Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sejarah Indonesia Pra-Islam adalah mata kuliah pendukung Sejarah
Islam khususnya di Indonesia. Dikatakan demikian karena dalam mengkaji
sejarah islam di Indonesia (Kepulauan Indonesia) haruslah mengetahui latar
belakang sebelum masuknya Islam di Indonesia dan sebelum islam
bersentuhan dengan budaya Indonesia (Bukan Islam). Karena setelah
memahami latar belakang sejarah indonesia pra-islam, maka kita dapat
memahami pula sebab-sebab masuknya islam dan akulturasi yang berkaitan
dengan budaya. Dan memahami sebab akibat pertemuan budaya yang ada.
Bicara tentang sejarah, sejarah adalah proses perkembangan dan
perubahan, begitupun dengan sejarah islam di Indonesia. Perkembangan ini
sedikit banyak juga dipengaruhi oleh masyarakat pra-islam yang ada di
Kepulauan Indonesia. Jika menyinggung pra-islam, tentunya kita akan
membahas semua yang terjadi sebelum masa islam. Di Indonesia sendiri,
pra-islam dimulai dari jaman pra-sejarah/pra-aksara, sampai masa Hindu-
Budha.
Islam di Indonesia mempunyai prinsip dasar yang sama dengan islam
dibelahan bumi lain. Namun yang membedakan adalah dimensi kebudayaan
peninggalan pra-islam yang masih dipergunakan masyarakat islam. Seperti
kita ketahui, budaya adalah apa yang diciptakan, difikirkan, dan diinginkan
oleh manusia. Kebudayaan yang dihasilkan manusia ini (khususnya di
Indonesia) tidak semata-mata sama, namun hasil budaya ditentukan oleh
faktor lingkungan. Seperti berbedanya curah hujan di Jawa dan Kalimantan
yang menyebabkan kesuburan tanah dijawa lebih baik daripada Kalimantan,
dan karena kesuburan yang berbeda inilah tingkat kemakmuran masyarakat
nya juga berbeda. Hal ini secara tidak langsung juga memengaruhi hasil
budaya di kedua tempat ini juga memiliki perbedaan.
Dalam makalah ini kita akan kerucutkan budaya pra-islam di Indonesia
menjadi pra-islam di jawa. Jawa sebagai pusat peradaban di Indonesia sejak
jaman dahulu, dan banyak sekali literature sejarah tentang sejarah pra-islam
di jawa. Hal ini tidak semata-mata tanpa alasan, di jawa memiliki kesuburan

1
yang baik dan menyebabkan masyarakat yang ada didalamnya menjadi
makmur. Karena alasan inilah sumber sejarah pra-islam banyak ditemukan di
jawa.
Sunda adalah kawasan di sebelah barat pulau jawa. Nama sunda sendiri
sebenaranya diambil dari nama kuno dataran sunda yang meliputi jawa,
sumatera, Kalimantan dan semenanjung malaka. Namun dalam
perkembangan nya, nama sunda saat ini hanya digunakan untuk daerah yang
ada dipulau jawa bagian barat dan selat yang menghubungkan jawa,
sumatera, dan nusa tenggara sebagai sunda kecil. Untuk memahami lebih
jauh sejarah Sunda Pra-Islam, kami selaku penyusun makalah akan
mengupas tentang kerajaan sunda yang ada di Jawa Barat.

B. Rumusan masalah
1) Bagaimana Penjelasan Pusat Kerajaan Sunda?
2) Bagaimana Struktur Kerajaan Dan Birokrasi Kerajaan Sunda?
3) Bagaimana Kehidupan Masyarakat Di Kerajaan Sunda?
4) Bagaimana Proses Kehancuran Kerajaan Sunda?

C. Maksud dan tujuan


1) Mampu menjelaskan pengertian atau konsep karya ilmiah.
2) Mampu menjelaskan sistematika penulisan karya ilmiah.
3) Mampu menjelaskan cara penulisan karya ilmiah.
4) Mampu menjelaskan bentuk-bentuk karya ilmiah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pusat Kerajaan Sunda


