Anda di halaman 1dari 4

Nama: Jessica Nurdin Ardana

NIM: 11210321000054

Kelas: B (Studi Agama-agama)

Mata Kuliah: Agama-agama Lokal

Diskursus Dan Eksistensi Agama kepercayaan lokal di Indonesia

a. Perspektif sejarah atau historis

Saat ini, Indonesia hanya mengakui enam agama. Di luar agama tersebut, mereka
hanya dianggap sebagai agama kepercayaan, termasuk agama lokal. Meskipun ada
245 agama lokal di Indonesia. Karena tidak diakuinya agama lokal, diasumsikan
bahwa orang Indonesia tidak beragama sebelum abad pertama. Menurut
Kuntjaraningrat, dalam bukunya Culture, Mindset and Development (1974), istilah
agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui secara resmi oleh negara,
yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pada saat yang sama,
semua sistem kepercayaan yang tidak atau belum diakui secara resmi secara kolektif
disebut sebagai agama. Secara khusus, agama diartikan sebagai sistem kepercayaan
yang dianut dan diperagakan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menafsirkan dan menyikapi apa yang dianggap supranatural dan sakral.

Menurut Parsudi Suparlan, jika agama adalah seperangkat aturan yang mengatur
hubungan manusia dengan alam gaib, maka bukan hanya enam agama yang diakui
pemerintah yang pantas disebut agama. Iman juga pantas disebut agama. Di daerah
Banten, suku Baduy sebelum masuknya Islam, Urang Kanekes sudah berkembang. Di
daerah berbahasa Jawa Jawa Tengah dan Jawa Timur setidaknya terdapat beberapa
kepercayaan seperti Kejawen, Purwodukno, Budi Luhur. Di era kolonial, setelah
masuknya Islam, Saminisme muncul.

Di Sulawesi Selatan, masyarakat Tana Toraja menganut agama Alukta Dora, sebelum
agama Kristen berkembang. Selain itu, sebelum masuknya Islam, Sulawesi Selatan
juga memiliki gereja Taurat. Sebelum masuknya agama Kristen, masyarakat
Minahasa di Sulawesi Utara menganut agama Tonaswali. Agama Wetu Telu yang
mirip dengan Islam berkembang di Lombok. Sebelum berkembangnya agama Kristen,
agama Nauruan dianut oleh masyarakat di Pulau Seram di Kepulauan Maluku. Agama
Merapu juga berkembang di Sumba sebelum Kristen dan Islam berjaya di Pulau
Sumba. Marapu pun tak hilang dari ingatan. Nama Marapu dijadikan nama Band
Reagea di Jogja.

b. Perspektif sosiologi dan antropologis

Secara sosiologis, agama bukan hanya ideologi doktrinal yang abstrak, tetapi juga
hadir dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk material. Misalnya, antropolog dan
sosiolog percaya bahwa orang-orang dari Zaman Batu, Zaman Tembaga, Zaman
Perunggu, dan Zaman Besi untuk memenuhi kebutuhan mereka melalui perburuan,
pertanian, dan industri memengaruhi interpretasi mereka terhadap agama. Terjang,
Banjir, dll. Perasaan takut dan gentar berujung pada ketergantungan, mencari
pertolongan, bertindak dengan memujanya. Berkaitan dengan itu, artikel ini berfokus
pada perspektif sosiologis tentang definisi, asal-usul dan aspek agama. Agama
dipahami sebagai fenomena sosial yang dimanifestasikan oleh masyarakat, yaitu
sebagai bagian dari kebudayaan. Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur
yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dan sistem kebudayaannya. Agama
dan prilaku keagamaan tumbuh dan berkembang dari adanya rasa ketergantungan
manusia terhadap kekuatan ghaib yang mereka rasakan sebagai sumber kehidupan.
Maka dalam perspektif sosiologi terdapat beberapa aspek yang amat penting dalam
beragama, yakni: kepercayaan (Religious Belief), Ritual dan Seremoni (Religious
Ritual), pengalaman pribadi (Religious Experience) dan Komunitas Moral (Religious
Community).

c. Perspektif hukum (kebijakan negara) dan HAM

Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Oleh karena itu,
tidak seorang pun dapat dipaksa yang akan mempengaruhi kebebasannya untuk
mempertahankan atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri. Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk menjalankan
agama/kepercayaannya. Akan tetapi, negara (misalnya pemerintah) memiliki
kewajiban untuk mengatur kebebasan beragama atau berkeyakinan agar pemerintah
menghormati, melindungi, menjunjung tinggi dan memajukan hak asasi manusia serta
menjaga keamanan, ketertiban, kesehatan atau kepentingan umum dan jujur.

