Anda di halaman 1dari 16

Kepercayaan Marapu:

Telaah atas Konsep Tuhan, Nenek Moyang, dan Roh Halus pada
Masyarakat Sumba

Oleh: Lukman Solihin

A. Pendahuluan

Marapu merupakan kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat Pulau


Sumba di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Kepercayaan asli masyarakat Sumba ini tetap dianut oleh sebagian
masyarakat Sumba hingga kini, di samping agama resmi yang mulai
diinternalisasi dan dianut oleh masyarakat Sumba pada paruh terakhir abad
ke-19. Pekabaran injil di Pulau Sumba tercatat pertama kali dilakukan oleh
seorang zendeling bernama JJ. van Alphen sekitar tahun 1881. Kendati tidak
begitu memuaskan, namun misi yang dilakukan oleh Alphen merupakaan
permulaan misi gereja di Pulau Sumba (Th. Van den End, 2001:262).

Pulau Sumba adalah salah satu dari gugusan pulau-pulau yang dahulu disebut
sebagai “Sunda Kecil”, yang terdiri dari Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba,
Flores, dan Timor. Gugusan pulau-pulau ini kemudian diganti sebutannya
menjadi “Nusa Tenggara” oleh Prof. Muhammad Yamin dengan mengacu pada
posisinya yang berada di sudut Tenggara kepulauan Indonesia (Oe. H. Kapita,
1976:11). Pulau Sumba memiliki luas sekitar 11.587,5 kilometer persegi. Di
sebelah Utara, pulau ini berbatasan dengan Selat Sumba yang
memisahkannya dengan Pulau Flores, di sisi Timur berbatasan dengan Laut
Sawu yang memisahkan dengan Pulau sawu, Pulau Rote, dan Pulau Timor,
sementara di sisi Selatan dan Barat berbatasan dengan Samudera Hindia (M.
Junus Melalatoa, 1995:789).

Di kalangan pelaut Eropa, Pulau Sumba dikenal dengan dua sebutan, yakni
Chendan Island (Pulau Cendana) dan Sandelwood Island (dalam bahasa
Belanda disebut Sandelhout Eiland). Menurut Kapita (1976:12), setelah
pelayaran Fernando de Magelhaens sekitar tahun 1519-1521, Pulau Sumba
mulai dikenal oleh para pelayar dunia melalui peta yang dibuat oleh Pigafetta,
salah seorang rekan pelayaran Magelhaens. Dalam peta tersebut, Sumba
diberi nama Chendan Island, karena ketika itu Pulau Sumba dikenal sebagai
penghasil kayu cendana. Dalam perkembangannya, hasil kayu cendana kian
merosot, bahkan hilang sama sekali karena ekplorasi hutan yang tidak
terkendali. Sementara para pelayar Inggris menyebut Sumba dengan nama
Sandelwood Island, karena mereka sering membeli kuda-kuda Sumba yang
disebut kuda sandel (sandel horse).

Adapun masyarakat setempat menyebut Pulau Sumba dengan sebutan Tana


Humba (tana = tanah atau pulau, humba = sumba). Masyarakat Sumba
menyebut diri mereka dengan sebutan Tau Humba yang berarti orang sumba
(Melalatoa, 1995:789). Namun dalam pemahaman Kapita, humba tidak hanya
memiliki arti sumba (sebagai sebutan untuk Pulau Sumba), melainkan juga
memiliki makna asli. Sehingga, sebutan Tana Humba memiliki arti tanah asli,

1
sementara Tau Humba adalah sebutan untuk orang asli Sumba. Penafsiran ini
didasarkan atas lawan kata Humba (asli), yaitu Jawa (asing). Contohnya,
dalam masyarakat Sumba dikenal sebutan Uma Humba (rumah asli
masyarakat Sumba) dan Uma Jawa (rumah dengan bentuk lain/asing) (Kapita,
1976:12).

Perkiraan lain mengenai asal kata Humba dikatakan oleh Frederiek Djara
Wellem. Menurutnya, nama Humba berasal dari nama nenek moyang
(perempuan) yang pertama kali mendiami pulau ini. Nenek moyang tersebut
memiliki suami, yaitu Umbu Walu Mandoku. Umbu Walu Mandoku menamai
pulau tersebut dengan nama istrinya, karena merasa gembira telah mencapai
pulau yang diimpikan dalam pelayaran yang sangat panjang. Dalam cerita
rakyat Sumba disebutkan, nenek moyang mereka berasal dari Malaka, yang
kemudian berlayar melewati Singapura, Riau, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa,
Flores, Rote, Sawu, hingga mendarat di Tanjung Sasar (Sumba) (Wellem,
2001:15-16). Dalam versi yang agak berbeda disebutkan, nenek moyang
orang Sumba berlayar dari Malaka (Malaka), melewati Tana Bara (Singapura),
Hapa Riu – Ndua Riu (Riau), Hapa Jawa – Ndua Jawa (Jawa), Ruhuku – Mbali
(Bali), Ndima (Bima), Ndau (Dao), Haba (Seba/Sawu), Rai Njua (Raejua),
kemudian mendarat di Tana Humba (Pulau Sumba) (Sri Murni, 2007:3; Kapita,
1976:13-14).

Setelah kedatangan nenek moyang tersebut, kehidupan di Pulau Sumba mulai


ditata. Penduduk pertama kemudian membagi kelompok yang disebut dengan
kabihu atau kabisu. Kabihu atau kabisu adalah klan, yaitu kelompok yang
berkembang berdasarkan garis kekerabatan. Setelah berpisah, masing-masing
kabihu kemudian membangun permukiman yang disebut paraingu dan
mengatur kehidupan sosial-budaya, seperti beripar-berbiras, upacara
perkawinan, kelahiran, hingga kematian (Sri Murni, 2007:3). Dalam
perkembangannya, paraingu biasanya dibangun di atas bukit dan dikelilingi
pagar batu dan tumbuhan berduri. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi
permukiman dari serangan musuh (Kapita, 1976: 14).

Foto 2
Permukiman masyarakat Sumba.
Sumber: http://www.pbase.com/travelgame/nusatenggara

Para leluhur yang datang pertama ke Pulau Sumba sangat dihormati oleh para
keturunannya hingga kini. Penghormatan terhadap arwah leluhur inilah yang
kemudian melahirkan agama lokal yang disebut kepercayaan Marapu.
Kepercayaan Marapu mengkultuskan arwah nenek moyang (leluhur) sebagai
perantara untuk memuja Yang Maha Pencipta atau ilah tertinggi (Kapita, 1976:
14; Wellem, 2004: 41-42; dan Murni, 2007:5).

