Anda di halaman 1dari 22

BATAK TOBA

KEHIDUPAN DI BALIK TEMBOK BAMBU

BAB I : BATAK TOBA SEBELUM ABAD KE SEMBILAN BELAS

1. Asal dan Daerah Tinggal Suku Batak Toba

Suku Batak terdiri dari beberapa bagian dengan tempat tinggal di daerah-daerah tertentu dan
sebagian besar bermukim di daerah Tapanuli. Suku-suku itu adalah: Suku batak toba, bertempat
tinggal di distrik Silindung, Humbang, Toba, Samosir, Habinsaran, dan Uluan, Suku batak karo,
Suku batak simalungun, Suku batak pakpak, dan Suku batak angkola-mandailing. Sudah banyak
dilakukan penelitian mengenai asal usul mengenai nenek moyang suku batak toba, namun tidak
dapat dipastikan dari mana asalnya, hasilnya masih berupa dugaan semata. Ada beberapa suku di
Asia yang dianggap satu rumpun dengan Batak Toba, yaitu: Suku tayal di Taiwan, Suku bontoc
dan Igorot di Filipina, Suku Meo atau Hmong di Thailand, Suku toraja di pedalaman Sulawesi
selatan, Suku ranau di sekitar danau ranau, Suku karen di Myanmar. Dugaan yang paling kuat
adalah bahwa nenek moyang orang batak berasal dari ras proto melayu yang berasal dari India
belakang, terdesak oleh ras palae-mongoloid dari utara, sehingga mereka menyingkir ke daerah-
daerah selatan selama beberapa gelombang, dan akhirnya mendarat di sumatera bagian utara, dan
selanjutnya masuk ke daerah terpencil di pedalaman. Agar tidak mudah diserang oleh musuh,
mereka bermukim di daerah lembah dan dikelilingi oleh pegungan, yaitu di lembah sagala dan
limbong, yang disebelah timurnya adalah gunung pusuk buhit yang berbatasan dengan danau
toba.

2. Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan orang batak purba disebut dengan “agama suku” yang mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan penciptanya. Kepercayaan suku ini selalu dihubungkan dengan mitos
yang mempercayai bahwa alam semesta terbagi atas tiga bagian, yaitu benua atas (banua
ginjang), benua bawah (banua toru), benua tengah (banua tonga). Benua atas adalah tempat
bersemayam tuhan mereka yang disebut dengan Mula Jadi na Bolon yang menciptakan segala
langit, bumi dan segala isinya. Salah satu kepercayaan yang menjadi dasar agama suku adalah
bahwa semua yang ada di alam, baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan mempunyai jiwa
atau roh (tondi). Arwah orang yang sudah meninggal masih memiliki hubungan dan berpengaruh
dengan orang yang masih hidup, bahkan dapat menjamin dan memberi berkat kepada para
keturunannya, dapat mendatangkan penyakit, panen yang baik, kecelakaan dan kesejahteraan.
Dan kebanyakan suku itu mempunyai dukun pria (Datu) dan dukun wanita (sibaso) yang
bertindak sebagai juru sihir, tukang tenung, dukun dsb. Keberhasilan hidup yang didambakan
orang batak pada masa silam adalah: Makmur, yang berarti panen yang baik dan ternak yang
berkembang biak. Mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan beserta cucu yang banyak,
karena kehormatan, kebahagiaan hidup dan sebutan “orang yang bertuah” adalah jika memiliki
anak dan cucu sebagai penyambung keturunan.

Ph. O. Lumbantobing berpendapat bahwa Debata Mula Jadi na Bolon adalah penjelmaan
dari kosmos yang dibagi dalam tiga bentuk: Dewa benua bawah yang mengirimkan cahaya,
guruh, hujan, ombak dan kesuburan tanah. Dewa benua tengah yang menganugerahkan anak
(keturunan) kepada manusia, Dewa benua atas, dia mengatur hidup dan mati. Mula Jadi na
Bolon juga menciptakan tiga dewa yang disebut dengan “debata na tolu”, yaitu batara guru,
soripada, dan mangala bulan. Batara guru dikenal sebagai dewa kebijaksanaan yang bertindak
sebagai guru tempat bertanya mengenai adat, hukum atau peraturan. Soripada atau balasori
adalah dewa pelindung dunia, penjaga sawah dan ladang, pelindung anak-anak, dan pelaksana
hukum yang jujur serta penaggungjawab mengenai gong dalam orkes batak. Dewa mangala
bulan adalah dewa yang penuh kontradiksi, karena manusia selalu meminta berkat kepadanya,
padahal ia sendiri adalah dewa bencana yang buas dan kejam. Mula Jadi na Bolon juga disebut
sebagai Tuan Bubu na Bolon (benua atas), Ompu Silaon na Bolon atau raja Pinangkabo (benua
tengah), dan Pane na Bolon (benua bawah yang berkuasa atas laut, kilat dan guntur). Selain itu
masih ada dewa yang dikenal sebagai debata Asiasi yang artinya adalah dewa Pengasih yang
sebenarnya adalah Debata na Tolu dan Debata Idup. Dewa kesuburan tanah yang dikenal sebagai
Boraspati ni Tano, Boru Saniang Naga yaitu dewi yang berkuasa atas air dan dewi kesuburan.
Vergouwen menyatakan bahwa paganism orang batak adalah percampuran dari kepercayaan
kepada dewata, pemujaan yang bersifat animism dan dinamisme. Dalam mitos orang batak
dikenal sebuah pohon yang menjulang dari banua bawah sampai ke benua atas yang disebut
dengan Hariara sundung di langit (pohon hidup) yang di dalamnya dicatat nasib (sibaran, bagian,
suhat-suhat).
Namun pemujaan kepada roh leluhur atau kepada begu lebih sering dilakukan oleh orang
batak, sesuai dengan falsafah hidup orang batak yang animism bahwa roh atau tondi adalah
tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi, roh itu memiliki kekuatan magis
dan daya hidup yang dapat memberikan berkat dan mengakis malapetaka. Menurut D. Joh.
Warneck, tondi itu memiliki beberapa fungsi yaitu : tondi sigomgom (tondi yang tidak pernah
meninggalkan tubuh yang ditinggalinya, terkecuali kalau sudah meninggal), tondi sijunjung
(pelindung), tondi sipalospalos (roh jahat yang menyebabkan penyakit), tondi sibahota (yang
mempunyai daya cipta), tondi sipalilohot (sumber kekayaan), tondi siparorot (pengasuh), tondi
saudara (tondi yang bersatu dengan plasenta yang turut dikuburkan).

