Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH DINAMIKA SEKTE WETU TELU

(Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Sosiologi Agama)

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau. Terbentuknya berbagai pulau
mampu melahirkan masyarakat yang plural. Banyaknya masyarakat mampu memunculkan
kebudayaan yang beragam. Adanya budaya dan suatu masyarakat tentunya tidak terlepas
dari proses historisasi. Keberagaman kebudayaan masyarakat di nusantara membuat
Indonesia memiliki ciri khas tersendiri khususnya dalam hal budaya sebagai identitas suatu
negara. Keberagaman etnitas masyarakat dapat berupa suku, ras, agama, dan antargolongan.
Keberagaman khususnya dalam sektor keagamaan di Indonesia memiliki rangkaian
proses yang cukup panjang dalam aspek sejarah. Historisasi masyarakat Indonesia tentang
keagamaan tidak terlepas dari zaman nenek moyang yang telah menganut kepercayaan baik
itu percaya terhadap animisme dan dinamisme, agama yang dianut dari budaya nenek
moyang, hingga berkembang sampai agama yang telah disahkan oleh negara yakni Islam,
Hindu, Budha, Kristen, Konghucu dan Khatolik. Pada masa orde baru berdasarkan aturan
dalam GBHN terlah mencatat agama lokal yang diklasifikasi dalam aliran kepercayaan
khususnya pada masyarakat yang menganut kepercayaan tertentu yang dibawa oleh nenek
moyang masing-masing suku di nusantara. Maka pada waktu itu juga terdapat kebijakan,
agama/kepercayaan lokal seperti kepercayaan Aluk Todolo (Toraja), Kaharingan (Dayak),
agama sunda wiwitan (Sunda), agama Samin (Jawa), kepercayaan Islam Wetu Telu
(Lombok), dan lain sebagainya.
Suku Sasak adalah suku pribumi yang mendiami pulau Lombok. Umumnya dalam
penduduk pulau Lombok tidak hanya terdapat masyarakat Sasak tetapi banyak juga imigran
dari daerah lain. Masyarakt Sasak yang tidak terlepas dari norma norma, nilai, maupun
kultur yang ada di daerah Lombok. Mereka dipercaya hingga kini masih ada yang
merupakan kepercayaan lokal masyarakat Lombok pada zaman dahulu yang masih ada
hingga kini. Dalam hukum Indonesia telah diatur mengenai kepercayaan lokal. Secara
yuridis, agama lokal berhak memperoleh jaminan hak hidup dan pelayanan hak sipil dari
negara pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi : (1) Negara didasarkan pada Ketuhanan
Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memilih
agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan
dalam penjelasan Pasal 1 UU N0. 1 /PNPS /1965 yang menyebutkan bahwa terdapat enam
agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan
Konghucu (Confusius). Ini tidak berarti bahwa agama‐agama lain, misalnya : Yahudi,
Zarasustrian, Shinto, atau Taoism dilarang di Indonesia. Dengan demikian agama atau
kepercayaan lokal telah mengalami berbagai dinamikanya hal ini terkait dengan perubahan
dan perkembangan di lingkungan. Maka dari itu kami tertarik untuk menelisik lebih lanjut
dinamika sekte Wetu Telu dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya sekte Wetu Telu di Bayan?
2. Bagaimana dinamika sekte Wetu Telu saat ini di Bayan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengatahui sejarah sekte Wetu Telu di daerah Bayan.
2. Untuk mengetahui bagaimana dinamika sekte Wetu Telu di daerah Bayan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Lahirnya Wetu Telu


Sejarah ilmuwan sosiologis ilmuwan barat abad ke-20, seperti Van Eerde dan
profesor Bousquet, menunjukkan bahwa dikalangan masyarakat sasak terdiri dari waktu
lima dan wetu telu. Salah satunya disini kami akan membahas tentang sejarah lahirnya
wetu telu. Wetu telu adalah penganut yang diidentikkan dengan mereka yang dalam
praktek kehidupan sehari-hari sangat kuat berpegang kepada adat-istiadat nenek moyang
mereka. Dalam ajaran Wetu Telu, terdapat banyak nuansa Islam di dalamnya. Namun
demikian, artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Di sini warna agama
bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan agama.
