BAB I
PENDAHULUAN
“Mengapa kaum muslimin mundur dan mengapa kaum selain mereka maju
oleh Haji Moehamad Basioeni Imran (selanjutnya ditulis Basioeni Imran) melalui
sebuah surat yang dikirimkan kepada Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935
M.)1 tertanggal 21 Rabiul Akhir 1347 H.2 Pertanyaan tersebut oleh Rasyid Ridha
1
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah salah seorang revivalis dan pembaru Islam dari Mesir.
Ia dilahirkan di sebuah desa dekat Tripoli, yang waktu itu termasuk bagian dari Suriah. Setelah
menempuh pendidikan awal di sekolah agama tradisional, Ridha masuk ke sekolah yang
didirikan oleh ulama tercerahkan, Syaikh Husain Al-Jisr (w. 1909 M.) yang percaya bahwa jalan
menuju kemajuan bangsa Muslim adalah melalui sintesis antara pendidikan agama dan ilmu
pengetahuan modern. Dengan demikian Ridha memperoleh pendidikan menyeluruh dalam
doktrin dan tradisi Islam serta pengetahuan yang cukup tentang ilmu alam dan bahasa (Turki dan
Prancis). Dia mempelajari karya-karya Al-Ghazali (w. 1111 M.) dan Ibn Taimiyah (w. 1328 M.),
yang mengilhaminya dengan kebutuhan untuk mereformasi kondisi kaum Muslim yang merosot
serta memurnikan Islam dari praktik-praktik sufi yang merusak [John L. Esposito (ed.).
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jilid 6. (terj. Eva Y.N., dkk.). (Bandung: Mizan, 2002);
lihat juga: Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. ke-
14, (Jakarta: Bulan Bintang, 2011: 60-67); Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013: 113-129)].
2
Surat tersebut dimuat dalam majalah Al-Manar Volume 31 Nomor 5 (29 Rajab 1349 H. / 20
Desember 1930 M.). Secara ringkas pertanyaan Basioeni Imran adalah sebagai berikut: (1) Apa
yang menjadi sebab kaum muslimin dalam keadaan lemah dan mundur—terutama kaum
Muslimin di Jawa [Hindia Belanda] dan Melayu--, baik tentang urusan keduniaannya maupun
urusan keagamaannya; dan kita (kaum Muslimin) menjadi golongan yang hina dina, tidak
mempunyai daya dan kekuatan, padahal Allah menyatakan dengan firman-Nya dalam kitab-Nya
yang mulia: “Dan kemuliaan itu bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman”
(al-Munafiqun: 8). Dimanakah “kemuliaan” orang-orang yang telah beriman (kaum Muslimin)
sekarang ini? Adakah benar bagi seorang yang mengaku beriman, bahwa ia menjadi seorang
yang mulia raya, walaupun keadaannya hina dina; tidak ada dari padanya sedikit pun dari pada
sebab-sebab yang mendatangkan kemuliaan; (2) Apa yang menjadi sebab timbulnya kemajuan
bagi bangsa-bangsa Eropa, Amerika dan Jepang, dengan suatu kemajuan yang mengagumkan?
Adakah mungkin bagi kaum Muslim memperoleh kemajuan sebagai yang telah dicapai oleh
mereka itu, jika sekiranya kaum Muslim telah mengikuti sebab-sebab yang telah dikerjakan
mereka, yang tidak dilanggar batas-batas agamanya (Islam) ataukah tidak [lihat lebih lanjut: Al-
Manar: 31 (5), 353-354; Arsalan, al-Amir Syakib, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, (terj.
1
2
pertanyaan penting tersebut dengan panjang lebar, berlandaskan ayat Alquran dan
Hadis Nabi. Jawaban-jawaban ini diberikan kepada Rasyid Ridha. Basioeni Imran
minta jawaban atas pertanyaannya dimuat dalam majalah al-Manar, dengan tujuan
agar dapat dibaca dan diketahui oleh para pembaca di seluruh dunia Islam.
melalui percetakan al-Manar, dalam sebuah buku dengan kata pengantar dan
beberapa komentar dari Rasyid Ridha sendiri. Buku yang berjudul Limazaa
diterjemahkan oleh K.H. Munawar Khalil dengan judul Mengapa Kaum Muslim
Mundur.4
komprehensif atas kondisi dunia. Ini terbukti secara khusus Rasyid Ridha harus
diberikan juga tidak singkat, bahkan harus dijawab dengan 19 seri artikel
Munawwar Chalil), Jakarta: Bulan Bintang, 1954, khususnya bagian Pengantar oleh penerjemah,
hal. viii-ix].
3
Al-Amir Syakib Arsalan adalah seorang politikus, diplomat, sejarawan, mujahid, dan wartawan.
Lahir di Libanon pada tahun 1869 M. dan wafat 1946 M. Arsalan termasuk seorang buangan
politik pemerintah Perancis, dan dia memilih Geneva. Pemerintah Syria mengangkat Arsalan
sebagai ketua Delegasi Syria di Volkenbond (Liga Bangsa-bangsa), bersidang di Geneva (lihat
lebih lanjut dalam: Arsalan, 1954: vii). William L. Cleveland menulis sebuah buku biografi
Arsalan dengan judul Islam Against the West: Shakib Arslan and The Campaign for Islamic
Nationalism.
4
Pada tahun 2004 buku ini diterbitkan kembali oleh Islamic Book Trust dalam Bahasa Inggris
dengan judul Our Decline Its Causes and Remedies.
3
Islam pada saat itu, juga sekaligus menunjukkan kualitas diri penanya sebagai
seorang ulama terkemuka saat itu di Kerajaan Sambas yang dalam bahasa Pijper
Imran dapat dilihat baik dari sisi pendidikan yang dilaluinya, karya-karya yang
Dari aspek pendidikan, Basioeni Imran adalah salah seorang murid dari
dua tokoh ulama terkemuka yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (di
Makkah, Arab Saudi; antara 1898 s.d. 1903 M.) dan selanjutnya Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha (di Cairo, Mesir; antara 1908 s.d. 1913 M.). Karya-
karya yang dihasilkan oleh Basioeni Imran juga banyak, tercatat ada 12 kitab
tauhid, fikih, sejarah, tafsir dan ilmu hisab. Selain menulis kitab-kitab, Basioeni
Sementara di bidang sosial politik Basioeni Imran dipercayai oleh pihak Kerajaan
Sambas sebagai Maharaja Imam6 (sejak 9 November 1913 hingga wafat) dan
5
Lihat jawaban-jawabannya dalam: Arsalan, Op.Cit.
6
Maharaja Imam adalah nama jabatan tertinggi yang mengurusi masalah agama Islam di masa
Kerajaan Sambas. Pada awalnya nama jabatan ini adalah Imam. Diriwayatkan Imam Kerajaan
Sambas yang pertama bernama Haji Mushthafa Nuruddin yang dilantik oleh Sultan Muhammad
Ali Shafiyuddin (Pertama) pada tahun 1186 H/1772 M. Kira-kira 100 tahun kemudian, tepatnya
pada 1289 H/1872 M barulah istilah ‘Maharaja Imam’ digunakan. Maharaja Imam Kerajaan
Sambas yang pertama ialah Maharaja Imam Muhammad Arif bin Nuruddin as-Sambasi yang
dilantik oleh Sultan Muhammad Ali Shafiyuddin (Kedua). Sebelum itu, pada 1238 H/1823 M,
Muhammad Arif hanya digelar ‘Imam’. Disebabkan umurnya telah lanjut, Muhammad Arif
menyandang pangkat Maharaja Imam hanya setahun. Pada tahun 1290 H/1873 M, dilantik
anaknya bernama Muhammad Imran bin Muhammad Arif as-Sambasi menggantikannya menjadi
4
Imran juga terpilih mewakili Kalimantan Barat sebagai anggota Konstituante dari
Partai Masyumi. Ini membuktikan bahwa Basioeni Imran layak dikatakan sebagai
ada studi tentang gerakan pembaruan Islam yang dilakukan di daerah lain,
misalnya di Kalimantan dan Sulawesi, khususnya lagi Kalimantan Barat. Hal ini
akan berdampak pada pandangan bahwa di luar Sumatera dan Jawa tidak ada
ulama yang melakukan gerakan pembaruan Islam, padahal tidak demikian adanya.
Oleh karena itu, studi tentang Basioeni Imran sebagai ulama pembaru di Kerajaan
Maharaja Imam. Terakhir sekali dilantik pula cucu Maharaja Imam yang pertama pada 1331
H/1913 M yaitu Haji Moehammad Basioeni Imran bin Maharaja Muhammad Imran. Secara
hirarkis, jabatan dibawah Maharaja Imam adalah: Imam muda atau Imam Maharaja; Maharaja
Khatib; Khatib Maharaja; Sidana Khatib; Penghulu (untuk beberapa tempat di luar ibukota
Kerajaan); Lebai (di setiap Kampung); Bilal dan Modim (untuk setiap masjid) (Lihat: Wan
Mohd. Shaghir Abdullah, 2013, Muhammaad Basiuni Imran, artikel dalam:
http://mabmonline.org, akses 10 September 2013; Moh. Haitami Salim, dkk. Sejarah Kerajaan
Sambas, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2011: 75-76; 113-114). Nama-
nama jabatan ini juga disebutkan dalam naskah Asisten Residentie II Sambas Kalimantan,
tertanggal 30 Januari 1861 yang ditulis oleh De Assistent Resident, sebuah naskah yang awalnya
adalah koleksi Museum Nasional, tetapi sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dengan
kode koleksi: 84 CS – 2/42 (dalam bentuk microfilm dengan kode: 753.01).
7
Beberapa studi tersebut misalnya: (1) Harry J.Benda , The Crescent and The Rising Sun, (Den
Haag: Van Hoee: 1958); Diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae: Bulan Sabit dan Matahari Terbit:
Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985); (2) Deliar Noer,
The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, (New York: Oxford University Press,
1973), edisi Indonesia: Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996);
(3) Alfian, Islamic Modernism in Indonesian Politics: The Muhammadijah Movement During the
Dutch Colonial Period (1912-1942). (The University of Wisconsin PH, 1969, tesis); (4) Taufik
Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933),
(Ithaca, New York: Cornell University, 1971). Lihat penjelasan singkat tentang studi-studi
tersebut dalam: Karel A. Steembrink. Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988: 260-264). Selain karya-karya tersebut, ada juga karya yang
mencoba melakukan rekonstruksi pemikiran Islam Indonesia misalnya Fachry Ali & Bahtiar
Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1992) dan Yudi Latif, Intelegensia
Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. (Bandung: Mizan,
2005). Lagi-lagi dua karya penting tentang perkembangan pemikiran Islam di Indonesia ini sama
sekali tidak menyebutkan tentang gerakan pembaruan di Kalimantan atau Sulawesi.
5
Basioeni Imran. Di antaranya adalah buku yang ditulis oleh G.F. Pijper (Beberapa
Basiuni Imran (1885-1976). 2003) dan Erwin Mahrus (Falsafah dan Gerakan
2007). Hasil penelitian yang belum diterbitkan adalah penelitian A. Muis Ismail
(Prihidup Muhammad Basiuni Imran Maharaja Imam Sambas. 1993) dan Pabali
bentuk artikel atau makalah antara lain ditulis oleh Gusti Mahyudin Ardhi
Shaghir Abdullah (Basiyuni Imran Maharaja Imam. 2006) yang dimuat secara
Basiuni Imran, the Grand Imam of Sambas, on the Friday Prayer Attended by
disebutkan di atas, Basioeni Imran berguru pada dua orang ulama yang relatif
6
Sunni yang mengikuti salah satu mazhab fikih) dan Syeikh Muhammad Rasyid
pemikiran tersebut. Kedua, Basioeni Imran adalah ulama yang produktif menulis
pandangan Ali & Effendy (1992: 68) sosialisasi gagasan melalui media cetak
merupakan ciri pembeda antara para pendukung dan pelaku gerakan pembaruan
untuk dikaji.
8
Ahmad Khatib Lahir di Bukittinggi pada tahun 1855 (Deliar Noer, 1996: 38) atau 1860 (menurut
Hamka). Ia diangkat menjadi imam dari golongan Syafi'i di Masjidil Haram dan kemudian
ditambah menjadi khatib, merangkap guru besar, ulama yang diberi hak mengajar agama di
Masjidil Haram. Meskipun Ahmad Khatib menentang tarekat dan adat Minangkabau di bidang
hukum waris, tetapi ia tetap taklid kepada mazhab Syafi'i di bidang fikih. Kepada murid-
muridnya Ahmad Khatib menyuruh untuk membaca karangan Muhammad Abduh, meskipun
secara pribadi ia tidak setuju dengan Muhammad Abduh. Ahmad Khatib wafat pada tahun 1916.
[Deliar Noer, 1996: 38-40; Karel A. Steembrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19,(Jakarta: Bulan Bintang, 1984: 139-148].
7
masyarakat yang dihadapi oleh Basioeni Imran adalah masyarakat yang masih
Dalam skala yang lebih luas, kajian terhadap ulama memang telah banyak
kajian atas sosok dan pemikiran Basioeni Imran semakin penting dilakukan.
Dengan posisinya sebagai Maharaja Imam, logika politik akan menyatakan bahwa
Basioeni Imran adalah bagian dari agen kerajaan yang harus ikut mendukung dan
menjaga legitimasi kerajaan. Posisi yang demikian menuntut segala pikiran dan
tindakan Basioeni Imran untuk loyal terhadap kebijakan kerajaan. Sementara itu,
tokoh pembaru Islam. Dengan pikiran-pikiran barunya, Basioeni Imran tentu akan
kondisi terakhir ini, Basioeni Imran akan menghadapi dua kutub yang tampaknya
Dilema ini tentu menarik untuk dikaji, khususnya terkait dengan posisi dia sebagai
9
Dalam sebuah wawancara peneliti pada tanggal 3 Februari 2010.
10
Ada istilah lain yang digunakan untuk menunjuk pada “ulama pejabat” di berbagai kerajaan di
Nusantara, misalnya kadi dan syaikhul Islam (Aceh) atau penghulu (di Jawa). Khusus tentang
penghulu penjelasan yang cukup penting dapat dilihat dalam: G.F. Pijper. 1984. Beberapa Studi
Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: UI Press, khususnya halaman: 67-100.
8
ulama.
diperhatikan kategorisasi Weber (1947: 328) tentang tiga sumber legitimasi atas
There are three pure types of legitimate outhority. The validity of their
claims to legitimacy may be based on: (1) Rational grounds—resting on a
belief in the ‘legality’ of patterns of normative rules and the right of those
elevated to authority under such rules to issue commands (legal authority).
(2) Traditional grounds—resting on an established belief in the sanctity of
immemorial traditions and the legitimacy of the status of those exercising
authority under them (traditional authority); or finally, (3) Charismatic
grounds—resting on devotion to the specific and exceptional sanctity,
heroism or exemplary character an individual person, and of the
normative patterns or order revealed or ordained by him (charismatic
authority).
[Ada tiga tipe murni otoritas legitimasi. Validitas klaim otoritas atas
legitimasi didasarkan pada: (1) Alasan Rasional—bertumpu pada
kepercayaan terhadap 'legalitas' pola aturan normatif dan hak mereka
mendapatkan kewenangan sesuai aturan seperti untuk mengeluarkan
perintah (otoritas hukum); (2) Alasan Tradisional—bertumpu pada
keyakinan yang dibangun atas kesucian tradisi turun temurun dan otoritas
atas legitimasi status mereka dijalankan atas dasar hal tersebut (otoritas
tradisional); atau terakhir, (3) Alasan Karismatik—bertumpu pada devosi
kepada kesakralan tertentu dan luar biasa, kepahlawanan atau karakter
teladan seorang individu, dan pola normatif atau perintah yang
diwahyukan atau ditetapkan olehnya (otoritas karismatik)].
ketiga sumber legitimasi atas otoritas yang dimilikinya. Pertama, sumber otoritas
yang bersifat rasional atau yang disebut legal authority yaitu kewenangannya
sebagai Maharaja Imam, kadi dan mufti yang diberikan langsung oleh Sultan
Kerajaan Sambas. Legal authority ini juga diperkuat oleh pemerintah Hindia
adalah keturunan kelima ulama yang memegang jabatan imam atau Maharaja
II. Ketiga sumber legitimasi otoritas yang besifat karismatik, karena Basioeni
Imran menguasai ilmu agama melebihi masyarakat umum yang dengan hal itu ia
keagamaan.
menyebutkan bahwa karisma ada dua jenis, yaitu karisma murni dan karisma
rutin. Karisma murni adalah karisma pribadi yang dimiliki oleh pemimpin dan
merupakan hasil usahanya sendiri. Sementara karisma rutin adalah yang diperoleh
atau diterima (askriptif) pemimpin dalam menduduki jabatan tertentu atau yang
diwariskan menurut garis keturunan. Kedua jenis karisma ini dimiliki oleh
karisma rutin dimiliki karena jabatan Maharaja Imam yang disandangnya adalah
jabatan turun temurun. Jika Weber memasukkan legitimasi otoritas yang diperoleh
meskipun berbeda dengan Weber dalam memaknai karisma tetapi justru semakin
otoritas tersebut, Basioeni Imran memiliki posisi dan peran yang penting dalam
ulama dalam kategori “ulama pejabat”. 11 Karena itu, penelitian ini penting
pembaruan. Kajian tentang sosok ulama pejabat yang diperankan oleh Basioeni
Imran semakin menarik jika melihat konteks lokalitasnya. Berbeda dengan para
berbeda. Perbedaannya terletak pada proses kelahiran mereka sebagai ulama dan
Ulama-ulama di Jawa pada umumnya lahir dan besar dengan berbasis pada
Sambas bukan ulama yang lahir dan besar karena pondok pesantren yang mereka
bangun. Bahkan sangat sedikit ulama yang dikenal luas masyarakat yang memiliki
Kalimantan Barat sebagian besar tidak berasal dari pesantren. Demikian juga
11
Dari penelusuran penulis ada empat tulisan yang mengulas tentang ulama penjabat (khususnya
tentang penghulu di Jawa). Tulisan tersebut adalah: (1) Ibnu Qayim Isma’il, Kiai Penghulu
Jawa Peranannya di Masa Kolonial, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997); (2) G.F. Pijper,
Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1985), khususnya bab
2, halaman 67-100; (3) Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad
ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), khususnya bab ke-5 bagian 2, halaman 226-233; dan (4)
Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1980), tetapi karya
Lev ini fokus perhatiannya menyangkut segi-segi politik sosial dan dalam perubahan hukum
yang berlaku di Indonesia.
