Anda di halaman 1dari 15

1.

Pengantar

Sumba merupakan salah satu bagian dari Propinsi Nusa


Tenggara Timur. Pada zaman dahulu orang Sumba sering melaksanakan ritual-ritual keagamaan
yang disebut Hamayang (ritual doa, sembahyang). Ritual-ritual tersebut ditujukan kepada rohroh nenek moyang, karena orang Sumba percaya bahwa roh-roh nenek moyang tersebut adalah
pemelihara orang-orang yang masih hidup di dunia. Kepercayaan terhadap roh-roh nenek
moyang bagi orang Sumba disebut Marapu. Oleh karena itu, seluruh bidang kehidupan orang
Sumba dikaitkan dengan Marapu.[1]
Sumba yang sekarang ini terbagi-bagi dalam beberapa kabupaten seperti, Kabupaten
Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Dalam makalah ini penulis
mengemukakan tentang agama asli penduduk Sumba Timur dengan mengangkat salah satu
daerah,

yakni

daerah

Kodi.

2. Marapu sebagai Sistem Kepercayaan Asli Orang Kodi


2.1. Pengertian Marapu
Sumba terdiri atas berbagai macam suku dengan bahasa yang berbeda-beda. Kepercayaan
asli orang Sumba disebut Marapu. Setiap suku mempunyai keprcayaan Marapu. Namun ada
banyak kesamaan pengertian, penyembahan, dan ritus-ritusnya di anatara suku-suku tersebut. Di
Sumba tidak ada kekuasaan yang sentral hanya ada raja-raja kecil (suku) yang berkuasa atas
sukunya.[2]

L. Onvlee menyebut Marapu sebagai Yang


Disembah dan Dihormati karena Marapu berasal dari dua kata yaitu Ma berarti Yang dan
rapu artinya dihormati, disembah, dan didewakan. Marapu adalah sembahan orang Sumba.
Penyembahan itu ditujukan kepada roh, arwah orang mati, atau Allah (dewa Tertinggi). Segala
sesuatu yang disembah disebut Marapu. A.A. Yewangoe mengartikan Marapu sebagai Yang
Tersembunyi jika kata itu diambil dari kata Ma (yang) dan rappu (tersembunyi). Marapu
juga berarti Serupa Nenek Moyang bila kata Merapu diambil dari rangkaian kata Mera
(serupa) dan appu (neneki moyang).[3] Semua pengertian yang diambil ini berkaitan erat
dengan kebiasaan masyarakat Sumba. Melalui sajian orang Sumba menggambarkan nenek
moyang sebagai orang yang dekat dengan mereka, pelindung, penghubung, dan pendoa.
2.2. Jenis dan Susunan Marapu
Dalam menghormati atau mendewakan Marapu ini anak cucu mewujudkan itu dalam
berbagai bentuk, ada yang berupa patung, ada yang berupa perhiasan atau mamuli, ada yang
berupa lamba (lambang bulan), dan (Tabilu) lambang matahari serta berbagai binatang baik di
darat maupun di laut serta tumbuh-tumbuhan. Benda-benda itu disimpan di loteng paling atas
dari rumah agar tidak mudah disentuh dan tempat itu biasanya dianggap suci atau keramat.
Benda-benda itu disebut Tanggu Marapu atau bagian dari leluhur atau pusaka dan di dalam
benda-benda itu bersemayam roh para leluhur. Benda-benda tersebut menjadi perantara antara
manusia dengan Tuhannya.[4]
Orang Sumba mengenal Marapu dengan berbagai tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi
adalah Marapu Matoyo atau Marapu Bokol. Marapu ini menjadi alamat dari setiap permohonan.
Dia yang memutuskan apakah permohonan itu dikabulkan atau ditolak. Ada yang menyebutkan
bahwa Marapu ini beristirahat setelah penciptaan dan menyerahkan penyelenggaraan alam
semesta kepada bawahannya. Namun Ia tidak tidur. Ia tetap memperhatikan manusia yang
memohon kepadanya. Ia disebut sebagai Dibokol matana, mbelek rokatiluna (Ia yang bermata