3. Pemujaan Roh dan Persembahan Kurban


Pemikiran orang batak yang masih kafir dan animis, peka terhadap roh atau begu bahkan
menyebut dirinya sebagai sipele begu yang artinya pemuja roh orang mati dan roh jahat.
Kematian memang telah memutuskan hubungan badaniah, akan tetapi ikatan jiwa (kerohanian)
tidka akan terputus. Roh orang yang sudah mati akan membentuk kehidupan sama seperti
manusia yang hidup. Meskipun sesorang telah meninggal, namun masih diikutsertakan dalam
urusan keluarga yang penting, doa restunya sangat diharapkan untuk mensejahterakan
keluarganya yang masih hidup. Selain kita tondi atau roh, pemujaan juga dilakukan terhadap
makhluk ataupun benda yang dipandang sebagai homitan (kecuali anjing dan kucing), padi atau
beras, pohon enau atau kelapa, rumah kediaman, perapian, barang pusaka, obat guna-guna dan
patung hasil karya.
3.1 Pemujaan Roh Leluhur
Diantara semua jenis begu, roh leluhurlah yang paling tinggi kedudukannya (sumangot ni ompu),
karena itulah harus dihormati dengan memberkan sesajen agar diperhatikan kesejahteraan
keturunannya. Jika keturunannya lupa melaksankan kewajibannya, dapat mengakibatkan gagal
panen, ternak diserang penyakit atau malapetaka datang silih berganti. Sesajen diletakkan di
bagian rumah yang disebut dengan pangumbari. Jika pada masa hidupnya leluhur itu adalah
orang yang disegani, maka ketika ia mati, maka kedudukannya di dunia roh menjadi terpandang
apalagi ia memiliki keturunan yang banyak, dan sebaliknya jika seseorang itu tidak memiliki
keturunan (punu), maka di alam roh ia menderita dan tersisihkan, dan untuk menghiburnya,
maka sanak saudaranya yang terdekat akan membangun sebuah rumah kecil (joro) untuk tempat
tinggalnya. Ompu parsadaan sangat dihormati oleh keturunannya dan tidak pernah dilupakan,
setelah keturunannya berkembang, maka mereka wajib melakukan mangongkal Holi yang
artinya menggali tulang belulang dan memindahkannya ke tempat yang lebih terhormat. Acara
ini dilakukan selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan tergantung dari kedudukan leluhurnya
pada masa hidupnya serta kemauan dan kemampuan para keturunannya. Upacara itu selalu
disertai gondang atau tembakan bedil. Sewaktu memberikan persembahan kepada leluhur, turut
diundang mula jadi na bolon, debata na tolu, debata asiasi, boraspati ni tano dan boru saniang
naga, dan sangat tabu jika mempersembahkan hewan babi sebagai kurban.
3.2 Pemujaan Kepada Dewata
Kedudukan yang tertinggi diantara para dewa adalah debata na tolu, peranannya tidak begitu
menonjol, akan tetapi selalu saja diundang dalam persembahan kurban. Mitos orang batak
meyakini bahwa gerhana matahari dan bulan adalah pertempuran antara balatentara matahari
(angkalau) dengan balatentara bulan (hala). Biasanya Orang batak tidak suka kunjungan roh,
sebaliknya justru mengundang roh leluhur untuk meminta pertolongan. Jika wabah penyakit
berjangkit di suatu kampung, maka kepada debata na tolu diberikan persembahan, dan penduduk
mendirikan sebuah batang bambu di partungkoan sebagai tanda penghormatan kepada dewata.
Pada bambu tersebut dibuat tujuh takikan masing-masing disisipkan sirih dan ramuan. Ornag
batak menganggap angka tujuh adalah angka keramat karena manusia dianggap mempunyai
tujuh roh, maka ada ketentuan-ketentuan tertentu yang dilakukan, misalnya kepada sepasang
pegantin baru, yaitu tidak bisa bersama selama tujuh hari pertama, membangun rumah harus
dalam tujuh hari, tujuh minggu, atau tujuh bulan, dan bayi yang baru lahir harus dibawa ke air
pemandian sebelum hari yang ketujuh dan lain-lain. Pesta penghormatan tertinggi kepada para
dewata adalah dengan mempersembahkan hoda debata (homitan ni saompu-ompu). Kuda itu
merupakan kereta kencana yang digunakan nenek moyang untuk hadir di tengah-tengah
keturunannya. Kepada batara guru dipersembahkan kuda hitam, untuk soripada dipersembahkan
kuda berwarna cokelat, dan untuk mangala bulan dipersembahkan kuda yang berbintik-bintik.
Apabila seseorang mimpi buruk, memberi firasat marabahaya, maka untuk pengangkalnya harus
segera mandi ke air mengalir agar malapetaka dibawa arus pergi, dan sebelum mandi datu
membuat bintik-bintik di wajahnya dengan memberikan campuran jelaga, kotoran periuk, kapur
dan kunyit. Dan datu membawa orang tersebut mandi, sambil berdoa, batu memberikan
persemabhan kepada baru saniang naga yang terdiri dari nasi kuning tiga genggam, itak empat
genggam, tujuh butir beras yang dipanggang, minyak kelapa, daun sirih dan jelaga baja.
Makanan itu diletakkan diatas mombang dan orang yang mandi itulah yang membawa makanan
itu ke sungai lalu menyelam, sehingga kurban persembahan hanyut dibawa arus.
3.3 Pemujaan Kepada Roh Orang yang Sudah Meninggal
Kelompok roh jahat (begu) terdiri dari roh musuh yang sudah meninggal, begu sigading (budak
roh leluhur), begu orang yang meninggal secara tidak terhormat dan memalukan, begu wanita
yang meninggal sewaktu melahirkan, orang yang meninggal karena penyakit kusta, digigit anjing
gila, bunuh diri, dan begu orang yang menginggal diperantauan. Agar begu itu tidak marah dan
menggangu manusia, datu mengetahui apa yang harus dipersembahkan, unutk kesembuhan
seseorang yang sedang sakit, datu mencari apa yang menjadi selera begu, misalnya untuk begu
sigading, dipersembahkan segenggam nasi, sirih lengkap dengan ramuannya, bulu ayam, bunga,
secarik kain yang using, sedikit ijuk, abu, sekam padi, dan potongan arang kayu. Makanan
kurban itu diletakkan dipersimpangan jalan. Jika sesajen itu ditolak, maka harus diberi lagi
sesajen yang disebut dengan pelean parsirangon, yang terdiri dari beras yang diberi warna
kuning, sebutir telur ayam rebus, tujuh iris jahe tipis, sirih dan rokok, kemudian yang sakit
mengambil sekeping logam dan meludahinya serta melemparkannya melalui celah lantai sambil
mengucapkan inilah pengganti tondi saya, mudah-mudahan saya sehat, ada kalanya orang yang
sakit itu menelan dan memuntahkan anting emas sambil mengatakan inilah muntahan tondi saya,
mudah mudahan saya sehat.

