Anda di halaman 1dari 8

Nama : Mardalena

Nim : 2113040067

Kelas : Hes B

Materi : Sejarah Agama dan Keyakinan di Indonesia

Menurut Ensiklopedia

Agama : Sistem kepercayaan, tindakan, dan tradisi.

Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia
dengan tatanan kehidupan.[note 1] Banyak agama memiliki mitologi, simbol, dan sejarah suci yang
dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan asal-usul kehidupan atau alam semesta. Dari
keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang-orang memperoleh moralitas, etika, hukum
agama, atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.[1]

Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, mendefinisikan tentang apa
yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktik agama juga
dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan,
festival, pesta, trance, inisiasi, cara penguburan, pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, atau aspek
lain dari kebudayaan manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi.[2]

Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan, atau kadang-
kadang mengatur tugas.[3] Namun, menurut ahli sosiologi Émile Durkheim, agama berbeda dari
keyakinan pribadi karena merupakan "sesuatu yang nyata sosial".[4] Émile Durkheim juga mengatakan
bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat global 2012 melaporkan bahwa 59% dari
populasi dunia mengidentifikasi diri sebagai beragama, dan 36% tidak beragama, termasuk 13%
yang ateis, dengan penurunan 9 persen pada keyakinan agama dari tahun 2005.[5] Rata-rata, wanita
lebih religius daripada laki-laki.[6] Beberapa orang mengikuti beberapa agama atau beberapa prinsip-
prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah atau tidak prinsip-prinsip agama mereka
mengikuti cara tradisional yang memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme.[7][8][9]

Definisi tentang agama di sini sedapat mungkin sederhana dan menyeluruh. Definisi ini diharapkan tidak
terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini
dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi
yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu, terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama,
perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan
keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal
dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan
bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya
menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-
lain.

Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara
menghambakan diri, yaitu menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin
berasal dari Tuhan; dan menaati segenap ketetapan, aturan, hukum, dan lain-lain yang diyakini berasal
dari Tuhan.

Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama


terdapat tiga unsur, yaitu manusia, penghambaan, dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang
mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.

Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup, yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan
batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul,
bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama.

Definisi menurut beberapa ahliDi Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang
diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budhisme, dan Khonghuchu.
Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi”.
[18]Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia
gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan
mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu
sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau
masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini
sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran
tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia
dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada
dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi
tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai
kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.[19]

Agama di Indonesia

Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan)
dan Katolik, Hindu, Buddha , dan Khonghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang
pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000,
Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Ada juga penganut
agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan
bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan
kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban
mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.

Tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia,
kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri Dalam Negeri pada tahun
1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. SK
tersebut kemudian dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan
dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk
salah satu dari agama mayoritas.

Menurut

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Abdullah Alawi

Sumber: https://nu.or.id/fragmen/sejarah-agama-dan-keyakinan-di-indonesia-BVFiR

Saat ini Indonesia hanya mengakui enam agama. Di luar agama-agama itu, hanya dianggap aliran
kepercayaan saja, termasuk agama lokal. Padahal pernah ada 245 agama lokal di Indonesia. Karena tidak
diakuinya agama lokal, muncul anggapan bahwa orang Indonesia tidak beragama sebelum abad
pertama. Menurut Kuntjaraningrat, dalam bukunya Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan (1974),
istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau
belum diakui secara resmi disebut religi (agama). Menurut Parsudi Suparlan dalam buku Agama Dalam
Analisis dan Interpretasi Sosiologis (1988), agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.

Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan
yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi
tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Mengikuti Parsudi
Suparlan, jika agama itu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib,
maka tak hanya keenam agama yang diakui pemerintah yang layak disebut agama. Aliran kepercayaan
pun layak disebut agama. Agama Konghucu tak jauh beda nasibnya dengan agama lokal, tak diakui oleh
orde baru. Orang-orang Tionghoa yang menganut Konghucu pun tak berdaya. Tak heran banyak orang
Tionghoa beragama Kristen, Katolik atau Budha di masa orde baru. Mereka yang menganut Konghucu
seharusnya beribadah di Klenteng. Namun, karena penganutnya menulis Budha dalam kolom agama di
KTP, Klentengnya pun beralih fungsi seperti vihara.

