Anda di halaman 1dari 73

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Di negara multikultural seperti Indonesia, keagamaan merupakan masalah krusial,
dan memprihatinkan ketika agama dikaitkan dengan fenomena diskriminasi serta
dijadikan alasan untuk melakukan tindak kekerasan. Padahal Republik Indonesia ini
bukan negara yang berdasarkan pada agama tertentu, melainkan berdasarkan pada
kepercayaan terhadap ke-Tuhanan Yang Maha Esa.Hal itu berarti bahwa semua agama
dan kepercayaan yang ada dihormati kedudukannya serta seluruh warga negara bebas
memeluk agama dan kepercayaannya serta bebas untuk melaksanakan ibadatnya masing-
masing.1

Akan tetapi, bagaimana rumusan semacam itu bisa diwujudkan dalam praktik
sehari-hari, karena bagaimanapun bagi para penganutnya agama yang dianutnya itu
merupakan suatu kebenaran mutlak. Ajaran-ajaran yang berdasarkan pada agamanya
merupakan pegangan hidup yang diyakini penuh akan kebenarannya. Karenanya agak
sulit untuk bisa memahami ajaran-ajaran atau pandangan agama lain. Apalagi bila
berhadapan dengan suatu agama yang masih dianggap “terbelakang” atau “kafir”.2

Dalam upaya mengenal dan memahami salah satu kehidupan beragama di


Indonesia, perlu diketahui keberadaan salah satu ”agama asli” yang masih hidup dan
dianut oleh sebagian orang Sumba, Nusa Tenggara Timur, yaitu agama Marapuyang
sekaligus merupakan identitas budaya mereka. Sebenarnya tidak ada batasan obyektif
untuk menentukan siapa orang Sumba itu. Kepustakaan klasik yang berkaitan dengan
kehidupan orang Sumba, menggambarkan mereka sebagai kelompok yang suka
berperang, pengayau, pemuja arwah leluhur (animistis), pemalas dan terbelakang, dalam
arti nyaris tak tersentuh peradaban. Misalnya saja pada masa pemerintahan kolonial

1
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1974. Hal. 5-6
2
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, Kanisius. Yogyakarta 1992. Hal 114-117 dikutip dalam
http://liferomance-aryo.blogspot.co.id/2013/04/review-antropologi-agama-agama-sebagai.html
2

Hindia Belanda, orang Sumba dianggap bodoh, suka bertakhayul, malas, tidak berharga
dan diabaikan , suka berperang dan pengayau.3

Pencitraan semacam itu memberikan gambaran bahwa ada kekuatan-kekuatan


yang membentuk pandangan tentang ”orang Sumba”. Pembentukan konstruksi Barat
(kolonial) tentang orang Sumba tersebut pada gilirannya mempengaruhi pula sikap
pemerintah Indonesia pada masa kemerdekaan, sehingga citra merendahkan orang
Sumba itu tidak hilang hingga sekarang. Suatu hal berbeda dengan pandangan orang
Sumba sendiri yang menganggap diri mereka sebagai bagian dari masyarakat
beradab.Bagi orang Sumba ada tiga hal utama berkaitan dengan identitas budaya mereka,
yaitu tatanan berdasarkan keyakinan beragama (Marapu), tatanan berdasarkan tempat
kediaman (Paraingu), dan tatanan berdasarkan ikatan kekeluargaan (Kabihu).Ketiga
macam tatanan tersebut merupakan pedoman, nilai- nilai, atau aturan-aturan dalam hidup
bermasyarakat orang Sumba.Dari ketiga tatanan tersebut, tatanan berdasarkan agama
Marapu itulah menjadi penanda identitas terpenting. Identifikasi keagamaan ini
merupakan sebuah konstruksi yang menekankan pada perbedaan bahwa “inilah agama
kita”, yang mana orang Sumba secara aktif melabelkan diri mereka sendiri dengan
melakukan berbagai kegiatan keagamaannya. Adanya pandangan negatif terhadap orang
Sumba jelas merupakan suatu konstruksi pihak-pihak tertentu untuk merendahkan
mereka.4

Seperti telah diketahui, seperti yang tercantum dalam Pasal 28 (E) ayat 1 dan 2
UUD 1945 hasil amandemen yang mengatakan bahwa : 1). Setiap orang berhak memeluk
agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya serta berhak kembali, 2). Setiap orang berhak atas kebebasan
menyakini kepercayaan, menyatakan pikrian dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pada UUD 1945 Bab XI tentang Agama, Pasal 29 ayat 1-2 dinyatakan bahwa ‘negara
berdasarkan atas Ketuhan Yang Maha Esa'. Hal ini berarti bahwa negara menjamin

3
Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1976. Hal. 14
4
John A. Titaley, Hubungan Negara dan Agama Dalam Menjamin Kebebasan Beragama Di Indonesia, dalam
Chandra Setiawan, Asep Mulyana (ed),Komisi Nasional Hak Asasi Manusi.a, 2006. Hal. 3-5
3

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk


beribadah menurut agamanya.

Kenyataan diatas juga di perkuat oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama atau keyakinan adalah hak dasar
setiap individu yang tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun. Demikian juga
dalam Pasal 22 di sebutkan bahwa : 1). Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadah menurut agama atau kepercayaannya tersebut. Pasal 8 juga
berisi bahwa ‘perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
menjadi tanggung jawab pemerintah.5

Di Indonesia masih terdapat aliran kepercayaan diluar 6 agama utama, yaitu:

1. Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada etnis Baduy di
Kanekes (Banten)

2. Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai


agama Cigugur di Kuningan, Jawa Barat.

3. Aliran kepercayaan Buhun di Jawa Barat

4. Aliran kepercayaan Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur

5. Aliran kepercayaan Parmalim di Batak

6. Aliran kepercayaan Kaharingan di Kalimantan

7. Aliran kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara

8. Aliran kepercayaan Tollotang di Sulawesi Selatan

9. Aliran kepercayaan Wetu Telu di Lombok

10. Aliran kepercayaanMarapu di Sumba

11. Aliran kepercayaan Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku.

5
Thomas FO’dea., Sosiologi Agama, CV Rajawali, Jakarta, 1985. Hal. 20
4

Secara normatif, dalam perspektif HAM, hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat
dikelompokkan ke dalam delapan komponen, yaitu:

1) Kebebasan Internal
Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan,dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganutatau menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiritermasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.
2) Kebebasan Eksternal
Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu ataudi dalam masyarakat, secara publik
atau pribadi, untuk memanifestasikanagama atau kepercayaannya di dalam pengajaran,
pengalamannya dan peribadahannya.
3) Tidak ada Paksaan
Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yangakan mengurangi kebebasannya
untuk memiliki atau mengadopsisuatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
4) Tidak Diskriminatif
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjaminkebebasan beragama atau
berkepercayaan semua individu didalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik ataupendapat, penduduk
asli atau pendatang, asal-usul.
5) Hak dari Orang Tua dan Wali
Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasanorang tua, dan wali yang sah (jika
ada) untuk menjamin bahwapendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai
dengankeyakinannya sendiri.
6) Kebebasan Lembaga dan Status Legal
Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan,bagi komunitas keagamaan
untuk berorganisasi atauberserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas
keagamaanmempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan,termasuk di
dalamnya hak kemandirian di dalampengaturan organisasinya.
7) Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Ekstemal
5

Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan ataukeyakinan seseorang hanya dapat


dibatasi oleh undang-undangdan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban
publik,kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.
8) Non-Derogability
Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragamaatau berkepercayaan dalam keadaan
apapun.6
Marapuadalah sebuah agama lokal atau pun kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di
Pulau Sumba. Agama ini merupakan kepercayaan yang memuja nenek moyang dan leluhur.
Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.Pemeluk agama ini percaya bahwa
kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup
kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal sebagai Prai Marapu.Upacara keagamaan
marapu (seperti upacara kematian dsb) selalu diikuti dengan pemotongan hewan seperti kerbau
dan kuda sebagai korban sembelihan, dan hal itu sudah menjadi tradisi turun - temurun yang
terus di jaga di Sumba.
Selain kepercayaan kepada para Marapu, masyarakat Sumba juga percaya bahwa di dunia
gaib penuh dengan makhluk-makhluk halus, seperti patau tana, mamarungu, maranongu, katiku
kamawa dan bumbu. Patau tana adalah roh-roh halus yang dapat berasal dari manusia,dan bukan
berasal dari manusia. Biasanya mereka menjadi penghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar,
gua-gua, hutan atau di kuburan.Patau tana ini bersifat jahat dan selalu mengganggu manusia,
karena itu sangat ditakuti.Patau tana yang berasal dari manusia adalah roh dari orang-orang yang
mati secara tidak wajar, misalnya disebabkan kecelakaan, bunuh diri, dibunuh dan
sebagainya.Roh-roh semacam ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak dapat terlepas
dari hidupnya yang lama.Mamarungu adalah roh halus yang bukan berasal dari manusia dan
mempunyai sifat jahat.Kedudukan roh halus ini lebih rendah dari marapu karena mereka
merupakan pesuruh-pesuruh para marapu.Karena sifatnya yang jahat, mereka sering
mengganggu dan mencelakakan manusia dengan memasuki tubuh manusia yang hidup. Orang
yang kerasukan mamarungu ini akan menjadi jahat pula dan selalu ingin mencelakakan orang
lain. Oleh karena itu, orang yang sering mencelakakan orang lain disebut mamarungu juga.

6
Michael R Dove. (ed), Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1985. Hal. 48-49
6

Maka, orang semacam ini dibunuh karena dianggap membahayakan orang lain dan bila di tinjau
dari segi hukum nasional ini jelas melanggar Hak Asasi Manusia.7

Sebagian besar masyarakat agama Marapu di Sumba Barat, masihmendapatkan perlakuan


tidak adil dan belum mendapatkan hak untuk bebas beragama atau beribadah. Apabila ditilik dari
pengertian dan makna kebebasan yang di paparkan diatas, maka banyak hal yang tidak sesuai
antara hukum tertulis dan kejadian yang terjadi di lapangan seperti salah satu contoh pelayanan
pembuatan KTP. Banyak masyarakat agama Marapu yang belum memiliki KTP karena di kolom
KTP harus mencantumkan agama, sehingga ada sebagian besar masyarakat agama Marapu yang
terpaksa menganut salah satu agama yang di akui secara resmi oleh Negara meskipun mereka
tidak menyakini agama tersebut.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka penulis tertarik dan berniat untuk melakukan
penelitian dengan tema ”Perlindungan Hukum Terhadap Kebebasan Beragama (Studi
Terhadap Aliran Kepercayaan Marapu di Kabupaten Sumba Barat)”

B. PERUMUSAN MASALAH
Bagaimana perlindungan hukum kebebasan beragama bagi masyarakat marapu di Kabupaten
Sumba Barat?
Pokok masalah tersebut diatas dapat diperinci dalam beberapa sub pokok masalah
sebagai berikut :

1. Apayang menjadi penghambat dalam pemenuhan hak beragama bagi masyarakat


Adat Marapu di Kabupaten Sumba Barat?

2. Bagaimana penerapan perlindungan hukum kebebasan beragama bagi masyarakat


Marapu di Kabupaten Sumba Barat?

C. TUJUAN PENELITIAN

Sejalan dengan perumusan masalah tersebut diatas, pokok tujuan penelitian ini adalah:

7
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, 1985
7

‘Untuk mengetahui perlindungan hukum kebebasan beragama bagi masyarakat marapu di


Kabupaten Sumba Barat.”

Adapun sub pokok tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam pemenuhan hak beragama


bagi masyarakat Adat Marapu di Kabupaten Sumba

2. Untuk mengetahui penerapan perlindungan hukum kebebasan beragama bagi


masyarakat marapu di Kabupaten Sumba barat?

D. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini di harapkan bermanfaat bagi para pihak yang berkepentingan, antara
lain:

1. Bagi masyarakat Marapu sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menjadi


masukan agar mengetahui dan memahami perlindungan hukum kebebasan
beragama bagi masyarakat Marapu di Kabupaten Sumba Barat.

2. Bagi masyarakat Sumba, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan agar
mengetahui dan memahami perlindungan hukum kebebasan beragama bagi
masyarakat Marapu di Kabupaten Sumba Barat.

3. Bagi pemerintah daerah (PEMDA) Sumba Barat, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan agar mengetahui dan memahami perlindungan hukum
kebebasan beragama bagi masyarakat Marapu di Kabupaten Sumba Barat.

4. Bagi Pemerintah (Kantor Departemen Agama), penelitian ini diharapkan dapat


menjadi masukan agar mengetahui dan memahami perlindungan hukum
kebebasan beragama bagi masyarakat Marapu di Kabupaten Sumba Barat
8

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Marapuadalah sebuah agama lokal atau pun kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat di Pulau Sumba. Agama ini merupakan kepercayaan yang memuja nenek
moyangdanleluhur. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.Pemeluk
agama ini percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah
akhir zaman mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal
sebagai Prai Marapu.Upacara keagamaan marapu (seperti upacara kematian dsb) selalu
diikuti dengan pemotongan hewan seperti kerbau dan kuda sebagai korban sembelihan,
dan hal itu sudah menjadi tradisi turun - temurun yang terus di jaga di Sumba.

Agama Marapu adalah "agama asli" yang masih hidup dan dianut oleh orang
Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.Adapun yang dimaksud dengan
agama Marapu ialah sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah
leluhur (ancestor worship). Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu ,
berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut
disebut Marapu pula. Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara
hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu
Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari
suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialah Marapu yang dianggap
turun dari langit dan merupakan leluhur dari para Marapu lainnya, jadi
merupakanMarapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi.

Sistem kepercayaan dalam suatu religi mengandung bayangan manusia tentang


wujud dunia gaib, dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, kekuatan sakti, kepercayaan
mengenai hidup dan mati serta kesusastraan suci.Orang Umalulu menyadari bahwa ada
suatu dunia yang tidak tampak yang berada di luar batas kemampuan pancaindra dan
akalnya, yaitu dunia gaib.Dunia gaib ini dihuni oleh para dewa, makhluk-makhluk halus
dan kekuatan-kekuatan sakti yang tidak dapat dikuasai oleh manusia secara biasa, karena
itu sangat ditakuti.Agar segenap penghuni dunia gaib itu menjadi senang atau menaruh
belas kasihan sehingga tidak membawa bencana kepada mereka dan bahkan melindungi
serta membantu kehidupan mereka, maka dalam menghadapi penghuni dunia gaib orang
9

Umalulu menyandarkan diri serta menyembahnya.Orang Umalulu mempunyai banyak


dewa dan ada susunannya secara hirarki, tetapi tidak merupakan suatu parrtheon
tersendiri, karena setiap dewa mempunyai tempat persemayaman sendiri di rumah suatu
kabihu yang memujanya.