11
bahwa sumber kewibawaan kyai (ulama) bisa dari beberapa sumber, yaitu: (1)
hubungan antar para kiai; (4) hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan; dan (5)
kualitas pribadi para kiai sendiri. Berdasarkan konsep dari Dirdjosanjoto ini,
masih dugaan, maka harus dilakukan kajian lebih lanjut tentang sumber-sumber
kewibawaan Basioeni Imran, terutama dalam kaitannya dengan posisi dia sebagai
ulama pejabat.
mengusung ide pembaru Islam. Ada sejumlah pertanyaan yang dapat diajukan
terkait dengan hal tersebut. Pertanyaan itu antara lain bagaimana sosok pribadi
pesantren lain?
mengurai biografi dan genealogi pemikiran Basioeni Imran. Hal berikutnya yang
tokoh, yaitu pemikiran teologi, fikih, tafsir, dan pendidikan. Di sinilah letak
sebagaimana telah disebutkan di atas, yang lebih cenderung hanya menelaah salah
satu saja dari aspek pemikiran keagamaan Basioeni Imran. Melihat seorang tokoh
hanya dengan mengambil salah satu aspek pemikirannya tentu akan menimbulkan
pemahaman yang parsial dan mungkin bisa keliru. Memahami pemikiran seorang
tokoh haruslah dilihat secara utuh dari seluruh spektrum pemikirannya. Untuk
umat, Basioeni Imran juga dituntut untuk melakukan perubahan dan perbaikan
umat melalui ide-ide pembaruan. Sebagai seorang ulama, Basioeni Imran harus
menjadi agen pembaru di tengah umatnya. Di sinilah letak masalah yang akan
13
dikaji dalam penelitian ini. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Bagaimana
Basioeni Imran memainkan perannya sebagai ulama pejabat sekaligus ulama yang
sebagai pembaru?
tafsir, pendidikan)?
ulama melalui studi atau penelitian sejarah mempunyai beberapa tujuan. Pertama,
seorang tokoh ulama pada masa lampau secara metodis dan sistematis. Terkadang
kebenaran ilmiah dapat tersaji. Dalam konteks ini, peneliti berupaya menerapkan
pernyataan Leopold von Ranke bahwa sejarah yang ditulis haruslah sebagaimana
peristiwa itu terjadi (”wie es eigentlich gewesen ist”) (Lubis, 2008: 91). Kedua,
ikut melestarikan masa lampau yang penuh makna untuk dijadikan pendidikan
moral (Kuntowijoyo, 2001: 23, 26), dalam konteks ini adalah sosok pribadi dan
pelajaran dari pengalaman hidup seorang ulama yang terjadi di masa lampau
Imran sangat penting artinya bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat
Sambas khususnya, agar dapat diteladani. Kehadiran sosok tokoh ulama Basioeni
Imran telah memberi banyak kontribusi bagi kemajuan masyarakat Sambas pada
Sambas sebagai Serambi Mekah saat ini telah hilang. Saat ini, yang dikenal dan
diingat orang tentang Sambas tidak lagi ia sebagai Serambi Mekah, tetapi sebagai
daerah yang tidak ramah bagi semua orang. Masyarakat Sambas telah melakukan
tindakan yang jelas tidak mencerminkan pengamalan agama yang benar ketika
Apa yang telah dilakukan oleh Basioeni Imran diharapkan dapat menjadi contoh
12
Terjadi konflik sosial di Sambas pada 1999 yang mengakibatkan banyak korban jiwa serta
terusirnya salah satu kelompok etnis dari Kabupaten Sambas. Padahal kelompok etnis ini telah
bermukim dan menetap di sana selama beberapa generasi sehingg banyak yang sudah kawin-
mawin dengan masyarakat setempat.
15
gerakan pembaruan Islam yang terjadi di Sambas. Basioeni Imran dikenal sebagai
murid dari salah seorang tokoh pembaru Islam dari Mesir yaitu Muhammad
agar umat Islam kembali kepada ajaran yang sebenarnya, yaitu ajaran yang murni
dari segala bid’ah yang menggerogoti ajaran tauhid. Ridha juga menentang paham
memperlemah umat Islam. Oleh karena itu, agar umat Islam kuat perlu diterapkan
Ridha ini adalah penolakannya pada paham tasawuf dan tarekat yang ekstrem.
Ajaran ini dianggap juga turut andil dalam memperlemah umat Islam (Sani, 1998:
idenya ke tengah masyarakat. Hal ini sangat penting diungkap agar dapat
dijadikan acuan bagi para da’i dan pemikir agama dalam menyosialisasikan ide-
pemahaman masyarakat.
Dalam konteks ini, ada tiga konsep yang harus dijelaskan, yaitu konsep ulama,
16
ulama pejabat, dan pembaruan. Selain konsep, perlu juga dijelaskan teori yang
didapatkan dari sumber-sumber yang ada. Teori yang akan digunakan dalam
interpretasi adalah teori yang terkait dengan peran ulama di tengah masyarakat
yang disebut sebagai “cultural broker” dari Eric Wolf yang kemudian diperkuat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 985) ulama adalah orang
yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Shihab (1992: 382)
dikemukakan lebih lanjut oleh Shihab, pengertian ulama saat ini mengalami
pengetahuan agama saja, dan tidak termasuk orang yang mempunyai pengetahuan
umum.
Hsubky (1995: 47) menyebutkan tujuh kriteria yang harus dimiliki oleh
seorang ulama, yaitu: (1) Menguasai ilmu agama Islam dan sanggup membimbing
Alquran, hadis, ijma’, dan qiyas; (2) Ikhlas melaksanakan ajaran Islam; (3)
perbuatan positif, bertanggung jawab, dan istiqamah; (5) Berjiwa besar; kuat
17
mental dan fisik, tahan uji, hidup sederhana, amanah, beriradah, berjamaah,
tawaduk, kasih sayang terhadap sesama, mahabbah, serta khasyyah dan tawakal
kepada Allah; (6) Mengetahui dan peka terhadap situasi zaman serta mampu
menjawab setiap persoalan untuk kepentingan Islam dan umatnya; dan (7)
Menerima pendapat orang lain yang tidak bertentangan dengan Islam dan bersikap
tawaduk.
Sebagai pewaris nabi, ulama mengemban beberapa fungsi, antara lain: (1)
memberi stimulasi bagi orang untuk melakukan pengamalan agama; (2) Tibyan,
lugas, jelas dan tegas; (3) Tahkim, yaitu menjadikan Alquran sebagai referensi
utama dalam memutuskan perkara dengan bijaksana dan adil; (4) Uswatun
Hasanah, yaitu menjadikan dirinya sebagai tauladan yang baik dalam pengamalan
agama (Anwar & Malik, 2003: 17). Sementara itu, menurut Shihab (1992: 385)
Dari segi pendidikan menurut Fajar (1999: 153), fungsi ulama dapat
keulamaan. Fungsi ulama dalam versi berbeda dikemukakan oleh Hsubky (1995:
18
66) sebagai berikut: (1) Menegakkan dakwah dan membentuk kader ulama; (2)
Mengkaji dan mengembangkan Islam; dan (3) Melindungi Islam dan umatnya.
menurut Huda (2007: 211-213) terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok
ulama bebas atau ulama yang kedudukan peran sosialnya berada di jalur al-
disebut juga dengan kyai atau ulama pondok pesantren. Tugas utama ulama ini
adalah guru atau pengajar dan sekaligus sebagai penyiar (muballigh) agama.
Istilah lain dari ulama pejabat ini adalah kadi (khususnya di Kerajaan
Malaka, Aceh dan Banten) (Burhanudin, 2012: 37-41). Kelompok ulama ini
qadha. Dengan kata lain, kelompok ulama pejabat mempunyai peran utama
Pada masa penjajahan, ulama tipe ini dipandang sebagai operator dari penguasa
disebut dengan ulama dependen. Ulama pejabat yang di Jawa dan Madura disebut
penghulu menurut Isma’il (1997: 117) merupakan pemuka agama yang berada di
dua dunia, yakni sebagai formal leader dan informal leader di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, penghulu menduduki tempat yang penting dalam peran
65-78) dengan menambahkan satu kategori baru yang berada di posisi tengah. 13
ulama-bebas, yaitu ulama pemimpin yang bertolak dari pengakuan umat dan
dipersyaratkan oleh kemampuan diri yang telah dibuktikan. Mewakili tipe seperti
ini adalah para muballigh dan guru agama yang sering mempunyai pusat-pusat
sistem kekuasaan dan harus selalu mengingatkan umat mana yang haq dan yang
bathil.
dari pemegang kekuasaan temporal atau masyarakat adat, dan lebih berkaitan
dengan status sosial. Mewakili tipe ini adalah para pejabat yang dipercayakan
Mereka adalah bagian dari sistem kekuasaan, yang menjaga agar ketentuan hukum
dan struktural agama mereka keduanya terletak pada keahlian keagamaan yang
13
Bandingkan pendapat Taufik Abdullah ini dengan kategorisasi yang dibuat oleh Karel A.
Steenbrink (1984: 227) yang membagi ahli agama menjadi tiga, yaitu: penghulu, pemimpin
masjid, dan kyai pesantren.
20
keagamaan sebelum menjadi pemimpin jalur organisasi. Tetapi tak jarang pula
tugas ulama pejabat yang di Jawa disebut penghulu ada lima. Pertama, mengadili
soal-soal agama menurut hukum Islam. Oleh karena itu ia dapat disebut qadi
Agama). Kedua, sebagai mufti, yaitu orang yang memberi penerangan tentang
hukum agama. Ketiga, mengepalai masjid dan juga kepala seluruh pegawai serta
bawahannya. Ia juga mengurus keuangan masjid, seperti uang nikah, hasil wakaf,
zakat dan sedekah. Keempat, mengurus dan mencatat pernikahan, perceraian dan
Pemosisian ini tentu saja tidak bisa dilakukan sesederhana ini. Dibutuhkan
analisis yang komprehensif dan mendalam atas sosok pribadi dan kiprahnya di
14
Karel A. Steenbrink (1984: 227-228) juga menyebutkan lima tugas penghulu, tetapi dengan
sedikit perbedaan. Tugas penghulu adalah: (a) Sebagai mufti (‘penasihat hukum Islam’), dia
harus menghadiri sidang-sidang pengadilan negeri (landraad) dan untuk fungsi ini ia diangkat
oleh pemerintah Belanda dan memperoleh uang sidang. (b) Sebagai Qadi atau hakim dalam
pengadilan agama. (c) Sebagai imam masjid, dia mengurus segala sesuatu yang berhubungan
dengan masjid raya di tempat kediamannya. (d) Sebagai wali hakim, dia mengawinkan wanita
yang tidak mempunyai wali; dan pada perkawinan lain membantu demi keabsahan perkawinan.
(e) Menurut adat dia adalah satu-satunya orang yang berhak mengumpulkan zakat; yang tidak
diperuntukkan bagi mustahik, tetapi untuk gajinya.
21
sering terjadi gesekan antara ulama birokrat dengan ulama rakyat. Terlepas dari
masalah tersebut, secara umum ulama mempunyai peran dan posisi khusus dalam
broker (perantara kebudayaan). Sebutan ini didasarkan pada peran mereka yang
sistem yang lebih luas. Bahkan, menurut Leonard Binder, tanggung jawab dan
Selanjutnya, menurut Geertz (1960) kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus
informasi yang masuk ke kalangan kaum santri, menularkan apa yang dianggap
berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Manakala
informasi yang masuk begitu deras dan tidak mungkin disaring, maka peran kyai
menjadi macet. Dalam kondisi seperti ini maka kyai mengalami kesenjangan
bahwa kyai berperan kreatif dalam perubahan sosial. Kyai bahkan memelopori
nyata masyarakat. Hal ini terjadi karena ia sadar bahwa perubahan adalah hal yang
22
tak bisa dihindari. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana kebutuhan akan
perubahan itu dapat dipenuhi tanpa merusak ikatan-ikatan sosial yang telah ada.
perubahan sosial yang diinginkan. Jika Geertz melihat peran kyai atau seorang
ulama hanya sebagai perantara, maka Horikoshi lebih jauh berpendapat bahwa
masyarakatnya.
benda yang berasal dari kata “baru”. Baru adalah adjective yang berarti “belum
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Sehingga yang tepat menurut Nasution adalah pembaharuan dalam Islam. Definisi
yang agak berbeda dan selanjutnya akan menjadi patokan dalam penelitian ini
kelompok pada kurun dan situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan di dalam
realitas sosial pada lingkungan tertentu tersebut tidak sesuai atau bahkan
menyimpang dari apa yang dipandang sebagai Islam yang sebenarnya, Islam yang
lebih sesuai dengan cita ideal. Terlepas dari bagaimanapun berbedanya persepsi
tentang “Islam ideal” tersebut, sesuai dengan cara pandang, pendekatan, latar
belakang sosial kultural, dan keagamaan individu dan kelompok pembaru yang
sampai bahkan kepada sekularisme dan westernisme. Berbagai tipologi ini jelas
bukan penggolongan yang ketat. Karena, satu tipologi tertentu bisa saja
dari generasi Islam baru yang terpengaruh Barat untuk menyesuaikan diri dengan
24
kebudayaan Islam. Dengan kata lain, modernisme Islam merupakan sebuah titik
saja akan bergerak kembali ke arah Islamisme atau bergerak ke arah sekularisme.
Seperti halnya yang terjadi di Turki di bawah Turki Muda, atau berada dalam
posisi moderat di antara kedua titik ekstrim itu. Berbeda dengan modernisme,
reformisme Islam dikatakan sebagai usaha untuk menata kembali umat Muslim
dan memperbarui perilaku individu. Proyek historis ini didasarkan pada gagasan
pemurnian kepercayaan dan praktik Islam dengan kembali kepada sumber yang
autentik, yaitu Alquran dan Sunnah, serta memiliki kecenderungan kuat untuk
dapat dilacak pada diri Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) yang diikuti idenya oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M). Gerakan Muhammad bin Abdul
banyaknya praktik atau kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai dengan paham
kepada para ulama tarekat, ziarah ke kuburan wali dengan tujuan meminta
(bertentangan dengan paham tauhid). Semua kebiasaan itu adalah bid’ah, tidak
25
pernah dipraktikkan oleh Rasulullah, para sahabat dan para ulama-ulama besar
yang disebut dengan salaf.15 Gerakan Wahhabi kemudian juga dikenal dengan
gerakan salafi, karena ingin agar praktik keberagamaan kembali mencontoh apa
antara keduanya. Gerakan pemaduan ini oleh Latif (2005: 123-124) disebut
adalah kebangkitan kembali Islam secara politik. Dengan tujuan yang sama,
(1992: 9) menyatakan bahwa akan selalu diiringi oleh suatu ketegangan dan
konflik yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena adanya perbedaan antara
doktrin agama dan dinamika perubahan dunia. Kedua, karena proses sosiologis.
15
Terdapat pergeseran makna gerakan Salaf pada awal munculnya dan maknanya saat ini. Pada
masa-masa awal, gerakan salaf (salafiyah) berarti gerakan yang ingin mengembalikan agama
Islam pada dua sumber aslinya yaitu Alquran dan Sunnah Nabi, dengan meninggalkan
pertengkaran mazhab dan segala bid’ah yang disisipkan orang ke dalamnya. Gerakan inilah
yang menurut Aboebakar Atjeh (1970: 5) berhak dinamakan Aliran Pembaharuan dalam Islam
(at-Tajdid fi al-Islam), yang dalam bahasa asing diterjemahkan dengan reformisme. Dalam
perkembangan terkini, muncul istilah gerakan Salafi Wahhabi, yang dalam wujud gerakannya
lebih bersifat frontal dan keras dan berpandangan linier-tekstual dalam memahami teks-teks
agama (ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi).
26
Lebih jelasnya, mengapa ketegangan dan konflik itu muncul, berikut pendapat
keduanya.
Suatu hal yang sulit sekali dihindari dalam dinamika pemikiran keagamaan
perkembangan pemikiran itu. Di satu pihak, ketegangan dan konflik muncul oleh
segi doktrinal suatu agama dalam situasi dunia yang selalu berubah. Ketegangan
antara doktrin dan dunia merupakan persoalan yang tidak pernah selesai di mana
modernisasi.
Di lain pihak, ketegangan dan konflik itu muncul oleh proses sosiologis.
Kehadiran suatu agama, atau tepatnya suatu pemikiran agama tertentu, kerap
menciptakan lembaga yang mewadahi proses mobilitas vertikal bagi mereka yang
mengontrol pemikiran agama itu. Dari sini lahir elit agama, yang sekaligus elit
mengancam sistem sosial dan kepemimpinan lama (Ali & Effendy, 1992: 9).
Tentu generalisasi yang dilakukan oleh Ali dan Effendi tersebut harus
Basioeni Imran dikenal sebagai sosok pembaru Islam pada awal abad ke-20 di
Kerajaan Sambas. Melalui kajian sejarah intelektual yang akan dilakukan ini,
peneliti ingin membuktikan, apakah generalisasi Fachry Ali dan Bahtiar Effendi
ini juga mengiringi upaya pembaruan pemikiran keagamaan yang dilakukan oleh
Basioeni Imran. Jika terjadi ketegangan dan konflik, seberapa besar ketegangan
dan konflik itu; dan sebaliknya jika tidak terjadi ketegangan dan konflik harus
pembaru yang banyak mendapat pengaruh dari gurunya Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935 M.). Oleh karena itu, perlu dijelaskan sekilas bagaimana pemikiran
keagamaan Rasyid Ridha. Hal ini penting sebagai acuan dalam menganalisis
keagamaan Basioeni Imran. Rasyid Ridha dikenal sebagai salah seorang pembaru
di Mesir dan merupakan murid dari Muhammad Abduh (1849-1905 M). Murid
dan guru ini sama-sama lulusan Universitas al-Azhar Cairo, Mesir. Meskipun
Rasyid Ridha banyak berguru kepada Muhammad Abduh, tetapi antara keduanya
dipengaruhi oleh ajaran Ibn Taimiyah dan aliran Wahabiah. Menurut Nasution
28
(2002: 99) guru [Muhammad Abduh] lebih liberal dari murid [Rasyid Ridha].
Guru melepaskan diri dari aliran-aliran mazhab, sedangkan murid mengikut pada
aliran dan mazhab. Tetapi pada garis besarnya murid mengikuti ide pembaruan
guru. Kemunduran umat Islam menurut Rasyid Ridha disebabkan karena mereka
tidak lagi menganut Islam yang murni dan untuk mengetahui Islam murni, umat
Islam harus kembali kepada Alquran dan Hadis. Ajaran Islam tidak membawa
bertentangan dengan Islam dan umat Islam harus menerima peradaban itu.