BAB II : PENGARUH HINDU TERHADAP MASYARAKAT BATAK

1. Pengaruh hindu dalam kehidupan orang batak.


1.1. Pemukiman orang tamil di lobu tua, barus
Desa lobu tua terletak 25 km di sebelah utara barus yang penuh dengan sejarah masa lalu. Pada
tahun 1872, ditemukan dua prasasti batu diukir dengan tulisan tamil kuno, sumur-sumur tua yang
sudah kering berbentuk silinder yang diperkirakan merupakan peninggalan orang Hindu (tamil).
Kontelir G. J. J. Deutz berkeyakinan bahwa ditempat itulah dahulu orang tamil tinggal. Dari
terjemahan tulisan prasasti itu diduga bahwa pada abad ke-11 sekumpulan orang tamil pernah
tinggal di Barus, dan sejatah mencatat bahwa pada abad ke-12, desa Lobu tua lenyap dan
dihancurkan oleh sekelompok orang yang disebut Gargasi.
1.2. Sanskerta Dalam Perbendaharaan Bahasa Batak Toba
Dalam bahasa batak ada beberapa bahasa sanskerta yang sering terdengar. Misalnya arga (harga),
arta (harta), bada (perselisihan) dll, ada sekitar 200 kata sanskerta yang sudah menjadi bahasa
batak-toba sehari-hari. Kata-kata ini dibagi atas dua kelompok, yaitu kelompok pertama yang ada
hubungannya dengan mistik, agama, kalender, dan sosial, sedangkan kelompok yang kedua yang
berhubunga dengan kata dagang, kata biasa, dan nama binatang. Hal ini menunjukkan bahwa
pengaruh orang tamil tidak banyak mempengaruh kehidupan sehari-hari orang batak.
1.3. Tulisan Batak
Menurut Harry Parkin dan Uli Kozok, aksara batak termasuk dalam tulisan aksara India. Aksara
India yang tertua adalah Brahmi, pada abad ke-8 dua jenis aksara India yang digunakan di Asia
tenggara adalah tulisan Palawa dan Nagari, dan di Indonesia tulisan yang dipakai adalah aksara
Palawa. Lama kelamaan aksara palawa asli berubah bentuk dan berkembang menjadi aksara
Kawi, Batak, Rejang, Kerinci, Lampung dan Bugis. Menurut Van der Tuuk aksara batak berasal
dari Mandailing, hal ini dibuktikan dari aksara mandailing yang masih lengkap aksara /nya/, wa/,
dan ya/. Diperkirakan bahwa aksara batak toba mula-mula berkembang di daerah Angkola-
Mandailing masuk ke toba, ke utara ke Simalungun, da akhirnya ke Dairi dan Tanah Karo. Di
hampir semua pustaha batak menulis tiga jenis ilmu, yaitu Ilmu pengobatan, Ilmu hitam, dan
Ilmu peramalan atau nujum.
1.4. Kalender dan Astrologi
Kalender Batak atau parhalaan, sama dengan kalender India yang menggunakan bahasa
sanskerta. Ada dua kalender yang menggunakan perhitungan dua belas bulan dalam setahun.
Pada kalender yang pertama, bulan dianggap berakhir ketika buln baru sudah mulai timbul
(disebut amanta) dan kalender yang kedua menggunakan perhitungan akhir bulan, dihitung tepat
setiap bulan purnama (purnimanta). Di duga ahli sihir atau para dukun India-lah yang
memperkenalkan parhalaan kepada orang batak. Selin itu dikenla juga Parmesa yaitu dua belas
gugus bintang (zodiak) yang menggunakan bahasa sanskerta.
1.5. Hoda Debata
Penghormatan tertinggi yang dilakukan adalah persembahan hoda debata. Upacara ini di India
dikenal dengan as’vamedha yang dilakukan oleh raja-raja dan dibantu oleh empat orang imam.
Upacara ini dilakukan atas tiga bagian besar yang terdiri dari pentahbihan, pembebasan, dan
persembahan kurban.
1.6. Persembahan Hoda Debata di Toba
Persembahan Hoda di Toba hampir sama dengan yang dilakukan di India, yaitu: pada acara
pentasbihan, terlebih dahulu kuda dimandikan di mata air, di tempat itu juga harus diberikan
sesajen kepada boru Saniang Naga yang adalah dewi yang berkuasa atas air. Setelah acara
pentasbihan, kuda dilepaskan dan bebas pergi kemana saja. Namun dibeberapa tempat sebelum
kuda dilepas, terlebih dahulu diarak tiga kali mengelilingi kampong dengan iringan sorakan
kemenangan. Dan jika kuda sudah datang kembali ke kampong, dilakukan acara penyucian, yaitu
memerciki kuda dengan air jeruk, dan pada tengkuk dan ekornya dihiasi dengan kembang.
Setelah acara selesai, kuda diikat pada borotan yaitu tiang dimana kuda akan disembelih.
Selanjutnya di potong-potong dan diberikan kepada semua yang hadir sesuai dengan aturan adat.
1.7. Singa ni Ruma
Singa ni Ruma adalah hiasan pada rumah batak yang disebut juga dengan singa-singa yang
panjangnya sekitar 10 m dan lebar 40 cm dan tebal 4 cm. patung ini terdapat di depan rumah
menghadap ke halaman. Sepintas patung ini memperlihatkan wajah yang bengis dan mengancam
serta telinga yang panjang seakan-akan mengandung bisa yang siap disemburkan. Fungsinya
adalah sebagai pelindung ruma, mengancam roh-roh jahat yang mendekat dan menghadang
orang yang bermaksud tidak baik. Patumg singa ini juga terdapat pada bagian rumah lainnya,
seperti pada parhongkom, sande-sande, mundung, loting-loting, halangan gordang.
1.8. Meramal Hari yang Baik
Kepercayaan orang batak purba, jika ingin melakukan suatu kegiatan, haruslah mencari waktu
yang baik, jika tidak akan dapat membawa petaka kepada orang yang bersangkutan. Sarana
utama yang digunakan untuk hal ini adalah parhalaan (kalender), parmesa (dua belas rasi
bintang), panggorda (nama delapan binatang dan burung), pehu na pitu (nama tujuh planet) dan
parmamis (pembagian hari dalam lima kurun waktu).
1.9. Hariara Sundung di Langit
Hariara Sundung di Langit atau Hariara Jambu Barus adalah pohon lambang kehidupan yang
menjulang dari benua bawah sampai ke banua atas, pada pohon tersebut sudah tertulis nasib
manusia. Ada tiga versi mengenai takdir manusia, yaitu yang pertama sebelum roh masuk ke
dalam kandungan, dia terlebih dahulu memohon kepada mula jadi na bolon supaya ditentukan
nasibnya, dan mula jadi na bolon menuliskannya pada sehelai daun hariara tersebut. Yang kedua
yaitu tondi memetik sehelai daun hariara yang pada daun itu sudah tertulis nasibnya. Yang ketiga
adalah penjaga pohon yang memilih takdir untuk roh tersebut. Kepercayaan ini juga terdapat
pada Hindu yang disebut dengan Lokapalas.

