Anda di halaman 1dari 36

Mengenal Perbedaan Agama

di Indonesia
APR 30 2014
TATYANA ANDREEVA
PESERTA BEASISWA SENI DAN BUDAYA INDONESIA (BSBI) 2014

Gereja Protestan di Bogor. Foto: penulis


 1




Saya tahu bahwa Indonesia adalah sebuah negara


yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi
orang yang memeluk agama lain pasti juga ada.
Sebagai contoh, di pulau Flores mayorias penduduk beragama Kristen.
Apalagi, ada orang Kristen di Sulawesi Utara, di mana mayoritas penduduk
Kristen Protestan. Di Bali, tentu saja, hampir semua orang memeluk agama
Hindu.

Sulit Bangun Masjid, Tantangan Terbesar Muslim di Rusia

Saya bisa melihat bahwa ada kehormatan kepada agama-agama lain di


Indonesia. Misalnya, di desa kami , ada gereja Katolik dan gereja Protestan,
di mana layanan diadakan secara reguler.

Saya ada kesempatan untuk mengunjungi gereja Protestan bersama dengan


salah satu teman sekelas saya dari Indonesia, namanya Grandy, dia berasal
dari Manado, dan ia adalah orang Protestan.

Sebelum berangkat, saya bertanya baju apa yang harus saya pakai. Di Rusia,
mayoritas penduduk memeluk agama Kristen Ortodoks, dan kalau kita pergi
ke gereja, semua perempuan harus memakai rok panjang dan menutup kepala
dengan semacam jilbab, sedangkan laki-laki harus lepaskan penutup kepala
dan memakai celana panjang.
https://id.rbth.com/blogs/2014/04/30/mengenal_perbedaan_agama_di_indonesia_23697
Agama di Indonesia
From Wikipedia

Accuracy Spot checked


Jump to navigationJump to search

Agama di Indonesia (2010)[1]

  Islam (87%)

  Kristen (7%)

  Katolik (3%)

  Hindu (1.7%)

  Buddha (0.7%)

  Konghucu (0.05%)

  Agama lainnya/Tidak terjawab (0.45%)

Peta penyebaran agama di Indonesia berdasarkan hasil sensus 2010.


Salat Idulfitri di Masjid Istiqlal, Jakarta, masjid terbesar di Asia Tenggara.

Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah
kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler. Sejumlah agama di Indonesia
berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya.[2][3][4][5] Menurut hasil Sensus
Penduduk Indonesia 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam
(Nusantara merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia[6]), 6,96% Kristen,
2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya, dan
0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.[1]

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan
untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan
untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya".[7] Dalam Penetapan Presiden No 1
Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, bagaimanapun,
secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan
Khonghucu.[8] Baru-baru ini, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui pula sesuai
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017.[9][10]

Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar
agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan
peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi
secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.[11]

Contents

 1Sejarah
 2Enam agama utama
o 2.1Islam
o 2.2Kekristenan
 2.2.1Kristen Protestan
 2.2.2Kristen Katolik
 2.2.3Kristen Ortodoks
o 2.3Hindu
o 2.4Buddha
o 2.5Konghucu
 3Agama-agama asli
o 3.1Saminisme
 4Agama dan kepercayaan lainnya
o 4.1Yahudi
o 4.2Baha'i
o 4.3Sikhisme
o 4.4Jainisme
o 4.5Gerakan agama baru
 5Hubungan antar agama
 6Daftar kepribadian agama
 7Lihat pula
 8Catatan kaki
 9Kepustakaan
 10Pranala luar

Sejarah[edit | edit source]

Jalur Sutra, yang menghubungkan antara India dan Indonesia.

Candi Prambanan — kecandian Hindu agung di Jawa Tengah, abad ke-9.

Berdasar sejarah, kelompok pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama
dan budaya di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan
Belanda.[12] Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk
menyesuaikan budaya di Indonesia.
Agama Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan abad ke-4 Masehi
ketika pedagang dari India datang ke Sumatra, Jawa dan Sulawesi dengan membawa agama
mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan kasta
Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut
lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-kerajaan kaya,
seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra. Sebuah candi Buddha terbesar di dunia,
Borobudur, telah dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan
candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit,
terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.[13]

Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 melalui pedagang di Gujarat, India,[12] sementara
ilmuwan juga mempertahankan teori dari Arab dan Persia.[14] Islam menyebar sampai pantai barat
Sumatra dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa
kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M,
20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.[15]

Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan
Timor.[16][17]

Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan
pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian
Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa
Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai
Borneo, kaum misionaris pun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatra juga menjadi target para
misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi
pemeluk Protestan.[18][17]

Periode Orde Lama Sukarno (dari tahun 1945 hingga 1965) adalah gangguan antara agama dan
negara.[19] Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru.
Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan
beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk pada abad ke-
20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung
PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu
agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis.[20][21] Sebagai hasilnya, tiap-tiap
warganegara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan
agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan
sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu
bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke
Kristen atau Buddha.[21]

Enam agama utama[edit | edit source]

Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan


Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh
penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu
Cu (Confusius)".[8]
Islam[edit | edit source]

Peta persebaran umat Islam di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.

Artikel utama: Islam di Indonesia

Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh.

Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia,[22][6] dengan 87,18%
dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam.[1] Mayoritas muslim dapat dijumpai di
wilayah barat Indonesia (seperti di Jawa dan Sumatra) hingga wilayah pesisir Pulau Kalimantan.
Sedangkan di wilayah timur Indonesia, persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat.[23]
[24]

Sejarah Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan


kesempurnaan tersebut kedalam kultur. Pada abad ke-13, sebagian besar pedagang orang Islam
dari Gujarat, India tiba di pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan (misalnya, sekitar tahun 1297
telah ada jemaah di Peureulak, Aceh Timur). Hindu yang dominan beserta kerajaan Buddha,
seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah
agama ke Islam.[15] Dalam jumlah yang lebih kecil, banyak penganut Hindu yang berpindah ke
Bali, sebagian Jawa dan Sumatra. Dalam beberapa kasus, ajaran Islam di Indonesia dipraktikkan
dalam bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan Islam daerah Timur Tengah.[25][26]

Sunni
Kebanyakan mutlak, sekitar 98% umat Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni dari
mazhab Syafi'i dan sebagian mazhab-mazhab Sunni lainnya[27][24] serta gerakan Salafiyah[28]. Dua
jurusan Sunni utrama ialah Islam Tradisionalis (semisal, ormas Nahdlatul 'Ulama) dan
Modernisme Islam (Muhammadiyah, dan lain-lain).[27] Berada sejumlah tarekat dari Sufisme
(Tasawuf).[29] Di beberapa daerah, orang melanjutkan kepercayaan lama mereka dan mengadopsi
versi sinkretik Islam, umpamanya kaum Abangan di Jawa.[30]

Syiah

Artikel utama: Islam Syiah di Indonesia

Aliran Syiah memainkan peran penting dalam periode awal penyebaran Islam di Sumatra Utara
(Aceh).[31] Kini, sisanya, di atas 1% pengikut, yakni 1—3 juta orang, adalah Syiah mazhab Dua
Belas Imam, Islam Syiah di Indonesia berada di Sumatra, Jawa, Madura, dan Sulawesi, dan juga
mazhab Ismailiyah di Bali.[32] Semisal di antara subsuku Hadhrami Arab-Indonesia[33].
Perkumpulannya utama yalah “Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia” (IJABI).[34]

Ahmadiyyah

Artikel utama: Ahmadiyyah di Indonesia

Ada pula sekitar 400 ribu (0,2%) pemeluk aliran Ahmadiyyah (“Jamaah Muslim Ahmadiyah
Indonesia”, JMAI) yang kehadirannya belakangan ini sering dipertanyakan. Ahmadiyyah di
Indonesia telah hadir sejak tahun 1925.[35] Pada tanggal 9 Juni 2008, pemerintah Indonesia
mengeluarkan sebuah surat keputusan yang praktis melarang Ahmadiyah melakukan aktivitasnya
ke luar. Dalam surat keputusan itu dinyatakan bahwa Ahmadiyah dilarang menyebarkan
ajarannya.[36] Dari Ahmadiyyah utama memisahkan diri “Gerakan Ahmadiyah-Lahore Indonesia”
(GAI) lebih kecil yang di Jawa sejak tahun 1924.[35]

Kekristenan[edit | edit source]

Artikel utama: Kekristenan di Indonesia

Kekristenan, yakni Gereja Asiria Timur beraliran Nestorianisme telah hadir di Nusantara di
Sumatra Utara pada abad ke-7.[37] Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm) Prof. Dr. Sucipto
Wirjosuprapto. Fakta ini dapat dimengerti dengan penelitian dan rentetan berita dan kesaksian
yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam
sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku
"Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di
luarnya". yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di
Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Dengan terus
dilakukan penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat mengambil kesimpulan kota
Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatra
Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri
sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik di Indonesia,
seri 1, diterbitkan oleh KWI).
Kristen Protestan[edit | edit source]

Artikel utama: Kristen Protestan di Indonesia

Peta persebaran umat Kristen Protestan di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.

