Telaah atas Konsep Tuhan, Nenek Moyang, dan Roh Halus pada
Masyarakat Sumba
A. Pendahuluan
Pulau Sumba adalah salah satu dari gugusan pulau-pulau yang dahulu disebut
sebagai “Sunda Kecil”, yang terdiri dari Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba,
Flores, dan Timor. Gugusan pulau-pulau ini kemudian diganti sebutannya
menjadi “Nusa Tenggara” oleh Prof. Muhammad Yamin dengan mengacu pada
posisinya yang berada di sudut Tenggara kepulauan Indonesia (Oe. H. Kapita,
1976:11). Pulau Sumba memiliki luas sekitar 11.587,5 kilometer persegi. Di
sebelah Utara, pulau ini berbatasan dengan Selat Sumba yang
memisahkannya dengan Pulau Flores, di sisi Timur berbatasan dengan Laut
Sawu yang memisahkan dengan Pulau sawu, Pulau Rote, dan Pulau Timor,
sementara di sisi Selatan dan Barat berbatasan dengan Samudera Hindia (M.
Junus Melalatoa, 1995:789).
Di kalangan pelaut Eropa, Pulau Sumba dikenal dengan dua sebutan, yakni
Chendan Island (Pulau Cendana) dan Sandelwood Island (dalam bahasa
Belanda disebut Sandelhout Eiland). Menurut Kapita (1976:12), setelah
pelayaran Fernando de Magelhaens sekitar tahun 1519-1521, Pulau Sumba
mulai dikenal oleh para pelayar dunia melalui peta yang dibuat oleh Pigafetta,
salah seorang rekan pelayaran Magelhaens. Dalam peta tersebut, Sumba
diberi nama Chendan Island, karena ketika itu Pulau Sumba dikenal sebagai
penghasil kayu cendana. Dalam perkembangannya, hasil kayu cendana kian
merosot, bahkan hilang sama sekali karena ekplorasi hutan yang tidak
terkendali. Sementara para pelayar Inggris menyebut Sumba dengan nama
Sandelwood Island, karena mereka sering membeli kuda-kuda Sumba yang
disebut kuda sandel (sandel horse).
1
sementara Tau Humba adalah sebutan untuk orang asli Sumba. Penafsiran ini
didasarkan atas lawan kata Humba (asli), yaitu Jawa (asing). Contohnya,
dalam masyarakat Sumba dikenal sebutan Uma Humba (rumah asli
masyarakat Sumba) dan Uma Jawa (rumah dengan bentuk lain/asing) (Kapita,
1976:12).
Perkiraan lain mengenai asal kata Humba dikatakan oleh Frederiek Djara
Wellem. Menurutnya, nama Humba berasal dari nama nenek moyang
(perempuan) yang pertama kali mendiami pulau ini. Nenek moyang tersebut
memiliki suami, yaitu Umbu Walu Mandoku. Umbu Walu Mandoku menamai
pulau tersebut dengan nama istrinya, karena merasa gembira telah mencapai
pulau yang diimpikan dalam pelayaran yang sangat panjang. Dalam cerita
rakyat Sumba disebutkan, nenek moyang mereka berasal dari Malaka, yang
kemudian berlayar melewati Singapura, Riau, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa,
Flores, Rote, Sawu, hingga mendarat di Tanjung Sasar (Sumba) (Wellem,
2001:15-16). Dalam versi yang agak berbeda disebutkan, nenek moyang
orang Sumba berlayar dari Malaka (Malaka), melewati Tana Bara (Singapura),
Hapa Riu – Ndua Riu (Riau), Hapa Jawa – Ndua Jawa (Jawa), Ruhuku – Mbali
(Bali), Ndima (Bima), Ndau (Dao), Haba (Seba/Sawu), Rai Njua (Raejua),
kemudian mendarat di Tana Humba (Pulau Sumba) (Sri Murni, 2007:3; Kapita,
1976:13-14).
Foto 2
Permukiman masyarakat Sumba.
Sumber: http://www.pbase.com/travelgame/nusatenggara
Para leluhur yang datang pertama ke Pulau Sumba sangat dihormati oleh para
keturunannya hingga kini. Penghormatan terhadap arwah leluhur inilah yang
kemudian melahirkan agama lokal yang disebut kepercayaan Marapu.
