Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep kesetaraan dan
keragaman. Konsep kesetaraan (equity) bisa dikaji dengan pendekatan formal dan pendekatan
substantif. Pada pendekatan formal kita mengkaji kesetaraan berdasarkan peraturan-peraturan
yang berlaku, baik berupa undang-undang, maupuin norma, sedangkan pendekatan substantif
mengkaji konsep kesetaraan berdasarkan keluaran atau output, maupun proses terjadinya
kesetaraan.
Konsep kesetaraan biasanya dihubungkan dengan gender, status, hirarki sosial, dan
berbagai hal lainnya yang mencirikan perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan.
Sedangkan konsep keragaman merupakan hal yang wajar terjadi pada kehidupan dan
kebudayaan umat manusia. Kalau kita perhatikan lebih cermat, kebudayaan Barat dan Timur
mempunyai landasan dasar yang bertolak belakang. Kalau di Barat budayanya bersifat
antroposentris (berpusat pada manusia) sedangkan Timur, yang diwakili oleh budaya India,
Cina dan Islam, menunjukkan ciri teosentris (berpusat pada Tuhan).
Dengan demikian konsep-konsep yang lahir dari Barat seperti demokrasi,
mengandung elemen dasar serba manusia, manusia-lah yang menjadi pusat perhatiannya.
Sedangkan Timur mendasarkan segala aturan hidup, seperti juga konsep kesetaraan dan
keberagaman, berdasarkan apa yang diatur oleh Tuhan melalui ajaran-ajarannya.
Penilaian atas realisasi kesetaraan dan keragaman pada umat manusia, khususnya
pada suatu masyarakat, dapat dikaji dari unsur-unsur universal kebudayaan pada berbagai
periodisasi kehidupan masyarakat.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana struktur manusia Indonesia yang majemuk dan dinamis ditandai dengan
keragaman suku bangsa dan agama ?
2. Apa pengaruh keragaman terhadap berbagai pola kehidupan ?
3. Bagaimana setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sebagai pedoman kehidupan
warga Negara ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui struktur manusia Indonesia yang majemuk dan dinamis ditandai
dengan keragaman suku bangsa dan agama.
2. Untuk Mengetahui pengaruh keragaman terhadap berbagai pola kehidupan.
3. Untuk Mengetahui setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sebagai pedoman
kehidupan warga Negara.

BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Struktur manusia Indonesia yang majemuk dan dinamis ditandai dengan


keragaman suku bangsa dan agama
Sulit dipungkiri, Indonesia ditinjau dari aspek manapun merupakan sebuah bangsa
yang majemuk. Ini terlebih jika dikontraskan dengan bangsa-bangsa lain seperti Jepang,
Korea, Thailand, ataupun Anglo Saxon (Inggris). Kemajemukan ini tampak dalam
manifestasi kebudayaan bangsa Indonesia yang tidak satu. Budaya Indonesia dapat dengan
mudah dipecah ke dalam budaya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, hingga ratusan budaya
lainnya.
Kemajemukan juga termanifestasi dalam masalah agama, ada banyak agama yang
berkembang di Indonesia, mulai dari agama primitif hingga agama monoatheisme, mulai dari
agama Bumi hingga agama Langit, semuanya tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sebab
itu, suku bangsa dan agama merupakan suatu kajian menarik guna melihat seperti apa
manifestasi kemajemukan struktur masyarakat Indonesia ini. Kemudian penelaahan akan
dilakukan seputar kelebihan serta kelemahan dari struktur majemuk masyarakat Indonesia ini.

2.1.1 Keragaman suku bangsa di Indonesia


Sekedar sebagai gambaran, baiklah di sini kami muat komposisi suku bangsa dari
beberapa provinsi di Indonesia. Gambaran ini lebih menunjukkan bahwa tempat tinggal suatu
wilayah tidak selalu mengikuti daerah asal dari suku bangsa yang bersangkutan. Misalnya,
suku bangsa Jawa tidak selalu ada di Jawa Tengah, Yogyakarta, ataupun Jawa Timur belaka,
melainkan ia pun terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam bahkan Sumatera Barat.
Melihat dari sebagian komposisi penduduk di beberapa provinsi Indonesia, mudah
terlihat suatu suku bangsa dapat tersebar wilayah domisilinya di luar daerah basis suku
bangsa yang bersangkutan. Misalnya, suku bangsa Betawi yang berasal dari Jakarta, juga

terdapat di Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, bahkan di Nanggroe Aceh Darussalam