BAB III : GELIAT PERJALANAN HIDUP

1. Kelompok Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang batak adalah patrineal, garis keturunan diteruskan oleh anak laki-laki
dan menjadi punah jika tidak ada anak laki-laki yang dilahirkan. Setiap orang dapat
menyebutkan tanpa kesalahan lima atau enam garis keturunan nenek moyangnya, setiap orang
harus tahu dimana kedudukannya dalam marga. Setiap orang batak dapat menelusuri titik temu
kekeluargaan walaupun sudah mencapai puluhan generasi. Jika tinggal di suatu daerah, dengan
mudah diketahui kelompok sasuhunya, ataupun kelompok saompunya. Kelompok kekerabatan
yang terkecil adalah saripe, kelompok yang lebih besar disebut saompu, penamaan kelompok
dilakukan sewaktu acara upacara margondang yang dibatasi hanya keturunan dari satu kakek
(kelompok sagondang). Jika pada acara itu hanya dihadiri empat generasi, biasanya yang
disembelih adalah ayam (sapanganan manuk), jika terdiri dari enam generasi, maka yang
disembelih adalah babi (sapanganan babi atau sapanganan dalu-dalu), jika terdiri dari 8-15
generasi, maka yang disembelih adalah sapi atau lembu (sapanganan lombu), dan jika mencakup
yang lebih besar dan tidak kurang dari tiga abad, dinamakan sahorja horbo.
2. Perkembangan marga-marga
Dimasa lalu jika seorang lelaki meninggal dunia tanpa putra, maka istrinya itu akan dinikahkan
dengan abang atau adik almarhum dari keluarga terdekat yang disebut dengan “singkat rere” atau
ganti tikar, dan anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak kandung almarhum dan berhak atas
warisan yang ditinggalkan. Semua anak laki-laki dan perempuan mempunyai marga yang sama
dengan ayahnya, tetapi setelah anak perempuan kawin dengan sendirinya ia masuk ke
lingkungan marga suaminya. Marga-marga batak dapat terbentuk karena beberapa hal yaitu:
 Sewaktu penyelenggaraan persembahan kurban kepada leluhur, dimana seluruh keturunan
yang jauh dan dekat harus berkumpul pada acara mangose taon (tahun baru), setelah
berkumpul masing-masing orang memberi nama pada kelompoknya, ada yang memebri
nama sesuai dengan tempat tinggal, ada yang berdasarkan gelar, dan ada yang berdasarkan
nama binatang pujaan.
 Pertimbangan keamanan atau pertahanan diri, maksudnya ketika perang antar kampung, ada
kelompok yang bergabung dengan kelompok lainnya, dan agar terjalin solidaritas yang baik,
maka dibentuklah suatu marga yang baru
 Marga baru sewaktu mengadakan pembagaian pertalian
 Pembentukan marga di perkampungan yang baru
 Membentuk marga cabang di daerah perantauan
 Pembentukan marga karena mengangkat anak (adopsi)
 Pemberian marga kepada anak diluar nikah
 Pernikahan dengan orang yang bukan batak
 Pembentukan marga karena suatu kejadian yang luar biasa
 Pembentukan marga karena penghapusan eksogami
 Pemecahan marga indul menjadi marga cabang
 Marga baru ketika meresmikan Tompas Bombong.
3. Derap hidup sejak lahir sampai remaja
Meskipun sebuah kampung itu kecil, namun aturan dan peraturannya harus diindahkan oleh
semua orang tanpa pandang umur. Ketika seorang wanita masih mengandung, ia harus
mengindahkan segala peraturan yang ada supaya ibu dan janinnya tidak diganggu oleh roh jahat.
Maka untuk itu harus waspada dan hati-hati supaya anaknya itu tidak terkena penyakit. Misalnya
seorang ibu yang hamil tidak boleh menjilat gagang sendok yang dipakai menanak nasi, karena
dapat menyebabkan anaknya tertular penyakit kulit, tidak boleh memotong rambut ketika
seorang istri mengandung, karena dapat menyebabkan si istri akan meninggal, dll. Pada saat
menjelang bayi akan lahir, anggota keluarga yang giginya belum dihitamkan dan dipendekkan,
tidak boleh berada disekitar tempat kelahiran. Jika sudah saatnya untuk melahirkan, maka wajib
dipanggil sibaso untuk membantu persalinan, dan si suami harus berjaga-jaga diluar rumah
supaya roh jahat tidak masuk ke dalam rumah. Seteleh bayi lahir, plasenta dan tali pusar
dipotong dengan sembilu bambu yang tajam dengan alas ibu jalar. Jika ari-ari sulit keluar maka
suami yang berada diluar rumah harus memukul-mukul tanah sambil mengucapkan “pareak
donganmu” yang artinya ikutlah temanmu. Untuk menghentikan pendarahan, maka tali pusar
diikat rangkap dua, dan setelah itu anak di ulosi dan diletakkan diatas tikar kercut, tidak lupa
untuk membuat diatas pintu rumah masuk ranting jeruk yang berduri dengan maksud agar roh
jahat yang datang matanya tertusuk ataupun tercungkil. Setelah bayi lahir, seseorang harus turun
ke bawah rumah dan memberi tahu kepada bapaknya, dan bapaknya akan segera membelah kayu
dan membuat perapian dekat istrinya supaya badannya tetap hangat. Setelah anak berumur tujuh
hari, anak harus dibawa ke sungai untuk dimandikan (martutuaek), jika anak itu laki-laki maka
siibu harus membawa lembing, tetapi jika perempuan maka siibu harus membawa alat tenun
dengan maksud supaya begu tidak bertanya-tanya lagi jenis kelamin dari anak itu. Setelah acara
pemandian itu, maka diadakan jamuan makan “itak gurgur” yaitu tepung beras yang dicampur
dengan gula merah. Dalam hal pemberian nama, ada kalanya mengambil nama leluhurnya, dan
hal itu harus mendapat persetujuan dari seluruh galur, dan unutk meresmikannya mka harus
diundang sibaso untuk melihat apakah nama itu cocok, dengan mengambil segenggam beras, dan
menghitung butiran beras itu, jika jumlahny ganjil berarti nama itu tidak cocok, maka harus
dibuat nama lain, dan jika genap (singko) berarti nama itu cocok untuk diberikan kepada anak
lalu diresmikan. Pada saat anak merangkak, jangan dibiarkan merangkak di kolong rumah, hal
itu akan membuat pertumbuhan si anak dan gigi serinya sangat lambat. Dan jika sudah berumur
2-4 tahun, anak dibiarkan bebas bermain sesukanya. Setelah usia 6 tahun, anak diberi
tanggungjawab menjaga padi yang dijemur, mengusir ayam, mengusir burung di sawah, dan
mengambil kayu api. Jika ia anak perempuan, maka ketika ibunya pergi ke sawah, ia mengambil
alih tugas memasak, mengambil air, dan mencari sayur untuk dimasak. Ketika musim panen tiba,
gadis-gadis bekerja dan menumbuk padi, setelah itu mereka ikut ke onan menjual hasil panen
mereka dengan cara barter. Setelah usia mereka genap 12-14 tahun, anak mencapai masa remaja
dan sudah dianggap dapat berumah tangga. Dalam adat batak seorang pria tidak boleh
sembarangan menyapa atau mengunjungi seorang wanita, terlebih dahulu harus dimulai dengan
martandang,. Perkenalan awal yaitu harus memberikan sirih kepada si wanita. Seorang wanita
baru berhak memakan sirih jika giginya sudah dipendekkan (mangalintok ipon) sebagai pertanda
bahwa ia sudah menjadi orang dewasa yang sudah matang. Seorang wanita yang sudah matang,
tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya, tetapi ia tinggal dirumah seorang janda, begitu juga
dengan seorang laki-laki yang sudah dewasa, mereka tinggal di sopo yang dikhususkan untuk
pria. Jika sirih itu dimakan oleh si wanita, maka pembicaraan baru dapat dilakukan, pembicaraan
itu dilakukan dengan sopan dan dengan pantun berbalas-balasan.
4. Membentuk rumah tangga
Bentuk perkawinan orang batak banyak ragamnya, ada yang atas prakarsa sendiri, ada yang
karena dijodohkan, ada yang karena sudah ditunangkan sewaktu kecil. Sistem perkawinannya
adalah eksogami, artinya tidak boleh menikah dengan yang semarga. Bentuk-bentuk perkawinan
yang dianut pada masa silam adalah:
 Perkawinan Biasa (Marbagas)
Perkawinan ini terjadi atas prakarsa suka sama suka, lalu menyampaikan hasrat mereka untuk
membentuk rumah tangga yang baru. Setalah itu dilakukanlah acara pertunangan, menyusul
pertukaran tanda (biasanya tanda hata dan tanda burju), setelah itu dilakukan acara marunjuk
(pesta perkawinan). Setelah acara marunjuk, kedua mempelai tidak diizinkan serumah selama 7
hari (robu-robuan), setelah tujuh hari, kedua mempelai duduk berdampingan dan kepada mereka
diberi sepiring nasi dengan ikannya untuk disantap, dan inilah tanda bahwa mereka sudah sah
menjadi suami istri.
 Perkawinan yang Menyimpang
Perkawinan yang menyimpang ini sering terjadi karena tidak adanya restu dari orang tua, atau
karena tidak adanya kepastian akan hubungan mereka karena mas kawin yang tidak dipenuhi,
maka kedua mempelai akhirnya kawin lari, inilah yang disebut dengan mangalua. Ada juga yang
melakukan kawin lari dengan paksa, karena si gadis menolak cinta seorang pria dengan kasar
sehingga pada malam harinya si pria dengan beberepa temannya menculik si gadis dan
membawanya secara paksa dan menjadikannya sebagai istri, inilah yang disebut dengan
mangabing boru. Ada juga perkawinan atas desakan si pemudi, hal ini dikarenakan si pemuda
bersikap acuh tak acuh, ini disebut dengan marhuempe/mahiturun. Ada pernikahan untuk
mengganti istri yang meninggal (panoroni), atau untuk menggantikan suami yang telah
meninggal (singkat rere), ada pernikahan yang bigami atau poligami yang disebut dengan
marimbang, ada perkawinan sebagai agunan utang (parumaen di losung), perkawinan
menumpang pada mertua (marsonduk hela), perkawinan setelah digauli paksa (manggogoi),