Pemakaman seorang kepala suku Kristen di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi (1971). Rumah didekorasi
dengan salinan lukisan Perjamuan Terakhir oleh Leonardo da Vinci.

Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC) pada sekitar
abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan
jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat
pada abad ke-20 yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah
di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. Pada 1965,
ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang
yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai
warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota.[38][39][40][17]
[41]

Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai


contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana Toraja dan
Sulawesi Utara. Sekitar 80% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. Di beberapa wilayah,
keseluruhan desa atau kampung memiliki sebutan berbeda terhadap aliran Protestan ini,
tergantung pada keberhasilan aktivitas para misionaris.[42]

Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua,
Sulawesi Utara, dan Papua Barat, dengan persentase berurutan 65,48%, 63,60%, dan 53,77%
dari jumlah penduduk.[1] Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk
asli. Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat besar beriringan dengan
agama Islam. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan pada sekitar
abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk Suku Batak di Sumatra Utara menjalankan
beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang
beragama Islam juga mulai berdatangan.[38][17][43][42] Saat ini, 6,69% dari jumlah penduduk Indonesia
adalah penganut Protestan.[1]

Kristen Katolik[edit | edit source]


Peta persebaran umat Kristen Katolik di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.

Artikel utama: Gereja Katolik di Indonesia

Gereja Katedral Jakarta.

Pada abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata ada
kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Kristen Katolik Roma di Sumatra Selatan.
Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa
Spanyol yang berdagang rempah-rempah.[16][17][44]

Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di
Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547,
pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu dan membaptiskan
beberapa ribu penduduk setempat.[45]

Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan kawasan
Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan menyebarkan agama
Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama sejak VOC berhasil mengusir Spanyol
dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk
melindungi kedudukannya di Maluku. Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama
Katolik Roma yang ditangkap. Belanda adalah negara basis Protestan, dan penganut Katolik
dianggap sebagai kaki-tangan Spanyol dan Portugis, musuh politik dan ekonomi VOC. Karena
alasan itulah VOC mulai menerapkan kebijakan yang membatasi dan melarang penyebaran
agama Katolik. Yang paling terdampak adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan
Timor. Di Sulawesi Utara kini mayoritas adalah penganut Protestan. Meskipun demikian umat
Katolik masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas
di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda
dikalahkan oleh Prancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik
Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama
Katolik bebas berkembang di Hindia Belanda.[44][41]

Agama Katolik mulai berkembang di Jawa Tengah ketika Frans van Lith menetap di Muntilan
pada 1896 dan menyebarkan iman Katolik kepada rakyat setempat. Mulanya usahanya tidak
membawa hasil yang memuaskan, hingga tahun 1904 ketika empat kepala desa dari daerah
Kalibawang memintanya menjelaskan mengenai Katolik. Pada 15 Desember 1904, sebanyak 178
orang Jawa dibaptis di Semagung, Muntilan, Magelang.[46]

Pada tahun 2006, 3% dari penduduk Indonesia adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan para
penganut Protestan. Mereka kebanyakan tinggal di Papua dan Flores. Selain di Flores, kantung
Katolik yang cukup signifikan adalah di Jawa Tengah, yakni kawasan sekitar Muntilan,
Magelang, Klaten, serta Yogyakarta. Selain masyarakat Jawa, iman Katolik juga menyebar di
kalangan warga Tionghoa-Indonesia.[47]

Di Indonesia, terdapat satu provinsi yang mayoritas penduduknya adalah penganut Katolik, yaitu
Nusa Tenggara Timur dengan persentase 54,14% dari populasi penduduk provinsi tersebut.[1]

Kristen Ortodoks[edit | edit source]

Lihat pula: Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental

Pada abad ke-20 Gereja Ortodoks Timur hadir secara resmi dengan nama Gereja Ortodoks
Indonesia (GOI), dimana para imam Ortodoks di Indonesia berasal dari dua kewilayahan, yaitu
awalnya Gereja Ortodoks Yunani Kepatriarkan Konstantinopel dan kemudian Gereja Ortodoks
Rusia di Luar Rusia Kepatriarkan Moskow. Ketua umum Gereja Ortodoks Indonesia adalah
Arkimandrit Romo Daniel Bambang Dwi Byantoro, Ph.D. yang adalah imam Indonesia pertama
Gereja Ortodoks di Indonesia. Selain itu di Indonesia ada Gereja Ortodoks Oriental, yakni
kelompok Gereja Ortodoks Suryani dan Gereja Ortodoks Koptik.[48]

Hindu[edit | edit source]


Peta persebaran umat Hindu di Indonesia berdasarkan sensus th. 2010.

Artikel utama: Hindu di Indonesia

Lihat pula: Agama Hindu Bali dan Agama Hindu Jawa

Seorang perempuan Hindu Bali sedang menempatkan sesajian di tempat suci keluarganya.

Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan
waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan
Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram, dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang
dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke
16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai zaman Hindu-
Buddha Nusantara, bertahan selama 16 abad penuh.[49]

Agama Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia.[50][51] Sebagai contoh, Hindu di
Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan
sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran
Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para
pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari.
Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum,
kebanyakan adalah Lima Keyakinan Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha
Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan
hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan
reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek
moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu di sini lebih memusatkan pada seni dan upacara
agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan.[50][52]

Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2010 adalah 4 juta orang, 1,7%
dari jumlah penduduk Indonesia,[1] merupakan nomor empat terbesar. Namun jumlah ini
diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia yang memberi suatu perkiraan bahwa ada 10
juta orang Hindu.[53] Kebanyakan mutlak penganut Hindu berada di Bali dan bersatu dalam
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Selain Bali juga terdapat di Sumatra, Jawa
(teristimewa kawasan Jabodetabek), Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. yang juga memiliki
populasi pendatang suku Bali cukup besar. Orang Hindu Tamil dari suku India-Indonesia di
Medan mewakili konsentrasi Hindu penting lain.[53]

Di Kalimantan Tengah berada umat Hindu Kaharingan, agama asli suku Dayak yang
digabungkan ke dalam agama Hindu (tidak semua penganutnya setuju),[54], pula ada Agama
Hindu Jawa suku Tengger,[55] Hindu Tolotang suku Bugis,[56], dan Aluk Todolo suku Toraja[57].

Agama Hindu Jawa telah terbentuk dengan cara yang berbeda sehingga lebih dipengaruhi oleh
versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen.[30]

Telah pula disajikan beberapa gerakan Neo-Vedanta/Neohindu antarabangsa, seperti misalnya,


Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna dan organisasi dari Sathya Sai Baba,[53] Chinmaya
Mission, Brahma Kumaris, Ananda Marga, Sahaja Yoga, dan Haidakhandi Samaj.[58]

Buddha[edit | edit source]

Artikel utama: Agama Buddha di Indonesia

Peta persebaran umat Buddha di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.


Bhikku Buddha melaksanakan puja bakti di Borobudur

Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba telah pada sekitar abad ke-5 masehi
atau sebelumnya dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur
Sutra antara India dan Nusantara. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah
Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama: kerajaan Sailendra,
Sriwijaya dan Mataram. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi
Borobudur dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal.[49]

Pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan
(monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin
Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sanghyang Adi Buddha dan satu
aliran bersatu Buddhayana. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia
pada masa lampau menurut naskah Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.[59][60]

Di antara umat Buddhis Indonesia berada semua aliran Buddha utama: Mahayana, Wajrayana,
dan Therawada. Kebanyakan orang Tionghoa-Indonesia mengikuti aliran yang sinkretis dengan
kepercayaan Tiongkok, yaini Tridharma dan juga Ikuanisme (Maytreya).[61]

Menurut sensus nasional tahun 2000, kurang lebih dari 2% dari total penduduk Indonesia
beragama Buddha, sekitar 4 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta,
walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra Utara dan Kalimantan Barat. Namun,
jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat agama Konghucu (hingga tahun 1998) dan
Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia, sehingga dalam sensus diri mereka
dianggap sebagai penganut agama Buddha.[62][63]

Konghucu[edit | edit source]

Artikel utama: Konfusianisme di Indonesia


Peta persebaran umat Khonghucu di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010.