Kepercayaan Marapu mengkultuskan arwah nenek moyang (leluhur) sebagai
perantara untuk memuja Yang Maha Pencipta atau ilah tertinggi (Kapita, 1976:
14; Wellem, 2004: 41-42; dan Murni, 2007:5).
Selain merujuk kepada sebuah sistem religi tertentu yang dianut oleh
masyarakat Sumba, istilah marapu juga menunjuk kepada makna lain yang
lebih sempit sifatnya, yaitu arwah nenek moyang. Istilah Marapu sebagai
kepercayaan dan marapu sebagai nenek moyang memang terkadang agak
sulit dibedakan, mengingat agama lokal ini lahir dari pengkultusan terhadap
2
nenek moyang itu sendiri. Namun, harus dipahami bahwa arwah nenek
moyang (marapu) tersebut merupakan satu elemen saja (meskipun
merupakan elemen yang sangat penting) dalam konsep dan pelaksanaan
ritus-ritus agama lokal Marapu, di samping elemen-elemen lain. Dalam tulisan
ini, marapu sebagai arwah nenek moyang akan mengambil peran besar dalam
deskripsi mengenai agama lokal masyarakat Sumba tersebut. Marapu sebagai
kepercayaan lokal akan ditulis dengan huruf “M” (besar) dan marapu yang
mengacu kepada nenek moyang akan ditulis dengan huruf “m” (kecil).
Melalui kajian ini penulis berharap dapat memahami secara lebih utuh konsep
dan manifestasi agama Marapu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Sumba. Sumber utama kajian ini adalah buku-buku maupun artikel yang
mendeskripsikan sejarah dan kehidupan sosial budaya masyarakat Sumba.
3
Dari segi etimologis, istilah marapu merupakan gabungan dua kata yang
apabila dipecah dapat menimbulkan makna yang berbeda-beda. Menurut L.
Ovlee (dalam Wellem, 2004: 41), kata marapu dianggap berasal dari dua kata,
yakni ma dan rappu. Ma bermakna “yang”, dan rappu bermakna “dihormati”,
“disembah”, dan “didewakan”. Sehingga, marappu merujuk pada arti sesuatu
yang dihormati, disembah, atau didewakan. A. A. Yewangoe (1980:52)
berpendapat bahwa marappu merupakan gabungan dari kata ma (yang) dan
rappu (tersembunyi), sehingga kata marappu bermakna “yang tersembunyi”.
Selain itu, Yewangoe juga memperkirakan bahwa marappu berasal dari mera
(sama/serupa) dan appu (nenek moyang). Dalam istilah sehari-hari,
masyarakat Sumba memang biasa menyebut nenek moyang mereka dengan
sebutan marapu. Dalam gabungan kata yang terakhir ini nampak bahwa
Marapu merupakan manifestasi dari penghormatan masyarakat Sumba
terhadap leluhur mereka.
4
untuk memuja ilah tertinggi tersebut.
Masyarakat Sumba mengenal ilah tertinggi sebagai Pande Peku Tamu – Pande
Yura Ngara (ia yang tidak diketahui namanya). Meskipun dijuluki sebagai
“yang tidak diketahui namanya”, namun pada kenyataannya masyarakat
Sumba menamai ilah tertinggi tersebut dengan sebutan Anatala. Menurut
penyelidikan Kapita (dalam Wellem, 2004:42), nama Anatala kemungkinan
dipengaruhi oleh konsep Islam yang menyebut Tuhan dengan sebutan Allah
Ta’ala. Konsep ini mungkin dibawa oleh orang Ende (Flores) dan Bima
(Sumbawa) yang telah masuk Islam yang melakukan hubungan politik
maupun perdagangan dengan orang Sumba jauh sebelum orang Eropa datang
menguasai Pulau Sumba sekitar abad ke-19.
Ilah tertinggi tersebut menempati dunia langit bersama para marapu, yaitu
nenek moyang pertama umat manusia. Dalam kosmologi masyarakat Sumba,
alam semesta terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan atas (langit), lapisan
tengah (bumi), dan lapisan bawah (di bawah bumi). Sebagai penguasa
tertinggi, Anatala yang disebut juga Hupu Ima – Hupu Ana (ibu dan bapa
segala sesuatu) tinggal di langit (Wellem, 2004:44; Kapita, 1976:229).