HAM (Hak Asasi Manusia) adalah konsep etika politik modern, gagasan utamanya
adalah menghormati dan menghormati manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini
mengarah pada keharusan moral tentang bagaimana manusia harus memperlakukan
sesama manusia. Persyaratan moral ini adalah ajaran inti dari hampir semua agama.
Hal ini karena semua agama mengajarkan pentingnya menghargai dan menghormati
manusia tanpa membeda-bedakan atau membeda-bedakan. Persyaratan moral
diperlukan, khususnya, untuk melindungi seseorang atau kelompok yang lemah atau
"dilemahkan" (al-mustad'afin) dari tindakan kesewenang-wenangan dan kesewenang-
wenangan yang sering muncul dari yang kuat dan berkuasa. Oleh karena itu, hakekat
dari konsep hak asasi manusia adalah menghormati kemanusiaan seseorang, tanpa
kecuali, tanpa diskriminasi atas dasar apapun dan untuk alasan apapun; serta
mengakui harkat dan martabat manusia sebagai makhluk paling mulia di muka bumi.

d. Pandangan tokoh-tokoh (pro dan kontra)

Arif menyatakan, istilah “agama” dalam Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU
Pengelolaan Kependudukan, sepanjang tidak dimaknai sebagai “kepercayaan”, tidak
memiliki potensi hukum yang tetap. Begitu pula dengan Pasal 61 ayat 2 dan 64 ayat 5
yang menurut Mahkamah Konstitusi tidak mengikat. Karena "agama" tidak memiliki
definisi formal, Samsul berpendapat bahwa itu tidak dapat digunakan sebagai
referensi undang-undang yang mengatur kewarganegaraan orang percaya. Ia
menambahkan, kalaupun digunakan, definisi tersebut mendiskriminasi pemeluk
agama karena jika negara ingin mengakui agama, maka harus beradaptasi terlebih
dahulu.

Samsul menilai pemerintah Orde Baru pada awalnya memperlakukan penganut


keyakinan dengan cukup baik, karena TAP MPR 1973 menyatakan keyakinan
disamakan dengan agama. Pemerintah juga meresmikan lima agama yang diakui
negara (sekarang ada enam) yang salah satunya pemeluknya harus berafiliasi, dan
untuk pertama kalinya membuat kolom agama di KTP.

Menurut Samsul, putusan MK itu sebenarnya syarat agar kelompok penganutnya


tidak dipaksa berpindah keyakinan sehingga tidak bisa menegakkan keyakinannya
dengan baik. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan syarat minimal bagi
penganutnya untuk memperoleh hak di bidang administrasi. Yang lebih penting
adalah realisasi tiga hak dasar: pengakuan, perwakilan, dan redistribusi orang percaya.
“Karena diakui keberadaannya di ranah publik, maka lahirlah representasi. Misalnya
di bidang pendidikan. Contohnya di dunia pendidikan. Setelah putusan MK ini, status
mereka harus diinformasikan ke peserta didik. Pendidikan agama ada, maka
pendidikan kepercayaan juga harus ada.” Tak lama setelah putusan MK keluar,
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berjanji kementeriannya akan segera
menjalankan tugas yang diputuskan MK. “Kementerian Dalam Negeri akan
berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan untuk
mendapatkan data kepercayaan di Indonesia,” kata Tjahjo, dilansir dari laman
Kemendagri. Ia menambahkan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kementerian Dalam Negeri akan memasukkan data dari sistem kepercayaan ke
dalam Sistem Manajemen Kependudukan. Setelah mendapatkan data tersebut,
Kemendagri akan menyempurnakan aplikasi SIAK dan aplikasi database, serta
melakukan sosialisasi ke 514 kabupaten dan kota.

Referensi
 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmiah, 1999.
 Danies L. Pals, Seven Theories of Religion. New York: Oxford University
Press, 1996.
 Jakiyah Deradjat, et. al., Perbandingan Agama. Jakarta: Binperta Ditperta,
1981.
 Syahrin Harahap, Sejarah Agama-Agama. Medan: Pustaka Widayasarana,
1994.
 Thomas F. Odea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, terj. Jakarta: CV
Rajawali, 1985.

Anda mungkin juga menyukai