Perpindahan pusat kerajaan dari suatu tempat ke tempat lain, bukanlah
hal yang asing di dalam perjalanan sejarah Indonesia. Seperti halnya
Mataram yang awalnya berdaulat di Jawa tengah akhirnya berpindah ke Jawa
Timur. Perpindahan ini didasari oleh banyak alasan, mulai dari alasan
ekonomi, keamanan, politik, sampai dikarenakan bencana alam.
Di Jawa Barat, hal yang sama juga terjadi. Sepanjang naskah-naskah
kuna yang ditemukan di Jawa Barat yang berbahasa Sunda Buhun dapat
dipercaya, di daerah Sunda pun telah terjadi beberapa kali perpindahan pusat
kerajaan. Terjadinya perpindahan pusat kerajaan tersebut, memhyebabkan
kita harus mempertimbangkan kembali adanya beberapa buah kerajaan yang
saling mengganti, sebagai mana menjadi dugaan umum sampai saat ini.
Barangkali, sebenarnya di jawa barat hanya ada 1 kerajaan setelah runtuhnya
tarumanegara ditahun 669 M (Abad-7 M), sedangkan nama-nama yang
sekarang dianggap sebagai nama kerajaan, adalah nama ibukota atau pusat
kerajaan tersebut.
Jika kita mengenal, bahwa masyarakat Sunda masa lampau pada dasar
nya adalah masyarakat lading yang mengharuskan dirinya senantiasa
berpindah-pindah tempat sesuai dengan tingkat kesuburan tanah garapan
mereka. Jika dugaan ini benar, maka sampai keruntuhan pada tahun 1579 M,
kerajaan sunda telah beberapa kali berpindah pusat kerajaan dimulai dari
Galuh dan berakhir di Pakwan Pajajaran.
Berikut adalah daftar raja-raja dalam kerajaan Galuh Berdasarkan cerita
Parahyangan:
1. Wretikandayun (612-702)
2. Mandiminyak (702-709)
3. Séna/Sannaha (709-716)
4. Purbasora (716-723)
5. Sanjaya/Harisdarma (723-732)
6. Tamperan Barmawijaya (732-739)
7. Rahiyang Banga (739-746)

3
8. Rakeyan ri Medang (746-753)
9. Rakeyan Diwus (753-777)
10. Rakeyan Wuwus (777-849)
11. Sang Hujung Carian (849-852)
12. Rakeyan Gendang (852-875)
13. Dewa Sanghiyang (875-882)
14. Prabu Sanghiyang (882-893)
15. Prabu Ditiya Maharaja (893-900)
16. Sang Lumahing Winduraja (900-923)
17. Sang Lumahing Kreta (923-1015)
18. Sang Lumahing Winduruja (1015-1033)
19. Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)
20. Sang Lumahing Taman (1183-1189)
21. Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)
22. Sang Lumahing Kikis (1197-1219)
23. Sang Lumahing Kiding (1219-1229)
24. Aki Kolot (1229-1239)
25. Prabu Maharaja (1239-1246)
26. Prabu Bunisora (1357-1371)
27. Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
28. Dewa Niskala (1475-1483)
29. Ningratwangi (1483-1502)
30. Jayaningrat (1502-1528)
Berikut adalah daftar raja-raja dalam kerajaan Galuh Berdasarkan naskah
Pangéran Wangsakerta:
1. Tarusbawa (669 - 723)
2. Harisdarma/Sanjaya (723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (891 - 895)

4
10.Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (1030 - 1042)
21. Darmaraja (1042 - 1065)
22. Langlangbumi (1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (1297 - 1303)
27. Citraganda (1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja (1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
34. Rahyang Ningrat Kencana (1475-1482)
35. Jayadéwata Sri Baduga Maharaja (1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Suryakancana (1567-1579)