kendati tidak terlampau besar. Di sisi lain, suku bangsa Jawa relatif punya persebaran dan
komposisi yang besar di hampir seluruh provinsi yang disebut di atas.
Dari paparan di atas, Indonesia memiliki tingkat keragaman budaya yang sedemikian
tinggi. Keragaman ini tidak lagi dibatasi oleh wilayah asal basis suku bangsa. Keragaman
telah meliputi hampir seluruh wilayah yang berada di bawah NKRI. Dengan demikian,
upaya-upaya serius seputar manajemen hubungan antarsuku bangsa menjadi signifikan
dengan adanya realitas ini.
Hal menarik pula perlu dinyatakan, yaitu pertumbuhan kuantitas suku bangsa tidaklah
tetap antar periode. Dapat saja suatu suku bangsa menurun atau meningkat kemampuan
pertumbuhannya, jika dilihat dalam dua periode sensus di Indonesia, yaitu sensus 1930 dan
sensus 2000, terlihat bahwa suku bangsa jawa mengalami penurunan pertumbuhan dari
47,02% total populasi Indonesia menjadi 41,71%, Sunda dari 14,53% naik jadi 15,41%,
Melayu dari 1,61% naik jadi 3.45%, Madura dari 7.28% turun jadi 3.37%, Minangkabau dari
3.36% turun jadi 2.72%, Bugis dari 2.59% turun jadi 2.49%, Batak dari 2.04% naik jadi
3.02%, Bali dari 1.88% turun jadi 1.51%, Betawi dari 1.66% naik jadi 2.51%, atau Aceh dari
1.41% turun jadi 0.43%.
Penaikan ataupun penurunan jumlah penduduk menurut suku bangsa ini kemudian
dapat ditelusuri pada beberapa faktor seperti pola perkawinan adat, status pekerjaan,
hubungan suku bangsa itu dengan suku bangsa lain, kemampuan adaptasi suku bangsa
bersangkutan, dan tidak kalah penting faktor pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
di suatu suku bangsa, ada kemungkinan mereka mengendalikan tingkat kelahiran.
Keragaman suku bangsa di Indonesia ini sangat kontras jika dibandingkan dengan
beberapa Negara lain. Misalnya Jepang yang hanya memiliki beberapa suku bangsa semisal
Yamato (mayoritas), Okinawa (minoritas), Burakumin (minoritas), dan Ainu (minoritas).

Suku bangsa Jepang didominasi suku bangsa Yamato yang meliputi lebih dari 90% komposisi
penduduk Jepang. Sementara suku bangsa minoritas yang ada dianggotai oleh Okinawa,
Burakumin, dan Ainu, yang persentase ketiganya hanya meliputi 3-4%. Kemudian di Jepang
pun ada suku bangsa dari Negara lain dengan angka minoritas seperti Korea 0.5%, Cina
0.4%, dan lainnya 0.6%. Hal yang sama juga berlaku bagi beberapa Negara lainnya. Dari
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara yang
tertinggi tingkat keragaman suku bangsanya.

2.1.2 Keragaman Agama di Indonesia


Manusia

memiliki

kemampuan

terbatas,

kesadaran

dan

pengakuan

akan

keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya.
Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang
luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan,
Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain, atau bias juga hanya menyebut sifat-Nya saja
seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dan lain-lain.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan
cara menghambakan diri , yaitu

menerima segala kepastian yang menimpa diri dan

sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan, menaati segenap ketetapan, aturan, dan hukum yang
diyakini berasal dari Tuhan. Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama
itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, yaitu
manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga
unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Ada enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu agama Islam,
Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah
Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka.

Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan
tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami
diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Selain enam agama diatas, di Indonesia ada
juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya
termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang
No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya
pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk
Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian
bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di
Indonesia. Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi
dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat
Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP
yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah
dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal
29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia. Selain
itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan,
tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.
Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan
budaya. Di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah
pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha. Dalam UUD
1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan

mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk


menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah bagaimanapun, secara resmi
hanya mengakui enam agama diatas.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik
antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia
memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan.
Di masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundang-undangan yang oleh beberapa
kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi apapun yang
berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama. Sebagai hasilnya,
Buddha dan Khonghucu telah diasingkan. Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk
de-Islamisasi pemerintahan, dengan memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang
Kristen di dalam kabinet. Namun pada awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer
terbelah menjadi dua kelompok, nasionalis dan Islam. Golongan Islam, yang dipimpin oleh
Jenderal Prabowo, berpihak pada Islamisasi, sedangkan Jenderal Wiranto dari golongan
nasionalis, berpegang pada negara sekuler.
Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah
diaktifkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini
adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura
ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua.
Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang
Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah
barat Indonesia kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil,
sedangkan daerah timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding
populasi orang Islam. Hal ini bahkan telah menjadi pendorong utama terjadinya konflik antar
agama dan ras di wilayah timur Indonesia, seperti kasus Poso di tahun 2005.