Pencampuran praktek-praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan watak Wetu Telu
menjadi sangat sinkretik. Islam hanya satu, tidak ada polarisasi antara wetu telu dan
waktu lima. Sebenarnya wetu telu bukan agama, tetapi adat.
Lahirnya istilah Islam Wetu Telu ini berasal dari zaman penjajahan Belanda
yang menjalankan politik devide et et impera untuk memecah belah kekuatan Islam
dengan melakukan dikotomi Islam Wetu Telu versus Islam Waktu Lima. Pandangan
yang menyatakan bahwa Wetu Telu berarti tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata
Wetu berasal dari kata Metu, yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan Telu
berarti tiga. Secara simbolis hal ini mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup
muncul [metu] melalui tiga macam sistem reproduksi: 1) melahirkan (menganak),
seperti manusia dan mamalia; 2) bertelur (menteluk), seperti burung; dan 3) berkembang
biak dari benih atau buah (mentiuk), seperti biji-bijian, sayuran, buah-buahan,
pepohonan dan tetumbuhan lainnya. Tetapi fokus kepercayaan Wetu Telu tidak terbatas
hanya pada sistem reproduksi, melainkan juga menunjuk pada Kemahakuasaan Tuhan
yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan mengembangbiakkan diri melalui
mekanisme reproduksi tersebut.
2.2 Dinamika Sekte Telu Dalam Masyarakat Bayan
Bayan dapat dikatakan suatu nama kawasan pesisir di Pulau Lombok yang
memiliki proses historisasi yang begitu panjang. Dahulu banyak msayarakat Bayan yang
mengaku muslim yang dianut adalah sekte Wetu Telu. Mayoritas masyarakat Bayan
memeluk agama Islam, namun ada juga yang menganut agama Kristen, Hindu, dan
Budha. Masyarakat bayan sangat memegang teguh tradisi yang dianut. Sebagian besar
masyarakat berpendapat bahwa adanya suatu agama dan kebudayaan tidak harus
dipisahkan, karena hal itu menyatu dengan kehidupan. Menurut masyarakat luar
sebagian muslimin yang tinggal di Lombok menjaga tradisi dan tunduk terhadap adat
istiadat setempat dan menjadikan mereka seolah-olah sebuah entitas agama tersendiri
yang mereka miliki itu islam Wetu Telu. Sekte Wetu Telu dianggap sebagai golongan
yang mengalami proses Islamiasi yang belum sempurna. Sedangkan masyarakat yang
mengalami proses Islamisasi dengan sempurna digolongkan sebagai penganut Islam
Waktu Lima sebagaimana Islam yang umumnya dikenal luas (Muhammad Noor, dkk.
2014:95). Sama seperti halnya di pulau jawa menurut kajian Clifford Geertz, masyarakat
jawa juga memiliki agama lokal yaitu Islam Kejawen yang terdiri dari islam santri,
abangan dan priyayi. Studi yang muncul tentang gerakan dakwah islam dalam kalangan
masyarakat Sasak yakni Islam Wetu Telu keberadaannya di pertentangan dengan islam
waktu lima (Budiwanti, 1997-2000).
Baik Cederroth dan Budiwanti telah melakukan penelitian nya di Bayan,
Lombok Utara dalam penelitiannya dijelaskan bahwa mereka tidak bermaksud
mempertentangan antara jenis-jenis keberislaman yang ada di Bayan karena dapat
ditemukan fakta lapangan bahwa agama islam sudah banyak berkembang di sana. Di
dalam agama Islam adapun pengaruhnya Lombok dapat diklasifikasikan menjadi dua
golongan, yakni golongan Islam waktu lima yang meupakan golongan yang mengikuti
Islam sesuai dengan ajaran dan ketentuan al-qur’an dan al-hadits. Sedangkan Golongan
Wetu Telu, yaitu golongan yang dalam praktik keagamaan dan kehidupan sehari-hari
masih berpegang teguh pada ajaran tradisi nenek moyang serta adat istiadat yang
diturunkan secara turun temurun. Dalam pelaksanaannya ketika mereka beribadah hanya
dipimpin oleh kiayi, penghulu dan tokoh-tokoh adat mereka.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan varian Islam Wetu Telu yang terbagi
dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Kelompok pertama, kelompok yang berpegang pada penanggalan yang disebut aboge
(reboage), permulaan puasa jatuh dikalangan mereka pada tanggal satu bulan
ramadhan.
b. Kelompok kedua, kelompok yang berpegang pada penanggalan kamis pahing,
permulaan puasa kalangan ini jatuh pada tanggal dua bulan Ramadhan.
c. Kelempok ketiga, kelompok yang berpegang pada penanggalan jum’at pon,
permulaan puasa dikalangan mereka senantiasa jatuh pada tanggal tiga bulan
Ramadhan.