pertunangan anak-anak (dipaorohon) dan perkawinan dikarenakan tidak bisa melunisi utang
(boru sihunti utang).
 Perkawinan yang Terlarang (Marsumbang)
Perkawinan yang terjadi pada dua orang yang semarga disebut dengan marsumbang. Dalam
patik dohot uhum, jika hal ini terjadi maka keduanya akan dibakar hidup-hidup atau
ditenggelamkan ke dalam air, akan tetapi dibeberapa daerah diberi hukuman yang lebih ringan
yaitu dikeluarkan dan dikucilkan dari masyarakat. Selain dilarang menikah dengan saudara
kandung yang semarga, juga dilarang menikah dengan anak perempuan dari kakak atau adik
perempuan ayahnya (namboru) keran hubungan diantara keduanya juga masihlah disebut sebagai
saudara kandung.
 Perceraian
Perceraian di dalam adat batak sangat langka, dan jika hal itu terjadi, adalah dikarenakan
ketidakmampuan seksual istri atau suami, suami atau istrinya mengidap penyakit kusta atau
penyakit jiwa, kemandulan si istri, karena si istri tidak ada lagi harapan untuk melahirkan,
percekcokan rumah tangga, mengawini wanita yang belum cerai, wanita meninggalkan
suaminya, dan wanita dikembalikan suaminya kepada orang tuanya.
5. Mata pencarian
Beras dan ubi merupakan makanan p0k0k didaerah t0ba, sedangkan jagung hanyalah makanan
tambahan yang tidak begitu esensial. Keladi juga dimakan sebagai makanan tambahan. Lauk
yang digemari oleh orang batak adalah dengke na niura, dengke na niarsik, dengke na tinombur,
lampian, dan pinadar. Jadi kegiatan sehari-hari orang batak untuk mencukupi kebutuhannya
banyak ragamnya. Dan pekerjaan utamanya adalah:
 Bertani
Setelah nenek moyang orang batak mengenal beras, maka mulai ditamani tumbuhan ini. Walau
susah untuk menanamnya, para petani bekerja begitu keras, dan karena pengalaman yang sangat
panjang, petani sudah mahir mengola tanah persawahan dan pengirigasian. Dalam bersawah,
rang batak melakukan pekerjaan bergotong royong yang disebut dengan marsiadapari. Setelah
tujuh bulan dilakukanlah “mardege” yaitu merontokkan padi dengan cara memijak-mijak tangkai
padi, setelah itu menjemurnya dan memasukkannya ke dalam lumbung. Untuk melakukan hal ini
dibutuhkan waktu sebanyak 9 bulan. Untuk hasil panen yang baik, maka haruslah dilakukan adat
memberikan sesajen kepada nenek moyang, supaya hasil panen diberkkati dan melimpah ruah.
 Beternak
Hewan yang biasa menjadi ternak orang batak adalah babi, ayam, anjing, kerbau, dan kuda.
Hewan babi, ayam dan anjing tidak begitu dipelihara dengan baik, bahkan dibiarkan berkeliaran
begitu saja dan mencari makanan sendiri, sedangkan kerbau dan kuda biasanya dibawa ke
padang rumput oleh para gembala.
 Menangkap ikan
Tidak semua daerah memiliki tempat untuk menangkap ikan. Peraturan menagkap ikan di danau
hanya berlaku pada orang yang berdomisili di sekeliling pantai. Jika seseorang menangkap ikan
di wilayah yang bukan horjanya, haruslah mendapat izin dari raja Parjolo.
 Bertenun
Ketika leluhur orang batak tiba di kaki gunung pusuk buhit, maka pakaian mereka adalah kulit
kayu yang sudah dilemaskan (tangki). Dan setelah kapas dikenal, maka orang batak mulai
bertenun membuat ulos. Pengetahuan bertenun ini diperkirakan diperoleh dari India belakang.
Sebagian besar hasil tenunan adalah untuk keperluan sendiri, namun terkadang ada yang
membawanya ke pekan (onan) untuk ditukarkan dengan barang keperluan sehari-hari.
 Berjualan (maronan)
Dahulu jika ingin menukarkan benda (marsisambaran) tempatnya belum ada, sehingga jika ada
yang ingin menukarkan barangnya, haruslah mendatangi rumah-rumah orang. Lama kelamaan
cara ini dianggap sangat melelahkan, maka oleh pengetua kampung diadakanlah musyawarah
(harungguan godang) yang dihadiri pimpinan horja dan huta. Musyawarah itu memutuskan
mendirikan sebuah pekan yang disebut dengan onan.
6. Penghakiman oleh Ilahi (Hopok)
Penghakiman oleh Ilahi (Hopok) terjadi apabila seseorang itu berani mengangkat sumpah untuk
membersihkan diri (gana) bahwa ia tidak bersalah dan bersedia kena kutukan jika benar
melakukan kesalahan. Dalam melaksanakan hopok ini, datu sangat berperan dalam menetapkan
hari pelaksanaannya.
7. Peperangan (Hamusuon)
Peperangan yang sering terjadi adalah peperangan antara kampung dengan kampung. Dan sering
pemicunya adalah dikarenakan hal-ha yang sepele, yaitu karena tersinggung, sakit hati, atau
karena tidak mampu membayar utang karena kalah berjudi. Dan sering orang yang menjadi
sasarannya dalah orang yang tidak ada hubungannya dengan rang yang berutang, si empunya
utang akan menculik siapa saja orang yang berasal dari kampung itu dan memasungnya sampai
utang tersebut dibayar. Penculikan itu tentu memicu terjadinya perang antar kampung dengan
tujuan untuk membebaskan orang yang terpasung itu. Akan tetapi orang batak memiliki
peraturan perang, ada beberapa tahap, yaitu dengan melakukan pengumuman perang. Pada tahap
ini seseorang yang merasakan dirugikan akan menjumpai orang lain, agar orang tersebut
menjumpai orang yang menjadi lawannya untuk disuruh meminta maaf, jika si tersangka tidak
mau, maka diadakan acara pendamaian diantara kedua dan jika hal ini juga tidak mendapat
penyelesaian, maka baru dapat diadakan perang. Peraturan perang dalam adat orang batak tiu
harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada seperti tidak boleh mencederai pihak ketiga yang
ingin mendamaikan, tidak boleh membunuh anak-anak sampai usia gembala, tidak boleh
mengikutsertakan wanita dalam perang dan mencederainya, tidak boleh merampas barang yang
bernilai mahal, raja dan rumahnya tidak boleh ditembak, tidak diperkenalkan menyerang pada
malam hari, tidak boleh menembak dan membunuh orang yang sedang bekerja di sawah, dan
tidak bole mencederai orang yang berasal dari kampung lain ketika di onan. Sedangkan senjata
yang dapat digunakan dalam perang adalah tombak yang panjang dan besar (gala solu, giringan
ransar), tidak boleh membubuhkan racun pada ujung tombak, orang yang luka kena tombak,
tidak boleh ditusuk pakai tombak untuk yang kedua kalinya, dan orang yang jatuh ke lobang,
sumur atau ke jurang tidak boleh dikejar. Akan tetapi peraturan perang ini tidak diberlakukan
lagi ketika terjadi perang Padri yang menyebabkab banyak korban jiwa. Perang Padri yang
dibawa oleh tentara Padri yang dipimpin oleh tuanku Rao, untuk mengislamkan seluruh
penduduk yang masih berhala. Namun usaha itu gagal dilakukan di daerah orang batak toba
karena setelah perang terjadi wabah penyakit karena banyak mayat yang bergelimpangan dan
membusuk. Tentara Padri yang masih hidup akhirnya dibawa pulang ke tempat asal karena
penyakit kolera yang mewabah di daerah tersebut.
8. Horja dan Bius
 Persekutuan Horja
Huta merupakan persekutuan masyarakat yang paling kecil, dan untuk mengatur kepentingan
bersama, maka beberapa kampung (biasanya 15-20) membentuk sebuah federasi yang sifatnya
otonom yang disebut horja.
 Persekutuan Bius
Beberapa huta yang terikat satu dengan yang lain secara kesilsilahan, membentuk horja. Akan
tetapi banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh horja, maka masyarakat membentuk
kelompok lagi yang tidak terikat lagi pada kelompok satu masyarakat yang semarga, inilah yang
disebut dengan bius. Jadi bius tidak tergantung pada satu kelompok marga lagi, akan tetapi
sudah terdiri dari beberapa marga, dan biasanya terdiri dari orang-orang yang mengalami
bencana yang sama. Bius adalah kelompok beberapa horja yang telah bergabung dan membentu
perserikatan yang baru.
 Tugas dan Kewajiban Bius
Tugas dan kewajiban bius adalah membantu menyelesaikan masalah, misalnya mengadili orang
yang bermaksud tidak baik terhadap anggota bius, membantu melakukan pembagian tanah
kepada masing-masing suku dan marga dalam satu bius, melaksanakan pemilihan kepala duniawi
bius, mengatur pembagian air irigasi untuk kepentingan seluruh anggota, mendamiakan dan
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di dalam bius, ada kalanya bius bersekutu membangun
onan yang digunakan untuk bersama yang disebut dengan sanksi, membentuk ikatan keluarga
berdasarkan agama dengan beberapa bius yang letaknya berjauhan yang disebut dengan janji.
Tujuan dari janji ini adalah untuk lebih mempererat pertalian keluarga diantar bius-bius yang
bergabung dalam janji, menjamin keamanan jiwa maupun harta benda anggotanya, merayakan
pesta bius atau pesta kurban secara bersama, untuk membebaskan orang yang kena pasung
akibat diculik ataupun karena tidak boleh membayar utang karena kalah berjudi, untuk
mendamaikan orang yang bersengketa diantara kedua belah pihak.
Seiring dengan perkembangan yang begitu pesat, maka bius yang ada semakin
berkembang dan kembali membentuk suatu kelompok yang baru, bius yang terbentuk itu
melakukan pembagian tanah lagi, inilah yang disebut dengan partalian. Namun pada masa
pendudukan Hindia-Belanda, dilarang melakukan acara mangose taon (tahun baru) dan
margondang, sehingga pertambahan bius secara praktis terhenti dan akhirnya semaikin surut dan
akhirnya lenyap.

