Pengantar
yakni
daerah
Kodi.
besar dan bertelinga lebar), untuk mengungkapkan bahwa Marapu senantiasa memperhatikan
dan mendengar keluhan manusia.[5]
Nama Marapu Tertinggi sering kali tidak boleh disebutkan begitu saja namanya karena
Marapu itu adalah Ndappa teki tamo, ndappa numa ngara (tak boleh disebutkan namanya, tak
boleh digosipkan namanya). Ia diyakini sebagaii Pencipta alam semesta Bappa amawolo, Inna
amarawi. Karena tempatnya yang jauh, yakni di langit ke tujuh, maka manusia tidak serta-merta
dapat berkontak langsung dengan Dia. Demikianpun Dia juga membutuhkan perantara untuk
dapat kontak dengan manusia. Namun orang Sumba percaya bahwa Marapu Tertinggi itu baik
hati dan suka mengampuni orang yang mau bertobat. Saat kematian tiba Dia akan menerima
manusia.
Marapu lain yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam susunan upacara Marapu
adalah Marapu Mori Canna. Ia adalah Marapu yang menjaga dusun (atau kampong) dan juga
menjaga kebun. Ia disebut Mori Canna karena Dia dianggap sebagi Mori (tuan, pemilik) dari
Canna (tanah) yang sedang didiami. Dalam upacara yang berhubungan dengan dusun atau
kampong, Marapu ini harus diberikan sesajian berupa makanan. Sedangkan untuk Marapu Mori
Canna yang ada di kebun, Marapu diberikan persembahan dalam bentuk hasil panenan. Hasil
penenan itu digantungka pada tiang persemahan yang terdapat di mesbah.[6]
Marapu yang cukup dikenal dan diberi perhatian adalah Marapu To Mate (arwah orangorang yang meninggal). Orang Sumba percaya bahwa arwah orang yang meninggal akan
menjadi roh yang memberikan berkat bagi keturunannya atau kepada sanak saudaranya. Dalam
tradisi Sumba, seseorang sebelum meninggal biasanya akan meninggalkan amanah untuk anakanaknya atau sanak saudaranya berupa berkat. Mereka percaya baghwa orang mati tetap hidup
hanya berpinda tempat saja. dari alamnya orang yang telah mati itu akan memperhatikan dan
melindungi keluarga yang masih hidup ( Enge totoko randanggumi, mono kopor gallunggumi).
Mereka menjadi penjaga karena mereka telah masuk ke dalam kumpulan Marapu, yakni
persekutuan hidup dengan semua orang yang telah meninggal.[7]
Orang Sumba juga percaya terhadap Marapu dalam bentuk roh-roh. Roh-roh ini akan
mendampingi manusia sesuai dengan permintaan manusia atau sesuai dengan wangsit yang
diterima oleh orang tertentu. Marapu dalam bentuk roh-roh ada yang bersifat positif dan ada pula
yang bersifat negatitif. Yang positif akan menghadirkan berkat bagi manusia berupa hasil panen
yang melimpah, kekayaan, kekebalan, dan masih banyak lagi. Roh-roh yang bersifat negatif akan
hadir dalam bentuk suanggi (toyo hamarango), yakni menyihir orang lain agar sakit atau mati.
Ada pula dalam bentuk roh penipu, roh perayu (yang merayu wanita), dan lain-lain. Orang-orang
yang hebat dalam hal tertentu diyakini pasti mempunyai Marapu (na keteng marapu).[8]
2.3. Peringkat Roh dalam Marapu
Dewa tertinggi dipandang berkelamin ganda. Dewa tersebut disapa sebagai ibu dan
bapak, dan keduanya bersama-sama menganugerahi berkah kesuburan dan kesejahteraan yang
merupakan tanggung jawabnya. Sang pencipta dikenal sebagai Dia yang menenun dan
membentuk kami (Amawolo Amarawi). Hal ini dikaitkan dengan kegiatan wanita dalam
memintal benang dan menyiapkan celupan serta kediatan laki-laki dalam melebur logam. Orang
Sumba percaya bahwa sosok ibu dan bapak merupakan pemimpin kerajaan langit yang letaknya
tujuh atau delapan tingkat di atas bumi. Akan tetapi dalam upacara tradisional sosok ibu dan
bapak jarang dimintai pertolongan. [9]
Dalam
kepercayaan
orang
Sumba
benda
yang
dimanusiakan dipakai untuk berhubungan dengan roh dan leluhur khususnya yang berada di
tingkat yang lebih rendah, terdiri atas roh yang disapa berpasangan laki-laki dan Perempuan.
