung lagi oleh Kaliwu milik warga lainnya. Hal itu dilakukan untuk

efisiensi kerja sebab Kaliwu dan lahan tanaman pangan letaknya berdekatan.

Tujuan lainnya adalah untuk menghindari erosi pada tanah di sekitar kebun

Kaliwu atau di lahan tanaman pangan. Erosi diantisipasi dengan membuat

terasering menggunakan batu sebagai penahan teras.

Jenis tanaman pangan yang menjadi sumber pangan utama adalah padi

dan jagung. Tanaman yang dijadikan cadangan pangan kebanyakan dari jenis ubi

dan keladi. Pola konsumsi pangan dan cadangan pangan tersebut sudah

berlangsung sejak lama, dimana padi dan jagung menjadi pangan utama

sedangkan ubi dan keladi menjadi pendukung pangan utama sebagai sumber

cadangan pangan. Komoditas perkebunan yang banyak menghasilkan

pendapatan bagi rumah tangga responden adalah jenis buah-buahan seperti

pisang, mangga, dan jeruk serta jenis tanaman perkebunan lainnya seperti kopi.

33
Gambar 4.1 Masyarakat mengolah hasil panen dari sawahnya sendiri

Kunci kelestarian Kaliwu di Matakapore ada di kelompok tani. Kelompok

tani yang paling aktif dan giat melaksanakan program-programnya adalah

Mawailo Omma. Kata Mawailo Omma dalam bahasa Marapu Sumba berarti

“petani harus sudah pergi ke kebun sebelum ayam berkokok”. Nama ini

mengandung makna filosofis tentang keharusan masyarakat anggotanya memiliki

etos kerja yang tinggi. Etos tersebut masih dipelihara dengan baik oleh warga

Matakapore. Sebagian warga masih banyak yang pergi bekerja ke Kaliwu lebih

dari dua kali dalam sehari. Etos kerja yang tinggi tentunya merupakan modal

utama bagi pengembangan pertanian ke arah yang lebih produktif. Lebih dari itu,

kelompok tani juga berfungsi sebagai sarana untuk bersosialisasi, bermusyawarah,

meningkatkan kapasitas keterampilan dan pengetahuan, memobilisasi anggota,

serta bekerja sama dengan pihak luar dalam rangka optimalisasi pengelolaan

Kaliwu.

Nilai hidup berupa pandangan hidup masyarakat petani di desa

Matakapore ini mengenal juga istilah pamali yang berarti ‘yang dilarang’ untuk

menjaga keselarasan alam dan manusia. Nilai pandangan hidup tentang

34
keselarasan alam ini dapat diketahui berdasarkan hasil wawancaa dengan bapak

Rofinus sebagai berikut

Pamali yang masih dipegang teguh generasi tua penganut Marapu pada
kenyataannya tidak berani ditentang generasi pemeluk agama pemerintah. Pamali
itu berupa larangan menebang dan atau membakar pohon besar, terutama yang
terdapat di dalam lokasi Kaliwu. Sebagian besar masyarakat Matakapore masih
percaya bahwa melakukan hal tersebut berarti membunuh leluhur mereka sendiri.
Di sisi lain, larangan itu sejatinya bertujuan untuk menjaga ekosistem Kaliwu
sebagai areal pencegah erosi akibat hempasan hujan serta kekeringan yang dapat
merusak lahan sumber pangan mereka

Berdasarkan hasil wawancara di atas maka dapat diketahui bahwa masyarakat

petani di desa matakapore masih memegang nilai pandangan hidup yang

dinamakan pamali. Pamali itu berupa larangan menebang dan atau membakar

pohon besar, terutama yang terdapat di dalam lokasi Kaliwu. Sebagian besar

masyarakat Matakapore masih percaya bahwa melakukan hal tersebut berarti

membunuh leluhur mereka sendiri. Di sisi lain, larangan itu sejatinya bertujuan

untuk menjaga ekosistem Kaliwu sebagai areal pencegah erosi akibat hempasan

hujan serta kekeringan yang dapat merusak lahan sumber pangan.