besar dan bertelinga lebar), untuk mengungkapkan bahwa Marapu senantiasa memperhatikan
dan mendengar keluhan manusia.[5]
Nama Marapu Tertinggi sering kali tidak boleh disebutkan begitu saja namanya karena
Marapu itu adalah Ndappa teki tamo, ndappa numa ngara (tak boleh disebutkan namanya, tak
boleh digosipkan namanya). Ia diyakini sebagaii Pencipta alam semesta Bappa amawolo, Inna
amarawi. Karena tempatnya yang jauh, yakni di langit ke tujuh, maka manusia tidak serta-merta
dapat berkontak langsung dengan Dia. Demikianpun Dia juga membutuhkan perantara untuk
dapat kontak dengan manusia. Namun orang Sumba percaya bahwa Marapu Tertinggi itu baik
hati dan suka mengampuni orang yang mau bertobat. Saat kematian tiba Dia akan menerima
manusia.
Marapu lain yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam susunan upacara Marapu
adalah Marapu Mori Canna. Ia adalah Marapu yang menjaga dusun (atau kampong) dan juga
menjaga kebun. Ia disebut Mori Canna karena Dia dianggap sebagi Mori (tuan, pemilik) dari
Canna (tanah) yang sedang didiami. Dalam upacara yang berhubungan dengan dusun atau
kampong, Marapu ini harus diberikan sesajian berupa makanan. Sedangkan untuk Marapu Mori
Canna yang ada di kebun, Marapu diberikan persembahan dalam bentuk hasil panenan. Hasil
penenan itu digantungka pada tiang persemahan yang terdapat di mesbah.[6]
Marapu yang cukup dikenal dan diberi perhatian adalah Marapu To Mate (arwah orangorang yang meninggal). Orang Sumba percaya bahwa arwah orang yang meninggal akan
menjadi roh yang memberikan berkat bagi keturunannya atau kepada sanak saudaranya. Dalam
tradisi Sumba, seseorang sebelum meninggal biasanya akan meninggalkan amanah untuk anakanaknya atau sanak saudaranya berupa berkat. Mereka percaya baghwa orang mati tetap hidup
hanya berpinda tempat saja. dari alamnya orang yang telah mati itu akan memperhatikan dan
melindungi keluarga yang masih hidup ( Enge totoko randanggumi, mono kopor gallunggumi).
Mereka menjadi penjaga karena mereka telah masuk ke dalam kumpulan Marapu, yakni
persekutuan hidup dengan semua orang yang telah meninggal.[7]

Orang Sumba juga percaya terhadap Marapu dalam bentuk roh-roh. Roh-roh ini akan
mendampingi manusia sesuai dengan permintaan manusia atau sesuai dengan wangsit yang
diterima oleh orang tertentu. Marapu dalam bentuk roh-roh ada yang bersifat positif dan ada pula
yang bersifat negatitif. Yang positif akan menghadirkan berkat bagi manusia berupa hasil panen
yang melimpah, kekayaan, kekebalan, dan masih banyak lagi. Roh-roh yang bersifat negatif akan
hadir dalam bentuk suanggi (toyo hamarango), yakni menyihir orang lain agar sakit atau mati.
Ada pula dalam bentuk roh penipu, roh perayu (yang merayu wanita), dan lain-lain. Orang-orang
yang hebat dalam hal tertentu diyakini pasti mempunyai Marapu (na keteng marapu).[8]
2.3. Peringkat Roh dalam Marapu
Dewa tertinggi dipandang berkelamin ganda. Dewa tersebut disapa sebagai ibu dan
bapak, dan keduanya bersama-sama menganugerahi berkah kesuburan dan kesejahteraan yang
merupakan tanggung jawabnya. Sang pencipta dikenal sebagai Dia yang menenun dan
membentuk kami (Amawolo Amarawi). Hal ini dikaitkan dengan kegiatan wanita dalam
memintal benang dan menyiapkan celupan serta kediatan laki-laki dalam melebur logam. Orang
Sumba percaya bahwa sosok ibu dan bapak merupakan pemimpin kerajaan langit yang letaknya
tujuh atau delapan tingkat di atas bumi. Akan tetapi dalam upacara tradisional sosok ibu dan
bapak jarang dimintai pertolongan. [9]

Dalam

kepercayaan

orang

Sumba

benda

yang

dimanusiakan dipakai untuk berhubungan dengan roh dan leluhur khususnya yang berada di
tingkat yang lebih rendah, terdiri atas roh yang disapa berpasangan laki-laki dan Perempuan.
Leluhur yang menguasai kilat, misalnya, dipanggil bersama saudara perempuannya, Tila, yang

memegang jaring gaib untuk menjerat manusia dan hewan. Sosok lelaki yang mengendalikan
kekuatan langit, petir, halilintar, dan hujan deras. Sosok Perempuan dikaitkan dengan bumi dan
asal-usul padi, cacing laut, dan hasil kebun.