5
a. Kerajaan Galuh
Menurut naskah Koprak 406 Maharaja Tarusbawa digantikan oleh
Maharaja Harisdarma, kemudian Harisdarma berputra Rahyang Tamperan,
lalu Rahyang Tamperan berputra Rahyang Banga. Karena dalam Carita
Parahyangan disebutkan bahwa Rahyang Tamperan adalah anak Sanjaya,
maka dengan demikian jelaslah bahwa tokoh Harisdarma pada naskah
Koprak 406 adalah Sanjaya pada carita Parahyangan. Hal ini menjelaskan
bahwa antara Harisdarma, Tamperan, dan Banga memiliki hubungan darah.
Berbeda dengan hubungan Harisdarma dan Tarusbawa yang kemungkinan
besar Harisdarma adalah menantu Tarusbawa. Dengan demikian
Harisdarma/Sanjaya berhak atas 2 pusat kerajaan. Ia mewarisi tahta Galuh
dari pihak orang tuanya, setelah berhasil mengalahkan rahyang Purbasora
yang telah mengusir ayahnya yaitu sang Sena. Sedangkan dari mertuanya,
Maharaja Tarusbawa, ia mewarisi tahta Pakwan Pajajaran. Namun dalam
perjalanannya, Sanjaya lebih memilih memusatkan kerajaan di Galuh.
a) Silsilah Kerajaan, Pribadi
Berita Sanjaya diperoleh dari Carita Parahyangan, sebuah naskah
berbahasa Sunda Buhun. Didalam naskah ini diceritakan, bahwa Sanjaya
adalah anak Sena, sama seperti yang diberitakan oleh prasasti Canggal
yang menyebut ayah Sanjaya dengan nama Sanna. Maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa Sanjaya adalah anak Sena/Sanna hasil
perkawinannya dengan Sannaha. Berikut adalah bagan silsilah rumit
kerajaan sunda di Galuh.
Dari silsilah bagan di atas kita diperlihhatkan bagaimana drama
perebutan kekuasaan antara Sena dan Purbasora, serta antara
Purbasora dan Sanjaya. Hal ini berdasarkan adanya hubungan gelap
yang terjadi dikalangan kerajaan. Sena/Sanna adalah anak hasil
hubungan gelap antara Raja Mandiminyak dengan Pwah Rababu, istri
kakak sulungnya (Sempakwaja). Lalu setelah 7 tahun berkuasa, Sena
diusir oleh saudara seibunya yaitu Purbasora ke daerah sekitar Merapi
(Ada yang menyebutkan di jawa Tengah dan ada yang menyebutkan di
daerah Kuningan). Namun setelah Sanjaya dewasa, ia kembali ke Galuh
untuk menggulingkan Purbasora, dan membalaskan dendam ayahnya.

6
Pada masa raja pertama hingga Sanjaya, agama yang dianut
kerajaan Galuh adalah Hindu mazhab Siwa. Hal ini antara lain di
nyatakan oleh prasasti Canggal, yang memuja dewa Siwa lebih banyak
dibandingkan pemujaan kepada dewa besar lainnya. Hal yang sama juga
tertuang dalam Carita Parahyangan. Namun pada masa itu pula Nampak
tanda-tanda berkembangnya agama Budha, yang sebagaimana kita
ketahui, memang menjadi agama resmi raja-raja mataram yang
mendirikan Borobudur. Tentang inipun Carita Parahyangan sudah
memberikan petunjuknya, melalui nasihat yang diberikan oleh Sanjaya
untuk Rahyang Tamperan Barmawijaya “…haywa dek nurutan agama
aing, kena aing mretakutna urang reya…” janganlah mengikuti agamaku,
karena dengan itu aku ditakuti orang banyak.

b. Kerajaan Prahajan Sunda


Nama Sunda kemudian muncul lagi pada prasasti yang berasal dari tahun
952 saka atau 1030 Masehi. Prasasti ini ditemukan di kampung Pancalikan
dan Bantarmuncang, ditepi Cicatih, daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti
Sanghyang Tapak 9 ini berbahasa Jawa Kuna, sedangkan aksaranya Kawi.
Nama tokoh yang disebut di prasastii ini adalah Maharaja Sri Jaya
Bhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakhalabhuwanamandaleswaranindita Horo Gowardhana
Wikramottungadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajan
Sunda. Gelar Jayabhupati ternyata sangat mirip dengan gelar Raja Airlangga
di Jawa Timur. Ada anggapan bahwa Sri Jayabhupati adalah raja adalah
seorang raja bawahan Airlangga. Disamping anggapan justru sebaliknya,
Jayamanahen yang terselip pada nama yang demikian panjang itu, ditafsirkan
sebagai peringatan bahwa ia telah berhasil mengalahkan musuh besarnya.
Sementara itu ada yang beranggapan bahwa gelar tersebut tidak ada sangkut
pautnya dengan kehiduppan politik antara dua kerajaan.
Namun pernyataan Sri Jayabhupati berulangkali bahwa dia adalah haji ri
sunda, raja di Sunda, dapat dianggap sebagai usahanya untuk lebih
meyakinkan orang banyak akan kedudukannya sebagai raja Sunda. Hal yang
mendukung dugaan ini adalah tidak ditemukan prasasti berbahasa Sunda
Buhun, melainkan berbahasa Jawa Kawi. Dan prasasti berbahassa Jawa

