Faisal Muzzammil
salzammil@gmail.com
STAI DR. KHEZ. Muttaqien Purwakarta
A. Pendahuluan
Aliran kepercayaan dan kebatinan di Indonesia telah nyata keberadaannya,
hal itu terbutki bahwa dewasa ini telah banyak bermunculan organisasi Penghayat
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kemunculan kelompok atau
organisasi tersebut, menimbulkan kecemasan terhadap salah satu pihak, sementara
pihak lain menyambutnya dengan terbuka dan gembira.
Berkaitan dengan bermunculannya kelompok kepercayaan ini, berdasarkan
data Dewan Musyawarah BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) pada tahun
2
1972 ada sekitar 644 kelompok aliran kepercayaan atau kebatinan. Jumlah tersebut
semakin bertambah setelah tahun 1978.1
Mengkaji tentang kelompok-kelompok kepercyaan di Indonesia, pada akhir
Maret tahun 1982 di wilayah Jawa Barat tercatat ada empat kelompok kebatinan
atau keperayaan yang secara resmi diakui dan terdaftar secara administratif di
pemerintahan. Empat kelompok kepercayaan atau kebatinan yang berasal dari Jawa
Barat tersebut adalah:2
1 Aliran Kepercayaan Aji Dipa No. 1.159/F.6/F.2/1980
2 Aliran Kepercayaan Lebak Cawene No. 1.195/F.3/N.1/1982
3 Aliran Budi Rahayu No. 1.010/F.6/F.2/1980
4 Paguyuban Adat Cara Karuhun No. 1.192/F.3/N.1/1982
5 Aliran Perjalanan Budi Daya No. 1.158/F.6/F.2/1980
1 Abd. Mutholib Ilyas & Abd. Ghofur Imam, Ailran Kepercayaan & Kebatinan di Indonesia, (Surabaya: CV
Amin Surabaya, 1988), hal. 14.
2 Ilyas & Iman, Aliran Kepercayan, hal. 188.
3
yang berasal dari kelompok kepercayaan Budi Daya. Ketiga, untuk menambah
khazanah ilmu Indigenous Religion in Indonesia.
B. Metodologi
Studi tentang kelompok Budi Daya ini dilakukan dengan menggunakan
metode grouded theory (penelitian dasar). Grounded theory merupakan metode
penelitian yang “memproduksi” teori umum dan abstrak dari suatu proses, aksi, atau
interaksi tertentu yang berasal dari pandangan-pandangan partisipan.3 Penggunaan
metode grounded theory ini betujuan untuk menghasilkan teori, asumsi, atau
hipotesis (yang baru) tentang kajian budaya, tradisi, dan kepercyaan suatu
masyarakat atau komunitas.
Untuk dapat mengungkapkan makna, sejarah, dan pokok ajaran kelompok
Budi Daya, maka studi ini menggunakan pendekatan etnografi. Secara praktis,
pendekatan etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan.
Tujuan utama aktivitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut
pandang penduduk asli.4 Secara spesifik, pendekatan etnografi dalam studi ini
digunakan untuk memahami makan, sejarah, dan pokok ajaran Budi Daya.
Penggalian dan pengumpulan data dalam paper ini dilakukan melalui
dokumentasi dan observasi. Pada praktiknya, dokumentasi dilakukan dengan cara
mempelajari berbagai sumber dokumen yang berkaitan dengan pokok penelitian.
Dokumen yang dijadikan data dalam penelitian ini dapat berupa gambar, tulisan,
atau karya momental yang terkait dengan objek penelitian tentang makna, sejarah,
dan pokok ajaran kelompok Budi Daya. Sedangkan interview dilakukan dengan
cara menggali informasi melalui dialog dari beberapa warga informan utama yang
mengetahui banyak informasi dan data tentang kelompok Budi Daya.
C. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelusuran, penggalian dan pendalaman data-data di
lokasi penelitian tentang fenomena yang terkait dengan kelompok Budi Daya,
3 John W. Creswell, Reseacrh Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Approach, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013), hal. 20.