Berdasarkan hasil wawancara maka dapat diketahui nilai hidup berupa

pandangan hidup di era globalisasi mayarakat desa Matakapore adalah sebagai

berikut.

(1) Masyarakat petani di desa Matakapore mengenal cara bercocok tanam

tradisional bernama kaliwu.

(2) Masyarakat petani di desa matakapore masih memegang nilai pandangan

hidup yang dinamakan pamali. Pamali itu berupa larangan menebang dan

atau membakar pohon besar, terutama yang terdapat di dalam lokasi

Kaliwu.

35
(3) Masyarakat masih memelihara pengetahuan tentang bercocok tanam di

lahan kering dan mewariskannya secara turun temurun untuk

kesejahteraan anak cucunya kelak.

c. Nilai pergaulan hidup dalam masyarakat desa Matakapore

Nilai pergaulan hidup misalnya sopan santun (tata krama), budi pekerti,

tolong menolong, gotong royong dan sebagainya. Nilai pergaulan hidup

masyarakat desa Matakapore dapat diketahui berdasarkan hasil wawancara

dengan Rofinus Umbu Walla sebagai berikut.

Kami ini orang desa, kebanyakan ya bertani. Sebagai masyarakat desa


yang memegang marapu, kami mengenal yang namanya sambung tangan. Makan
sedikit asal sama rata. Kerja sawah, ladang atau kebun juga kami saling tolong
menolong, karena biasanya kerjanya kan gantian. Seperti halnya cara bercocok
tanam yang namanya kaliwu itu, kepala keluarga melibatkan semua anggota
keluarga. Juga kadang saudara dan tetangga.

Pengelolaan Kaliwu di Matakapore tidak dikerjakan sendirian oleh kepala

keluarga, melainkan dilakukan melalui pembagian kerja secara tradisional dengan

melibatkan anggota keluarga. Peran kepala keluarga atau laki-laki usia produktif

sangat sentral dalam pengelolaan Kaliwu. Kepala keluarga melakukan pekerjaan

utama bertani mulai dari persiapan lahan hingga pengelolaan pasca panen. Pada

kondisi ini, kultur patriarki terlihat sangat dominan di masyarakat Sumba. Kultur

ini menempatkan kepala keluarga (laki-laki usia produktif) sebagai orang yang

bertanggungjawab atas pemenuhan pangan keluarga melalui sistem Kaliwu.

Kaum perempuan (usia produktif) dan anak-anak tidak dimarginalkan

dalam pengelolaan Kaliwu. Para istri justru memainkan peran penting. Mereka

umumnya bekerja bertani bersama-sama kepala keluarga (laki-laki) di Kaliwu.

36
Hanya sebagian kecil saja istri-istri itu yang menyatakan terlibat hanya pada

waktu-waktu tertentu saja dalam bercocok tanam. Lebih jauh lagi, anak-anak

berusia kurang dari 14 tahun diketahui juga turut membantu bertani meski

proporsinya hanya 40%. Karena sebagian besar anak-anak lainnya, menurut

pengakuan responden, sengaja dibebaskan dari pekerjaan bertani dan

diprioritaskan untuk bersekolah. Kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan

dapat terlihat dari pengakuan narasumber tersebut. Ini sama halnya dengan para

lansia yang cenderung dibebaskan dari kegiatan pengelolaan lahan. Pada titik ini,

tampak bahwa kegiatan di dalam Kaliwu memprioritaskan tenaga kerja usia

produktif di dalam keluarga pengelola.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak kepala desa Daud Horo peran

pemerintah dalam pertanian tradisional yang menjadi landasan nilai hidup

masyarakat di desa Matakapore ini adalah sebagai berikut.