Setelah Konghucu diakui lagi sebagai agama, berdasar Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000, di masa
masa kepresidenan KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur, Klenteng pun diramaikan lagi oleh penganut
Konghucu. Namun, Klenteng setelah orde baru tak hanya menampung Konghucu saja, tapi juga
penganut kepercayaan Laotze dan sebagian pemeluk agama Budha. Klenteng bisa digunakan untuk
ibadah tiga agama. Hindu diyakini masuk pada abad pertama Masehi, tak lama disusul Budha. Islam
sendiri masuk kira-kira seabad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di abad ke-7 sudah ada
kerajaan Islam Perlak di Aceh. Lalu Agama Kristen masuk bersama orang-orang Eropa ke Indonesia.
Konghucu tentu masuk bersama pada pedagang dan imigran dari daratan Tiongkok ke Indonesia.
Sebelum kedatangan agama-agama dari luar, dalam buku sejarah di sekolah, hanya disebutkan aliran
kepercayaan seperti Animisme dan Dinamisme saja. Buku pelajaran sejarah yang beredar di sekolah tak
menyebut dengan jelas agama-agama asli Indonesia. Padahal, ada banyak agama asli Indonesia sebelum
masuknya agama-agama dari luar. Ada Kaharingan sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke
Kalimantan. Agama ini dianut orang-orang Dayak. Sunda Wiwitan dan Buhun juga tumbuh di daerah
berlatar budaya Sunda di sekitar Jawa Barat. Di daerah Banten, orang-orang Badui sebelum Islam
sampai, sudah berkembang Urang Kanekes. Di daerah berbahasa Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur
setidaknya ada beberapa kepercayaan seperti Kejawen, Purwoduksino, Budi Luhur. Di zaman kolonial,
setelah masuknya Islam, muncul agama Samin. Di Sulawesi Selatan, ada agama Aluk Tadolo yang dianut
orang-orang Tana Toraja sebelum Kristen berkambang di sana. Selain itu ada juga agama Tollatang di
Sulawesi Selatan sebelum Islam masuk. Sebelum Kristen masuk, agama Tonaas Walian dianut orang-
orang Minahasa di Sulawesi Utara. Agama Wetu Telu yang mirip Islam berkembang di Lombok. Sebelum
Kristen berkembang, agama Naurus jadi pegangan orang-orang di Pulau Seram, Maluku. Agama Marapu
juga berkembang di Sumba sebelum Kristen dan Islam berjaya di Pulau Sumba. Marapu pun tak hilang
dari ingatan. Nama Marapu dijadikan nama Band Reagea di Yogya. Di Sumatera Utara, selain Islam
berkembang di selatan Danau Toba dan Kristen di Utara Danau Toba, berkembang di sana agama
Mulajadi Nabolon dan Parmalim dianut orang-orang Batak. Tak banyak catatan soal agama-agama lokal
yang mulai lokal yang justru menuju kepunahan setelah Republik Indonesia berdiri. Saat ini, jumlah
pengikut agama lokal bisa jadi berubah. Agama-agama lokal yang dianut penduduk di daerah yang adat
istiadatnya kuat dan kadang terpencil ini, bisa jadi tergerus oleh agama-agama yang diakui pemerintah.
Belum lagi agama lain macam Baha'i atau Yahudi juga masuk ke Indonesia. Sifat agama lokal biasanya
hanya dianut oleh komunitas tertentu dan turun-temurun. Tak masif pula dalam berdakwah. Perlahan
agama lokal ini punah. Dari semua unsur kebudayaan Indonesia asli, hanya sistem kepercayaan atau
agama yang lebih cepat hilang ketimbang yang lain. Penganut aliran kepercayaan sudah lama
diperlakukan bak anak tiri di Indonesia. Jika ditelusuri lebih jauh ke belakang, mereka sebetulnya telah
hadir sebelum agama-agama yang kini resmi diakui di Indonesia datang ke Nusantara. Uraian cukup
panjang disertai sejumlah contoh ditulis Rachmat Subagya dalam Agama Asli Indonesia (1981).
Menurutnya, meski tidak mempunyai sistem teologi lengkap dengan pemikiran reflektif tentang