Selain merujuk kepada sebuah sistem religi tertentu yang dianut oleh
masyarakat Sumba, istilah marapu juga menunjuk kepada makna lain yang
lebih sempit sifatnya, yaitu arwah nenek moyang. Istilah Marapu sebagai
kepercayaan dan marapu sebagai nenek moyang memang terkadang agak
sulit dibedakan, mengingat agama lokal ini lahir dari pengkultusan terhadap

2
nenek moyang itu sendiri. Namun, harus dipahami bahwa arwah nenek
moyang (marapu) tersebut merupakan satu elemen saja (meskipun
merupakan elemen yang sangat penting) dalam konsep dan pelaksanaan
ritus-ritus agama lokal Marapu, di samping elemen-elemen lain. Dalam tulisan
ini, marapu sebagai arwah nenek moyang akan mengambil peran besar dalam
deskripsi mengenai agama lokal masyarakat Sumba tersebut. Marapu sebagai
kepercayaan lokal akan ditulis dengan huruf “M” (besar) dan marapu yang
mengacu kepada nenek moyang akan ditulis dengan huruf “m” (kecil).

Tulisan ini mencoba untuk menelaah (1) konsep-konsep yang terdapat di


dalam kepercayaan Marapu, serta (2) manifestasinya dalam pola permukiman
dan bentuk rumah, tempat-tempat pemujaan, serta ritus pengurbanan dan
upacara kematian. Dalam kajian ini, penulis menggunakan kerangka
pemahaman yang diajukan oleh Clifford Geertz, yang mencoba memahami
agama (dalam hal ini agama lokal Marapu) sebagai sistem simbol. Agama
sebagai sistem simbol, menurut pendapat Geertz, mempengaruhi motivasi
hidup, menjadi konsep untuk memaknai tatanan umum eksistensi manusia,
serta membungkus konsep-konsep itu ke dalam berbagai pancaran faktual
sehingga nampak realistis (Geertz, 1992:5).

Geertz memahami agama sebagai “model dari kenyataan” (model of reality),


yang sekaligus juga menjadi “model untuk kenyataan” (model for reality)
(Geertz, 1992:5). Agama merangkum pengetahuan mengenai realitas
kehidupan yang terpatri di dalam konsep dan ajaran-ajarannya. Konsep atau
ajaran-ajaran tersebut merupakan pantulan dari kehidupan yang ideal atau
kehidupan yang diangankan (model of reality). Di samping sebagai pantulan
dari realitas, konsep atau ajaran-ajaran dalam agama juga menjadi panduan
atau “peta kognitif” bagi penganutnya untuk menjalani kehidupan yang sesuai
ajaran agama tersebut. Pada model yang terkhir ini, agama menjadi model for
reality.

Konsep-konsep dalam agama Marapu merupakan pantulan dari angan-angan


untuk membentuk relasi yang ideal antara manusia dan dunia roh. Konsep-
konsep tersebut kemudian menjadi petunjuk (“peta kognitif”) bagi manusia
untuk menjalani kehidupan sesuai dengan konsep-konsep tersebut. Relasi
antara model of dan model for ini dapat dilihat pada manifestasi, yakni
bentuk-bentuk riil yang menunjukkan relasi antara konsep-konsep agama dan
kenyataan kehidupan sehari-hari. Manifestasi-manifestasi tersebut muncul
dalam berbagai bentuk, yang meminjam pengelompokan tiga wujud
kebudayaan Koentjaraningrat, dapat dilihat pada konsep (gagasan), perilaku,
dan artefak (budaya materi) (Koentjaraningrat, 1994:11).

Melalui kajian ini penulis berharap dapat memahami secara lebih utuh konsep
dan manifestasi agama Marapu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Sumba. Sumber utama kajian ini adalah buku-buku maupun artikel yang
mendeskripsikan sejarah dan kehidupan sosial budaya masyarakat Sumba.

B. Konsep-konsep dalam Kepercayaan Marapu

3
Dari segi etimologis, istilah marapu merupakan gabungan dua kata yang
apabila dipecah dapat menimbulkan makna yang berbeda-beda. Menurut L.
Ovlee (dalam Wellem, 2004: 41), kata marapu dianggap berasal dari dua kata,
yakni ma dan rappu. Ma bermakna “yang”, dan rappu bermakna “dihormati”,
“disembah”, dan “didewakan”. Sehingga, marappu merujuk pada arti sesuatu
yang dihormati, disembah, atau didewakan. A. A. Yewangoe (1980:52)
berpendapat bahwa marappu merupakan gabungan dari kata ma (yang) dan
rappu (tersembunyi), sehingga kata marappu bermakna “yang tersembunyi”.
Selain itu, Yewangoe juga memperkirakan bahwa marappu berasal dari mera
(sama/serupa) dan appu (nenek moyang). Dalam istilah sehari-hari,
masyarakat Sumba memang biasa menyebut nenek moyang mereka dengan
sebutan marapu. Dalam gabungan kata yang terakhir ini nampak bahwa
Marapu merupakan manifestasi dari penghormatan masyarakat Sumba
terhadap leluhur mereka.

Kepercayaan Marapu dapat digolongkan sebagai salah satu dari agama-


agama arkais. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ciri khas agama ini, seperti
pengultusan terhadap arwah leluhur, kepercayaan terhadap roh halus dan
kekuatan-kekuatan gaib, serta fetisisme, yaitu pemujaan terhadap benda-
benda keramat. Dalam kacamata Yewangoe (1980:52), kepercayaan Marapu
dapat dikelompokkan kepada agama-agama alam, sebab di dalam agama ini
kuasa dan kekuatan alam sangat dihormati dan mengambil peran penting
dalam konsep kepercayaannya.

Meminjam pengelompokan Mariasusai Dhavamony (1995) tentang bentuk-


bentuk “agama primitif”, maka agama Marapu dapat dikelompokkan sebagai
agama yang berbasis pada animisme dan pemujaan terhadap leluhur.
Animisme adalah kepercayaan terhadap roh, di mana setiap makhluk hidup
dan benda mati dianggap mempunyai roh. Sistem kepercayaan ini
diperkirakan muncul sebagai usaha untuk menjelaskan pengalaman manusia
ketika bermimpi, tidak sadarkan diri atau kerasukan (trance), hingga
menjelaskan konsep kehidupan dan kematian. Jika seseorang meninggal,
maka rohnya akan pergi dari tubuhnya. Hal ini memantik pemikiran bahwa
jiwa atau roh dapat terpisah dari tubuh. Kepercayaan terhadap roh ini
kemudian melahirkan pemujaan terhadap arwah para leluhur yang dipercaya
memiliki kekuatan untuk melindungi atau merusak kehidupan manusia
(Dhavamony, 1995:66-67, dan 79-80).