Peran lembaga pemerintahan desa lebih difungsikan secara politis dan


diplomatis. Fungsi politis adalah menjadikan pemerintah desa sebagai sarana
untuk menyuarakan kepentingan mereka kepada pemerintah
kabupaten/provinsi/pusat dalam kaitannya untuk melestarikan Kaliwu. Fungsi
diplomatis adalah sebagai wadah untuk bernegosiasi dan membuka akses
informasi, teknologi, dan jaringan kerjasama dengan pihak luar untuk
mendukung pengelolaan Kaliwu. Peran tokoh agama pun sangat sentral di
masyarakat karena suaranya selalu didengar warga karena dirinya adalah
panutan masyarakat. Status sosial tokoh agama dalam sistem pelapisan sosial
adalah setara dengan tokoh adat. Maka dari itu GKS menjadi lembaga
keagamaan yang perannya sangat vital dalam memotivasi warga untuk giat
bekerja berdasarkan iman yang mereka percayai. Sebagian anggota GKS
diketahui pula menduduki posisi penting dalam struktur lembaga kelompok
tani.
Nilai hidup petani berupa pergaulan hidup masyarakat di desa Matakapore

tidak terlepas dari terjadinya konflik. Konflik merupakan persoalan yang tidak

bisa dihindari dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan, kebun, dan

lahan pertanian. Konflik terjadi karena adanya perbedaan cara pandang terhadap

37
sebuah realitas. Hal itu disebabkan karena adanya kepentingan dan nilai yang

berbeda-beda yang dianut kelompok-kelompok yang berkonflik ketika memaknai

realitas tersebut. Pada akhirnya, muncul pemaknaan yang berbeda terhadap

realitas yang sama. Sebuah versi pemaknaan terhadap realitas biasanya sudah

dimanipulasi menurut kepentingan kelompok masing-masing. Penyebab konflik

dan nilai pergaulan hidup dalam masyarakat petani di desa Matakapore dapat

diketahui berdasarkkan hasil wawancara dengan Daud Horo sebagai berikut.

Konflik yang terjadi dalam pengelolaan Kaliwu tergolong ke dalam


konflik horisontal. Pertikaian yang terjadi atas dua kelompok
masyarakat yang berada dalam stuktur sosial yang sama, sebagai
warga dan sebagai petani. Persoalan penyerobotan lahan Kaliwu dan
pencurian ternak adalah representasi konflik yang paling menonjol.
Sedangkan untuk intensitas konflik pengelolaan Kaliwu di Desa
Matakapore cukup minim. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi
oleh mapannya sistem kelembagaan dan sistem hukum yang
diterapkan di desa. Di sisi lain, meratanya hasil panen pada semua
lahan Kaliwu milik warga menjadi indikasi faktor penekan terjadinya
konflik. Lahan merupakan hal terpenting pada masyarakat petani.
Maka dari itu, potensi konflik yang dapat muncul sewaktu-waktu dapat
dipastikan ada kaitannya dengan lahan. Namun, pada lahan-lahan
Kaliwu di Matakapore, konflik lahan hanya terjadi sekali sesekali,
yakni penyerobotan lahan. Hal itupun dapat diselesaikan melalui
musyawarah keluarga. Itikad untuk menuntaskan konflik secepatnya
merupakan karakteristik masyarakat Desa Matakapore yang tentunya
menjadi faktor pendorong bagi stabilitas keamanan desa tersebut.
Kemungkinan lainnya adalah karena tingginya etos kerja masyarakat
yang tidak gemar menghabiskan waktu untuk bertengkar atau
berkelahi. Pencurian ternak adalah bentuk konflik lainnya yang terjadi
lima kali dalam tiga tahun terakhir. Bagi masyarakat Sumba, ternak
seperti kerbau jantan, babi taring, kuda, dan sapi merupakan simbol
kekayaan seseorang. Harga ternak bisa melambung hingga puluhan
juta per-ekor ketika dipakai untuk keperluan upacara perkawinan atau
kematian yang masih berorientasi adat. Maka dari itu, pencurian ternak
kerap terjadi di kalangan masyarakat Sumba termasuk di Matakapore.
Kondisi itu tentu berpengaruh terhadap pengelolaan lahan Kaliwu,
dimana seseorang menjadi merasa frustrasi ketika simbol adat dan
simbol kekayaannya dicuri. Sejauh ini penyelesaian konflik pencurian
ternak tersebut diselesaikan melalui musyawarah keluarga hingga
tuntas.

38
Berdasarkan hasil wawancara dengan Daud Horo di atas, maka dapat

diketahui bahwa nilai pergaulan dalam masyarakat petani di desa Matakapore

selalu berhubungan dengan hubungan timbal balik dalam masyarakat. Dalam

pergaulan, nilai hidup yang dipercayai oleh masyarakat pettani di desa

Matakapore adalah saling tolong menolong antara sesama. Masyarakat mengenal

cara bercocok tanam tradisional yang disebut dengan Kaliwu yang membuat

masyarakat bekerja sama dalam pengelolaannya. Jika dalam masyarakat terjadi

konflik, maka dapat diselesaikan melalui musyawarah keluarga. Itikad untuk

menuntaskan konflik secepatnya merupakan karakteristik masyarakat Desa

Matakapore yang tentunya menjadi faktor pendorong bagi stabilitas keamanan

desa tersebut. Kemungkinan lainnya adalah karena tingginya etos kerja

masyarakat yang tidak gemar menghabiskan waktu untuk bertengkar atau

berkelahi.

Berdasarkan hasil wawancara maka nilai pergaulan dalam masyarakat

Matakapore adalah sebagai berikut:

(1) Masyarakat di desa Matakapore tolong menolong dalam pengerjaan

lahan.

(2) Dikenal cara bercocok tanam yaitu Kaliwu yang membuat masyaraakt

saling berinteraksi secara harmonis.

(3) Ketika ditemui konflik dalam pergaulan, maka penyelesaian

dilaksanakan melalui musyawarah keluarga.

39
B. Pembahasan

Nilai hidup adalah nilai- nilai yang dianggap penting dalam keberlangsungan

hidup pada masyarakat petani di desa Matakapore. Nilai hidup tersebut berupa

nilai kepercayaan, nilai pandangan hidup, dan nilai pergaulan hidup. Meskipun di

era globalisasi yang menuntut semua menjadi serba modern, kepercayaan

terhadap Marapu tidak dapat bergitu saja punah. Kepercayaan khas daerah

Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup di tengah-tengah

masyarakat Sumba. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan

budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumah-rumah ibadat (umaratu)

rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-

ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain

hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata. Masyarakat Sumba

terkenal akan budayanya yang masih sangat kental meskipun saat ini telah

dimasuki oleh banyaknya pengaruh dari luar masyarakat Sumba.

Masyarakat petani di desa Matakapore yang mempunyai nilai hidup ini sejalan

dengan pendapat Sudarta (2016:38) yang menyatakan, Nilai hidup adalah wujud

ideal pertama dari kebudayaan. Nilai hidup bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau

difoto, tempatnya di dalam kepala atau di dalam alam pikiran warga masyarakat. Ide-

ide atau gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu

masyarakat dan memberi jiwa pada masyarakat itu. Nilai hidup adalah segala hal

yang dianggap bernilai tinggi bagi kehidupan individu sebagai anggota

masyarakat. Nilai hidup merupakan pedoman tertinggi bagi pikiran, perasaan,

sikap dan tingkah laku manusia di dalam masyarakat. Bisa terjadi bahwa nilai

hidup itu serupa bagi suatu kelompok masyarakat atau bagi suatu masyarakat,

40
karena mereka telah mengalami proses sosialisasi yang sama dalam kebudayaan

yang sama. Hal ini berarti ada nilai hidup peroranga, nilai hidup suatu kelompok

dan nilai hidup suatu masyarakat. Nilai hidup tersebut tidak nampak, tetapi

tercermin pada tingkah laku seseorang, suatu kelompok atau masyarakat dan

memberikan arah dan bentuk kepada seseorang, kelompok atau masyarakat yang

bersangkutan.

Nilai hidup sangat lambat atau sulit berubah. Isi nilai hidup tersebut, biasanya

mencakup hal-hal sebagai berikut: nilai kepercayan, nilai pandangan (falsafah)

hidup, dan nilai pergaulan hidup. Pada masyarakat petani di desa Matakapore

menjunjung nilai kepercayaan sebagai berikut;

(1) Masyarakat memegang teguh ajaran Marapu meskipun telah mengenal

agama pemerintah seperti katholik, protestan dan islam.