Perlu di kemukakan masing-masing kelompok varian Wetu Telu yang berbeda kyai
atau penghulunya dalam mengaktualisasikan ajaran Islam tersebut, sebagai berikut:
1. Dalam masyarakat Bayan dan daerah Tanjung (Lombok Barat), pelaksanaan Wetu
Telu hanya melaksanakan ibadah sholat jumat, sholat jenazah, sholat hari raya idul
adha, idul fitri, dan berpuasa pada penanggalan ke dua bulan ramadhan.
2. Di wilayah Pujut (Lombok Tengah), dan sekitarnya pelaksanaan sekte Wetu
Teluhanya melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam termasuk shalat jum’at
shalat idul fitri, idul adha dan shalat jenazah. Mereka memulai puasa pada tanggal
satu ramadhan.
3. Di wilayah Rambitan (Lombok Tengah), Sepit (Lombok Timur) dan sekitarnya hanya
melaksanakan shalat magrib dan isya selama bulan Ramadhan, dan shalat subuh pada
pagi hari raya,kemudian melaksanakan shalat jumat, shalat sunnat tarawih dan shalat
jenazah.
4. Di wilayah Pengadangan (Lombok Timur) dan sekitarnya hanya melaksanakan shalat
lima waktu sehari semalam selama giliran merebotnya (penjaga masjid) selama tujuh
hari setelah itu mereka hanya melaksanakan shalat jumat, shalat jenazah dan shalat
tarawih pada bulan ramadhan.
5. Di wilayah Sembalun (Lombok Timur) dan sekitarnya hanya melaksanakan shalat
ashar padaharikamis,shalat dzuhur pada hari jumat dan shalat subuh pada hari raya.
Ajaran penganut Wetu Telu mayoritasnya
memegang prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Taat kepada tuhan yang Maha Esa.
2. Taat kepada pemerintah.
3. Taat kepada kedua orang tua, dalam arti yang sangat luas, mereka sangat kuat
memegang prinsip-prinsip ini dan tidak berani melanggarnya apalagi menyangkut
penaliq yaitu suatu hal yang mereka anggap tabu.
Masyarakat penganut sekte Wetu Telu menganut ritual-ritual yang dilaksanakan
berdasarkan peristiwa-peristiwa tertentu antara lain, seperti hal yang berhubungan
dengan siklus manusia yakni peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian. Adapun
yang berkaitan dengan peristiwa bercocok tanam yakni seperti panen raya,
menyamikan benih, keluarnya biji padi, dan ritual-ritual lainnya.
Dalam hubungannya dengan praktek ibadah penganut Wetu Telu, terdapat
perbedaan yang signifikan dengan praktek ritual kelompok Islam ortodok, termasuk
perbedaaan ritual berdasarkan daerah yang berlainan perbedaan-perbedaan yang ada
tidak jelas pedoman dan sumbernya kecuali apa yang mereka temui dan dapatkan dari
para leluhur mereka. Bacaan shalat umumnya sama dengan yang dipakai oleh
kelompok Islam orthodok, hanya mengenai waktu pelaksanaannya yang berbeda pada
masing-masing daerah. Umumnya yang mengerjakan shalat hanya para kyai dan
santri serta beberapa tokoh adat lainnya. Menurut keyakinan mereka segala dosa dan
tanggung jawab, semuanya dibebankan dan ditanggung oleh para kyai dan oleh
sebagian orang yang sudah menegerjakan shalat tersebut (hukum shalat bagi mereka
adalah fardhu kifayah dan fardhu a’in). Penganut Wetu Telu, selain kyai dan
beberapa pemimpin adat merasa hanya berkewajiban untuk melakukan segala hal
yang telah ditentukan dan diperintahkan oleh para kyai mereka. Dan merupakan suatu
larangan berat bagi mereka untuk mengerjakan shalat, termasuk mempelajarinya.