Setelah kematian, roh dianggap abadi, dan “hidup” dalam keseharian


manusia. Meskipun tidak terlihat, roh dapat dirasakan pengaruh dan
kekuatannya, misalnya melalui bencana alam maupun gagal panen yang
dianggap ditimbulkan karena kelalaian memuja roh nenek moyang tersebut.
Selain itu, kepercayaan terhadap roh juga menimbulkan pemujaan terhadap
benda-benda fetis, yaitu benda-benda keramat (jimat) yang dianggap didiami
roh atau dianggap mengandung daya magis (Dhavamony, 1995:68).

Kendati dapat dikelompokkan sebagai “agama primitif”, bukan berarti


kepercayaan Marapu tidak mengenal konsep ilah tertinggi. Pemujaan
terhadap arwah nenek moyang dan benda-benda keramat merupakan media

4
untuk memuja ilah tertinggi tersebut.

B. 1. Konsep mengenai Ilah Tertinggi

Masyarakat Sumba mengenal ilah tertinggi sebagai Pande Peku Tamu – Pande
Yura Ngara (ia yang tidak diketahui namanya). Meskipun dijuluki sebagai
“yang tidak diketahui namanya”, namun pada kenyataannya masyarakat
Sumba menamai ilah tertinggi tersebut dengan sebutan Anatala. Menurut
penyelidikan Kapita (dalam Wellem, 2004:42), nama Anatala kemungkinan
dipengaruhi oleh konsep Islam yang menyebut Tuhan dengan sebutan Allah
Ta’ala. Konsep ini mungkin dibawa oleh orang Ende (Flores) dan Bima
(Sumbawa) yang telah masuk Islam yang melakukan hubungan politik
maupun perdagangan dengan orang Sumba jauh sebelum orang Eropa datang
menguasai Pulau Sumba sekitar abad ke-19.

Nama ilah tertinggi tersebut dianggap keramat dan mempunyai kekuatan


magis, sehingga dilarang disebut sembarangan karena dapat menimbulkan
malapetaka. Nama Anatala hanya boleh disebutkan secara lirih (bahkan tidak
terdengar) oleh para rato/ratu, yaitu pemimpin ritus keagamaan orang Sumba
dalam upacara Perjamuan Dewa (Pamangu Ndewa). Upacara ini hanya
dilaksanakan delapan tahun sekali. Oleh sebab itu, dalam bahasa sehari-hari,
masyarakat Sumba mengganti nama Anatala dengan menyebut sifat-sifat
ketuhanannya, misalnya dengan perkataan Mawulu Tau – Majii Tau (ia yang
menciptakan manusia), Ina Mbulu – Ama Ndaba (ia adalah ibu dan bapa dari
segala sesuatu), Ina Nuku – Ama Hara (sumber dari segala aturan), dan
sebutan-sebutan penghormatan lainnya (Wellem, 2004:42-43).

Ilah tertinggi tersebut menempati dunia langit bersama para marapu, yaitu
nenek moyang pertama umat manusia. Dalam kosmologi masyarakat Sumba,
alam semesta terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan atas (langit), lapisan
tengah (bumi), dan lapisan bawah (di bawah bumi). Sebagai penguasa
tertinggi, Anatala yang disebut juga Hupu Ima – Hupu Ana (ibu dan bapa
segala sesuatu) tinggal di langit (Wellem, 2004:44; Kapita, 1976:229).

Dalam konsepsi masyarakat Sumba, langit terdiri dari delapan petala (lapis)
yang berbentuk kerucut: bagian paling atas memiliki dataran paling sempit,
sementara bagian paling bawah memiliki dataran paling luas. Pada lapis
pertama yang disebut Awangu Walu Ndani (lapis langit kedelapan) itu Hupu
Ima – Hupu Ana tinggal bersama para marapu. Namun, karena dirasa sempit
dan terlalu gelap gulita, Hupu Ima – Hupu Ana pindah ke lapis kedua, ketiga,
keempat, kelima, hingga ke lapis keenam. Pada lapis keenam, marapu Tara
Hau – Lulu Weu menempa emas untuk dijadikan bulan dan matahari, sehingga
tempat tersebut menjadi terang benderang (Kapita, 1976:229-231).

Tak berapa lama, para marapu turun ke lapis ketujuh dan kemudian ke lapis
kedelapan (lapis terakhir). Di lapis paling bawah ini, mereka melihat ada
dataran yang sangat luas di bawahnya, namun masih berupa air, sehingga
tidak mungkin untuk dijadikan tempat tinggal. Akhirnya, atas restu Hupu Ima
– Hupu Ana, para Marapu diijinkan untuk tinggal di dataran baru tersebut,

5
dengan cara menaburkan batu dan tanah pemberian Hupu Ima – Hupu Ana.
Batu dan tanah yang ditaburkan itu menjelma menjadi pulau-pulau besar dan
kecil, sehingga memungkinkan untuk ditinggali. Lalu dengan menggunakan
Panongu Bahi – Panongu Atu (tangga besi dan teras kayu), mereka turun ke
tanah yang disebut Malaka – Tana Bara (Kapita, 1976:231-232). Para Marapu
inilah yang dianggap sebagai nenek moyang masyarakat Sumba.

Foto 3
Lapisan-lapisan langit dalam kosmologi masyarakat Sumba.
Sumber: Oe. H. Kapita (1976), Sumba di Dalam Jangkauan Jaman, hlm. 229.

Dari konsepsi masyarakat Sumba ini dapat digambarkan bahwa eksistensi


Tuhan sangat dibedakan dengan manusia, baik karena sifatnya yang
adikodrati maupun tempatnya yang jauh di atas sana. Semula, ketika para
Marapu belum turun ke bumi, hubungan antara manusia dan ilah tertinggi
dapat terjalin secara langsung. Namun, sebagaimana disimpulkan Wellem
(2004:45), ketika mereka memutuskan untuk tinggal di bumi, maka relasi
antara Tuhan dan manusia kemudian terputus. Jalinan komunikasi dengan
Tuhan hanya dapat terjadi dengan perantara arwah nenek moyang, yaitu para
marapu. Melalui marapu, manusia dapat memohonkan pertolongan untuk
disampaikan kepada Hupu Ima – Hupu Ana, dan melalui marapu pula Hupu
Ima – Hupu Ana mengirimkan pesan atau jawaban atas permohonan tersebut.