ketuhanan, masyarakat terdahulu telah mengakui suatu kekuatan di luar dirinya. Sikap mereka terhadap
‘Yang-Ilahi’ tumbuh dari pengalaman hidup dengan hari-hari gembira dan hari-hari sedih. Dalam lubuk
hatinya, manusia merasa adanya suatu Zat Gaib yang menaungi hal ihwal insani. Kepada “yang
menaungi hal ihwal insani” itulah mereka memohon perlindungan terhadap bahaya yang mengancam,
baik dari musuh, bencana alam, penyakit, maupun hantu atau manusia bertuah. Rasa ketuhanan itu
terpendam dalam batin manusia dan sukar diungkapkan, karena waktu itu mereka belum mengenal
konsep pewahyuan Tuhan. Dalam konteks Nusantara, para leluhur di sejumlah etnik telah
mempraktikkan pelbagai ritual keagamaan sebelum Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen datang ke tanah
mereka. Ritual-ritual rutin dijalankan, sebelum akhirnya terdesak oleh kedatangan agama-agama baru
tersebut. Agama asli (Nusantara) sepanjang sejarah berulang kali mengalami krisis eksistensi. Dia
terancam setiap kali didampingi oleh agama-agama yang datang dari luar. Agama-agama (baru) itu tidak
saja unggul dalam perlengkapan doktriner, tetapi pula dalam bidang kenegaraan dan lambat laun
berfungsi sebagai ideologi negara di bawah kekuasaan sentral yang sakral. Meskipun masyarakat yang
memeluk agama asli itu awalnya masih mayoritas, mereka tetap dianggap sebagai golongan luar oleh
para penganut agama “asing” yang akhirnya menjelma kekuatan politik baik pada masa Hindu maupun
era Islam.   Krisis agama asli kian memuncak pada zaman penjajahan. Kaum kolonial memasukkan orang-
orang penganut agama asli ke dalam kategori kafir (heidenen) sebagai a residual factor (barang yang
tersisa). Hal ini terjadi karena pemerintah kolonial tidak bersentuhan langsung dengan rakyat jelata yang
mayoritas beragama asli, melainkan hanya dengan penguasa-penguasa feodal setempat, yang telah
memeluk tradisi, Hindu, Islam, dan Kristen. Peraturan-peraturan kolonial berpedoman pada agama
lapisan atas itu. Peraturan tahun 1895 Nomor 198 misalnya, mewajibkan semua perkawinan orang yang
bukan Kristen dan bukan Hindu dilakukan menurut hukum Islam demi penyederhanaan administrasi
perkawinan. Maka massa rakyat masuk statistik di bawah rubrik Islam dan menyebut diri selam dan
seselaman. Pada 1869, saat Terusan Suez dibuka dan orang-orang Islam semakin leluasa untuk
melaksanakan ibadah Haji, para penganut agama asli mulai berkonfrontasi dengan kaum santri yang
berusaha menyingkirkan takhayul, adat Kejawen, adat kehinduan, dan pra-Islam dari ritual Islam yang
dipraktikkan warga setempat. Karena tekanan semakin besar sebagian penganut agama asli kemudian
meregenerasi diri dan menjelma ke dalam pelbagai aliran yang kemudian kini dikenal sebagai aliran atau
penghayat kepercayaan, yang dibagi atas kebatinan, kerohanian, dan kejiwaan. Krisis yang melanda
agama asli membawa banyak orang kepada keputusan mengganti kepercayaan kuno mereka dengan
suatu pandangan hidup baru. Akan tetapi banyak orang lain berusaha menyesuaikan keyakinan mereka
mengenai ketuhanan, manusia, dan alam dari tempo dulu, dengan tuntutan zaman sekarang. Dalam
Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2018), Denys Lombard mencatat
kebanyakan aliran kepercayaan dipimpin oleh seorang guru karismatik dan dinaungi oleh kenyamanan
suatu komunitas—karena sehari-hari mereka kerap mengalami tekanan dari tatanan sosial yang ketat.
“Gejala sosial dari kebatinan agaknya berakar panjang, namun baru mulai dipantau dengan baik sejak