Dalam konsepsi masyarakat Sumba, langit terdiri dari delapan petala (lapis)
yang berbentuk kerucut: bagian paling atas memiliki dataran paling sempit,
sementara bagian paling bawah memiliki dataran paling luas. Pada lapis
pertama yang disebut Awangu Walu Ndani (lapis langit kedelapan) itu Hupu
Ima – Hupu Ana tinggal bersama para marapu. Namun, karena dirasa sempit
dan terlalu gelap gulita, Hupu Ima – Hupu Ana pindah ke lapis kedua, ketiga,
keempat, kelima, hingga ke lapis keenam. Pada lapis keenam, marapu Tara
Hau – Lulu Weu menempa emas untuk dijadikan bulan dan matahari, sehingga
tempat tersebut menjadi terang benderang (Kapita, 1976:229-231).
Tak berapa lama, para marapu turun ke lapis ketujuh dan kemudian ke lapis
kedelapan (lapis terakhir). Di lapis paling bawah ini, mereka melihat ada
dataran yang sangat luas di bawahnya, namun masih berupa air, sehingga
tidak mungkin untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya, atas restu Hupu Ima
– Hupu Ana, para Marapu diijinkan untuk tinggal di dataran baru tersebut,
5
dengan cara menaburkan batu dan tanah pemberian Hupu Ima – Hupu Ana.
Batu dan tanah yang ditaburkan itu menjelma menjadi pulau-pulau besar dan
kecil, sehingga memungkinkan untuk ditinggali. Lalu dengan menggunakan
Panongu Bahi – Panongu Atu (tangga besi dan teras kayu), mereka turun ke
tanah yang disebut Malaka – Tana Bara (Kapita, 1976:231-232). Para Marapu
inilah yang dianggap sebagai nenek moyang masyarakat Sumba.
Foto 3
Lapisan-lapisan langit dalam kosmologi masyarakat Sumba.
Sumber: Oe. H. Kapita (1976), Sumba di Dalam Jangkauan Jaman, hlm. 229.
Konsepsi yang hampir sama terdapat pada masyarakat Bugis yang melihat
sosok bissu (pendeta masyarakat Bugis) sebagai manusia yang memiliki posisi
ambivalen. Di satu sisi, para bissu dianggap mewarisi darah para dewa
sehingga memiliki kelebihan-kelebihan magis, sedangkan di sisi lain ia juga
mewarisi sifat-sifat sebagai manusia yang bisa sakit atau mati. Namun, berkat
sifatnya yang ambivalen itulah kemudian bissu dianggap memiliki
kemampuan untuk memberkati dan menjadi penghubung antara dunia
manusia dan dunia roh (Sharyn Graham, 2002).
6
yang disebut marapu ratu, yaitu nenek moyang tertinggi, dan dibawahnya
terdapat leluhur biasa atau marapu. Marapu ratu adalah arwah nenek moyang
yang pertama turun dari langit. Marapu ratu inilah yang kemudian
menurunkan para leluhur biasa. Para leluhur biasa ini terbagi lagi ke dalam
leluhur besar (marapu bokulu) dan leluhur biasa (marapu pakahopi). Setiap
klan atau kabihu memiliki marapu ratu dan marapu biasa sendiri, sesuai
dengan legenda setiap kabihu. Para marapu kabihu ini adalah mereka yang
dianggap sebagai pendiri, pemimpin, dan pahlawan di dalam kabihu tersebut
(Wellem, 2004:45-46).
7
keberadaannya tidak mengganggu atau menimbulkan masalah.
Selain roh-roh yang memiliki karakter baik, ada pula roh jahat yang dapat
menggiring manusia kepada perbuatan jahat dan mencelakakan orang lain.
Misalnya roh suanggi, yaitu roh penyihir yang bisa membuat seseorang sakit.
Apabila terdapat anggota kabihu yang dianggap memiliki atau menggunakan
roh suanggi, maka ia akan diusir, dianiaya, atau bahkan dibunuh oleh warga
kabihu lainnya. Roh jahat lainnya adalah “roh penipu” yang dapat membuat
seseorang suka menipu, “roh jahat” yang dapat menggiring seseorang
berbuat kejahatan, serta “roh perut” yang dapat membuat orang makan
dengan rakus (Wellem, 2004:46-48).
