Anda di halaman 1dari 15

Diskriminasi Pelayanan Publik Terkait Administrasi

Kependudukan dan Catatan Sipil Terhadap Penghayat


Kepercayaan di Indonesia
1.1 Latar Belakang
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan
hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang
diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta
pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia
(Dra. Sri Hartini, MM, Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).
Kepercayaan masyarakat terhadap Tuhan YME tercipta akan adanya olah pikir dan olah
rasa yang dengan sendirinya tumbuh subur di Indonesia seiring dengan keberagaman
suku dan bangsa. Dengan kata lain, penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME
merupakan salah satu kepercayaan masyarakat yang mana berasal dari budaya leluhur
serta kearifan lokal yang menbgandung nilai-nilai luhur dan berdasar pada sifat
kebatinan, kejiwaan, dan juga kerohanian.
Bermula dari sejarah adanya budaya animisme dan dinamisme kala belum
masuknya agama di Indonesia, penghayat kepercayaan sejatinya sudah ada sejak dahulu
seiring dengan adanya tata penyembahan terhadap mahkluk gaib maupun benda-benda
yang dianggap skakral. Walaupun keyakinan terhadap Tuhan YME yang terwujud
melalui agama lebih dominan dianut oleh masyarakat Indonesia, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa sampai saat ini keberadaan para pengahayat kepercayaan masih ada dan
terus bertahan di tengah keminoritasannya.
Pengkajian mengenai masyarakat penghayat kepercayaan tidaklah terlepas dari
adanya diskriminasi terhadap hak-hak mereka. Sebagai kelompok minoritas, sudah
tentu masyarakat penghayat kepercayaan harus memperjuangkan dengan keras
hak-hak mreka sebagai warga negara. Dalam upaya perjuangan tersebut kerap kali
kaum minoritas akan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kaum mayoritas.
Bentuk dari diskriminasi tersebut sangatlah beragam, hal ini juga dipengaruhi oleh
berbagai hal meliputi kesadaran masyarakat akan pluralisme, kepekaan
masyarakat atas adanya masyarakat adat dengan segala ajarannya, keperdulian
masyarakat akan adanya HAM, serta kepatuhan masyarakat terhadap hukum.

1.2. Rumusan Masalah

1
Berdasarkan alasan-alasan permasalahan tersebut di atas, maka rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk diskriminasi penyelenggaraan pelayan publik
terkait administrasi kependudukan dan catatan sipil terhadap penghayat
kepercayaan di Indonesia?
2. Bagaimanakah upaya negara untuk melindungi hak-hak dari masyarakat
penghayat kepercayaan di Indonesia?
2.1. Kondisi Masyarakat Penghayat Kepercayaan di Indonesia
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya
disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini
nilainilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.1 Golongan
kepercayaan/kebatinan mengatakan bahwa kepercayaan atau kebatinan sudah lahir
sejak waktu yang lama, yakni mulai dari jaman nenek moyang berupa
animisme/dinamisme, Hindu/ Buddha, sampai dengan zaman Islam. Bahkan,
penganut kepercayaan mengatakan bahwa pada dasarnya sejak peradaban kuno
sebelum Hindu masuk ke bumi Republik Indonesia, bangsa Indonesia sudah
menganut satu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berarti
menganut paham monotheisme bukan polytheisme.
Dalam pandangan Durkheim, masyarakat kuno (masyarakat adat)
memiliki hati nurani kolektif lebih luas dan kuat dibandingkan dengan masyarakat
modern. Durkheim percaya bahwa moralitas, kewajiban tiap orang pada orang
lain dan standar bagi semua anggota kelompok, tak dapat dipisahkan dari agama
(termasuk sistem kepercayaan). Artinya bahwa agama, sistem kepercayaan dan
moral tidak dapat dipisahkan dari kerangka sosial. Ketika konteks sosial berubah
maka agama dan moral pun berubah. Maka dalam hal ini pulalah masyarakat
“penghayat kepercayaan”, istilah yang dilekatkan pada sebagian besar masyarakat
penganut ajaran kepercaya an lokal, memiliki posisi yang sama dengan kaum
penganut “agama” dalam kerangka sosial masyarakat Indonesia yang plural.
Kaum adat memiliki “otoritas ritual”, otoritas sistem nilai, dan emosi keagamaan
yang otonom dalam keterhubungannya dengan penganut “kepercaya an” dan
“keagamaan” lainnya. Namun demikian, sesungguhnya pula perlu ada
1
Ahmad Syafii Mufid, 2012, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia, Jakarta:
Kementrian Agama RI.