Peradaban Barat sekarang berasal atau bersumber dari kemajuan peradaban Islam
pada Zaman Klasik (650 – 1250 M). Pembaruan harus juga memasuki lapangan
fikih.
oleh Ibn Taimiyah, yaitu berpegang ketat kepada kemurnian ajaran Islam sesuai
dengan Alquran dan Sunnah. Menurut Rasyid Ridha umat Islam harus kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu ajaran yang murni yang bebas dari
segala bid’ah yang menggerogoti ajaran tauhid itu. Lebih jauh, seperti Abduh,
Rasyid Ridha juga menyoroti paham fatalisme (jabari) yang berakar kuat di
tengah masyarakat dan telah memperlemah umat Islam. Agar umat Islam tidak
kemajuan dan perubahan hidup yang dijalani umat Islam, sepenuhnya lebih
29
ditentukan oleh umat Islam sendiri. Di bidang pendidikan Rasyid Ridha juga
ilmu umum ke dalam lembaga pendidikan milik umat Islam. Sementara di bidang
penelitian ini akan menggunakan teori yang diperkenalkan oleh Eric Wolf dan
sebagai cultural broker. Dalam pandangan Geertz (1960), kyai berperan sebagai
alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke kalangan kaum santri,
menularkan apa yang dianggap berguna dan membuang apa yang dianggap
merusak bagi mereka. Manakala informasi yang masuk begitu deras dan tidak
mungkin disaring, maka peran kyai menjadi macet. Dalam kondisi seperti ini
menyatakan kyai [ulama] berperan kreatif dalam perubahan sosial. Kyai bahkan
dengan kebutuhan nyata masyarakat. Hal ini terjadi karena ia sadar bahwa
perubahan adalah hal yang tak bisa dihindari. Masalah yang dihadapi adalah
bagaimana kebutuhan akan perubahan itu dapat dipenuhi tanpa merusak ikatan-
30
ikatan sosial yang telah ada. Bahkan justru memanfaatkan ikatan-ikatan sosial itu
kyai menjadi tiga kategori: kiai langgar, kiai pesantren dan kiai tarekat. Kiai
langgar yang awalnya lahir karena penerimaan masyarakat lambat laun berubah
menjadi dilahirkan oleh proses politik. Kiai pesantren adalah kiai supralokal, yang
kewibawaan kiai bisa dari beberapa sumber, yaitu: (1) dukungan dan penerimaan
umat; (2) dukungan kelembagaan; (3) jaringan hubungan antar para kiai; (4)
hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan; dan (5) kualitas pribadi para kiai sendiri.
kiai tetap menjadi tempat penduduk datang untuk bertanya tentang berbagai
perubahan di luar yang tidak mereka pahami. Tak jarang kiai memakai
kiai sebagai “cultural broker” tidak terbatas hanya pada masa transisi, dan dalam
kaitan antara kebudayaan nasional dan kebudayaan lokal. Posisi sebagai perantara
berada dalam konteks lebih luas. Kiai berperan sebagai perantara dalam segala
segi kehidupan umatnya: antara doktrin dan praktik, antara Tuhan dan umat,
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang
31
dikatakan termasuk studi tokoh dan termasuk jenis penelitian kualitatif dengan
Langkah ini sebenarnya telah peneliti lakukan sejak 2010, di saat peneliti terlibat
menelusuri sumber-sumber di Sambas pada Agustus 2016 dan Mei 2017. Dalam
karya Basioeni Imran yang tersimpan di Museum Tamadun Islam Nagri Sambas
Basioeni Imran. Sumber-sumber primer yang telah ditemukan tersebut telah pula
peneliti lakukan proses digitalisasi, sehingga copy digital dalam bentuk file telah
ada di tangan peneliti. Selain dari museum tersebut, peneliti juga telah melakukan
kitab baik dalam bentuk asli hasil cetakan penerbit atau sudah dalam bentuk foto
copy peneliti peroleh antara lain dari para peneliti terdahulu seperti dari Erwin
32
Sambas.
sejumlah dokumen pribadi milik Basioeni Imran dari anaknya Badran Basioeni
Kesultanan Sambas dan kondisi sosial budaya yang melingkupi zaman Basioeni
daerah seperti Kantor Arsip dan Perpustakaan Provinsi Kalimantan Barat dan
terkait Kerajaan Sambas seperti, peta kuno, naskah kontrak, Regeerings Almanak
manuskrip tentang Kerajaan Sambas, dan beberapa surat kabar terbitan Borneo
Barat yang memberitakan tentang kondisi Kerajaan Sambas dan Basioeni Imran.
Surat kabar yang ditemukan anatara lain: Warta Borneo (terbitan 1924), Sinar
Borneo (terbitan 1926), Oetoesan Borneo (terbitan 1928), dan Borneo Barat
narasumber yang diduga kuat pernah bertemu dan berinteraksi dengan Basioeni
Imran. Beberapa narasumber yang telah diwawancarai antara lain Badran bin
Basieoni Imran,16 mantan imam masjid Jami Sultan Safiuddin, mantan guru
Fokus masalah yang digali dari sumber-sumber lisan ini khususnya yang berkaitan
penulisnya adalah kenal dekat dengan peneliti, maka peneliti bisa berkomunikasi
yang diperoleh dari internet adalah sumber sekunder dan bahkan tersier. Namun
dalam penyempurnaan hasil penelitian. Salah satu sumber berharga yang peneliti
peroleh dari penelurusan di internet adalah edisi lengkap (volume ke-1 sampai
ke-35) majalah ilmiah al-Manar yang diterbit di Mesir oleh Muhammad Rasyid
diajukan kepada Rasyid Ridha. Selain majalah al-Manar, peneliti juga dapat
mengunduh sejumlah buku berharga, terutama buku lama yang tidak lagi terbit
16
Salah seorang anak Basioeni Imran yang masih hidup dan mengetahui perihal bapaknya serta
menyimpan beberapa dokumen pribadi Basioeni Imran.
34
naskah karya Basioeni Imran sebagian besar telah tercetak dalam bentuk
buku/kitab, maka kritik eksternal tidak diperlukan. Hal yang perlu dikerjakan
terutama dengan melihat bentuk tulisan dan gaya bahasa naskah yang dapat
menggunakan aksara Arab Melayu memiliki bentuk khusus yang relatif konsisten
sehingga dapat dibedakan dengan tulisan tangan orang lain. Dalam beberapa
manuskrip, Basieoni Imran juga membubuhkan tanda tangan yang dapat menjadi
peneliti meneliti nilai sumber serta kemampuan dan kemauan sumber memberikan
kesaksian yang benar (Herlina, 2008: 30-34). Tak kalah pentingnya adalah peneliti
kredibel.
dilakukan analisis dan sintesis (Herlina, 2008: 36-39; Daliman, 2012: 87).
sejarah. Ada dua bentuk interpretasi dalam upaya merekonstruksi sejarah tokoh
Basioeni Imran. Pertama, memberikan kembali relasi antar fakta-fakta, baik relasi
35
subjek (siapa?), tempat (di mana?), waktu (kapan?), okupasional atau fungsional
interpretasi ini peneliti menggunakan teori dan konsep dari ilmu sosial lain
membuat lukisan, bukan memotret. Sejarah sebagai sebuah lukisan, tidak memuat
secara utuh dan serupa atas apa yang terjadi layaknya dalam potret. Tercermin
sejarawan tidak terlalu bebas dalam mengekspresikan diri; dia terikat pada fakta-
fakta, dan dalam cerita sejarah bagaimana cerita itu sebenarnya terjadi.
komentar, dan ekspresi emosional, yang kesemuanya tidak relevan dengan cerita
lukisan waktu itu, pemaparan akan disusun berdasarkan tema-tema yang telah
disusun sebelumnya.
yang menjadi bahan dasar penelitian ini, peneliti telah mengoleksi sejumlah
Basioeni Imran. Berikut karya-karya Basioeni Imran yang telah peneliti koleksi:
(2) بداية التوحيد في علم التوحيد (Bidayah al-Tawhid fi al-Ilm al-Tawhid / Dasar-
(3) ( جهيا سوله فد مندريكن جمعة كورغ درفد امفت فولهCahaya Suluh Pada Mendirikan
(4) ( تذكير سبيل النجاه في تارك الصالةTazkir, Sabil al-Najah fi tarik al-Shalat /
Sembahyang);
(5) ( حسن الجواب عن اثبات االهلة بالحسابHusn al-Jawab ‘an Isbat al-Ahillah bi al-
(6) االبانة واالنصاف في المسائل الدينية وازالة التفرق فيها واالختالف (Al-Ibanatoe wal
(7) ( ارشاد الغلمان الى اداب تالوة القرانIrsyad al-Gilman ila Adab Tilawat al-Qur’an
37
(9) خالصة السيرة المحمدية حقيقة سروان اسالم (Khulashah al-Sirah al-
(10) ( بحث فركارا بربيلغ استري اتو بركاوين لبه دري ساتوBahas Perkara Berbilang Istri
(12) ( ترجمة االمام الشافعيي رضي هللا عنهTarjamah al-Imam al-Syafi’i Radhiya Allah
‘Anh);
memiliki beberapa buku catatan salinan surat menyurat, buku catatan harian dan
lisan. Sumber lisan ini antara lain hasil wawancara anak Basioeni Imran bernama
Badran, mantan guru Sekolah Tarbiyatul Islam, tokoh agama, dan masyarakat
Kampung Dagang Timur (tempat tinggal Basioeni Imran semasa hidupnya). Para
Imran, yang bertemu dan berinteraksi langsung dengan Basioeni Imran. Sumber
lisan ini terutama untuk melihat sosok pribadi, pemikiran dan aktivitas Basioeni
Imran dari perspektif orang lain. Ini penting dilakukan untuk memberikan
sejumlah sumber visual, berupa foto-foto yang terkait dengan tema penelitian.
Tentu saja sumber foto-foto ini adalah foto yang memiliki identitas, sehingga
dan informal yang dialami, watak-watak orang yang ada di sekitarnya. Menyelami
moral, dan rasionalnya lebih tampil. Lebih lanjut Kartodirjdo mengatakan bahwa
tersedia. Berdasarkan pendapat ini, saat ini peneliti telah memiliki cukup sumber
berupa tulisan-tulisan Basioeni Imran baik yang sudah tercetak maupun yang
masih dalam bentuk naskah manuskrip dan naskah ketikan. Jenisnya ada yang
berupa surat-surat pribadi, daftar riwayat hidup, dokumen surat-surat penting, dan
buku harian.
menempatkan diri dalam konteks zamannya. Dalam hal ini peneliti harus mampu
situasi tokoh itu, bagaimana emosinya, motivasi dan sikapnya, persepsi dan
konsepsinya (Kartodirdjo, 1982: 66-67 dan 1992: 77). Padmo (2007: 159)
39
politik. Dalam menganalisis peran Basioeni Imran sebagai seorang elit (ulama
tentang peran elit atau birokrat dalam menentukan kebijakan pemerintah (Weber,
Dari penelusuran yang telah peneliti lakukan terdapat tiga buku, satu tesis
dan satu laporan penelitian yang ada untuk mengungkap biografi dan pemikiran
Basioeni Imran. Tulisan pertama adalah buku yang ditulis oleh Machrus Effendi
(1995) berjudul “Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas H.M.
menyoroti biografi umum Basioeni Imran. Tidak ada elaborasi tentang latar
belakang pendidikan dan pengaruhnya pada pembentukan pola pikir. Buku ini
Muhammad Basiuni Imran (1885-1976). Buku ini awalnya adalah tesis di IAIN
Wali Songo Semarang. Buku ini berisi rekonstruksi pemikiran Basioeni Imran di
bidang fikih yang meliputi dua pokok bahasan utama, yaitu corak pemikiran dan
metode istinbath hukum yang digunakan. Penulis buku ini hanya membatasi diri
mengkaji tiga karya Basioeni Imran, yaitu Tadzkir, Kitab al-Janaiz dan Cahaya
Suluh. Dalam kesimpulannya, penulis buku ini mengatakan bahwa Basioeni Imran
sebagai fuqaha yang rasional, tetapi di saat tertentu ia berpikir “literal dan
tekstual”. Namun yang pasti ia adalah penganut mazhab Syafi'i baik secara qauli
maupun secara manhaji. Karena buku ini hanya menyoroti satu sisi pemikiran
Tulisan ketiga adalah buku yang ditulis oleh Erwin (2007) berjudul
Basiuni Imran (1885-1976)”. Buku ini awalnya adalah tesis di IAIN Walisongo
Azhar Cairo, Mesir. Selain itu, faktor kondisi pendidikan di Sambas yang
memprihatinkan pada saat itu juga menjadi faktor yang memengaruhi pembaruan
pendidikan luar sekolah melalui kegiatan dakwah Islamiyah. Buku ini meskipun
telah menyoroti ide-ide pembaruan Basioeni Imran, tetap saja tidak utuh karena
Perbedaan penelitian ini dengan ketiga buku di atas dan tulisan lainnya 17
terletak pada sisi keluasan cakupan pemikiran keagamaan Basioeni Imran yang
akan dielaborasi dan dari sisi sumber-sumber yang digunakan. Penelitian ini
Imran, yaitu pemikiran teologi, hukum, tafsir, dan pendidikan serta pengaruhnya
di tengah masyarakat. Tentu saja tidak berarti bahwa penelitian ini hanya
berupaya menggabungkan apa yang telah dibahas oleh buku-buku tersebut. Hal ini
17
Masih ada tulisan lainnya yang berupa hasil penelitian yang dilakukan oleh Pabali Musa (1999)
dalam bentuk tesis berjudul “Muhammad Basiuni Imran”. Tesis tersebut sudah mengungkap ide-
ide dan pemikiran keagamaan Basioeni Imran secara cukup luas, termasuk juga biografi
intelektualnya.Tesis ini lebih menyoroti pemikiran keagamaan, khususnya di bidang fikih dari
Basioeni Imran. Dalam tesis ini diungkap juga tentang kecenderungan Basioeni Imran yang
paling kuat dalam menggagas perbaikan kehidupan umat tanpa kekerasan melalui keterikatan
yang kuat terhadap khazanah yang telah ada. Karena itu, Musa menyebut Basioeni Imran dengan
“reformis tradisionalisme”. Selain itu, sumber-sumber yang digunakan juga tidak jauh berbeda
dengan sumber yang digunakan oleh ketiga buku yang telah disebutkan sebelumnya.
42
akan terlihat terutama dengan ditemukannya beberapa sumber yang belum pernah
Disertasi ini disusun menjadi lima bab. Pada bab pertama, yaitu
memasuki bahasan utama, dijelaskan latar belakang historis baik dalam konteks
spasial global maupun lokal yang melatari kehidupan Basioeni Imran. Dalam
konteks global dijelaskan sejarah lahirnya gerakan pembaruan di dunia Islam dan
dipaparkan sejarah berdirinya Kerajaan Sambas dan kondisinya hingga pada masa
Basioeni Imran lahir dan menjabat sebagai Maharaja Imam. Latar historis ini
dijelaskan pada bab kedua. Pada bab ketiga, dipaparkan riwayat hidup dan
genealogi intelektual Basioeni Imran. Dalam bagian ini diurai latar belakang
Basioeni Imran dalam berbagai aspek. Aspek pemikiran yang dielaborasi adalah
aspek teologi, hukum, tafsir, dan pendidikan. Di akhir bab ini diuraikan juga
pendapat umat Islam. Bab terkakhir atau kelima adalah penutup yang berisi
BAB II
di Kerajaan Sambas tidak akan memberikan gambaran yang utuh dan tepat jika
disajikan benar-benar utuh, dalam bab ini digambarkan latar belakang historis
baik dalam konteks kondisi dunia Islam secara global khususnya di Timur Tengah,
lokal wilayah Hindia Belanda, dan lebih kecil lagi adalah di Kalimantan Barat dan
Kerajaan Sambas.
karena dari sanalah salah satu sumber inspirasi pembaruan di Indonesia. Azra
(2002: 90; 183) menyebut bahwa sejak Islam berkembang di Asia Tenggara
Melayu-Indonesia, baik yang terjadi pada abad ke-17 dan ke-18 maupun pada
awal abad ke-20, didorong oleh jaringan lama di Haramain serta gerakan
pembaruan yang terjadi di Timur Tengah, khususnya Kairo dan Mekah. Zayd
mengatakan:
43
44
(Di sisi lain, gerakan reformasi agama tidak dapat dipisahkan dari gerakan
keagamaan di tempat lain di Dunia Muslim, khususnya di Timur Tengah.
Reformasi agama pada akhir abad ke-19 di 'jantung Islam' yang
diprakarsai oleh pemikir berpengaruh seperti al-Afghani dan Muhammad
Abduh, memiliki dampak besar pada wacana di Indonesia.)
Bertolak dari pendapat Zayd tersebut, pada bagian awal bab ini membahas
pembaruan di Dunia Islam, khususnya di Timur Tengah yaitu Arab Saudi dan
Mesir. Kedua, wilayah yang menjadi tempat Basioeni Imran menuntut ilmu dan
Pembaruan di dalam Islam tidak hadir begitu saja. Pembaruan baru muncul
periode: (1) Arabia sebelum Islam (hingga 610 M.); (2) Muhammad (610-632
M.); (3) Khalifah hingga akhir Umayyah (632-750 M.); (4) Khalifah Abbasiyah
dan negara-negara dan penggantinya (mulai 749 M. sampai pertengahan abad ke-
11 M.); (5) Periode Saljuq (1055 – 1258 M.); (6) Periode Mongol, mulai
[Usmani] (1258 – 1517 M.); (7) Periode Ottoman [Usmani] (abad ke-16 – abad
45
ke-18 M.); dan (8) Munculnya negara-negar bangsa, westernisasi dan reformasi
membagi sejarah umat Islam menjadi tiga periode besar: klasik, pertengahan, dan
dalam dua fase: ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M.), dan
dalam dua fase: kemunduran (1250-1500 M.) dan tiga kerajaan besar (1500-1800
M.). Periode modern (1800 M. dan seterusnya) yaitu fase timbulnya pembaruan
Islam yang mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan
(Nasution, 2011: 4-6). Pembaruan dalam Islam menurut Andress (2002: 128-130)
dimulai pada awal abad ke-19. Namun, baru sejak berakhirnya abad ke-19 sebuah
perkembangan baru terjadi dan seluruh dunia Islam menerima struktur dan batas-
batas politik baru, yang meliputi: (1) intervensi politik dan ekonomi Eropa sangat
tradisional bagi umat Islam sendiri; dan (3) Kekuatan nasionalisme yang awalnya
pada akhir abad ke-19 M. kemudian diarahkan untuk melawan kolonialisme dan
imperialisme Eropa.
Dominasi Eropa atau dunia Barat terhadap dunia Islam yang telah dimulai
pada abad ke-16 M. lambat laut memunculkan reaksi di kalangan elit masyarakat
46
muslim. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke19 M muncul kalangan elit
tersebut menurut Lapidus (2002: 457) dapat dibedakan menjadi dua bentuk.
Pertama, respon dari kalangan elit politik dan intelegensia baru yang terbentuk
oleh pendidikan Barat dan terpikat pada nilai-nilai budaya dan pencapaian Barat.
