A. Definisi ilmu
1. Mengetahui sesuatu sebagaimana adanya.
2. Yang dimaksud dengan ilmu jika disebutkan secara mutlak dalam nash Quran dan
Sunnah adalah ilmu agama.
1) Allah menyebutkan persaksian para ulama atas tauhid bersama persaksian Allah dan
persaksian malaikat (QS. 3:18)
2) Merekalah orang yang takut kepada Allah (QS. 35:28).
3) Pewaris para Nabi.
عن أبيِ الدرداء أن رسوُل ال صلىَّ ال عليه و سلم قال إسلن النعللععماءع عوعرثعةل انلعنبسعياسء إسلن انلعنبسعياءع لعنم يِليعوُلرلثوُا
(ظ عوافسكر )رواه التْرمذي سديِعناقرا عوعل سدنرعهقما إسنلعما عولرلثوُا النسعنلعم فععمنن أععخعذ بسسه أععخعذ بسعح ظ
Dari Abu Darda bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para nabi, dan nabi tidak mewariskan dinar dan dirham akan tetapi
mereka mewariskan ilmu, barangsiapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil
bagian yang banyak. (HR. Tirmidzi)
4) Manusia terbaik.
(439 ص/ 15 )ج- صحيح البخاري
س س
خييلرلكنم عمنن تعيعع لعم النلقنرآعن ععنن علثنعماعن عرضعيِ ال لهل ععنهل ععنن النلبسليِ ع- 4639
صللىَّ ال لهل ععلعنيه عوعس لعم عقاعل ع ن
عوعع لعمهل
Dari utsman radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya.
Termasuk dalam umara (QS.4:59).
5) Didoakan oleh penduduk langit dan bumi.
(299 ص/ 9 )ج- سنن التْرمذي
صللىَّ ال لهل ععلعنيسه عوعس لعم عرلجعلسن أععحلدلهعما ععابسةد س س س سس
ععنن أعسبيِ ألعماعمةع النعباهلليِ عقاعل ذلكعر لعرلسوُسل ال له ع- 2609
ضسليِ عععلىَّ أعندعنالكنم ثللم ضلل النععالسسم عععلىَّ النععابسسد عكعف ن
صللىَّ ال لهل ععلعنيسه عوعس لعم فع ن س س
عوانلعخلر ععالةم فعيعقاعل عرلسوُلل ال له ع
ِضيعن عحلتْىَّ النلنملعةع سفي ت وانلعر س عقاعل رسوُلل ال لسه صللىَّ ال لهل ععلعنيسه وس لم إسلن ال لهع ومعلئسعكتْعهل وأعنهل ال ل س
سعمعوُا ع ع ع ع عع عع ع ع عل
خييعر
س الن ع نصللوُعن عععلىَّ لمعع لسم اللنا س لجنحسرعها عوعحلتْىَّ النلحوُ ع
ت لعيل ع
Dari Abu Umamah Al Bahili beliau berkata, disebutkan kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam tentang dua orang laki-laki, yang pertama merupakan seorang ahli
ibadah, sedangkan kedua adalah seorang yang berilmu, kemudian Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda : “Keutamaan seorang yang berilmu atas ahli ibadah seperti
keutamaanku atas orang yang paling rendah di kalangan kalian”, kemudian Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah bersama para malaikiat dan
penduduk langit dan bumi sampai semut sekalipun di dalam sarangnya dan ikan paus
berdoa untuk orang-orang yang mengajarkan manusia kebaikan.”
Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu Ali
memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya di sana.
Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di kandang ternaknya
agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang guru sebelum mereka datang.
Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin sebelum orang berdatangan. Allah
mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya sebelum terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal
tersebut dan langsung berdiri mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti
oleh seseorang dan khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu
Ali berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az Zubaidi”. Abu
Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak ada di muka bumi ini
orang yang lebih tahu tentang ilmu Nahwu selain anda, maka pergilah tinggalkan saya”
(Inaabatur Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).
Bayangkan! Semoga Allah menjaga anda wahai pembaca sekalian, betapa menggelora
semangat Az Zubaidi untuk menuntut ilmu dan meraihnya. Kemauan keras yang membuat
seorang murid rela tidur bersama ternaj agar bisa cepat menemui gurunya dan
mengambil ilmu darinya. Bagaimana kita bisa dibandingkan dengan mereka?
Syu’bah bin Hajjaj datang menemui Khalid Al Hadza’ rahimahumallah. Lalu Syu’bah bin
Hajjaj berkata, “wahai Abu Munazil, engkau memiliki hadits tentang ini dan itu, tolong ajari
saya hadits tersebut”. Khalid ketika itu sedang sakit dan berkata, “saya sedang sakit”.