(2) Masyarakat tetap mempercayai Marapu ada dalam setiap benda di

sekeliling mereka dan menghargai Marapu meskipun jaman telah semakin

canggih.

(3) Masyarakat masih mengadakan pesta panen tahunan yang dinamakan

Pasola meskipun itu memakan biaya yang besar karena perta panen Pasola

tersebut merupakan ajaran Marapu.

Sebagai manifestai dari nilai hidup masyarakat petani di desa Matakapore

mengenal adanya suatu bentuk pertanian tradisional yang disebut dengan Kaliwu.

Keberadaan Kaliwu dibentuk oleh proses sosial yang menyejarah yang terjadi

pada masyarakat Matakapore. Proses sosial itu berjalan akibat adanya interaksi

sosial yang intensif baik antar sesama warga masyarakat maupun antara

41
masyarakat dengan ekosistem Kaliwu. Interaksi yang demikian ini (manusia

dengan manusia dan manusia-manusia dengan ekosistem Kaliwu), membentuk

sebuah konstruksi pola pikir terkait pengelolaan Kaliwu yang terwariskan secara

turun temurun dan kemudian menjadi sebuah pengetahuan lokal yang sistemik

dan orisinil.

Nilai hidup berupa pandangan hidup di era globalisasi mayarakat desa

Matakapore adalah sebagai berikut.

(1) Masyarakat petani di desa Matakapore mengenal cara bercocok tanam

tradisional bernama kaliwu.

(2) Masyarakat petani di desa matakapore masih memegang nilai pandangan

hidup yang dinamakan pamali. Pamali itu berupa larangan menebang dan

atau membakar pohon besar, terutama yang terdapat di dalam lokasi

Kaliwu.

(3) Masyarakat masih memelihara pengetahuan tentang bercocok tanam di

lahan kering dan mewariskannya secara turun temurun untuk

kesejahteraan anak cucunya kelak.

Masyarakat memiliki kaidah-kaidah atau aturan-aturan sosial yang

membuatnya berbeda dari sekumpulan binatang. Kaidah-kaidah sosial itu

merupakan seperangkat norma (tertulis maupun tidak tertulis) yang dibentuk dan

disepakati bersama untuk menciptakan suatu keteraturan sosial. Kaliwu sebagai

realitas sosial merupakan sebuah entitas yang tersusun atas kaidah-kaidah sosial

tersebut. Terdapat tiga poin penting terkait kaidah-kaidah sosial yang terdapat

dalam pengelolaan Kaliwu. a) Kaidah nilai tradisional Ketaatan masyarakat

terhadap nilai-nilai tradisional merupakan motivasi utama dalam mengelola

42
Kaliwu. Hal tersebut muncul sebagai bentuk ekspektasi masyarakat terhadap

orang tua terutama leluhurnya yang telah mewariskan lahannya untuk dikelola

sebagai Kaliwu. Dalam nilai pandangan hidup masyarakat petani di desa

Matakapore, orang tua dan leluhur merupakan orang-orang berpengaruh yang

memiliki kharisma dan mampu menciptakan ketaatan masyarakat terhadap nilai-

nilai yang hendak dipelihara di dalam masyarakat. Ketaatan terhadap nilai-nilai

tradisional dalam mengelola Kaliwu pada masyarakat Matakapore merupakan

keberhasilan internalisasi nilai-nilai tradisional untuk menjaga kelestarian kaliwu

yang dilakukan oleh tetua tersebut. b) Kaidah sistem pembagian kerja Kultur

patriarki terlihat sangat dominan di masyarakat dalam mengelola kaliwu.

Kepala keluarga atau laki-laki dewasa diketahui lebih dominan dan

bertanggung jawab penuh dalam pemenuhan kebutuhan keluarga dalam bertani

Kaliwu. Akan tetapi, uniknya hal tersebut tidak menampik keberadaan perempuan

dewasa atau kaum ibu yang juga merasa bertanggung jawab dalam menunjang

kegiatan pertanian yang dilakukan laki-laki kepala keluarga. Meski porsi

pekerjaan tidak sepenuhnya dibebankan pada kaum ibu, akan tetapi keberadaan

mereka sangatlah sentral dalam mengoptimalkan Kaliwu. Sikap kepedulian kaum

ibu muncul bukan karena paksaan, melainkan bentuk dari tanggung jawab gender.