Bab IV. Rumah dan Perkampungan


1. Kampung tradisonal Batak- Toba
Di dalam mendirikan kampong batak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.1. Hak pemiilik tanah, Pada umumnya tanah di Toba dimiliki oleh marga disebut pargolat atau
partali, sedangkan di Samosir disebut turpuk artinya pemenang hak atas tanah. Asal mula sesuatu
marga memperoleh golat ialah karena membuka tanah baru, diperoleh sebagai rampasan perang,
atas pemberian atas hasil musyawarah, diperoleh sebagai hasil pembelian.
1.2. Mendirikan perkampungan yang baru, Penduduk membangun kampung yang baru karena
beberapa alasan, yaitu: Didorong keinginan supaya jadi pemimpin kampong atau Raja Huta.
Pada umumnya si pendiri kampunglah yang dipilih menjadi pemimpin kampong, Selama tinggal
di kampong yang lama, selalu mendapat kesusahan karena sakit-sakitan, tidak mempunyai anak
dan lain-lain. Diharapkan kalau pindah ke kampong yang baru mungkin nasib akan berubah,
kesusahan akan hilang dan peruntungan akan semakin baik, Kampong yang lama sudah semakin
sempit, tidak ada lagi kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup, oleh karena itu timbul
keinginan untuk mencoba nasib di tempat yang baru, disebut pabadanghon panjampalan, Di
kampong timbul perselisihan antara yang bersaudara (berkeluarga). Meskipun kepala kampong
dan orang yang dituakan sudah berusaha mendamaikan, namun tidak berhasil. Untuk mencegah
sengketa yang berlarut-larut. Demikian juga supaya keluarga dan tetangga tidak terbawa-bawa,
Raja Huta menganjukan supaya salah seorang dari yang berselisih pindah ke kampong lain atau
mendirikan kampong yang baru, Datu meramalkan jika pindah ke sebuah kampong yang baru,
rezeki akan semakin melimpah ruah, Perlu dibangun sebuah kampung yang baru berbatasan
dengan kampung musuh, berfungsi sebagai perisai pelindung untuk kampung yang lama.
1.3. Hak dan kewajiban warga, Apabila Siboan Bunti pindah meninggalkan kampung, ia
kehilangan haknya menguasai tanah. Jika dia atau ahli warisnya ingin pulang kembali ke
kampung yang lama, sama seperti orang lain ia harus meminta izin terlebih dahulu kepada
Kepala Kampung dan permohonannya tersebut idak boleh ditolak. Dia dapat memperoleh hak
golat-nya kembali kalau ia bertempat tinggal di horja dan meminta kepada Raja Parjolo untuk
memperoleh haknya. Permintaan hak golat juga tidak boleh ditolak. Penduduk kampung wajib
menerima kepemimpinan kepala kampung. Seseorang yang termasuk dalam “marga penumpang”
(na hinomit), hanya berhak memungut hasil tanah yang dipinjamkan kepadanya dan ini disebut
hak parripean. Penduduk wajib memelihara tanggul atau benteng yang terletak dibelakang
rumahnya, sendangkan benteng yang terdapat di bagian lain dirawat oleh Siboan Buntil dibantu
oleh penduduk kampung.
1.4. Subang sewaktu mendirikan kampung
Sumbang adalah larangan yang tidak boleh dilanggar. Pada zaman dahulu orang tidak berani
melanggar sumbang karena takut akan berupa penyakit atau mencabut nyawa si pelanggar.
Beberapa diantara sumbang yang harus diperhatikan sewaktu mendirikan dan menempati
kampung adalah: Sebelum membangun kampung yang baru, terlebih dahulu harus menanam
pohon hariara dan sanggar (sejenis rumput pimping) di tengah sebidang tanah yang akan
dijadikan perkampungan. Pada waktu itu harus dipersembahkan buntil (sajian kue terbuat dari
tepung disebut sagu-sagu) kepada dewata, supaya mereka jangantersinggung dan bersedia
memberkati kampung. Ketika mempersembahkan sesajen kepada dewata atau leluhur, si
pembawa persembahan harus berusaha supaya selalu berada di belakang Pane na Bolon dan
jangan berdiri di hadapannya. Adalah sumbang menerima orang yang berasl dari sebuah
kampung yang sedang atau pernah terbakar untuk menumpang di kampungnya, karena dianggap
dapat “membawa api”. Adalah sumbang bila seseorang memasuki kampung memakai kerudung
di kepala, karena kerudung melambangkan orang meninggal.
2. Rumah dan Sopo
Berdasarkan fungsinya, rumah tradisionla Batak-Toba dapat dibagi atas dua jenis yaitu ruma dan
sopo. Ruma digunakan sebagai tempat tinggal keluarga, sedangkan sopo sebagai tempat
menyimpan padi dan sekaligus sebagai tempat menginap tamu atau pemuda. Bentuk ruma dapat
dibagi atas tiga bagian besar yaitu: Bagian bawah, Seluruh rumah berdiri dan ditopang oleh batu
pondasi tersebut dari batu kali tingginya sekitar 0,50 meter, dinamakan batu ojahan. Bangunan
rumah berdiri di atas tiang (pilar) bulat, besar dan kokoh disebut basiha, jumlahnya tergantung
pada besar rumah, tingginya antara 1,70-1,85 meter. Di keempat sudut rumah berdiri tiang utama
yang menopang rumah, disebut tiang parsuhi. Bagian tengah, Yang dimaksud dengan bagian
tengah rumah ialah lantai dan dinding, terdiri dari ture-ture, parhongkom, dorpi, tomboman
adop-adop, lonting-lonting dan lain-lain. Bagian atas, Yaitu yang tediri dari jengger-jengger,
holing gordang dan tarup.
3. Kehidupan di Dalam Kampung
Kehiudupan dalam kampung dipimpin oleh kepala kampung. Suatu kebiasaan dalam kehidupan
di dalam kampung baik laki-laki maupun perempuan ialah makan sirih. Baik kepada orang yang
pertama kali berjumpa atau bertamu akan disodorkan sirih. Daun sirih rasanya sedap meskipun
sedikti pedas. Hidup keluarga yang tinggal dalam satu keluarga yang anaknya masih tinggal
bersama keluarganya diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi keganjilan dan untuk menjaga
supaya tidak timbul hubungan yang menyimpang antara penghuni ruma sehinga dibuat sumbang
yang harus dipatuhi.
4. Memilih dan mengangkat Raja
1. Raja urusan duniawi
Raja ini terbagi atas dua yaitu raja huta dan raja rohaniawan. Raja huta atau kepala kampung
adalah orang yang mendirikan kampung tersebut. Jabatan kepala kampung dapat diturunkan dari
bapak ke anak atau kepada sanak saudara terdekat. Diberi bermacam-macam gelar, Sipungka
Huta artinya pendiri kampung, Siboan Bunti (pembawa sesajen), Tunggane ni Huta (tetua
kampung) dan gelar yang paling umum adalah Raja Huta (Kepala kampung). Raja junjungan
adalah raja duniawi yang dihormati dan raja yang tertinggi, pengarahannya wajib dituruti oleh
semua anggota horja. Syarat untuk menjadi raja junjungan sangat berat, dia harus mempunyai
sahala raja (charisma dan wibawa) dengan sifat-sifat utama yaitu:
a. Habolonon yaitu mempunyai keluarga besar dan keturunan banyak, sedapat mungkin
berasal dari keturunan keluarga yang sulung.
b. Hamoraoan yaitu sifat yang menunjukan bahwa seseorang itu sukses dan jaya dalam
hidupnya.
c. Habisuhon yaitu ciri seorang pemimpin yang bijak dan ahli melakukan strategi, arif dan
cerdik berbicara gagah-berani dalam peperangan dan tangguh mempertahankan kampung.
d. Habeguon yaitu perkasa dalam perang dan tegas terhadap bawahan.
e. Hadatuaon yaitu terampil dalam ilmu gaib dan juga pengubatan
f. Parpollung yaitu ahli negoisasi dan pintar bersoal-jawab.
g. Panggalang yaitu suka menjamu orang lain dan siap memberi derma kepada sesame
manusia.
h. Menguasai Patik dohot Uhum (hukum dan peraturan) dan bertindak adil.
i. Menguasai hukum adat pertanahan dan mahir dalam pengetahuan silsilah (tarombo)
j. Parasnya menarik dan dapat menahan diri terhadap godaan sekeliling.
k. Ramah dan dapat dipercayai
l. Harus anak bangsawan atau anak taja, tidak boleh anak pungut atau anak yang diperoleh
dari suami yang lain.
2. Raja rohaniawan
Bius adalah suatu masyarakat kurban, meliputi daerah yang lebih luas dari horja. Pemimpin pesta
(suhut) selalu dipegang oleh Raja Parjolo, adakalanya dirangkap oleh kepala parbaringan. Tugas
utama parbaringan adalah sebgai rohaniawan, memimpin dan menyelenggarakan acara
persembahan kepada leluhur dan dewata. Oleh karena tugasnya yang suci, parbaringan
memperoleh fasilitas kehormatan.