Dalam kasus ini, hegemoni politik dan kekuasaan sengaja dikoptasi oleh para kyai
dan pemimpin adat, agar mereka tidak kehilangan reputasi mengenai perbedaan
waktu shalat pada masing-masing daerah penganut Wetu Telu, dapat digambarkan
sebagai berikut;
1. Kelompok Pujut, Rambitan dan Sapit.
Kelompok Pujut , pada mulanya mengerjakan shalat lima waktu sehari
semalam, dan menunaikan hampir semua anjuran shalat sunnat serta shalat
jum’at. Namun setelah penganut Wetu Telu Pujut terpecah manjadi dua
kelompok (Wetu Telu hitam dan Wetu Telu putih), kelompok Wetu Telu hitam,
meninggalkan cara ini dan bergabung dengan kelompok penganut Wetu Telu
Bayan, adapun Kelompok Rambitan dan Sapit, mereka hanya mengerjakan
shalat pada hari jum’at.Selain mereka mengerjakan shalat jum’at, mereka juga
mengerjakan shalat magrib dan isya. Sementara pada hari lainnya mereka
tidak shalat kecuali pada waktu hari raya IdulFitri, selain mengerjakan shalat
hari raya, pada hari ini juga mereka mengerjakan shalat ashar, yang tidak
dikerjakan pada hari-hari lainnya
2. Kelompok Bayan dan Lembuak Mengenai kelompok Lembuak
hampir sama dengan kelompok Bayan, di mana mereka tidak mengenal shalat
lima waktu para kyai hanya shalat dalam empat perkara:
a. Shalat Jum’at
b. Shalat Jenazah
c. Shalat hari raya Idhul Fitri
d. Dan beberapa shalat sunnat lain yang dikerjakan pada bulan-bulan tertentu
seperti tarawih (kendati tidak sama jumlah rakaat dan tata- caranya dengan
penganut Islam kebanyakan).
3. Kelompok Sembalun
Para kyai kelompok Sembalun hanya mengerjakan shalat dalam tiga waktu;
a. Shalat subuh dan shalat Idul Fitri setiap tanggal 1 Syawal
b. Shalat zuhur pada hari jum’at
c. Shalat ashar pada hari kamis.
Kelompok ini tidak mengerjakan shalat magrib dan isya’, tetapi mereka
mengerjakan shalat sunnat tarawih pada bulan Ramadhan dan shalat jenazah.
Pengnut Islam Wetu Telu mengklaim dirinya sebagai penganut agama Islam,
bahkan dapat dikatagorikan sebagi kelompok yang sangat penatik dalam
beragama, namun disisi lain masih memegang dan menganggap tradisi dan
juga adat istiadat yang diwarisi oleh leluhur sebagai bagian integral yang tak
terpisahkan dari pengamalan keagaman mereka. Padahal jika dirunut sistem
nilai yang mereka yakini memiliki banyak pertentangan dengan normatifitas
Islam. Jadi, teologi Islam Wetu Telu yang masih mempertahankan tradisi atau
adat istiadat, juga secara apresiatif merespon beberapa stimulan dan unsur-
unsur baru dari agama Islam (Islam Waktu Lima).
Kedua, Islam Wetu Telu bukan merupakan sebuah agama, dan tidak pula
sebagai salah satu paksi dalam Islam. Tetapi lebih tepat jika dikatakan bahwa
Wetu Telu adalah sebuah institusi keagaman yang berkembang dilingkungan
masyarakat Sasak Lombok sebagai sebuah singkretisasi keagamaan yang
mengakomodir transisi kepercayaan lokal, nilai-nilai Islam dan unsur-unsur
Hindu, yang terbentuk karna dilatarbelakangi oleh bebrapa faktor antara lain :
(1) Sinkretisme keagamaan
(2) Terputusnya Islamisasi (Stagnasi Dakwah) serta belum adanya program
perifikasi dari para mubalig muslim
(3) Hegemoni politik Dan Kekuasan.