Para dewa itu biasanya tidak selalu berada di tempat persemayamannya, kecuali
bila sedang ada upacara tertentu.Dewa-dewa di Umalulu disebut Marapu, yaitu para
arwah leluhur yang dimuliakan dan didewakan serta dipercaya sebagai lindi papakalangu
- ketu papajualangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan,
perantara) antara manusia dengan Na Mawulu Tau Na Majii Tau (Yang Membuat
Manusia dan Yang Membentuk Manusia, Pencipta Manusia). Para marapu inilah yang
telah menerima nuku - hara (hukum dan cara) atau tata tertib hidup bermasyarakat dari
Maha Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia. Para marapu dibayangkan sebagai
makhluk-makhluk mulia yang mempunyai pikiran, perasaan dan kepribadian seperti
manusia, tapi dengan kepandaian dan sifat-sifat yang lebih unggul.Mereka terdiri juga
dari jenis pria dan wanita serta berpasangan sebagal suami istri.

Di antara keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai
nenek moyang yang menjadi cikal-bakal dari kabihu-kabihu.Marapu-marapu ini
dibedakan antara Marapu Ratu dengan Marapu.Marapu ratu ialah marapu yang turun dari
langit dan merupakan leluhur dari marapu lainnya.Sedangkan Marapu ialah arwah leluhur
yang menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu tertentu.Marapu-marapu di Umalulu dapat
dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan beberapa kriteria.

Misalnya, marapu-marapu itu dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan


hubungan dengan Marapu Ratu Umbu Endalu yang biasa disebut sebagai Uma
Ndapataungu, yaitu dalam hubungan kekerabatan dan dalam hubungan
pemerintahan.Marapu-marapu yang termasuk kerabat Umbu Endalu ialah Rambu Pudu
Kawau yang merupakanpermaisurinya dan berputra dua orang, yaitu Umbu Kaluu Rihi
dan Umbu Tunggu Watu.8

8
Purwadi Suriadiredja., Simbolisme dalam Desain Kain di Watu Puda, FS-Unpad, Bandung, 1983.Hal. 145
10

Istri Umbu Endalu yang kedua bernama Rambu Kahi Liaba yang biasa disebut
Rambu Henda Mandari dan mempunyai seorang putri serta dua orang putra, yaitu Rambu
Konga Wandalu, Umbu Mula dan Umbu Lu. Marapu-marapu yang tergolong dalam
pemerintahan Umbu Endalu antara lain : Umbu Kaluu Rihi, bertugas sebagai Ratu
(imam, pendeta) yang mengurus hal keagamaan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai
ratu, Umbu Kaluu Rihi dibantu oleh beberapa ratu lainnya, yaitu Umbu Pandi Makahihiru
yang bertugas sebagai paaungu (pemanggil) para ratu lainnya dalam segala urusan
golongan ratu; Kunda - Mbala yang bertugas sebagai pesuruh di kalangan ratu; Umbu
Hamata dan Umbu Harahapu yang bertugas sebagai pembawa barang-barang pusaka;
Umbu Manggedingu dan Umbu Malara Nau yang bertugas sebagai utusan untuk
menghadap Na Mawulu Tau-Na Majii Tau, sebagai wunangu (duta, perantara) dan
sebagai pemelihara kebersihan tempat pemujaan.

Adapun putra kedua dari Umbu Endalu, yaitu Umbu Tunggu Watu kemudian
ditetapkan sebagai Maramba (raja) yang bertugas menjalankan pemerintahan dan
rnemimpin dalam segala bidang kehidupan termasuk urusan keagamaan sebagai
pengawas, pelindung, pendorong, dan mengadakan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam
melaksanakan upacara pemujaan. Umbu Endalu kemudian oleh keturunannya dipuja
sebagai Ina Ratu - Ama Konda, Na Pamalilingu Langu-Na Papalilinqu Hida (ibu bapak
para ratu dan raja, yang dipantangkan kata dan yang tak terkalang aturan) dan dianggap
sebagai dewa kesuburan serta kemakmuran.

Mengingat bahwa di dalam masyarakat selalu ada dua macam kekuatan, yaitu
kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolak perubahan, maka
di dalam sistem keyakinan yang dianut masyarakat Sumba Barat pun mungkin saja akan
atau dapat berubah sejalan dengan proses dan berkembangnya perubahan sosial-budaya
pada masyarakat yang bersangkutan.

Proses perubahan itu sendiri bisa saja dengan jalan damai, atau bisa juga dengan
jalan ‘pemaksaan’, dengan kata lain suka atau tidak suka sebagai sesuatu hal yang ‘harus
dilakukan’. Perubahan yang ‘dipaksakan’ ini rupanya sudah sering pula dilakukan pihak
luar.Akan tetapi, sejauh itu pula tidak atau belum mendapat hasil yang memuaskan. Hal
ini terbukti hingga tahun 1982 hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Sumba
11

Barat yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk
agama asli mereka, yaitu Marapu. Namun perkembangan selanjutnya (terutama sejak
tahun 1990-an) agak mengejutkan, karena ternyata data tersebut tidak akurat dan
mengungkapkan yang sebaliknya.Kini sebagian besar dari mereka (+/- 80%) dengan
berbagai alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen.

Berdasarkan pengamatan penulis, ternyata mereka hanya pemeluk agama dalam


“KTP” saja, karena umumnya mereka banyak yang tidak pernah atau belum tahu
bagaimana menjalankan ibadat sesuai dengan ajaran agamanya itu. Bila mereka memilih
agama “KTP” mereka adalah Kristen dan bukan agama lain, alasannya karena agama
Kristen tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat
menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus)
bagi mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen.Selain itu dengan
menjadi seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat
bersekolah. Suatu hal yang memprihatinkan karena mereka „terpaksa“ beralih agama
untuk alasan tersebut, tapi rupanya mereka tak banyak punya pilihan.

Mereka pasrah dibawah tekanan para penguasa. Sebenarnya sikap mereka tersebut
merupakan tindakan mencari ‘aman’ dari tekanan-tekanan pihak pemerintah yang
mengharuskan mereka agar “beragama”, katakanlah sebagai jalan yang ‘kompromistis’,
daripada dituduh sebagai ateis, kafir, primitif, tidak mendukung program pembangunan,
dapat mengakibatkan putra-putrinya tidak diterima masuk sekolah dan sebagainya.

Meskipun banyak peraturan-peraturan yang tidak mendukung adanya aliran


kepercayaan Marapu, jumlah penganutnya masih terbilang banyak di Kabupaten Sumba
Barat dengan kisaran menurut Dinas BAPPEDA Kabupaten Sumba Barat Tahun 2010
jumlah pemeluk agama Islam (8.543 jiwa), Pemeluk agama Kristen ( 65.350 jiwa),
pemeluk agama Katolik ( 22.084 jiwa), Hindu ( 199 jiwa ), Budha ( 0 jiwa ), Marapu (
14.148 jiwa).

Bila di lihat dari kisaran diatas, Agama Kristen dan Katolik merupakan agama
yang paling banyak di anut oleh masyarakat Sumba Barat. Tetapi semuanya bukan
penghayat murni agama Kristen, Katolik, Hindu atau Islam melainkan jumlah tersebut
12

diatas sudah termasuk orang dengan kepercayaan Marapu yang terpaksa memilih agama
tersebut sebagai formalitas belaka untuk mendapatkan KTP, sedangkan tata cara
beribadah mereka sama sekali tidak pernah melakukan sesuai dengan agama yang
tercantum di KTP.9

Selain, masalah pembuatan KTP, masalah hak waris juga masih menjadi salah
satu hal yang masih membutuhkan perhatian dari pihak pemerintah.Hak waris yang
dimaksud disini adalah hak waris pada perempuan.Masyarakat adat marapu masih sangat
memegang teguh prinsip bahwa laki-laki adalah pewaris dan penerus keturunan
sementara perempuan dianggap sebagai orang yangakan keluar atau meninggalkan rumah
atau keluarga setelah menikah.Hal ini bertentangan dengan pengertian hukum waris
secara hukum adat yaitu aturan-aturan hukum adat yang mengatur bagaimana harta
peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi-bagi dari pewaris kepada para
waris dari generasi ke generasi berikutnya.

Undang-Undang pasal 833 ayat (1) BW, mengatakan bahwa “sekalian ahli waris
dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak,
dan segala piutang dari yang meninggal”.Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi
sejumlah harta pewaris menurut sisten hukum waris BW ada dua cara, yaitu:

a) menurut ketentuan undang-undang;


b) ditunjuk dalam surat wasiat (testamen). Undang-undang telah menetapkan tertib
keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan
keluarga sah atau tidak sah dari pewaris.

Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan
hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:

9
Munandjar Widyatmika, Sejarah Pendidikan Daerah Nusa Tenggara Timur, LP Undana, Kupang, 1980. Hal.124
13

a) Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anakanak beserta
keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup
paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hiduppaling lama ini baru diakui
sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak
saling mewarisi;
b) Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan
saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua
ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari
¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris
bersamasama saudara pewaris;
c) Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris;
d) Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam. 10

Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak
membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama
jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus
ke atas maupun ke samping. Bila ditilik dari pengertian hukum waris diatas jelas bahwa
hak waris bukan hanya diberikan pada laki-laki saja.11

F. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian hukum ini dilakukan melalui serangkaian langkah ilmiah yang sistematis
dan terukur. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Tipe Penelitian dan Pendekatan

a. Tipe Penelitian

Penelitian hukum ini tergolong penelitian Deskriptif yaitu penelitian yang


mempelajari masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta

10
WirjonoProdjodikoro. Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: Vorkink van Hoeve 's-Gravenhage.
11
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju), hlm. 211.
14

situasi-situasi, sikap, pandangan, proses yang sedang berlangsung, pengaruh dari suatu
fenomena, pengukuran yang cermat tentang fenomen dalam masyarakat. Dalam penelitian
ini, peneliti hanya mengembangkan konsep, menghimpun fakta, tapi tidak menguji hipotesis.

Berdasarkan tujuannya, penelitian hukum ini termasuk penelitian terapan atau applied
research/practical research yaitu penelitian yang diarahkan untuk mendapatkan informasi
yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah.

Berdasarkan tempat pengumpulan datanya, penelitian hukum ini termasuk penelitian


dengan metode penelitian survey yaitu metode yang digunakan untuk mendapatkan data dari
tempat tertentu yang alamiah, tetapi peneliti melakukan perlakukan dalam pengumpulan data,
misalnya dengan mengedarkan kuisioner, test, wawancara tersruktur dan sebagainya.

Berdasarkan sifatnya penelitian hukum ini termasuk penelitian deskriptif yaitu


penelitian deskripsi berusaha memberikan dengan sistematis dan cermat fakta-fakta aktual
dan sifat populasi tertentu.

b. Pendekatan

Sesuai bidang penelitiannya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah pendekatan yuridis sosiologis yaitu suatu penelitian yang didasarkan pada suatu
ketentuan hukum(peraturan-peraturan yang berlaku) dengan fenomena atau kenyatan yang
terjadi di lapangan.12

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian hukum ini adalah data primer dan/
atau data sekunder.

a. Data Primer penelitian ini berupa data yang diperoleh secara langsung dilokasi
penelitian melalui wawancara responden yang dipilih

12
Moh. Nazir, Metodologi Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia.1985. Hal. 63
15

b. Data sekunder berupa data-data yang diperoleh dari tulisan ilmiah atau buku-
buku yang berhubungan dengan penelitian ini.

Adapun sumber datanya diperoleh dari:

a. Wawancara Responden yang merupakan kepala Adat di Kabupaten Sumba Barat

b. Wawancara responden Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

c. Artikel atau karya ilmiah atau buku-buku yang isinya relevan dengan judul
proposal13

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dipergunakan untuk memperoleh data, adalah dengan wawancara


responden yaitu ketua sanggar, tokoh masyarakat, dan tokoh agama (Marapu, Kristen, Islam),
yang merupakan salah satu teknik pengumpulan data dengan cara komunikasi baik secara
langsung atau tatap muka maupun secara tidak langsung atau melalui telpon atau sms.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif karena proses
pengumpulan data menggunakan cara wawancara dan analisis dilakukan berdasarkan data
yang diperoleh dari wawancara responden dan selanjutnya dikembangkan pola hubungan
tertentu.14

G. Sistematika Penulisan
Penyusunan hasil penelitian yang penulis laksanakan terbagi menjadi 3 bagian dengan
penjelasan, sebagai berikut :

13
Sugiyono. Metodologi Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung. 2010.Hal.
7-9
14
Hadeli. Metode Penetilian Pendidikan, PT. Ciputat Press, Jakarta. 2006.Hal. 25
16

Bagian awal yang isinya meliputi halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman
pengesahan, halaman pernyataan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar,
abstrak, daftar isi.
 BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan yang isinya meliputi: Latar belakang, Perumusan masalah, Tujuan
dan manfaat penelitian, kajian Pustaka, Metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan.
 BAB II : Konsep Dasar Perlindungan Hukum Terhadap Kebebasan
Beragama.

A. Pengertian
B. Dasar hukum
C. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap Masyarakat Marapu di Kabupaten
Sumba Barat
D. Faktor-faktor Penghambat

 BAB III : kehidupan Beragama Masyarakat Marapu di Kabupaten Sumba


Barat.
A. Aspek Demografi (Peta, Kependudukan, Agama, Pendidikan)
B. Aspek Kehidupan Beragama (Tentang Keyakinan Merapu)
 BAB IV : Hasil Penelitian dan Analisis.
A. Hasil Penelitian
B. Analisis
 BAB V : KESIMPULAN DAN PENUTUP
Disebut bab penutup karena didalam bab penutup ini memuat tentang kesimpulan
yang merupakan hasil keseluruhan dari penelitian yang di teliti oleh peneliti pada
masyarakat penganut kepercayaan Marapu di Kabupaten Sumba Barat.
17

BAB II

KONSEP DASARPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA

A. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya)


memperlindungi. Pengertian perlindungan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.15
Sedangkan perlindungan yang tertuang dalam PP No. 2 Tahun 2002 adalah suatu
bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan
untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Hukum adalah Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah
laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh badan - badan resmi yang
berwajib.Hukum adalah himpunan peraturan yang di buat oleh yang berwenang dengan
tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan
melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang
melanggarnya.
Sedangkan perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap
subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang
berifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan
hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat
memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian kemanfaatan dan kedamaian.16
Kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau
masyarakat, untuk menerapkan agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum.
Kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk mengubah agama dan tidak menurut setiap

15
Hartono Sumarjati. Apakah The Rule Of Law Itu?.Bandung, 1986, hal. 53
16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta,
1990, hlm. 15.
18

agama. Dalam negara yang mengamalkan kebebasan beragama, agama-agama lain bebas
dilakukan dan ia tidak menghukum atau menindas pengikut kepercayaan lain yang lain dari
agama resmi.17
Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang
HAM, seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan
International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas
semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa
perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran,
ataupun kedudukan lain.”
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak
pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif
atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan
perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak
sipil dan politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia
seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang
kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan
beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan
politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak
dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak
ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa
ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender,
dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi,
sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil

17
Nicola Colbran, “Tantangan yang dihadapi Masyarakat adat/bangsa Pribumi di Indonesia
Dalam Mewujudkan Hak Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan” (Makalah disampaikan pada kegiatan
“Advanced Training Tahap I tentang Hak-Hak Masyarakat Adat bagi dosen Pengajar Hukum dan HAM”
Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007, diselenggarakan oleh Pusham UII bekerja sama dengan Norwegian Centre for
Human Rights, Universtity of Oslo).
19

bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok;
hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen HAM internasional
tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan
berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama
atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam
kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“

Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18.Kovenan ini telah diratifikasi
pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap
orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di
tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga
menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan
sesuai dengan pilihannya.

Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori hak asasi dasar manusia,
bersifat mutlak dan berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner
freedom (freedom to be).Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable. Artinya, hak
yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang
tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun,
termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer. Hak yang
non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia.Hak-hak non
derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara pihak dalam keadaan
apapun dan dalam situasi yang bagaimanapun.

Akan tetapi, kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk mewujudkan,


mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang, seperti
20

tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah
digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act).Kebebasan beragama dalam bentuk
ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan
pelaksanaannya.Namun, perlu dicatat, bahwa penundaan pelaksanaan, pembatasan atau
pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang. Adapun alasan yang
dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu
adalah semata-mata perlindungan atas lima hal, yaitu: public safet; public order; public
helth; public morals; dan protection of rights and freedom of others. Dengan demikian
tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau pembatasan itu adalah untuk
menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik mereka.

Prinsip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah


berdiri sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran
dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung paling
sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion,
non-discrimination, hak orang tua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas
yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat non-derogability.18

Esensi dari kebebasan beragama atau berkeyakinan tercakup dalam delapan


komponen utama, sebagai berikut.

1. Kebebasan Internal: Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan


beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan
keyakinannya.
2. Kebebasan Eksternal: Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau
di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau
keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya.
18
Clifford Geertz. Kebudayaan dan Agama. Kanisius. Yogyakarta 1992. Hal 114-117dikutip dalam
http://liferomance-aryo.blogspot.co.id/2013/04/review-antropologi-agama-agama-sebagai.html
21

3. Tidak ada Paksaan: Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan
mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau
keyakinan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin
kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah
kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama
dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal
usulnya.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan
orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan
moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal: Aspek yang vital dari kebebasan beragama
atau berkeyakinan bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau
berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai
kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak
kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal: Kebebasan untuk menjalankan
agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang, dan
itupun semata-mata demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik,
kesehatan atau kesusilaan umum, serta dalam rangka melindungi hak-hak asasi dan
kebebasan orang lain.
8. Non-Derogability: Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau
berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan apapun.19

Pasal 156 a dan UU No.11/PNPS/1965 mengatur pembatasan hak atas kebebasan


beragama di Indonesia. Walaupun konstitusi menjamin hak atas kebebasan beragama (pasal 28 E
ayat (1) jo. pasal 28 I ayat (1) perubahan kedua UUD 1945), akan tetapi ada pembatasan
terhadap hak tersebut (pasal 28 J ayat (2) perubahan kedua UUD 1945). Namun demikian ada
sisi positif di dalam pemenuhan HAM di Indonesia ketika pemerintah meratifikasi Kovenan Hak

19
Siti Musdah Mulia, HAM dan Kebebasan Beragama. 2010, hal. 5
22

Sipol melalui UU No.12/2005. Hal ini membawa konsekwensi juga terhadap perlindungan hak
atas kebebasan beragama di Indonesia, dan sekaligus pemerintah terikat dengan Kovenan Hak
Sipol beserta komentar umum, yurisprudensi Komite HAM Sipol, dan deklarasi atau resolusi
yang berkaitan dengan hak sipol termasuk hak atas kebebasan beragama.
Meskipun demikian ada UU yang bertentangan dengan pengertian kebebasan beragama
yang tercatum dalam KOMNAS HAM. Seperti dalam UU No.11/PNPS/1965 yang hanya
mengakui enam agama resmi di Indonesia, walaupun di dalam penjelasan UU tersebut tidak
tertutup kemungkinan dikemudian hari ada pengakuan agama-agama yang lain, merupakan
bentuk pelanggaran atas pasal 18 ayat (1) dan (3) Kovenan Hak Sipol. Adapun pengakuan enam
agama merupakan bentuk campurtangan negara ke dalam ruang privat individu (right to
maintain). Paragraf pertama Komentar Umum No.22 atas pasal 18 Kovenan Hak Sipol
menjelaskan bahwa hak atas kebebasan beragama (right to maintain) merupakan hak yang tidak
bisa dibatasi bahkan ketika negara berada dalam emergency (gawat darurat). UU
No.1/PNPS/1965 telah melampaui pembatasan yang disyaratkan oleh pasal 18 ayat (3) KUHP
yaitu juga membatasi right to maintain.
Konsekwensi dari pengakuan enam agama tersebut, maka agama-agama dan kepercayaan
yang tidak diakui oleh UU No.11/PNPS/1965 adalah illegal, UU ini juga secara langsung
menerapkan cara-cara yang diskirminatif di mana negara membuat/menciptakan kondisi yang
mengakibatkan perbedaan yang meniadakan hak untuk menikmati kebebasan beragama di
Indonesia. Ini jelas melanggar pasal 2, 3 dan 26 Kovenan Hak Sipol. Bentuk diskriminasi ini
sangat dirasakan oleh agama-agama minoritas dan penganut kepercayaan, di mana mereka tidak
bisa menikmati hak atas kebebasan beragama di Indonesia karena negara tidak mengakui
keberadaan agama-agama minoritas dan penganut kepercayaan. Mahkamah Konstitusi (MK)
sendiri di dalam pertimbangan hukum dalam kasus hak uji materi UU Nomor 1/PNPS/1965
menafsirkan penjelasan pasal 1 UU a quo tidak membatasi pengakuan negara atas 6 agama
(Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu dan Kong Hu Cu).
Resolusi Majelis Umum PBB 47/135 tentang deklarasi hak setiap orang yang termasuk
minoritas di dalam hal kebangsaan, etnis, agama dan bahasa. Pasal 1 ayat (1) deklarasi hak-hak
minoritas menjelasakan negara harus melindungi keberadaan identitas minoritas dalam hal
kebangsaan, etnis, agama dan bahasa, dan harus mendorong kondisi-kondisi untuk pemajuan
hak-hak minoritas. Pasal 1 ayat (2) deklarasi tersebut menjelaskan bahwa negara harus
23

mengadopsi tindakan legislatif atau lainnya untuk mencapai hal tersebut. UU No.11/PNPS/1965
jelas melanggar deklarasi hak-hak minoritas karena menegasikan agama-agama minoritas yang
ada di Indonesia. Resolusi tersebut menegaskan bahwa kewajiban negara untuk melakukan
perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas, disamping itu negara harus menciptakan
kondisi yang mendorong menciptakan kebijakan yang mengakomodir hak-hak kalangan
minoritas misalnya hak untuk menjalankan ibadah agama, hak atas penggunaan bahasa dan hak
atas pendidikan.
Saat ini, Kementrian Agama sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Tentang
Perlindungan Umat Beragama (RUUPUB), yang diharapkan menjadi upaya konkrit Negara
dalam melaksanakan amanah konstitusi dalam hal jaminan dan perlindungan terhadap setiap
warga Negara untuk dapat memeluk agama dan menjalankan agama yang dipeluknya. Melalui
hal ini, pemerintah ingin memastikan dua hal, yaitu :
 Jaminan dan perlindungan bagi warga Negara untuk memeluk suatu agama.
 Jaminan kemerdekaan bagi warga Negara untuk menjalan agama sesuai dengan
keyakinan yang dipeluknya.
RUUPUB juga akan mengatur tentang pendirian rumah ibadah hingga penyebar luasan
agama. Hal ini diharapkan untuk memberikan rincian lebih terutama perihal makna tempat
ibadah agar umat yang beribadah bisa lebih dilindungi.
Undang-Undang tentang perlindungan umat beragama diharapkan bisa memberikan
perlindungan Masyarakat yang menganut agama menurut Islam, Kristen, Khatolik, Hindu,
Buddha, Konghucu.
Sebagai sebuah sistem keyakinan, agama di Indonesia masih menduduki posisi penting
bagi warga negara karena memiliki makna konkrit manakala suatu agama dihayati oleh
pemeluknya dengan sistem ajaran, norma moral, institusi, ritus, simbol dan para pemukanya.
Simbol-simbol keagamaan merupakan presentasi masyarakat yang demikian kental
dengan sikap komunal dan kerap menjadi crying banner dalam melakukan berbagaitindakan
anarkis dan kekerasan. Negara merupakan lembaga arbitrase tertinggi bagi segenap pertentangan
dan potensi konflikyang terjadi diantara entitas warganya. Karenanya, kebijakan negara dalam
soal beragama, idealnya harus menuju kepada konsepsi ide dasar bernegara dalam memberikan
perlindungan bagi setiap warganegara tanpa adanya diskriminasi.Suatu negara disebut berhasil
jika mampu memenuhi hak hak warganya dengan baik.Jaminan pengakuan, perlindungan,
24

pemenuhan negara terhadap pelaksanaan HAM dibidang agama dimaksudkan dalam rangka
mewujudkan harmonisasi dan kerukunan dan kerukunan umat beragama ditengah fakta
kemajemukan bangsa Indonesia.20
Marapu adalah sebuah agama lokal atau pun kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di
Pulau Sumba. Agama ini merupakan kepercayaan yang memuja nenek moyang dan leluhur.
Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.Pemeluk agama ini percaya bahwa
kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup
kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal sebagai Prai Marapu.Upacara keagamaan
marapu ( seperti upacara kematian dsb) selalu diikuti dengan pemotongan hewan seperti kerbau
dan kuda swebagai korban sembelihan, dan hal itu sudah menjadi tradisi turun - temurun yang
terus di jaga di Sumba.
Agama Marapu adalah "agama asli" yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di
Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Adapun yang dimaksud dengan agama Marapu ialah
sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur (ancestor worship).
Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu , berarti “yang dipertuan” atau “yang
dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu pula. Marapu ini banyak
sekali jumlahnya dan ada susunannya secara hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan,
yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap
menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu
Ratu ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari
para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi.
Kehadiran para marapu di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang
suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang
disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di
bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Walaupun
mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan,
tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha
Pencipta.

20
Fathuddin, Kebebasan Beragama Dalam Bingkai Otorita Negara dalam Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 12 no. 2.
2015. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan. Hal. 209-2017
25

B. Dasar Hukum

landasan hukum tentang kebebasan beragama tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945
yaitu:

a) Pasal 28 E
1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya...
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
b) Pasal 28 I
1) Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.
2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.

c) Pasal 29
1) Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia

d) Pasal 22
1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
e) Pasal 4

Hak beragama adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun.21

21
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil Amandemen tentang Bab XI Tentang Agama
26

UU No.12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan


Politik Mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal
1 (pasal 1, ayat 1). Dengan pengesahan Kovenan ini, maka Kovenan ini mengikat Indonesia
secara hukum.

Hukum Internasional

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

a) Pasal 18
1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,
baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
2) Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut
atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
3) Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya
dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk
melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak
dan kebebasan mendasar orang lain.
4) Negara Peserta dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua
dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan
agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
b) Pasal 4

Pengurangan kewajiban atas pasal 18 sama sekali tidak dapat


dibenarkanberdasarkan ketentuan ini.22

22
Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights, page 326.
27

C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Masyarakat Marapu

Marapu adalah suatu kepercayaan atau agama asli. Yang di maksud dengan kepercayaan atau
agama asli adalah kerohanian khas dari suatu suku bangsa, yang berasal dan berkembang
ditengah-tengah bangsa dan bukan merupakan hasil tiruan dari kerohanian bangsa lain melainkan
kerohanian itu muncul dan berkembang secara spontan seiring dengan perkembangan bangsa itu
sendiri.

Kepercayaan Marapu sendiri belum diakui sebagai sebuah agama karena belum memiliki
kitab suci yang menjadi salah satu syarat untuk menjadi sebuah agama. Kitab suci yang di yakini
oleh Masyarakat Marapu adalah suatu syair yang di hafal oleh kepala Adat atau Rato Adat yang
akan dinyanyikan pada saat perayaan adat dan bukan merupakan kitab suci tertulis. Syarat-syarat
untuk menjadi sebuah agama, yaitu :

1) Memiliki kitab suci


2) Memiliki nabi sebagai pembawa risalah agama
3) Percaya akan satu Tuhan (KeTuhanan Yang Maha Esa; dan
4) Memiliki tata agama dan ibadah bagi pemeluk-pemeluknya23

Meskipun Marapu belum diakui sebagai sebuah agama, namun sebagai sebuah
kepercayaan seharusnya Marapu mendapat perlindungan hukum, seperti;

1) Mendapat perlindungan dari pemerintah khususnya pemerintah daerah Sumba


Barat dengan cara mengikut sertakan pemuka agama Marapu dalam pengambilan
keputusan atau kebijakan daerah yang berkaitan dengan pembangunan daerah.
2) Mendapat keadilan dalam masyarakat sehingga masyarakat penganut kepercayaan
Marapu dapat mengeyam pendidikan formal meskipun belum menganut agama
resmi sehingga mencegah adanya pemaksaan agama kepada masyarakat Marapu.
3) Mendapat wadah atau tempat untuk menampung semua keluhan atau inspirasi
dari masyarakat Marapu. Hal ini dimaksudkan agar apabila ada perlakuan yang
bersifat diskriminatif dapat segera diatasi oleh pihak yang berwenang.

23
Dikutip dari catatan Rumadi, Agama dan Negara, dalam Sururin.Nilai-Nilai Pluralisme.Hal. 93
28

D. Faktor-Faktor Penghambat

Kepercayaan Marapu sendiri terpisah-pisah sesuai dengan suku masing-masing yang disebut
Kabihu.Seperti contohnya suku loli mempunyai Marapu atau arwah nenek moyang yang di
percayai sendiri demikian juga suku waikabubak mempunyai Marapu atau arwah nenek moyang
yang di percayai yang berbeda dengan Marapu suku Loli.Hal ini menjadi salah satu penghambat
tidak adanya perlindungan hukum bagi masyarakat Marapu karena tidak adanya sebuah
organisasi yang menghimpun semua Masyarakat Marapu.