Bab V. Hadatuon dan Pengobatan


1. Pengobatan
Dalam pengobatan dapat dibagi atas ilmu pengobatan:
1.1. Ilmu mendiagnosa penyakit
Jika diminta bantuannya untuk menyembuhkan penyakit adalah melakukan diagnose. Menurut
kepercayaan penduduk, penyakit timbul disebabkan pengaruh kekuasaan begu atau disebabkan
tondi yang sedang bertingkah. Contoh salah satu diagnose penyakit adalah jika datu kebetulan
sedang menyiapkan sirih, hal itu merupakan petunjuk bahwa tondi orang yang sakit itu sendirilah
penyebab penyakit. jika datu kebetulan sedang menyiapkan sirih, hal itu merupakan petunjuk
bahwa tondi orang yang sakit itu sendirilah penyebab penyakit. Ketika dukun tiba di pintu
gerrbang kampung dan dia menemukan sepotong kayu atau tiang bangunan terletak di jalan
merbang kampung dan dia menemukan sepotong kayu atau tiang bangunan terletak di jalan
merupakan pertanda bahwa pasien penyakit karena perbuatan sombaon yang tinggal di pohon-
pohon besar atau di hutan kecil yang keramat. Dengan diagnose yang dilakuna datu itu maka
barulah diketahui apa yang sedang terjadi padanya dan diarahkan.
1.2. Ilmu mengobati penyakit
 Pengobatan tradisional
Ada beberapa cara yang dilakukan dalam mengobati penyakit dengan pengobatan tradisional
diantaranya: Dengan mengoleskan obat (mandaishon, mandalohon), Membidik (manalbui,
manujui), Menempelkan obat (mandalpohon, mamalithon), Membakar (mangarahar),
Menggosokan obat (mandampolhon), Mengurut (mangarut, mengalut, manarohon, mandampol),
Meniup (mangombushon. mandusdushon), Menyemburkan obat (mamursikhon), Meneteskan
(manetekhon, mamispishon), Menghirup bau (paanggohon), Berkumur (marsiruhu), Menyedot
(mamohom), Menghentikan pendarahan (mangontok mudar), Mencedok (manuhi), Mandi
(maridi), Berjemur di matahari (mansusuari), Mandi uap (martup, manangas), Jimat (parlapihan),
Pengobatan secara simbolis (panujuon), dan Minum obat (manginum obat)
1.3. Pengobatan dengan Mantra atau Jampi-jampi (Obat pelindung atau pagar)
Obat pelindung atau pagar terdiri dari beberapa obat pelindung diantaranya: Obat pelindung
perorangan yaitu obat untuk melindungi perorangan yang harus diminum melalui mulut (pagar
sipanganon) tetapi untuk orang yang sedang hamil dijunjung di atas kepala, Obat pelindung
untuk wanita yang hamil yaitu obat untuk melindungi anak dan ibu. Jenis obat yang biasanya
diberikan diantaranya pagar pangaramotiaon (pelindung), pagar parorot (pengasuh dan penjaga
anak), dll. Obat pelindung untuk wanita yang sakit yaitu obat yang diberikan kepada wanita yang
sedang sakit baik itu ketika dia sedang hamil. Obat untuk bayi yang sedang hamil dalam
kandungan yaitu obat yang diberikan kepada ibu bayi baik sebagai obat dalam maupun obat luar
agar bayi terjaga di dalam kandungan. Obat untuk wanita yang sulit melahirkan Obat untuk
megneluarkan ari-ari. Obat untuk mencegah keguguran. Obat untuk melindungi wanita yang
baru melahirkan, Obat pelindung keluarga, Obat pelindung kampong, dan Melindungi upacara
pemujaan.
1.4. Parsili
 Parsili hian (Parsili biasa), Parsili adalah sejenis patung atau gambar, pada umumnya dibuat
dari batang pisang. Dengan kekuatan magis, penyakit atau penderitaan dapat dipindahkan ke
patung tersebut, lalu dibuang atau disingkirkan ke pemukiman roh jahat. Parsili hian adalah
jika seseorang sakit diduga karena tondi-nya ditawan begu, maka untuk mengobatinya datu
membaut patung kecil dari batang pisang atau batang enau dan kadang-kadang juga dari
pohom kayu.
 Parsili sibalik bija, Yaitu untuk melindungi pribadi, kelompok masayarakat atau suku dari
gangguan bencana, datu membuat pelindung.
 Parsili daon hangalan, Yaitu jika seorang gadis atau pekerja sulit memperoleh pasangan atau
sepasang suami-istri kehilangan semua anaknya sewaktu masih muda, mereka meminta
bantuan datu supaya halangan dan kendala mereka disingkirkan.
 Parsili sipaimbar, Yaitu jika seseorang terkejut karena bermimpi buruk lalu jatuh sakit
sehingga datu membuat parsili sipaimbar. Pada malam hari orang yang hendak disembuhkan
disuruh dukun berseru memanggil-manggil, bila begu terpancing menjawabnya maka
malapetaka akan pindah ke si penjawab.