Sebab pada kenyataanya, kaum ibu yang membantu bertani di Kaliwu tetap

mengutamakan pekerjaannya untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak. Peran

anak-anak yang hanya membantu di Kaliwu pada saat panen dan dalam porsi

pekerjaan yang ringan serta dilakukan di luar jam sekolah, merupakan realitas

tersendiri yang patut pula diperhatikan. Secara tidak langsung, sistem pembagian

kerja yang ada di masyarakat Matakapore dalam mengelola Kaliwu sudah

43
memerhatikan keberadaan anak sebagai manusia yang patut dilindungi hak-

haknya dan bukan untuk dieksploitasi.

Berdasarkan hasil wawancara maka nilai pergaulan dalam masyarakat

Matakapore adalah sebagai berikut:

(1) Masyarakat di desa Matakapore tolong menolong dalam pengerjaan

lahan.

(2) Dikenal cara bercocok tanam yaitu Kaliwu yang membuat masyaraakt

saling berinteraksi secara harmonis.

(3) Ketika ditemui konflik dalam pergaulan, maka penyelesaian

dilaksanakan melalui musyawarah keluarga.

Nilai pergaulan dalam masyarakat petani di desa Matakapore selalu

berhubungan dengan hubungan timbal balik dalam masyarakat. Dalam pergaulan,

nilai hidup yang dipercayai oleh masyarakat pettani di desa Matakapore adalah

saling tolong menolong antara sesama. Masyarakat mengenal cara bercocok

tanam tradisional yang disebut dengan Kaliwu yang membuat masyarakat bekerja

sama dalam pengelolaannya. Jika dalam masyarakat terjadi konflik, maka dapat

diselesaikan melalui musyawarah keluarga. Itikad untuk menuntaskan konflik

secepatnya merupakan karakteristik masyarakat Desa Matakapore yang tentunya

menjadi faktor pendorong bagi stabilitas keamanan desa tersebut. Kemungkinan

lainnya adalah karena tingginya etos kerja masyarakat yang tidak gemar

menghabiskan waktu untuk bertengkar atau berkelahi.

Nilai pergaulan dalam masyarakat petani yang mengedepankan gotong

royong ini sejalan dengan pendapat Sudarta (2016:38), umumnya masyarakat

petani menilai tinggi hidup sama rasa dengan sesama manusia. Ini artinya,

44
masyarakat petani lebih mementingkan hubungan horisontal dari pada hubungan

vertikal (memandang tokoh-tokoh tingkat atas). Seseorang harus memellihara

hubungan baik dengan sesama manusia baik kerabat maupun bukan kerabatnya

dilandasi oleh sistem bantu membantu (berjiwa gotong-royong), sifat pergaulan

masyarakat tidak ke atasm tetapi terungkung dalam dunia kecil, yakni sebatas

sistem sosial mereka.

Nilai hidup masyarakat petani di desa Matakapore tidak luntur begitu saja

dengan adanya arus globalisasi. Masyakat masih mempertahankan cara bercocok

tanam tradisional Kaliwu dan mempercayai kepercayaan Marapu yang merupakan

kepercayaan asli Sumba. Arus globalisasi dan informasi yang sifatnya temporal

merupakan gejala wajar dinamika perubahan dunia. Arus-arus tersebut merupakan

dampak pertemuan bahkan percaturan kekuatan-kekuatan ide yang subur

bertumbuh di belahan-belahan dunia. Tatkala arus dan dampak globalisasi

menerpa semua bidang kehidupan, bukan hanya sains, teknologi dan ekonomi,

tetapi juga orientasi dan nilai budaya yang inovatif, karena konteks budaya dan

sosial politik tidak terpisahkan dari sains, teknologi dan ekonomi. Globalisasi dan

informasi secara komprehensif dapat dikemukakan sebagai pertemuan dan

pergulatan kebudayaan (Daeng, 2008:306).