akhir abad yang lalu,” tulis Lombard. Perkiraannya ini sejalan dengan paparan Rachmat Subagya dalam
Agama Asli Indonesia (1981). Lombard menambahkan, sehari-harinya mereka cenderung dilabeli sebagai
kelompok ilmu klenik dan diawasi oleh aparat negara maupun wakil-wakil agama yang diakui negara.
Mengutip dari Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia (1985) karya Kamil Kartapradja, Lombard
menyebutkan pada awal tahun 1900-an terdapat sekitar dua puluh aliran kebatinan di Nusantara.
Sebagian besar didirikan pada zaman antara Perang Dunia I dan II. Ia menyebutkan dua contoh.
Pertama, di daerah Cirebon terdapat kelompok Ngelmu Sejati atau Ngelmu Hakekat yang lahir kira-kira
pada tahun 1920. Kelompok ini dipimpin oleh Haji Burhan, seorang santri asal Banten, dan
disebarluaskan sampai Indramayu, Jawa Barat. Lombard menambahkan, beberapa tahun kemudian
salah seorang anak pangeran Cirebon yang bernama Madrais, menyebarkan Ngelmu Cirebon—sebagian
menyebutnya Agama Djawa Sunda (ADS)—dengan menarik sejumlah pengikut Haji Burhan. Ia menetap
di desa kecil Cigugur, Kuningan, dan menerima penghormatan dari penganut yang datang dari seluruh
Tanah Pasundan. Dalam keterangan itu, karena Madrais disebutkan mulai menyebarkan Ngelmu Cirebon
setelah gerakan Haji Burhan, artinya ADS lahir setelah 1920. Namun, dalam pelbagai catatan lain, ADS
justru lahir sejak akhir 1800-an. Di luar perbedaan pendapat itu, yang pasti ADS sempat dibubarkan oleh
Orde Baru pada 21 September 1964 sebagaimana ditulis oleh Suwarno Imam S. dalam Konsep Tuhan,
Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa (2005). Dalam kronik singkat Agama Asli Indonesia
(1981), Rachmat Subagya mencatat DPR mengadakan diskusi bertema “Agama-agama Bikinan” pada
1952. Dalam diskusi itu, Departemen Agama mengusulkan pelarangan terhadap semua agama yang
tidak memenuhi definisi yang telah ditentukan negara, misalnya agama yang tidak memiliki nabi, kitab
suci, dan tidak tersebar di luar Indonesia. Usulan ini ditarik kembali. Namun, sampai 1971, sebanyak 167
aliran kebatinan telah dilarang oleh Jaksa Agung. Sampai MK mengizinkan pengisian kolom agama dalam
KTP bagi para penganut aliran kepercayaan pun, persoalan diskriminasi terhadap golongan ini belum
benar-benar berakhir. Pada 1945, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) didirikan. Organisasi
yang bergerak secara politik dan sosial ini menjadi wadah mistik kaum abangan. Salah satu hasil
penelitian Clifford Geertz yang terbuhul dalam Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan
Jawa (2014) mencatat, menurut para pemeluknya, Permai didasarkan pada “ilmu asli murni”, yakni
bersandar pada kepercayaan Jawa “asli” sebelum dipengaruhi tambahan-tambahan dari Hindu dan
Islam. Menurut salah seorang pemeluk Permai, setiap golongan atau kelompok punya ilmu masing-
masing. Ia menyebutkan bahwa orang Barat, orang Islam, dan orang Jawa punya ilmunya sendiri-sendiri.
“Sulitnya, orang Indonesia selalu mencoba menjadi orang Hindu, Arab, atau Belanda daripada menjadi
orang Indonesia. Sekarang setelah kita merdeka, kita harus menggali filsafat nenek moyang kita dan
membuang jauh-jauh semua ilmu asing itu,” ungkap si penganut sebagaimana ditulis Geertz. Para
penganut kepercayaan adalah gerakan yang tengah menghadapi transisi zaman, tapi tidak melarikan diri
ke masa lampau, alih-alih menjawab tantangan sekularisme, materialisme, dan rasionalisme dengan
menggali tradisi-tradisi leluhur. Gerakan ini adalah protes melawan kekosongan hidup dan kepalsuan
jiwa.