7
biasanya berisi banyak ancaman, berbeda dengan prasasti berbahasa Sunda
yang berisi tentang janji kebahagiaan. Seperti contoh Sri Jayabhupati
membuat daerah larangan di daerah sungai untuk tidak menangkap ikan yang
ada di sungi itu. Dari gelar nama yang panjang tersebut, dapat diketahui
bahwa Sri Jayabhupati beragama Hindu Mazhab Waisnawa. Dan ini adalah
agama yang sama seperti yang dianut Airlangga di Jawa Timur, sehingga
barangkali dapat dikatakan bahwa agama resmi di Pulau Jawa pada abad ke
11M, ialah agama Hindu aliran Waisnawa.

c. Kerajaan Kawali
Belum diketahui secara paasti pada zaman pemerintahan siapa pusat
kerajaan dipindahkan ke Kawali. Menurut bukti prasasti yang terdapat
dikampung Astanagede (Kawali) dapat diketahui bahwa setidak-tidaknya
pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu pusat kerajaan telah ada disitu.
Prabu Raja wastu pada Prasasti Kawali ini tentulah tokoh yang sama dengan
yang disebut sebagai Rahyang Niskala Wastu Kencana pada prasasti
Batutulis dan Kebantenan, yaitu kakek Sri Baduga Maharaja.
Menurut Prapraton pada tahun 1357 M terjadi peristiwa yang dikenal
dengan Pasunda-Bubat, suatu pertikaian politik yang terjadi antara kerajaan
Sunda dan Majapahit. Peristiwa ini juga tertulis dalam Carita Parahyangan
yang menyebutkan bahwa yang memerintah ketika itu ialah Prabu Maharaja
(sejak 1350M) sama dengan masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit.
Dalam pertempuran Bubat ini, hampir seluruh pasukan Sunda gugur,
termasuk Prabu Maharaja, namun bukan berarti Sunda tidak memiliki
rajanpengganti, Prabu Maharaja masih memiliki anak yang kala itu yang
bernama Niskala Wastu Kencana, namun kala itu ia masih berusia sangat
belia, maka tampuk kekuasaan diwakilkan oleh pengasuhnya yaitu Hyang
Bunisora. Barulah saat dewasa Niskala Wastu Kencana sepenuhnya diberi
wewenang sebagai raja.
Dalam Carita Parahyangan menceritakan sangat banyak Niskala Wastu
Kencana dengan banyak pujian bagi nya, berbeda dengan raja-raja lain yang
hanya disebuutkan satu atau dua saja. Hal ini dikarenakan Niskala wastu
kencana memerintah selama 104 tahun. Setelah tahun 1475 ia wafat dan
digankan oleh anakknya yang bernama Rahyang Ningrat Kencana yang

8
hanya berkuasa selama 7 tahun, ditahun 1482 pemerintahannya jatuh dan
digantikan anaknya karena ia jatuh cinta kepada wanita terlarang dari luar.

d. Kerajaan Pakwan Pajajaran


Telah disebutkan sebelumnya bahwa Ningrat Kencana digantikan oleh
anaknya sendiri yaitu Sang Ratu Jayadewata (Carita Parahyangan) dan
memerintah selama 39 tahun (Prasasti Kebantenan). Dapat dipastikan tokoh
Ratu Jayadewata adalah tokoh yang dituliskan didalam Prasasti Batutulis
dengan sebutan nama Prabu Guru Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Hal ini membuktikan
bahwa pusat kerajaan yang ada di Kawali dengan kraton Suryawisesa telah
dipindah menuju Pakwan Pajajaran dengan kraton Sri Bima punta narayana
Madura suradipati (Naskah Koprak 406).
Pada masa Sri Baduga Maharaja, pemerintahannya dijalankan berdasar
kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjala aman dan
tentram. Kecuali bagi orang yang melanggar Sanghyang Siksa. Berkaitan
dengan orang yang melanggar ketentuan Sanghyang Siksa ini, diperoleh
berita portugis bahwa di sebelah timur kerajaan (Perbatasan) telah ada yang
berpindah agama dari Budha ke Islam, orang-orang inilah yang di duga kuat
sebagai orang yang melanggar ketentuan Sanghyang Siksa dan dalam
ketidak amanan.
Masa Sri Baduga Maharaja dinilai sebagai masa penuh derita. Sebelum
1559 islam berhasil menakhlukan Sunda, beberapa kali pula Islam di bawah
pimpinan Maulana Hasanudin dan anaknya Maulana Yussuf berusaha
merebut pusat kerajaan, namun saat itu Islam belum begitu kuat, alhasil dapat
ditangkis, selain itu Sri Baduga Maharaja pun sudah menjalin kerjasama
dengan Portugis untuk melawan islam (Portugis yang menduduki Malaka).
Pada saat itu di wilayah Cirebon sekitar abad 15 M telah berdiri perguruan
Islam, jauh sebelum Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah dilahirkan.
Cirebon saat itu merupakan kota yang terbilang cukup ramai dengan
percampuran orang Jawa dan Sunda. Saat jatuhnya Sunda Kelapa (sekarang
Jakarta) ke tangan Islam, 1527 M, menyebabkan hubungan Sunda dengan
Portugis menjadi terhalang pasukan Islam di Sunda Kelapa. Sedangkan di
pusat kerajaan Sunda, sudah tidak memiliki pemimpin yang kuat. Pengganti

