NIM: 11210321000054
Kelas: 4B (SAA)
Tugas Imdividu: Agama-agama lokal
A. Asal-usul Orang Dayak
Kata “Dayak” pada awalnya digunakan untuk menyebut penduduk asli di pedalaman
Pulau Kalimantan. Terutama untuk membedakan dengan masyarakat di pesisir yang
umumnya memeluk agama Islam. Di Kalimantan Timur penduduk asli yang memeluk
agama Islam dan amat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan kerajaan dan kesultanan
zaman dulu dikenal dengan sebutan Halok atau Halo’ atau orang Kutai. Di Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah penduduk asli yang beragama Islam cenderung
menggolongkan diri ke dalam kelompok suku bangsa Banjar. Sedangkan istilah “Dayak”
merupakan sebutan bagi orang Dayak yang non-Islam.
Suku Dayak adalah penduduk asli Kalimantan, namun setelah kedatangan orang Melayu
dari Sumatera, Jawa dan semenanjung Malaka, mereka semakin mundur ke dalam, dan
lambat laun tersebar di seluruh Kalimantan, bahkan ada yang menetap di pulau
Kalimantan di sepanjang pesisir. Orang Dayak adalah “mentega ueh mamut” yang berarti
orang yang kuat, berani, tidak kenal menyerah atau tidak pernah mundur.
Suku Dayak percaya bahwa melalui balampah mereka dapat bertemu dengan para
dewa, Sangiang atau roh orang mati. Orang Dayak biasanya melakukan balampah
dengan tujuan untuk berperang, mengaji atau pergi ke luar negeri. Tempat-tempat
yang dipilih biasanya adalah tempat-tempat yang dianggap keramat seperti makam
suci, hutan angker, bidak binatang, pangtuha, kuburan orang mati melahirkan, kuburan
bayi yang meninggal saat lahir, air terjun, pohon beringin, gua batu, dll.
Ilmu magis sejak lahir adalah ilmu yang dibawa seseorang sejak lahir, yang merupakan
sesuatu yang jarang terjadi. Satu hal yang diyakini oleh suku Dayak Benuaq dan
Tunjung adalah jika seorang anak lahir terbungkus selaput atau terbungkus selaput
maka disebut Kalubut dalam bahasa Dayak Ngaju atau Suut dalam bahasa Benuaq,
Maka konon ia telah buaya kembar. Seharusnya bayi menjadi disfungsional atau gagal.
Dikatakan bahwa mereka yang memiliki pengetahuan bawaan seperti itu tidak
memiliki pengetahuan magis yang setara atau setara dengannya.
Kaharingan merupakan agama primitif masyarakat Dayak dan biasa dikenal dengan
agama Hindu Kaharingan. Agama ini berbeda dengan agama Hindu di Bali, namun tetap
merupakan bagian dari agama Hindu Dharma yang telah diakui sebagai salah satu agama
di Indonesia. Agama Kahalingen memuja roh gaib, roh nenek moyang mereka atau roh
lainnya. Mereka juga percaya bahwa semua benda dan tumbuhan di sekitar mereka
memiliki jiwa dan perasaan seperti manusia, dan mereka percaya bahwa beberapa benda
ini memiliki kekuatan magis.
D. Upacara adat kematian dan penguburan Orang Dayak ( dayak benuaq, kanaytan, ngaju,
manyaan, dll)
Upacara adat Kematian merupakan tradisi atau adat isti adat yang di lakukan oleh tiap
daerah yang merupakan sebagai suatu keharusan yang di lakukan sebelum
mengkebumikan jenazah, dan sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap orang
yang telah meninggal dunia. Pada umumnya upacara kematian dilakukan dengan cara
dikubur, namun ternyata ada sejumlah daerah-daerah di Indonesia yang memiliki
sejumlah tradisi yang berbeda dari upacara kematian umumnya. Sebenarnya tradisi-
tradisi tersebut adalah peninggalan kebudayaan sebelum datangnya agama Islam dan
kristen ke Indonesia.
Suku Dayak merupakan suku yang memiliki agama tersendiri yang disebut agama
Kahalingan. Menurut mitologi, agama ini diturunkan dari langit ketujuh oleh Ranying
Mahatalla Langit. Suku Dayak memiliki lambang yang disimbolkan dengan tangkai ikan
haring yang berarti pohon kehidupan. Pohon kehidupan ini memiliki makna filosofis
keseimbangan atau keselarasan dalam hubungan antara manusia, manusia dengan alam,
dan manusia dengan Tuhan. Suku Dayak menggunakan Pohon Kehidupan sebagai
pedoman interaksi, sosialisasi atau hubungan baik dengan sesama manusia, manusia
dengan alam, manusia dengan Tuhan, dan kelompok agama.
Referensi
Kuenna. (2015). Simbol dalam Upacara Adat Dayak Ngaju (Symbols ini Ritual
Tribe of Dayak Ngaju). Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 5(2), pp. 179
187.
Yustika, N. (2017). Menggali Simbol-Simbol Perkawinan Adat Suku Dayak
Tunjung sebagai Ungkapan dalam Perkawinan Gereja Katolik di Kecamatan
Linggang Bigung, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur (Skripsi). Universitas
Sanatha Darma: Yogyakarta.