2. Ilmu Hitam
2.1. Racun dan Gadam
Racun yang paling berbahaya diperoleh dari jamur tali siolang atau silang sia yaitu cendawan
yang sangat beracun. Efek racun berbeda-beda ada yang langsung mengakibatkan kematian
tetapi ada juga membuat penyakit berhari-hari atau bermingu-minggu. Jika seseorang terkena
penyakit berat berkepanjangan dan tidak sembuh-sembuh, dikatakan terkena sarana gaib begu,
jika yang didierita penyakit kulit tertentu disebut hona gadam ni begu atau hona ardom bosi ni
begu. Sarana gaib yang diracik dengan menggunakan bulu putih disebut gadam sihambing bajar,
yang diramu dengan bulu kuning disebut gadam ardom bunga dan yang menggunakan bulu hitan
disebut gadam situnggo-tunggo.
2.2. Pangulubalang dan Pupuk
Pangulubalang adalah begu seorang anak yang diculik lalu dibunuh, rohnya dapat disuruh
membunuh atau memusnahkan musuh, sedang pengertian sekarang pangalubalang adalah
seorang panglima perang. Pangulubalang juga dapat meredam dan melumpuhkan sarana gaib
musuh, bahkan dapat menyuruh ilmu gaib dan musuh berbalik menyerang sipengirim. Sisa-sisa
mayat anak yang diculik yang sudah menjadi arang dijadikan pupuk yaitu roh yang akan
dimasukan ke dalam patung yang menyerupai manusia dibuat dari tanah liat, kayu, pohon pisang,
batu atau hanya berupa gambar.
2.3. Sihir untuk menyerang musuh
 “Pangalomuk Ulu ni Begu” dan “Parau ojang sibanggar-banggar”
Pangalomuk Ulu ni Begu adalah memiliki kekuatan menyuruh orang yang berasal dari suku lain
masuk ke kubu musuh untuk membuat seseorang terkena gangguan jiwa, sedangkan Parau Ojung
Sibanggarbanggar artinya perahu yang terbuat dari pohon songgak. Keselurahan sarana magis
tersebut dibungkus dengan daun bira (keledai besar) dan ijuk yang telah pernah disambar petir
atau ijuk yang telah ditembak dengan senapan. Selanjutnya awak kapal dibawa ke daerah
perbatasan rumah.
 Dorma dan Aji
a. Dorma, Selain penghulubalang, datu masih mempunyai sebuah sihir lain namanya dorma.
Tidak semua dorma digunakan untuk keperluan perang, tetapi ada juga untuk pelindung yang
disebut Panongtongi Sabungan ni Dorma. Ada sebuah dorma lain yang namanya Pandermon
artinya obat pemikat, dipakai untuk memerangkap tondi musuhnya yang sedang berkeliaran,
setelah ditangkap lalu dibius.
b. Aji, Yaitu ramuan obat yang diberikan kepada musuh secara tersembunyi. Aji hampir sama
dengan pangulubalang, bedanya bukan anak kecil yang dibunuh melainkan seekor katak yang
ditusuk dengan bor besi yang membara. Aji Manis dipakai di masa perang, baik untuk
menyerang maupun untuk menangkis sihir musuh yang menggunakan ilmu gaib hitam.
2.4. Menangkis dan mimindahkan malapetaka
Untuk mempertahankan diri terhadap ancaman malapetaka yang dilancarkan musuh, datu
menyiapkan panuru ni hatiha ma pitu yaitu suatu kekuatan magis yang dapat membalikan
ancaman roh dan menyerang si pengirim guna-guna.
5. Ilmu Meramal
1. Kelender peramal (parhalaan)
Yaitu salah satu naskah kuno yang terdapat dalam masyarakat Batak yang digunakan untuk
mengetahui hari-hari baik maupun buruk. Kelender ini memiliki banyak fungsi untuk datu,
terutama untuk melakukan ramalan mulai dari mencari hari baik untuk suatu acara. Misalnya
untuk acara banyak orang, pada hari yang pertama dan kedua bulan SipahaSada (bulan yang
pertama) tidak boleh mengadakan acara lagi. Ramalan tentang anak lahir yaitu jika seorang bayi
lahir pada bulan Sipaha Sada bintanya adalah Mesa yang diciptakan oleh Dewata, anak tersebut
termasuk dalam lingkungan angin putting beliung, hidupnya akan sengsara dikumudian hari, dan
ramalan lainnya.
2. Nujum menggunakan orakel (martondung)
Tondilah yang menentukan nasib yang akan dijalani seseorang dalam hidupnya.Winkler
membagi ramalan orakel dalam tiga golongan besar yaitu:
a. Orakel untuk melihat tondi yaitu orakel yang mengguanakan banyak saran diantaranya orakel
tangan dengan melihat garis tangan, orakel gigi dengan memendekkan gigi sebagai tanda usia
dewasa, orakel nama untuk meramalkan apakah pasangan kita serasi atau tidak, dan orakel
lainnya.
b. Orake untuk Mengetahui Keputusan Dewa dan Leluhur Yaitu suatu ikhtiar untuk mengetahui
bagaimana hasil akhir dari sesuatu rencana atau sesuatu perbuatan yang sedang dilaksanakan.
Melalui perantaraan orakel ditanyakan kepada roh leluhur bagaimana hasil akhir peperangan
yang sedang berlangsung melawan musuh. Orakel yang digunakan untuk mengetahu keputusan
leluhur antara lain orakel manuk gantung yaitu ayam yang digunakan dengan yang berfungsi
untuk menyiapkan pagar guna menlindungi penduduk desa. Orakel todung singko-singko yaitu
untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada seseorang atau kelompoknya sesuai dengan
keputusan leluhur.
3. Meramal menggunakan astrologi
Sarana meramal menggunakan astrologi dilakukan dengan sebuah tampi yang diatasnya sudah
dilukis sebuah kompoas yang menunjukan arah mata angin. Diantara utara dan barat dilukis
seekor ayam jantan sebagai tanda bahwa tempat itu adalah singgasana Debata na Tolu dan
sekaligus sebagai tempat rumah tinggal tondi. Diantara utara dan timur laut digambarkan sebuah
lingkaran sebagai symbol mata air di sawah.

Anda mungkin juga menyukai