Leluhur yang menguasai kilat, misalnya, dipanggil bersama saudara perempuannya, Tila, yang
memegang jaring gaib untuk menjerat manusia dan hewan. Sosok lelaki yang mengendalikan
kekuatan langit, petir, halilintar, dan hujan deras. Sosok Perempuan dikaitkan dengan bumi dan
asal-usul padi, cacing laut, dan hasil kebun.
Tiang rumah
Desa kecil
menukar
Sanca
Penguasa
api
dari
dengan
lading
kilat
hujan
subur
pendeta menuju ke dunia atas. Dalam upacara besar digunakan juga seperangkat gong dan tanbur
yang dipegang, bunyinya sebagai tanda utusan roh. Adat Sumba sangat menekankan iringan
kata-kata dalam doa dan musik dalam upacara.[12]
Kurban berupa hewan menjadi unsur yang penting juga dalam ritus terhadap Marapu.
Pada saat doa disembeli beberapa ekor ayam (manu) sebagai bentuk pengesahan terhadap doa.
Darah ayam yang mengucur dan membasahi katonga (bale-bale dari bambu yang menjadi lantai
rumah) adalah simbol penyerahan hidup manusia karena darah adalah simbol hidup. Marapu,
setelah mencium bau darah tersebut, akan menerima penyerahan itu dan merestui permintaan
manusia. Selain ayam, ada juga hewan lain yang biasa disembeli dalam upacara Maprapu yakni,
anjing (ahu), babi (wei) , kuda (njara), dan dalam upacara yang besar sebaiknya menyembeli
kerbau (karambua). Hal ini maksudkan agar setiap orang yang menghadiri upacara mendapat
makan dan jatah dagingnya yang dapat dibawa pulang.[13]
Dalam upacara Marapu diperdengarkan bunyi gong dan tambur. Bunyi-bunyi yang
dihasilkan dengan nada-nada yang berbeda sesuai dengan maksud tertentu. Pada malam sebelum
diadakan upacara biasanya ditabuhkan dengan ritme yang sendu. Sedangkan pada saat pesta
biasanya dibunyikan dengan nada gembira.
3. Upacara Penting dalam Marapu
Peristiwa yang sangat besar dan dikenal dalam tradisi Marapu yang hingga saat ini masih
dilakukan oleh masyarakat Sumba adalah penguburan. Jarak antara seseorang dan proses
penguburannya membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya biaya yang dibutuhkan dalam proses tersebut seprti persiapan
binatang kurban. Bagi pemeluk kepercayaan Marapu, esensi dalam hal penguburan adalah
sebagai pengantar perjalanan seseorang menuju kebahagiaan setelah mati, sehingga diperlukan
langkah meluaskan arwah ke Parai Marapu. Parai Marapu menjadi tujuan bantuan roh leluhur.
[14]
Selain itu ada upacara yang penting adalah Nale dan Pasola. Inya Nale sebagai dewi dari
segala cacing di laut. Ini merupakan suatu upacara tahunan yang bersamaan dengan musim
cacing dengan aneka warna (Leodiec Viridis) di sepanjang pantai barat dan pantai selatan Sumba.
Pendeta tertinggi dalam upacara itu disebut Pemimpin Tahun (mori ndoyo) atau Tuan bulan
(rato wulla) yang meramalkan musim ini berdasarkan peredaran bulan dan astrologi. Pada hari
yang ia pilih, ribuan orang Sumba akan mengumpulkan cacing dari pantai pad pagi hari.
Kelimpahan cacing memberikan harapan bagi panen padi yang akan datang karena jiwa dewi
padi telah menjelma dalam panen baru.