KOSMOLOGI ORANG KODI: KELAMIN DALAM DUNIA ROH


Dewa Berkelamin Ganda
Pencipta: Ibu Peminta Gombak dan Ayah Pelebur Emas
( Inya walo hungga, Bapa rawi lindu)
Daya Pelindung
Altar marga

: Ibu Lebih Tua, Ayah Purba ( Inya matuyo, Bapa Ataheha)

Tiang rumah

: Ibu Agung, Ayah Agung ( Inya Bakolo, Bapa Bakolo)

Desa kecil

: Ibu Bumi, Ayah Sungai (Inya mangu tana, Bapa manga l

Perantara Roh Perempuan dan Laki-Laki


Perempuan:
Gendang tegak Perempuan (bendu)
Perempuan pada pinggir atap (kahi rou kawendo)
Perempuan tua pada gerbang utama (njoki watu kareka)
Penggali kubur Perempuan (lyale rate palolo)
Laki-laki:
Tombak kedewaan laki-laki (nambu)
Laki-laki di atap rumah (ndelo took uma)
Laki-laki pemimpin lahan yang ditanami (Ringgi mori cana)
Laki-laki pembuat batu nisan (Congha hondi wu panduku)
Sosok Leluhur Perempuan dan Laki-laki
Perempuan
Mbiri Kyoni : Dewi padi

Inya : Pencipta cacing laut


olo Kapadu : Perempuan tua dukun
amaro
: Pengantin perempuan buaya
Laki-laki
Ra
Hupur
:
Lete
Watu
:
Penipu
yang
Pala
Kawata
:
Ular
Partu Bakokoro: Penjaga pintu air di surga

menukar
Sanca

Penguasa
api
dari

dengan
lading

kilat
hujan
subur

Tabel Dewa Berkelamin Genda dalam Kepercayaan Marapu di Sumba.[10]


2.4. Ritus Penyembahan dan Kurban dalam Marapu
Marapu disembah dalam upacara-upacara yang resmi maupun tidak resmi. Suatu
upacara resmi dilaksanakan dengan mengundang Rato Marapu (Imam atau Pendeta Marapu) dan
mendoakan intensi dari keluarga yang memohonkannya. Sedangkan upacara yang tidak resmi
adalah upacara yang dilakukan oleh keluarga tanpa memanggil Rato Marapu. Kepala keuarga
atau yang dituakan dalam keluarga dapat upacara yang sederhana. Kedua upacara tersebut
dianggap sebagai upacara liturgis dalam agama Marapu di Sumba. [11]

Dalam ritus liturgis Marapu yang menjadi hal


pokok adalah ta liyo (doa yang dikemas dalam bentuk pantun-pantun) dan kurban hewan. Isi doa
yang disampaikan kepada Marapu dalam bentuk pantun tersebut dapat berisikan pujian, syukur,
dan permohonan. Dalam ta liyo doa-doa itu berupa yaigho (atau zaizo), doa-doa untuk mencari
sebab-akibat dari penderitaan atau kematian. Dalam ta liyo doa dan pantun tersebut dapat
bersifat monolog (doa dari sang Ratu Marapu saja) dan juga dialog antara seorang atau semua
peserta dengan Ratu Marapu. Dalam Marapu doa sangat penting dinyanyikan diiringi gendang
yang ditabuhkan dalam keadaan berdiri. Kulit gendang diduga terbuat dari kulit manusia. Hal ini
dimaksudkan untuk mengiringi roh yang sedang berkelana bersama doa yang dipanjatkan