Hal lain yang menjadi penghambat adalah anggapan atau penilaian masyarakat umum kepada
penganut Marapu yang cenderung bersifat negatif yaitu bahwa para penganut kepercayaan
Marapu adalah manusia yang hidup dalam kegelapan, sesat dan tidak benar, anggapan bahwa
penganut kepercayaan Marapu identik dengan kafir, malas, bodoh, penjudi, pemabuk dan
perampok dan faktor lain yang menjadi penghambat adalah sikap acuh tak acuh dari pemerintah
yang cenderung hanya memberikan posisi kepada Rato adat hanya sebagai alat untuk keperluan
politis seperti saat pemilihan kepala daerah atau pejabat pemerintah lainnya, atau hanya
dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pendapatan Negara melalui pariwisata kebudayaan
Sumba yang berasal dari kepercayaan Marapu seperti contohnya Pasola.24

24
Purwadi Soeriadiredja , Marapu : Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT. Dalam Antropologi Indonesia
Vol. 34 No. 1. 2013. Hal. 64, 68-69
29

BAB III

KEHIDUPAN BERAGAMA MASYARAKAT MARAPU DI KABUPATEN SUMBA


BARAT

A. Aspek Demografi
1. Data Kabupaten Sumba Barat

Kabupaten Sumba Barat terdiri dari beberapa kecamatan yaitu :

1) Kecamatan Lamboya

Lamboya adalah salah satu kecamatan yang berada di kabupaten Sumba


Barat.Kecamatan Lamboya dikelilingi oleh Kecamatan loli dibagian sebelah utara, Samudra
Indonesia dibagian sebelah Selatan, Kecamatan Lamboya Barat disebelah Barat, dan
Kecamatan Wanokaka di bagian sebelah Timur. Kecamatan lamboya mempunyai luas 125,65
km2 dan terdiri dari 11 desa antara lain:

a. Desa rajaka
b. Desa Sodana
c. Desa Ringu Rara
d. Desa Welibo
e. Desa Laboya Dete
f. Desa Kabu Karudi

Desa Rajaka, merupakan desa yang memiliki luas wilayah paling besar yaitu 21,45 km 2
atau mencapai 17,07 persen dari total luas kecamatan Lamboya, sedangkan desa Laboya Dete
adalah desa yang memiliki luas wilayah paling kecil yaitu 6,10 km2 atau sekitar 4,85 persen dari
total luas Kecamatan Lamboya
30

Diagram 1. Presentase Luas lamboya menurut Desa Pada tahun 2014

Kecamatan Lamboya memiliki curah hujan yang cukup tinggi, yaitu mencapai
1.589 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 86 hari.

Tabel 1. Statistik Geografi dan Iklim Kecamatan Lamboya Pada Tahun 2014

Uraian Satuan 2014


Luas Pulau Km2 125,65
Kecepatan angin Mls -
Kelembaban % -
Hari Hujan Hari 86
Curah Hujan Mm 1589
Desa dipesisir Desa -
Desa bukan pesisir Desa -
Desa di lembah DAS Desa -
Desa di lereng Desa -
Desa di daratan Desa -
31

2) Kecamatan wanokaka

Kecamatan Wanokaka adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Sumba
barat yang dikelilingi oleh Kecamatan Kota Waikabubak dibagian sebelah Utara, Lautan
Indonesia dibagian sebelah Selatan, Kecamatan Lamboya dibagian seblelah Barat, dan
kabupaten Sumba tengah dibagian sebelah Timur.

Kecamatan Wanokaka memiliki luas sekitar 133,68 km2 dan terdiri dari 14 desa, yaitu:
a. Desa Hobawawi
b. Desa Hupu Mada
c. Desa Rewa Rara
d. Desa Rua
e. Desa Katikuloku
f. Desa Ana Wulu
g. Desa Pahola
h. Desa Taramanu
i. Desa Weimangoma
j. Desa Waihura
k. Desa Raibakul
l. Desa Parirara
m. Desa Baliloku
n. Desa Mamodu

Desa Baliloku adalah desa dengan luas wilayah paling besar yaitu 23,12km2 atau sekitar
17,30 persen dari total luas Kecamatan Wanokaka, sedangkan desa Waihura adalah desa yang
memiliki luas wilayah paling kecil yaitu 6,27 km2 atau sekitar 4,69 persen dari total luas wilayah
Kecamatan wanokaka.
32

Diagram 2. Persentase Luas Kecamatan Wanokaka Menurut Desa Pada Tahun 2013

Kecamatan Wanokaka adalah daerah yang memiliki curah hujan rendah yaitu 294 mm
dan jumlah hari hujan sebanyak 46 hari.

Tabel 2. Statistik Geografi dan Iklim Kecamatan wanokaka Pada Tahun 2014

Uraian Satuan 2014


Luas Pulau Km2 133,68
Kecepatan angin Mls -
Kelembaban % -
Hari Hujan Hari 46
Curah Hujan Mm 294
Desa dipesisir Desa -
Desa bukan pesisir Desa -
Desa di lembah DAS Desa -
Desa di lereng Desa -
Desa di daratan Desa -
33

3) Kecamatan Laboya Barat


Kecamatan Laboya Barat adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Sumba Barat yang
terletak dikelilingi oleh Kabupaten Sumba Barat daya disebelah Utara dan sebelah Barat,
Samudra Indonesia disebelah Selatan dan Kecamatan Lamboya disebelah Timur.

Kecamatan Laboya Barat memiliki luas wilayah sekitar 161,23 km2 dan terdiri dari 4
desa, yaitu :

a. Desa Gaura
b. Desa Weetana
c. Desa Harona Kala
d. Desa Patiala Dete

Desa Weetana adalah desa yang memiliki luas wilayah paling besar yaitu 64,12 km2 atau
39,77 persen dari total luas wilayah Kecamatan Laboya Barat, sedangan desa Harona
Kala adalah desa yang memiliki luas wilayah paling kecil yaitu, 17,06 km2 atau 10,58
persen dari total luas wilayah Kecamatan Laboya Barat.

Diagram 3. Persentase Luas Menurut Desa di Kecamatan Laboya barat Pada Tahun 2014

Kecamatan Laboya Barat memiliki curah hujan yang cukup, yaitu mencapai 2.390 mm
dan jumlah hari hujan sebanyak 130 hari.
34

Tabel 3. Statistik Geografi dan Iklim di Kecamatan Laboya Barat Pada Tahun 2014

Uraian Satuan 2014


Luas Pulau Km2 161,23
Kecepatan angin Mls -
Kelembaban % -
Hari Hujan Hari 130
Curah Hujan Mm 2.390
Desa dipesisir Desa -
Desa bukan pesisir Desa -
Desa di lembah DAS Desa -
Desa di lereng Desa -
Desa di daratan Desa -

4) Kecamatan Loli
Kecamatan Loli adalah salah satu kecamatan yang berada di kabupaten Sumba Barat yang
memiliki luas wilayah sekitar 132,36 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 29.696 jiwa pada
tahun 2014.
5) Kecamatan Kota Waikabubak (Lokasi Penelitian)

Lokasi penelitian bertempat di kabupaten Sumba Barat khususnya kota Waikabubak yang
luasnya ± 44,71 km2 dengan ketinggian ± 200-600 meter dari permukaan laut. Kota Waikabubak
adalah salah satu kecamatan yang berada di kabupaten Sumba Barat yang berada di kepulauan
Sumba, Nusa Tenggara Timur dan merupakan ibukota dari kabupaten Sumba Barat. Waikabubak
merupakan suatu kecamatan yang dikelilingi oleh kecamatan-kecamatan lain yang berada di
kabupaten Sumba Barat antara lain:

1) Kecamatan Wanukaka yang berada di sebelah Selatan dari Kecamatan


Waikabubak
2) Kecamatan Loli yang berada di sebelah Utara dan Barat dari kecamatan
Waikabubak
35

3) Sedangkan sebelah Timur dari Kecamatan Waikabubak di batasi oleh


kabupaten Sumba Tengah yaitu kecamatan Katikutana.

Kecamatan Waikabubak juga merupakan wilayah administrasi dan pusat dari


pemerintahan kabupaten Sumba Barat. Kota Waikabubak terdiri dari 6 kelurahan dan 7 desa,
antara lain:

1) Kelurahan Komerda
2) Kelurahan Maliti
3) Kelurahan Kampung Sawah
4) Kelurahan Kampung Baru
5) Kelurahan Padaeweta
6) Kelurahan lapale
7) Desa Kalimbu Kuni
8) Desa Tebara
9) Desa Sobarade
10) Desa Kodaka
11) Desa Modu Wemaringu
12) Desa Lapale
13) Desa Puumawo
36

Diagram 4. Gambaran Presentase Luas kecamatan Kota Waikabubak Menurut Luas Desa
Pada Tahun 201325

Kecamatan kota Waikabubak belum dapat di klasifikasikan menurut suhu udara,


kecepatan angin, dan kelembaban udara karena belum tersedianya peralatan pengukurnya di
Sumba Barat. Kecamatan kota Waikabubak memiliki 2 musim yang terjadi secara bergantian
setiap tahunnya, yaitu Musim kemarau yang dimulai sekitar bulan Mei sampai dengan bulan
November dan musim hujan yang di mulai sekitar bulan November sampai bulan Mei.
Kecamatan kota waikabubak merupakan salah satu kecamatan yang memiliki jumlah curah hujan
dan hari hujan yang paling banyak dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Menurut catatan,
Badan Pusat Statistik Sumba Barat, sepanjang tahun 2014, kecamatan Kota Waikabubak
mengalami 109 hari hujan dengan curah hujan total mencapai 2.132 milimeter.

Tabel 4. Statistik Geografi dan Iklim Kota Waikabubak Pada Tahun 2014

Uraian Satuan 2014


Luas Km2 44,71
Pulau -

25
Sumber data diambil dari Badan Pusat Statistik Sumba Barat dalam angka 2015
37

Kecepatan angin Mls -


Kelembaban % -
Hari hujan Hari 109
Curah hujan mm 2.132
Desa di pesisir Desa -
Desa bukan pesisir Desa 7
Desa di lembah DAS Desa -
Desa di lereng Desa -
Desa di daratan Desa 7

6) Kecamatan Tana Righu

Kecamatan Tana Righu Adalah salah satu kecamataan yang berada di Kabupaten sumba
Barat yang terletak dikelilingi oleh Kecamatan Mamboro dan Samudra Indonesia dibagian
sebelah Utara, Kecamatan Wewewa Timur dan Wewewa Utara yang terletak di Kabupaten
Sumba Barat Daya dibagian sebelah Selatan, Kecamatan Wewewa Utara dan Loura yang terletak
di Kabupaten Sumba Barat Daya dibagian sebelah barat, dan Kecamatan mamboro dan Loli
dibagian sebelah Timur.

Kecamatan Tana Righu memiliki luas wilayah sekitar 140.49 km2 dan terdiri dari 18 desa, yaitu:

a. Desa Bondo Tera


b. Desa Wanokaza
c. Desa Kareka Nduku
d. Desa Wee Patola
e. Desa Manu Kuku
f. Desa Lingu Lango
g. Desa malata
h. Desa Ngadu Pada
i. Desa Lolo wano
j. Desa Loko Ry
k. Desa Lolo Tana
38

l. Desa Tarona
m. Desa Kalebu Anakaka
n. Desa Manu Mada
o. Desa Kareka Nduku Selatan
p. Desa Nduku Utara
q. Desa Zala kadu
r. Desa Elu Loda

Desa Lingo Lango adalah desa yang memiliki luas wilayah paling besar yaitu sekitar 16,64
persen dari total luas Kecamatan Tana Righu, sedangkan desa Wanokaza adalah desa yang
memiliki luas wilayah paling kecil yaitu sekitar 4,83 persen dari total luas wilayah Kecamatan
Tana Righu.

Diagram 5. Persentase Luas Kecamatan Tana Righu Menurut Desa Pada Tahun 2014

Kecamatan Tana Righu adalah salah satu kecamatan yang memiliki curah hujan yang tinggi yaitu
sekitar 2.380 dan jumlah hari hujan sekitar 81 hari pada tahun 2014.
39

Tabel 5. Statistik Geografi di Kecamatan Tanah Righu Pada Tahun 2014

Uraian Satuan 2014


Luas Pulau Km2 140,49
Kecepatan angin Mls -
Kelembaban % -
Hari Hujan Hari 81
Curah Hujan Mm 2.380
Desa dipesisir Desa -
Desa bukan pesisir Desa -
Desa di lembah DAS Desa -
Desa di lereng Desa -
Desa di daratan Desa -

B. Kependudukan

Penduduk disuatu wilayah adalah orang-orang yang bertempat tinggal/menetap disuatu


wilayah tersebut, termasuk orang-orang yang bertempat tinggal sementara/tamu yang telah
tinggal di wilayah tersebut selama 6 bulan atau lebih.

Penduduk (orang)

Kepadatan penduduk tiap km2 = -------------------------------

Luas Wilayah (km2)

Penduduk (orang

Kepadatan tiap keluarga = --------------------------------

Jumlah keluarga

Berdasarkan hasil registrasi penduduk hingga akhir tahun 2014, jumlah penduduk di
kabupaten Sumba Barat adalah sebanyak 134.928 jiwa dan hasil ini, mengalami peningkatan
40

dibandingkan dengan jumlah penduduk diakhir tahun 2013 yaittu jumlah penduduk sekitar
126.147 jiwa. Ini berarti, dalam jangka waktu satu tahun dari tahun 2013-2014, pertambahan
penduduk berkisar 8.781 jiwa atau sebesar 6,96 persen.

Tabel 6. Jumlah Penduduk dan Pertambahannya Per Kecamatan Pada Tahun 2013-2014

Kecamatan Penduduk Pertambahan


penduduk
2013 2014 2013-2014
Lamboya 18.799 19.510 711
Wanokaka 16.589 17.443 854
Laboya Barat 8.604 9.443 839
Loli 28.487 29.696 1.209
Kota Waikabubak 32.373 36.115 3.742
Tana Righu 21.295 22.721 1.426
Jumlah 126.147 134.928 8.781

Secara keseluruhan, penduduk di kabupaten Sumba barat didominasi oleh yang berjenis
kelamin laki-laki seperti yang tercatat bahwa pada tahun 2014 jumlah penduduk laki-laki
sebanyak 67.978 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 66.950 jiwa. Hal ini berarti
bahwa rasio jenis kelamin (sex ratio) di kabupaten Sumba Barat adalah sebesar 101,54 yang
bermakna pada setiap 100 orang perempuan terdapat 102 orang laki0laki.

Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Per Kecamatan Pada Tahun 2014

Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Sex ratio


Lamboya 9.884 9.626 19.501 102,68
Wanokaka 8.727 8.716 17.443 100,13
Laboya barat 4.967 4.476 9.443 110,97
Loli 15.250 14.446 29.696 105,57
Kota 17.549 18.566 36.115 94,52
Waikabubak
41

Tana Righu 11.601 11.120 22.721 104,33


Jumlah 67.978 66.950 134.928 101.54

Perubahan jumlah penduduk sendiri dipengaruh oleh 3(tiga) faktor utama yaitu:
Kelahiran, kematian, dan adanya migrasi, baik migrasi keluar maupun migrasi masuk. Untuk
mengetahui jumlah penduduk pada suatu saat dapat digunakan persamaan berikut:

Keterangan: Pt = Pt-1+B-D=(IM-OM)

Pt = Penduduk pada tahun t


Pt-1 = Penduduk pada tahun t-1
B = Jumlah kelahiran (birth) selama periode tahun t-1
D = Jumlah Kematian (Death) selama periode tahun t-1
IM = Jumlah penduduk yang pindah masuk ( in migration) kedaerah tersebut
OM = Jumlah penduduk yang pindah keluar (out migration) dari daerah tersebut
Dengan menggunakan persamaan tersebut akan mudah untuk mengetahui jumlah
penduduk suatu daerah satu saat, apabila jumlah kelahiran, kematian dan migrasi telah diketahui.