Pemerintah telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan
pengusulan kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi
Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam
Internasional, memperkenalkan ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi
ketegangan tersebut. Pada 6 Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema
Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan. Negaranegara yang hadir di dalam konferensi itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia,
Timor Timur, Selandia Baru dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan
kemungkinan kerjasama antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan konflik
antar agama di Indonesia.
2.2 Pengaruh keragaman terhadap berbagai pola kehidupan
Banyak pengaruh yang akan timbul terhadap berbagai pola kehidupan akibat
keragaman, baik terhadap kehidupan individu, kelompok maupun bermasyarakat, diantaranya
adalah:
1. Terjadinya

segmentasi

kedalam

kelompok-kelompok

yang

seringkali

memiliki

kebudayaan yang berbeda.


2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat non
komplementer.
3. Kurang mengembangkan konsesus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai
4.

sosial yang bersifat dasar.


Secara relatif sering kali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang

lainnya.
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan didalam
bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain.

Pengaruh keragaman budaya masyarakat Indonesia dapat memberi manfaat, sekaligus


dapat mendukung terhindarnya konflik diantara suku-suku bangsa. Hal ini terjadi karena

adanya cross cutting loyalities. Cross cutting affiliations adalah suatu kondisi dimana terjadi
proses saling silang diantara anggota masyarakat, perbedaan agama, dan status sosial. Cross
culting loyalities adalah persatuan saling memiliki dan rasa tanggung jawab yang mengikat
terhadap tempat atau wadah keanggotaannya. Contohnya suku batak dan suku jawa yang
apabila beragama islam mereka akan merasa memiliki islam, akan merasa bersaudara dengan
islam lainnya walaupun mereka berbeda. Hal ini hanya diwujudkan, bila ada keterbukaan dan
kedewasaan pada individu-individu dalam kelompok yag berbeda.
Namun jika keterbukaan dan kedewasaan sikap dikesampingkan, besar kemungkinan
tercipta masalah-masalah yang menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa, seperti :
1.

Disharmonisasi, tidak adanya penyesuaian atas keragaman antara manusia dengan dunia
lingkungannya.

2.

Perilaku diskriminatif terhadap etnis atau kelompok masyarakat tertentu akan memunculkan
masalah yang lain, yaitu kesenjangan dalam berbagai bidang yang tentu saja tidak
menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

3.

Eksklusivisme, rasialis, bersumber dari superioritas diri, alasannya dapat bermacam-macam,


antara lain keyakinan bahwa secara kodrat ras, suku, kelompoknya lebih tinggi dari ras, suku,
kelompok lain.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperkecil masalah yang diakibatkan
oleh pengaruh negatif dari keragaman, yaitu :
1. Semangat Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan agama lain dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Semangat Nasionalisme, yaitu satu paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu
konsep identitas bersama dalam keberagaman.

3. Semangat Pluralisme, yaitu sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa


kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu
sama lain.

2.3 Setiap

masyarakat

mempunyai

kebudayaan sebagai pedoman

kehidupan

warga Negara.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya,
serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Jadi, kebudayaan merupakan serangkaian
aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas
serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara
selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan
tindakan-tindakannya Kebudayaan digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan
lingkungan dan pengalaman, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya.
Sebagai pengetahuan, kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala
manusia dan bukan suatu gejala yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia.
Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai, norma-norma yang
berisikan larangan-larangan untuk melakukan suatu tindakan dalam menghadapi suatu
lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, serta berisi serangkaian konsep-konsep dan modelmodel pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya
diwujudkan dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam. Kebudayaan
digunakan sebagai:
1. Pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang memiliki kebudayaan
tersebut
2. Kebudayaan adalah milik masyarakat manusia, bukan daerah atau tempat yang
mempunyai kebudayaan tetapi manusialah yang mempunyai kebudayaan