2
kesepahaman tentang beberapa konsep yang dilekatkan kepada kaum adat,
terutama oleh kaum keagamaan terhadap kaum “penghayat kepercayaan” ini, agar
tidak terjadi kesimpangsiuran. Adapun konsep-konsep keyakinan yang perlu
diklarifikasi secara khusus agar tidak terjadi kesalahpahaman berkaitan dengan
eksistensi dan posisi kaum penghayat kepercayaan adalah konsep tentang “aliran
kepercayaan”; konsep tentang “aliran kebatinan”; dan konsep tentang “kaum
kepercayaan” (dalam konteks sistem kepercayaan adat) atau “penghayat
kepercayaan”.2
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia sampai tahun 1950, aliran
kepercayaan yang ada di seluruh Indonesia berjumlah 78 aliran. Kemudia pada
tahun 1964, jumlah aliran kepercayaan ini bertambah menjadi 664 aliran. Pada
tahun 1976, menurut data yang diterbitkan Puslitbang Departemen RI terdapat
205 aliran kepercayaan di Pulau Jawa. Khususdi Jawa Tengah sendiri ada 32
aliran dandari 19 aliran tersebut, para pengikutnya tidak memilih salah satu
agamapun dan murni mendalami kepercayaan saja.3
Pada tahun 1970, aliran penghayat kepercayaan dihimpun dan dibina oleh
pemerintah. Penghayat ini berada di bawah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Bina Hayat. Pada tahun 1970 juga dibentuk HPK
(Himpunan Penghayat Kepercayaan). Terdapat pula Instruksi Menteri Agama No.
4 tahun 1978 tentang Kebijakan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan. Dalam
instruksi ini, Departemen Agama tidak lagi mengurusi masalah aliran kepercayaan
karena merujuk pada TAP MPR Nomor IV/ MPR/1978 tentang GBHN yang
menyebutkan bahwa Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan
merupakan agama, sehingga pembinaannya di bawah naungan Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata.4
Menurut ata dari BPS, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2017
secara keseluruhan adalah 261 890 872 jiwa. Dan dari jumlah penduduk tersebut,
sedikitnya 12 juta orang di Indonesia adalah penghayat kepercayaan. Dari data
yang dihimpun oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan

2
Elza Peldi Taher, 2011, MerayakanKebebasan Beragama, Jakarta: Democracy Project. Hlm. 369.
3
R.Suharto, dkk. 1994, Kajian Yuridis Terhadap SahnyaPerkawinan Oleh Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Fakultaas Hukum: Undip.
4
Choirul Anam, dkk, 2016, Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok Minoritas di Indonesia
(Sebuah Laporan Awal), Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. hlm. 59.