2. Data Lokasi Penelitian (Kecamatan Kota Waikabubak)

Jumlah penduduk kecamatan Kota Waikabubak mengalami peningkatan dari tahun 2011-
2013. Pada tahun 2012 penduduk kecamatan Kota Waikabubak mencapai 28.631 jiwa, dan terus
meningkat hingga mencapai 32.373 jiwa pada tahun 2013. Dalam hal ini, penduduk yang
dimaksud sesuia dengan konsep Badan Pusat Statistik mencakup Warga Negara Indonesia (WNI)
dan Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal dalam wilayah geografis Indonesia, baik yang
bertempat tinggal tetap maupun yang bertempat tinggal tidak tetap (seperti tuna wisma,
pengungsi, awak kapal berbendera Indonesia, masyarakat terpencil/terasing dan penghuni
perahu/rumah apung). 26

26
Sumber data diambil dari Badan Pusat Statistik Sumba Barat dalam angka 2015
42

Grafik 1. Perkembangan Penduduk Kecamatan Kota Waikabubak Pada Tahun 2010-2013

Penduduk kecamatan Kota Waikabubak sebagian besar terdiri dari penduduk muda atau
dewasa. Piramida penduduk Kota Waikabubak belum menunjukkan adanya perubahan arah
perkembangan penduduk yang ditandai dengan penduduk usia 0-4 tahun yang jumlahnya lebih
besar dari kelompok penduduk usia yang lebih tua yaitu usia 5-9 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa angka pertumbuhan dan pertambahan penduduk belum bisa di perkecil.

Diagram6. Piramida penduduk Kecamatan Kota Waikabubak Pada Tahun 2010


43

Mayoritas penduduk Kota waikabubak, berada di Kelurahan Wailiang yaitu sebanyak


14,58 persen, sedangkan penduduk Kota Waikabubak yang paling rendah berada di Desa Lapale
yaitu sebanyak 2,29 persen. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk
perempuan yang rincinya akan di perlihatkan pada diagram dibawah.

Grafik 2. Penduduk Kota Waikabubak menurut jenis Kelamin dan Desa Pada Tahun 2013

Jumlah kepala keluarga atau rumah tangga di Kecamatan Kota Waikabubak sebanyak
5.917 dengan perkiraan setiap kepala keluarga atau rumah tangga memiliki anggota sekitar 5
orang, namun beberapa desa seperti desa Wailiang, Kelurahan Komerda, Kelurahan Kampung
Sawah, dan desa Modu Waimaringu memiliki anggota keluarga masing-masing mencapai sekitar
6 orang.27

Table 8. Indikator Kependudukan Kecamatan Kota Waikabubak Tahun 2013

Desa Sex ratio Rumah Tangga/KK Rata-rata ART


Pada Eweta 100.22 379 5
Wailiang 110.47 763 6

27
Sumber data diambil dari Badan Pusat Statistik Sumba Barat dalam angka 2015
44

Maliti 99.39 482 5


Komerda 107.66 476 6
Kampung Baru 115.08 524 5
Kampung Sawah 112.28 462 6
Kodaka 100.38 418 4
Lapale 108.50 184 4
Tebara 103.71 598 3
Kalembu Kuni 110.66 398 4
Sobarade 107.08 597 2
Modu Waimaringu 107.00 312 6
Puu Mawo 98.60 324 4
Kota Waikabubak 106.86 5917 5

c) Agama

Budaya masyarakat Marapu tidak selalu sama dengan agama resmi yang di akui Negara
yang selalu di anggap oleh mereka (penganut Marapu) sebagai kebudayaan asing, meskipun saat
ini sebagian besar masyarakat kecamatan Kota Waikabubak sudah menganut agama resmi.

Sebagian besar atau mayoritas dari penduduk kecamatan Kota Waikabubak menganut
agama Kristen Prostestan dan Katolik, namun tidak sedikit juga masyarakat kecamatan Kota
Waikabubak yang masih menganut Marapu.

Berikut akan dijabarkan secara rinci jumlah penduduk di Kota Waikabubak sesuasi
agama yang di anutnya.28

28
Sumber data diambil dari Badan Pusat Statistik Sumba Barat dalam angka 2015
45

Tabel 9. Penduduk Pemeluk Agama Menurut Golongan Agama per Kecamatan pada
Tahun 2013

Kecamatan Islam Kristen Katholik Hindu Budha Lainnya Jumlah


(Marapu)

Lamboya 283 1217 2435 43 -


Wanokaka 263 8316 4015 35 -
Laboya Barat 206 11737 687 17 -
Loli 1036 14058 7141 19 -
Kota 3483 16750 7036 87 - 5017 32373
Waikabubak
Tanah Righu 393 12897 7901 13 -
Sumba Barat 5664 64975 29215 214

Seiring dengan bertambahnya masyarakat penganut agama resmi maka, jumlah rumah
ibadah juga semakin banyak.Berikut dijabarkan jumlah rumah ibadah per kecamatan.

Tabel 10. Jumlah Tempat Ibadah Menurut Golongan Agama per Kecamatan Pada Tahun
2013

Kecamatan Masjid Gereja Gereja Pura Wihara


Kristen Katholik
Lamboya - 24 4 - -
Wanokaka 1 24 6 - -
Laboya barat - 9 3 - -
Loli 1 36 14 - -
Kota 4 14 2 1 -
Waikabubak
Tana Righu 1 47 12 - -
Sumba 7 154 41 1 -
Barat
46

d) Pendidikan

Dewasa ini, perkembangan pendidikan di Kecamatan Kota Waikabubak sudah sangat


maju dan masalah pendidikan juga merupakan salah satu yang menjadi perhatian bagi para orang
tua dan masyarakat sehingga tidak sedikit dari mereka yang sudah menyekolahkan anak-
anaknya.

Untuk mendukung program wajib belajar 9 tahun dari pemerintah pusat, maka
pemerintahan Sumba Barat sedikit demi sedikit mulai memperbaiki dan memfasilitasi sarana dan
prasarana pendidikan seperti jumlah sekolah, jumlah ruang kelas yang harus sesuai dengan
jumlah penduduk usia sekolah di kabupaten Sumba Barat, dan jumlah guru pengajar yang
disesuiakan dengan jumlah yang dibutuhkan.

Saat ini, terhitung Tahun ajaran 2014/2015, di Kota Waikabubak sudah tersedia sebanyak
16 SD, 8 SLTP/SMP, dan 6 SLTA/SMK.Terdapat sebanyak 5.046 murid SD, sebanyak 3.064
murid SLTP/SMP, dan sebanyak 3.570 murid SLTA. Sedangkan untuk jumlah guru pengajar
sebanyak 269 guru pada tingkat SD, sebanyak 187 guru pada tingkat SLTP/SMP, dan sebanyak
192 guru pada tingkat SLTA.

Grafik 3. Jumlah Murid, Guru, dan Sekolah di Kecamatan Kota Waikabubak Pada Tahun
2015
47

Mayoritas murid mulai dari SD samapi SMA adalah perempuan. Hal ini dibuktikan
dengan jumlah siswa perempuan di Kota Waikabubak sebanyak sekitar 51,26 persen dari 5.987
jumlah murid secara keseluruhan.

Grafik 4. Jumlah Murid Menurut Tingkat dan Jenis Kelamin di Kecamatan Kota
Waikabubak Pada Tahun 2015

Meskipun dibandingkan dengan tahun ajaran 2013/2014 jumlah penduduk aktif sekolah
yang memperoleh pendidikan formal mengalami peningkatan yaitu mencapai 315 orang untuk
tingkat SD, 383 orang murid untuk tingkat SMP, dan 892 orang murid untuk tingkat SLTA,
namun sangat di sayangkan masih ada juga anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan
karena keadaan orang tua salah satunya yang orang tuanya merupakan penganut Marapu Murni.

Seperti pada kenyataannya tidak ada satu orang sarjana yang masih menganut Marapu
kebanyakan dari penganut Marapu adalah orang-orang yang tidak memiliki pendidikan yang
memadai.

C. Aspek Kehidupan Beragama


a) Sejarah Sumba Barat

Saat Pulau Sumba pertama berdiri belum ada pembagian wilayah, namun sejak tahun
1879 dibawah kekuasan pemerintah Hindia Belanda, pulau Sumba dibagi menjadi dua menurut
48

letak wilayahnya dengan tujuan untuk mengamankan Pulau Sumba, yaitu Sumba Timur
(Onderafdeeling Oost Sumba) yang terletak di wilayah bagian timur dari pulau Sumba dan
Sumba Barat (Onderafdeeling West Sumba) yang terletak disebelah barat dari Pulau Sumba.
Sumba Barat diresmikan setelah kemerdekaan Republik Indonesia tepatnya pada tanggal 13
Desember 1985.Sumba Barat mempunyai luas yang lebih luas dari Sumba Timur dan karena hal
ini pula sehingga berdampak pada ketimpang dalam pemerataan Sumber Daya. Akhirnya, setelah
melalui perdebatan yang panjang, pada Tahun 2007, diputuskan untuk membagi Wilayah Sumba
Barat menjadi 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Sumba Barat daya, Kabupaten Sumba Barat, dan
kabupaten Sumba Tengah.

Penduduk Sumba mempunyai bahasa daerahnya sendiri yaitu bahasa Sumba, namun
bahasa Sumba ini terbagi menjadi dua dialek, yaitu dialek Sumba Barat yang disebut bahasa
Meiwewa dan dialek Sumba Timur yang disebut bahasa Kambera. Bahasa Meiwewa sendiri
dibagi lagi menjadi beberapa dialek atau sub dialek, yaitu dialek Kodi, Dialek Wewewa Barat,
dialek Wewewa Timur, dialek Waijewa, Laura (yang saat ini berada diwilayah Sumba Barat
Daya) dan Walakaka.Sedangkan bahasa Kambera dibagi menjadi beberapa dialek atau sub
dialek, yaitu dialek Manggikina, dialek Manggarikuna, dan dialek Kambera.

Mata pencaharian utama dari penduduk Sumba adalah bercocok tanam dan memelihara
ternak seperti Kuda, Kerbau, dan sapi.Disamping itu ada pula pekerjaan sampingan yang
dilakukan oleh para wanita yaitu menenun kain khas daerah, mengayam dari pandan atau bambu,
sedangkan para laki-laki membuat kerajinan dari tulang dan tanduk kerbau, serta kerajinan dari
besi.

Tenun yang dikenal adalah tenun dengan teknik ikat dan sulam dengan menggunakan
alat-alat tradisional yang sederhana. Kain Sumba Barat, disain pada umumnya berupa variasi
garis dalam bentuk geometrik dengan selingan gambar mamuli atau binatang.

Seorang anak Sumba yang berkedudukan sebagai anak harus menyapa orang tua dengan
sebutan amayang artinya bapak dan inna yang artinya ibu dan kata- kata tersebut merupakan
penghormatan pada orang tua. Untuk tetap melestarikan budaya Sumba para orang tua
melakukan dengan cara mengajarkan kepada anak muda, untuk mengikuti upacara adat (saiso)
sehingga dapat mempelajari tentang marapu,memahami dan dapat mengerti.urata dengi ura “ina
49

mono ama a neena bali roo paburu mai ura ”(bahasa yang digunalkan untuk meminta turunnya
hujan) bahasa itu hanya laki-laki yang mempelajari. Dan kaum wanita mempelajari seni tarian
woleka,seni tenun, dan ketrampilan berupa alat-alat rumah tangga seperti menganyam tikar
(teppe), tempat siri pinang (kaleku), yang terbuat dari daun pandan. Seni tenun ada bermacam-
macam motif seperti kain ikat, dengan gambar mamoli dan binatang (wee paikku)

Di Sumba dikenal ada beberapa jenis perkawinan yaitu, kawin resmi dengan upacara
peminangan(dekemawinne), Kawin lari tanpa upacaran peminanga (kedu ngindi mawinne),
kawin jasa, kawin masuk, dan kawin ganti tikar.

Proses perkawinan atau peminangan dilaakukan dalam beberapa tahapan yaitu:

a) Juru Bicara (ata panewe)

Pada tahap ini, pihak laki-laki akan mengutus seorang juru bicara untuk pergi kerumah
pihak perempuan dengan membawa satu buah parang, satu ekor kuda, dan satu buah tombak
untuk meminta persetujuan dari pihak perempuan.

b) Melamar Perempuan ( dengi winni pare-dengi winni watar)

Pada tahap ini, setelah pihak perempuan memberikan persetujuan, pihak laki-laki datang
bersama-sama dengan juru bicara kerumah pihak perempuan kemudian juru bicara akan
membuka pembicaraan dengan menyerahkan sirih pinang, parang, tombak dan satu ekor kuda
yang dibawa tadi diserahkan ulang dengan meminta bibit padi (winni pare) dan bibit jagung
(winni watar) kepada pihak perempuan. Perempuan yang akan dilamar diumpamakan sebagai
bibit padi dan bibit jagung. Apabila pihak perermpuan meneri permintaan dari pihak laki-laki,
maka pihak perempuan melalui juru bicaranya menyerahkan sirih pinang dan kain sebagai
balasan kepada pihak laki-laki.

c) Om yang menerima (loka adimbawe)

Pada tahap ini, setelah proses pada tahap melamar wanita selesai, maka om atau orang
yang mewakili om dari pihak perempuan akan membunuh babi yang dibawa oleh pihak laki-laki
kemudian dilanjutkan dengan makan bersama menggunakan peralatan tradisional piring kayu
(enga wasu) dan mangkok dari tempurung kelapa (koba). Setelah makan bersama selesai, kedua
50

belah pihak kemudian akan menentukan atau membicarakan waktu dan tanggal untuk masuk
minta (ketege) dan pemindahan perempuan (dikki) dengan menentukan jumlah hewan yang harus
dibawa oleh pihak laki-laki.

d) Upacara Pemberian Mas Kawin (ya welli, deiba welli)

Pada tahap ini, pihak laki-laki mengadakan perkumpulan keluarga seperti angua (saudara
laki-laki), wotto( saudara perempuan), dan ole dadi(saudara terdekat) untuk mengumpulkan
kuda, kerbau, babi dan uang untuk dibawa sebagai mas kawin atau belis.

Pada hari yang sudah ditentukan, maka pihak laki-laki pergi kerumah pihak perempuan
dengan membawa kuda, kerbau dan babi sesuai dengaan yang ditentukan dan setelah pihak
perempuan menerima dan membalas dengan memberikan sarung, kain tenun serta perlengkapan
rumah tangga untuk anak perempuan mereka, maka saat itu gong akan dibunyikan dan diiringi
dengaan payahau yang diserukan oleh para laki-laki dan pakallaka yang diserukan oleh para
perempuan. Sesudah semuanya selesai baru ditentukan hari untuk meresmikan perkawinan
secara adat oleh kepada suku (rato adat).