9
Suryawisesa yaitu Dewatabuana Wisesa adalah raja yang tak peduli akan
rakyatnya, selanjutnya prabu Sakti dan Prabu Nilakendra adalah pemimpin
yang kejam, pemabuk, dan gemar main wanita. Sampai raja terakhir kerajaan
Sunda Prabu Suryakencana, kerajaan sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

B. Struktur Kerajaan dan Birokrasi


a. Ibukota
Pajajaran sebagai nama kerajaan nampaknya tidak mempunyai bukti,
karena bukti sejarah yang ada hampir boleh dipastikan, semuanya menyebut
Pajajaran hanya sebagai pusat kerajaan, lengkapnya Pakwan Pajajaran.
Sedangkan Pajajaran sebagai nama kerajaan hanylah disebutkan dalam
naskah-naskah yang bernilai sastra yang tentunya tidak sekuat bukti naskah
carita (Carita Parahyangan).
Sumber asing dari masa yang sezaman, juga tidak pernah menyebutkan
adanya kerajaan bernama Pajajaran,. Tome Pires (Portugis) dalam
catatannya menyebutkan adanya sebuah Negara bernama Cunda, yang
dipimpin seorang raja. Sedangkan sumber Portugis lainnya menyebutkan
bahwa Hendrik Leme memimpin perutusan ke Sunda (dari Malaa). Bahan
yang berasal dari dalam negeri, juga sesuai dengan sumber-sumber luar.
Carita Parahyangan sudah menyenutkan ada seorang Toohan di Sunda
(yang dipertuan di sunda). Disamping semua itu, ditemukan sebuah prasasti
juga menyebutkan adanya sebuah Negara yang bernama Prahajyan Sunda
sendangkan rajanya adalah Sri Jayabhupati, yang menyebut dirinya sebagai
Haji ri Sunda atau Raja di Sunda. Maka kesimpulan dari sumber diatas dan
banyak sumber lain mengatakan bahwan Pakwan Pajajaran bukanlah
merupakan sebuah kerajaan, melainkan hanyalah pusat kerajaan.
b. Birokrasi
Hirarki atau Birokrasi kerajaan Sunda jelas membagi urutan-urutan
jabatan kerajaan, seperti yang tertuang pada naskah Sanghyang Siksakanda
ng Karesian, menyebutkan “anak bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami,
rakyat bakti kepada majikan, murid bakti kepada guru, petani bakti kepada
wado (pejabat rendah), wado bakti kepada mantri, mantri bakti kepada
nunangganan, nunangganan bakti kepada mangkubumi, mangkubumi bakti
kepada raja, raja bakti kepada dewata, dewata bakti kepada Hyang”. Selain

10
itu, ada jabatan raja-raja daerah yang merdeka, namun tetap mengakui raja
sunda di Pakwan Pajajaran.
c. Keraton
Keraton dalam kerajaan Sunda difungksikan sebagai tempat raja
bertahta. Disimpulkan dari beberapa sumber dan bukti bahwa keraton
kerajaan Sunda ada 5 buah dengan susunan yang berjajar. Yang pertama
adalah Suradipati sebagai bangunan induk. Keempat bangunan lainnya
antara lain ialah Bima, Punta, Narayani, dan Madura. Dan nama Pakwan
Pajajaran diperkirakan berasal dari kata Pakwan yang berarti keraton dan
Pajajaran yang berarti berjajar.