(4) Eksklusifisme Adat dan Aristokerat, Lombok.
Mayoritas masyarakat Sasak adalah penganut varian waktu lima. Istilah “Islam
waktu lima” muncul sebagai pembanding dari lahirnya istilah “Islam Wetu Telu”. Varian
Islam waktu lima adalah varian Islam yang menjalankan ajaran agama sesuai Al-qur’an
dan Hadis Nabi terutama dalam masalah Akidah, Syari’ah Mu’amalah dan Akhlak.
Mereka melaksanakan rukun Islam dengan sempurna, seperti kewajiban shalat yang
lima waktu sehari semalam, yakni Shalat Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya, tanpa
mewakilkan kepada siapapun. Demikian pula halnya puasa, zakat dan haji. Menjelaskan
secara rinci kemajuan yang telah dicapai dari aktualisasi ajaran Islam waktu lima di
Lombok, sangatlah sulit khususnya sebelum abad ke-dua puluh masehi. Hal ini
disebabkan karena tidak ada atau kurangnya data. Memang, dalam bentuk lontar atau
babad disinggung tentang Islam, tetapi sebatas cerita tentang peristiwa yang terjadi pada
suatu kerajaan, bukan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan Islam berikut
aktualisasinya ajarannya secara spesifik. Penganut Islam waktu lima mayoritas
merupakan anggota masyarakat yang tergabung dalam beberapa organisasi sosial,
keagamaan. Organisasi sosial keagamaan yang terkenal dalam kalangan Islam waktu
lima adalah Nahdtaul Wathan (NW) dan Nahdatul Ulama (NU). Kedua organisasi ini
adalah pengikut Mazhab Syafi’i (Syafi’iyah) serta merupakan kelompok Ahlussunnah
Waljama’ah.
Pulau Lombok merupakan tempat tinggal suku Sasak. Mayoritas masyarakat di
sana menganut agama Islam. Namun, ada sebagian orang Islam Sasak yang memiliki
praktik keagamaan Islam tersendiri yang disebut Wetu Telu. Banyak orang mengartikan
istilah wetu telu atau waktu tiga merujuk pada praktik yang dilakukan komunitas di sana
untuk meringkas shalat yang lima waktu menjadi tiga waktu. Namun, istilah wetu telu
sendiri merujuk pada filosofi yang bermakna bahwa terdapat tiga hal penting yang
mewarnai setiap kehidupan di alam semesta. Misalnya, ada tiga jalan kemunculan
makhluk hidup, yaitu melahirkan (manganak), bertelur (menteluk), dan berbiji
(mentiuk). Filosofi ini berarti bahwa manusia harus menjaga keseimbangan dan
hubungan yang harmonis dengan alam. Alam sangat penting artinya bagi komunitas ini.
Sebab itu, ada berbagai macam aturan adat yang melarang tindakan merusak alam.
Kelestarian alam sangat dijaga oleh komunitas adat ini. Lalu ada tiga siklus
keberadaan manusia, yaitu alam rahim atau kandungan, alam dunia, dan alam akhirat.
Komunitas Wetu Telu percaya bahwa hidup pada dasarnya memiliki siklus dan
tingkatan yang dimulai dari kelahiran, beranak pinak, hingga kematian. Mereka
meyakini bahwa saat memasuki status atau tingkatan yang lebih tinggi, haruslah
dilaksanakan ritual tertentu yang dapat menghindarkan mereka dari gangguan-gangguan
hidup. Pandangan umum mengatakan adanya Islam Wetu Telu sebagai akibat dari para
penyebar Islam terdahulu yang ingin mengenalkan keislaman secara bertahap. Namun,
mereka meninggalkan Lombok sebelum mereka mengajarkan Islam dengan lengkap.
Akibatnya terjadi sinkretisme antara agama Islam dengan Hindu dan Buddha.
Pemahaman tersebut berkembang luas sehingga Wetu Telu mendapat stigma negatif.