3
Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada tahun 2015
tercatat ada sekitar 1.301 organisasi penghayat kepercayaan di Indonesia. Pada
tingkat pusat, terdapat 182 organisasi, kemudian pada tingkat cabang ada sekitar
937 organisasi, ada 156 organisasi yang aktif dan juga 26 organisasi yang tidak
aktif.5
Di Indonesia, kelompok yang merujuk pada sebutan aliran kepercayaan,
setidaknya mengandung empat elemen: 6
1. kelompok aliran kepercayaan yang tergolong kepercayaan/ agama-agama
lokal (suku), seperti kepercayaan Suku Dayak (Kaharingan, Manyaan),
suku Batak (Parmalim, si Raja Batak, Namulajadinabolon), Suku Badui,
Sunda Wiwitan, Buhun (Jawa Barat), Suku Anak Dalam/Kubu, Suku
Wana (Sulawesi Tengah), Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara),
Tolottang (Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok), Naurus (Pulau Seram,
Maluku) dan berbagai kepercayaan di Papua.
2. kelompok aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masuk
dalam kategori ini adalah aliran kebatinan Kejawen pada umumnya yang
berpusat di Jawa antara lain Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu),
Sumarah, Susila Budi Dharma (Subud), Perjalanan, Sapta Dharma, Tri
Tunggal dan Manunggal, Persatuan Eklasing Budi Murko, Sumarah
Purbo, Paguyuban Hardo Pusoro, Ngesti Tunggal, Mardi Santosaning
Budi (MSB), Budi Luhur dan lain sebagainya.
3. kelompok aliran kepercayaan yang berindikasikan keagamaan meliputi
sekte keagamaan, aliran keagamaan, pengelompokan jemaah keagamaan
seperti Ahmadiyah, Buda Jawi Wisnu, Children of God, Yehova, Hari
Krisna dan lainnya.
4. kelompok aliran kepercayaan mistik atau klenik seperti pedukunan,
paranormal, peramalan, pengobatan, santet, tenung, sihir dan metafisika.

2.2. Dasar Hukum yang Mengatur Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

5
Dra. Sri Hartini, MM, 2016, KEBIJAKAN DIREKTORAT KEPERCAYAAN TERHADAP
TUHAN YANG MAHA ESA DAN TRADISI, Disampaikan pada Sarasehan Daerah Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tanggal 22 s.d. 24 Agustus 2016, di Hotel Santika, Purwokerto.
6
M. Syafi’ie & Nova Umiyati, 2012, To Fulfill and To Protect: Membaca Kasus-Kasus Aktual
tentang Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII.

4
 Pasal 29 UUD 1945
(1). Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamnya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
 Pasal 28 E UUD 1945
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
 Pasal 28 i ayat (1) UUD 1945
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun
 Pasal 28 J UUD 1945
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatsan yang ditetapkan dengan Undang Undang dengan mekasud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai 13 agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.

 Pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

5
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu .
 Pasal 55 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi
sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua
dan atau wali”.
 Pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang dengan maksud untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
 Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Hak dan kewajiban yang diatur dalam Undang Undang ini hanya dapat dibatasi
oleh dan berdasarkan Undang Undang , semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sertra kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
 Pasal 18 International Covenant on Civiand Political Rights yang di
Indonesia diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005 ayat (1) dan (2):
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak
ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun
bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk
menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan,
pengamalan dan pengajaran.
(2) Tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk
menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannnya sesuai dengan
pilihannya.

6
2.3. Bentuk Diskriminasi Penyelenggaraan Pelayan Publik Terkait
Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil terhadap Penghayat
Kepercayaan di Indonesia
Sebagai kelompok minoritas, sudah tentu masyarakat penghayat
kepercayaan harus memperjuangkan dengan keras hak-hak mreka sebagai warga
negara. Dalam upaya perjuangan tersebut kerap kali kaum minoritas akan
mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kaum mayoritas. Bentuk dari
diskriminasi tersebut sangatlah beragam, hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai
hal meliputi kesadaran masyarakat akan pluralisme, kepekaan masyarakat atas
adanya masyarakat adat dengan segala ajarannya, keperdulian masyarakat akan
adanya HAM, serta kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Beberapa aturan yang sangat memojokkan kelompok aliran kepercayaan
bisa dilihat dalam daftar di bawah ini:7
No. Jenis Regulasi Materi
1. Keputusan Jaksa agung Republik Larangan pengedaran surat kawin yang
Indonesia No. Kep 089/J.A./9/78 perlu dikeluarkan oleh Yayasan Pusat
Srati Dharma Yogyakarta.
2. Surat Edaran Menteri Agama kepada Masalah penyebutan agama,
para Gubernur/KDH Tingkat I perkawinan, sumpah dan penguburan
Seluruh Indonesia No. jenazah bagi umat yang beragama
B.VI/11215/78 yang dihubungkan dengan Aliran
Kepercayaan.