C. Kehidupan Masyarakat Kerajaan Sunda


a. Perekonomian
Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian menyebutkan adanya
pembagian kelompok masyarakat berdasarkan profesi atau ahlinya. Misalnya
pandai gelang, juru lukis, pandai mas, pandai tembaga, prajurit, penyadap,
dan masih banyak profesi atau keahlian lainnya.
Walau demikian, profesi-profesi diatas masih kalah dengan dominasi
masyarakat pertanian atau masyarakat ladang dan peternakan. Pada
umumnya masyarakat ladang tinggal diladangnya masing-masing. Hal ini
secara tidak langsung menyebabkan sedikitnya literatur kerajaan sunda,
karena rendahnya minat menulis pada kalangan masyarakat ladang. Hasil
perladangan/pertanian masyarakat kerajaan sunda pada waktu itu antara lain
sayur mayur, lada, asam, tuak dan buah-buahan. Sedangkan peternakan
yaitu sapi, kambing, biri-biri, babi, dll.
Komoditi-komoditi inilah yang selanjutnya diperjual-belikan keluar
kerajaan sunda melalui pelabuhan-pelabuhan mereka. Adapun pelabuhan
yang terkenal di kerajaan Sunda ada 6, yaitu Kalapa, Banten, Pontang,
Cigede, Tamgara, dan Cimanuk. Untuk mengakses jalan antara pelabuhan
dan pusat kerajaan, kerajaan Sunda memliki jalan lalu lintas darat yang cukup
penting. Yang memusatkan jalan pada pusat Pakwan Pajajaran.
Berdasarkan berita yang diperoleh dari bangsa Portugis, kehidupan
ekonomi masyarakat di Kerajaan Sunda dapat digambarkan. Menurut berita
tersebut, ibu kota Kerajaan Sunda terletak di pedalaman, sejauh dua

11
perjalanan dari pesisir pantai utara. Para pedagang dari kerajaan Sunda
sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing
dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka, Sumatra, Jawa Tengah dan
Timur, Makassar.
Kegiatan perdagangan antarpulau itu didukung oleh pelabuhan-
pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda yaitu Kelapa, Banten, Pontang,
Cigede. Dengan demikian, kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan
di Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang diperdagangkan antara lain:
lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung dan
kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan
yang baik.
Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan sektor
pertanian yaitu berladang. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindah-
pindah terlihat dari kegiatan berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota
Kerajaan Sunda sering berpindah-pindah, hal itu juga dipengaruhi oleh
kebiasaan masyarakatnya yang senang berpindah-pindah.
Berdasarkan naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan
masyarakat terbagi ke dalam berbagai kelompok ekonomi yaitu: pandai besi,
pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri, bhayangkara dan prajurit,
kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan pecahan dari kerajaan
tarumanegara. Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda.
Sementara itu menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota
kerajaan Sunda berada di Pakwan Pajajaran. Mengenai perpindahan
kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat
ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan
perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan. Kerajaan Sunda menguasai
daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama, diantara rajanya, yang terkenal
adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.
Sunda adalah kawasan di sebelah barat pulau jawa. Nama sunda sendiri
sebenaranya diambil dari nama kuno dataran sunda yang meliputi jawa,
sumatera, Kalimantan dan semenanjung malaka. Namun dalam
perkembangan nya, nama sunda saat ini hanya digunakan untuk daerah yang
ada dipulau jawa bagian barat dan selat yang menghubungkan jawa,
sumatera, dan nusa tenggara sebagai sunda kecil.
Kerajaan Sunda telah beberapa kali berpindah ibukota dari Galuh,
Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Dengan agama resmi
kerajaan adalah Hindu. Wilayah kerajaan sunda meliputi jawa barat, banten,
dan jawa tengah bagian barat. Perekonomian di dominasi pertanian,
perladangan, peternakan, dan lain sebagainya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II


Jakarta: Balai Pustaka, 1977
Wikipedia
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II
(Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm. 206
Marwati dkk, Sejarah. 1977, hlm. 207
Ibid, hlm. 210
Ibid, hlm. 212
Ibid, hlm. 212-216
Ibid, hlm. 216-219
Ibid, hlm. 220-222
Ibid, hlm. 229-239
Ibid, hlm. 239-244
Ibid, hlm. 245
Ibid, hlm. 225-228
Ibid, hlm. 223

14

Anda mungkin juga menyukai