8
tengah sebagai makam. Di samping makam, terdapat tugu pemujaan (katoda)
dan rumah besar (uma bokulu) yang berfungsi sebagai tempat pemujaan
terhadap marapu dan roh-roh halus. Tugu-tugu pemujaan juga dibangun di
pintu gerbang paraingu yang berfungsi sebagai pelindung dari serangan
musuh (Kapita, 1976:351-353).
Foto 4
Caption: Rumah tradisional Sumba.
Sumber: http://www.pbase.com/asianodyssey/eastsumba
9
masyarakat Sumba yang bersifat animistis. Rumah pemujaan, tugu, dan
benda-benda khusus dibuat dengan maksud sebagai media pemujaan
terhadap arwah leluhur dan para roh halus tersebut. Keberadaan fisik sarana-
sarana pemujaan ini penting untuk meyakinkan para pemeluk kepercayaan
Marapu bahwa arwah leluhur dan roh halus betul-betul berada di dekat
mereka, mengawasi segala perilaku, dan menerima persembahan serta doa-
doa keselamatan yang dipanjatkan kepadanya. Benda-benda inilah yang
dalam pengertian antropologi agama disebut benda-benda fetis (Evans
Pritchard, 1984:26).
Selain pemujaan di dalam rumah, pemujaan terhadap arwah leluhur dan roh
halus juga dilakukan di luar rumah, yaitu pada beberapa lokasi yang dibuat
secara khusus. Orang Sumba percaya bahwa tempat-tempat tertentu dikuasai
oleh arwah nenek moyang dan roh halus yang memiliki kekuatan gaib. Oleh
sebab itu, untuk memohon keselamatan atas semua warga kabihu, pada
tempat-tempat tersebut dibuat tugu pemujaan yang disebut katoda. Katoda
adalah sebuah tugu pemujaan yang terbuat dari dua batang kayu yang
ditancapkan, kemudian di tengahnya diletakkan sebuah papan batu sebagai
tempat persembahan. Dua batang kayu tersebut melambangkan laki-laki dan
perempuan.
10
rumah besar. Pemujaan dan sesaji yang dipersembahkan biasanya
dimaksudkan untuk mendoakan keselamatan seluruh warga paraingu
(kampung).
2. Tugu Halaman (katoda kawindu). Tugu ini didirikan di depan rumah
masing-masing warga untuk memohon kesembuhan dan berkah ketika
akan menanam padi.
3. Tugu Pintu (katoda pindu). Tugu ini didirikan di depan gerbang paraingu,
bertujuan mengusir wabah penyakit dan musuh yang berniat
menyerang paraingu.
4. Tugu Padang (katoda padangu). Tugu ini berada di padang
penggembalaan hewan, dimaksudkan untuk memohon kesuburan dan
mengusir penyakit hewan.
5. Tugu Kebun (katoda woka, latangu). Didirikan di kebun-kebun dan
sawah untuk memohon kesuburan tanah dan dihindarkan dari hama
tanaman.
6. Tugu Turun ke Laut (katoda purungu mihi). Didirikan di tepi pantai untuk
memohon hasil laut yang melimpah dan dijauhkan dari malapetaka
ketika turun melaut.
7. Tugu Muara (katoda mananga). Tugu ini dipancang di muara sungai,
supaya air tetap melimpah dan dapat memenuhi kebutuhan paraingu.
8. Tugu untuk Berperang (andungu). Dipancang di depan rumah besar dan
digunakan untuk memohon kemenangan ketika akan berperang.
Setelah meraih kemenangan, kepala pimpinan musuh biasanya
digantung di tugu ini dengan diiringi tari-tarian kemenangan.
9. Tugu Batas Tanah (katoda padira tana). Tugu yang didirikan di batas-
batas ladang, sebagai permohonan untuk mengusir roh jahat yang
dapat merusak ladang.
Upacara Pengurbanan
11
Dalam upacara pengurbanan, masyarakat sumba biasanya menyiapkan
hewan-hewan untuk dikurbankan, seperti ayam, babi, kerbau, dan kuda.
Selain hewan-hewan peliharan, terdapat juga sesajian berupa sirih pinang
serta hasil-hasil panen. Sirih pinang adalah lambang pergaulan masyarakat
Sumba, sehingga dalam upacara pengurbanan sirih pinang dimaksudkan
sebagai upaya memohon izin kepada arwah para leluhur. Adapun hasil panen
biasanya pantang dikonsumsi sebelum diadakan upacara pengurbanan untuk
leluhur. Hal ini bertujuan untuk memohon izin mengkonsumsi hasil panen
sebagai berkah yang diberikan oleh para leluhur. Setiap upacara
persembahan biasanya dipimpin oleh seorang rato (imam) yang dikenal
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan marapu melalui kurban-
kurban yang disajikan (Yewangoe, 1980:59-61).
Foto 5
Sebuah ritus pengurbanan babi.
Sumber: http://www.pbase.com/travelgame/nusatenggara
Upacara Kematian
12
memotong ayam, babi, atau kerbau. Semakin banyak jumlah hewan yang
dipotong sebagai kurban, maka semakin besar pula berkat yang kelak akan
diberikan oleh arwah yang meninggal kepada anggota keluarga yang masih
hidup. Setelah diadakan berbagai upacara pengurbanan, maka jenazah
selanjutnya disemayamkan di rumah adat uma hutar (rumah sutera). Jenazah
baru akan dikubur setelah persiapan upacara kematian dan bekal kubur yang
dibutuhkan dirasa mencukupi (Atmosudiro, 1982:58; Melalatoa, 1995:794).
Dalam penelitian lapangan yang dilakukan oleh Melalatoa pada 1978, nampak
bahwa upacara adat kematian untuk seorang bangsawan membutuhkan
persiapan dan dana yang sangat besar. Upacara adat tersebut dihadiri oleh
sekitar 20.000 orang, dengan jumlah hewan yang disembelih mencapai 650
ekor, terdiri dari kerbau, kuda, sapi, dan babi. Untuk melapisi jenazah,
digunakan 111 lembar kain tenun Sumba yang harganya mahal. Selain itu,
jenazah dihias dengan berbagai perhiasan yang terbuat dari emas murni.
Berbagai bekal kubur tersebut merupakan bekal perjalanan arwah orang yang
meninggal menuju parai marapu (Melalatoa, 1995:794).
Foto 6
Kubur batu masyarakat Sumba.
Sumber: http://www.pbase.com/asianodyssey/eastsumba
1. Reti berkaki, pada umumnya terdiri dari sebongkah batu yang ditopang
oleh dua atau empat batu lain yang berfungsi sebagai kaki.
2. Reti berdinding, yang memiliki bentuk sama seperti reti berkaki, hanya
saja antara kaki (tiang) reti tersebut ditutup dengan lempengan-
lempengan batu sehingga menyerupai dinding.
3. Reti bertingkat (berundak), bentuknya seperti reti bertiang, namun pada
bagian batu yang ditopang ditambah batu lain yang lebih kecil, sehingga
bentuknya nampak berundak.
4. Reti tanpa kaki, yaitu sebongkah batu yang diletakkan di atas kubur
tanpa diberi tiang.
Setiap kubur batu juga menyimbolkan status sosial seseorang. Semakin besar
dan rumit pengerjaan sebuah kubur batu, maka dapat dipastikan jenazah
tersebut berasal dari lapisan sosial yang tinggi (bangsawan). Hal ini karena
proses pengerjaan dan pemindahan batu-batu tersebut memerlukan tenaga
dan biaya yang besar. Selain itu, kubur-kubur batu kaum bangsawan biasanya
juga dihiasi dengan ukiran-ukiran dan berbagai ornamen seperti patung atau
13
pahatan batu.
Foto 7 a & 7 b
Patung batu untuk menghormati leluhur.
Sumber: http://www.pbase.com/asianodyssey/eastsumba
D. Kesimpulan
Selain menyembah arwah leluhur, ciri khas lain dari kepercayaan Marapu
adalah memuja para roh halus yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Baik
pemujaan terhadap marapu maupun roh halus sebetulnya bermuara pada
satu tujuan, yaitu memohon keselamatan atas kehidupan manusia. Kelalaian
memuja marapu dan roh halus adalah kelalaian adat yang risikonya dapat
membahayakan kehidupan. Dalam kacamata Yewangoe (1980:56-57), hal ini
menunjukkan bahwa para penganut Marapu hidup dalam ketergantungan
animistis. Segala perbuatan sehari-hari, peristiwa-peristiwa penting (seperti
daur hidup: kelahiran, perkawinan, dan kematian), dan penjagaan terhadap
sumber daya alam selalu digantungkan kepada kuasa-kuasa gaib.