3. Surat Edaran Menteri Agama Masalah menyangkut aliran


Republik Indonesia kepada kepercayaan
Gubernur/KDH Tingkat I
Jatim No. B/5943/78 tanggal
3 Juni 1979
4. Surat Edaran MenteriAgama Pencatatan perkawinan bagi para
Republik Indonesia No. penghayat kepercayaan kepada Tuhan
MA/650/1979 tanggal Yang Maha Esa.
28 Desember 1979
5. Surat Edaran Menteri Dalam Pencatatan perkawinan bagi para

7
M. Syafi’ie & Nova Umiyati, 2012, To Fulfill and To Protect: Membaca Kasus-Kasus Aktual
tentang Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII. Hlm. 26.

7
Negeri Republik Indonesia penghayat kepada Tuhan Yang Maha
No. 477/286/SJ tanggal 13 Esa.
Januari 1980
6. Surat Edaran Menteri Dalam Petunjuk pengisian kolom agama pada
Negeri Nomor 477/74054 Lampiran Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 221a Tahun
1975.
7. Surat Menteri Dalam Negeri kepada Pencatatan perkawinan para penghayat
Gubernur dan Bupati di Seluruh kepercayaan kepada Tuhan Yang
Indonesia Nomor 477/286/1980 Maha
Esa.
8. Surat Kejaksaan Agung kepada Perkawinan antara penganut Sapto
Menteri Agama RI up. Dirjen Bimas Darmo di daerah kantor Kabupaten
Islam dan Urusan Haji Nomor B- Bojonegoro.
397/
D.I. 1980
9. Surat Menteri Agama kepada Perkawinan, kartu penduduk dan
Menteri Dalam Negeri Nomor kematian para penghayat kepercayaan
B.VI/5996/1980 kepada Tuhan Yang Maha Esa.
10. R a d i o g r am/Te l e g r a m Pengisian kolom agama/kepercayaan
Menteri Agama kepada Kakanwil terkait dengan pelaksanaan sensus
Depar temen penduduk 1980.
Agama Seluruh Indonesia Nomor
MA/610/1980
11. Menteri Dalam Negeri dan Me n t e r Pengisian kolom agama/kepercayaan
i Ag ama N o . 4 7 0 . 0 7 1 / 6 3 8 0 / terkait dengan pelaksanaan sensus
SJ.MA/610/1980 penduduk 1980.
12. Surat Menteri Agama kepada Penggabungan/integrasi penganut
Kakanwil Depag Kalimantan Tengah Kaharingan ke dalam agama Hindu.
Nomor MA/203/1980

Beberapa contoh dari diskriminasi yang dialami para kaum penghayat


kepercayaan adalah penganut Parmalim yang berkembanng di Kabupaten Samosir
dan Toba Samosir Sumatera Utara masih dianggap aliran sesat atau si Pelebegu.
Demikian pula dengan stigma buruk lembaga formal agama yang ditujukan pada
Parmalim karena tidak sesuai dengan jalan kebenaran Tuhan, yang dianggap

8
menyembah berhala.8 Peristiwa lainnya yang menggambarkan diskriminasi
tersebut adalah ketika Sanggar pengikut Penghayat Kepercayaan Ngesti
Kasampurnaan ( Semarang, Jawa Tengah) dirobohkan karena adanya penolakan,
yang salah satunya dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB).9 Selain itu,
Sanggar Sapta Darma di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dibakar sekelompok
massa. Tempat ibadah penganut Penghayat Kepercayaan di Dukuh Blando, Desa
Plawangan, Kecamatan Kragan, dibakar saat sedang dalam proses pembangunan
candi yang diberi nama Candi Busono. Sebelum dibakar, pengelola Sanggar Sapta
Darma mengaku diintimidasi pelaku. Mereka ditekan oleh sekelompok orang
yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Desa Plawangan supaya
menghentikan renovasi pembangunan sanggar. Aparat pemerintah tidak mampu
memberikan perlindungan, bahkan kepala desa dan camat meminta agar renovasi
sanggar dihentikan. Padahal, pembangunan telah mendapat izin Kepala
Kesbangpol Kabupaten Rembang.10
Permasalahan diskriminasi lainnya yang timbul adalah ketika Pemerintah
Indonesia mengundangkan sebuah kebijakan baru yakni Undang-undang No.23
tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sebagai petunjuk pelaksanaan
UU tersebut, telah diterbitkan pula Peraturan Pemerintah (PP) No.37 Tahun 2007.
Bab VI Pasal 64 ayat (2) UU No.23/2006 ini menyatakan bahwa keterangan
tentang agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama,
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan, tidak diisi atau dikosongkan, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
database kependudukan.11
Kelompok “penghayat kepercayaan” kemudian pada perkembangannya
mengalami istilah pelabelan sebagai “penghayat murni dan tidak murni”. Mereka
yang terkategorikan sebagai “penghayat kepercayaan murni” adalah mereka yang
pada kolom agama di KTP-nya tidak mencantumkan nama agama umum,