3. Sebagai pengetahuan yang diyakini kebenarannya, kebudayaan sebagai pedoman


menyeluruh yang mendalam dan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang
bersangkutan
4. Sebagai pedoman bagi kehidupan, kebudayaan dibedakan dari kelakuan dan hasil
kelakuan karena kelakuan itu terwujud dengan mengacu atau berpedoman pada
kebudayaan yang dipunyai oleh pelaku yang bersangkutan.
Kebudayaan berisikan konsep-konsep, metode-metode, dan petunjuk-petunjuk untuk
memilah dan mengkategorisasi konsep-konsep dan merangkai hasil pilahan untuk dapat
digunakan sebagai pedoman dalam menginterpretasi dan memahami lingkungan yang
dihadapi dan dalam mewujudkan tindakan-tindakan dalam menghadapi dan memanfaatkan
lingkungan dan sumber-sumber dayanya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk
kelangsungan hidup. Jadi, setiap masyarakat di dunia ini, dimanapun dan kapanpun pasti
memiliki kebudayaan, walaupun bentuknya ada yang berbeda antara masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya. sebagai contohnya adalah pelapisan kemasyarakatan suku bangsa
Minangkabau dengan kemasyarakatan suku bangsa Jawa.

Dalam suku Minangkabau pelapisan-pelapisan masyarakatnya yaitu :


1.

Kamanakan tali paruik adalah keturunan dari suatu keluarga urang asa

2.

Kamanakan tali budi adalah orang pendatang yang mampu membeli tanah luas

3. Kamanakan tali ameh adalah pendatang baru yang mencari hubungan keluarga dengan
keluarga asa
4.

Kamanakan bawah lutuik adalah orang yang menghamba pada keluarga orang asa

Dalam suku Jawa pelapisan-pelapisan masyarakatnya yaitu :


1. Lapisan atas (priyayi), terdiri dari golongan darah biru dan kaum bangsawan.
2. Lapisan bawah (wong cilik), terdiri dari tukang dan pekerja kasar lainnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini dapat ditarik kesimpulan sehubungan dengan Hakekat
Manusia, Keragaman dan Kesetaraan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.

Struktur manusia Indonesia yang majemuk dan dinamis ditandai dengan dua hal,

pertama keragaman suku bangsa, Keragaman suku bangsa di Indonesia ini sangat kontras
jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain. Misalnya Jepang yang hanya memiliki
beberapa suku bangsa semisal Yamato, Okinawa, Burakumin dan Ainu, berbeda dengan
Indonesia, yang suku bangsanya sangat beragam dengan 962 suku bangsa atau etnis yang

tersebar dari Sabang sampai Merauke.dan kedua keragaman agama, agama di Indonesia,
terdiri dari enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu agama Islam,
Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah
Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka.
Namun, melalui Keppress No. 6/2000, larangan tersebut dicabut. Akan Tetapi sampai kini,
tidak menutup kemungkinan banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami
diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Selain enam agama diatas ada juga penganut
agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun dalam jumlah yang kecil.
2.

Banyak pengaruh yang akan timbul terhadap berbagai pola kehidupan akibat keragaman,
baik terhadap kehidupan individu, kelompok maupun bermasyarakat, baik pengaruh yang
besifat negatif maupun pengaruh yang besifat positif, diantaranya adalah terjadinya
segmentasi kedalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan yang
berbeda, memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat
non komplementer, kurang adanya mengembangkan konsesus diantara para anggota
masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar, secara relatif sering kali terjadi
konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya, secara relatif integrasi sosial
tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan didalam bidang ekonomi, adanya dominasi
politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain.

3.

Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sebagai pedoman kehidupan bagi warga


Negara, Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya,
serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya baik sebagai anggota masyarakat maupun
sebagai warga Negara. Jadi, setiap masyarakat di dunia ini, dimanpun dan kapanpun pasti
memiliki kebudayaan, karena kebudayaan merupakan pedoman dalam kehidupan.

3.2 Saran
Dengan selesainya penyusunan makalah mengenai Hakekat Manusia, Keragaman
dan Kesetaraan ini, penulis mengharapkan makalah ini dapat berguna bagi pembaca. Penulis
menyadari begitu banyak kekurangan yang ada didalam penyusunan makalah ini, baik dalam
bentuk penulisan kata dan kalimat, maupun dalam bentuk sistematika penulisan. Oleh karena
itu, saran dan masukan membangun dari pembaca sangat penulis harapkan, untuk
mengembangkan materi makalah ini guna perubahan ke arah yang lebih baik dan medidik.
Selain itu besar harapan penulis agar pembaca dapat memanfaatkan makalah ini, baik dalam
pendidikan

maupun

dalam

pemahaman

mengenai

Hakekat

Manusia,

dan Kesetaraan, dalam ruang lingkup yang lebih luas.

MAKALAH
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
Manusia, Keragaman dan Kesetaraan

Keragaman

Oleh: KELOMPOK 1

Rizki Hardi Nata


Ramadanil Febrianto
Pendi Arianto

1101791
1202185
1203012

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


2015

Anda mungkin juga menyukai