Agama Konghucu berasal dari Tiongkok daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa
dan imigran, diperkirakan sedari abad ke-3 Masehi. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu
lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik
melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan
hidup atau pergerakan sosial.[64] Pada tahun 1883 di Surabaya didirikan tempat ibadah Khonghucu
— Boen Tjhiang Soe, dan kemudian menjadi Boen Bio (Wen Miao). Di tahun 1900 pemeluk
Konghucu membentuk lembaga Konghucu Khong Kauw Hwee. Dan Majelis Tinggi Agama
Konghucu Indonesia (MATAKIN) menjadi pada tahun 1955 di Surakarta.[63][65]

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh
beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan politis. Pada 1965,
Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana
agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. Pada awal tahun 1961,
Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKTHI), suatu organisasi Konghucu, mengumumkan
bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama dan Confucius adalah nabi mereka.[62][66][65]

Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah
pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi keuntungan
dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim telah didukung
oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur
Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta mengimbau orang Tionghoa untuk mengubah
nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto mengetahui bagaimana cara mengendalikan
Tionghoa-Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari populasi penduduk Indonesia, tetapi
memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian Indonesia. Pada tahun yang sama, Soeharto
menyatakan bahwa “Konghucu berhak mendapatkan suatu tempat pantas di dalam negeri” di
depan konferensi PKTHI.[66][65]

Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan—menggantikan keputusan presiden tahun 1967—
mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri
Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk
Konghucu.[66][65] Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan kuat
memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah
dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di Indonesia.
[62]
Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure,
berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi hukum
yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh pemerintah dan
pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk menjaga
kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk dalam kartu
tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di
Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi.[66][65]

Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih
menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan
Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama
di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan
untuk dipraktikkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk
melaksanakan ajaran dan tradisi mereka. Seperti agama lainnya di Indonesia yang secara resmi
diakui oleh negara, maka Tahun Baru Imlek telah menjadi hari libur keagamaan resmi.[63][62]

Agama-agama asli[edit | edit source]


Artikel ini adalah bagian dari seri

Agama asli Nusantara

Sumatra

Parmalim • Pemena • Arat Sabulungan • Pelebegu • Melayu

Jawa

Sunda Wiwitan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme

Nusa Tenggara

Hindu Bali • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu

Kalimantan
Kaharingan • Momolianisme

Sulawesi

Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi •


Masade

Maluku dan Papua

Naurus • Wor • Asmat

Organisasi

Portal «Agama»

 l
 b
 s

Artikel utama: Agama asli Nusantara

Lihat pula: Daftar organisasi penghayat kepercayaan Indonesia dan Mitologi Indonesia

Sejumlah agama nenek moyang (aliran kepercayaan bangsa Austronesia) yang berdominasi di
seluruh Nusantara sebelum masuk agama-agama asing. Beberapa dari mereka masih hidup
sebagai yang murni atau telah sinkretis, yaitu agama:

 Parmalim;
 Pemena;
 Sunda Wiwitan (Djawa Sunda, Buhun);
 Kejawen;
 Saminisme;
 Kaharingan;
 Aluk Todolo;
 Tolotang;
 Marapu;
 Naurus, dan lainnya.[67][68]

Jumlah tak resmi penghayat kepercayaan di Indonesia adalah hingga 20 juta orang.[10]
Agama nenek moyang berisi animisme, kepercayaan terhadap benda mati yang mana, suatu
kepercayaan terhadap objek tertentu, seperti pohon, padi, batu atau orang-orang. Kepercayaan ini
telah ada dalam sejarah Indonesia yang paling awal, di sekitar pada abad pertama, tepat sebelum
Hindu tiba Indonesia. Lagipula, dua ribu tahun kemudian, dengan keberadaan Islam, Kristen,
Hindu, Buddha, Konghucu dan agama lainnya, penyembah benda mati masih tersisa di beberapa
wilayah di Indonesia. Penyembah benda mati, pada sisi lain tidak percaya akan dewa tertentu.[12]

Aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) telah diakui sesuai dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi RI tertanggal 7 November 2017 dengan No. 97/PUU-XIV/2016, ditegaskan bahwa
putusan perintah tentang Administrasi Kependudukan untuk mengosongkan kolom KTP dan
dokumen kependudukan lain bagi penduduk yang “agamanya belum diakui sebagai agama”
maupun kelompok "Kepercayaan", bertentangan dengan Konstitusi, yakni kelompok-kelompok
penghayat kepercayaan kini dapat mencantumkan nama “penghayat kepercayaan” dalam
dokumen kependudukan mereka.[9][10]

Saminisme[edit | edit source]

Artikel utama: Ajaran Samin

Gerakan Samin, para pengikut Samin Surosentiko yang menolak pandangan kapitalis dari
penjajah Belanda untuk gaya hidup sederhana, didirikan di Jawa Utara-Tengah pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20.[69]

Agama dan kepercayaan lainnya[edit | edit source]

Beberapa agama dan kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia, yaitu: Sikhisme; Jainisme;
Yahudi; Baha'i; Taoisme serta kepercayaan tradisional Tionghoa; dan yang gerakan agama baru,
seumpama Teosofi.[70]

Yahudi[edit | edit source]

Artikel utama: Yahudi di Indonesia

Pendirian Yahudi awal di Nusantara berasal dari Portugal dan Spanyol (subsuku Sefardim) pada
abad ke-17. Di abad ke-19 orang Yahudi dari Belanda, German dan India datang untuk
berdagang rempah dan tinggal di Jakarta, Semarang (subsuku Yahudi Ashkenazi), dan Surabaya
(Sefardim dan Mizrakhi Baghdadi). Pada tahun 1945, terdapat sekitar 2 ribu Yahudi Belanda di
Indonesia. Pada tahun 1957, dilaporkan masih ada sekitar 450 orang Yahudi, terutama Ashkenazi
di Jakarta dan Sefardim di Surabaya. Komunitas ini berkurang menjadi 50 pada tahun 1963. Pada
tahun 1997, hanya terdapat 20 orang Yahudi, beberapa berada di Jakarta dan sedikit keluarga
Baghdadi di Surabaya.[71][72]

Yahudi di Surabaya pernah memiliki sinagoge (tempat ibadat). Mereka hanya melakukan sedikit
hubungan dengan Yahudi di luar Indonesia. Tidak ada pelayanan yang diberikan pada sinagoge.
Sinagoge ini telah ditutup oleh umat Muslim yang menentang Perang Gaza 2008–2009.[73] Satu-
satunya sinagoge yang masih tersisa terletak di kota Tondano, Sulawesi Utara, yang dihadiri oleh
sekitar 10 orang beraliran Yahudi Ortodoks (kelompok Yudaisme Hasidut dari Chabad-
Labavitch).[73][72]

Di Indonesia saat ini telah dibentuk "The United Indonesian Jewish Community–Gabungan
Masyarakat Yahudi dan Turunan Ibrani Indonesia" (UIJC) oleh komunitas keturunan Yahudi
Indonesia semua aliran. Organisasi ini sudah dibentuk sejak tahun 2009, tetapi baru diresmikan
pada Oktober 2010. UIJC ini dipimpin oleh keluarga Verbrugge. Menurut sumber dari UIJC saat
ini keturunan Yahudi di Indonesia yang sudah diketahui hampir mendekati 2 ribuan orang. Yang
sudah terdeteksi 500-an, tersebar hampir merata di seluruh Indonesia.[72]. Dan pada 2015, pusat
resmi Yahudi pertama oleh rabi Tovia Singer, "Beit Torat Chaim" di Jakarta, diresmikan oleh
Kementerian Agama.[74]

Baha'i[edit | edit source]

Lihat pula: Baha'i

Di Indonesia hadir 22 ribu 115 orang pemeluk agama baru Baha'i pada tahun 2005.[75] Berapa
jumlah mereka sebenarnya tidak diketahui dengan pasti karena seringkali mereka mengalami
tekanan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya.[76]

Sejak 2014, keadaannya telah membaik dalam rencana Pemerintah untuk kemungkinan
pengakuan agama ini (ada pendapat yang salah tentang sudah diadakan pengakuan resmi Baha'i
pada tahun 2014).[77][78]

Sikhisme[edit | edit source]

Artikel utama: Sikhisme di Indonesia

Migrasi kaum Sikh ke Indonesia mulai sejak th 1870-an (kaum menjaga serta pedagang). Ada
beberapa gurdwara (tempat ibadah) dan sekolahnya di Sumatra dan Jawa, semisal gurdwara di
Medan yang dibangun pada tahun 1911. Pada tahun 2005 didirikan “Majelis Tinggi Agama Sikh
Indonesia” (Matasi). Berjumlah sekira 7 ribu orang (atau 10—15 ribu[53]), Sikh tidak termasuk
dalam enam agama yang diakui di Indonesia, para penganut Sikh mengisi kolom agama pada
KTP mereka dengan kata “Hindu”.[79]

Terlepas dari Sikhisme ortodoks di Indonesia mewakili juga gerakan reformis Sikh Radha Soami
Satsang Beas (RSSB).[80]

Jainisme[edit | edit source]

Di Jakarta ada kelompok kecil agama kuno Jain — “Jain Social Group Indonesia (JSG
Indonesia)” di antara kaum India-Indonesia.[81]

Gerakan agama baru[edit | edit source]


Gerakan-gerakan agama baru yang paling terkenal di Indonesia adalah: Perhimpunan Teosofi,[82]
Meditasi Transcendental,[83] Falun Gong,[53] dan berasal dari Indonesia Komunitas Eden[53][84].

Hubungan antar agama[edit | edit source]

Walaupun Pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama
kadang-kadang tidak terelakkan. Pada masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundang-
undangan yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto
mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan
agama.[62][85] Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan
memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet. Namun pada
awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah menjadi dua kelompok,
nasionalis dan Islam.[86][87][21]

Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan oleh
pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini adalah untuk
memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang
lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini
mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura,
yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia
kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah
timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam,
terjadinya konflik antar agama dan ras di wilayah timur Indonesia, seperti kasus kerusuhan
Kepulauan Maluku dan kerusuhan Poso.[88]

Pada tahun 2007—2012 ada serangan dari kaum Sunni terhadap masjid dan rumah-rumah Syiah
dan Ahmadiyyah.[89][90][36] Untuk mencegah hal ini terjadi di masa depan, pada tahun 2011,
khususnya, didirikan Mejlis Sunni dan Syiah (MUHSIN).[91]

Pemerintah telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan pengusulan
kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan
ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut.[92] Pada 6
Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama:
Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”. Negara-negara yang hadir di dalam konferensi
itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur, Selandia Baru dan Papua
Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama antar kelompok agama
berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di Indonesia.[92]

Daftar kepribadian agama[edit | edit source]


Pemimpin Kitab Tempat Hari Libur Hari Agama
Agama Pelaksanaan Ibadah
Umat Suci Ibadah Nasional Nasional

Islam Ustadz Al Quran Masjid Idul Fitri Nuzulul Qur'an Satu hari lima kali
Kyai Musholla Idul Adha Ramadan
Gus Tahun Baru Shalat Jum'at
Hijriyah Nisfu Sya'ban
Maulid Nabi Idul Fitri
Habib
Langgar Muhammad Idul Adha
Syekh
SAW Tahun Baru
Isra dan Mi'raj Hijriyah

Natal

Epifani

Transfigurasi
Kristus

Rabu Abu
(Calvinis,
Lutheran)

Minggu Palma

Kamis Putih
Kristen Kelahiran (Calvinis, Minggu (Sabtu bagi
Pendeta
Protestan Yesus Kristus Lutheran, Adventist)
Wafatnya Methodist)
Gereja Yesus Kristus
Alkitab Jumat Agung
Kapel Kebangkitan
Yesus Kristus
Sabtu Suci
Kenaikan
Yesus Kristus
Minggu Paskah

Kenaikan Yesus
Kristus

Pentakosta

Tritunggal Maha
Kudus
Romo
Pastor Perayaan Ekaristi
Kristen Lih. Hari raya wajib
Uskup harian dan mingguan
Katolik (Katolik)
Kardinal (wajib dihadiri)
Paus

Hindu Sulinggih Weda Pura Nyepi Deepavali Satu hari tiga kali
Pedanda Galungan
Kuningan
Saraswati
Siwaratri
Pandita
Pagerwesi
Thaipusam
Holi

Biksu
Dhammaduta Waisak Setiap hari & setiap
Pandita Kathina puja tanggal 1, 8, 15, dan
Buddha Tripitaka Wihara Waisak
Bhante Asadha puja 23 penanggalan
Rinpoche Magha Puja Chandra Sengkala
Lama

Cap Go Meh
Jing Tian Gong
(Khing Thi Kong)
Kong Harlah Khong Hu
Xueshi Sishu
Miao Cu Tanggal 1 dan 15 Yinli
Khonghucu Wenshi Wujing Imlek
Litang Hari Wafat Khong /Imlek, Minggu
Jiaosheng Xiao Jing
Klenteng Hu Cu
Qing Ming
Duan Wu
Dong Zhi

Lihat pula[edit | edit source]

 Indonesia
 Kebudayaan Indonesia
 Islam di Indonesia
 Kekristenan di Indonesia
 Agama Hindu di Indonesia
 Agama Buddha di Indonesia
 Konfusianisme di Indonesia
 Agama asli Nusantara

Catatan kaki[edit | edit source]

1. ^ a b c d e f g "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut". Jakarta: Badan Pusat Statistik.
15 Mei 2010. Diakses tanggal 20-10-2011.
2. ^ Intan 2006, hlm. 40.
3. ^ Lindsey; Pausacker 1995.
4. ^ Hosen 2005, hlm. 419–440.
5. ^ Seo 2013, hlm. 44.
6. ^ a b Gross 2016, hlm. 1.
7. ^ "Undang-undang Dasar 1945". Diakses tanggal 02-10-2006.
8. ^ a b Hosen 2005, hlm. 419–440; Shah 2017; Marshall 2018, hlm. 85–96.
9. ^ a b Sutanto, Trisno S. (26 April 2018). "Dekolonisasi Masyarakat Adat: Catatan dari Seminar PGI".
Program study agama dan lintas budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Diakses tanggal
28-02-2019.
10. ^ a b c Marshall 2018, hlm. 85–96.
11. ^ "Transmigration". Prevent Conflict. April 2002. Diakses tanggal 13-10-2006.
12. ^ a b c Shaw, Elliott, ed. (28 November 2016). "Indonesian Religions". PHILTAR. Diakses tanggal 02-
03-2019.
13. ^ Mantra 1958; Kinney; Klokke; Kieven 2003; Levenda 2011; Domenig 2014; Sukamto 2018.
14. ^ Azra 2006, hlm. 10–25.
15. ^ a b Amrullah 1982; Atjeh 1971; Hasymi 1981; Husain 2017; Laffan 2015; Ricklefs 2006; Ricklefs
2007; Ricklefs 2013; Saifullah 2010.
16. ^ a b Boelaars 2005.
17. ^ a b c d e Aritonang; Steenbrink 2008.
18. ^ Goh 2005.
19. ^ Intan 2006, hlm. 44–50.
20. ^ Geertz 1972, hlm. 62–84.
21. ^ a b c Bertrand 2004, hlm. 34–104.
22. ^ Frederick, William H.; Worden, Robert L., eds. (1993). Indonesia: A Country Study. Washington,
DC. Chapter Islam.
23. ^ Azra 2006, hlm. 31–42.
24. ^ a b Husain 2017.
25. ^ Geertz 1982.
26. ^ Mufid 2006.
27. ^ a b Mehden 1995.
28. ^ Hasan 2007; Solahudin 2011; Hauser-Schäublin; Harnish 2014, hlm. 144–161; Krismono 2017;
Baskara 2017.
29. ^ Bruinessen 1992; Kraus 1997, hlm. 169–89; Howell 2001, hlm. 701–29; Mufid 2006; Sidel 2006;
Mulyati 2010; Laffan 2015.
30. ^ a b Geertz 1982; Headley 2004; Hefner 1989; Mufid 2006; Muhaimin 2006; Picard; Madinier
2011, hlm. 71–93; Rasjidi 1967; Ricklefs 2006.
31. ^ Atjeh 1971, hlm. 32.
32. ^ Ali 1994–95, hlm. 67–93; Atjeh 1977; Hasymy 1983; Ida 2016, hlm. 194–215; Zulkifli 2011.
33. ^ Jacobsen, Frode (2009). Hadrami Arabs in Present-day Indonesia. Taylor & Francis. hlm. 19–.
ISBN 978-0-415-48092-5.
34. ^ Zulkifli 2011, hlm. 197.
35. ^ a b Burhani 2014, hlm. 143–44.
36. ^ a b Rahman 2014, hlm. 418–20.
37. ^ Aritonang 1995, hlm. 11.
38. ^ a b Cooley 1968.
39. ^ Goh 2005, hlm. 80.
40. ^ Aritonang 1995.
41. ^ a b Frederick; Worden. (1993). Chapter Christianity.
42. ^ a b "Indonesia — (Asia)". Reformed Online. Diakses tanggal 07-10-2006.
43. ^ Rodgers 1981.
44. ^ a b Steenbrink 2003.
45. ^ Vermander, Benoit. "Francis Xavier and Asia: the road to cultural inventiveness". Academic
director of Taipei Ricci Institute. International Study Commission. Diakses tanggal 07-10-2006.
46. ^ Steenbrink 2007.
47. ^ Steenbrink 2015.
48. ^ Popov 2017, hlm. 42–45.
49. ^ a b Mantra 1958; Kinney; Klokke; Kieven 2003, hlm. 17–20; Levenda 2011; Domenig 2014;
Sukamto 2018.
50. ^ a b Frederick; Worden. (1993). Chapter Hinduism.
51. ^ Lansing 1987, hlm. 45–49.
52. ^ Belo 1960; Geertz 1973; Goris 1974; Hooykaas 1974; Howe 2001; Lansing 1987, hlm. 45–49;
Ramstedt 2004; Stuart-Fox 2010; Swellengrebel 1960; Swellengrebel 1969.
53. ^ a b c d e f "International Religious Freedom Report 2008. Indonesia". US Department of State.
Diakses tanggal 31-03-2014.
54. ^ Metcalf 1987; Rousseau 1998; Schärer 1963; Winzeler 1993.
55. ^ Hefner 1989.
56. ^ Matthes 1872; Pelras 1987, hlm. 560–61.
57. ^ Budiman 2013; Nooy-Palm 1979; Nooy-Palm 1986; Nooy-Palm 1987, hlm. 565–67.
58. ^ Popov 2017, hlm. 78–82.
59. ^ Kimura 2003, hlm. 53–72.
60. ^ Frederick; Worden. (1993). Chapter Buddhism.
61. ^ Brown 1987, hlm. 108–17; Brown 1990; Cheu 1999; Hauser-Schäublin; Harnish 2014, hlm. 84–
112; Kimura 2003, hlm. 53–72; Syryadinata 2005, hlm. 77–94; Syukur 2010, hlm. 105–38.
62. ^ a b c d e Syukur 2010, hlm. 105–138.
63. ^ a b c Syryadinata 2005, hlm. 77–94.
64. ^ Cheu 1999.
65. ^ a b c d e Chambert-Loir 2015, hlm. 67–107.
66. ^ a b c d Yang 2005.
67. ^ Budiman 2013; Ensiklopedi kepercayaan 2006; Geertz 1960; Koentjaraningrat 1987, hlm. 559–
63; Maria; Limbeng 2007; Matthes 1872; Metcalf 1987, hlm. 290–92; Nooy-Palm 1979; Nooy-Palm 1986;
Pelras 1987, hlm. 560–61.
68. ^ Popov 2017, hlm. 96–104; Rodgers 1981; Rodgers 1987, hlm. 81–83; Rousseau 1998; Schärer
1963; Winzeler 1993.
69. ^ Benda; Castles 1969, hlm. 207-240.
70. ^ Popov 2017, hlm. 105–113.
71. ^ Klemperer-Markman, Ayala. "The Jewish Community of Indonesia". Museum of the Jewish
People at Beit Hatfutsot. Diakses tanggal 15-12-2006.
72. ^ a b c Popov 2017, hlm. 109.
73. ^ a b Onishi, Norimitsu (22 November 2010). "In Sliver of Indonesia, Public Embrace of Judaism".
The New York Times. Diakses tanggal 23-11-2010.
74. ^ Serebryanski, Yossi (28 August 2015). "Jews of Indonesia and Papua New Guinea". The Jewish
Press. Diakses tanggal 19-06-2016.
75. ^ "Most Baha'i Nations (2005)". The ARDA Association of Religion Data Archives. Diakses tanggal
12-02-2019.
76. ^ "Agama Baha'i Bukan Sekte Dalam Islam". ANTARA News. 6 November 2007. Diakses tanggal
28-02-2019.
77. ^ Nurish, Amanah (8 August 2014). "Welcoming Baha'i: New official religion in Indonesia". The
Jakarta Post. Diakses tanggal 21-02-2014.
78. ^ Pedersen, Lene (2016). "Religious Pluralism in Indonesia". The Asia Pacific Journal of
Anthropology. 17 (5: Special Issue: Communal Peace and Conflict in Indonesia: Navigating Inter-religious
Boundaries): 387–398.
79. ^ Kahlon 2016.
80. ^ Popov 2017, hlm. 110–111.
81. ^ Popov 2017, hlm. 108.
82. ^ Popov 2017, hlm. 112–113.
83. ^ Popov 2017, hlm. 81.
84. ^ Popov 2017, hlm. 103–104.
85. ^ Effendi, Wahyu (28 Juni 2004). "Pembaruan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi
di Indonesia". Diakses tanggal 13-10-2006.
86. ^ Lidde 1996, hlm. 613–634.
87. ^ Lindsey 1995.
88. ^ Lindsey; Pausacker 1995; Bertrand 2004, hlm. 34–104; Pringle 2010, hlm. 143–57; Crouch 2013;
Duncan 2013.
89. ^ Zulkifli 2011.
90. ^ Ida 2016, hlm. 194–215.
91. ^ "RI Sunni-Shia Council established". The Jakarta Post. 21 May 2011. Diakses tanggal 31-03-
2019.
92. ^ a b Embassy of Republic of Indonesia at Canberra, Australia (6 Desember 2004). Transcript of
Joint Press Conference Indonesian Foreign Minister, Hassan Wirajuda, with Australian Foreign Minister,
Alexander Downer. Siaran pers.

Kepustakaan[edit | edit source]


dalam bahasa Indonesia

 Ali, Wan Zailan Kamaruddin Wan (1994–95). "Aliran Syi'ah di Nusantara: perkembangan.
Pengaruh dan Kesan". Sejarah: Jurnal Jabatan Sejarah Universiti Malaya. 3 (3): 67–93.
doi:10.22452/sejarah.vol3no3.4. ISSN 1985-0611.
 Amrullah, Abdul Malik Karim (1982) [1963]. Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah
Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Panjimas.
 Anwar, Rosihan (1971). Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia. Jakarta: Kartika Tama.
 Aritonang, Jan S. (Pdt. Dr. Jan S. Aritonang) (1995). Berbagai aliran di dalam dan di sekitar
gereja. Singapore: BPK Gunung Mulia. ISBN 978-979-415-796-1.
 Atjeh, Aboebakar (Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh) (1971). Sekitar Masuknya Islam di Indonesia.
Semarang: Ramadhani.
 Atjeh, Aboebakar (Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh) (1977). Aliran Syiah di Nusantara. Jakarta:
Islamic Research Institute.
 Boelaars, Huub J. W. M. (Dr. Huub J. W. M. Boelaars, OFM Cap.) (2005) [1991]. Indonesianisasi,
dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia [Indonesianisasi, Het
omvormingsproces van de katholieke kerk in Indonesiё tot de Indonesische katholieke kerk].
Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-21-0844-0.
 Bruinessen, Martin van (1992). Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: survei historis, geografis,
dan sosiologis. Bandung: Mizan.
 Catatan singkat tentang organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
[Jakarta]: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997Proyek Inventarisasi Kepercayaan
Terhadap Tuhan, Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
 Ensiklopedi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (edisi ke-4). Jakarta: Direktorat
Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2010. ISBN 978-979-16071-1-7.
 Geertz, Clifford (1982) [1960]. Abangan, santri, priyayi: dalam masyarakat Jawa [Religion of
Java]. Jakarta: Pustaka Jaya. OCLC 23574765.
 Goris, Roelof (1974). Sekte-sekte di Bali. Jakarta: Bhratara.
 Hafidy, H.M. As'ad El (1977). Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
 Hasymi, Ali (1981). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Al Ma’arif’.
 Hasymi, Ali (1983). Syi’ah dan Ahlussunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal
Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu.
 Heuken, Adolf (Adolf Heuken, S.J.) (2004–2006). Ensiklopedi gereja. 9 jilid. Jakarta: Yayasan Cipta
Loka Caraka. ISBN 9799722950.
 Husain, Sarkawi B. (Dr. Sarkawi B. Husain, M.Hum) (2017). Sejarah Masyarakat Islam Indonesia.
Surabaya: Airlangga University press. ISBN 978-602-6606-47-1.
 Krismono (2017). "Salafisme di Indonesia: Ideologi, Politik Negara, dan Fragmentasi" (PDF).
Millah: Jurnal Studi Agama. Universitas Islam Indonesia. 16 (2): 173–202.
doi:10.20885/millah.vol16.iss2.art2.
 Laffan, Michael (Prof.) (2015) [2011]. Sejarah Islam di Indonesia [The Makins of Indonesian
Islam: orientalism and the narration of a Sufi past]. Yogyakarta: Bentang. ISBN 978-602-291-058-
9.
 Mantra, Ida Bagus (1958). Pengertian Siva–Buddha Dalam Sejarah Indonesia. Malang: t.p.
 Maria, Siti; Limbeng, Julianus (2007). Marapu di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan
Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
 Mufid, Ahmad Syafi'i (2006). Tangklukan, abangan, dan tarekat: kebangkitan agama di Jawa.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-593-5.
 Mulyati, Sri (Dr. Hj. Sri Mulyati, MA) (2010). Peran Edukasi Tarekat Qadariyyah Naqsabandiyyah
Dengan Referensi Utama Suryalaya. Jakarta: Kencana. ISBN 978-979-1486-73-6.
 Popov, Igor (Dr. Igor Popov, LLM) (2017). Buku rujukan semua aliran dan perkumpulan agama di
Indonesia. Singaraja: Toko Buku Indra Jaya.
 Rasjidi, H.M. (1967). Islam dan Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang.
 Ricklefs, Merle Calvin (2013) [2012]. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan
penentangnya dari 1930 sampai sekarang [Islamisation and its opponents in Java: A political,
social, cultural and religious history, c. 1930 to the present]. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
ISBN 978-9790244085.
 Saifullah (Dr. H. Saifullah, SA, MA) (2010). Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8764-68-1.
 Saksono, Ign. Gatut (2007). Paranormal. Peran dan Tanggung Jawab Moralnya. Yogyakarta:
Yayasan Pustaka Nusantara.
 Sastroatmodjo, Suryanto (1952). Masyarakat Samin Blora. Jakarta: Penerbit Central Jawa.
 Solahudin (2011). NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
ISBN 979-373-195-8.
 Stuart-Fox, David J. (2010) [2002]. Pura Besakih: Pura, agama, dan masyarakat Bali [Pura
Besakih: Temple, religion and society in Bali]. Denpasar; Jakarta: Pustaka Larasan; Udayana
University Press; KITLV-Jakarta. ISBN 978-979-3790-36-7.
 Subagiasta, I Ketut (2009). Reformasi Agama Hindu Dalam Perubahan Sisial Di Bali 1950-1959.
Surabaya: Pāramita. ISBN 978-979-722-805-7.
 Sukamto (2018). Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara: Masa Hindu-Buddha Sampai
Sebelum Masuknya Portugis. Yogyakarta: Deepublish. ISBN 978-602-475-476-1.
 Syukur, Abdul (2010). "Keterlibatan etnis Tionghoa dan agama Buddha: Sebelub dan Sesudah
Reformasi 1998". Dalam Wibowi, I.; Lan, Thung Ju. Setelah air mata kering: masyarakat
Tionghoa pasca-peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas. hlm. 105–38. ISBN 978-979-709-472-0.

dalam bahasa Inggris

 Abuza, Zachary (2007). Political Islam and Violence in Indonesia. London; New York: Routledge.
ISBN 978-0-415-39401-7.
 Aritonang, Jan Sihar; Steenbrink, Karel, ed. (2008). A History of Christianity in Indonesia. Leiden;
Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-17026-1.
 Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation.
Bandung: Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8.
 Bakker, Frederik Lambertus (1993). The Struggle of the Hindu Balinese Intellectuals:
Developments in Modern Hindu Thinking in Independent Indonesia. Amsterdam: VU University
Press. ISBN 978-9053832219.
 Beatty, Andrew (1999). Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account. Cambridge:
Cambridge University Press. ISBN 0-521-62444-4.
 Belo, Jane (1960). Trance in Bali. New York: Columbia University Press.
 Benda, Harry J.; Castles, Lance (1969). "The Samin Movement". Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia. 125 (2): 207–40.
ISSN 2213-4379.
 Bertrand, Jaques (2004). Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge
University Press. ISBN 0-521-52441-5. OCLC 237830260.
 Brown, Iem (1987). "Contemporary Indonesian Buddhism and Monotheism". Journal of
Southeast Asian Studies. 18 (1): 108–17.
 Brown, Iem (1990). "Agama Buddha Maitreya: A Modern Buddhist Sect in Indonesia". Southeast
Asian Anthropology (9).
 Budiman, Michaela (2013). Contemporary Funeral Rituals of Sa'dan Toraja: From Aluk Todolo to
"New" Religions. Prague: Charles University in Prague. ISBN 978-80-246-2228-6.
 Buehler, Michael (2016). The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and the State in
Democratizing Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-13022-7.
 Burhani, Ahmad Najib (2014). "The Ahmadiyya and the Study of Comparative Religion in
Indonesia: Controversies and Influences" (PDF). Islam and Christian–Muslim Relations. 25 (2):
141–58. doi:10.1080/09596410.2013.864191.
 Burhanudin, Jajat; Dijk, Kees van, ed. (2013). Islam in Indonesia. Contrasting Images and
Interpretations. Amsterdam: Amsterdam University Press.
 Chambert-Loir, Henri (April 2015). "Confucius Crosses the South Seas". Indonesia. Southeast Asia
Program Publications at Cornell University. 99: 67–107. doi:10.5728/indonesia.99.0067.
ISSN 2164-8654.
 Cheu, Hock Tong (1999). Chinese Beliefs and Practices in Southeast Asia: Studies on the Chinese
Religion in Malaysia, Singapore and Indonesia. Singapore: Pelanduk Publications. ISBN 978-
9679784527.
 Cooley, Frank L. (1968). Indonesia: Church and Society. New York: Friendship Press. ISBN 978-
0377180215.
 Crouch, Melissa (2013). Law and Religion in Indonesia: Conflict and the Courts in West Java.
London: Routledge. ISBN 978-0415835947.
 Domenig, Gaudenz (2014). Religion and Architecture in Premodern Indonesia: Studies in Spatial
Anthropology. Leiden; Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-27400-6.
 Duncan, Christopher R. (2013). Violence and Vengeance: Religious Conflict and Its Aftermath in
Eastern Indonesia. Ithaca; London: Cornell University Press. ISBN 978-0-8014-7913-7.
 Epton, Nina Consuelo (1974). Magic and Mysticism in Java (edisi ke-revised). London: Octagon
Press. ISBN 978-0900860393.
 Federspiel, H. (1970). Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth century Indonesia. Ithaca,
NY: Cornell University Modern Indonesia Project.
 Fox, James J. (1996). Auger, Timothy, ed. Indonesian Heritage: Religion and ritual. Indonesian
Heritage Series. Vol. 9. Singapore: Archipelago Press. ISBN 978-9813018587.
 Fox, Richard (2011). Critical Reflections on Religion and Media in Contemporary Bali. Leiden;
Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-17649-2.
 Geels, Antoon (1997). Subud and the Javanese mystical tradition. Richmond, Surrey: Curzon
Press. ISBN 0-7007-0623-2.
 Geertz, Clifford (1960). Religion of Java. Glencoe, IL: Free Press.
 Geertz, Clifford (1968). Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia.
Chicago; London: University of Chicago Press. ISBN 0-226-28511-1.
 Geertz, Clifford (1972). "Religious Change and Social Order in Soeharto's Indonesia". Asia. 27:
62–84.
 Geertz, Clifford (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York: Basic Books.
ISBN 9780465097197.
 Goh, Robbie B. H. (2005). Christianity in Southeast Asia. Singapore: ISEAS: Institute of Southeast
Asian Studies. ISBN 9812302972.
 Goris, Roelof (1931). The Island of Bali; Its Religion and Ceremonies. Amsterdam: Royal Packet
Navigation Company.
 Gross, L. Max (2016). A Muslim archipelago: Islam and Politics in Southeast Asia. Washington,
D.C.: National Defense Intelligence College. ISBN 978-1-932946-19-2.
 Hasan, Noorhaidi (2007). "The Salafi Movement in Indonesia: Transnational Dynamics and Local
Development". Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East. Duke University
Press. 27 (1): 83–94. doi:10.1215/1089201x-2006-045. ISSN 1089-201X.
 Hauser-Schäublin, Brigitta; Harnish, David D., ed. (2014). Between Harmony and Discrimination.
Negotiating Religious Identities within Majority-minority Relationships in Bali and Lombok.
Leiden; Boston: BRILL. ISBN 978-90-04-27125-8.
 Headley, Stephen C. (2004). Durga's Mosque: Cosmology, Conversion And Community in Central
Javanese Islam. Singapure: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-230-242-5.
 Hefner, Robert W. (1989). Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton, NJ: Princeton
University Press. ISBN 0-691-09413-6.
 Hooykaas, Christiaan (1974). Cosmogony and Creation in Balinese Tradition. The Hague:
Martinus Nijhoff. ISSN 0067-8023.
 Hosen, Nadirsyah (2005). "Religion and the Indonesian Constitution: A Recent Debate". Journal
of Southeast Asian Studies. 36 (3): 419–40.
 Howe, Leo (2001). Hinduism & Hierarchy in Bali. Oxford: James Currey. ISBN 978-0852559147.
 Howell, Julia Day (2001). "Sufism and the Indonesian Islamic Revival". The Journal of Asian
Studies. 60 (3): 701–29. doi:10.2307/2700107.
 Ida, Achmah (2016). "Cyberspace and Sectarianism in Indonesia: The Rise of Shia Media and
Anti-Shia Online Movements" (PDF). Jurnal Komunikasi Islam. Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya. 6 (2): 194–215. ISSN 2088-6314.
 Intan, Benyamin Fleming (2006). "Public religion" and the Pancasila-based state of Indonesia: an
ethical and sociological analysis. New York: Peter Lang. ISBN 978-0-8204-7603-2.
 Kahlon, Swarn Singh (2016). "Chapter 5. Sikhs in Indonesia". Sikhs in Asia Pacific: Travels among
the Sikh Diaspora from Yangon to Kobe. New Delhi: Manohar Publisher. ISBN 978-9350981207.
 Kimura, Bunki (2003). "Present Situation of Indonesian Buddhism: In Memory of Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita Mahasthavira" (PDF). Nagoya Studies in Indian Culture and Buddhism: Sambhasa
(23): 53–72.
 Kinney, Ann R.; Klokke, Marijke J.; Kieven, Lydia (2003). Worshiping Siva and Buddha: The
Temple Art of East Java. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0824827793.
 Kipp, Rita Smith (1993). Dissociated Identities: Ethnicity, Religion, and Class in an Indonesian
Society. Ann Arbor, Mich.: University of Michigan Press. ISBN 978-0472104123.
 Koentjaraningrat, R. M. (1987). "Javanese Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of
Religion. 7. New York: MacMillan. hlm. 559–63. ISBN 0029094801.
 Kraus, Werner (1997). "Transformations of a Religious Community: The Shattariyya Sufi
Brotherhood in Aceh". Dalam Kuhnt-Saptodewo, Sri; Grabowsky, Volker; Großheim, Martin.
Nationalism and Cultural Revival in Southeast Asia: Perspectives from the Centre and Region.
Wiesbaden: Harrassowitz Verlag. hlm. 169–89. ISBN 3-447-03958-2.
 Kroef, Justus M. van der (1961). "New Religious Sects in Java". Far Eastern Survey. 30 (2): 18–25.
doi:10.2307/3024260.
 Lansing, J. Stephen (1987). "Balinese Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of
Religion. 2. New York: MacMillan. hlm. 45–49. ISBN 0029094801.
 Levenda, Peter (2011). Tantric Temples: Eros and Magic in Java. Newburyport, MA: Ibis
Press/Nicolas-Hays, Inc. ISBN 978-089254-169-0.
 Lidde, R. William (1996). "The Islamic Turn in Indonesia: A Political Explanation". Journal of Asian
Studies. 55 (3): 613–34. doi:10.2307/2646448.
 Lindsey, Tim; Pausacker, Helen, ed. (1995). Religion, Law and Intolerance in Indonesia. London;
New York: Routledge. ISBN 978-0-7914-2025-6.
 Marshall, Paul (2018). "The Ambiguities of Religious Freedom in Indonesia". The Review of Faith
& International Affairs. 16 (1): 85–96. doi:10.1080/15570274.2018.1433588.
 McDaniel, June (2010). "Agama Hindu Dharma Indonesia as a New Religious Movement:
Hinduism Recreated in the Image of Islam". Nova Religio: The Journal of Alternative and
Emergent Religions. 14 (1): 93–111.
 Mehden, Fred R. von der (1995). "Indonesia". Dalam Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia
of the Modern Islamic World: 4-volume Set. 2. New York; Oxford: Oxford University Press.
ISBN 0-19-506613-8.
 Melton, J. Gordon; Baumann, Martin, ed. (2010). "Indonesia". Religions of the world: a
comprehensive encyclopedia of beliefs and practices. 4 (edisi ke-2). Santa Barbara; Denver;
Oxford: ABC-Clio. ISBN 978-1-59884-203-6.
 Metcalf, Peter (1987). "Bornean Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. 2.
New York: MacMillan. hlm. 290–92. ISBN 0029094801.
 Muhaimin, Abdul Ghoffir (2006). The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among
Javanese Muslims. Canberra: ANU E Press. ISBN 1-920942-30-0.
 Mulder, Niels (1998). Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Amsterdam: Pepin Press.
ISBN 978-9054960478.
 Nooy-Palm, Hetty (1979). The Sa’dan-Toraja: A study of their social life and religion. I:
Organization, symbols and beliefs (PDF). The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 90-247-2274-8.
 Nooy-Palm, Hetty (1986). The Sa’dan-Toraja: A study of their social life and religion. II: Rituals of
the East and West. Leiden; Boston: BRILL. ISBN 978-90-67-65207-0.
 Nooy-Palm, Hetty (1987). "Toraja Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion.
14. New York: MacMillan. hlm. 565–67. ISBN 0029094801.
 Pedersen, Lene (2006). Ritual and World Change in a Balinese Princedom. Durham: Carolina
Academic Press. ISBN 978-1594600227.
 Pelras, Christian (1987). "Bugis Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. 2.
New York: MacMillan. hlm. 560–61. ISBN 0029094801.
 Picard, Michel; Madinier, Rémy, ed. (2011). The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism,
Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali. London; New York: Routledge. ISBN 978-
979-709-472-0.
 Putten, Jan van der; Cody, Mary Kilcline, ed. (2009). Lost Times and Untold Tales from the Malay
World. Singapore: NUS Press. ISBN 978-9971-69-454-8.
 Pringle, Robert (2010). Understanding Islam in Indonesia: Politics and Diversity. Singapore:
Editions Didier Millet. ISBN 978-981-4260-09-1.
 Rahman, Fatima Zainab (2014). "State restrictions on the Ahmadiyya sect in Indonesia and
Pakistan: Islam or political survival?". Australian Journal of Political Science. 49 (3): 408–22.
doi:10.1080/10361146.2014.934656.
 Ramstedt, Martin, ed. (2004). Hinduism in Modern Indonesia: A minority religion between local,
national, and global interest. London; New York: RoutledgeCurzon. ISBN 0-7007-1533-9.
 Ricklefs, Merle Calvin (2006). Mystic synthesis in Java: A history of Islamisation from the
fourteenth to the early nineteenth centuries. White Plains, NY: EastBridge. ISBN 978-
1891936616.
 Ricklefs, Merle Calvin (2007). Polarising Javanese society: Islamic and other visions c. 1830–1930.
Singapore; Leiden; Honolulu: NUS Press; KITLV Press; University of Hawai’i Press. ISBN 978-9971-
69-346-6.
 Rodgers, Susan (1981). Adat, Islam, and Christianity in a Batak Homeland. Athens, Ohio: Ohio
University. ISBN 978-0896801103.
 Rodgers, Susan (1987). "Batak Religion". Dalam Eliade, Mircea. The Encyclopedia of Religion. 2.
New York: MacMillan. hlm. 81–83. ISBN 0029094801.
 Rofe, H. (1959). The Path of Subud. London: Rider.
 Rousseau, Jérôme (1998). Kayan Religion: Ritual Life and Religious Reform in Central Borneo.
Leiden: KITLV Press. ISBN 978-9067181327.
 Sai, Siew-Min; Hoon, Chang-Yau, ed. (2013). Chinese Indonesians Peassessed. History, Religion
and Belonging. London; New York: Routledge.
 Sandkühler, Evamaria (2014). "Popularisation of Religious Traditions in Indonesia — Historical
Communication of a Chinese Indonesian Place of Worship". Dalam Schlehe, Judith; Sandkühler,
Evamaria. Religion, Tradition and the Popular. Transcultural Views from Asia and Europe.
Bielefeld: transcript. hlm. 157–84. ISBN 978-3-8376-2613-1.
 Saran, Syam, ed. (2018). Cultural and Civilisational Links between India and Southeast Asia:
Historical and Contemporary Dimensions. Singapore: Palgrave McMillan. ISBN 978-981-10-7316-
8.
 Schärer, Hans (1963) [1946]. Ngaju Religion: The Conception of God among a South Borneo
People. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 978-90-04-24799-4.
 Schiller, Anne (1996). Schieman, Scott, ed. "An "Old" Religion in "New Order" Indonesia: Notes
on Ethnicity and Religious Affiliation" (PDF). Sociology of Religion. Oxford University Press. 57 (4):
409–17. doi:10.2307/3711895. ISSN 1759-8818. OCLC 728290653.
 Schlehe, Judith (2014). "Translating Traditions and Transcendence: Popularised Religiosity and
the Paranormal Practitioners' Position in Indonesia". Dalam Schlehe, Judith; Sandkühler,
Evamaria. Religion, Tradition and the Popular. Transcultural Views from Asia and Europe.
Bielefeld: transcript. hlm. 185–201. ISBN 978-3-8376-2613-1.
 Schlehe, Judith (2019). "Cosmopolitanism, Pluralism and Self-Orientalisation in the Modern
Mystical World of Java". Asian Journal of Social Science. 47 (3): 185–201.
 Schröter, Susanne, ed. (2010). Christianity in Indonesia. Perspectives of power. Southeast Asian
Modernities, 12. Berlin: Lit. ISBN 9783643107985.
 Seo, Myengkyo (2013). State Management of Religion in Indonesia. London; New York:
Routledge. ISBN 978-0-415-51716-4.
 Shah, Dian A. H. (2017). Constitutions, Religion and Politics in Asia: Indonesia, Malaysia and Sri
Lanka. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-18334-6.
 Sidel, John T. (2006). Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell
University Press. ISBN 978-0801473272.
 Sievers, A. (1974). The Mystical World of Indonesia. Baltimore; London: Johns Hopkins University
Press. ASIN B000Q1LA8E.
 Stange, Paul (1980). The Sumarah movement in Javanese mysticism. Thesis (Ph.D.) University of
Wisconsin-Madison (PDF).
 Steenbrink, Karel (2003). Catholics in Indonesia: A documented history 1808–1942. Vol. 1: A
modest recovery 1808–1903. Leiden: KITLV Press. ISBN 90-6718-141-2.
 Steenbrink, Karel (2007). Catholics in Indonesia: A documented history 1808–1942. Vol. 2: The
Spectacular Growth of a Self Confident Minority, 1903–1942. Leiden: KITLV Press. ISBN 90-6718-
260-5.
 Steenbrink, Karel (2015). Catholics in Independent Indonesia: 1945–2010. Leiden; Boston: BRILL.
ISBN 978-90-04-28513-2.
 Swellengrebel, J. L., ed. (1960). Bali: Studies in Life, Thought, and Ritual. The Hague: W. van
Hoeve. ASIN B00ET0VF56Selected studies on Bali by Dutch scholars
 Swellengrebel, J. L., ed. (1969). Bali: Further Studies in Life, Thought, and Ritual. The Hague: W.
van Hoeve. ASIN B0010P1VU2Selected studies on Bali by Dutch scholars
 Syryadinata, Leo (2005). "Buddism and Confucianism in Contemporary Indonesia: Recent
Developments". Dalam Lindsey, Tim; Pausacker, Helen. Chinese Indonesians: Remembering,
Distorting, Forgetting. Singapore: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 77–94.
ISBN 981-230-303-0.
 Winzeler, Robert L., ed. (1993). The Seen and the Unseen: Shamanism, Mediumship and
Possession in Borneo. Williamsburg, Va.: Borneo Research Council. ISBN 978-0962956812.
 Woodward, Mark (1989). Islam in Java: Normative Piety and Misticism in the Sultanate of
Yogyakarta. Tucson: University of Arizona Press.
 Woodward, Mark (2011). Java, Indonesia and Islam. Dordrecht: Springer.
 Yang, Heriyanto (2005). "The History and Legal Position of Confucianism in Post Independence
Indonesia" (PDF). Marburg Journal of Religion. 10 (1).
 Zulkifli (2011). The struggle of Shi’is in Indonesia. Canberra: ANU E Press. ISBN 978-1925021295.

dalam bahasa lain


 Bratakesawa, Raden (1954). Falsafah Sitidjenar: ngrewat pangrembag paham wahdatul-wudjud
(pantheisme) ing tanah Djawi, ingkang ménggok dados paham ngaken Allah tuwin ngorakaken
wontenipun ingkang nitahaken (atheisme) (dalam bahasa Jawa). Surabaya: Kulawarga
Bratakesawa.
 Matthes, Benjamin F. (1872). Over de bissoe’s of heidensche priesters en priesteessen der
Boeginezen (dalam bahasa Belanda). Amsterdam.
 Schlehe, Judith (1998). Die Meereskönigin des Südens, Ratu Kidul. Geisterpolitik im javanischen
Alltag [Ratu Laut Selatan, Ratu Kidul. Politik Roh dalam Kehidupan Harian Jawa] (dalam bahasa
Jerman). Berlin: Dietrich Reimer. ISBN 3-496-02657-X.

Pranala luar[edit | edit source]

 "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut" . Jakarta: Badan Pusat Statistik. 15 Mei
2010. Diakses tanggal 20-10-2011.
 "International Religious Freedom Report 2008. Indonesia" (dalam bahasa Inggris). US
Department of State. Diakses tanggal 31-03-2014.
 Shaw, Elliott, ed. (28 November 2016). "Indonesian Religions" (dalam bahasa Inggris). PHILTAR,
Division of Religion and Philosophy, University of Cumbria. Diakses tanggal 02-03-2019.

https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia
Sikap Toleransi Masyarakat Indonesia
terhadap Perbedaan Agama
22 Juni 2019   19:22 Diperbarui: 22 Juni 2019   19:29 7373 0 0

Indonesia merupakan bangsa yang paling banyak mempunyai keragaman, salah satunya keragaman agama.
Terdapat 6 agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong
Hu Cu. Dan agama Islam adalah kelompok agama mayoritas yang menempati Indonesia. Oleh karena itu
semua warga negara dituntut untuk toleransi terhadap kelompok agama lain. Jika masing-masing kelompok
agama tidak toleransi kepada kelompok lain, ditakutkan akan menimbulkan konflik sosial yang menyebabkan
perpecahan.

Mengingat toleransi dapat mewujudkan kehidupan beragama yang rukun dan damai, maka sikap toleransi antar
umat beragama harus lebih ditingkatkan lagi. Oleh karena itu, pemahaman tentang arti dari toleransi sendiri
sangat diperlukan.

Dalam bahasa Arab, kata toleransi sendiri disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau
lapang dada. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata toleran berarti sifat menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan
sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. (Baidi, 2012)

Bisa diartikan, toleransi adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau
antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Seseorang yang memiliki sikap toleransi,
terutama terkait dengan agama, akan melihat perbedaan tidak sebagai pertentangan, permusuhan, tetapi sebagai
suatu keniscayaan. Karena orang beragama adalah orang yang toleran mampu menerima, menghargai, dan
memberi kebebasan kelompok lain bagi yang seagama maupun yang berbeda agama.

Advertisment

Di Indonesia sendiri yang diketahui mayoritas besar penduduknya beragama muslim, sering terjadi di beberapa
daerah terjadi konflik agama. Dan bisa dikatakan beberapa umat muslim di Indonesia kurang bisa menghargai
agama lain karena merasa agama Islamlah yang paling benar. Dan perpecahan yang sering terjadi di Indonesia
salah satu penyebabnya adalah kekurangan pengetahuan yang dalam mengenai agama. Ijtihad sebetulnya
secara inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu. Ijtihad memerlukan
pengetahuan yang komprehensif tentang Islam, dan ini berarti, hanya sekelompok orang kecil yang dapat
melakukannya. (Rakhmat, 2006)
Contoh kasus, seperti penolakkan terhadap pembangunan rumah ibadah diluar agama Islam. Sederhananya
saja, rumah ibadah yang dijadikan sebagai tempat ternyaman untuk melakukan pendekatan kepada Tuhan
harus dilarang keras. Padahal memberikan izin untuk membangun sebuah rumah ibadah untuk umat lain
bukanlah dosa besar.

Pernah muncul dimedia sosial twitter, foto mengenai surat dari pemerintah disuatu daerah yang melarang
agama lain untuk mengganggu kegiatan umat muslim di bulan Ramadhan. Padahal menurut umat agama lain
sendiri, mereka sama sekali tidak pernah mengganggu apalagi ikut campur dalam kegiatan tersebut. Mereka
benar-benar merasa sedih, kecewa dan marah mengenai hal tersebut.

Lalu kasus yang paling sering dibahas saat menjelang akhir tahun, mengucapkan selamat natal kepada umat
kristen yang sedang merayakan. Terdapat pro dan kontra dalam hal ini, ada kubu yang memperbolehkan, ada
yang tidak. Sekali lagi lihat dari sudut pandang toleransi, bukankah kita bisa bersikap menghargai dan
menghormati agama lain?

Dan tercetuskah pertanyaan "Lalu mengapa Allah menciptakan agama yang beragam, bila terdapat banyak
larangan untuk berinteraksi terhadap umat agama lain?"  Dan Al-Qur'an memberi jawabannya.

"Untuk tiap-tiap diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekirannya Allah menghendaki
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kembali kamu semuanya. Lalu
diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu" -   (Q.S al-Maidah : 48)

Sudah jelas ayat diatas, bahwa Allah memang menciptakan agama berbeda-beda, karena keragaman tersebut
dimaksudkan untuk menguji kita semua agar berlomba-lomba dalam mengejar kebaikan. Karena pada akhirnya
semua agama itu akan kembali kepada Allah, baik Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu
Cu, dan macam-macam agama lain di dunia. Dan tugas kita disini untuk menyelesaikan perbedaan di antara
berbagai agama dengan sikap toleransi. Kita tidak boleh mengambil perbedaan agama dengan cara apapun,
termasuk dengan fatwanya. Ingatlah bahwa menjadi religius tidak serta merta menjadikan kita Tuhan.
Perbedaan Agama Justru Satukan
Indonesia
Selasa 12 Des 2017 08:20 WIB
Rep: Novita Intan/ Red: Esthi Maharani

 0

 0
  

Din Syamsuddin
Foto: ROL/Havid Al Vizki

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian


Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin mengatakan Indonesia negara yang harmonis.
Padahal Indonesia memiliki keberagaman. Menurut dia, perbedaan yang dimiliki,
termasuk perbedaan agama justru menyatukan masyarakat.

"Indonesia punya banyak suku, etnis, tapi jika dibandingkan negara lainnya
khususnya negara muslim seperti Arab Saudi masih stabil. Di Indonesia pendidikan
agama ada dua tujuan, tidak didoktrin dan mendorong harmonisasi masyarakat,"
ujarnya, usai acara 'Violent Extremisme & Religious Education in Southeast Asia' di
Hotel Oriental Mandarin, Jakarta, Senin (11/12).

Sementara Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Agama dan
Peradaban (UKP DKAAP) Din Syamsudin menambahkan keberagaman umat
beragama di Indonesia yang rukun dan damai telah diakui oleh dunia.

"Tingkat kerukunan masyarakat Indonesia relatif bagus dan diakui dunia. Ini karena
baik agama di Indonesia sejatinya mengajarkan kasih sayang dan perdamaian, dan
sesungguhnya itulah watak sejati agama-agama," ungkapnya.

Untuk itu, pihaknya akan melakukan tiga langkah strategis untuk memperkuat
keberagaman umat di Indonesial. Pertama, mewujudkan dan mengembangkan
kerukunan umat beragama di dalam negeri. Kedua, mempromosikan kehidupan
berlandaskan pancasila, rukun, damai dan bersatu.

"Terakhir saya diminta menjadikan Islam yang wasathiyah, Islam yang rahmatal lil
alamin sebagai pedoman untuk menyebarkan Islam moderat serta agama membawa
rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat," jelasnya.

https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/12/12/p0tqdq335-perbedaan-
agama-justru-satukan-indonesia

Anda mungkin juga menyukai