B.2. Konsep mengenai Marapu

Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, marapu adalah kelompok


manusia pertama yang turun dari langit untuk menetap di bumi. Sebagai
generasi pertama yang turun dari langit, marapu dianggap sebagai makhluk
yang mewarisi sifat-sifat adikodrati. Meskipun demikian, di sisi yang lain
marapu juga merupakan sosok manusia yang memiliki sifat-sifat sebagaimana
manusia pada umumnya. Di sini terdapat dualisme, di mana marapu
dipersepsi sebagai “dewa” yang sekaligus memiliki sifat-sifat sebagai
“manusia”. Sebagai dewa, marapu merupakan pembantu langsung Hupu Ima
– Hupu Ana yang memiliki berbagai kelebihan dan kesaktian, sedangkan
sebagai manusia marapu memutuskan untuk tinggal di bumi sebagai manusia
biasa. Untuk menghormati arwah para Marapu ini, masyarakat Sumba lalu
memujanya sebagai dewa penolong.

Konsepsi yang hampir sama terdapat pada masyarakat Bugis yang melihat
sosok bissu (pendeta masyarakat Bugis) sebagai manusia yang memiliki posisi
ambivalen. Di satu sisi, para bissu dianggap mewarisi darah para dewa
sehingga memiliki kelebihan-kelebihan magis, sedangkan di sisi lain ia juga
mewarisi sifat-sifat sebagai manusia yang bisa sakit atau mati. Namun, berkat
sifatnya yang ambivalen itulah kemudian bissu dianggap memiliki
kemampuan untuk memberkati dan menjadi penghubung antara dunia
manusia dan dunia roh (Sharyn Graham, 2002).

Sebagaimana di dunia manusia, di dunia roh arwah nenek moyang dipersepsi


memiliki tingkatan-tingkatan. Pada tingkat tertinggi terdapat “maha leluhur”

6
yang disebut marapu ratu, yaitu nenek moyang tertinggi, dan dibawahnya
terdapat leluhur biasa atau marapu. Marapu ratu adalah arwah nenek moyang
yang pertama turun dari langit. Marapu ratu inilah yang kemudian
menurunkan para leluhur biasa. Para leluhur biasa ini terbagi lagi ke dalam
leluhur besar (marapu bokulu) dan leluhur biasa (marapu pakahopi). Setiap
klan atau kabihu memiliki marapu ratu dan marapu biasa sendiri, sesuai
dengan legenda setiap kabihu. Para marapu kabihu ini adalah mereka yang
dianggap sebagai pendiri, pemimpin, dan pahlawan di dalam kabihu tersebut
(Wellem, 2004:45-46).

Untuk menghormati para marapu, masyarakat Sumba membuat simbol


berupa benda-benda, seperti tombak, benda-benda dari emas, gong, gading,
manik-manik, dan benda-benda khusus lainnya. Benda-benda ini dianggap
sebagai obyek fetis, dikeramatkan, dan tidak sembarang orang dapat
menyentuhnya. Hanya para rato yang boleh memegangnya dalam suatu
upacara keagamaan. Benda-benda keramat tersebut disimpan di dalam kotak
atau sebuah peti dan diletakkan di atas loteng rumah. Masyarakat Sumba
percaya bahwa melalui benda-benda tersebut marapu hadir memberikan
pertolongan (Kapita, 1976:15; Melalatoa, 1995:794; dan Wellem, 2004:46).
Simbol-simbol sakral ini, meminjam perkataan Geertz, telah membentuk
suasana yang menarik si penyembah kepada seperangkat aturan yang harus
atau tidak boleh dilakukan (Geertz, 1992:11). Benda-benda itu dikultuskan
karena merupakan simbol kehadiran marapu.

Keberadaan marapu dapat dikatakan telah menggantikan peran Tuhan (Hupu


Ima – Hupu Ana) dalam kehidupan masyarakat Sumba. Pemahaman bahwa
Tuhan terletak jauh di atas sana membuat posisi marapu menjadi penting.
Marapu penting karena dapat menjadi penghubung antara manusia dengan
Tuhan. Selain itu, ia telah mewakili Tuhan dalam tugas-tugas menolong atau
menghukum manusia. Jika marapu dipuja, maka ia akan memberikan
pertolongan, perlindungan, dan keselamatan. Begitu juga sebaliknya, jika ia
tidak disembah akan menimbulkan malapetaka.

B. 3. Konsep mengenai Roh Halus

Di samping percaya terhadap roh para leluhur, masyarakat Sumba juga


meyakini adanya roh-roh halus yang dapat menolong atau mencelakakan
kehidupan manusia. Roh-roh halus ini mendiami tempat-tempat tertentu.
Seperti diutarakan oleh Dhavamony (1995:67), kepercayaan terhadap roh
merupakan kebutuhan untuk menangkal kejahatan, musibah, atau untuk
menjamin keselamatan. Di dalam pemujaan terhadap roh terdapat komunikasi
antara manusia kepada roh, yaitu permohonan manusia untuk diberikan
keselamatan.

Sebagaimana arwah nenek moyang (marapu), di sini roh juga bersifat


ambivalen. Di satu sisi ia menjelma sebagai kekuatan baik—misalnya dengan
memberikan keselamatan dan kesejahteraan, namun di sisi lain ia dapat pula
menjelma sebagai kekuatan jahat—mendatangkan musibah atau mengancam
keselamatan. Oleh karena itu, roh-roh halus juga harus dipuja supaya

7
keberadaannya tidak mengganggu atau menimbulkan masalah.

Roh-roh halus yang memiliki kekuatan magis ini bermacam-macam. Misalnya,


masyarakat Sumba mengenal roh halus yang mendiami tanah atau wilayah
tertentu. Roh ini menguasai wilayah itu dan dapat memberikan kesuburan
pada tanah atau memberikan hasil buruan yang melimpah. Pendek kata, roh
tanah (maramba tana) dapat memberikan kemakmuran jika warga yang
menggunakan tanah tersebut menghormatinya. Ada pula roh yang menemani
seseorang ketika dalam perjalanan. Roh yang disebut Yora Pangga – Yora ini
akan menemani seseorang dalam berburu, berdagang, atau menangkap ikan,
sehingga orang tersebut dapat berhasil melakukan pekerjaannya (Wellem,
2004:46).