Perkampungan Penduduk Sumba didirikan didaerah perbukitan dan memilih sebuah


lahan yang datar sebagai tempat pusat orientasi ritual dan diberi nama Paraingu. Didekat
Paraingu, didirikan sebuah rumah adat yang hanya didiami pada musim kemarau karena saat
musim hujan semua orang sibuk bekerja diladang. Rumah adat ini memiliki aatap rumah yang
bergaya ‘joglo’ atau atapnya menjulang tinggi keatas dan dilantai paling atas, dijadikan sebagai
tempat penyimpanan barang-barang perlengkapan untuk upacara adat.

b) Sejarah Marapu

Pulau Sumba masih sangat di kenal dengan sebutan tanah Marapu atau dengan sebutan
laindalam bahasa daerah masyarakat Sumba, pulau Sumba di sebut dengan Tana Humba. Istilah
Tana Humba diambil dari nama istri nenek moyang pertama orang sumba, yaitu Humba.
Menurut cerita sejarah atau tradisi dikatakan bahwa nenek moyang pertama orang Sumba datang
dengan cara berlayar dari semenanjung Malaka melalui kepulauan Riau, Jawa, Bali, Lombok,
Sumba, Flores, Roti (sekarang disebut Rote), Sawu (sekarang di sebut Sabu) dan akhirnya tiba di
51

Tanjung Sasar yang sekarang di Sebut Sumba. Diceritakan bahwa orang yang datang ke Sumba
dan menetap di sumba pada jaman dahulu yang kemudian mnjadi warga tetap Pulau Sumba,
datang dalam beberapa gelombang dan mereka memasuki Pulau Sumba dan tinggal pada dua
tempat utama yaitu Tanjung Sasar dan muara sungai Pandawi (yang sekarang di sebut sebagai
Desa Kambaniru) dan kemudian akhirnya mereka menyebar keseluruh penjuru Sumba.29

Masyarakat Sumba percaya akan adanya tokoh Ilahi atau arwah nenek moyang yang di
anggap Suci yaitu Marapu. Marapu adalah semua hal termasuk alam gaib, baik dalam arti Dewa,
maupun dalam arti roh, jiwa serta barang-barang yang bersifat duniawi yang dianggap menjadi
tanda atau simbol akan kehadiran Marapu dari alam gaib.30

Marapu adalah kepercayaan kepada arwah nenek moyang yang diyakini mampu memberi
keselamatan dan ketentraman serta kerukunan tertingi yang disebut amawollu amarawi yang
artinya yang membuat dan menciptakan.Sampai saat ini, Sumba masih identik dengan Marapu,
walaupun sudah berangsur-angsur berkurang karena perkembangan zaman.Meskipun demikian,
masyarakat setempat yang sudah menganut agama resmi yang diakui Negara masih
menempatkan Marapu sebagai salah satu budaya yang terus di lestarikan.31

Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai hal yang paling utama
karena meneurut kepercayaan mereka, roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii
Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah,
surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-
hara (hukum dan tata cara) yang telah ditetapkan oleh para leluhur.

Menurut kepercayaan Marapu, ada dua jenis roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan
ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa). Hamanguadalah roh manusia yang selama hidupnya akan
menjadi inti dan sumber kekuatan dalam dirinya. Hamanguini pula yang membuat manusia dapat
berpikir, berperasaan dan bertindak.Hamangu akan bertambah kuat dalam masa
pertumbuhanseorang manusia, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang

29
F. D. Wellem. Injil dan Marapu. Sekolah Tinggi Teologi. Jakarta. 1995. Hal. 15-16
30
Dr. HarunHadiwijono, Religi Suku Sumba Di Indonesia, BPK Gunung Mulia. Jakarta. 1977. Hal. 29
31
Pos Kupang. Kamis 4 November 2010. Pkl. 12.54 WIB
52

telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri
dan disebut “ndiawa’’ (jiwa). Ndiawadipercaya ada dalam semua makhluk hidup, termasuk
binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni surga.

Marapu dianggap sebagai makhluk yang mulia yang memiliki pikiran, perasaan, dan
kepribadian seperti manusia, tapi lebih pandai dan lebih luhur dari manusia. Marapu dapat
berjenis kelamin pria atau wanita dan dipercaya bahwa mereka berpasangan sebagai suami istri.
Keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai nenek moyang yang menjadi
cikal-bakal dari kabihu-kabihu. Secara hirarki, para Marapu dapat dibedakan menjadi dua
golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan
dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu
ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu lainnya,
jadi merupakan Marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi.

Setiap kabihu mempunyai Marapu sendiri yang dipuja agar segala doa dan kehendak
mereka disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu diupacarakan dan dipuja dalam rumah-
rumah, terutama di rumah adat atau di Paraingu. Rumah adat atau Paraingu merupakan tempat
dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu,
misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya.

Kepercayaan Marapu adalah penyembahan kepada arwah nenek moyang dan kekuatan-
kekuatan supranatural, yang dilakukan dengan cara melaksanakan sejumlah ritus keagamaan.
Ritus keagamaan ini, dipimpin oleh seorang rato adatdan dilakukan sesuai dengan ketentuan adat
apabila memerlukan pertolongan para leluhur.

Penyembahan kepada Marapu dan kekuatan supranatuaral atau upacara adat, biasanya
dilaksanakan di dalam rumah, di dalam kampung dan di luar kampung. Rumah dan kampung
tidak saja dipandang sebagai tempat untuk tinggal tetapi juga sebagai tempat perkumpulan
dengan sesama marga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Oleh karena itu,
orang Sumba mengenal istilah na mawulu tau na maji tau (yang menganyam manusia), na nia
pakarawurungu, naAma pakawurunga (ibu bapa yang namanya dibisikkan bila disebut). Adapun
tempat-tempat pemujaan pada umumnya berupa rumah-rumah adat disamping khusus berupa
katoda (tiang batu).
53

Orang Sumba sangat menghargai orang yang sudah meninggal. lni ditandai dengan
apabila ada orang yang telah meninggal maka, akan dikubur atau dimakamkan di depan rumah
atau di tengah kampung. Karena mereka menganggap, leluhur inilah yang telah menetapkan tata
cara adat-istiadat yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, perekonomian dan
sebagainya. Personifikasi Marapu terwujud dalam bentuk patung, lambang bulan, matahari,
berbagai bentuk binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Semua itu diletakkan dalam tempat
yang baik dan kuat disimpan di atas loteng atau lantai teratas dari rumah adat. Pada tempat itulah
dipercaya bahwa roh leluhur hadir.

Bagi orang Sumba menganggap kematian itu sebagai hal yang penting. Kematian berarti
memulai kehidupan baru di alam akhirat. Karena itu memberikan bekal bagi orang yang telah
meninggal bukanlah tindakan mubazir atau sia-sia bahkan dianggap itu adalah suatu kewajiban
orang yang hidup untuk menghormati orang yang telah meninggal. Semakin tinggi kedudukan
seseorang didalam masyarakat, dari golongan bangsawan (maramba) semakin besar upacara
yang akan diselenggarakan untuk pemakamannya.

Di beberapa tempat dapat dijumpai mayat yang disimpan dalam rumah, diantaranya
sudah puluhan tahun. Mayat dalam posisi duduk dibungkus dengan kain puluhan kain tenun
Sumba yang bagus-bagus. Alas duduk mayat adalah kulit kerbau. Hal ini disebabkan oleh
upacara kematian yang seringkali harus tertunda-tunda dengan alasan belum ada dana untuk
melakukan upacara karena persiapan upacara yang membutuhkan dana yang besar.

Upacara yang berhubungan dengan rumah dari mulai mendirikan tiang sampai pada
bubungan rumah dilakukan upacara. Pertanian dan upacara sekitar daur hidup merupakan
perwujudan pelaksanaan pemujaan berdasarkan kepercayaan asli, di samping adanya unsur
pemujaan pada bulan dan matahari. Menghadapi musim bercocok tanam orang Sumba mengenal
bulan suci yang disebut bulan Nyale (Wula Nyale). Pada bulan ini mereka meramal tentang
buruk-baiknya hasil panen pada musim yang akan datang, dengan menggunakan sistem
pengetahuan berdasarkan gejala yang diberikan oleh alam. Gejala itu diketahui dengan
munculnya cacing (nyale) yang keluar dari pantai laut dangkal berbatu yang penuh lumut. Para
pemimpin upacara (Rato) mengamati pertanda alam tentang kapan cacing atau nyale tadi akan
muncul. Hakekatnya memohon kesuburan agar panen yang akan datang menjadi baik dan
melimpah. Pada saat muncul cacing atau nyale, maka saat itu masyarakat Sumba merayakannya
54

denga upacara adat yang dikenal sebagai Pasola.Biasanya acara pasola diadakan di pesisir pantai
di daerah Kodi dan Wanokaka.

Oleh karena itu, upacara adat adalah kekayaan adat masyarakat Sumba. Hal ini terbukti
walaupun pendapatan penduduknya tergolong miskin, atas dasar kepercayaan terhadap warisan
leluhur, penyelenggaraan pesta adat tidak menjadi halangan. Misal Upacara adat Woleka di desa
Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo yang dilaksanakan 40 tahun sekali menjadi salah satu
bukti. Upacara untuk meminta ampun, berkat, dan rezeki pada arwah leluhur biasanya akan
menghabiskan tak kurang dari 100 ekor kerbau, 100 ekor sapi, 200 ekor babi dan beberapa kuda.
Hewan yang menjadi hidangan pesta ini merupakan hasil ternak penduduk.

Kitab suci Marapu diberi namaLii Ndai yang berupa syair yang di hafalkan dalam ingatan
para pemuka adat (para rato adat) dan dibacakan pada saat upacara-upacara tertentu diselingi
nyayian adat. Upacara-upacara adat yang di maksud adalah saat Wulla Poddu atau bulan suci
yang harus di patuhi oleh masyarakat Marapu sebagai tanda kepatuhan dan penghormatan
mereka kepada Marapu maka, pada saat itu mereka tidak boleh melakukan aktivitas lain yang
tidak ada kaitannya dengan ritual tersebut dan hanya melakukan ritual penyembahan terhadap
Marapu.32

Selain Wulla Poddu, upacara adat lainnya adalah upacara pengakuan dosa, upacara
memanen jagung, upacara menuai padi, upacara penutupan panen, upacara membuka hutan,
upacara membersihkan kampung, upacara turun air, upacara sunat untuk laki-laki dan upacara
potong ramnbut oleh perempuan, upacara potong gigi, dan lainnya.Didalam upacara dapat
bahasa yang selalu diungkapkan masyarakat yaitu: ‘a rawina tana mono langita’ yang artinya
pencipta langit dan bumi, ‘a rawina dadi ata’ yang artinya yang menciptakan manusia dan ‘a
kanga wolla limma, a boka wolla wai’ yang artinya yang membuka jalan keluar masuknya
manusia.

Bagi masyarakat Sumba ada 3 hal pokok yang berkaitan langsung dengan identitas
budaya yang mereka anut yaitu tatanan berdasarkan keyakinan beragama (Marapu), tatanan
berdasarkan tempat kediaman (paraingu), dan tatanan berdasarkan garis kekeluargaan (Kabihu).

32
Yanto. Ritus Wulla Poddu. 2006. Hal. 34-35
55

Tatanan-tatanan ini merupakan pedoman, nilai-nilai, atau aturan-aturan dalam hidup


bermasyarakat bagi masyarakat Sumba.

Paraingu adalah suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu, sedangkan
kabihu adalah suatu kelompok yang terbentukii berdasarkan kekerabatan yang berasal dari
seorang nenek moyang dan saling terikat oleh suatu garis keturunan yang berasal dari pihak laki-
laki.33

Seperti yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa kepercayaan Marapu sudah
ada sejak sebelum masa VOC yaitu sebelum tahun 1750 dan sejak saat itu sistem kapitalisme
dunia dan pelaku utamanya mulai silih berganti mengusai Sumba yang dikenal sebagai pulau
Cendana dan perlahan-lahan menerapkan sistem administrasi yang baru untuk melindungi
monopoli perdagangan dan menguasai kayu Cendana yang dianggap sanagt bernilai dan bahkan
pemerintah Belanda yang mengurangi bahkan menghapus kekuasaaan para penguasa tradisional
setempat yang disebut sebagai rato adat dan juga membatasi pengaruh dari lembaga-lembaga
adat yang menjadi tiang utama tatanan masyarakat Sumba.

Hak otonomi penguasa wilayah secara adat dikurangi atau perlahan dihapus dengan cara
menggabungkan dengan wilayah-wilayah lain menjadi suatu wilayah administratif menurut
hukum kolonial agar mempermudah pengawasan atas wilayah yang dikuasai dan hal ini masih
berlangsung sampai pada masa pemerintahan Republik Indonesia, dimana otonomi pemerintahan
daerah setempat hanya berfungsi sebagai pelaksana ritus seremonial dan penguasa tradisional
dipertahankan hanya untuk kepentingan politis tertentu.

Krisis terbesar yang dialami oleh masyarakat Sumba adalah ketika masuknya agama-
agama besar di Sumba yaitu agama Kristen protestan yang kemudian secara gencar mewartakan
injil dan menganggap bahwa agama Kristen adalah agama yang benar sehingga masyarakat
Sumba menjadi terbagi antara penganut gereja Kristen dan penganut kepercayaan Marapu.
Masyarakat Sumba yang menganut agama Kristen kemudian dinamakan GKS (Gereja Kristen
Sumba) dan masih ada sampai saat ini. Sejak terbentuknya GKS maka, masyarakat Sumba
semakin terpecah dan kedua belah pihak saling mempertahankan kepercayaan masing-masing.

33
Wawancara dengan Wakil Rato adat Kecamatan Kota Waikabubak pada tanggal 27 Desember 2015 pukul 16.00
WITA
56

GKS mulai mendirikan sekolah yang bertujuan untuk melahirkan pewarta injil sehingga semakin
banyak pewarta injil. Dalam hal ini anak-anak yang dipilih untuk bersekolah adalah anak-anak
dari orang yang berada atau mampu secara finansial. 34

Penyebaran agama Kristen sudah dilakukan sejak tahun 1881, tapi pengaruhnya hanya
pada golongan atas saja (yaitu pada golongan Ratu dan Maramba) dan tidak begitu banyak
jumlahnya. Mereka inilah yang diharapkan dapat memengaruhi masyarakat untuk beralih agama.
Sekolah-sekolah pekabaran Injil (Zending) didirikan pada tahun 1892 di Melolo (ibukota
kecamatan Rindi-Umalulu) berupa Volks school. Namun, usaha-usaha tersebut tidak mendapat
hasil yang memuaskan.