8
Ahmad Syafii Mufid, 2012, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia,
Jakarta: Kementrian Agama RI.
9
Choirul Anam, dkk, 2016, Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok Minoritas di Indonesia
(Sebuah Laporan Awal), Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. hlm. 65.
10
Choirul Anam, dkk, 2016, Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok Minoritas di Indonesia
(Sebuah Laporan Awal), Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. hlm. 66.
11
Ahmad Syafii Mufid, 2012, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia,
Jakarta: Kementrian Agama RI.

9
sementara bagi mereka yang terkategorikan sebagai “penghayat kepercayaan tidak
murni” adalah mereka yang mengukuhi ajaran budaya spiritual leluhur suku
bangsanya tetapi masih mencantumkan kolom agama umum pada KTPnya
(tentunya karena berbagai alasan: karena keterpaksaan dan situasi kondisi politis
atau administratif yang mengkondisikan seperti itu). Padahal legitimasi hukum
pemerintahan tentang agama “diakui” atau “tidak diakui”, “resmi” dan “tidak
resmi”, “umum” atau “tidak umum” adalah konsepsi legitimasi yang
inkonstitusional dan bertentangan dengan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
1948 / Deklarasi, Kovenan Internasional Hak Sipol 1966 (UU RI No.12 / 2005),
UUD 1945 Amandemen IV / 2004, pasal 29, dan UU RI No. 39/1999 tentang
HAM.12
Padaa Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2007 khususnya Pasal 8 ayat
(4) menyatakan bahwa instansi Pelaksana melaksanakan urusan Administrasi
Kependudukan dengan kewajiban yang meliputi tindakan tertentu dengan adanya
“persyaratan dan tata cara Pencatatan Peristiwa Penting bagi Penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada
Peraturan Perundang-undangan”. Frasa tentang ‘agama yang belum diakui’ juga
muncul terkait dengan kolom agama di Kartu Keluarga, yang merumuskan bahwa
keterangan mengenai kolom agama bagi Penduduk yang agamanya belum diakui
sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
Kependudukan (Pasal 61 ayat 2).
Diskriminasi terhadap para penghayat kepercayaan berakar dari Instruksi
Menteri Agama No. 4 Tahun 1978 yang dikeluarkan pada tanggal 11 April 1978
yang berisi tentang Kebijakan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan yang
ditujukan kepada jajaran Departemen Agama agar tidak mengurusi persoalan
aliran kepercayaan yang dianggap bukan sebagai agama. Kemudian instruksi yang
bersifat internal ini kemudian dijadikan dasar hukum oleh Kantor Catatan Sipil
yang nota bene tidak berada dalam lingkup internal bersangkutan. Dengan adanya
Instruksi Menteri Agama tersebut, banyak pihak Kantor Capil yang nggan