4 James P. Spradley, The Etnographic Interview, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hal. 3.
4
ditemukan beberapa hal penting. Penjelasan dan pembahasan lebih rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut:
5 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal. 158.
6 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal. 158.
7 Mei Kartawniata, Budi Daya, (Bandung: Gunung Keutik Ciparay, 1956), hal. 5.
8 Suyudi, Ikhtisar Pandangan Hidup Mei Kartawinata, (Bandung: t.p. 1983), hal. 4.
5
1.158/F.6/F.2/1980 yang pada waktu itu mempunyai pengikut terbanyak dari pada
AKP dan Aliran Kepercyaan Aji Dipa, yaitu sekitar 32.100 orang. 11 Sekalipun
Kepercayaan Budi Daya sudah berdiri sendiri, namun tetap mengakui bahwa Mei
Kartawinata adalah sebagai pendiri pertamanya, berdasarkan wangsit yang
diterimanya berupa suara tanpa rupa dari dalam air. Menurut Mei Kartawinata,
wangsit yang diterimanya tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:12
1. Seseorang harus berbudi luhur agar dapat menjadi bangsa yang baik.
2. Setiap perbuatan harus bisa membawa penerangan dan ketentraman baik untuk
diri sendiri maupun orang lain.
3. Seseorang harus mematuhi segala peraturan Tuhan dan peraturan negara.
4. Seseorang harus percaya kepada Tuhan YME, berusaha menyatu dengan-Nya.
5. Gerak perjuangan hendaklah mengikuti cara yang dilakukan Wali Songo
6. Bahwa keadaan duni ini dijadikan Tuhan berpasangan (berjodoh).
7. Tujuan hidup manusi adalah memperoleh kemerdekaan.
8. Asal usul manusia berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
9. Manusi harus menjauhi semu sifat dan perbuatan yang jelek.
10. Seseorang tidak boleh hidup menyendiri, egoistis, dan individualistis, tetapi
harus dalak keadaan kebersamaan.
Wangsit atau ilham gaib yang diterima Mei Kartawinata tersebut, dapat
disimpulkan sebagai berikut: “Kalau kamu akan memberi sesuatu kepada orang lain
jangan banyak-banyak perthitungan, contohlah air sungai Cileuleuy yang tida henti-
hentinya memberikan pertolongan sepanjangan masa (perjalanan) baik kepada
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan”.
Dari rumusan tersebut, maka inti ajaran Kepercayaan Budi Daya adalah
mengabdikan diri demi perikamanusiaan dalam kehidupan sehari-hari tanpa
memandang warna kulit, status sosial, dan agama. Kitab “Budi Daya” karangan
Mei Kartawinata adalah kitab pegangan (handbook) Kelompok Kepercayaan Budi
Daya. Selain kita tersebut, ada beberapa kitab karangan Mei Kartawinata yang
dijadikan rujukan oleh Kelompok Kepercayaan Budi Daya, seperti: Katineung,
Kamusiaan, Pupus (Lebur Papan Sareng Tulis), Marhaen, Pancasila Dasar Agama
Sanes Agama, dan Pedoman Dasar Perjalanan.
a. Kepercayan Parahyangan
Mei Kartawinata telah meletakan dasar-dasar Kepercayaan Budi Daya yang
ditulisnya dalam kitab Budi Daya. Kitab tersebut memuat berbagai aspek yang
berhubungan dengan masalah ketuhanan, peribadatan, sosial, dan sebagainya.
Diantara ajaran Mei Kartawinata ialah menanamkan kepada warganya tentang
suatu kepercayaan, yaitu yang disebut “Kepercayaan Parahyangan” (kepercayaan
hamba Tuhan), yaitu:13
Pertama, Percaya tur nyaho ka Hyang Agung; Kedua, Percaya ka kuring anu
asal ti Hyang Agung, jeung prak migawe cara anu agung; Ketiga, Percaya
kanu karasa; Keempat, Percaya kanu melekakeun tekad; Kelima, Percaya
kana takdir; Keenam, Percaya hirup taya anggeusna.