Syu’bah berkata, “hanya satu hadits saja, tolong ajarkan kepadaku”. Khalid kemudian
menyampaikan hadits tersebut. Setelah selesai, Syu’bah berkata kepadanya, “sekarang, anda
boleh mati jika anda mau” (Syarafu Ash-habil Hadits, Al Khatib Al Baghdadi, 116).
Ja’far bin Durustuwaih berkata, “kami harus mengambil tempat duduk di sebuah majelis
sejak ashar untuk mengikuti kajian esok hari, karena saking padatnya pengajian Ali bin Al
Madini. Kami menempatinya sepanjang malam karena khawatir esoknya tidak mendapatkan
tempat untuk mendengarkan kajiannya karena saking penuh sesaknya manusia. Saya melihat
seorang yang sudah tua di majelis tersebut buang air kecil di jubahnya karena khawatir
tempat duduknya diambil apabila ia berdiri untuk buang air” (Al Jami’ li Akhlaqir Rawi wa
Adabis Sami’, Al Khatib Al Baghdadi, 2/199).
Kisah seperti ini tidaklah mengherankan karena tempat kajian bukan di masjid tetapi di salah
satu tempat yang luas di tengah kota atau di pinggirnya. Murid yang cerdas ini sedang
menunggu kehadiran gurunya untuk menyampaikan pelajaran selain di waktu shalat, seperti
shalat Shubuh atau Ashar atau antara Zhuhur dan Ashar. Dia ingin kencing namun takut
kalau dia berdiri dari tempat duduknya maka akan diduduki oleh orang lain. Jadi dia
kencingi jubahnya, dan tidak ada seorang pun yang melihat auratnya. Tempat kajian
biasanya besar dan luas. Dia mengeluarkan jubahnya dan melipatnya. Ketika pelajaran usai,
ia tumpahkan air seni dari jubahnya, kemudian mencucinya. Apa yang asing dari hal ini?
Abu Hatim berkata, saya mendengar Al Muzani mengatakan, Imam Asy Syafi’i pernah
ditanya, “bagaimana semangatmu dalam menuntut ilmu?”. Beliau menjawab, “saya
mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar. Maka anggota tubuh saya
yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang
dirasakan telinga”. Lalu beliau ditanya lagi, “bagaimana kerakusan anda terhadap ilmu?”.
Beliau menjawab, “seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencapai kepuasan dengan
hartanya”. Ditanya lagi, “bagaimana anda mencarinya?”. Beliau menjawab, “sebagaimana
seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain selain dia”
(Tawaalit Ta’sis bin Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar Al Asqalani, 106).
Ibnu Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya
mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya. Ketika saya
sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup
dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam hati, “Subhaanallah, saya sudah datang
sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah
terowongan di samping rumahnya. Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah
sebuah terowongan di dalam tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan
hingga keluar darinya menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan
yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba
melebarkan terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding
terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas. Allah
menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya.
Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur Ruwat ‘ala
Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).
Sa’id bin Jubair berkata, “saya pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma berjalan di
salah satu jalan di Mekkah pada malam hari. Dia mengajari saya beberapa hadits dan saya
menulisnya di atas kendaraan dan paginya saya menulisnya kembali di kertas” (Sunan Ad
Darimi, 1/105).
Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia
menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang
bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar
hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak
memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih,
saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya
menaruhnya di dalam botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil
Barr, 1/98).
Salim Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah
seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya lampu di
tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak tanah untuk
lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus Syafi’iyah Al Kubra,
Tajuddin As Subki, 4/61).
Ibnu Asakir ketika menyebutkan biografi seorang hamba yang shalih, Abu Manshur
Muhammad bin Husain An Naisaburi, beliau berkata, “beliau (Abu Manshur) adalah orang
yang selalu giat dan semangat dalam belajar. Meski dalam keadaan faqir dan tidak punya.
Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya dan mengulangi membacanya di bawah cahaya
rembulan. Karena tidak punya sesuatu untuk membeli minyak tanah. Walaupun beliau dalam
keadaan faqir, namun beliau selalu hidup wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat
sedikitpun” (Tabyiin Kidzbil Muftari, Ibnu Asakir Ad Dimasyqi).
—
Ditulis ulang dari buku “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara“, hal 30-33,
terbitan Elba – Surabaya, merupakan terjemahan dari kitab Kaifa Tatahammas fi Thalabil
Ilmis Syar’i karya Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah