Tugas 1 : Jelaskan sejarah agama-agama yang ada di indonesia [lengkap dengan tahun-
tokoh dan ajarannya]
Agama di Indonesia
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal
ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila, pada sila pertama, “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Ideologi ini adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara
sekuler.[2] Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif
terhadap politik, ekonomi, dan budaya. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2018,
86,7% dari 267.670.543 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam (Indonesia merupakan
wilayah dengan penduduk muslim terbanyak di dunia[3]), 7,6% Kristen Protestan,
3,13% Kristen Katolik, 1,74% Hindu, 0,77% Buddha, 0,03% Konghucu, 0,04% agama
lainnya.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".Dalam Penetapan Presiden Nomor 1
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, negara secara
resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Konghucu. Belakangan, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) juga telah diakui sesuai
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik
antaragama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia
memainkan peranan penting dalam hubungan antarkelompok maupun
antargolongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah
konflik di wilayah timur Indonesia.
Sejarah
Sampai awal era Masehi, orang-orang Nusantara (suku bangsa
Austronesia serta bangsa Papua) menganut kepercayaan dan adat-istiadat kesukuan
asli.[10] Menurut sejarah, kelompok pendatang—dari subbenua
India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda—telah menjadi pendorong utama
[11]
keanekaragaman agama dan budaya di dalam negeri. Meskipun demikian, agama dan
budaya yang dibawa ini sudah berubah akibat beberapa modifikasi untuk menyesuaikan
dengan karakteristik Indonesia.
Agama Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan abad ke-4
Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatra, Jawa, dan Sulawesi dengan membawa
agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan
kasta Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada
abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi
kerajaan-kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit, dan Sailendra. Sebuah candi
Buddha terbesar di dunia, Borobudur, dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang
sama,
begitu pula dengan candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa,
Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam
sejarah Indonesia. Hinduisme memiliki pengaruh yang menentukan pada ideologi
pemerintahan satu orang Raja.
Sunni
Sekitar 98% umat Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni dari mazhab
Syafi'i dan sebagian mazhab-mazhab Sunni lainnya serta gerakan Salafiyah. Dua jurusan
Sunni yang utama ialah Islam Tradisionalis (misalnya ormas Nahdlatul 'Ulama)
dan Modernisme Islam (Muhammadiyah dan lain-lain). Terdapat
sejumlah tarekat dari Sufisme (Tasawuf). Di beberapa daerah, orang melanjutkan
kepercayaan lama mereka dan mengadopsi versi sinkretik Islam, misalnya kaum Abangan di
Jawa.
Syiah
Aliran Syiah memainkan peran penting dalam periode awal penyebaran Islam di Sumatra
Utara (Aceh). Kini, sisanya di atas 1% pengikut, yakni 1–3 juta orang, adalah penganut Syiah
mazhab Dua Belas Imam, yang berada di Sumatra, Jawa, Madura, dan Sulawesi, dan juga
mazhab Ismailiyah di Bali. Semisal di antara subsuku Hadhrami Arab-
Indonesia. Perkumpulan utamanya adalah Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI).
Ahmadiyyah
Terdapat sekitar 400 ribu (0,2%) pemeluk aliran Ahmadiyyah (“Jamaah Muslim Ahmadiyah
Indonesia”, JMAI) yang kehadirannya belakangan ini sering dipertanyakan. Ahmadiyyah di
Indonesia telah hadir sejak tahun 1925. Pada tanggal 9 Juni 2008, pemerintah Indonesia
mengeluarkan sebuah surat keputusan yang praktis melarang Ahmadiyah melakukan
aktivitasnya ke luar. Dalam surat keputusan itu dinyatakan bahwa Ahmadiyah dilarang
menyebarkan ajarannya.Dari Ahmadiyyah utama memisahkan diri “Gerakan Ahmadiyah-
Lahore Indonesia” (GAI) lebih kecil yang di Jawa sejak tahun 1924.
2. Kekristenan
Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC) pada
sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil
meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang
dengan sangat pesat pada abad ke-20 yang ditandai oleh kedatangan para misionaris
dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit
di Kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak
beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak
mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai warga negara. Sebagai hasilnya, gereja
Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota.
Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah.
Sebagai contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana
Toraja, Toraja Utara, Mamasa, Poso dan Sulawesi Utara (Kecuali Kabupaten Bolaang
Mongondow, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang
Mongondow Utara dan Kota Kotamobagu) . Sekitar 80% penduduk di Tana Toraja adalah
Protestan. Di beberapa wilayah, keseluruhan desa atau kampung memiliki sebutan berbeda
terhadap aliran Protestan ini, tergantung pada keberhasilan aktivitas para misionaris.
Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan,
yaitu Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, dengan persentase berurutan 70,48%, 63,60%,
dan 53,77% dari jumlah penduduk. Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik
oleh penduduk asli. Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat besar
beriringan dengan agama Islam. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke
Protestan pada sekitar abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk Suku
Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan sebagian Angkola) dan Nias di Sumatra
Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari
pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Saat ini, 7,6% dari
jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Protestan.
3. Kristen Katolik
Pada abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata
ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Kristen Katolik Roma di Sumatra
Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian
diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di
Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547,
pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu dan membaptiskan
beberapa ribu penduduk setempat.
Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan
kawasan Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan
menyebarkan agama Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama sejak VOC
berhasil mengusir Spanyol dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC pun mulai
menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi kedudukannya di Maluku. Selama masa VOC,
banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap. Belanda adalah negara
basis Protestan, dan penganut Katolik dianggap sebagai kaki-tangan Spanyol dan Portugis,
musuh politik dan ekonomi VOC. Karena alasan itulah VOC mulai menerapkan kebijakan
yang membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Yang paling terdampak adalah
umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara kini mayoritas adalah
penganut Protestan. Meskipun demikian umat Katolik masih bertahan menjadi mayoritas di
Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi
terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda dikalahkan oleh Prancis dalam era perang
Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut Katolik
diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang di Hindia
Belanda.
Agama Katolik mulai berkembang di Jawa Tengah ketika Frans van Lith menetap
di Muntilan pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat setempat. Mulanya
usahanya tidak membawa hasil yang memuaskan, hingga tahun 1904 ketika empat kepala
desa dari daerah Kalibawang memintanya menjelaskan mengenai Katolik. Pada 15 Desember
1904, sebanyak 178 orang Jawa dibaptis di Semagung, Muntilan, Magelang.
Pada tahun 2006, 3% dari penduduk Indonesia adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan
para penganut Protestan. Mereka kebanyakan tinggal di Papua dan Flores. Selain di Flores,
kantung Katolik yang cukup signifikan adalah di Jawa Tengah, yakni kawasan sekitar
Muntilan, Magelang, Klaten, serta Yogyakarta. Selain masyarakat Jawa, iman Katolik juga
menyebar di kalangan warga Tionghoa-Indonesia.
Di Indonesia, terdapat satu provinsi yang mayoritas penduduknya adalah penganut Katolik,
yaitu Nusa Tenggara Timur dengan persentase 54,14% dari populasi penduduk provinsi
tersebut.
Kristen Ortodoks
Pada abad ke-20 Gereja Ortodoks Timur hadir secara resmi dengan nama Gereja
Ortodoks Indonesia (GOI), dimana para imam Ortodoks di Indonesia berasal dari dua
kewilayahan, yaitu awalnya Gereja Ortodoks Yunani Kepatriarkan Konstantinopel dan
kemudian Gereja Ortodoks Rusia di Luar Rusia Kepatriarkan Moskow. Ketua umum Gereja
Ortodoks Indonesia adalah Arkimandrit Romo Daniel Bambang Dwi Byantoro, Ph.D. yang
adalah imam Indonesia pertama Gereja Ortodoks di Indonesia. Selain itu di Indonesia
ada Gereja Ortodoks Oriental, yakni kelompok Gereja Ortodoks Suryani dan Gereja Ortodoks
Koptik.
4. Hindu
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi,
bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan
sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram, dan Majapahit. Candi
Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti
Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang.
Periode ini, dikenal sebagai zaman Hindu-Buddha Nusantara, bertahan selama 16 abad
penuh.
Agama Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Sebagai contoh,
Hindu di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah
menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa epos keagamaan
Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan
Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam
bentuk wayang dan pertunjukan tari. Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi
kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Keyakinan Panca Srada.
Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan
semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding
kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait
dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu
di sini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan
kepercayaan.
Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2018 adalah 4,6 juta
orang, 1,74% dari jumlah penduduk Indonesia , merupakan nomor empat terbesar didunia ] .
Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia yang memberi suatu
perkiraan bahwa ada 10 juta orang Hindu. Kebanyakan mutlak penganut Hindu berada
di Bali dan bersatu dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Selain Bali juga
terdapat di Sumatra, Jawa (teristimewa kawasan Jabodetabek), Lombok, Kalimantan,
dan Sulawesi. yang juga memiliki populasi pendatang suku Bali cukup besar. Orang
Hindu Tamil dari suku India-Indonesia di Medan mewakili konsentrasi Hindu penting lain.
Di Kalimantan Tengah berada umat Hindu Kaharingan, agama asli suku Dayak yang
digabungkan ke dalam agama Hindu (tidak semua penganutnya setuju), pula ada Agama
Hindu Jawa suku Tengger, Hindu Tolotang suku Bugis, dan Aluk Todolo suku Toraja.
Agama Hindu Jawa telah terbentuk dengan cara yang berbeda sehingga lebih dipengaruhi
oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen.
Telah pula disajikan beberapa gerakan Neo-Vedanta/Neohindu antarabangsa, seperti
misalnya, Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna dan organisasi dari Sathya Sai Baba,
Chinmaya Mission, Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaja Yoga, dan Haidakhandi Samaj.
5. Buddha
Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba telah pada sekitar abad ke-
5 masehi atau sebelumnya dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama
melalui Jalur Sutra antara India dan Nusantara. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan
erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang
sama: kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Sejumlah warisan dapat ditemukan di
Indonesia, mencakup candi Borobudur dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha
yang lebih awal.
Pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu
Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia),
Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sanghyang Adi
Buddha dan satu aliran bersatu Buddhayana. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang
versi Buddha Indonesia pada masa lampau menurut naskah Jawa kuno dan bentuk candi
Borobudur. Di antara umat Buddhis Indonesia berada semua aliran Buddha
utama: Mahayana, Wajrayana, dan Therawada. Kebanyakan orang Tionghoa-
Indonesia mengikuti aliran yang sinkretis dengan kepercayaan Tiongkok,
yaini Tridharma dan juga Ikuanisme (Maytreya).
Menurut sensus nasional tahun 2000, kurang lebih dari 2% dari total penduduk
Indonesia beragama Buddha, sekitar 4 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha
berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra
Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat
agama Konghucu (hingga tahun 1998) dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di
Indonesia, sehingga dalam sensus diri mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha.
6. Konghucu
Agama Konghucu berasal dari Tiongkok daratan dan yang dibawa oleh para pedagang
Tionghoa dan imigran, diperkirakan sedari abad ke-3 Masehi. Berbeda dengan agama yang
lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas
daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir
dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial. [67] Pada tahun 1883
di Surabaya didirikan tempat ibadah Khonghucu — Boen Tjhiang Soe, dan kemudian
menjadi Boen Bio (Wen Miao). Pada tahun 1900 pemeluk Konghucu membentuk lembaga
Konghucu Khong Kauw Hwee. Dan Majelis Tinggi Agama Konghucu
Indonesia (MATAKIN) menjadi pada tahun 1955 di Surakarta.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh
beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan politis. Pada
1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di
mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. Pada awal tahun
1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKTHI), suatu organisasi Konghucu,
mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama
dan Konfusius adalah nabi mereka.
Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah
pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi
keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim
telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967,
mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta mengimbau orang
Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto mengetahui
bagaimana cara mengendalikan Tionghoa-Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari
populasi penduduk Indonesia, tetapi memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian
Indonesia. Pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan bahwa “Konghucu berhak
mendapatkan suatu tempat pantas di dalam negeri” di depan konferensi PKTHI.
Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan—menggantikan keputusan presiden tahun
1967—mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978,
Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak
termasuk Konghucu. Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan
kuat memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri
telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di
Indonesia.
Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure,
berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi
hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh
pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk
menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk
dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga
negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi.
Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman
Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No.
14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara
resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan
aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktikkan. Warga Tionghoa Indonesia dan
pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka. Seperti
agama lainnya di Indonesia yang secara resmi diakui oleh negara, maka Tahun Baru
Imlek telah menjadi hari libur keagamaan resmi.
Tugas 2 : bagaimana penekanan agama tentang relasi manusia dengan Allah dan relasi
manusia dengan manusia dan relasi manusia dengan alam semesta [sertakan dalil dari
masing-masing bagiannya]
1. Konsep Manusia dalam Perspektif al-Quran
Menurut Syati (1999), istilah manusia dalam al-Quran disebutkan dengan menggunakan
tiga kata, yaitu insân, ins, dan basyar. Ketika menggunakan kata basyar, yang dimaksudkan
al-Quran adalah anak turun Adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar.
Dimensi fisikal itulah yang membuat pengertian basyar mencakup anak keturunan Adam
secara keseluruhan. Kata basyar untuk menunjukkan sisi-sisi kemanusiaan para Rasul dan
Nabi. Artinya, para Rasul dan Nabi tersebut adalah manusia biasa seperti halnya manusia-
manusia lain. Mereka bukanlah mahluk yang diciptakan dengan unsur yang berbeda dengan
manusia biasa.
Mereka juga membutuhkan makan dan minum seperti yang lainnya. Kemudian kata
ins dan insân, dapat disimpulkan sebagai bentuk kata yang musytarak atau memiliki sisi
kesamaan makna. Keduanya berasal dari akar kata a-ns. Risalah makna yang dikandungnya
adalah kebalikan kata “liar”, yaitu “jinak”. Kedua kata tersebut, ins dan insân, meskipun
memiliki makna yang musytarak, juga memiliki perbedaan makna. Kata ins, selalu
disebutkan bersamaan dengan kata jin sebagai oposannya (Syati, 1999).
Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Quran dengan kata ins dalam
arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia
merupakan kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya bersifat metafisik. Metafisik itu
identik dengan “liar” atau “bebas” karena tidak mengenal ruang dan waktu. Dengan sifat
kemanusiaan itu, jelas sekali bahwa manusia berbeda dengan jenis-jenis mahluk lain yang
metafisis, asing, tidak berkembang biak seperti kita dan tidak hidup dengan cara hidup kita
(Syati, 1999).
Sedangkan makna manusia yang diungkapkan al-Quran dengan menggunakan kata
insân, tidak terletak pada dimensi yang selalu dioposisikan dengan jin. Risalah makna yang
terkandung di dalam penggunaan kata insân tersebut adalah ketinggian derajat manusia
sehingga menjadikannya layak untuk dijadikan khalifah dan mampu mengemban tugas-tugas
(taklîf) keagamaan dan memikul amanat (Syati, 1999). Maka dari itu, ia dianugerahi dengan
kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada mahluk selain dirinya. Di antara kelebihan-
kelebihan tersebut adalah diberi ilmu pengetahuan, dapat berbicara, dianugerahi akal dan
kemampuan untuk berpikir.
Semua kelebihan itu telah dirancang oleh Allah swt. dengan sangat teliti. Sehingga
dengan kemampuannya, dia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
mana yang indah dan mana yang jelek. Maka dari itu, dengan berbagai kelebihan tersebut,
manusia tidak akan tergelincir ke dalam hal-hal yang tidak baik jika dia mampu dan mau
mengoptimalkan potensi yang dianugerahkan kepadanya. Oleh sebab itulah, di dalam salah
satu ayatnya, Allah swt. berfirman.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Al-Ra’d
[13] :11)
Dalam menciptakan manusia, Allah swt. tidak menjadikannya dari satu materi saja. Dia
menciptakan manusia yang terdiri atas dua materi, yaitu jasad dan ruh atau dengan kata lain,
badan dan jiwa. Keduanya merupakan satu kesatuan yang membentuk pribadi manusia.
Kesatuan keduanya menentukan keutuhan pribadi manusia (Sihotang, 2009). Dalam al-Quran
hal ini juga dijelaskan secara nyata dan transparan.
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air
yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-
Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur” (QS Al-Sajdah [32] :7- 9)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku
akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan
telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud” (QS Al-Hijr [15] : 28-29).
Kedua ayat di atas jelas sekali memberi gambaran bahwa manusia terdiri dari unsur
materi dan ruhani. Maka dari itu, dalam Islam tidak diajarkan materialisme. Islam
menggabungkan antara kehidupan materialis dan spiritualis, mengakui adanya kehidupan
yang material dan mengimani kehidupan yang imaterial yang tercermin dalam kepercayaan
akan adanya Tuhan, malaikat, hari ahir dan lain sebagainya. Di samping itu, Islam mengakui
bahwa setelah kehidupan yang fana di dunia ini, masih ada kehidupan yang lebih kekal dan
abadi, yaitu kehidupan di alam akhirat kelak.