Penulis: Yuda Prinada

02 Maret 2021

View non-AMP version at tirto.id   

tirto.id - Sebagian besar manusia di dunia menganut agama alias kepercayaan, meskipun ada pula yang
tidak terlalu relijius. Lantas, apa itu sebenarnya agama menurut para ahli, dan bagaimana sejarah,
macam-macam, serta perkembangannya?
Agama atau religi mengenalkan bahwa di dunia ini terdapat hal yang berkuasa atas segala sesuatu dan
memiliki kekuatan kendali. Terdapat beberapa ahli yang memberikan definisi mengenai agama atau
kepercayaan.

Secara umum, agama dapat didefisinikan sebagai sistem yang mengatur kepercayaan dan peribadatan
Kepada Tuhan serta tata kaidah yang berhubungan dengan budaya, serta pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatan kehidupan.

Masing-masing agama biasanya mempunyai mitologi, simbol, atau sejarah untuk menjelaskan makna
hidup dan asal-usul kehidupan atau alam semesta. Kenneth Shouler dalam The Everything World's
Religions Book (2010) memperkirakan ada sekitar 4.200 agama di dunia.

Definisi Agama Menurut Beberapa Ahli :

Edward Burnett Tylor, dikutip dari Seven Theories of Religion (1996) karya Daniel L. Pals, definisi agama
adalah kepercayaan seseorang terhadap makhluk spiritual, misalnya roh, jiwa, dan hal-hal lain yang
punya peran dalam kehidupan manusia.

James George Frazer dalam bukunya berjudul The Golden Bough cenderung sepakat dengan Tylor,
namun ia membedakan sihir dengan agama. Menurutnya, agama adalah keyakinan bahwa dunia alam
dikuasai oleh satu atau lebih dewa dengan karakteristik pribadi dengan siapa bisa mengaku, bukan oleh
hukum.

Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974) memaparkan, di Indonesia,


istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi negara: Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, Budhisme, dan Khonghuchu.Selain itu, Koentjaraningrat juga menyimpulkan bahwa
agama merupakan rasa percaya seorang manusia agar bisa nyaman ketika menjalani kehidupan,
meliputi kenyamanan jasmani (fisik) dan rohani (jiwa).

Sejarah Munculnya Agama

Asal mula munculnya agama dijelaskan oleh Herbert Spencer. Ia berpendapat bahwa dahulu manusia
sudah sadar akan kematian yang pasti dialami seluruh orang.Cara percayanya pun beragam. Orang-
orang di zaman purba atau primitif, misalnya, merasa bahwa terdapat kekuatan magis yang meliputi
sebuah benda atau bahkan manusia. Di masa pra sejarah, lahir beberapa keyakinan seperti animisme,
dinamisme, toteisme, dan lain-lain.

Bukan hanya itu, kepercayaan terus berkembang hingga terdapat sebuah istilah mengenai Tuhan yang
dikenal sebagai satu-satunya pencipta alam semesta dan memiliki kendali atas segalanya.Ini merupakan
hasil yang ditimbulkan dari rasa takut manusia semula. Peradaban akhirnya melakukan penyembahan
terhadap sesuatu yang tak terlihat namun berpengaruh penting, meliputi dewa, roh-roh, pohon, hingga
Zat tertinggi yang disebut Tuhan.

Macam Agama dan Perkembangan


Secara umum, dikutip dari Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya (2007) yang ditulis Tedi
Sutardi, agama dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu Agama Bumi atau Agama Alam dan Agama Wahyu
atau Agama Langit.Agama Bumi disebut sebagai kepercayaan pada sesuatu yang ada di alam bumi.
Mereka merasa yakin terhadap benda apa pun di permukaan bumi punya kekuatan magis atau
spiritual.Biasanya, agama ini dianut oleh masyarakat tradisional yang masih menghargai kepercayaan
nenek moyang.

Dalam perkembangannya, Agama Bumi kental dengan budaya dan adat setempat. Upacara atau ritual
keagamaan dilakukan dengan cara sesuai keadaan aturan daerahnya.Sedangkan Agama Wahyu
didefinisikan sebagai agama yang dianut oleh masyarakat dunia berdasarkan rasa percaya terhadap
adanya wahyu Tuhan. Orang yang pertama kali menyampaikan wahyu atau perintah Tuhan ini disebut
dengan Nabi.

Penganut Agama Wahyu percaya bahwa Tuhan mengatur seluruh aspek kehidupan, baik di bumi
maupun semesta lainnya. Kekuatan yang dimiliki penguasa jagat raya ini tidak ada tandingan. Jadi,
seluruh manusia wajib mengikuti wahyu yang diajarkan-Nya melalui Nabi untuk menjalankan
kebenaran.Dalam perkembangan, terdapat beberapa agama yang termasuk Agama Wahyu atau yang
disebut juga Agama Samawi.

Ada Yahudi, Katolik, Kristen, Islam, dan lain sebagainya. Masing-masing agama punya aturan untuk
ketika menjalani kehidupan yang ditulis sedemikian rupa dalam sebuah literasi yang disebut “Kitab Suci".

Anda mungkin juga menyukai