12
Elza Peldi Taher, 2011, Merayakan Kebebasan Beragama, Jakarta: Democracy Project. Hlm 34.

10
mencatatkan perkawinan penghayat kepercayaan yanng telah dilakukan secara
adat. Hal ini memicu banyak reaksi dari penghayat kepercayaan yang mana
mengajukan gugatan ke PTUN maupun PT TUN yanng kemudian dimenagkan
oleh penghayat kpercayaan.
Kemudian, pada tahun 2006 Pengaturan perkawinan bagi penghayat
kepercayaan diatur dalam pasal 105 UU 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan UU No. 23 tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan dalam
Bab X Persyaratan dan Tata Cara Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat
Kepercayaan pasal 81 – 83. Persyaratan yang harus dipenuhi penghayat
kepercayaan sedikit berbeda dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon
suami dan calon istri yang memeluk 6 agama yang diakui pemerintah.
Walaupun demikian, pengaturan dalam PP tersebut membuka peluang
diskriminasi dan menyulitkan pelayanan perkawinan bagi penghayat, misalnya
dengan terkait sahnya perkawinan yang melalui pencatatan organisasi dan pemuka
penghayat. Pasal 81 PP No. 37 tahun 2007 menyatakan:
(i) perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat
kepercayaan;
(ii) pemuka penghayat kepercayaan ditetapkan oleh organisasi penghayat untuk
mengisi dan menandatangani surat perkawinan; dan
(iii) pemuka penghayat kepercayaan tersebut didaftarkan pada kementerian yang
bidang dan tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat Kepercayan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini berarti, perkawinan hanya sah apabila disahkan oleh pemuka
penghayat yang memiliki organisasi yang terdaftar. Keharusan seperti ini hanya
diberlakukan bagi penghayat dan tidak terhadap warga negara lainnya yang cukup
disaksikan oleh pemuka agama tanpa keharusan memiliki organisasi yang
terdaftar. Politik pembedaan dalam UU Adminduk tersebut mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kehidupan penganut agama-agama minoritas.13
2.4. Upaya Negara untuk Melindungi Hak-hak dari Masyarakat Penghayat
Kepercayaan di Indonesia
13
Choirul Anam, dkk, 2016, Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok Minoritas di Indonesia
(Sebuah Laporan Awal), Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

11
Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Mendagri dan Menbudpar No.
43/41 tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan YME mempertimbangkan bahwa Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan warga negara Republik Indonesia,
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta
benda, dan kebebasan meyakini kepercayaannya. Peraturan ini juga memberikan
kewenangan kepada Pemda untuk memberikan pelayanan kepada Penghayat
Kepercayaan, yang meliputi: (i) administrasi organisasi Penghayat Kepercayaan;
(ii) pemakaman; dan (iii) sasana sarasehan atau sebutan lain. Terkait dengan
pengaturan tentang pemakaman misalnya, telah jelas dinyatakan bahwa Penghayat
Kepercayaan yang meninggal dunia dimakamkan di tempat pemakaman umum
(Pasal 8 ayat 1).
Mengenai pelayanan administrasi organisasi penghayat kepercayaan, di
atur dalam Bab 3 Paal 5 PBM Mendagri dan Menbudpar No. 43/41 tahun 2009
yaitu:
1. Penerbitan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) oleh Gubernur di tingkat
Provinsi
(1) Gubernur menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT)
(2) Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan
2. Penerbitan SKT oleh Bupati di tingkat kabupaten
(1) Bupati/Walikota menerbitkan SKT organisasi penghayat kepercayaan
kabupaten/kota
(2) Penerbitan SKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan persyaratan
3. Penerbitan Tanda Inventarisasi dan Menbudpar. Direktur Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui dinas yang membidangi kebudayaan
(Pasal 7) “Surat Keterangan Terinventarisasi diajukan oleh pengurus organisasi
kepada Menbudpar melalui dinas/lembaga/unit kerja yang mempunyai tugas
dan fungsi menangani kebudayaan dengan melampirkan persyaratan yang telah
ditentukan”
Sedangkan untuk pemakaman diatur dalam pasal 8 yang berbunyi:
Pasal 8

12
1) Penghayat Kepercayaan yang meninggal dunia dimakamkan di tempat
pemakaman umum.
2) Dalam hal pemakaman Penghayat Kepercayaan ditolak di pemakaman umum
yang berasal dari wakaf, pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum.
3) Lahan pemakaman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
disediakan oleh Penghayat Kepercayaan.
4) Bupati/Walikota memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan
oleh Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
menjadi pemakaman umum.