Itulah enam kepercayaan dasar yang harus dipegang oleh warga Kelompok
Kepercayaan Budi Daya. Selain itu, setiap warga juga harus mempercayai enam
perkara yang disebut “Rukun Iman”, yaitu: 1) Percaya ka Allah... Pangeran. 2)
Percaya ka kitab Allah... Piwuruk. 3) Percaya ka Rasul Allah... Panutan. 4)
Percaya ka malaikat Allah... Sakti. 5) Percaya ka takdir. 6) Percaya kana poe
kiamat.14 Dalam menjabarkan “Kepercayaan Parahyangan”, Mei Kartawinata
sering menggunakan contoh dan peristilahan yang ada dalam agama Islam; karena
dengan peristilahan tersebut ajaran Budi Daya akan mudah dipahami oleh warganya
yang mayoritas dari pemeluk agama Islam. Selanjutnya istilah-istilah Islam tersebut
tidak dipahami dan ditafsikan sesuai dengan yang ada dalam Islam, melainkan
menurut alam pikiran Mei Kartawinata dan menurut budaya Indonesia.
b. Ketuhanan
Tuhan menurut Kepercayaan Budi Daya adalah sumber dan asal dari segala
yang ada, termasuk manusia. Kelahiran manusia di dunia ini tak lain adalah
disebabkan budi daya yang dimiliki para karuhun (leluhur) secara turun temurun
sampai tingkat bawah, dan ke atasnya sampai ke tingkat asalnya yaitu kehendak
Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mengenal siapa Tuhannya, maka manusia harus
memikirkan tentang kejadiannya sendiri, dari mana asalnya dan ke mana
akhirnya.15 Dengan memperhatikan asal-usul kejadian manusia atau kejadian
dirinya sendiri, akan timbul suatu kepercayaan bahwa kejadian dirinya tak lain
adalah berasal dari Tuhan, artinya Thuan menghendaki adanya manusia untuk
dijadikan sebagai hamba-Nya (Parahyangan), artinya hamba-hamba Tuhan itu
berasal dari-Nya.
Yang bisa tahu dan bersaksi bahwa Tuhan itu Wujud (Ada) dan tetap pada
Wujud-Nya, tak lain adalah hamba yang wujud ini (manusia). Yang mengetahui
bahwa Tuhan itu tanpa dzat, tanpa sifat (laisa kamitslihi), tidak berarah dan tidak
bertempat (bila kaifin, bila makanin) hanyalah hamba yang berdzat dan bersifat,
berarah dan bertempat yaitu manusia. Adanya manusia, dunia dan segala isinya ini
membuktikan adanya Tuhan. Dalam hal ini, Mei Kartawinata menjelaskan:
Gusti itu Hyang Agung, yang menjadi asal dari Parahyangan. Hyang Agung
itu adalah Hyang Widi (Yang Kuasa) dan bukti kuasanya ada di mana-mana;
Hyang Widi itu adalah Hyang Sukma (Yang Berkehendak) dan bukti
kehendaknya adalah adanya adanya hidup ini. Hyang Sukma itu adalah
Hyang Manon (Yang Mendengar) buktinya dapat mendengarkan dengan
kehendaknya. Itulah Hyang Agung asal dari Para-Hyangan, itulah Tuhan
asal dari semua manuia, yang: Hidup-Nya tidak menggunakan nafas.
Mendengar-Nya tidak menggunakan telinga. Melihat-Nya tidak
menggunakan mata. Bicara-Nya tidak menggunakan mulut.16
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa Tuhan itu tidak ber-Dzat dan ber-Sifat,
tiada ber-Arah dan ber-Tempat, hidup tanpa nafas, mendengar tanpa telingan,
melihat tanpa mata, dan berbicara tanpa mulut, keadaan tersebut menyebabkan
manusia tidak mengenal Tuhannya. Oleh karena itu menurut Kepercayaan Budi
Daya Tuhan mempunyai sifat sebanyak 20 dan dengan sifat-sifat inilah manusia
baru dapat mengenal Tuhannya, yang selanjutnya dapat mempercayai Ada-Nya.