Digambarkan bahwa mereka hanya shalat tiga waktu, bukan lima waktu seperti
yang seharusnya. Namun tudingan itu tidak berdasar. Orang Wetu Telu tetap
melaksanakan Rukun Islam dan Rukun Iman. Yang menjadi sumber pandangan negatif
adalah karena di samping melaksanakan tradisi Islam, mereka juga menjalankan adat
istiadat asli masyarakat Sasak. Jadi, istilah “Wetu Telu” bukan merujuk pada nama
agama atau kepercayaan tersendiri. Istilah ini merujuk pada filosofi masyarakat di sana
yang percaya bahwa hidup mencakup tiga hal penting, seperti masa lalu-sekarang-masa
depan atau kelahiran-kehidupan di dunia- kematian. Dengan demikian, istilah tiga waktu
tidak merujuk pada berapa kali mereka shalat dalam satuhari seperti yang banyak
dimengerti oleh kebanyakan orang. Islam Wetu Telu mempertahankan salah satu ciri
utama dari kepercayaan lokal yang tersebar di seluruh Nusantara, yaitu menonjolnya
peran leluhur dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Wetu Telu, kematian tidak
berarti pemisahan. Arwah- arwah para leluhur yang telah berpindah ke alam lain
tetap memiliki hubungan dengan anak-cucunya. Mereka berperan sebagai pelindung
dan pengayom, menjaga keturunannya dari marabahaya yang tidak diinginkan.
Salah satu contoh perbedaan wetu telu dan waktu lima di sini ketika proses
pemakaman jenazah dimana kiyainya menerapkan apa yang dia terima dari nenek
moyangnya seperti ketika proses membaca talkin, dibaca di awal dan di akhir saja.
Kemudian Pada pengangkatan kiyai dinobatkan oleh kiyai sepuh di rayakan dulu dengan
begawe besar atau pesta sampai potong sapi dan kambing kemudian dimandikan dan
basuh muka dibersihkan kemudian dinobatkan sebagai kiyai baru dan tidak boleh
berprilaku dalam kesehariannya seperti orang biasa. Umumnya, penganut Wetu Telu
tergolong masyarakat yang masih murni dan belum terpolarisasi dengan ide-ide
globalisasi maupun modern budaya mereka masih asli, belum terjamah kontemporer,
termasuk masyarakat yang masih suci batin dan perbuatannya, yang akan selalu
berbuat baik menurut adat istiadat nenek moyang dan leluhur mereka tidak suka
mencuri, berbohong dan berbagai macam perbuatan yang merugikan orang lain.
Mereka rata- rata lurus dan jujur, patuh kepada orang tua dan pemimpin mereka,
menghargai orang lain serta menghormati orang yang lebih tua. Berusaha menjaga
persahabatan dan memiliki kebutuhan yang sangat minim, serta punya rasa tanggung
jawab terhadap keluarga, kerabat dan tetangganya.
Kelompok Islam Wetu Telu yang basis sosial kulturalnya lebih terbuka dan lebih
awal terjangkau oleh pasilitas-pasilitas umum, pada umumnya lebih mudah terpolarisasi
oleh proses Islammisasi kedalam pelakasanan sariat Islam yang sempurna (kaffah).
kelompok ini mulai membuka diri untuk belajar menerima dan melaksanakan Islam
secara sempurna. Di tengah pergeseran-pergesaran yang terjadi memang sulit, berjalan
pasif dan kadang menimbulkan komplik itu dipahami karna komunitas ini tidak bisa
dipaksakan untuk secepatnya memeluk agama Islam secara sempurna. Komunitas Wetu
Telu yang mau menerima ide-ide moderen dan berfikir terbuka adalah mereka yang saat
ini sedang dalam masa teransisi. Perubahan sosial kultural dan etika pelaksanan sariat
agama Islam yang kontras dengan sebelumya memberikan jawaban bahwa pada
komunitas ini mengalami peralihan dekade, perpindahan zaman dan keyakinan.
Membuka lapangan kerja baru, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat
pada umumnya, mengabaikan perihal yang irasional dan bergerak menata hidup lebih
rasional. Hal ini bisa dibuktikan dengan semakin terkikisnya jumlah mereka yang
bertahan pada keyakinan semula dan semakin banyaknya jumlah mereka yang dengan
positif menyempurnakan keiIslaman mereka dengan menyempurnakan ajaran Islam
yang sebenarnya sesuai dengan yang dilakaukan oleh kelompok Islam wetu lima.