Pasola merupakan tarian perang dengan ratusan penunggang kuda yang menyebrangi
padang sambil menjatuhkan lawan dari daerah lain dengan cara melempari tombak. Tarian ini
mengiringi pencarian cacing. Darah manusia yang tercurah di medan Pasola menjadi
persembahan kepada cacing dan tanaman padi. Korban hanya akan ada jika terjadi palanggaran
atau tabu. Pelanggaran larangan keheningan upacara dan mengambil makanan dari laut pada
masa itu akan menyebabkan hilangnya perlindungan leluhur dalam Pasola..[15]
4. Penutup
Orang Sumba mengenal banyak sekali Marapu. Berdasarkan bentuk dan ragam Marapu
dapat disimpulkan sebagai kekuatan supranatural yang menakutkan tetapi sangat dekat dengan
manusia. Marapu dapar hadir dalam berbagai wujud misalnya, Dewa Tertinggi, arwah nenek
moyang, roh-roh, makhluk halus, atau pun kekuatan-kekuatan-kekuatan sakti lainnya. Jika
disembah dengan baik akan mendatangkan berkat, pertolongan, perlindungan, dan sebaliknya
kalau tidak disembah dengan baik akan mendatangkan bencana atau malapetaka.[16]
Marapu yang sembah oleh orang Sumba biasanya disimbolkan dengan batu yang disusun
seperti mesbah untuk diberikan sesaji. Mesbah tersebut dalam bahasa adatnya disebut watu
janna ndikki, tana janna ngera. Sebutan ini berarti batu yang tak terpindahkan dan tang yang tak
pernah berubah. Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Marapu
menjadi falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba. Marapu berperan sebagai
pedoman hidup dan tingkah laku masyarakat Sumba. Marapu juga berperan sebagai penolong.
Dengan demikian, Marapu menjadi suatu yang dapat mendekatkan manusia dengan sesamanya
di dunia ini melalui upacara bersama sekaligus mendekatkan diri dengan para leluhur dan
Wujud Tertinggi atau Dewa Tertinggi dalam Marapu.
Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1976, hlm.35
[1]
Ibid. hlm. 74
NN, Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur: Yang Berkaitan dengan Peristiwa
Alam dan Kepercayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, Jakarta. 1985, hlm. 25
[4]
[5]
Op. cit. Spiritualitas Dialog Narasi Teologis tentang Kearifan Religius,: hlm. 76
[6]
Ibid. hlm. 77
[7]
Ibid.78
F.D. Wellem, Injil dan Marapu. Suatu Dtudi Historis-Teollogis tentang Perjumpaan Injil
dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1990. Jakarta: Gunung Mulia, 2004, hal. 46
[8]
James. J. Fox. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara, Grolier International. Inc.Jakarta:
Jayakarta Offset. 2002, hal. 90
[9]
Ibid. 80
[12]
[13]
Op. cit. Spiritualitas Dialog Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, hlm . 84-86
I Made Supartha, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, ed.Agus Aris
Munandar. Jakarta: Rajawali Press. 2009, hlm. 23
[14]
[15]
[16]
Op. cit. Spiritualitas Dialog Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, hlm . 84-86
Fitri
Taking the floor yaitu waktu dimana penutur pertama atau penutur
selanjutnya mengambil alih giliran bicara. Jenis-jenis taking the floor antara
lain:
- Starting up (mengawali pembicaraan) bisa dilakukan dengan keragu-raguan
atau ujaran yang jelas.
- Taking over yaitu mengambil alih giliran berbicara (bisa diawali dengan
konjungsi).
- Interupsi, yaitu mengambil alih giliran berbicara karena penutur yang akan
mengambil alih giliran bicara merasa bahwa pesan yang perlu disampaikan
oleh penutur sebelumnya sudah cukup sehingga giliran bicara diambil alih
oleh penutur selanjutnya.
- Overlap, yaitu penutur selanjutnya memprediksi bahwa penutur
sebelumnya akan segera memberikan giliran berbicara kepada penutur
selanjutnya, maka ia mengambil alih giliran berbicara. Lambang transkripnya
(//)
Holding the floor, yaitu waktu dimana penutur sedang mengujarkan ujaranujaran, serta bagaimana penutur mempertahankan giliran berbicaranya.