Mereka terpikat pada konsep Islam modern atau konsep nasionalis sekuler tentang
dipimpin oleh ulama dan sufi, yang menyokong sebuah regorganisasi komunitas
ajaran Islam yang fundamental. Dua bentuk respon yang disebutkan Lapidus
bakal pemikiran dan usahanya sudah ada pada periode pertengahan sejarah Islam.
rakyat tetapi juga secara material disumbangkan oleh teologi Asy’ariah yang
pembaharuan revivalis ini melalui kekuatan bersenjata (jihad) jika perlu (Rahman,
1985: 22).
muncul pada diri Ibnu Taimiyah (1263 – 1328 M.) yang selanjutnya menginspirasi
beberapa gerakan pada abad-abad berikutnya yaitu gerakan Wahhabi dan gerakan
Sanusi. Amin (2000: 229-230) menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyah adalah ahli
tentara Mongol telah menyingkir dari Damaskus, Ibnu Taimiyah dan para
botolnya. Dia menyerang dengan pena dan lidahnya, semua kelompok Islam,
Ibn Taimiyah meninggalkan karya tulis yang sangat banyak kepada kita.
Dalam tulisannya dia sering menyerang kelompok sufi yang meyakini inkarnasi
dan penyatuan wujud manusia dengan Tuhan. Menurutnya hal itu termasuk syirik
terhadapAllah swt. Dia juga menyerang para fukaha karena keterikatan mereka
pendapat yang berbeda dengan konsensus para ulama. Dia memerangi orang-
48
orang yang dianggap melakukan bid'ah yang menundukkan diri kepada wali, atau
bepergian dengan niat menziarahi kuburan Nabi saja. Dia sangat berlebihan ketika
berpendapat bahwa Allah memiliki jasad seperti manusia ketika menafsirkan ayat
dan hadis yang berkaitan dengan Allah. Dia mengikuti bentuk lahiriah lafal ayat
Pemikiran dan usaha pembaruan sebelum periode modern ini terjadi di kerajaan
modern dilakukan khususnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad III (1703-
1730 M). Usaha pembaruan dipelopori oleh Celebi Mehmed, Said Mehmed,
Militer (1734 M). Namun usaha-usaha pembaruan di kerajaan Usmani ini tidak
berhasil karena ditentang oleh pasukan Yeniseri dan para ulama yang saling
Kemunduran umat Islam, khususnya di India menurut Syah Waliyullah antara lain
sedangkan yang kedua bersifat otokratis. Pada umumnya raja-raja Islam berkuasa
aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang terdapat dalam umat Islam. Perpecahan itu
seperti pertentangan antara aliran atau mazhab Syiah dan Sunni; Muktazilah di
satu pihak dengan Asy’ariah dan Maturidiah di lain pihak; antara kaum sufi
dengan kaum syariat; dan antara pengikut-pengikut empat mazhab dalam fikih.
Pertentangan yang kuat saat itu adalah antara Syiah dan Sunni, di mana Syiah
dianggap telah keluar dari Islam. Menurut Syah Waliyullah, Syiah sama dengan
Sunni, masih tetap orang Islam dan ajaran yang mereka anut tidak membuat
Ketiga, masuknya adat istiadat dan ajaran bukan Islam ke dalam keyakinan
umat Islam. Menurut pengamatan Syah Waliyullah, umat Islam di India saat itu
banyak dipengaruhi oleh adat istiadat dan ajaran agama Hindu. Oleh karena itu
keyakinan umat Islam harus dibersihkan dari hal-hal yang asing itu. Umat Islam
harus dikembalikan kepada sumber ajarannya yang asli, yaitu Alquran dan
Sunnah. Umat Islam harus kembali kepada kedua sumber tersebut dan bukan
Selain hal di atas, Syah Waliyullah juga tidak setuju dengan sikap taklid,
karena menurutnya hal ini juga menjadi salah satu penyebab mundurnya umat
50
masih tetap terbuka. Salah satu langkah nyata yang dilakukannya adalah
bahasa selain Arab masih dianggap terlarang. Pada awalnya, usaha penerjemahan
bin Abdul Wahab (1703 – 1787 M), yang di kemudian hari dikenal dengan
gerakan atau aliran Wahhabi. Berbeda dengan gerakan di kerajaan Usmani (Turki)
dan Mughal (India) yang muncul sebagai reaksi atas kondisi politik di kerajaan
masing-masing, gerakan atau aliran Wahhabi lahir sebagai reaksi terhadap paham
tauhid yang ada di kalangan umat Islam saat itu. Kemurnian paham tauhid mereka
telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang sejak abad ke-13 M memang tersebar
Kurdistan, Hamdan, dan Isfahan. Di kota yang terakhir Muhammad bin Abdul
Wahab sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah lama merantau akhirnya
keagamaan masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran tauhid. Di setiap kota
atau bahkan di desa-desa terdapat makam syekh atau para wali. Masyarakat
banyak yang berziarah dan memanjatkan doa kepada para wali yang sudah
meninggal, bukan meminta langsung kepada Allah. Semua ini karena pengaruh
ajaran tasawuf. Namun tidak itu saja, paham tauhid juga dirusak oleh paham
sebatang pohon atau batu yang dianggap gaib dan meminta pertolongan di sana.
gaib telah merusak kemurnian ajaran tauhid dan dikategorikan sebagai perbuatan
Secara garis besarnya, pokok ajaran Muhammad bin Abdul Wahab terdiri
dari larangan mengerjakan segala sesuatu yang baru dalam agama yang tidak
terdapat dalam masa tiga abad sesudah Nabi atau dikenal dengan istilah bid’ah.
Pekerjaan yang demikian dianggap terlarang dalam agama Islam dan harus
Nabi Muhammad sendiri. Selanjutnya yang masuk larangan dalam aliran ini
adalah mengambil segala bentuk hidup mewah seperti merokok, musik, memakai
pakaian sutera dan perhiasan emas oleh laki-laki dan sebagainya. Kehidupan
masyarakat waktu itu penuh dengan hal-hal yang menyimpang dari ajaran ke-
Esaan Tuhan, mereka hendak mengembalikan kepada ajaran tauhid semula dalam
Islam dan kehidupan murni menurut Sunnah Nabi. Karena itu, mereka
gerakan bangsa Arab, karena inspirasinya berasal dari aliran puritan (aliran yang
ingin memurnikan Islam sesuai dengan Alquran dan Sunnah, sering juga disebut
purifikasi) Hanbali, yaitu aliran yang mengakui ijmak hanya dalam batas-batas
yang sempit dan yang melahirkan tokoh Ibn Taimiyah. Meskipun gerakan
gagasan pembaruan, yang sedikit demi sedikit menyebar ke seluruh dunia Islam.
pemurnian yang keras dan anti mistik. Atas nama gerakan pemurnian yang berarti
kembali ke dalam Islam pada abad yang pertama, dia memotong tahayul sebagai
militer dan politik dari Muhammad Ibn Sa’ud, amir Nejd, salah seorang pengikut
terhadap sebagian besar Arabia tengah, merebut kota suci Mekah dan Madinah
dari tangan sharif yang memerintah daerah itu atas nama kerajaan Usmani, dan
Irak. Reaksi datang pada 1818 ketika penyerbuan tentara Turki-Mesir yang
53
kelompok Wahhabi hidup terus hingga muncul kembali sebagai suatu faktor
dipimpin oleh Syari’atullah dan Sayyid Ahmad melawan Moghul yang tengah
Muhammad Ibnu ‘Ali as-Sanusi di Lybia) dan Tarekat al-Mahdi (oleh Muhamma
Afghani, meskipun terdapat perubahan besar dalam arah dan tujuannya. Inti
pemikiran modern, dan negara Islam harus tampil sebagai ekspresi politik dan
Raja Abdul Aziz (putra Muhammad Ibn Saud) dapat menduduki Mekah pada
1924 dan setahun kemudia juga Madinah dan Jeddah. Mulai dari waktu itu
mazhab dan kekuatan politik Wahhabi mempunyai kedudukan yang kuat di tanah
pemikiran pembaruan di abad ke-19 seperti: (1) Hanya Alquran dan Hadis-lah
yang merupakan sumber asli dari ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan
sumber; (2) Taklid kepada ulama tidak dibenarkan; dan (3) Pintu ijtihad terbuka
Kesadaran bahwa kehidupan umat Islam telah jauh tertinggal dari umat
keprihatinan Basioeni Imran, direspon secara berbeda oleh kalangan umat Islam.
Di atas telah disinggung adanya dua pola gerakan pembaruan, sebagai respon atas
ketertinggalan umat Islam, yaitu yang terpikat dengan kejayaan Islam pada
periode awal dan yang terpikat dengan kemajuan Barat. Pola pertama mengambil
(Lapidus, 2002: 459-468; Latif, 2005: 120; Azra, 1999: 46-47). Meskipun kedua
pola ini dibedakan, tetapi menurut Azyumardi Azra (1999: 47) ada sedikit
Islam ini. Secara khusus Fazlur Rahman membedakan antara revivalisme pra-
them share. These include: (1) promoting a "return" to the "straight path"
of religion based on the Quran and Sunnah, which are regarded as
universally valid; (2) looking to the righteous community of the first
Muslims (the Salaf) for inspiration; (3) and reforming traditional practices
and beliefs that are considered to be innovations (sing. bid'aa).
[Meskipun gerakan Islam jenis ini berbeda dalam organisasi, ideologi, dan
bahkan tujuan, namun ada karakteristik yang sama. Termasuk di dalamnya:
(1) mempromosikan "kembali" ke "jalan yang lurus" dari agama
berdasarkan Alquran dan Sunnah, yang dianggap sebagai berlaku
universal; (2) melihat masyarakat yang benar dari Muslim pertama (salaf)
sebagai inspirasi; (3) dan mereformasi praktik dan keyakinan yang
dianggap tradisi inovasi (bid'ah)].
yang berakar pada perkembangan abad ke-17 dan ke-18 dan gagasan tersebut
mendahului penjajahan Eropa. Di Arabia dan Kairo ulama informal dan beberapa
kelompok studi sufi menyokong versi pemurnian keyakinan dan praktik Islam
berdasarkan pada studi Alquran, hadis dan hukum yang dipadu dengan asketisme
menentang sikap toleran negara muslim terhadap warga dan kultur non-muslim,
berusaha menghapus praktik pemujaan wali dan praktik pemujaan serta seremoni
secara pribadi, tanggung jawab moral, dan komitmen terhadap masyarakat muslim
di dalam tradisi Kristen. Fundamentalisme dalam Islam ini adalah reaksi melawan
apa yang dipandang sebagai kepercayaan dan cara hidup yang merendahkan
dalam agama rakyat, bukan reaksi melawan modernisme manapun. Rivivalis yang
disebut fundamentalis ini juga menjunjung tinggi ijtihad dan menentang kesetiaan
terhadap filsafat, mereka juga curiga terhadap teologi spekulatif. Hanya sebagian
kecil revivalis yang tidak anti intelektualisme seperti Syeikh Ahmad Sirhindi (w.
tegas lagi revivalisme dapat mewujudkan diri secara sederhana dalam bentuk
membangun sistem sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang mereka pandang
sejarah Islam dalam pandangan Rahman (1992: 306) lahir dalam situasi
57
kerohanian Islam dalam ketegangan antara Islam ortodoks dengan sufisme. Oleh
ortodoksi sayap kanan ekstrim Hanabilah [mazhab Imam Ahmad bin Hanbal] di
Arab Tengah sekitar abad ke-18, yang diilhami oleh ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah.
Pencetus gerakan ini, sebagaimana telah dibicarakan secara singkat di atas, adalah
Muhammad bin Abdul Wahab. Pada masa mudanya ia menjadi seorang ahli sufi,
itu, seperti pemujaan terhadap kuburan para wali, kepercayaan kepada Nabi dan
para wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Tuhan. Padahal semua itu
Abdul Wahab tidak hanya menyerang kepercayaan dan praktik yang dianjurkan
sufisme, tetapi juga menyerang penerimaan otoritas secara membabi buta dalam
apa yang dikatakan ulama sebagai kata akhir, sehingga tidak dibenarkan untuk
memikirkan hal itu secara bebas. Inilah yang ditentang oleh Muhammad bin
pertengahan ditentangnya dan hanya mengakui dua otoritas, yaitu: Alquran dan
Sunnah Nabi beserta keteladanan para sahabat. Konsekuensi sikap ini menjadikan
menafsirkan Alquran dan Sunnah mereka mengikuti Ahmad bin Hanbal. Mereka
menurut yang tertulis. Namun di satu pihak lagi, mereka juga menganjurkan untuk
(qiyas), terutama untuk masalah yang secara langsung tidak terdapat dalam
Alquran dan Hadis. Dalam perkembangan jangka panjang, mereka lebih jauh
sedikit yang berpegang dengan naskah tertulis literalis dan membatasi dirinya
pada qiyas ulama. Selanjutnya yang terpenting dalam motivasi normalnya, yaitu:
dalam sufisme popular, yang selama berabad-abad telah menjadi faktor yang
menentukan.
Jika reformisme merupakan doktrin para ulama abad ke-17 dan ke-18,
maka modernisme adalah doktrin elit politik dan intelegensia Muslim abad ke-19
rasionalitas, aktivisme etis dan patriotisme, bukan haru ditinggalkan sama sekali.
Tak dapat dipungkiri bahwa ide dan gerakan modernisme lahir karena
kontak dengan Barat pada abad ke-18 dan terutama abad ke-19. Dampak utama
dari penundukan dan penaklukan secara politik oleh Barat atas Islam, secara
keagamaan dan intelektual. Pergeseran itu setidaknya melalui tiga jalur: para
misionaris Kristen, pemikiran modern tentang Eropa serta pengkajian dan kritik
oleh orang-orang Barat terhadap Islam, dan masyarakat penganut Islam itu sendiri
Di atas telah dijelaskan pembaruan dalam Islam baik yang muncul pada
periode pertengahan (sebelum abad ke-19) maupun pada periode modern (mulai
abad ke-19) dapat dibedakan ke dalam dua pola besar, yaitu pemurnian (purifikasi
atau revivalisme) dan modernisme. Pada bagian ini akan dibicarakan secara
singkat tokoh pembaru Islam yang hadir pada periode modern (mulai abad ke-19),
namun hanya dipilih tiga orang tokoh pembaru. Ketiga tokoh pembaru ini
Ridha. Tokoh yang terakhir bahkan sangat berpengaruh pada pemikiran Basioeni
Imran, maka pembahasan lebih panjang tentang Rasyid Ridha akan disampaikan
modern di Mesir. Lahir pada 1839 M di As’ad Abad dekat Kabul di Afghanistan
dan wafat di Istambul tahun 1897 M. Ayahnya adalah Sayyid Safdar, seorang
miskin dan buta huruf dan masih keturunan Ali bin Abi Thalib (Adams, 1933: 4).
Jamaluddin mengaku sebagai seorang Sayyid, keturunan Nabi, dan agaknya tak
ada alasan untuk menolak hal tersebut. Berbeda dengan pendapat umum, Syaikh
dari Mazandaran. Arah dari pernyataan ini cukup penting. Karena ia orang Persia
tentulah ia juga seorang syiah, dan inilah yang diinginkan oleh musuh-musuhnya.
seorang Iran dan terdidik dalam ajaran Syi’ah, namun belakangan mengklaim
19
Abu al-Huda al-Sayyadi adalah seorang Arab dari Aleppo yang menjabat sebagai kepala
penasihat Sultan Abdul Hamid, yang oleh Barakat digolongkan sebagai kelompok religius
tradisionalis yang berpandangan dan memegang teguh pentingnya kekhalifahan Islam (Barakat,
2012: 326-327).
61
Afghani memiliki pengetahuan yang berasal dari tradisi filsafat Islam, khususnya
Ibnu Sina, dan ini adalah pengetahuan yang mudah didapatkan waktu itu di
terbesarnya terdapat di negara Mesir. Saat berusia lima hingga sepuluh tahun, ia
keislaman dan familiar dengan ilmu-ilmu: tata bahasa Arab, filologi dan seluruh
cabang retorika, sejarah Islam, teologi Islam dan seluruh cabangnya, sufisme,
dan sebagainya. Saat berusia 18 tahun ia pergi ke India selama setahun setengah
menjadi Perdana Menteri, saat itu usianya baru 27 tahun. Pada saat yang sama,
kalah oleh kelompok Shir Ali, Jamaluddin al-Afghani merasa lebih aman
meninggalkan tanah airnya dan pergi ke India pada 1869. Saat ia tinggal di India,
Jamaluddin secara intensif mulai melakukan hubungan dengan para dosen dan
negarawan reformis Ali Pasha. Namun dalam sebuah kuliah yang diberikannya,
kembali ke Mesir dan tiba di Kairo pada 22 Maret 1871. Di Mesir, Jamaluddin al-
berpandangan liberal, Riaz Pasha. Ia tinggal di Mesir selama delapan tahun dan
rumah tempat tinggalnya menjadi tempat pertemuan para murid dan pengikutnya.
al-Azhar dan perguruan tinggi lain serta para pejabat pemerintah. Di antara
mereka itu terdapat Muhammad Abduh dan Saad Zaghlul, yang lima puluh tahun
dan mistisisme.
Mesir agar bisa berinteraksi dengan politisi, termasuk dengan putra mahkota
Taufik. Saat kondisi telah memungkinkan tahun 1879 atas usaha Jamaluddin al-
“Mesir untuk orang Mesir”. Tujuan partai ini adalah memperjuangkan pendidikan
posisi dalam bidang militer.20 Atas dukungan partai ini, Jamaluddin al-Afghani
berupaya menggulingkan Raja atau Gubernur Mesir waktu itu, Khedewi Ismail
untuk diganti putranya Taufik. Taufik sendiri waktu itu berjanji akan mengadakan
setelah menjadi Khedewi pada 25 Juni 1879, Taufik atas tekanan Inggris mengusir
Jamaluddin al-Afghani dari Mesir pada September 1879 (Nasution, 2011: 44;
Hourani, 2004: 177; Adams, 1933: 7). Selama delapan tahun di Mesir, peran
di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. “Mesir modern adalah
20
Perlu diingat bahwa saat itu Mesir masih masuk dalam wilayah kekuasaan Ottoman (Usmani
Turki)
64
menghina. Karyanya ini merupakan respon atas ceramah Ernest Renan di Sorbone
pergi ke Paris dan singgah beberapa hari di London. Saat di Paris, Jamaluddin al-
perhatian dari beberapa pemerintah Eropa yang secara politik terkait dengan
kontroversi dengan Ernest Renan dalam Kolom Le Journal des Debats terkait
tanah yang berikrar untuk bekerja demi kesatuan dan pembaruan Islam. Dengan
bantuan masyarakat ini, keduanya menerbitkan delapan belas edisi jurnal berkala
kekuatan dalam menghadapi agresi dan eksploitasi Barat. Bahasa al-Urwah al-
jurnal yang memberi pengaruh besar ke berbagai belahan dunia muslim karena
jurnal ini tersebar luas ke berbagai belahan dunia, sekalipun dicegah oleh otoritas
Randolph Churchil dan Drummond Wolf tentang masalah Mesir dan tentang
Turki), Persia, dan Afghanistan. Persahabatan ketiga negara perlu bagi Inggris
dalam menentang politik Rusia di Timur Tengah. Tetapi kedua usaha tersebut
Petersburg selama lebih dari empat tahun. Di sana ia diterima dengan sangat
ramah.
Inggris yang dianut pemerintah Persia waktu itu. Al-Afghani tidak setuju dengan
antara al-Afghani dan Syah Nasi al-Din. Al-Afghani melihat bahwa Syah perlu
Istambul pada 1892. Pengaruhnya yang besar di berbagai negara Islam diperlukan
dari negara-negara Islam amat dibutuhkan Sultan Abdul Hamid untuk menentang
Eropa yang di waktu itu telah kian mendesak kedudukan Ottoman (Usmani Turki)
tidak bisa tercapai. Karena takut terhadap pengaruh al-Afghani yang demikian
besar, kebebasanya dibatasi dan ia tak dapat keluar dari Istambul. Ia terpaksa
satu negara ke negara lain yang sebagian besar bersentuhan dengan kegiatan
himself very little with theology, devoting himself to politics” [dia sangat sedikit
pembaruan Islam. Oleh karena itu, Jamaluddin al-Afghani pada hakikatnya adalah
solidaritas dan kekuatan. Selain itu, kaum muslimin harus menjadi masyarakat
ilmiah modern dan cakap secara teknik. Untuk memulihkan zaman keemasan
Islam, diperlukan reformasi masyarakat Muslim yang korup. Pada intinya, Islam
sangat tepat dijadikan landasan bagi sebuah masyarakat modern. Islam adalah
agama akal dan membebaskan penggunaan akal pikiran. Alquran harus ditafsirkan
(reinterpretasi) oleh para individu dalam setiap zaman (Lapidus, 2002: 517).
bahwa Islama adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua
keadaan. Jika terlihat ada pertentangan antara ajaran Islam dengan perkembangan
ajaran-ajaran Islam seperti yang tercantum dalam Alquran dan Hadis. Untuk
interpretasi tersebut dibutuhkan ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya tetap terbuka
Kemunduran Islam bukanlah karena ajaran Islam, tetapi karena umat Islam
yang datang dari luar dan asing bagi Islam. Unsur atau anasir luar yang
merusakkan tersebut sebagian dibawa oleh orang yang pura-pura suci, sebagian
menyesatkan dan sebagian lagi oleh hadis-hadis buatan. Misalnya, menurut al-
Afghani, paham qada dan qadar diubah menjadi fatalism, yang membawa umat
kepada keadaan statis. Salah satu sebab lainnya adalah pengertian maksud hadis
zaman. Salah pengertian ini membuat umat Islam tidak berusaha mengubah nasib
kepada orang yang tak dapat dipercayai, mengabaikan masalah pertahanan militer,
kemunduran umat Islam. Tidak hanya di kalangan awam, tetapi juga persaudaraan
dasar Islam yang sebenarnya. Corak pemerintahan otokrasi harus diubah menjadi
pan-Islamisme, persatuan seluruh umat Islam. Tetapi usahanya tidak berhasil. Ide-
seorang pembaru Muslim dan seorang ahli hukum paling berpengaruh pada abad
ke-19 (Martin, 2004). Muhammad Abduh adalah seorang ulama, ahli hukum dan
mondernisme Islam”, ia lahir pada 1849 dari keluarga sederhana di delta Mesir
(Campo, 2009: 5). Sementara itu Lapidus (2002: 466) menyebut Abduh sebagai
bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di
Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai
21
Riwayat hidup dan doktrin Muhammad Abduh dapat dibaca secara cukup komprehensif dalam
70
Abduh disuruh belajar membaca dan menulis oleh orang tuanya. Setelah
mahir membaca dan menulis ia diserahkan kepada seorang guru untuk dilatih
menghafal Alquran dan ia dapat menghafalnya dalam masa dua tahun. Selanjutnya
Abduh dikirim ke Tanta untuk belajar agama di masjid Syekh Ahmad pada 1862.
Setelah dua tahun belajar bahasa Arab, nahwu, sharaf, fikih, dan sebagainya, ia
metode yang digunakan oleh guru salah. Guru mengajak menghafal istilah-istilah
nahwu atau fikih tetapi tidak menjelaskan arti istilah tersebut. Guru merasa tidak
penting apakah murid mengerti atau tidak arti istilah-istilah itu. Karena merasa
tidak puas dengan metode menghafal tersebut, Abduh sempat lari dari Tanta dan
belajar di Tanta. Karena yakin belajar itu tak membawa hasil, akhirnya Abduh
pulang ke kampungnya dan berniat menjadi petani. Pada 1865, saat berusia 16
Setelah empat puluh hari menikah, Abduh kembali dipaksa oleh ayahnya
mengubah jalan hidupnya. Orang itu bernama Syekh Darwisy Khadr, paman dari
ayah Muhammad Abduh. Syekh Darwisy baru saja pulang dari belajar agama dan
tasawuf (tarekat Syadli) di Libya. Syekh Darwisy tahu akan keengganan Abduh
Abduh enggan, namun setelah beberapa lama dibujuk, dan terutama karena
buku karya Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (1933: 18-176)
71
terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Sekarang ia mulai mengerti apa yang
dibacanya dan ingin mengerti dan mengetahui lebih banyak hal. Akhirnya ia
perjalanan ke Istambul. Saat itu untuk pertama kalinya Abduh bertemu dengan al-
meninggalkan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh. Saat Jamaluddin
menjadi muridnya yang paling setia. Ia mulai belajar filsafat di bawah bimbingan
gelar alim. Ia mulai mengajar di almamaternya al-Azhar, juga di Dar al-Ulum dan
juga di rumahnya sendiri. Buku yang diajarkannya antara lain buku akhlak
Eropa karya Guizot yang telah diterjemahkan oleh al-Tahtawi ke dalam bahasa
Arab. Saat al-Afghani diusir dari Mesir pada 1879 karena dituduh mengadakan
72
terlibat dalam peristiwa ini, dibuang ke luar kota Kairo. Namun tahun 1880, ia
dibolehkan kembali ke Kairo dan oleh Perdana Menteri Riaz Pasha ia kemudian
Misriyah. Saat itu rasa nasionalisme Abduh mulai tumbuh dan di bawah
sosial dan politik, dan khususnya mengenai pendidikan nasional. Ia adalah salah
satu pemimpin sayap sipil dari oposisi nasional. Atas anjuran Blunt, ia dan para
pimpinan sipil lainnya menulis sebuah pernyataan mengenai aspirasi mereka yang
dikirimkan kepada Gladstone dan dipublikasikan The Times. Saat itu ia tidak
setuju ide-ide dan metode-metode dari para pimpinan militer dan tidak menaruh
respek terhadap Urabi Pasha, tetapi ketika serangan Inggris dimulai, ia tidak ragu-
ragu mendekati mereka dan melakukan upaya sekuat tenaga untuk mengorganisasi
tahun. Mula-mula ia pergi ke Beirut dan kemudian ke Paris dan bergabung dengan
bersama Harington dan orang-orang lainnya tentang persoalan Mesir dan Sudan.
Saat al-‘Urwah al-Wutsqa berhenti terbit, ia pegi ke Tunis dan kemudian masuk
ke Mesir dengan menyamar, berharap dari sana pergi ke Mahdi di Sudan. Rencana
itu tidak membuahkan hasil, dan Abduh kembali ke Beirut, tempat ia tinggal di
sana selama tiga tahun. Di Beirut ini Abduh memberikan kuliah tentang teologi
Kairo, rumahnya di Beirut menjadi pusat bagi para sarjana dan penulis muda,
Kristen, Druz dan Muslim, yang datang berdiskusi dengannya tentang Islam dan
bahasa Arab.
atas campur tangan berbagai pihak. Pada 3 Juni 1899 Khedif Mesir mengangkat
Abduh menjadi mufti besar Mesir menggantikan Shaikh Hassuna al-Nawawi yang
keagamaan (Barakat, 2012: 328-329; Hourani, 2004: 216; Adams, 1933: 79).
Pada tahun yang sama saat diangkat sebagai Mufti Mesir, tepatnya 25 Juni
1899 Muhammad Abduh ditunjuk sebagai anggota tetap dewan legislatif (Adams,
1933: 82-83). Dewan yang didirikan pada 1883 hanya berfungsi memberikan
pertimbangan dan nasihat saja. Selain aktivitas di atas, Abduh juga membantu dan
Benevolent Society) tahun 1892 dan kemudian menjadi anggota organisasi sosial
tersebut. Pada 1895 Abduh berhasil meyakinkan Khedif untuk membentuk sebuah
dalam organisasi universitas kuno tersebut. Jika ada kesempatan, Abduh mengajar
dan bila ada waktu ia juga menulis. Abduh wafat di Iskandariyah pada 11 Juli
1905. Di antara karya tulisnya antara lain: al-Islam Din al-Ilmi wa al-Madaniah,
Adudiah (Hourani, 2004: 217; Adams, 1933: 84; Rusli, 2013: 102).
memahami corak teologi yang dianutnya. Ada perbedaan pendapat para penulis
terkait teologi yang dianut Abduh, tetapi penilaian Harun Nasution nampak lebih
tepat jika dikaitkan dengan ide-ide dan gerakan pembaruan Abduh. Menurut
Nasution (2002: 98) teologi yang dianut Abduh bercorak rasional dan dengan
75
Mu’tazilah dapat dilihat dalam karyanya Hasyiah ‘ala Syarh al-Aqaid al-Qawani
li al-Adudiah yang diterbitkan pada 1905. Dengan teologi rasional itulah ide-ide
pembaruan Muhammad Abduh memiliki ruang gerak yang lebih luas. Di bawah
dinamis, dan mempunyai arti penting bagi kemajuan umat Islam pada zaman
modern. Dengan kata lain, gagasan utama pembaruannya berangkat dari asumsi
dasar bahwa semangat rasional harus mewarnai sikap dan pikiran masyarakat
kemerosotan internal umat Islam disebabkan oleh paham jumud yang terdapat di
kalangan umat. Dalam kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan
statis, tak ada perubahan. Pengaruh paham jumud membuat umat Islam tidak
Sikap ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abduh sendiri dalam al-Islam Din
Arab yang kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam.
animistis mereka turut pula memengaruhi umat Islam yang mereka perintah. Di
76
samping itu, mereka bukan pula berasal dari bangsa yang mementingkan
pemakaian akal seperti yang dianjurkan dalam Islam. Mereka berasal dari bangsa
yang jahil dan tidak kenal pada ilmu pengetahuan (Nasution, 2011: 53).
cukup dengan hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli Islam seperti yang
diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab. Karena zaman telah berubah, maka
kategorisasi Ibnu Taimiyah yang membagi ajaran Islam menjadi dua kategori,
bersifat umum dan tidak terperinci dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Sementara ajaran-ajaran ibadah yang bersifat tegas, jelas, dan terperinci tidak
ajaran muamalah maka dibutuhkan interpretasi baru, dan untuk itu pintu ijtihad
perlu dibuka. Ijtihad tidak hanya boleh, bahkan penting dan perlu diadakan.
Meskipun demikian, tidak semua orang boleh berijtihad, hanya yang memenuhi
syarat saja yang boleh berijtihad. Ijtihad harus dijalankan langsung pada Alquran
dan Hadis. Pendapat ulama terdahulu tidak mengikat, bahkan ijmak tidak
Atas dasar pemikiran di atas, dengan sendirinya taklid kepada ulama lama
tak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi karena taklid inilah yang
membuat umat berada dalam kemunduran dan tidak maju. Abduh mengkritik
keras ulama-ulama yang menimbulkan paham taklid, karena membuat umat Islam
berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Alquran dan Hadis menurut Abduh
77
melarang umat Islam bertaklid. Pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid
berbicara bukan semata kepada hati, tetapi juga kepada akal manusia. Islam
memandang akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Islam adalah agama yang
rasional. Wahyu tak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal.
Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal, haruslah dicari interpretasi yang
paham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free
will dan free act atau qadariah). Paham ini dapat dilihat dari uraiannnya mengenai
melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam al-
peradaban yang tinggi. Paham fatalism yang dianut masyarakat harus diubah
dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang
perbedaan antara ulama dan ahli-ahli lainnya. Ulama dari al-Azhar diharapkan
ilmu agama.
harus dibatasi. Di zamannya, Mesir telah memiliki konstitusi dan usahanya waktu
itu tertuju pada membangkitkan kesadaran rakyat akan hak-hak mereka. Menurut
pemerintah yang bersikap adil, rakyat harus patuh dan setia. Pemerintah
Untuk itu rakyat harus cerdas yang kecerdasan itu didapatkan melalui pendidikan,
terutama untuk mengikis sikap jumud dan taklid maka diperlukan berbagai
atas hal tersebut dapat disimpulkan dalam empat hal, yaitu: (1) Pemurnian
(purifikasi) Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak
benar; (2) Reformasi pendidikan tinggi Islam; (3) Perumusan kembali doktrin
Islam sejalan dengan pemikiran modern; dan (4) Pembelaan Islam terhadap
Keempat sasaran program Abduh ini jelas terdapat keterkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Berikut akan dijelaskan secara singkat empat program pembaruan
Abduh.
simpati dari sebagian besar ulama ortodoks, yang menentang tarekat-tarekat yang
pengakuan dan kepercayaan secara tidak kritis dari petani dan pekerja. Abduh
fetishisme, dan sihir dalam berbagai keyakinan dan peribadatan umat; serta
umat Islam tidak perlu mempercayai adanya karamah yang dimiliki para wali atau
Abduh mengambil sikap tegas menentang penerimaan pendapat secara tidak kritis
yang dalam Islam disebut taklid. Dalam buku Risalah al-Tauhid, Abduh
ulama lama. Murid setianya, Rasyid Ridha, meneruskan proses berpikir itu
dengan gerakan khas yang halus menuju kepada ekstrimisme. Para murid Abduh
dalam majalah al-Manar, pengaruh besar al-Ghazali dengan cepat digantikan oleh
sangat penting yaitu hubungan murid dan guru. Tidak hanya saat Basioeni Imran
terjalin melalui korespondensi dan melalui media majalah al-Manar. Berikut profil
Rasyid Ridha (1865-1935 M.) termasuk ulama al-Azhar yang cukup dekat
Abduh, tetapi untuk kalangan ulama al-Azhar, pemikiran Rasyid Ridha termasuk
Ridha. Guru (Abduh) melepaskan diri dari aliran-aliran dan mazhab, sedangkan
murid (Ridha) terikat pada aliran dan mazhab. Tetapi pada garis besarnya, murid
dengan praktik di tengah masyarakat Islam saat itu. Taklid merupakan salah satu
penyebab umat Islam berpecah belah dan mundur. Rasyid Ridha ingin
dirintis oleh Ibnu Taimiyah. Umat harus dibawa kepada ajaran Islam yang murni
dan bebas dari bid’ah yang menggerogoti ajaran tauhid. Rasyid Ridha juga
menyoroti paham fatalisme (Jabariyah) yang masih mengakar kuat di tengah umat
Islam. Fatalisme menjadi penyebab berikutnya kemunduran umat dan oleh karena
itu harus ditinggalkan dan diganti dengan paham dinamisme melalui jihad
paham Salaf Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah, sehingga banyak pendapatnya yang
awalnya ia berharap pada Kerajaan Usmani, namun harapan itu hilang saat
Ridha menambatkan harapannya pada Kerajaan Arab Saudi setelah Raja Abdul
pembaruan Islam dari Basioeni Imran di Kerajaan Sambas, perlu dijelaskan secara
singkat kondisi Islam dan umat Islam di kawasan Hindia Belanda secara umum.
Periode yang dibicarakan adalah masa paruh pertama abad ke-20. Hal ini
dikaitkan dengan masa Basioeni Imran mulai mengemban tugas sebagai Maharaja
Imam di Kerajaan Sambas yaitu mulai 9 November 1913. Bagian berikut akan
mengulas secara singkat bagaimana kondisi umat Islam di Hindia Belanda dan
kebijakan Belanda atas umat Islam serta implikasinya bagi lahirnya tokoh-tokoh
83
dan organisasi pembaruan Islam di Hindia Belanda atau Indonesia saat ini.
Pada peralihan abad ke-20, wilayah geografis yang kini dikenal dengan
nama Indonesia merupakan koloni Belanda dan disebut dengan Netherlands East
Indies (Hindia Timur Belanda, atau biasanya hanya disebut Hindia Belanda).
Wilayah ini tunduk pada undang-udang yang dikeluarkan badan legislatif Belanda
yang ditunjuk oleh pemerintah di Den Haag. Gubernur Jenderal dibantu oleh
seorang staf administrator di Batavia dan para administrator lokal yang ada di
Belanda. Di antara kebijakan itu adalah tatanan finansial baru di mana anggaran
22
Sejak Cultuurstelsel dijalankan, Hindia Belanda wajib menyetorkan kelebihan uang ke negeri
Belanda sejumlah antara 10 sampai 40 juta gulden tiap tahunnya. Kebijakan ini disebut Batig
Slot (sistem keuntungan bersih). Ketika Batig Slot terakhir diterima pada tahun 1877 negeri
induk (Belanda) memperoleh keuntungan sebesar 825 juta gulden (Kartodirdjo, 1993: 26).
Menurut Antonie Cabaton, 2.800.000.000 gulden dari hasil kebijakan Cultuurstelsel pada
pertengahan abad ke-19 dikirim ke Den Haag (Federspiel, 2001: 18).
84
18).
yang tampak nyata pada 1900 (Vickers, 2005: 17). Hal ini disebabkan terjadinya
krisis ekonomi yang melanda Hindia Belanda pada kuartal terakhir abad ke-19.
finansial Hindia Belanda dan Negeri Belanda serta kebijakan Batig Slot selalu
sentimen yang sama sekali menentang politik kolonial lama, yang menuduh
lampau dan menuntut restitusi dari surplus yang diambilnya, terhitung sejak 1867
pada para politisi dan lahirlah suatu orientasi politik kolonial baru dengan prinsip
kolonial. Troonrede (Pidato Raja) pada tahun itu mangandung pernyataan yang
doordringen van het besef, dat Nederland tegenover de bevolking dezer gewesten
yang menandai transisi dari Liberal policy ke apa yang dinamakan oleh Belanda
sebagai Ethical policy. Kebijakan yang didasarkan pada ide yang sama, yang
rakyat pribumi berlaku sebutan politik yang bersemboyan “ches vous, pour vous,
Nusantara di bawah otoritas pemerintah Belanda yang nyata dan dengan di bawah
Politik Etis mencakup dua aspek, yaitu ekonomi dan sosial. Di bidang
desa (Furnivall, 1948: 227; Ricklefs, 2001: 193). Sementara Kartodirdjo (1993:
32) menyebutkan politik etis menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu
“Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi”. Untuk mendukung kebijakan politik Etis, maka
No. 380; 1907 No. 406; 1911 No. 467 dan 480).
Konsep politik Etis secara khusus bagaikan sebuah payung lebar yang
mencakup politik sebagai pelindung yang diikuti oleh politik emansipasi, politik
kebijakan politik etis ditafsirkan dalam berbagai cara, tetapi harus diakui bahwa
kebijakan yang melahirkan politik Etis dan oleh karenanya kebijakannya sebagian
Kepentingan ekonomi ini juga menjadi dasar sikap politik Belanda selama periode
Tetapi mereka terus menganggap remeh kebutuhan pendidikan dan politis rakyat
Vickers (2005: 18) dan Kartodirdjo (1993: 37). Suara berbeda dari aktivis Muslim
Agus Salim sebaliknya menyatakan bahwa era politik etis sebagai era opresif dan
berpikir mereka tidak lain hanyalah janji yang hampir-hampir tidak terwujud
Masyarakat Hindia Belanda pada peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20
secara umum dibagi ke dalam dua kelompok yaitu: golongan Europeanen dan
yang disetarakan dengannya. Termasuk dalam golongan Eropa adalah: (1) semua
orang Kristen; (2) Semua orang Jepang; (3) dan semua individu yang tidak masuk
dalam golongan pribumi. Adapun yang termasuk golonga pribumi adalah orang
Arab, Moor, Cina, semua yang tidak termasuk dalam golongan Eropa, dan bangsa
Nederlandsch-Indie. 1901: 3). Meskipun secara resmi ada dua golongan populasi,
tetapi dalam realitasnya ada tiga golongan populasi yang ditentukan berdasarkan
latar belakang ras dan budaya: Eropa, Asia, dan Indonesia (Federspiel, 2001: 34-
35).
pabrik pengolahan, dan bisnis ekspor. Mereka memiliki hak penuh sebagai warga
negara Belanda, dan banyak upaya yang dilakukan untuk memberi mereka gaya
hidup yang sesuai dengan gaya hidup kelas menengah di Eropa saat itu. Mereka
memiliki sistem pendidikan publik yang sangat baik, yang disuplai dengan biaya
publik.
Cina, dan India, yang diperkirakan berjumlah 300.000 jiwa pada tahun 1900.
Beberapa dari kelompok ini merupakan para buruh yang bekerja di perkebunan
barang ke konsumen, sebagai pemberi pinjaman uang kepada para penduduk desa,
dan sebagai pemilik bisnis kecil dalam ekonomi pribumi. Kelompok Cina
Resident yang dijabat oleh K.H.F. Roos, Commies yang dijabat oleh J.P.K. Bolt,
juga ada pejabat Kapitein der Chineezen yang dijabat oleh Liau Sjang Kon. Di
yang dijabat oleh Lau Tjai Kon, di Sambas dijabat oleh Tjoe Kong Loy, di
menengah dan saat mereka mengusulkan agar disetarakan dengan orang Eropa,
beberapa kali melakukan kontak senjata melawan Belanda (Heidhues, 2008: 74).
Akibat dari kontak senjata melawan Belanda, salah satu dari tiga kongsi besar
milik Cina, yaitu Kongsi Lan Fong dibubarkan oleh Belanda pada 1886
juta jiwa pada 1900. Mereka dianggap sebagai warga negara Belanda yang terikat
dengan wilayah dan komunitas mereka, baik secara hukum maupun budaya.
Dalam sistem tanam paksa di pertengahan abad ke-19, status mereka jelas-jelas
90
terikat dengan tanah mereka dan harus membayar upeti kepada pemerintah.
Berlakunya politik Etis di awal abad ke-20 tidak otomatis mengangkat status
abad ke-20. Aliran emas dari Indonesia semakin besar; produksi gula meningkat
dua kali lipat antara tahun 1904 dan 1913. Begitu juga hasil-hasil perkebunan teh,
karet, tembakau, lada, beras, dan kapuk. Di daerah luar Jawa dengan kekayaan
sumber alamnya produksi naik dari 74 juta gulden menjadi 305 juta gulden,
modal semakin penting, karena itu dibutuhkan politik luar negeri pintu terbuka.
Dalam konteks politik dalam negeri, Belanda terpaksa harus mengambil sikap
hak-hak legislatif Dewan Rakyat ini tidak sesuai dengan janji Gubernur Jenderal
mungkin kelak menjadi titik berat politik akan dipindahkan dari Negeri Belanda
dieksploitasi akan diganti dengan status sebagai bagian dari Kerajaan Belanda
yang diberi otonomi dengan pemerintahan yang demokratis. Baru pada 1925
tahun 1931 mayoritas adalah orang Barat dan anggota bukan hasil pemilihan.
Eropa, 30 orang pribumi dan 5 orang Tmur Asing (Kartodirdjo, 1993: 45-46;
Vandenbosch, 1943).
muslim. Perlawanan besar pada abad ke-19 seperti perang Paderi (1821-1827),
92
lepas dari kaitan dengan ajaran agama Islam. Mula-mula, Belanda tidak berani
mencampuri urusan agama secara langung. Sikap Belanda dalam masalah ini
“dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang
berlebihan”. Keduanya lahir dari kekurangan akan pengetahuan yang tepat, kalau
bukannya ketiadaan pengetahuan sama sekali (Benda, 1985: 38; Suminto, 1985:
9). Kebijakan Belanda terhadap Islam selama abad ke-19 dibuat sedemikian rupa
agar umat Islam tetap di bawah kontrol mereka, terutama agar tidak terjalin
hubungan dekat dengan muslim di belahan dunia lain. Ada kekhawatiran bahwa
dari beribadah haji, oleh karena itu mereka dianggap memiliki ideologi Pan-
99).
perlawanan terhadap kolonial Belanda baik yang dipimpin oleh mereka yang
panji bulan sabit, hampir dengan sendirinya ada hubungannya dengan agama
Islam. Ini dapat dimengerti karena bagi orang-orang Indonesia, Islam berfungsi
mereka terhadap penguasaan kolonial sangat tinggi. Hal ini jika ditelusuri berakar
dari kenyataan bahwa di dalam Islam batas antara agama dan politik sangat tipis.
Islam adalah way of life dan agama. Posisi guru-guru agama, dan ahli kitab suci,
kyai dan ulama, sejak awal merupakan unsur sosial yang penting dalam
masyarakat Indonesia.
45) juga menunjukkan bahwa agama Islam berperan penting dalam membentuk
golonga Islam dalam rasa nasional, kemudian saling bahu membahu dalam
pribumi yang selama ini diibaratkan oleh Pijper (1985:105) sebagai “sebuah
kolam yang tenang namun telah berubah menjadi satu aliran sungai yang sewaktu-
waktu meluap.”
selanjutnya mendatangkan seorang ahli bahasa Arab dan ahli Islam, Cristian
Snouck Hurgronje, ke Hindia Belanda pada 1889 untuk menjadi penasihat pada
kantor yang baru dibentuk untuk menangani masalah-masalah Arab dan pribumi,
94
Kantoor voor Inlandsche Zaken. Hurgronje menelaah kondisi umat Islam Hindia
pemisahan antara politik dan agama, namun nasihat politiknya mengarah pada
menegaskan bahwa dalam Islam tidak dikenal lapisan kependetaan seperti dalam
Kristen. Ide Pan-Islamisme juga sudah dikubur oleh kekhalifahan Turki Usmani.
Umat Islam yang jumlahnya besar, bahkan para Kyai tidak harus dikenai sumpah
Mekah pun bukan berarti fanatik dan berjiwa pemberontak (Benda, 1985: 41-42).
logis dari analisanya tentang Islam di Hindia Belanda. Secara umum rekomendasi
tersebut melihat adanya pembagian Islam ke dalam dua bagian, yaitu Islam
sebagai agama dan Islam sebagai politik. Terhadap yang pertama, Hurgronje
menawarkan suatu sikap toleransi yang dijabarkan dalam sikap netral terhadap
kehidupan keagamaan. Jika tanpa alasan khusus, maka Islam bukanlah merupakan
sine qua non demi ketenangan dan kestabilan. Penindasan terhadap Islam bukan
saja tidak bijaksana, bahkan tidak perlu dan tidak terhormat. Rintangan dan
95
prinsip kebebasan pribadi yang termaktub dalam konstitusi Belanda. Selama Kyai
dan Ulama tidak melakukan kegiatan propaganda politik maka mereka tidak perlu
Belanda. Tindakan tersebut untuk meletakkan dasar bagi keamanan agama dan
dasar yang langgeng bagi suatu modus vivendi antara pemerintah kolonial dan
Di atas disebutkan bahwa politik Etis fokus pada masalah irigasi, imigrasi,
dan edukasi. Pada bagian berikut secara singkat akan dibahas perkembangan
kondisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam pada masa akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Hal ini perlu diungkap untuk memberikan gambaran kondisi
umum pendidikan Islam di Hindia Belanda sehingga dapat terlihat ide dan praktik
orang juru tulis yang memberikan pelajaran bahasa dan huruf Arab, Jawa ataupun
Latin. Selain itu ada juga pendidikan agama Islam dengan memakai bahasa Arab
jalan lain dan menolak menyesuaikan pendidikan Islam yang ada. Inspektur
pendidikan pribumi pertama, yaitu J. A. van der Chijs pada 1865 menyatakan
membaca teks Arab yang hanya dihafal tanpa pengertian. Pada 1888 Menteri
Selanjutnya pemerintah kolonial mendirikan apa yang disebut sekolah desa dan
yang berbeda dan terpisah dari sistem pendidikan Belanda (Steenbrink, 1986: 1-
7).
Karena dianggap tidak terlalu penting bagi inspeksi pendidikan, statistik pesantren
selalu tidak lengkap, bahkan sesudah tahun 1927 bentuk pesantren sama sekali
tidak masuk dalam laporan resmi pemerintah kolonial (Steenbrink K. A., 1986: 9).
Menurut Bruinessen (2012: 93) pesantren tertua adalah Pesantren Tegalsari yang
didirikan tahun 1742. Survey yang dilakukan tahun 1819 menunjukkan lembaga
pesantren pada saat itu sebenarnya belum ada. Lembaga yang mirip pesantren
Ponorogo.
Islam di sana masih sangat informal. Anak-anak belajar membaca dan menghafal
97
Alquran dari orang-orang kampung yang telah lebih dahulu menguasainya. Ulama
rumahnya atau bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Murid-murid yang
ingin belajar lebih lanjut bisa pergi mondok ke Jawa atau, jika memungkinkan, ke
Mekah.
ini berupa belajar membaca huruf Arab sebagai aksara Alquran, dilanjutkan
dengan mempelajari surah al-Fatihah dan surah-surah pendek lainnya yang ada di
dalam juz Amma. Para murid juga menghafal surah-surah tersebut. Di samping
itu, diajarkan juga tata cara sembahyang, wudlu, dan beberapa doa. Terkadang
ditambah juga dengan ilmu tajwid, ilmu tata cara atau kaidah membaca Alquran
dengan baik. Umumnya pengajian ini diberikan secara individual di rumah guru,
masjid, langgar atau surau. Dalam beberapa kasus juga dilakukan di rumah murid,
Biasanya anak umur 6 sampai 10 tahun belajar beberapa jam pada guru
agama setempat. Pelajaran mengaji Alquran untuk tiap anak tidak sama lama
ini adalah murid untuk pertama kali telah menamatkan membaca kitab Alquran
secara keseluruhan. Membaca dalam arti melafalkan, bukan mengerti isi teks. Jika
murid sudah selesai membaca keseluruhan Alquran maka akan diadakan acara
khataman atau tammatan. Biasanya acara ini diikuti dengan sunatan bagi murid
laki-laki dan merupakan inisiasi dalam agama Islam. Setelah acara tersebut, maka
98
murid dianggap akil baligh (dewasa) dan wajib melaksanakan ibadah seperti
Kitab. Pada umumnya pengajian kitab ini berbeda dengan pengajian Alquran
dilihat dari tiga segi: (1) Para murid pengajian kitab ini pada umumnya masuk
pesantren; (2) Mata pelajaran yang diberikan meliputi mata pelajaran yang lebih
dimulai dengan pendidikan Bahasa; (3) Pendidikan diberikan tidak hanya secara
mempelajari bahasa Arab, khususnya ilmu nahwu (ilmu tata bahasa Arab). Metode
murid dan gurunya. Ilmu nahwu adalah ilmu “alat” dalam mempelajari ilmu-ilmu
agama lainnya. Setelah murid menguasai ilmu alat, barulah mereka melanjutkan
pelajaran mengkaji kitab-kitab fikih, tauhid, atau ushulul al-din dan tafsir
mengambil mata pelajaran sampingan seperti tawasuf, hadis, hisab, atau falak,
yang semuanya tergantung keahlian kyai pesantren. Selain metode individual, ada
dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam pandangan Thaba (1996: 127)
pendidikan ini akan dijadikan pegawai negeri dengan tugas membantu Belanda.
Menurut Hurgronje, pendidikan Barat adalah jalan yang efektif untuk mengurangi
Pada tahap awal, pemerintah Hindia Belanda pada dasawarsa terakhir abad
ke-19, mendirikan sekolah desa yang terdiri dari dua jenis, sekolah kelas I dan
sekolah kelas II. Sekolah kelas I, yang didirikan menurut staatblad 1893 nomor
pelajaran yang diberikan adalah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu
Pada 1903 di Jawa dan Madura terdapat 245 sekolah kelas II negeri, 326 sekolah
kurikulum 7 tahun dan menggunakan bahasa Belanda. HIS khusus bagi murid-
100
Europeeche Legere School (ELS). Perluasan pengajaran tingkat atas terjadi secara
berangsur-angsur. Pada 1902 STOVIA didirikan; pada 1913 didirikan NIAS, pada
1914 didirikan sekolah dokter hewan, dan pada 1927 sekolah kedokteran diubah
kurikulum 5 tahun dan lulusan sekolah ini mempunyai kesempatan yang sama
dengan murid lulusan lulusan HIS. Sejak 1907 sekolah desa telah tersebar luas ke
seluruh wilayah Hindia Belanda, dan pada 1938 sepertiga dari anak usia sekolah
sebagai garapan utama untuk mempererat ikatan antara Hindia Belanda dengan
penjajahan itu sendiri. Snouck Hurgronje sebagaimana dikutip Suminto (1985: 41-
penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi lebih
101
Belanda berfungsi sebagai wali yang karenanya wajib mendidik Indonesia. Dalam
menjadi pemimpin bangsanya yang bisa berasosiasi dengan Belanda. Salah satu
karena Islam dianggap sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat
menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan ketahanan diri (Suminto, 1985:
Menurut Karel Steenbrink sebagaimana dikutip oleh Latif (2005: 128) ambisi
pemerintah. Pijper (1985: 67) menyebut bahwa di Pulau Jawa sejak berabad-abad
Belanda terkait penghulu tertuang dalam Besluit nomor 152 tentang Priesterraden
24
Kata penghulu (Sunda: Panghulu; Jawa: pengulu atau pangulu; Madura: Pangoloh; Melayu:
penghulu) berasal dari kata hulu artinya kepada, mula-mula berarti orang yang mengepalai,
orang yang terpenting. Lama-lama penghulu berarti seorang ahli dalam soal agama Islam yang
diakui dan diangkat oleh yang berwajib (Pijper, 1985: 67; Hisyam, 2001: 1). Saat ini penghulu
dikenal masyarakat sebagai “tukang menikahkah”, orang yang berwenang menikahkan orang.
Lebih khusus lagi, dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/62/M.PAN/6/2006 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya disebutkan
Penghulu, adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang diberi tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang
ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan
pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan (Pasal 1 Point 1).
Kegiatan kepenghuluan, adalah kegiatan pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk serta
pengembangan kepenghuluan (Pasal 1 point 2).
25
Staatsblad 1882 No. 152 berisi 7 pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Pasal 1: Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan suatu
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.
Pasal 2: Pengadilan Agama terdiri atas: Penghulu yang diperbantukan kepada Landraad
sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang
ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur /
Residen
Pasal 3: Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri sekurang-
kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua
yang menentukan.
Pasal 4: Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasanya yang singkat,
juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi
keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan juga jumlah ongkos yang dibebankan
kepada pihak-pihak yang berperkara.
Pasal 5: Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang di
103
Madura akan dibentuk pengadilan agama yang wilayah kerjanya sama dengan
wilayah kerja landraad. Pengadilan agama ini dikepalai oleh seorang penghulu
sebagai ketua dan paling sedikit tiga, paling banyak delapan anggota yang
yang sebelumnya merupakan bagian dari lingkungan pejabat dan struktur lembaga
dalam aturan baru ini penghulu diberi hak sebagai hakim tunggal dan dapat
dibantu oleh satu atau dua orang (Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1931 No.
31). Selanjutnya mulai 1 April 1937 priesterraad hanya mengurus nikah dan
Belanda mendirikan sebuah lembaga Islam yang lebih tinggi di Batavia yang
disebut “Hof voor Islamitische zaken” (pengadilan tinggi untuk soal-soal agama
Islam). Lembaga ini dibuka pada tanggal 7 Maret 1938 yang terdiri dari beberapa
ulama terpilih dari seluruh Jawa dengan ketua pertamanya Raden Haji
Moehammad Moesa.
bagian dari birokrasi kerajaan atau kesultanan. Menurut Serat Watu Aji (dalam:
Hisyam, 2001: 19) penghulu adalah pemimpin tertinggi dari jabatan keagamaan
kerajaan. Selain berfungsi dalam masalah ibadah dan kasus-kasus peradilan Islam,
menguasai buku-buku agama dan ahli astronomi. Fauzia (2003, hal. 9) menulis
bahwa pada abad ke-16 sampai ke-18, fungsi penghulu pada kerjaan Jawa hampir
sama dengan kadi atau qadi, atau bahkan Syaikhul Islam pada kerajaan di luar
Jawa, seperti Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh. Kadi dan Syaikhul Islam
berperan penting tidak hanya dalam urusan agama, tetapi juga masalah
diplomatik.
kepala urusan agama ia juga disebut dengan wedana kaum atau kepala abdi dalem
Islam di keraton. Di bawah penghulu ageng terdapat penghulu ketib atau penghulu
lurah naib untuk kabupaten atau kewedanaan, dan kaum untuk tingkat paling
Ia juga menjadi Imam di Masjid Agung di ibukota kerajaan serta mengatur semua
penghulu ageng dibantu oleh: sembilan ketib (Arab: khatib), lima mudin (Arab:
adalah berasal dari keluarga penghulu, 13 dari keluarga guru ngaji, 1 orang dari
keluarga priyayi, dan sisanya tidak diketahui. Terdapat kesan bahwa ada beberapa
penghulu yang dipilih dari kyai desa karena para bupati sendiri lebih condong
Mambaul Ulum yang didirikan pada 1905 adalah lembaga pendidikan non
yang agak efektif adalah melalui pendidikan magang. Dengan sistem seperti ini,
hanya sebagian kecil saja yang tahu dan dapat dengan mudah memasukkan
keluarga mereka untuk magang. Sistem magang tidak hilang ketika penghulu
rekrutment lebih terbuka dan diawasi ketat oleh pemerintah (Fauzia, 2003: 183-
184).
golongan masyarakat yang dibebani soal-soal agama yakni: pegawai tinggi dalam
soal agama yang disebut penghulu; guru agama swasta (Arab: ‘alim, ‘ulama;
Sunda: ulama, kiai; Jawa: ulama, guru, kiai), dan pegawai agama rendahan
(Sunda: lebe, amil; Jawa: modin, kaum, kayin, dll.). Dahulu ada persaingan antara
106
guru agama dengan penghulu. Ini disebabkan guru agama menyalahkan penghulu
yang bekerja pada pemerintah kolonial yang kafir. Tugas utama penghulu adalah
penghulu dapat disebut qadi dalam bahasa Arab, meskipun ia mempunyai sedikit
dua bagian, yaitu Panghulu atau pemimpin agama tertinggi, dan Jaksa. Panghulu
dalam beberapa hal juga mengambil alih wewenang jaksa. Dalam birokrasi
Disebutkan juga bahwa pengadilan hukum yang dilakukan oleh panghulu selalu
Di luar Pulau Jawa, posisi yang sama dengan penghulu adalah kadi dan
syaikhul Islam. Kerajaan Malaka pada abad ke-15 tampaknya telah memberikan
ulama posisi penting dalam sebuah jabatan bernama kadi. Informasi tentang kadi
sebagai lembaga pemberi legitimasi dan nasihat keagamaan kepada para raja
tersebut diperoleh dari Sejarah Melayu dan catatan perjalanan Tome Pires.
Selanjutnya di kerajaan Aceh dan Banten lembaga jabatan kadi semakin mapan
Di Aceh kadi mulai berdiri pada masa kekuasaan Iskandar Muda (1607-
107
1636). Lembaga kadi didesain sebagai sebuah institusi yang bertanggung jawab
kasus-kasus sipil, kriminal dan ekonomi. Selain kadi, kerajaan Aceh juga
Moor”), sebuah lembaga yang secara khusus didesain untuk memberi nasihat
kepada raja. Syaikhul Islam langsung berada di bawah raja, sehingga memiliki
akses langsung ke jantung kehidupan politik kerajaan. Oleh karena itu, jabatan
raja dalam masalah sosial dan politik. Salah seorang syaikhul Islam yang
37-41).
pendidikan Islam, pada akhir abad ke-19 maka bisa dikatakan mustahil
dari dunia Barat sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh kontak umat Islam
Indonesia dengan dunia luar. Di antara saluran kontak umat Islam dari Hindia
Belanda dengan dunia luar adalah melalui perjalanan menjalankan ibadah haji dan
Madinah) dan Mesir (Kairo) (Pijper, 1985: 107). Secara tradisional Mekah dan
Madinah, setidaknya sejak abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, menjadi tumpuan
108
rihlah ‘ilmiyyah atau thalab al-‘ilm bagi para pelajar Dunia Melayu-Indonesia
melaksanakan ibadah haji ke Kota Mekah dan Madinah memiliki makna khusus
yaitu untuk mencari legitimasi (‘ngelmu’ atau ilmu). Di antara seluruh jemaah
yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 jumlah mereka
berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh jamaah haji. Bahkah pada dasawarsa
1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia [Hindia
Belanda].
Mekah untuk menuntut ilmu. Di antara semua bangsa yang berada di Mekah,
Setidaknya sejak 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Mekah setelah
bahasa Arab. Komunitas Jawah ini kemudian diidentifikasi lagi dengan sebutan
khusus sebagai pembeda berdasarkan asal daerah mereka dengan sebutan seperti
Jawah Funtiana, Jawah Sambas, Jawah Martafura, Jawah Madura, Jawah Boyan,
Jawah Sumbawa, Jawah Mekasar. Khusus orang-orang Bugis tetap disebut dengan
Setelah selesai belajar di Mekah dan Madinah, para haji sebagian besar
kembali pulang, namun tidak sedikit juga yang akhirnya menetap dan menjadi
ulama terkemuka di kedua kota tersebut. Salah seorang putra asli Sambas, Syaikh
Ahmad Khatib al-Sambasi yang kemudian sangat terkenal sebagai tokoh yang
109
berhaji pada sekitar tahun 1820 dan memiliki murid Syaikh Abdul Karim Banten
(Mahrus, Jamani, & Hadi, 2003: 60; Bruinessen, 2012: 264-267; Hurgronje, 1931:
262; 276).
perlawanan terhadap kolonialisme pada diri para haji dari daerah lain. Bruinessen
(2012: 3-15) menyebut bahwa perjalanan haji dengan demikian mulai berfungsi
punya peran penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama
berperan penting di tanah air. Termasuk salah satunya adalah Basioeni Imran yang
Sumatera Barat pada awal abad ke-20 (Burhanuddin, 2012: 250). Ahmad Khatib
Minangkabau juga menyatakan sendiri dirinya sebagai ulama yang siap untuk
demikian menjadi tujuan rihlah ‘ilmiyyah para ulama, pada menjelang dekade
akhir abad ke-19 digantikan oleh Kairo, Mesir. Komunitas Jawah di Mekah
menjadi pelopor pembangunan jaringan dengan Kairo. Salah seorang tokoh ulama
dari komunitas Jawah di Mekah yang membuka jaringan ke Kairo adalah Thaher
Djalaluddin telah menghabiskan waktu belajar di Mekah selama lima belas tahun
menurut Azra (1999: 197; 2000: 153-154) murni bersifat keagamaan, persisnya
Azhar dan Dar al-Da’wah wa al-Irsyad. Selain faktor al-Azhar dan tokoh-tokoh
permintaan fatwa (istifta’) yang ditujukan kepada Rasyid Ridha melalui al-Manar
berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan di sana mereka melakukan
kemudian belajar di Haramayn, dua tempat suci Mekah dan Madinah, tidak
terhadap non-muslim atau para kolonialis Eropa di negara Islam atau negeri
Muslim. Ketiga, dua Jurnal yaitu al-Imam dan al-Munir melanjutkan misi al-
Indonesia.
kepada Alquran dan Sunnah dengan mengambil tema sentral menolak taklid.
Seperti disebutkan di atas, dorongan ini terutama datang dari Muhammad Abduh
terjadi perseteruan antara yang mengikuti mazhab dan yang menolak taklid.
Effendy, 1992: 52-53), tetapi perseteruan itu semakin tajam terutama sekitar
dikategorikan sebagai “kaum tua” sedangkan yang menolak taklid disebut “kaum
muda”. Dalam beberapa studi kaum tua disebut kaum ortodoks atau konservatif
yang cukup penting. Ketiga, dorongan dari orang-orang Islam untuk memperkuat
abad ke-20 berusaha memperbaiki pendidikan Islam, baik dari segi metode
113
orang Islam.
Dari keempat dorongan tersebut di atas, tidak ada individu atau organisasi
yang menerima empat dorongan sekaligus. Oleh karena itu, terkadang ada pribadi
atau organisasi yang termasuk taklid dalam bidang ibadah (konservatif), tetapi
dalam bidang politik sangat progresif dan revolusioner. Pada permulaan abad ke-
melihat faktor internal umat Islam di wilayah Hindia Belanda. Seperti yang telah
(1996: 131-132), gerakan pembaruan Islam pada pergantian abad ke-19 kepada
abad ke-20 dipicu perkembangan yang terjadi di negara Islam seperti Turki,
negara-negara Timur Tengah, dan India yang turut andil mendorong gerakan
Barat yang diikuti oleh misionaris dan kaum intelektual itu selanjutnya mendapat
114
merupakan contoh reaksi yang muncul atas ketegangan yang ada. Faktor
sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-11 H. / ke-17 M. dan ke-12 H. / ke-18
M. yang menjadi peletak pondasi gerakan modern Islam abad ke-14 H. / ke-20 M.
Pembaruan Islam awal ini lebih bersifat inwardly oriented yaitu upaya mengubah
yang bisa disebut neosufisme dengan tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri (wafat
1077 H. / 1666 M.), Abd al-Rauf al-Singkili (1024-1105 H. / 1615-1699 M), dan
oleh faktor-faktor sosial keagamaan di dalam umat Islam sendiri, juga banyak
115
disebabkan oleh faktor luar. Faktor luar tersebut khususnya dominasi politik
yang cepat dan berdampak luas. Posisi umat Islam internasional umumnya secara
politik berada di bawah cengkraman para penjajah Barat dan secara sosial kultural
kembali kepada Alquran dan Hadis dan pembukaan pintu ijtihad yang
pembaru dengan mencetak surat kabar atau majalah sebagai media penyebaran
wilayah Nusantara. Majalah yang diterbitkan pertama kali pada 1898 ini tujuan
utamanya adalah untuk menguji dekadensi yang melanda institusi politik umat
menggemakan ide bahwa Islam cocok bagi modernitas dan akal. Al-Manar telah
Islam dan menjadi komponen utama dari wacana intelektual antara kaum reformis
menjadi pondasi jalan dalam membentuk gerakan revivalis dan modernis dengan
penolakan terhadap tradisi taklid dan pengakuan atas validitas ijtihad dalam
memenuhi tuntutan modernitas. Majalah ini juga menjadi langganan bagi Basioeni
Imran. Tidak sekedar untuk bahan bacaan, Basioeni Imran juga berperan sebagai
mustafti (orang yang meminta fatwa) dengan cara beberapa kali mengirim surat ke
fatwa) yang selanjutnya dimuat dan diberikan jawabannya (fatwa) di dalam al-
Manar.
terjadi tanpa adanya reaksi. Seperti telah disebutkan oleh Steenbrink di atas,
pembaruan yang menolak taklid dan mengusung pembukaan pintu ijtihad serta
tubuh umat Islam, melahirkan polarisasi bahkan pertentangan dan mengarah pada
26
Istilah “kaum muda” dan “kaum tua” merujuk pada lahirnya intelegensia Hindia Belanda di
ruang publik pada dekade pertama abad ke-20. Kaum muda adalah kolektifitas “bangsawan
pikiran” yang merupakan sebuah kode untuk menamai generasi baru orang-orang Hindia
Belanda yang terdidik secara modern dan ikut serta dalam gerakan menuju kemadjoean,
117
Istilah ini muncul pertama kali dan berkembang luas di kota Padang,
sedangkan kaum tua golongan yang berpegang terus pada pemikiran dan
terutama melalui majalah mereka al-Munir. Pada umumnya kaum tua bertahan
pada kebiasaan yang dianut. Sedangkan kaum muda lebih menyokong kemajuan
umumnya tanpa mengikat diri pada tradisi yang ada. Dalam masalah agama, kaum
oleh hasrat untuk mengubah dasar-dasar teologi Islam, tetapi lebih bertujuan
untuk menyiapkan dasar bagi perubahan sosial. Perubahan yang didasarkan pada
bukan hanya mengenai kaum tua, tetapi sekaligus kaum adat. Kaum muda agama
Minangkabau digerakkan oleh tiga tokoh utama murid Syekh Ahmad Khatib,
(Padang dan Padang Panjang), dan Haji Rasul (H. Abdul Karim Amrullah,
berlawanan dengan istilah “bangsawan usul”. Sementara kolektivitas bangsawan usul diberi
nama “kaum tua” atau “kaum kuno”. Kaum muda dalam pengertian sebagai kaum intelegensia,
tidaklah homogeny. Ada “kaum muda yang berorientasi “sekuler”, “kaum muda yang
berorientasi adat”, dan “kaum muda yang berorientasi Islam”. Khusus kaum muda yang
berorientasi Islam memiliki basis kultural reformisme-modernisme Islam (Latif, 2005: 32; 153-
154).
118
adalah salah. Sumber utama hukum hanyalah Alquran dan hadis, bukan ijtihad
ulama. Umat Islam harus kembali ke sumber asli tersebut. Kaum muda juga
mementingkan penggunaan akal dan membuka pintu ijtihad (Azra, 1999, hal.
192).
sebagian masalah yang diperselisihkan antara kaum muda dan kaum tua adalah
hal-hal yang tidak prinsip atau masalah furu’iyah (cabang). Atjeh (1966: 322-323)
menyebut kaum muda dengan gerakan Salaf yang diwakili oleh Muhammadiyah,
al-Irsyad, dan Persatuan Islam dan kaum tua dengan gerakan modernis yang
tauhid dengan sistem sifat duapuluh, sembahyang tarawih lebih delapan rakaat,
sembahyang Jumat, talqin pada kubur orang mati, membaca tahlil, fidyah untuk
orang mati yang meninggalkan sembahyang masa hidupnya, kenduri orang mati,
tawashul doa pada kubur atau orang-orang keramat, mencium tangan guru,
maulid, berhari raya tidak di tanah lapang, khutbah dalam bahasa Arab saja,
Dalam perkembangan selanjutnya istilah kaum tua dan kaum muda ini
masyarakat ini mengalami perkembangan yang semakin kuat setelah tahun 1920-
ilmu ke Kairo dan kembali membawa ide-ide pembaruan dari sana. Fealy (1997:
8-10) menjelaskan selama awal 1920-an terjadi rivalitas antara kaum tradisionalis
[kaum tua] dengan tokohnya Kyai Wahab Chasbullah dan modernis [kaum muda]
dengan tokohnya Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan Syaikh Ahmad
Soorkatti (Al-Irsyad).
Pertikaian kaum tua dan kaum muda tergambar jelas dalam serangkaian
pada 1922 terjadi saling ejek, kalangan modernis menuduh kalangan tradisional
pada 1924, ketika umat Islam Hindia Belanda berusaha mencari kesatuan
tanggapan atas dua isu internasional: masa depan kekhalifahan pasca Khilafah
Usmani bubar dan direbutnya Mekah oleh pemimpin Wahhabi Abdul Aziz ibnu
Saud.
orang wakil umat Islam Indonesia untuk hadir dalam Kongres di Kairo, yaitu:
berangkat. Selanjutnya Ibnu Saud juga mengundang umat Islam Indonesia untuk
hadir dalam Kongres Mekah. Untuk keperluan tersebut, umat Islam Hindia
1925) dan Kongres al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926), namun kedua
120
tradisonalis yang ingin menyampaikan usulan agar Ibnu Saud perlu menjamin
memutuskan akan mengirim H.O.S. Cokroaminoto (Sarekat Islam) dan K.H. Mas
berubah menjadi organisasi Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926) (Noer, 1996:
242-243; Fealy, 1997: 9-10; Dhofier, 2011: 144; Bruinessen, 1994: 30-34).
pertikaian antara kaum tua dan kaum muda. Di Singapura juga terdengar
sendiri perlawanan terhadap kaum muda datang dari Islam tradisi melalui
tokohnya Syaikh Muhammad Saad bin Tanta’ di Mungkar (Syaikh Mungkar) dan
Syaikh Haji Muhammad Ali bin Abdul Muttalib (Syaikh Khatib Ali) di Padang.
meskipun tidak tetap terbitnya (Noer, 1996: 98-99; 240-241). Hadirnya berbagai
organisasi sosial keagamaan juga turut menguatkan pertentangan kaum tua versus
(berdiri 1912) dicap sebagai kaum muda sedangkan Nahdlatul Ulama (berdiri
berpikir dan cara hidup umat Islam. Gerakan ini dinamakan oleh Ibn Taimiyah
kembali ajaran-ajaran lama, yaitu ajaran para Sabahat Rasul dan Tabi’in;
yang dipakai adalah Quran dan Sunnah Rasul. Sebuah gerakan yang bertujuan
mengembalikan agama Islam kepada dua sumbernya yang murni yakni Alquran
bid’ah serta khurafat yang disisipkan ke dalamnya. Salah satu sifat utamanya
adalah berpegang teguh pada pemakaian ijtihad dan secara konsekuen menolak
mengembalikannya pada relnya yang asli yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul.
baru saja pulang dari Eropa, pada 1915 di Padang Panjang berdiri organisasi yang
sehari-hari, termasuk sabun) yang menjadi cikal bakal organisasi dan sekolah
Sumatera Thawalib. Pada 1918 perkumpulan ini berubah nama menjad Sumatera
membaca kitab-kitab Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Buku-buku dari Mesir
didatangkan. Mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah dimasukkan, di samping mata
komunis melalui tokoh Datuk Batuah yang baru pulang dari Jawa dan dibantu
Permi) dan pada 1932 berubah menjadi partai politik. Setahun setelah berubah
murid kira-kira 1.300 pelajar, termasuk yang berasal dari daerah Malaya,
123
orang-orang Cina dan Eropa, masyarakat Arab lebih dekat dengan masyarakat
Indonesia, sebagian besar mereka adalah peranakan dengan ibu orang Indonesia.