Selain roh-roh yang memiliki karakter baik, ada pula roh jahat yang dapat
menggiring manusia kepada perbuatan jahat dan mencelakakan orang lain.
Misalnya roh suanggi, yaitu roh penyihir yang bisa membuat seseorang sakit.
Apabila terdapat anggota kabihu yang dianggap memiliki atau menggunakan
roh suanggi, maka ia akan diusir, dianiaya, atau bahkan dibunuh oleh warga
kabihu lainnya. Roh jahat lainnya adalah “roh penipu” yang dapat membuat
seseorang suka menipu, “roh jahat” yang dapat menggiring seseorang
berbuat kejahatan, serta “roh perut” yang dapat membuat orang makan
dengan rakus (Wellem, 2004:46-48).

C. Manifestasi Kepercayaan Marapu

Kepercayaan dalam agama Marapu yang diteruskan secara turun temurun


telah melahirkan berbagai manifestasi dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Sumba. Dalam pembahasan di bawah ini akan terlihat bahwa
konsep-konsep di dalam agama Marapu telah menjelma menjadi “peta
kognitif” (model for reality) bagi masyarakat Sumba. Berbagai manifestasi
sosial budaya tersebut antara lain dapat dilihat pada [1] formasi permukiman
penduduk (paraingu) dan bentuk rumah khas Sumba; [2] tempat-tempat
pemujaan; serta [3] ritus-ritus pengorbanan dan upacara kematian.

C.1. Permukiman dan Bentuk Rumah

Masyarakat Sumba membangun permukiman (paraingu) yang terdiri dari


bangunan-bangunan rumah beberapa klan (kabihu). Seperti telah disebutkan
sebelumnya, permukiman ini biasanya dibangun di atas bukit dengan pagar
batu dan tumbuhan berduri (biasanya tanaman sejenis kaktus berduri). Pagar
tersebut dimaksudkan untuk melindungi permukiman dari serangan musuh.
Letaknya yang berada pada ketinggian menggambarkan konsepsi masyarakat
Sumba yang percaya bahwa tempat ketinggian merupakan kediaman arwah
para nenek moyang.

Kepercayaan terhadap Marapu telah mempengaruhi formasi permukiman


yang dibangun di dalam paraingu. Setiap paraingu biasanya dilengkapi
dengan rumah pemujaan, tugu pemujaan (katoda), dan makam. Rumah-
rumah tradisional Sumba biasanya dibangun berderet-deret dengan bagian

8
tengah sebagai makam. Di samping makam, terdapat tugu pemujaan (katoda)
dan rumah besar (uma bokulu) yang berfungsi sebagai tempat pemujaan
terhadap marapu dan roh-roh halus. Tugu-tugu pemujaan juga dibangun di
pintu gerbang paraingu yang berfungsi sebagai pelindung dari serangan
musuh (Kapita, 1976:351-353).

Selain mempengaruhi formasi permukiman warga, kepercayaan terhadap


Marapu juga telah membingkai pemaknaan terhadap rumah-rumah tradisional
Sumba. Seperti disampaikan oleh Melalatoa (1995:793), secara sosial
masyarakat Sumba mengenal pembagian tiga lapisan sosial, yaitu bangsawan
(maramba), orang merdeka atau orang biasa (kabihu), serta hamba sahaya
(ata). Namun, dalam perkembangannya lapisan-lapisan sosial ini mulai
bergeser, meskipun lapisan pertama dan kedua tetap bertahan hingga
sekarang (Atmosudiro, 1982:58). Lapisan bangsawan merupakan lapisan
sosial tertinggi yang memegang peranan penting dalam bidang ekonomi,
politik, sosial, dan budaya. Dari lapisan inilah dipilih seorang penguasa atau
raja. Bentuk-bentuk rumah yang dibangun oleh kaum bangsawan ini juga
berbeda dengan orang biasa. Seperti diutarakan oleh Murni (2007:6), rumah-
rumah kaum bangsawan biasanya dicirikan oleh bentuk atapnya yang
menyerupai menara (uma mbatangu), sedangkan rumah orang biasa bentuk
atapnya menyerupai limas (uma kamudungu).

Bentuk atap uma mbatangu yang menyerupai menara dibuat berdasarkan


kosmologi masyarakat Sumba yang menganggap letak marapu berada pada
lapisan paling atas (loteng rumah). Di tempat tersebut simbol-simbol marapu
(berupa benda-benda keramat) diletakkan. Meskipun terdapat perbedaan
pada bentuknya, namun rumah orang biasa (uma kamudungu) juga memiliki
konsep lapisan yang sama, yaitu lapisan pertama (loteng rumah) untuk
meletakkan benda-benda keramat, lapisan kedua untuk tempat tinggal
manusia, dan lapisan ketiga (bagian bawah) untuk tempat hewan (Murni,
2007:6; Melalatoa, 1995:794).

Foto 4
Caption: Rumah tradisional Sumba.
Sumber: http://www.pbase.com/asianodyssey/eastsumba

Secara umum, menurut Kapita (1976:344-345), bagian-bagian rumah khas


Sumba memiliki nama sesuai dengan fungsinya, yakni:
a. Uma dana, yaitu bagian loteng rumah untuk tempat menyimpan benda-
benda keramat.
b. Bei uma, adalah induk rumah atau tempat tinggal penghuninya. Selain
sebagai tempat tinggal, bagian ini juga biasa digunakan untuk
menerima tamu dan menyelenggarakan musyawarah.
c. Kali kambunga, ialah kolong rumah yang digunakan sebagai kandang
babi dan kandang kuda.

C.2. Tempat-tempat Pemujaan

Pemujaan terhadap marapu telah membentuk sistem kepercayaan

9
masyarakat Sumba yang bersifat animistis. Rumah pemujaan, tugu, dan
benda-benda khusus dibuat dengan maksud sebagai media pemujaan
terhadap arwah leluhur dan para roh halus tersebut. Keberadaan fisik sarana-
sarana pemujaan ini penting untuk meyakinkan para pemeluk kepercayaan
Marapu bahwa arwah leluhur dan roh halus betul-betul berada di dekat
mereka, mengawasi segala perilaku, dan menerima persembahan serta doa-
doa keselamatan yang dipanjatkan kepadanya. Benda-benda inilah yang
dalam pengertian antropologi agama disebut benda-benda fetis (Evans
Pritchard, 1984:26).