Hingga tahun 1982, hanya 1,1% saja dari seluruh jumlah penduduk Umalulu yang beralih
agama menjadi pemeluk agama Kristen, selebihnya masih memeluk agama asli mereka, yaitu
Marapu. Semejak tahun 1990-an, sebagian besar dari mereka (sekitar 80%) dengan berbagai
alasan sudah beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Masyarakat memilih agama Kristen
karena tidak melarang mereka untuk makan daging babi dan mereka masih tetap dapat
menjalankan upacara-upacara keagamaan mereka sendiri. Yehu Karetu (Yesus Kristus) bagi
mereka Marapu juga, walaupun sebagai Marapu-nya orang Kristen. Selain itu dengan menjadi
seorang Kristen, mereka mendapat jaminan bahwa anak-anak mereka dapat bersekolah.35

Berdasarkan pada kenyataan ini, masyarakat Marapu, akhirnya tidak bisa mengenyam
pendidikan formal sehingga dianggap masyarakat Marapu adalah orang kafir, orang bodoh dan
malas sehingga berdampak pada tidak adanya peluang untuk masyarakat Marapu bekerja di
pemerintahan.36

Anak-anak kecil di Sumba sudah dibiasakan sejak kecil untuk bekerja membantu orang
tua seperti bercocok tanam, mengembala ternak, dll. Mereka memang mendapatkan pendidikan

34
J.A.B.Jogeneel dalam A.C. kruyt, Keluar Dari Agama Suku Masuk Ke Agama Kristen. Jakarta. BPK Gunung Mulia.
1976. Hal. 17-18

35
Kapita, Umbu Hina, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1976.Hal. 14

36
Wawancara dengan Wakil Rato adat Kecamatan Kota Waikabubak pada tanggal 27 Desember 2015 pukul 16.00
WITA
57

dari orang tua dirumah namun itu saja tidak dirasakan cukup karena mereka tidak diperbolehkan
bersekolah di sekolah formal bila masih menganut Marapu. Hal ini masih terus berlangsung dan
kemudian masuk pula agama-agama besar lainnya seperti Khatolik dan Islam.

Saat ini, di Sumba meskipun sudah banyak masyarakat Marapu yang sudah menganut
agama-agama besar yang sudah diakui secara resmi oleh Negara, namun mereka masih
menghargai Marapu sebagai suatu kebudayaan yang tetap dilestarikan. Namun, tidak sedikit juga
yang menganggap Marapu sebagai agama atau kepercayaan yang penuh dengan kegelapan, kafir,
malas dan bodoh dan akhirnya Marapu dianggap sebagai agama orang yang tidak berpendidikan.
Hal ini seolah mendapat lampu hijau yang di legitimasi oleh Negara bahwa pemeluk Marapu
“belum beragama”, karena Marapu tidak termasuk dalam “agama resmi” sehingga hanya
dianggap sebagai aliran kepercayaan saja, bahkan seperti yang tercantum dalam UU
No.11/PNPS/1965, bahwa agama-agama dan kepercayaan yang tidak diakui oleh UU
No.11/PNPS/1965 adalah illegal, UU ini juga secara langsung menerapkan cara-cara yang
diskirminatif di mana negara membuat/menciptakan kondisi yang mengakibatkan perbedaan
yang meniadakan hak untuk menikmati kebebasan beragama di Indonesia.Dalam hal ini, berarti
kepercayaan Marapu dianggap sebagai illegal.Hal ini menjadi senjata paling ampuh yang
digunakan oleh pemeluk agama Kristen Sumba dan pemerintah untuk membuat para pemeluk
Marapu merasa tidak nyaman, karena akan berhadapan pula dengan kekuatan Negara.37

Pemerintah daerah sendiri tidak pernah berinisiatif untuk memberikan keadilan untuk
para penganut Marapu dalam hal mendapatkan pendidikan dan perlakuan adil dalam hal
mendapatkan pekerjaan di pemerintahan atau mendapat KTP. Pemerintah daerah malah
menganggap bahwa masyarakat Marapu adalah masyarakat kafir yang harus “diagamakan”.
Namun, hal ini bertentangan dengan program pemerintahan yang menjadikan Marapu sebagai
salah satu objek pariwisata yang menjadi salah satu sumber pendapatan daerah. Dalam hal ini,
masyarakat Marapu dipertahankan hanya untuk menjadi pelaku pasif dalam pemerintahan.
Pemerintah tidak pernah melibatkan para penguasa adat dalam pengambilan keputusan atau

37
Wawancara dengan pemuka agama Kristen (Pendeta) pada tanggal 29 Desember 2015 pukul 15.30 WITA
58

kebijakan daerah. Masih banyak masyarakat Marapu yang tidak dapat mengenyam pendidikan
formal dengan alasan bahwa yang bersekolah adalah orang yang beragama. 38

Untuk mengatasi hal ini, banyak masyarakat Marapu yang bersifat mengalah demi
pendidikan anak-anak mereka sehingga mereka terpaksa mengikuti agama Kristen atau Khatolik
padahal mereka sama sekali tidak pernah pergi ke gereja atau mereka tidak pernah tahu
bagaimana tata cara ibadah gereja. Selain itu banyak juga masyarakat Marapu yang dengan
terpaksa mengikuti agama Kristen atau Khatolik hanya untuk mendapat KTP.

Harapan dari para penganut Marapu adalah agar pemerintah dan masyarakat tidak lagi
mendiskriminasi mereka dengan cara memberdayakan peran lembaga adat, meningkatkan peran
tokoh-tokoh adat dalam perumusan kebijakan daerah, meningkatkan kapasitas situs-situs budaya
dan kesenian, meningkatkan pemuda-pemuda melalui forum pemuda lintas agama,
meningkatkan sarana dan prasarana rumah ibadah marapu, dan meningkatkan peran tokoh agama
dalam bentuk kemitraan dalam pembangunan daerah.39

38
Wawancara dengan camat kecamatan kota Waikabubak pada tanggal 29 Desember 2015 pukul 09.30 WITA

39
Wawancara dengan Wakil Rato adat Kecamatan Kota Waikabubak pada tanggal 27 Desember 2015 pukul 16.00
WITA
59

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. HASIL PENELITIAN

Disumba Barat, khususnya di Kecamatan Kota Waikabubak, masih dijumpai banyak


kasus dikriminasi terhadap para pemeluk aliran kepercayaan Marapu. Contoh-contoh kasus
seperti diskriminasi dalam pembuatan KTP karena adanya kolom “agama”, pembuatan Akte
Lahir karena harus ada surat keterangan menikah dari orang tua, dan sebagainya. Berikut
beberapa contoh kasus yang diperoleh dari wawancara dengan beberapa sumber.

Kasus Posisi 1. Pembuatan Surat Nikah (Pencatatan Sipil)

Bulu Ngakara dan Daido pare adalah pasangan suami istri yang sudah resmi secara
hukum adat Sumba pada tahun 2005. Mereka adalah penganut kepercayaan Marapu dan sudah
memiliki 4 orang anak, 3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Menurut cerita mereka, pada
tahun 2008, mereka ingin menikah secara resmi secara hukum nasional yaitu ingin membuat akta
nikah, namun dari pihak pemerintah tidak bisa mengurus pencatatan sipil pernikahan mereka
karena mereka tidak menikah secara agama (agama resmi yang diakui Negara), sedangkan salah
satu syarat untuk pencatatan sipil adalah harus mempunyai surat nikah dari gereja yang sudah
dilegalisir. Sehingga sampai saat ini, pernikahan mereka belum mendapat persetujuan dari
Negara.

ANALASISIS

Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam UU perkawinan No. 1 Tahun 1974.


Pengertian perkawinan menurut pasal 1 UU no. 1 Tahun 1974 adalah:

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan
Yang Maha Esa”

Dari pernyataan diatas, dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Adanya Ikatan Lahir Batin


60

Perkawinan hendaknya bukan hanya didasari oleh ikatan secara fisisk(lahir) semata
antara suami dengan istri dan juga dengan masyarakat, tetapi hendaknya juga
mempunyai ikatan perasaan (batin) yaitu suatu niat untuk sungguh-sungguh hidup
bersama sebagai suami istri.
2. Antara seorang Pria dan Wanita
Ini berarti bahwa perkawinan di Indonesia hanya mengenal perkawinan antara pria
dan wanita dan sebaliknya. Tidak diperbolehkan perkawinan secara sesama jenis baik
antara pria dengan pria atau antara wanita dengan wanita.
3. Bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Ini berarti bahwa hendaknya perkawinan yang telah dilaksanakan berlangsung
seumur hidup untuk selama-lamanya dan dapat tercipta keluarga yang rukun, damai,
dan sejahtera.
4. Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa
Ini berarti bahwa perkawinan di Indonesia harus berdasarkan pada keTuhanan bukan
hanya agama semata melainkan harus berdasarkan pada keTuhanan yang diyakini.

Selain pengertian perkawinan, dalam UU ini juga dicantumkan prinsip-prinsip atau asas-
asas mengenai perkawinan dan segala yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman, seperti berikut ini :

1. Tujuan Perkawinan
Yang dimaksud disini adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu, suami dan istri perlu untuk saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu mencapai kesejahteraan spiritual
dan materiill.
2. Sahnya perkawinan
Yang dimaksud disini adalah perkawinan dianggap sah bila dilakukan menurut
masing-masing agama dan kepercayaan tersebut.
3. Asas Monogami
Yang dimaksud disini adalah UU menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat berisitri lebih dari seorang.
61

4. Usia Perkawinan
Yang dimaksud disini adalah UU menganut prinsip bahwa calon suami istri harus
matang baik jiwa maupun raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik.

Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus memenuhi syarat-syarat perkawinan
seperti yang tercantum dalam UU perkawinan pasal 6, sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai


2. Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum berumur 21 tahun harus
mendapat iji dari kedua orang tua
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu mengatakan kehendaknya, maka ijin yang dimaksud dalam
ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu mengatakan
kehendaknya.40

Bila dikaji lebih jauh dari pengertian perkawinan menurut Undnag-Undang No. 1 Tahun
1974, maka perkawinan adat Marapu dianggap sebagai perkawinan yang sah karena perkawinan
secara adat marapu adalah perkawinan antara pria dan wanita berdasarkan ikatan batin dan
berdasarkan pada keTuhanan yang diyakini yaitu Marapu.

Kasus Posisi 2. Pembuatan Akta Kelahiran

Lina adalah anak pertama dari pasangan suami istri Dowa (28 tahun) dan Etha (24 tahun) yang
berusia 2 bulan 1 minggu. Sampai saat ini, Lina belum dibuatkan akte kelahirannya karena salah
satu syarat pembuatan Akte Kelahiran adalah fotocopy kartu keluarga. Sementara, pasangan
suami istri Dowa dan Etha belum menikah secara gereja mereka hanya menikah secara adat
Marapu. Dowa juga belum memiliki KTP karena orang tua dari Dowa adalah ketua adat Marapu
sehingga sampai saat ini Dowa masih menganut kepercayaan Marapu. Sedangkan Etha adalah
penganut agama Kristen Protestan.

40
Subekti dan Tjitrosudibio. 2013. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerljik Wetboek) dan UU no. 1
Tahun 1974. Jakrta: pradnja Paramita. Hal. 5-7
62

ANALISIS

Akte kelahiran adalah bentuk identitas setiap anak yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari hak sipil dan politik warga Negara. Hak atas identitas merupakan bentuk
pengakuan Negara terhadap keberadaan seseorang dimata hukum.

Akte kelahiran juga merupakan bukti otentik tentang kedudukan hukum dan peristiwa
kelahiran seseorang yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Hak identitas bagi seorang anak dinyatakan dengan tegas dalam pasal 5 UU no. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak. Didalam pasal tersebut menyebutkan bahwa:

“Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”

Selain itu, dalam pasal 27 ayat (1) dan (2) juga mengaskan bahwa:

Ayat (1) : “ Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya,”

Ayat (2) : “Identitas sebagimana dimaksud ayat (1) dituangkan dalam akkte kelahiran.

UUD 1945 pasal 28 D ayat (1) menyatakan bahwa ‘setiap anak berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum’. Selain itu, UUD 1945 juga member jaminan atas status kewarganegaraan sebagaimana
diatur dalam 28 D ayat (4) yang menyatakan ‘ setiap orang berhak atas kewarganegaraaan’.

Selama ini, pembuatan akte kelahiran diatur dalam UU No. 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan. Dalam beberapa pasal dalam UU ini ditegaskan bahwa pencatatan
kelahiran diwajibkan kepada warga Negara melalui sistem stelsel aktif penduduk. Penduduk
harus pro aktif mencatat kelahiran anaknya agar bisa memiliki akte kelahiran. Hal ini tercantum
dalam pasal 3, pasa 4, pasal 27 ayat (1), pasal 29 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 30 ayat(1) dan ayat
(6), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 90 ayat (1) dan ayat (2) serta penjelasan umum UU 23
Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Pasal-pasal tersebut mengatur keharusan
setiap warga Negara melaporkan kelahiran anaknya sampai sanksi denda bagi siapa yang
melanggar.41

41
Di sunting dari www.kpai.go.id pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 10.30 WIB
63

Manfaat dari akte kelahiran, saat ini sudah mencakup banyak hal, seperti:

1. Saat masuk sekolah pertama kali TK atau SD harus menggunakan akte kelahiran
sebgaai bahan rujukan ijaza TK/SD samapai perguruan Tinggi
2. Akte Kelahiran diperlukan untuk pembuatan KTP dan KK
3. Akte kelahiran diperlukan untuk membuat paspor
4. Untuk pendaftaran pernikahan di kantor uruisan agama
5. Untuk mengurus hak waris, dll

Syarat Pembuatan Akte Kelahiran adalah sebagai berikut:

1. Fotocopy akta nikah (bagi yang sudah bercerai menggunakan akta cerai) yang telah
dilegalisir KUA. Bila tidak ada akta nikah maka anak merupakan anak ibu
2. Untuk anak yang tidak jelas asal-usulnya persyaratan pembuatan akte harus dilengkapi
dengan surat keterangan dari kepolisian ( menjelaskan asal-usul anak) dan surat
keterangan dokter (memperkirakan usia anak)
3. Fotocopy kartu keluarga yang dilegalisir
4. Fotocopy KTP ayah dan ibu
5. 2 orang saksi Pencatatan Kelahiran berikut fotocopy KTP yang masih berlaku
6. Surat keterangan lahir dari kepala desa/lurah, dokter, bidan, rumah sakit yang di sahkan
di desa /kelurahan42

Akte kelahiran terdiri dari dua jenis, yaitu :

1. Akte kelahiran umum adalah akte kelahiran yang tidak terlambat atau dibuat sebelum
seorang anak berusia 60 hari
2. Akte kelahiran Istimewa adalah akte kelahiran yang terlambat atau dibuat setelah seorang
anak berusia lebih dari 60 hari. Ada dua jenis akte kelahiran terlambat yaitu akte
kelahiran istimewa yang artinya akte dibuat setelah 60 hari sampai kelahiran tahun 1985

42
Di sunting dari http://abuazmashare2014.blogspot.co.id/2015/10/update-syarat-membuat-akte-kelahiran.html pada
tanggal 14 Januari 2016 pukul 11.40 WIB
64

dan akte kelahiran dispensasi yang artinya akte dibuat setelah 60 hari untuk kelahiran
dibawah tahun 1985.43

Bila dilihat dari contoh kasus tersebut diatas, masalah ini menjadi kasus yang rumit. Karena
persyaratan yang cukup rumit dan masalah ini juga terkait dengan masalah lain yaitu tentang
pembuatan KTP yang harus mencantumkan kolom agama. Sehingga diskriminasi yang terjadi
menjadi seperti lingkaran setan yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Kasus Posisi 3. Proses memperoleh pendidikan

Dowa adalah anak laki-laki pertama dari pasangan suami istri Seingu dan Pare. Seingu
adalah seorang penganut agama Marapu murni sehingga Dowa dididik secara tegas menurut
ajaran Marapu. Oleh karena itu, Dowa tidak pernah mengenyam pendidikan formal karena syarat
untuk sekolah adama harus mempunyai ‘agama’. Dia hanya belajar membaca dengan dibantu
oleh teman-teman sepermainan dan juga belajar sendiri dirumah. Sampai saat ini juga, Dowa
belum mempunyai KTP dan belum mempunyai Akte kelahiran. Dowa secara pribadi mengakui
sangat merasa tersisih dari masyarakat umum.