Diatur pula mengenai pelayanan penyediaan sarasehan yaitu ada pada


Pasal 9 dan Pasal 10 yang berbunyi:
Pasal 9
1) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain didasarkan atas keperluan nyata
dan sungguh sungguh bagi Penghayat Kepercayaan.
2) Penyediaan sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa bangunan baru atau bangunan lain yang dialih fungsikan.
Pasal 10
Sasana sarasehan atau sebutan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
harus memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis bangunan
gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain upaya upya atersebut di atas, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah terus melakukan sejumlah program sosialisasi terkait dengan pelayanan
dokumen kependudukan. Laporan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan
Politik Kementerian Dalam Negeri menyebutkan telah:
(i) melakukan evaluasi terhadap PBM No. 43/2009 tentang Pelayanan kepada
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan implementasinya;
(ii) melakukan berbagai program sosialisasi terkait dengan kebijakan dan
peraturan UU No. 17/2013; dan
(iii) rapat koordinasi nasional tentang Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB).

13
3.1. Kesimpulan
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya
disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini
nilainilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Namun tidak
jarang banyak yang mengatakan masyarakat penghayat kepercayaan, tidak
tergolong dalam sekelompok agama sehingga ”dicap” tidak “ber-Tuhan”.
Sebagai kelompok minoritas, sudah tentu masyarakat penghayat
kepercayaan harus memperjuangkan dengan keras hak-hak mreka sebagai warga
negara. Dalam upaya perjuangan tersebut kerap kali kaum minoritas akan
mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kaum mayoritas. Bentuk dari
diskriminasi tersebut sangatlah beragam, hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai
hal meliputi kesadaran masyarakat akan pluralisme, kepekaan masyarakat atas
adanya masyarakat adat dengan segala ajarannya, keperdulian masyarakat akan
adanya HAM, serta kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
3.2. Saran
Agama (umum dan adat) melayani masyarakat dengan menyediakan sejak
masa pertumbuhan berupa ide, ritual, sentiment, yang membimbing kehidupan
setiap orang didalamnya. Kemerdekaan beragama dan berkepercayaan dalam
masyarakat plural di Indonesia merupakan masalah hak asasi yang perlu disikapi
serius oleh pemerintah tanpa membeda-bedakan dalam pelayanan public seperti
pencatatan akte perkawinan secara adat, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.
Maka dengan demikian, para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dapat lebih berkontribusi secara lebih “merdeka” lagi bersama-sama dengan
penganut agama lainnya dalam membangun tatanan masyarakat Indonesia yang
plural tetapi “Bhinneka Tunggal Ika” dalam platform ideologi bangsa yang sama
yaitu Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Choirul dkk. 2016. Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok


Minoritas
di Indonesia (Sebuah Laporan Awal). Jakarta: Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia RI.
ELSAM. 2014. Menemukan Kembali Indonesia. Jakarta.

14
Hartini, Sri. 2016. KEBIJAKAN DIREKTORAT KEPERCAYAAN TERHADAP
TUHAN YANG
MAHA ESA DAN TRADISI. Disampaikan pada Sarasehan Daerah
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tanggal 22 s.d.
24 Agustus 2016, di Hotel Santika, Purwokerto.
Mufid, Ahmad Syafii. 2012. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal
di
Indonesia. Jakarta: Kementrian Agama RI.
R.Suharto, dkk. 1994. Kajian Yuridis Terhadap SahnyaPerkawinan Oleh
Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Fakultaas Hukum: Undip.
Taher, Elza Peldi. 2011. MerayakanKebebasan Beragama, Jakarta: Democracy
Project.
Umiyati, Nova DAN M. Syafi’ie .2012. To Fulfill and To Protect: Membaca
Kasus-
Kasus Aktual tentang Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII.
UUD 1945
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
International Covenant on Civiand Political Rights yang di Indonesia diratifikasi
menjadi UU No. 12 Tahun 2005

15

Anda mungkin juga menyukai