Dalam sistem kepercayaan masyarakat Sumba, pemujaan terhadap arwah


leluhur dan roh halus dilakukan di dua tempat, yaitu pemujaan di dalam
rumah dan pemujaan di luar rumah. Pemujaan di dalam rumah terbagi lagi ke
dalam dua tempat, yaitu di “rumah yang tidak didiami orang” (uma
ndapataungu), dan di “rumah besar” (uma bokulu). Pemujaan yang dilakukan
di “rumah yang tidak didiami orang” merupakan pemujaan terhadap marapu
ratu yang diadakan pada waktu-waktu tertentu, misalnya ketika panen.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, marapu ratu adalah nenek
moyang utama dari sebuah kabihu, oleh sebab itu pemujaan terhadapnya juga
dilakukan secara khusus dan ditempat yang paling khusus pula. Rumah
pemujaan ini dibangun dengan bentuk lebih kecil daripada rumah pada
umumnya, menggunakan atap dari ijuk, terletak agak jauh dari permukiman,
dan tidak dijadikan sebagai tempat tinggal manusia. Rumah ini hanya boleh
didiami oleh marapu ratu sendiri, sehingga sering juga disebut “rumah
marapu ratu” (uma ratu) (Wellem, 2004:48).

Berbeda dengan pemujaan di “rumah yang tidak didiami orang”, pemujaan


yang dilakukan di dalam “rumah besar” adalah pemujaan terhadap marapu
biasa. Pemujaan ini dilakukan di sebuah rumah yang merupakan tempat
tinggal pertama klan tersebut. Rumah ini memiliki tiga tingkat sesuai dengan
kosmologi masyarakat Sumba, yaitu bagian atas sebagai tempat marapu
tinggal, bagian tengah untuk manusia, dan bagian bawah untuk hewan
peliharaan (Wellem, 2004:49).

Selain pemujaan di dalam rumah, pemujaan terhadap arwah leluhur dan roh
halus juga dilakukan di luar rumah, yaitu pada beberapa lokasi yang dibuat
secara khusus. Orang Sumba percaya bahwa tempat-tempat tertentu dikuasai
oleh arwah nenek moyang dan roh halus yang memiliki kekuatan gaib. Oleh
sebab itu, untuk memohon keselamatan atas semua warga kabihu, pada
tempat-tempat tersebut dibuat tugu pemujaan yang disebut katoda. Katoda
adalah sebuah tugu pemujaan yang terbuat dari dua batang kayu yang
ditancapkan, kemudian di tengahnya diletakkan sebuah papan batu sebagai
tempat persembahan. Dua batang kayu tersebut melambangkan laki-laki dan
perempuan.

Menurut Yewangoe (1980:57-58) dan Wellem (2004:51-53), ada beberapa


katoda yang biasa dibuat oleh masyarakat Sumba, antara lain:

1. Tugu Kampung (katoda paraingu). Tugu pemujaan ini dibuat di depan

10
rumah besar. Pemujaan dan sesaji yang dipersembahkan biasanya
dimaksudkan untuk mendoakan keselamatan seluruh warga paraingu
(kampung).
2. Tugu Halaman (katoda kawindu). Tugu ini didirikan di depan rumah
masing-masing warga untuk memohon kesembuhan dan berkah ketika
akan menanam padi.
3. Tugu Pintu (katoda pindu). Tugu ini didirikan di depan gerbang paraingu,
bertujuan mengusir wabah penyakit dan musuh yang berniat
menyerang paraingu.
4. Tugu Padang (katoda padangu). Tugu ini berada di padang
penggembalaan hewan, dimaksudkan untuk memohon kesuburan dan
mengusir penyakit hewan.
5. Tugu Kebun (katoda woka, latangu). Didirikan di kebun-kebun dan
sawah untuk memohon kesuburan tanah dan dihindarkan dari hama
tanaman.
6. Tugu Turun ke Laut (katoda purungu mihi). Didirikan di tepi pantai untuk
memohon hasil laut yang melimpah dan dijauhkan dari malapetaka
ketika turun melaut.
7. Tugu Muara (katoda mananga). Tugu ini dipancang di muara sungai,
supaya air tetap melimpah dan dapat memenuhi kebutuhan paraingu.
8. Tugu untuk Berperang (andungu). Dipancang di depan rumah besar dan
digunakan untuk memohon kemenangan ketika akan berperang.
Setelah meraih kemenangan, kepala pimpinan musuh biasanya
digantung di tugu ini dengan diiringi tari-tarian kemenangan.
9. Tugu Batas Tanah (katoda padira tana). Tugu yang didirikan di batas-
batas ladang, sebagai permohonan untuk mengusir roh jahat yang
dapat merusak ladang.

Di samping katoda, pemujaan terhadap marapu di luar rumah juga dilakukan


di pinggir hutan, di bawah pohon beringin atau pohon asam. Pemujaan di
tempat yang disebut pahomban ini dilakukan untuk memuja marapu biasa,
serta roh-roh halus lainnya. Pemujaan dilakukan dengan memberikan sesajian
dalam upacara yang disebut Perjamuan Dewa (Pamangu Ndewa) (Wellem,
2004: 53).

C.3. Kurban dan Upacara Kematian

Upacara Pengurbanan

Sebagai agama yang bersumber dari pemujaan terhadap leluhur, maka


kepercayaan Marapu dicirikan oleh berbagai ritus pengurbanan dan upacara
kematian untuk menghormati para leluhur. Menurut pemahaman Yewangoe,
upacara pengurbanan bagi masyarakat sumba memiliki dua maksud. Pertama,
untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan arwah para leluhur. Dalam
hal ini upacara pengurbanan bertujuan untuk membangun komunikasi dengan
arwah nenek moyang, sehingga terjadi keseimbangan antara dunia manusia
dan dunia roh. Kedua, upacara pengurbanan bisa juga bertujuan untuk
memperbaiki hubungan yang telah “rusak” karena terdapat anggota kabihu
yang melanggar adat istiadat.

11
Dalam upacara pengurbanan, masyarakat sumba biasanya menyiapkan
hewan-hewan untuk dikurbankan, seperti ayam, babi, kerbau, dan kuda.
Selain hewan-hewan peliharan, terdapat juga sesajian berupa sirih pinang
serta hasil-hasil panen. Sirih pinang adalah lambang pergaulan masyarakat
Sumba, sehingga dalam upacara pengurbanan sirih pinang dimaksudkan
sebagai upaya memohon izin kepada arwah para leluhur. Adapun hasil panen
biasanya pantang dikonsumsi sebelum diadakan upacara pengurbanan untuk
leluhur. Hal ini bertujuan untuk memohon izin mengkonsumsi hasil panen
sebagai berkah yang diberikan oleh para leluhur. Setiap upacara
persembahan biasanya dipimpin oleh seorang rato (imam) yang dikenal
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan marapu melalui kurban-
kurban yang disajikan (Yewangoe, 1980:59-61).