Jika manusia sudah mempercayai adanya Tuhan, maka manusia juga harus
mempunyai sifat-sifat seperti sifat Tuhan dan menyeleraskan dengannya. Sifat-sifat
tersebut adalah:17
1) Wujudkan kelakuan yang baik, sebab Tuhanmu adalah “Wujud”-Nya
Maha Suci; 2) Dahulukan (utamakan) kelakuan yang baik, sebab Tuhan mu
“Qidam” (terdahulu) Maha Suci-Nya; 3) Abadikan kelakuan yang baik, sebab
Tuhan mu “Baqa” (abadi) Maha Suci-Nya; 4) Bedakan yang wajib dengan yang
tidak wajib pada sifat Tuhan, sebab Tuhan mu “Mukhalafatu lil hawaditsi” (beda)
Maha Suci-Nya; 5) Dirikan oleh kamu kelakuan yang baik, sebab Tuhan mu
“Qiyamuhu Ta’ala Binafsihi” (beridir dengan sendiri) Maha Suci-Nya; 5)
Tunggalkan (Esakan) kamu dengan kelakuan yang baik, seabab Tuhan mu
“Wahdaniyat” (tunggal) Maha Suci-Nya; 6) Kuasakan dalam menjalankan yang
bik, sebab Tuhan mu “Qadiran” (Yang Kuasa) Maha Suci-Nya; 7) Harus
menjalankan yang baik, sebab Tuhan mu “Muridan” (Yang Berkehendak) Maha
Suci-Nya; 8) Harus tahu yang baik tentang apa yang kamu jalankan, sebab Tuhan
mu “Aliman” (Yang Tahu) Maha Suci-Nya; 9) Hidupkan anggota badanmu untuk
menjalankan yang baik, sebab Tuhan mu “Hayan” (Yang Hidup) Maha Suci-Nya;
10) Dengarkan pada kebaikan, sebab Tuhan mu Maha Suci Mendengar-Nya
(Sami’an); 11) Perlihatkan pada kebaikan, sebab Tuhan mu Maha Suci Melihat-
Nya (Bashiran); 12) Katakan pada kebaikan, sebab Tuhan mu Maha Suci
Perkataan-Nya (Mutakallimin).
Adapun alat mengerjakan sesuatu yang ada pada kamu itu adalah: 1) Dzat dan
adat kamu berasal dari “Kudrat” Maha Suci; 2) Kemauanmu berasal dari “Iradat”
Maha Suci; 3) Pengetahuanmu berasal dari “Ilmu” Maha Suci; 4) Hidupmu berasal
dari “Hayat” Maha Suci; 5) Pendengaranmu berasal dari “Sama” Maha Suci; 6)
Penglihatanmu berasal dari “Bashar” Maha Suci; 7) Perkataanmu berasal dari
“Kalam” Maha Suci.
Itulah sifat 20 Tuhan yang harus ditiru oleh manusia, dengan kata lain sifat
manusia harus selaras dengan sifat Tuhan. Jadi apabila ada manusia yang perbuatan
lahir dan batinnya (budi daya)-nya tidak selaras dengan sifat 20 Tuhan, maka
manusia bukan hamba Tuhan (Parahyangan) melainkan hamba setan.
c. Kemanusiaan
Kepercayaan Budi Daya mengajarkan bahwa manusia adalah mahkluk yang
paling mulia yang memiliki jasmani dan rohani, badan kasar dan badan halus yang
kesemuanya itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Manusia disebut “manusia”
yang sebenarnya karena adanya raga dan rasa serta hidupnya. Ia baru disebut
manusia yang sempurna apabila ia mempunyai jiwa (rasa kemanusiaan) yang
sempurna. Oleh karena itu, seseorang janganlah merasa cukup sebab ia telah
mengetahui asal-usul kejadinnya.
Manusia baru dianggap cukup sempurna kemanusiaannya apabila telah
mengatahui asal-usul kejadiannya dan dapat menjlankan rasa kemanusiaannya
sesuai antara perilaku dengan batinnya (budi dayanya), sesuai dengan wujudnya
dan sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia. Jangan sampai wujudnya
manusia, akan tetapi perilakunya hewan, atau wujudnya manusia, akan tetapi
jwanya setan, jahat dan sewenang-wenangnya. Apabila semua manusia di dunia ini
sudah bisa melaksankan kemanusiaannya, maka dapat dipastikan dunia dan isinya
ini akan baik dan rapi, bohong, iri hati, curan dan merusak sesama makhluk menjadi
tidak ada.18 Kepercayaan Budi Daya mengajarkan bahwa: “Kamanusan teh yaeta
makhluk anu kaanceukan (eukeur) migawe pagawean manusa, salawasna Ngabdi
ka Gusti na, anu matak pantes dingaranan ‘Kaulaning Gusti’ atawa Abdina Gusti”.
Manusia berasal dari kata, “ma” artinya ibu, dan “nusa” artinya pulau,
tempat, pertiwi, atau dunia. Dunia kejadiannya terdiri dari empat unsur yaitu tanah,
air, api, dan angin. Dari keempat unsur itulah yang menjadi dzat sumber terjadinya
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Manusia yang baru lahir menyusu kepada
ibunya, yang air susunya mengandung zat-zat makanan yang berasal dari keempat
unsur duni atad, dan setelah bai besar, ia langsung makan sendiri makanan dari
bumi yang mengandung empat unsur tersebut, yang kesemuannya itu tak lain
adalah berasal dari Tuhan Yang Maha Berguna. Oleh karena manusia berasal dari
Wujud Tuhan Yang Maha Berguna, maka wujud manusia kehidupannya harus
“berguna” bagi masyarakatnya yang disebut “kemanusiaan”. Untuk menjadi
manusia yang berguna sesuai dengan sifat kemanusiaanya, maka:
1) Sebagai manusia yang melihat, mendengar, dan berbicara maka ia harus
bertekad menjalankan sesuatu untuk: 1) keperluan dirinya supaya sehat; 2)
keperluan tingkah lakunya supaya baik; 3) keperluan pengetahuan supaya
benar; 4) keperluan dirinya supaya bisa mengabdi.
2) Sebagai Kaulaning Negara ia harus tidak melanggar peraturan yang dibuat
Pemerintah yang disebut “M Pitu”: 1) Madat, karena perbuatan ini dapat
merusak badan dan pikiran; 2) Main, karena dapat merusak rumah tangga; 3)
Madon, karena menurutkan hawa nafsu itu dapat merusak keturunan; 4)
Minum, karena dapat merusak ingatan; 5) Maling, karena dapat merusak
ketentraman dunia; 6) Mangani, karena reka daya atau tipu muslihat itu dapat
merusak kebahagiaan; 7) Mateni, karena dapat merusak hidup manusia.
3) Sebagai Kaulaning Rasul, maksudnya batin manusia itu harus: 1) berbudi (besar
perasaannya); 2) tidak iri hati, jahat dan merusak; 3) tidak berbohong terhadap
sesama manusia; 4) memandang oran lain seperti dirinya sendiri.
4) Sebagai Kaulaning Gusti, haruslah berdaya upaya mewujudkan lahir dan
batinnya sampai terbukti: 1) mendahulukan kelakukan baik; 2) membiasakan
kelakuan baik; 3) mendirikan kelakukan baik; 4) membedakan antara yang baik
dan yang jelek; 5) menyatukan dan merasakan: mengerti dari siapa? rasa dari
mana? dilahirkan oleh siapa? lahir dari mana? untuk apa dan ke mana?
mutlak, sebab bukan lagi berupa keterangan atau petunjuk menurut kata-kata orang
lain, akan tetapi benar-benar telah diketahui dan disaksikan adanya. Batin
merupakan syarat mutlak terhadap persaksian adanya Tuhan Yang Maha Esa yang
berkuasa atas manusia, persaksian atas Zat Tuhan, Rasa Tuhan (Rasa Jati) asal dari
segala asal rasa dan keadaan dunia.