45
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pada masyarakat petani di desa Matakapore menjunjung nilai

kepercayaan sebagai berikut; (a) Masyarakat memegang teguh ajaran

Marapu meskipun telah mengenal agama pemerintah seperti katholik,

protestan dan islam. (b) Masyarakat tetap mempercayai Marapu ada

dalam setiap benda di sekeliling mereka dan menghargai Marapu

meskipun jaman telah semakin canggih., (c) Masyarakat masih

mengadakan pesta panen tahunan yang dinamakan Pasola meskipun itu

memakan biaya yang besar karena perta panen Pasola tersebut merupakan

ajaran Marapu.

2. Nilai hidup berupa pandangan hidup di era globalisasi mayarakat desa

Matakapore adalah sebagai berikut.. (a) Masyarakat petani di desa

Matakapore mengenal cara bercocok tanam tradisional bernama kaliwu.

(b) Masyarakat petani di desa matakapore masih memegang nilai

pandangan hidup yang dinamakan pamali. Pamali itu berupa larangan

menebang dan atau membakar pohon besar, terutama yang terdapat di

dalam lokasi Kaliwu. (c) Masyarakat masih memelihara pengetahuan

tentang bercocok tanam di lahan kering dan mewariskannya secara turun

temurun untuk kesejahteraan anak cucunya kelak.

46
3. Nilai pergaulan dalam masyarakat Matakapore adalah sebagai berikut:, (a)

Masyarakat di desa Matakapore tolong menolong dalam pengerjaan lahan,

(b) Dikenal cara bercocok tanam yaitu Kaliwu yang membuat masyarakat

saling berinteraksi secara harmonis. Dan (c) Ketika ditemui konflik dalam

pergaulan, maka penyelesaian dilaksanakan melalui musyawarah

keluarga.

B. Saran

Beberapa saran diberikan sebagai berikut.

1. Masyarakat desa Matakapore

Diharapkan hasil penelitian ini akan berguna sebagai referensi untuk

menganalisa nilai hidup masyarakat petani di desa Matakapore. Sehingga

kebutuhan dan kekurangan fasilitas pertanian di desa Matakapore dapat

ditanggulangi.

2. Perangkat desa Matakapore

Diharapkan hasil penelitian ini akan berguna sebagai informasi bagi

pemerintah daerah untuk melakukan upaya penyuluhan kepada masyarakat

tentang pentingnya memelihara nilai hidup dalam kehidupan sehari-hari.

3. Peneliti selanjutnya

Disarankan bagi peneliti selanjutnya di kabupaten Sumba Barat Daya yang

ingin melakukan penelitian yang serupa untuk menambah variabel

penelitian sehingga penelitian akan dapat membidik permasalahan dalam

masyarakat dengan lebih baik.

47
DAFTAR PUSTAKA

Creswell, John. 2014. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan


Mixed. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Daeng, Hans. 2008. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Koenjaranigrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Miles, Matthew dan Huberman Michael. 2014. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
Universitas Indonesia Press

Moloeng, Lexy. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Raho, Bernard SVD. 2016. Sosiologi. Maumere: Seminari Tinggi Santi Paulus
Ledalero

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya Dan Ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Setiadi, Elly M. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenada
Media

Soekanto, Soerjano. 2012. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo


Persada

Sudarta, Wayan. 2016. Sosiologi Pertanian. Denpasar: Udayana University Press

Ujan, Bernadus Boli. 2012. Mati dan Bangkit Lagi Dosa dan ritus-ritus
Pemulihan Menurut Orang Lembata. Maumere: Penerbit Ledalero

Referensi Online:

Hidayat, Rahmad. 2015. Pengertian Gobalisasi secara umum dan menurut para
ahli. Diakses online pada 11 Desember 2017 di
http://www.kitapunya.net/2015/12/pengertian-globalisasi-secara-umum-
dan-para-ahli.html

48

Anda mungkin juga menyukai