Terutama dari kalangan generasi muda yang lebih cepat berfikir terbuka dan lebih
rasional. beberapa faktor penting yang selama ini dipandang telah berfungsi sebagai
pendukung suksesnya progaram Islamisasi dan akulturasi nilai-nilai Islam kedalam
masyarakat yang masih menganut faham Islam Wetu Telu. Faktor-faktor tersebut antara
lain: peranan pendidikan dan keluarga, fungsi masjid dan mushalla, lembaga-lembaga
organisasi keIslaman, peranan pemerintah pengaruh mistisme (Tasawuf dan Tareqat),
pengaruh media, pengaruh seni dan budaya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Demikian mozaik dan warna Islam Wetu Telu di Bayan Lombok yang pada batas-batas
tertentu memiliki perbedaan tentang kepercayaan dan ritus keberagamaan. Bagi masyarakat
Wetu Telu Bayan, agama adalah memelihara tradisi parokial lokal dan sebuah identitas yang
berbeda dari tradisi besar yang diwakili oleh Waktu Lima, yang membawa tradisi ortodoksi
dan universalitas Islam. Dalam persepsi mereka menjalankan ritual keberagamaan berarti
mengikuti tradisi para leluhur yang dipraktekkan secara turun temuran.
Wacana Islam Wetu Telu dalam hal ini dapat diletakkan dalam kerangka Islam pribumi
atau Islam kultural, yaitu proses penghargaan pada tafsir lokal terhadap ajaran Islam dalam
manifestasi kehidupan. Penghargaan ini dapat dipahami jika memandang kebudayaan
sebagai sumber nilai yang dimaknai dengan tindakan konkret di ruang sosial. Islam Wetu
Telu dapat dipahami jika secara rela menjadikan Islam sebagai salah satu bagian dari ruang
heteroglosia yang secara alamiah membutuhkan yang nilai dari tradisi lain demi pengayaan
dan pendewasaan dirinya. Sebaliknya, tradisi adat Wetu Telu juga dapat menerima Islam
sebagai sebuah cermin bagi pengembangan dirinya ke arah yang lebih baik.
Demikian juga dengan norma-norma yang bersumber dari "kepercayaan Wetu Telu",
dapat didentifikasi melalui ritus-ritus sakral yang disampaikan melalui penuturan yang
bersifat lisan maupun tertulis dari berbagai kalangan, atau dari pengamatan lapangan atas
upacara-upacara singkat keagamaan yang dilakukan oleh komunitas masyarakat tersebut.
Perilaku aktual dari Wetu Telu ini dapat berupa pembacaan do'a secara bersama-sama
berupa sanjungan kepada leluhur yang diidentifikasi sebagai roh yang mempunyai kekuatan
ghaib, atau dapat berupa upacara sembahyang di masjid kuno Bayan dengan ritus-ritus
bernuansa magis, di bawah pimpinan Kiai dan para santrinya, selaku imam dan pelaksanaan
ibadah Islam Wetu Telu.
3.2 Saran
Banyak orang mengartikan istilah wetu telu atau waktu tiga merujuk pada praktik yang
dilakukan komunitas di sana untuk meringkas shalat yang lima waktu menjadi tiga waktu.
Pemahaman tersebut berkembang luas sehingga Wetu Telu mendapat stigma negatif.
Digambarkan bahwa mereka hanya shalat tiga waktu, bukan lima waktu seperti yang
seharusnya. Namun tudingan itu tidak berdasar. Orang Wetu Telu tetap melaksanakan
Rukun Islam dan Rukun Iman yang menjadi sumber pandangan negatif adalah karena di
samping melaksanakan tradisi Islam, mereka juga menjalankan adat istiadat asli masyarakat
Sasak. Perubahan sosial kultural dan etika pelaksanan sariat agama Islam yang kontras
dengan sebelumya memberikan jawaban bahwa pada komunitas ini mengalami peralihan
dekade, perpindahan zaman dan keyakinan. Membuka lapangan kerja baru, bersosialisasi
dan berkomunikasi dengan masyarakat pada umumnya, mengabaikan perihal yang irasional
dan bergerak menata hidup lebih rasional. Maka dari itu diperlukannya sumber dan bukti
akurat agar dapat dimengerti secara baik.

Anda mungkin juga menyukai