Yielding the floor yaitu waktu dimana penutur memberikan giliran berbicara
kepada penutur selanjutnya.
Dalam sebuah mekanisme pergantian giliran yang diperpanjang,
penutur berharap bahwa lawan tutur mereka menunjukkan bahwa mereka
mendengarkan. Salah satu cara untuk menunjukkan tanggapan tersebut
adalah dengan ekspresi wajah, senyuman dan isyarat-isyarat lain, namun
indikasi vokal yang paling umum disebut dengan backcannel. Misalnya:
Fitri : Jika anda banyak menggunakan layanan jarak jauh, anda akan...
Ana : uh-uh
Fitri : tertarik pada potongan harga yang sedang saya katakan karena...
Ana : yeah
: layanan ini dapat menyelamatkan uang Anda untuk mengubah menjadi
layanan yang lebih murah.
Ana : mmm
Jenis-jenis penanda (uh-uh, yeah, dan mmm) merupakan penanda
yang mestinya menunjukkan bahwa pendengar mengikuti apa yang
dikatakan oleh penutur dan tidak menolaknya. Dalam interaksi tatap muka,
ketiadaan backchannel mungkin ditafsirkan sebagai cara pelanggaran
kesepakatan yang mengarah pada interferensi ketidak-sepakatan.
GAYA BICARA
Karakteristik sistem pengambilan giliran bicara dimasukkan dalam
makna oleh pemakainya. Dalam sebuah percakapan terdapat pembicaraan
yang relatif cepat hampir tanpa jeda diantara giliran bicara, dan disertai
adanya sedikit overlap atau bahkan penyempurnaan giliran yang disebut
gaya bicara (gaya pelibatan tinggi). Namun, adanya gaya bicara yang
menghendaki pembicaraan yang relatif lambat, mengharapkan jeda yang
lebih lama diantara giliran bicara, tidak tumpang tindih, dan menghindari
a)
b)
c)
d)
PASANGAN AJASENSI
Pasangan ajasensi (adjacency pairs) merupakan jenis tuturan oleh
penutur yang membutuhkan jenis tuturan dari penutur yang lain. Tuturan ini
terjadi secara berpasangan, yang terdiri atas bagian pertama dan bagian
kedua. Misalnya tuturan: Siapa namamu?, tuturan ini secara tidak langsung
mempunyai esensi sebuah jawaban yang ditujukan terhadap penutur kedua.
Adapun tipe-tipe pasangan ajasensi sebagai berikut:
Salam (pembukaan)
Vita : Apa kabar, Vit?
Dita : Seperti biasanya.
Tanya jawab.
Endik : Apa pekerjaanmu sekarang:
Antok : Aku bekerja di Bank Mandiri.
Menawarkan-menerima dari menolak.
Dimas
: Apakah kamu ingin minum teh?
Imam : Ya, boleh. atau
Tidak, terima kasih
Berpisah
Dimas
: Sampai jumpa.
Imam : Sampai ketemu kembali.
Akan tetapi, tidak seluruh bagian pertama menerima dengan cepat
menerima bagian kedua. Terjadinya urutan tanya jawab ditunda ketika tata
urutan tanya jawab yang lain menghadang. Urutan penundaan tersebut
dinamakan dengan urutan sisipan.
Dery : Apakah besok pagi aku bisa mengantarmu ke kampus?
Fitri : Apakah besok kuliah pagi?
Dery : Ya.
Fitri : Baiklah.
Contoh tersebut terjadi tata urutan sisipan, merupakan satu jenis petunjuk
bahwa tidak semua bagian pertama harus menerima jenis bagian kedua
yang mungkin diantisipasi oleh penutur. Penundaan jawaban secara simbolik
menandakan tidak tersedianya jawaban potensial yang dihaapkan secara
cepat (yaitu otomatis yang wajar).
STRUKTUR PREFERENSI
Dalam pasangan ajasensi terdiri atas dua bagian yaitu bagian pertama
dan bagian kedua. Pada dasarnya bagian pertama yang berisi permohonan
atau tawaran yang khusus dibuat dengan harapan bahwa bagian merupakan
a)
b)
c)
d)
e)