Foto 5
Sebuah ritus pengurbanan babi.
Sumber: http://www.pbase.com/travelgame/nusatenggara

Pengurbanan hewan-hewan peliharaan menyebabkan usaha peternakan yang


dilakukan oleh masyarakat Sumba setidaknya mempunyai tiga tujuan, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, perdagangan, serta untuk memenuhi
persediaan upacara pengurbanan (Atmosudiro, 1982:58). Oleh karena
pentingnya hewan-hewan ternak tersebut, maka penyembelihan hewan-
hewan ternak tidak dilakukan sembarangan (dalam istilah Sumba disebut
“teba mayela”, artinya menyembelih dengan sia-sia) (Yewangoe, 1980:59).

Upacara Kematian

Peristiwa kematian bagi masyarakat Sumba dianggap sebagai permulaan


kehidupan baru di alam baka yang disebut alam para marapu (parai marapu).
Orang yang meninggal harus dihormati dan diupacarai dengan berbagai
pengurbanan agar arwahnya bisa sampai ke parai marapu (Atmosudiro,
1982:58). Sebagaimana mitos mengenai turunnya nenek moyang dahulu dari
langit ke bumi (Malaka – Tana Bara) lalu berlayar hingga sampai ke Pulau
Sumba, maka demikian pula arwah orang yang meninggal dipercaya akan
menempuh rute yang sama untuk mencapai parai marapu. Oleh sebab itu,
kerabat yang masih hidup perlu untuk memberikan bekal kubur dan
menyelenggarakan upacara kematian bagi sanak saudara yang meninggal.
Besar kecilnya upacara kematian dan bekal kubur juga bergantung pada
status sosial. Jika ia merupakan bangsawan, maka bekal kubur dan upacara
yang dilaksanakan semakin besar. Namun bila berasal dari masyarakat biasa,
bekal kubur dan upacara kematiannya diselenggarakan dengan cara yang
lebih sederhana (Melalatoa, 1995:794).

Apabila seorang bangsawan meninggal, maka jenazahnya tidak akan langsung


dikuburkan, melainkan disemayakan di dalam keranda selama beberapa hari
sambil menunggu anggota-anggota keluarga yang menetap di tempat yang
jauh. Dalam masa menunggu anggota keluarga tersebut, jenazah ditemani
oleh para kerabat dekat dan dilakukan persembahan kurban dengan cara

12
memotong ayam, babi, atau kerbau. Semakin banyak jumlah hewan yang
dipotong sebagai kurban, maka semakin besar pula berkat yang kelak akan
diberikan oleh arwah yang meninggal kepada anggota keluarga yang masih
hidup. Setelah diadakan berbagai upacara pengurbanan, maka jenazah
selanjutnya disemayamkan di rumah adat uma hutar (rumah sutera). Jenazah
baru akan dikubur setelah persiapan upacara kematian dan bekal kubur yang
dibutuhkan dirasa mencukupi (Atmosudiro, 1982:58; Melalatoa, 1995:794).

Dalam penelitian lapangan yang dilakukan oleh Melalatoa pada 1978, nampak
bahwa upacara adat kematian untuk seorang bangsawan membutuhkan
persiapan dan dana yang sangat besar. Upacara adat tersebut dihadiri oleh
sekitar 20.000 orang, dengan jumlah hewan yang disembelih mencapai 650
ekor, terdiri dari kerbau, kuda, sapi, dan babi. Untuk melapisi jenazah,
digunakan 111 lembar kain tenun Sumba yang harganya mahal. Selain itu,
jenazah dihias dengan berbagai perhiasan yang terbuat dari emas murni.
Berbagai bekal kubur tersebut merupakan bekal perjalanan arwah orang yang
meninggal menuju parai marapu (Melalatoa, 1995:794).

Setelah jenazah diletakkan di dalam sebuah lubang beserta bekal kuburnya,


maka lubang tersebut lalu ditutup dengan tanah, kemudian di atasnya
diletakkan batu berbentuk bulat atau persegi panjang. Di atas lempengan
batu tersebut, dibangun sebuah meja batu berkaki yang sering disebut “kubur
meja”. Tradisi kubur batu seperti ini merupakan salah satu peninggalan dari
jaman megalitik (Atmosudiro, 1982:61).

Foto 6
Kubur batu masyarakat Sumba.
Sumber: http://www.pbase.com/asianodyssey/eastsumba

Hasil penelitian Atmosudiro (1982:61) menyebutkan, terdapat beberapa tipe


kubur batu (reti) yang biasa dibuat oleh masyarakat Sumba Timur, antara lain:

1. Reti berkaki, pada umumnya terdiri dari sebongkah batu yang ditopang
oleh dua atau empat batu lain yang berfungsi sebagai kaki.
2. Reti berdinding, yang memiliki bentuk sama seperti reti berkaki, hanya
saja antara kaki (tiang) reti tersebut ditutup dengan lempengan-
lempengan batu sehingga menyerupai dinding.
3. Reti bertingkat (berundak), bentuknya seperti reti bertiang, namun pada
bagian batu yang ditopang ditambah batu lain yang lebih kecil, sehingga
bentuknya nampak berundak.
4. Reti tanpa kaki, yaitu sebongkah batu yang diletakkan di atas kubur
tanpa diberi tiang.

Setiap kubur batu juga menyimbolkan status sosial seseorang. Semakin besar
dan rumit pengerjaan sebuah kubur batu, maka dapat dipastikan jenazah
tersebut berasal dari lapisan sosial yang tinggi (bangsawan). Hal ini karena
proses pengerjaan dan pemindahan batu-batu tersebut memerlukan tenaga
dan biaya yang besar. Selain itu, kubur-kubur batu kaum bangsawan biasanya
juga dihiasi dengan ukiran-ukiran dan berbagai ornamen seperti patung atau

13
pahatan batu.