ANALISIS

Pendidikan berasal dari kata didik, yang artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam
mendidik diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan.44

Landasan hukum pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan


perundang-undangan yang berlaku, yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan, terutama
pendidikan nasional atau landasan hukum pendidikan adalah tempat berpijak atau titik tolak
dalam melaksanakan keggiatan-kegiatan pendidikan.

Hak untuk mendapat pendidikan adalah salah satu Hak Asasi Manusia yang tercantum
dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Dan juga merupakan salah satu hak dasar warga

43
Disunting dari http://kependudukan.denpasarkota.go.id/index/php/lihat-saran/6941/jenis2-akta-kelahiran

44
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan:1999. Hal. 232
65

Negara (citizen’s right) pada BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan dalam UUD 1945
setelah amandemen.

Pasal 28C ayat (1) menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendpat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap warga
Negara berhak mendapat pendidikan.”

Berdasarkan pengertian yang tercantum dalam pasal-pasal diatas, dapat diuraikan seperti berikut:

Pasal 31 ayat (1) diatas segera diikuti oleh pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa
“setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”

Selanjutnya pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan


menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang.”

Seperti yang diuraikan pada bagian ini, pendidikan adalah bagian dari upaya untuk
memampukan setiap insan untuk mengembangkan potensi dirinya agar tumbuh menjadi manusia
yang tangguh dan berkarakter serta berkehidupan sosial yang sehat.

UUD 1945 dalam alinea keempat menegaskan hanya ada satu sistem pendidikan nasional
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Satu sistem pendidikan nasioanl diperlukan agar bangsa
Indonesia yang amat majemuk itu dapat terus mengembangkan persatuan kebangsaan yang
menghormati kemajemukan dan kesetaraan sesuai dengan sasanti ‘Bhineka Tunggal Ika’

Dalam semangat UUD 1945, Pendidikan diarahkan bagi rakyat keseluruhan dengan
perhatian utama pada rakyat yang tidak mampu agara setiap warga dapat mengembangkan dirnya
sebaik-baiknya yang pada gilirannya merupakan pilar bagi perwujudan masyarakat yang adil dan
sejahtera.

Jika ketentuan UUD 1945 dicermati secara seksama maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa mengikuti pendidikan adalah salah satu hak asasi bagi setiap orang dan bagi warganegara
66

Indonesia mengikuti pendidikan dasar adalah kewajiban. Menghalangi atau melarang anak
Indonesia untuk bersekolah adalah perbuatan melanggar hukum tertinggi (UUD 1945) dan dapat
dikenakan sanksi.

B. ANALISIS UMUM

Berikut adalah berbagai macam pandangan masyarakat Sumba mengenai Marapu. ( Wawancara
dengan kuisioner)

Ketua Adat Pimpinan Gereja Protestan Pemerintah Daerah (Camat) Tokoh masyarakat
 Menurut ketua adat  Masyarakat Marapu  Menurut camat,
Marapu, dalam sudah diberikan masyarakat Marapu sudah
menjalankan ritual atau kebebasan untuk diberi kebebasan dalam
upacara keagamaan menjalankan menjalankan upacara
Marapu mereka tidak kepercayaan yang keagamaan yang dianut
pernah merasa dipersulit diyakini, hanya sebagai mereka tanpa adanya
atau dilarang oleh pimpinan gereja, hanya larangan atau batasan dari
pemerintah daerah atau mencoba memberikan pemerintahan.
masyarakat umum, hanya pemahaman tentang  Masyarakat Marapu
saja kebanyakan agama resmi dan tentang diSumba Barat sudah
masyarakat menilai mereka Sang Juru selamat memperoleh kebebasan
dengan stigma yang negatif karena masyarakat menjalan keyakinan
(contoh : Marapu identik Marapu masih kuat mereka seperti contoh
dengan kebodohan, dengan paradigma pada saat pembuatan KTP
penjudi, pencuri,dll) bahwa arwah leluhur kolom agama yang tertera
 Pemerintah juga adalah roh suci. di KTP dapat
memperlakukan penganut  Dalam menyikapi hal dikosongkan.
kepercayaan Marapu hanya ini, pemerintah sudah  Tidak ada hal sikap yang
sebagai pelaku pasif yang bersikap adil dengan berbeda dari pemuka
artinya para tokoh agama tidak mencampuri agam dan pemuka adat,
Marapu diberikan urusan keagaamaan semua pihak berjalan
67

kedudukan sebagai yang diyakini oleh searah dan saling


pemimpin diwilayah masyarakat Marapu menghargai. Kalaupun
tertentu hanya untuk bahkan tokoh agama pemuka agama banyak
kepentingan tertentu Marapu diikutsertakan melakukan pewartaan injil
seperti sebagai salah satu dalam pembangunan itu hanya semata agar
sumber pendapatan daerah pulau Sumba sehingga masyarakat Marapu lebih
(cth: Pasola) sementara itu pulau Sumba dikenal memiliki wawasan tentang
tidak pernah dilibatkan dengan beberapa kebenaran yang
dalam pengambilan pariwisata yang sesungguhnya tentang juru
keputusan kebijakan merupakan upacara selamat (Yesus Kristus)
daerah. keagamaan Marapu.  Pemerintah mengharapkan
 Seikat setali dengan supaya masyarakat
pemerintah daerah, para Marapu dapat menganut
pemimpin gereja juga salah satu agama resmi
selalu mengadakan atau yang diakui oleh Negara
menyebarkan pewartaan sehingga saat mengurus
injil kemana-mana, berkas-berkas kenegaraan
sehingga terkesan seperti halnya Kartu
‘memaksa’ para penganut Keluarga dan sebagainya
Marapu agar mengikuti tidak mendapat hambatan.
ajaran gereja atau bahkan Menurut Camat, hal ini
mengganggap bahwa adalah penyelesaian
Marapu adalah ‘kafir’. terbaik untuk masyarakat
 Dalam menanggapi hal ini, Marapu. Karena walaupun
para penganut Marapu masyarakat Marapu
hanya memilih bersikap menganut agama resmi,
mengalah karena takut Marapu dapat diteruskan
berurusan dengan kekuatan sebagai adat istiadat atau
Negara yang artinya karena budaya.
memang benar bahwa  Sebagai lembaga
Marapu belum dianggap pemerintahan yang
68

sebagai agama yang sah bertugas melayani


dari Negara. masyarakat, pemerintah
 Pemerintah atau pemuka daerah sudah berusaha
agama menginginkan agar untuk mempermudah
masyarakat Marapu urusan-urusan kenegaraan
menganut atau mengikuti yang dapat mempersulit
ajaran Gereja, dan agama Marapu seperti
masyarakat Marapu juga contoh pembuatan KTP
tidak mempersoalkan yang mempunya kolom
apabila ada masyarakat agama yang harus diisi,
Marapu lain yang memeluk oleh pemerintah daerah
agama lain asalkan yang diperboleh untuk
bersangkutan bukan dikosongkan saja bagi
penerus adat. masyarakat Marapu.
 Sikap pemerintah dalam
menyikapi apa yang terjadi
antara pemuka agama dan
masyarakat Marapu,
cenderung bersikap acuh
tak acuh dan bahkan
cenderung mendukung
sikap dari pemuka agama.
 Penganut kepercayaan
Marapu sangat
mengharapkan agar
pemerintah dapat
memberikan keadilan
kepada penganut Marapu
agar anak-anak Marapu
dapat mengenyam
pendidikan formal tanpa
69

harus dipaksa untuk


menganut agama resmi,
juga penganut Marapu
diikut sertakan dalam
pemngambilan keputusan
atau kebijakan daerah.
70

BAB V

KESIMPULAN DAN PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan untuk menjawab pertanyaan penulis
tentang penelitian ini menjadi berikut?
1. Kurangnya komunikasi antara masyarakat Marapu dan pemerintah daerah atau
pemimpin gereja menjadi hambatan utama dalam pemenuhan hak beragama bagi
masyarakat Marapu. Selain kurangnya komunikasi, sikap mengalah danmenerima
saja dari masyarakat Marapu juga menjadi penghambat karena dengan mereka
bersikap mengalah atau menerima saja maka tidak akan ada inisiatif untuk
melaporkan atau mendiskusikan hal apa yang mereka anggap tidak sesuai
dilapangan kepada pemerintah.
2. Dalam hal ini, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan wawancara,
terlihat bahwa pemerintah menganggap bahwa tidak ada masalah yang terjadi
antara masyarakat Marapu dengan pimpinan Gereja atau tidak ada masalah bagi
masyarakat Marapu dalam memperoleh akses memperoleh pelayanan umum
seperti memperoleh KTP, memperoleh pendidikan. Padalah menurut Masyarakat
Marapu sendiri, mereka masih memperoleh hambatan dalam memperoleh
pelayanan umum karena terkendala oleh kelengkapan berkas atau karena agama
yang mereka yakini saat ini yaitu Marapu.
3. Penerapan perlindungan hukum kebebasan beragama bagi masyarakat Marapu di
kabupaten Sumba Barat (Waikabubak) belum begitu diperhatikan. Ini terbukti
dari masih banyak kendala yang dialami oleh masyarakat Marapu tapi tidak
diketahui oleh pemerintah. Bahkan, pemerintah sendiri cenderung acuh tak acuh
dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Marapu di Sumba Barat. Hal ini,
dapat dilihat bahwa masih banyak masyarakat Marapu yang belum mendapatkan
hak nya sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang.
4. Pemerintah Kabupaten Sumba Barat juga belum tegas dalam menegakkan aturan
yang ada sehingga secara tidak langsung pemerintah Kabupaten Sumba Barat
terkesan hanya memanfaatkan masyarakat Marapu untuk menarik para wisatawan
71

datang ke kabupaten Sumba Barat tanpa memperdulikan perlakukan diskriminasi


yang diperoleh oleh masyarakat Marapu, Hal ini, pada akhirnya akan sedikit demi
sedikit akan menyebabkan hilangnya agama Marapu yang merupakan agama asli
masyarakat Sumba pada umumnya.

B. SARAN

Melalui skripsi ini, penulis ingin memberikan saran bagi para pembaca atau pihak yang
terkait, yaitu :

1. Kepada pemerintah kabupaten Sumba Barat agar lebih tegas dalam menegakkan
aturan yang sudah berlaku sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang dan lebih
memberi waktu untuk mendengar keluhan dari masyarakat Marapu apabila mereka
mengalami ketidakadilan dilapangan.
2. Kepada pimpinan gereja di kabupaten Sumba Barat agar lebih membuka diri dan
pikiran bahwa Marapu adalah agama asli masyarakat Sumba sehingga harus lebih
dihargai keberadaaannya dan tidak sewenang-wenang dianggap sebagai kafir, atau
masyarakat yang bodoh atau masyarakat yang aharus diagamakan, dan agar tidak
memaksakan masyarakat Marapu untuk menganut agama lain tanpa adanya
keikhlasan dari masyarakat Marapu sendiri.
3. Kepada Masyarakat marapu di Kabupaten Sumba Barat agar lebih mau
berkomunikasi dengan semua pihak dan tidak meluluh bersikap mengalah untuk
semua hal yang diterima dari semua pihak. Agar lebih mengetahui apa hak dan
kewajiban yang patut didapatkan dan dilaksana sehingga mengerti tindakan apa yang
mereka dapat secara tidak adil dan dapat membuat keluhan kepada pemerintah daerah
setempat.
72

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1974. H
Clifford Geertz. Kebudayaan dan Agama. Kanisius. Yogyakarta 1992.
Kapita, Umbu Hina, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 1976.
_________, Titaley A. J., Hubungan Negara dan Agama Dalam Menjamin Kebebasan
Beragama Di Indonesia. Setiawan C., Mulyana A (ed). Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia,. 2006.
_________,Douglas A, ‘Alam Pemikiran Primitif’, dalam Roland Robertson, Agama
dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta. Rajawali Press. 1988.
O’dea, Thomas F., Sosiologi Agama, CV Rajawali, Jakarta, 1985.
Dove, Michael R. (ed), Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985.
Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, 1985
Suriadiredja, P., Simbolisme dalam Desain Kain di Watu Puda, FS-Unpad, Bandung,
1983.
Sugiyono. Metodologi Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R &
D. Bandung. 2010.
Moh. Nazir, Metodologi Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia.1985.
Hadeli. Metode Penetilian Pendidikan, PT. Ciputat Press, Jakarta. 2006.
Hadikusuma H, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju).
Widyatmika M, Sejarah Pendidikan Daerah Nusa Tenggara Timur, LP Undana, Kupang,
1980.
Soekanto S dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV.
Rajawali, Jakarta, 1990.
Musdah M Siti, HAM dan Kebebasan Beragama. 2010.
_________,Fathuddin, Kebebasan Beragama Dalam Bingkai Otorita Negara dalam Jurnal
Legislasi Indonesia. Vol. 12 no. 2. 2015. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan.
_________,Soeriadiredja P, Marapu : Konstruksi Idsentitas Budaya Orang Sumba, NTT.
Dalam Antropologi Indonesia Vol. 34 No. 1. 2013.
73

Data kependudukan Masyarakat Kecamatan Kota Waikabubak Tahun 2014


Wellem.Injil dan Marapu. Sekolah Tinggi Teologi. Jakarta. 1995.
Hadiwijono H, Religi Suku Sumba Di Indonesia, BPK Gunung Mulia. Jakarta. 1977.
J.A.B.Jogeneel dalam A.C. kruyt, Keluar Dari Agama Suku Masuk Ke Agama Kristen.
Jakarta. BPK Gunung Mulia. 1976.
Yanto. Ritus Wulla Poddu. 2006.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2013. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerljik Wetboek).
Jakrta: pradnja Paramita.

B. Website

Pos Kupang. Kamis 4 November 2010. Pkl. 12.54 WIB

Di sunting dari http://abuazmashare2014.blogspot.co.id/2015/10/update-syarat-membuat-


akte-kelahiran.html pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 11.40 WIB
Di sunting dari www.kpai.go.id pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 10.30 WIB

C. Perundang – Undangan
Undang Undang Republik Indonesia UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil Amandemen tentang Bab XI Tentang Agama
UU No. 1 Tahun 1974

Anda mungkin juga menyukai