pendeta menuju ke dunia atas. Dalam upacara besar digunakan juga seperangkat gong dan tanbur
yang dipegang, bunyinya sebagai tanda utusan roh. Adat Sumba sangat menekankan iringan
kata-kata dalam doa dan musik dalam upacara.[12]
Kurban berupa hewan menjadi unsur yang penting juga dalam ritus terhadap Marapu.
Pada saat doa disembeli beberapa ekor ayam (manu) sebagai bentuk pengesahan terhadap doa.
Darah ayam yang mengucur dan membasahi katonga (bale-bale dari bambu yang menjadi lantai
rumah) adalah simbol penyerahan hidup manusia karena darah adalah simbol hidup. Marapu,
setelah mencium bau darah tersebut, akan menerima penyerahan itu dan merestui permintaan
manusia. Selain ayam, ada juga hewan lain yang biasa disembeli dalam upacara Maprapu yakni,
anjing (ahu), babi (wei) , kuda (njara), dan dalam upacara yang besar sebaiknya menyembeli
kerbau (karambua). Hal ini maksudkan agar setiap orang yang menghadiri upacara mendapat
makan dan jatah dagingnya yang dapat dibawa pulang.[13]
Dalam upacara Marapu diperdengarkan bunyi gong dan tambur. Bunyi-bunyi yang
dihasilkan dengan nada-nada yang berbeda sesuai dengan maksud tertentu. Pada malam sebelum
diadakan upacara biasanya ditabuhkan dengan ritme yang sendu. Sedangkan pada saat pesta
biasanya dibunyikan dengan nada gembira.
3. Upacara Penting dalam Marapu
Peristiwa yang sangat besar dan dikenal dalam tradisi Marapu yang hingga saat ini masih
dilakukan oleh masyarakat Sumba adalah penguburan. Jarak antara seseorang dan proses
penguburannya membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya biaya yang dibutuhkan dalam proses tersebut seprti persiapan
binatang kurban. Bagi pemeluk kepercayaan Marapu, esensi dalam hal penguburan adalah
sebagai pengantar perjalanan seseorang menuju kebahagiaan setelah mati, sehingga diperlukan
langkah meluaskan arwah ke Parai Marapu. Parai Marapu menjadi tujuan bantuan roh leluhur.
[14]
Selain itu ada upacara yang penting adalah Nale dan Pasola. Inya Nale sebagai dewi dari
segala cacing di laut. Ini merupakan suatu upacara tahunan yang bersamaan dengan musim
cacing dengan aneka warna (Leodiec Viridis) di sepanjang pantai barat dan pantai selatan Sumba.
Pendeta tertinggi dalam upacara itu disebut Pemimpin Tahun (mori ndoyo) atau Tuan bulan
(rato wulla) yang meramalkan musim ini berdasarkan peredaran bulan dan astrologi. Pada hari
yang ia pilih, ribuan orang Sumba akan mengumpulkan cacing dari pantai pad pagi hari.

Kelimpahan cacing memberikan harapan bagi panen padi yang akan datang karena jiwa dewi
padi telah menjelma dalam panen baru.

Pasola merupakan tarian perang dengan ratusan penunggang kuda yang menyebrangi
padang sambil menjatuhkan lawan dari daerah lain dengan cara melempari tombak. Tarian ini
mengiringi pencarian cacing. Darah manusia yang tercurah di medan Pasola menjadi
persembahan kepada cacing dan tanaman padi. Korban hanya akan ada jika terjadi palanggaran
atau tabu. Pelanggaran larangan keheningan upacara dan mengambil makanan dari laut pada
masa itu akan menyebabkan hilangnya perlindungan leluhur dalam Pasola..[15]
4. Penutup

Orang Sumba mengenal banyak sekali Marapu. Berdasarkan bentuk dan ragam Marapu
dapat disimpulkan sebagai kekuatan supranatural yang menakutkan tetapi sangat dekat dengan
manusia. Marapu dapar hadir dalam berbagai wujud misalnya, Dewa Tertinggi, arwah nenek
moyang, roh-roh, makhluk halus, atau pun kekuatan-kekuatan-kekuatan sakti lainnya. Jika
disembah dengan baik akan mendatangkan berkat, pertolongan, perlindungan, dan sebaliknya
kalau tidak disembah dengan baik akan mendatangkan bencana atau malapetaka.[16]

Marapu yang sembah oleh orang Sumba biasanya disimbolkan dengan batu yang disusun
seperti mesbah untuk diberikan sesaji. Mesbah tersebut dalam bahasa adatnya disebut watu
janna ndikki, tana janna ngera. Sebutan ini berarti batu yang tak terpindahkan dan tang yang tak
pernah berubah. Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Marapu
menjadi falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba. Marapu berperan sebagai
pedoman hidup dan tingkah laku masyarakat Sumba. Marapu juga berperan sebagai penolong.
Dengan demikian, Marapu menjadi suatu yang dapat mendekatkan manusia dengan sesamanya
di dunia ini melalui upacara bersama sekaligus mendekatkan diri dengan para leluhur dan
Wujud Tertinggi atau Dewa Tertinggi dalam Marapu.

Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1976, hlm.35
[1]

Mateus Mali,, Sumba: Tanah Marapu dalam Eddy Kristianto,(ed.), Spiritualitas


Dialog:Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, Yogyakarta: Kanisisus. 2010, hlm. 73
[2]
[3]

Ibid. hlm. 74

NN, Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur: Yang Berkaitan dengan Peristiwa
Alam dan Kepercayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, Jakarta. 1985, hlm. 25
[4]

[5]

Op. cit. Spiritualitas Dialog Narasi Teologis tentang Kearifan Religius,: hlm. 76

[6]

Ibid. hlm. 77

[7]

Ibid.78

F.D. Wellem, Injil dan Marapu. Suatu Dtudi Historis-Teollogis tentang Perjumpaan Injil
dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1990. Jakarta: Gunung Mulia, 2004, hal. 46
[8]

James. J. Fox. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara, Grolier International. Inc.Jakarta:
Jayakarta Offset. 2002, hal. 90
[9]

[10] Tabel ini

diambil dari artikel Sumba: Kedatangan Marapu yang termuat dalam.


Indonesian Heritage: Agama dan Upacara karya James. J. Fox.
[11]

Ibid. 80

[12]

Op. Cit. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara hlm. 90

[13]

Op. cit. Spiritualitas Dialog Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, hlm . 84-86

I Made Supartha, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, ed.Agus Aris
Munandar. Jakarta: Rajawali Press. 2009, hlm. 23
[14]
[15]

Loc. cit. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara hlm. 91

[16]

Op. cit. Spiritualitas Dialog Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, hlm . 84-86

STRUKTUR PERCAKAPAN DAN STRUKTUR REFERENSI

Interaksi sosial merupakan suatu situasi dimana terjadi sebuah


komunikasi yang melibatkan komponen komunikasi. Dalam interaksi sosial
terdapat suatu percakapan yang mengandung sebuah informasi yang
disampaikan selama proses interaksi berlangsung. Percakapan adalah
bentuk kegiatan yang paling mendasar yang dilakukan oleh manusia untuk
menjalin hubungan antara satu dengan yang lain. Dengan melakukan
percakapan, manusia dapat saling mengungkapkan pikiran dan perasaanya,
juga dapat saling bertukar informasi untuk memenuhi kebutuhannya. Jenis
percakapannyapun mungkin berbeda menurut konteks interaksi yang
berbeda. Percakapan tersebut tentunya mengandung struktur pembicaraan.
Pola dasar dari struktur pembicaraan yaitu saya bicara anda bicara saya
bicara anda bicara. Pola dasar ini disebut dengan struktur percakapan.
Struktur percakapan adalah apa saja yang sudah kita asumsikan sebagai
suatu yang sudah dikenal baik melalui diskusi sebelumnya. Pola dasar
percakapan ini berasal dari jenis interaksi mendasar yang pertama kali
diperoleh dan yang paling sering digunakan.
ANALISIS PERCAKAPAN
Analisis percakapan merupakan suatu rangkaian yang menarik dalam
ilmu komunikasi. Pada dasarnya percakapan merupakan manifestasi dalam
membangun sebuah interaksi. Dalam struktur percakapan terdapat suatu
kesempatan bicara atau hak untuk bicara. Kesempatan tersebut memotivasi
seseorang berusaha untuk mengambil alih giliran yaitu pengambilan giliran.
Kemungkinan adanya suatu perubahan siapa yang mendapat giliran bicara
tersebut. kemungkinan perubahan giliran tersebut disebut Tempat Relevansi
Pertukaran (TRP).
Entitas penggunaan bahasa dalam percakapan tersebut dapat dilihat
dua aspek yaitu aspek isi percakapan dan aspek formal percakapan. Aspek
isi percakapan ini meliputi topik yang menjadi pokok pembicaraan, dan
penyampaian topik dalam percakapan. Adapun aspek formal percakapan
meliputi hal-hal bagaimana percakapan itu bekerja, aturan-aturan yang
dipatuhi, dan bagaimana mekanisme dalam memperoleh kesempatan bicara
atau giliran bicara (turn-taking).
Giliran bicara (turn-taking) adalah waktu dimana penutur kedua
mengambil alih giliran berbicara dari penutur sebelumnya, dan juga
sebaliknya. Pengambilan giliran ini merupakan suatu bentuk aksi sosial yang
berjalan menurut sistem pengaturan setempat secara konvensional.
Pergantian dari setiap penutur berikutnya sangat dihargai. Pertukaran
disertai dengan kesenyapan yang lama atau adanya overlaps. Apabila
pertukaran yang disertai dengan kesenyapan yang lama diantara dua giliran,
maka dirasakan percakapan yang terjadi terasa kaku. Jeda yang sangat
pendek merupakan bentuk keragu-raguan, sedangkan jeda yang panjang
menjadi kesenyapan. Strategi dalam turn-taking ada tiga jenis yaitu:

Fitri

Taking the floor yaitu waktu dimana penutur pertama atau penutur
selanjutnya mengambil alih giliran bicara. Jenis-jenis taking the floor antara
lain:
- Starting up (mengawali pembicaraan) bisa dilakukan dengan keragu-raguan
atau ujaran yang jelas.
- Taking over yaitu mengambil alih giliran berbicara (bisa diawali dengan
konjungsi).
- Interupsi, yaitu mengambil alih giliran berbicara karena penutur yang akan
mengambil alih giliran bicara merasa bahwa pesan yang perlu disampaikan
oleh penutur sebelumnya sudah cukup sehingga giliran bicara diambil alih
oleh penutur selanjutnya.
- Overlap, yaitu penutur selanjutnya memprediksi bahwa penutur
sebelumnya akan segera memberikan giliran berbicara kepada penutur
selanjutnya, maka ia mengambil alih giliran berbicara. Lambang transkripnya
(//)
Holding the floor, yaitu waktu dimana penutur sedang mengujarkan ujaranujaran, serta bagaimana penutur mempertahankan giliran berbicaranya.
Yielding the floor yaitu waktu dimana penutur memberikan giliran berbicara
kepada penutur selanjutnya.
Dalam sebuah mekanisme pergantian giliran yang diperpanjang,
penutur berharap bahwa lawan tutur mereka menunjukkan bahwa mereka
mendengarkan. Salah satu cara untuk menunjukkan tanggapan tersebut
adalah dengan ekspresi wajah, senyuman dan isyarat-isyarat lain, namun
indikasi vokal yang paling umum disebut dengan backcannel. Misalnya:
Fitri : Jika anda banyak menggunakan layanan jarak jauh, anda akan...
Ana : uh-uh
Fitri : tertarik pada potongan harga yang sedang saya katakan karena...
Ana : yeah
: layanan ini dapat menyelamatkan uang Anda untuk mengubah menjadi
layanan yang lebih murah.
Ana : mmm
Jenis-jenis penanda (uh-uh, yeah, dan mmm) merupakan penanda
yang mestinya menunjukkan bahwa pendengar mengikuti apa yang
dikatakan oleh penutur dan tidak menolaknya. Dalam interaksi tatap muka,
ketiadaan backchannel mungkin ditafsirkan sebagai cara pelanggaran
kesepakatan yang mengarah pada interferensi ketidak-sepakatan.
GAYA BICARA
Karakteristik sistem pengambilan giliran bicara dimasukkan dalam
makna oleh pemakainya. Dalam sebuah percakapan terdapat pembicaraan
yang relatif cepat hampir tanpa jeda diantara giliran bicara, dan disertai
adanya sedikit overlap atau bahkan penyempurnaan giliran yang disebut
gaya bicara (gaya pelibatan tinggi). Namun, adanya gaya bicara yang
menghendaki pembicaraan yang relatif lambat, mengharapkan jeda yang
lebih lama diantara giliran bicara, tidak tumpang tindih, dan menghindari

interupsi tanpa adanya pemaksaan, inilah yang disebut gaya solidaritas


tinggi. Kedua gaya tersebut tidak bisa digunakan dengan bergantian secara
bersamaan dengan penutur, maksudnya apabila penutur menggunakan gaya
pertama memasuki percakapan dengan penutur lain yang menggunakan
gaya kedua, maka percakapan tersebut cenderung bertolak belakang.
Kecenderungan yang bertolak belakang tersebut menimbulkan prasangkaprasangka terhadap penutur.

a)
b)
c)

d)

PASANGAN AJASENSI
Pasangan ajasensi (adjacency pairs) merupakan jenis tuturan oleh
penutur yang membutuhkan jenis tuturan dari penutur yang lain. Tuturan ini
terjadi secara berpasangan, yang terdiri atas bagian pertama dan bagian
kedua. Misalnya tuturan: Siapa namamu?, tuturan ini secara tidak langsung
mempunyai esensi sebuah jawaban yang ditujukan terhadap penutur kedua.
Adapun tipe-tipe pasangan ajasensi sebagai berikut:
Salam (pembukaan)
Vita : Apa kabar, Vit?
Dita : Seperti biasanya.
Tanya jawab.
Endik : Apa pekerjaanmu sekarang:
Antok : Aku bekerja di Bank Mandiri.
Menawarkan-menerima dari menolak.
Dimas
: Apakah kamu ingin minum teh?
Imam : Ya, boleh. atau
Tidak, terima kasih
Berpisah
Dimas
: Sampai jumpa.
Imam : Sampai ketemu kembali.
Akan tetapi, tidak seluruh bagian pertama menerima dengan cepat
menerima bagian kedua. Terjadinya urutan tanya jawab ditunda ketika tata
urutan tanya jawab yang lain menghadang. Urutan penundaan tersebut
dinamakan dengan urutan sisipan.
Dery : Apakah besok pagi aku bisa mengantarmu ke kampus?
Fitri : Apakah besok kuliah pagi?
Dery : Ya.
Fitri : Baiklah.
Contoh tersebut terjadi tata urutan sisipan, merupakan satu jenis petunjuk
bahwa tidak semua bagian pertama harus menerima jenis bagian kedua
yang mungkin diantisipasi oleh penutur. Penundaan jawaban secara simbolik
menandakan tidak tersedianya jawaban potensial yang dihaapkan secara
cepat (yaitu otomatis yang wajar).
STRUKTUR PREFERENSI
Dalam pasangan ajasensi terdiri atas dua bagian yaitu bagian pertama
dan bagian kedua. Pada dasarnya bagian pertama yang berisi permohonan
atau tawaran yang khusus dibuat dengan harapan bahwa bagian merupakan

a)
b)
c)
d)
e)

persetujuan atau pengabulan. Pengabulan secara struktural memungkinkan


daripada penolakan.
Adanya kemungkinan struktural tersebut disebut
preferensi. Artinya, struktur preferensi menunjukkan pola struktural tertentu
secara sosial dan tidak mengacu pada sikap seseorang atau keinginan
emosi. Struktur preferensi dibagi menjadi dua bagian yaitu: tindakan sosial
yang disukai (ada tindak lanjut) dan tindakan sosial yang tidak disukai (tidak
ada tindak lanjut).
Pola umum struktur preferensi sebagai berikut:
Bagian
Bagian kedua
pertama
Disukai
Tidak
disukai
Penilaian
Setuju
tidak setuju
ajakan
Menerim
Menolak
a
Tawaran
menerim Menolak
a
Proposal
setuju
tidak setuju
Permohonan menerim Menolak
a
Misalnya:
Penilaian
Via : Bukankah baju ini bagus?
Afril : Ya, warnanya cerah.
Ajakan:
Sofia : Ikutlah nanti malam di acara syukuran.
Vivin : Oh, ya nanti saya usahakan.
Tawaran
Dodi : Apa kamu ingin makan bakso?
Yuli : Ya, boleh.
proposal
Ana : Mungkin aku tidak bisa datang.
Dedi : Baiklah.
Permohonan
Maria : Bisakah kamu membantuku?
Linia : Tentu.
Terkadang, dalam pasangan ajasensi tersebut terdapat kesenyapan
pada bagian pertama. Namun, apabila kesenyapan itu terjadi pada bagian
kedua selalu menjadi petunjuk jawaban yang tidak disukai. Misalnya:
Fresty
: Tapi saya yakin mereka tidak memiliki makanan yang baik di
sana.
(1.6 detik)
Fresty
: Hmm-saya kira makanannya tidak bagus.
Udin : Nah-sebagian besar orang nonton musik.
Tanda isyarat diamnya Udin terjadi ketika ia bermaksud mengutarakan
suatu ketidak setujuan (jawaban yang tidak disukai) berkaitan dengan
penilain Fresty. Ketiada-jawaban berarti penutur tidak berada dalam posisi

memberikan jawaban yang disukai. Dalam perspektif pragmatik,


pengungkapan bagian yang disukai (jawaban terhadap suatu tuturan atau
ajakan) menggambarkan suatu hubungan keakraban dan hubungan cepat.
Pengungkapan pada bagian yang tidak disukai menggambarkan
renggangnya hubungan.

Anda mungkin juga menyukai