Kebatinan adalah persaksian bahwa manusia itu berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa. Kebatinan memberikan kesaksian bahwa Tuhan Yang Esa dengan
Kawal itu tunggal (tidak terpisah), karena segala mubah, musik kawula itu tak lain
adalah mubah musik (kehendak, kekuatan) Tuhan. Antara manusia dengan Tuhan
ibarat gula dengan manisnya. Wujud gula adalah ibarat wujud Tuhan yang ada pada
badan manusia, dan rasa manis ibarat rasa Tuhan, Zat Tuhan yang ada pada rasa
atau batin manusia. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan, walaupun antara yang
satu dengan yang lainnya berbeda namanya. Tidak ada gula tanpa rasa manis, begitu
sebaliknya tidak ada rasa manis tanpa adanya gula. Kesatuan antara gula dengan
rasa manis atau kesatuan manusia dengan Tuhan disebut “Gusti Kawula – Kawula
Gusti”.19
Hubungan antara Gusti dengan Kawula ibarat Dalang dengan Wayang, untuk
dapat dinikmati ceritera wayang juga harus dilihat dari segai kebatinan. Dalam
hubungan ini, Mei Kartawinata mengatakan:
Dalang menguasai wayang: maksudnya bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah
yang menguasai dan menggerakan semua perbuatan manusia sesuai dengan
kehendak manusia itu sendiri. Jadi kekuasaan Tuhan dalam cara menggerakkan
perbuatan manusia sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri, inilah yang
dimaksud “segala ucap lampah wayang dilakukan oleh dalanga”.
e. Peribadatan
Kepercayaan Budi Daya mengajarkan bahwa setiap manusia harus
melakukan peribadatan kepada Yang Maha Kuasa, yaitu yang disebut sembahyang,
sholat, neteupan, atau ibadah; namun yang sering dipakai adalah istilah
sembahyang. Sembahyang termasuk salah satu kewajiban yang harus dilakukan,
karena sembahyang termasuk bagian dari “Patokan Parahyangan”.
D. Penutup
Berdasarkan uraian tentang sejarah perkembangan sampai pada pokok ajaran
Kepercayaan Budi Daya, dapat diketahui bahwa terbentuknya kelompok
keperacayaan ini bertujuan untuk menyeleraskan aktifitas jasmani dan rohani
manusia agar ia dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai alam dan ketuhanan. Jika
ditinjau dari perspektif ajaran agama Islam, pokok ajaran Kepercayaan Budi Daya
ini pada esensinya sama dengan ajaran agama Islam. Fakta tersebut bisa dilihat dari
beberapa ajaran dan praktik spritual Kepercayan Budi Daya, seperti:
16
Daftar Rujukan:
Abd. Mutholib & Abd. Ghofur Imam. 1988. Aliran Kepercayaan & Kebatinan di
Indonesia. Surabaya: CV Amin.
Abdul Rozak. 2005. Teologi Kebatinan Sunda: Kajian Antropologi tentang
Kebatinan Perjalanan. Bandung: Kiblat Buku Utama.
James P. Spradley. 1997. The Etnographic Interview. Yogyakarta: Tiara Wacana.
John W. Creswell. 2013. Reseacrh Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Approach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mei Kartawinata. 1953. Kamanusaan. Bandung: t.p.
_____________. 1956. Budi Daya. Bandung: Gunung Keutik Ciparay.
_____________. t.th. Katineung. Bandung: t.p.
Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Suyudi. 1983. Ikhtisar Pandangan Hidup Mei Kartawinata. Bandung: t.p.