Foto 7 a & 7 b
Patung batu untuk menghormati leluhur.
Sumber: http://www.pbase.com/asianodyssey/eastsumba

D. Kesimpulan

Dalam pembahasan di atas telah dikemukakan bahwa Marapu merupakan


kepercayaan lokal yang bersumber dari pengultusan terhadap arwah nenek
moyang. Meskipun dipuja dan disembah sebagai dewa penolong, marapu
tidak dipersepsi sebagai Tuhan. Tuhan adalah entitas tertinggi yang terletak
jauh di atas langit dan tidak dapat dijangkau oleh manusia. Oleh karena itu,
perlu perantara untuk menghubungkan antara manusia dan Tuhan, di mana
peran tersebut dilakukan oleh marapu.

Selain menyembah arwah leluhur, ciri khas lain dari kepercayaan Marapu
adalah memuja para roh halus yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Baik
pemujaan terhadap marapu maupun roh halus sebetulnya bermuara pada
satu tujuan, yaitu memohon keselamatan atas kehidupan manusia. Kelalaian
memuja marapu dan roh halus adalah kelalaian adat yang risikonya dapat
membahayakan kehidupan. Dalam kacamata Yewangoe (1980:56-57), hal ini
menunjukkan bahwa para penganut Marapu hidup dalam ketergantungan
animistis. Segala perbuatan sehari-hari, peristiwa-peristiwa penting (seperti
daur hidup: kelahiran, perkawinan, dan kematian), dan penjagaan terhadap
sumber daya alam selalu digantungkan kepada kuasa-kuasa gaib.

Kepercayaan terhadap marapu ini kemudian menjadi “peta kognitif”


masyarakat Sumba dalam menjalani berbagai aspek kehidupan sosial
budayanya. Hal ini dapat disaksikan dari pola permukiman yang dibangun
dilengkapi dengan berbagai tempat pemujaan berupa rumah besar (uma
bokulu), tugu pemujaan (katoda), serta makam yang berupa kubur batu.
Bentuk rumah tradisional Sumba juga dibuat berdasarkan kosmologi tentang
pembagian ruang, yaitu bagian atas untuk tempat tinggal marapu, bagian
tengah tempat tinggal manusia, dan bagian bawah untuk kandang hewan.

Manifestasi lainnya terlihat dari ritus pengurbanan dan upacara kematian.


Ritus pengurbanan adalah upaya masyarakat Sumba membangun komunikasi
dengan marapu. Sedangkan upacara kematian merupakan bentuk nyata dari
penghormatan terhadap arwah (jiwa) orang yang meninggal. Arwah orang
yang meninggal ini dipercaya akan kembali ke dunia asali mereka, yaitu dunia
marapu (parai marapu), dengan rute yang sama seperti ketika marapu turun
dari langit dan berlayar menuju Pulau Sumba.

Daftar Pustaka

Atmosudiro, Sumijati,

14
1982. “Kubur di Sumba Timur dan Status Sosial.” Artikel dalam majalah
Basis, Februari 1982, hlm. 57-63.
Dhavamony, Mariasusai,
1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
End, Th. Van den,
2001. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an sampai
Sekarang. Jakarta: BPK. Gunung Mulia
Graham, Sharyn,
2002. “Sex, Gender, and Priests in South Sulawesi, Indonesia,” dalam
IIAS Newsletter|#29|November 2002. Diunduh tanggal 28 Maret 2009
dari: http://www.iias.nl/iiasn/29/IIASNL29_27.pdf
Geertz, Clifford,
1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Kapita, Oe. H.,
1976. Sumba di Dalam jangkauan Jaman. Waingapu: Panitia Penerbit
Naskah-naskah Kebudayaan Daerah Sumba, dewan Penata Layanan
Gereja Kristen Sumba, Waingapu.
Koentjaraningrat,
1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Murni, Sri,
2007. “Malaysia-Indonesia dalam Folklor Sumba.” Makalah pada
“Persidangan 50 Tahun Merdeka : Hubungan malaysia Indonesia, 17-
21 Juli 2007 di Universiti Malaysia. Makalah diunduh tanggal 26 Juni
2009 dari:
http://ccm.um.edu.my/ccm/navigation/academics/faculties/fsss/news_e
vents/past-event/working-
paper/;jsessionid=2EEBEC6B85F1C898824BCA6746563FDB
Melalatoa, M. Junus,
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jilid L—Z. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Hlm.
789-795.
Pritchard, E.E. Evans,
1984. Teori-teori tentang Agama Primitif, cet. pertama. Jakarta: Pusat
Latihan, Penelitian, dan Pengembangan Masyarakat (PLP2M).
Wellem, Frederiek Djara,
2001. Injil dan Marapu: Suatu Studi Historis-Teologis Perjumpaan Injil
dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1900. Jakarta: BKP
Gunung Mulia.
Yewangoe, A.A.,
1980. “Korban dalam Agama Marapu.” Artikel dalam Peninjau (1980),
hlm. 52-67.

__________________
*Lukman Solihin adalah alumnus Jurusan Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, dan bekerja
sebagai peneliti pada Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Yogyakarta.

________________________________
Kata Kunci: sunda kecil, pulau cendana, chendan island, sandelwood island, kuda sandel, kabihu,
kabisu, paraingu, agama lokal, agama asli, agama lokal sumba, agama sumba, marapu, nenek moyang,
dewa, ilah, anatala, uma mbatangu, rumah sumba, perjamuan dewa, marapu biasa, leluhur, marapu

15
ratu, maha marapu, hupu ina-hupu ama, mawulu tau-majii tau, namawulu wangu lima-namahawada
wangu ngaru, katoda, megalit, batu pemujaan, sesaji, kayu kunjuru, kayu kanawa, parai marapu, nuku-
hara, katoda, konsep marapu, roh halus, rumah besar, uma marapu, tugu kampung, katoda paraingu,
tugu halaman, katoda kawindu, tugu pintu, katoda pindu, tugu padang, katoda padangu, tugu kebun,
katoda woka, tugu kebun, tugu laut, katoda purungu mihi, tugu muara, katoda mananga, tugu untuk
berperang, andungu, tugu batas tanah, katoda padira tana, kosmologi sumba, rumah sumba, uma
mbatangu, uma pakopahi, maramba, kabihu, ata, uma dana, bei uma, kali kambunga, kubur batu, reti
berkaki, reti berdinding, reti bertingkat, reti tanpa kaki, Pritchard, Atmosudiro, Dhavamony, Sharyn
Graham, Kapita, Sri Murni, Melalatoa, Wellem, Yewangoe.

Metadeskripsi: Marapu merupakan agama lokal yang dianut oleh masyarakat Pulau Sumba di
Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Sumba adalah salah
satu dari gugusan pulau-pulau yang dahulu disebut sebagai “Sunda Kecil”.

16

Anda mungkin juga menyukai