Daftar Pustaka
Atmosudiro, Sumijati,
14
1982. “Kubur di Sumba Timur dan Status Sosial.” Artikel dalam majalah
Basis, Februari 1982, hlm. 57-63.
Dhavamony, Mariasusai,
1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
End, Th. Van den,
2001. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an sampai
Sekarang. Jakarta: BPK. Gunung Mulia
Graham, Sharyn,
2002. “Sex, Gender, and Priests in South Sulawesi, Indonesia,” dalam
IIAS Newsletter|#29|November 2002. Diunduh tanggal 28 Maret 2009
dari: http://www.iias.nl/iiasn/29/IIASNL29_27.pdf
Geertz, Clifford,
1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Kapita, Oe. H.,
1976. Sumba di Dalam jangkauan Jaman. Waingapu: Panitia Penerbit
Naskah-naskah Kebudayaan Daerah Sumba, dewan Penata Layanan
Gereja Kristen Sumba, Waingapu.
Koentjaraningrat,
1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Murni, Sri,
2007. “Malaysia-Indonesia dalam Folklor Sumba.” Makalah pada
“Persidangan 50 Tahun Merdeka : Hubungan malaysia Indonesia, 17-
21 Juli 2007 di Universiti Malaysia. Makalah diunduh tanggal 26 Juni
2009 dari:
http://ccm.um.edu.my/ccm/navigation/academics/faculties/fsss/news_e
vents/past-event/working-
paper/;jsessionid=2EEBEC6B85F1C898824BCA6746563FDB
Melalatoa, M. Junus,
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jilid L—Z. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Hlm.
789-795.
Pritchard, E.E. Evans,
1984. Teori-teori tentang Agama Primitif, cet. pertama. Jakarta: Pusat
Latihan, Penelitian, dan Pengembangan Masyarakat (PLP2M).
Wellem, Frederiek Djara,
2001. Injil dan Marapu: Suatu Studi Historis-Teologis Perjumpaan Injil
dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1900. Jakarta: BKP
Gunung Mulia.
Yewangoe, A.A.,
1980. “Korban dalam Agama Marapu.” Artikel dalam Peninjau (1980),
hlm. 52-67.
__________________
*Lukman Solihin adalah alumnus Jurusan Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, dan bekerja
sebagai peneliti pada Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Yogyakarta.
________________________________
Kata Kunci: sunda kecil, pulau cendana, chendan island, sandelwood island, kuda sandel, kabihu,
kabisu, paraingu, agama lokal, agama asli, agama lokal sumba, agama sumba, marapu, nenek moyang,
dewa, ilah, anatala, uma mbatangu, rumah sumba, perjamuan dewa, marapu biasa, leluhur, marapu
15
ratu, maha marapu, hupu ina-hupu ama, mawulu tau-majii tau, namawulu wangu lima-namahawada
wangu ngaru, katoda, megalit, batu pemujaan, sesaji, kayu kunjuru, kayu kanawa, parai marapu, nuku-
hara, katoda, konsep marapu, roh halus, rumah besar, uma marapu, tugu kampung, katoda paraingu,
tugu halaman, katoda kawindu, tugu pintu, katoda pindu, tugu padang, katoda padangu, tugu kebun,
katoda woka, tugu kebun, tugu laut, katoda purungu mihi, tugu muara, katoda mananga, tugu untuk
berperang, andungu, tugu batas tanah, katoda padira tana, kosmologi sumba, rumah sumba, uma
mbatangu, uma pakopahi, maramba, kabihu, ata, uma dana, bei uma, kali kambunga, kubur batu, reti
berkaki, reti berdinding, reti bertingkat, reti tanpa kaki, Pritchard, Atmosudiro, Dhavamony, Sharyn
Graham, Kapita, Sri Murni, Melalatoa, Wellem, Yewangoe.
Metadeskripsi: Marapu merupakan agama lokal yang dianut oleh masyarakat Pulau Sumba di
Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Sumba adalah salah
satu dari gugusan pulau-pulau yang dahulu disebut sebagai “Sunda Kecil”.
16