Tak jarang mereka tidak lagi memahami bahasa Arab dan lebih mahir
wanita pribumi, sehingga bahasa percakapan mereka bukan bahasa Arab tetapi
bahasa Melayu, Jawa, bahasa istri mereka. Saat itu masyarakat Arab terbagi
menjadi golongan Sayid dan bukan Sayid (Noer, 1996: 67). Golongan Sayid
Khairiyah yang lebih dikenal dengan nama Jamiat Khair. Organisasi ini memiliki
program mendirikan dan membina satu sekolah tingkat dasar dan pengiriman
Turki terhambat. Pada 1905 itu juga, Jamiat Khair mendirikan sekolah dengan
agama. Sekolah telah menerapkan sistem kelas dan menggunakan bahasa Melayu
Pada Oktober 1911, tiga orang Arab bergabung ke Jamiat Khair, yaitu
Syaikh Ahmad Soorkatti dari Sudan, Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, dan
Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekah. Thaib kembali ke Maroko pada
1913, Hamid pindah ke Bogor pada sebuah sekolah Jamiat Khair. Soorkatti
selanjutnya menjadi tokoh utama organisasi al-Irsyad. Pada 1913, para anggota
Agustus 1915. Perpecahan dalam Jamiat Khair yang selanjutnya melahirkan al-
Para pendiri a-Irsyad adalah para pedagang, tetapi guru yang dijadikan
Soorkatti belajar di Madinah selama empat tahun dan dilanjutkan sebelas tahun di
Mekah. Di Mekah antara lain belajar kepada Syaikh Muhammad bin Yusuf al-
Istambul dan sejak 1906 ia mengajar di negeri tersebut dan telah mengenal
Soorkatti tiba di Batavia karena diundang oleh Jamiat Khair untuk mengajar di
125
sekolah mereka. Tapi pada 1913, seperti telah disebutkan di atas, Soorkati
masyarakat Arab, meskipun anggota al-Irsyad juga ada yang bukan Arab. Al-
Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Al-Irsyad juga aktif dalam beberapa kali
kongres al-Islam pada 1920-an dan bergabung dengan Majelis Islam A’la
antara lain di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surabaya, dan Lawang. Semua cabang
tingkat dasar dan sekolah guru, sekolah takhassus (bidang agama, pendidikan atau
bahasa) dua tahun. Dalam perkembangannya, sekolah al-Irsyad mulai tertarik dan
dalam masalah tauhid, fikih, dan sejarah. Al-Irsyad juga menggunakan cara
menyebarluaskan pahamnya.
non-Sayid) terus berlangsung dan sulit dicarikan titik temu. Jamiat Khair menurut
126
Mekah. Pertikaian tidak surut bahkan hingga tahun 1930-an saat Jamiat Khair
menuntut bahwa hanya mereka yang berhak mempergunakan gelar sayid sesuai
dengan tradisi dan katanya juga sesuai syariat. Sebaliknya al-Irsyad tetap menolak
tuntutan tersebut dan mengatakan tidak ada aturan dalam Islam yang memberikan
Setahun kemudian berganti nama menjadi Hajatoel Qoeloeb yang didirikan oleh
Haji Abdul Halim yang bergerak di bidang ekonomi dan pendidikan (Hernawan,
2014: 1-2). Namun karena sering terjadi persaingan dan konflik dengan para
tokohnya juga menjalin hubungan dengan Jami’at Khair dan al-Irsyad untuk
Ulama dan berbadan hukum pada 21 Desember 1917 atas bantuan H.O.S
27
Penjelasan lebih lengkap tentang organisasi Persyarikatan Ulama dapat dilihat dalam buku
karya Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011), Bandung: YMSI
Cabang Jawa Barat & PUI Jawa Barat, 2014.
127
Persyarikatan Ulama mendirikan lembaga Santi Asrama yang terdiri dari tingkat
pembaru lebih dekat di banding dengan kalangan tradisional. Abdul Halim sendiri
Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada 1869 dengan nama
Setelah menamatkan pendidikan dasar dalam ilmu nahwu, fikih, dan tafsir di
Yogyakarta dan sekitarnya, ia pergi ke Mekah pada 1890 dan belajar di sana
di sana selama dua tahun. Sejak pulang dari Mekah untuk yang pertama kalinya,
betapa penting mengamalkan ajaran Islam tidak sekedar teori. Meskipun usahanya
langgar sendiri dengan arah kiblat yang benar. Namun perubahan itu tidak
Pada 1909 Ahmad Dahlan bergabung dengan Budi Utomo dengan maksud
dari para anggota Budi Utomo dan menyarankan mendirikan sekolah sendiri dan
masjid dan menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah. Hingga
membantu fakir miskin. Sejak awal sifat sosial Muhammadiyah telah dirintis oleh
Ahmad Dahlan.
Mansur.
yang mendirikan cabang Muhammadiyah oleh Haji Rasul pada 1925. Pada 1927
(PKU) pada 1921 dan Sopotrisno (yang berubah nama menjadi Aisyiyah) pada
madrasah dengan seluruh guru 119 orang dan murid 4.000 orang (Noer, 1996: 87-
94).
Oganisasi Persis bermula dari pertemuan kenduri tiga keluarga yang berasal dari
selama tiga setengah tahun dan pernah mengajar di sekolah Darul Muta’allimin
pamflet, majalah (Pembela Islam, al-Fatwa, al-Lisaan, dan at-Taqwa) dan kitab.
Persis juga membangun Pesantren Persis pada 1936 di Bandung, tetapi pesantren
ini kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur ketika Ahmad Hasan pindah ke
dan Cilegon. Terbitan-terbitan Persis dijadikan referensi oleh para guru dan
untuk “memajukan Islam dengan landasan Alquran dan Sunnah Nabi” serta untuk
pada 1887. Ahmad Hasan tidak menyelesaikan pendidikan dasarnya dan mulai
bekerja sejak usia 12 tahun dengan berbagai jenis pekerjaan. Ia pernah menjadi
anggota tim redaksi Utusan Melayu. Pada 1921 Ahmad Hasan pindah ke Surabaya
yang saat itu merupakan pusat pertikaian antara Kaum Tua dengan Kaum Muda.
Wahab Hasbullah (tokoh pendiri NU). Setelah melalui proses berpikir, Ahmad
Hasan menyimpulkan bahwa yang benar adalah Kaum Muda. Dari Surabaya
pertikaian Kaum Tua dan Kaum Muda dan mulai berkenalan dengan majalah-
Persis berikutnya dalah Mohammad Natsir, lahir 17 Juli 1908 di Alahan Panjang,
pada Algemene Middelbare School (setingkat SMA) pada 1927. Di Padang, Natsir
juga pernah belajar pada H. Abdullah Ahmad. Dengan demikian dapat dikatakan
kerajaan atau kesultanan yang bercorak Islam. Bahkan beberapa kerajaan yang
cukup besar telah eksis sezaman dengan Majapahit, atau setidaknya pada masa
berada dalam kekuasaan Majapahit (Muljono, 1965: 49). Sebagian besar kerajaan-
133
Simpang, Matan, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Suhait, Selimbau dan Bunut.
Kalimantan dibagi menjadi 3 kawasan, yaitu: (1) Kawasan yang dikuasai oleh
Kerajaan Belanda; (2) Kawasan kerajaan Brunei; dan (3) Kawasan Timur Laut,
yang masuk lingkungan kerajaan Sulu. Kawasan yang dikuasai oleh Pemerintah
Selatan dan Timur, Afdeling Sambas dan Afdeling Pontianak (kemudian lebih
tertinggi Batavia.
perdagangan dan keamanan. Urusan perdagangan yang dikuasai adalah bea cukai
di pelabuhan dan monopoli perdagangan garam dan candu. Pada 1846 prinsip
29
Berubah menjadi kerajaan bercorak Islam sekitar abad ke-13 M (Abdillah, 2010: 170).
30
Berubah menjadi kerajaan bercorak Islam sekitar awal abad ke 16 M (Salim, dkk. 2011: 36).
31
Sejak didirikan pada 23 Oktober 1771 telah bercirikan Islam (Abdillah: 2010: 229).
32
Beralih menjadi kerajaan bercorak Islam pada awal abad ke-18 M. (Abdullah: 2006).
33
Mulai secara tegas beralih menjadi kerajaan bercorak Islam pada masa pemerintahan Sultan
Nata Muhammad Syamsuddin (memerintah 1672-1737 M). Dua raja Sintang sebelumnya
sebenarnya telah menganut Islam, yaitu Pangeran Agung Abang Pincin dan Pangeran Tunggal.
Namun Islam belum benar-benar eksis baik di tengah rakyat maupun di lingkungan istana
(Sjamsuddin, 2008: 39-40).
134
karena pada 1841 James Brooke seorang petualang Inggris menjadi penguasa di
Pemerintah Belanda juga berperan sebagai wasit atas sengketa antara orang-orang
orang Dayak, tambang emas dan intan (Supriyadi, dkk. 1999: 2).
Matan, Simpang, Sukadana, dan Kubu. Sejak 1819 Afdeling Pontianak dipimpin
oleh Sultan Syarif Usman bin Sultan Abdurrahman Alkadri. Hubungan antara
Agustus 1819, 16 Desember 1822, dan 14 Oktober 1823 (Supriadi, dkk. 1999: 2-
3).
Sambas, dan negeri-negeri kecil di pesisir barat [Borneo] lainnya. Akan tetapi,
kegiatan yang dilakukan Belanda di sana sangat sedikit. Pada 1834, misalnya,
karena adanya intervensi seorang Inggris yang bernama James Brooke (1803-
1868) di Sarawak. Brooke menggunakan harta warisannya yang tidak begitu besar
untuk membeli sebuah kapal yang dipersenjatai, dan pada 1839 dia berlayar ke
campur tangan dalam suatu perang saudara di sana dengan mendukung seorang
pangeran Brunei, dan pada 1841 (setelah mengalami kesulitan dengan pangeran
Kucing, yang menjadi Divisi Pertama kerajaan pribadi Brooke yang luar biasa.
Kekuasaan teritorial James Brooke dan dua orang penggantinya, yaitu tiga ‘raja
putih’ dari Sarawak, yang semakin luas mengakibatkan rasa malu di London dan
berubah menjadi suatu kebijakan perluasan wilayah kerajaan yang lebih aktif,
Belanda sejak 1700. Saat itu terjadi perang antara Kerajaan Landak melawan
dan bersahabat dengan kerajaan Landak. Namun pada abad ke-19 raja-raja Landak
pada 1890, Gusti Kandut juga memberontak. Terakhir pada 1899 Gusti Abdurrani
yang dibantu oleh Panglima Bida, Panglima Daud, Panglima Anggu dan Ya’
Hindia Belanda sedang kuat karena provit dari tanam paksa, semua
Ulu di Laya, Sungai Kayong. Dan di tempat baru ini dibangun kerajaan baru
Tanjungpura yang baru ini dapat dibedakan dari kerajaan Tanjungpura yang
Pada 1822, Belanda dengan berbagai alasan menuntut Pulau Karimata agar
diikuti oleh Raja Akil, cucu Sultan Siak, berusaha menurunkan Sultan Jamaluddin
raja di Nieuwe Brusel, nama baru bagi Sukadana (Rachman, dkk, 1970: 37).
tanah Kayong (sebutan bagi Sukadana) dan menjadikan sultan sebagai pegawai
mereka yang diberi gaji. Dengan demikian maka kekuasaan politik sultan telah
1 Oktober 1609 kerajaan ini telah melakukan kontrak dagang dengan VOC.
Naskah kontrak VOC ini menurut Arsip Nasional merupakan yang tertua.35
Perjanjian tersebut berisi kesediaan Ratu Sepudak untuk menjual emas dan hasil
hutan Sambas hanya kepada VOC. Namun kontrak ini hanya dalam bidang
perdagangan dan baru pada 1817 pemerintah Hindia Belanda duduk dan berkuasa
di Sambas secara politis. Setelah menjalin kontrak dengan VOC, Sambas juga
34
Akan dibahas secara khusus pada bagian 2.4.
35
Arsip kontrak ini tersimpan di ANRI pada kelompok Arsip Borneo Westerafdeling (K.34) nomor
247, dan transkripsinya nomor 248.
138
menjalin kontak dengan orang-orang dari Cina.36 Karena Sambas kaya dengan
pertambangan emas dari Cina. Kehadiran orang-orang Cina sebagai tenaga kerja
(berkuasa 1762-1786) yaitu sekitar tahun 1772. (Salim, dkk. 2011: 159-160, 47).37
Inggris dan Belanda, maka kekuasaan Inggris atas Hindia Belanda kembali
diserahkan pada pihak Belanda melalui Gubernur Jenderal van der Capellen pada l
1 Agustus 1816. Atas dasar kebijakan tersebut, maka pada 1819 diadakan
sultan yang akan menduduki jabatannya selalu harus ditetapkan melalui besluit
Gubernement. Hal yang sama juga berlaku dalam pengangkatan putra mahkota
(Rachman, dkk, 1970: 44-45). Dengan kebijakan ini dapat dikatakan bahwa secara
Belanda.
36
Eksistensi orang-orang Cina atau Tionghoa di daerah Sambas ini secara lengkap dapat dibaca
dalam: Mary Somer Heihues. 2008. Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik
Tionghoa” Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil.
37
Bagaimana akibat kehadiran orang-orang Cina di Sambas akan dijelaskan pada bagian tersendiri
saat membicarakan kerajaan Sambas nanti.
139
penambangan emas telah dikuasai oleh kongsi-kongsi Cina, maka seperti telah
pada 1771 ini dalam waktu singkat dapat memperluas wilayahnya dengan
Sanggau terjadi pada 1777 dan 1778 dengan dibantu oleh Yam Tuan Muda Raja
Haji dari Riau yang juga membawa pasukan (Abdillah, 2010: 231).
1779 Sultan Pontianak mengadakan perjanjian dengan VOC dengan tujuan untuk
oleh Sultan Pontianak kepada mereka diberi tempat di seberang selatan Sungai
(Nurcahyani, 1999: 35). Karena telah ada perjanjian tersebut, maka pada 1786
(Rachman, dkk, 1970: 49). Selanjutnya pada 1787, Sultan Syarif Abdurrahman
38
Laporan kondisi dan potensi pertambangan emas di Sambas dan sekitarnya dapat dilihat dalam
buku yang disusun oleh London: The Sambas Ecploration Company (1890). Gold in Borneo.
39
Perjanjian atau kontrak dengan VOC tersebut sebenarnya dikecam oleh kerabat kesultanan.
Sultan Kasim bereaksi dengan meninggalkan keraton dan membuka perkampungan baru yang
dikenal dengan Kampung Luar. Sementara itu Syarif Abdullah dan para pengikutnya yang
terdiri dari orang Bugis dan Melayu mengungsi ke Loloan (Bali) untuk menyatu dengan
masyarakat Bugis di sana (Nurcahyani, 1999: 30).
140
Belanda yang ingin menangkap Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Ke-
V buronan VOC, namun sang buronan dilindungi oleh Gusti Jamiril. Raja Haji
Sejak perjanjian dengan VOC pada 1779 hingga 1814 Belanda terus
Pada saat Kesultanan Pontianak dipimpin oleh Sultan Syarif Kasim, muncul tiga
persoalan besar, yaitu masalah bajak laut, pemberontakan Sambas dan Cina.40
Untuk mengatasi problem ini Sultan Syarif Kasim meminta bantuan Inggris pada
1814. Tetapi Komisaris Jenderal mengambil alih pemerintahan atas dasar Treaty
menyerahkan wilayah Tayan dan Matan pada 1822. Setelah memaksa kesultanan
sempat dikalahkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman). Dengan bantuan dari Raja
Akil (cucu Sultan Siak) Belanda dengan mudah mengalahkan kerajaan Matan
40
Sebenarnya kongsi-kongsi Cina awalnya berada di wilayah Kerajaan Mempawah. Namun sejak
1787 Kerajaan Mempawah berada di bawah kendali Kesultanan Pontianak. Kerajaan Sambas
saat itu juga bertikai dengan Kerajaan Mempawah karena masalah batas wilayah. Masalah
sebenarnya adalah perebutan wilayah yang kaya dengan tambang emas.
141
yang memang sudah lemah sejak diserang oleh Sultan Syarif Abdurrahman
Hindia Belanda menjadikan para raja atau sultan sebagai ambtenaar (pegawai
pemerintah Hindia Belanda) yang digaji. Kebijakan yang dibuat oleh Deandels ini
kesultanan Pontianak. Kontrak yang mungkin dibuat pada 1819 tersebut antara
Belanda. Kemudian Sultan menerima sejumlah uang sebagai gaji dari pemerintah
lagi perjanjian yang baru. Isi perjanjian tersebut berisi antara lain Sultan Syarif
Hamid I menerima gaji sebesar f.50.400,- (setahun) dan kekuasaan peradilan dan
Belanda. Sultan pengganti Syarif Hamid I adalah Sultan Syarif Yusuf (1872-
1895) tidak dapat berbuat banyak untuk melepaskan diri dari belenggu Belanda.
Bahkan sultan hanya berfungsi untuk mengumpulkan pajak dari rakyat yang
berdasarkan Besluit Gubernur No. 44 tanggal 8 Januari 1912 jo. No. 23 tanggal 26
kerajaan.
(yang berarti hukum Islam dihapuskan dari Kesultanan Pontianak yang sejak
3) Seluruh staf kerajaan mendapat gaji dari pemerintah kolonial Hindia Belanda
pemerintahan Hindia Belanda pada 1942 tidak dapat berbuat banyak untuk
(Sultan atau Panembahan) dengan kolonial Belanda (VOC dan Pemerintah Hindia
Belanda), terdapat sebuah tulisan menarik dari Pakoe Negara yang dimuat dalam
lokal dengan kolonial Belanda sebenarnya memiliki tujuan positif untuk menjaga
agar adat istiadat dan tradisi yang telah tumbuh berkembang di masyarakat tetap
terjaga. Hal ini mungkin didasarkan pada pemikiran jika para penguasa lokal
yang secara nyata akan berdampak hancurnya segala hal yang telah dibangun oleh
para penguasa lokal, tak terkecuali adat istiadat dan tradisi. Berbagai pengalaman
lebih banyak mengincar sumber-sumber tambang seperti emas dan intan yang
masih menggantungkan hidupnya pada hasil hutan dan hasil laut yang tidak begitu
menjadi incaran kolonial Belanda. Tambang-tambang emas dan intan yang ada di
144
Kalimantan Barat dapat dikatakan berada di bawah kewenangan para Sultan atau
merugikan para Sultan atau Panembahan dan keluarganya dan tidak terlalu
memiliki kepercayaan (agama) asli, yang oleh sebagian kalangan disebut dengan
agama Kaharingan. Di samping itu, terdapat beberapa bukti bahwa agama Hindu
pemerintahan Hayam Wuruk di pulau Jawa. Saat itu kerajaan Tanjungpura dan
Belakangan datang agama Islam yang dibawa oleh para mubaligh dan pedagang
41
Menurut cerita rakyat, pengaruh kebudayaan Hindu masuk ke Kalbar, khususnya di Kerajaan
Tanjungpura dimulai pada masa pemerintahan raja Brawijaya dari Jawa Timur. Salah seorang
putera Brawijaya menikah dengan puteri Junjung Buih dari Kerajaan Tanjungpura. Dalam
versi Sejarah Melayu kisah ke-14 diceritakan perkawinan antara Wi Kusuma puteri Majapahit
dengan Ki Mas Jiwa putra raja Tanjungpura. Perkawinan berlangsung di istana Majapahit oleh
Patih Gajah Mada. Setelah kawin ia bernama Jayaningrat (Mujono, 1965: 52). Keturunan
mereka kemudian ada yang mendirikan kerajaan Tayan dan Meliau. Sampai sekarang di bekas
kerajaan Tanjungpura terdapat gambar wayang, cerita wayang, dan kesenian wayang. Bahkan
di Meliau ada keris yang dinamai keris Majapahit. Di hulu sungai Kapuas dan anak –anak
sungai Kapuas seperti Belitang, Nangan Mahap, di dekat muara Sekayam terdapat peninggalan
berupa patung dan batu bertulis. Peninggalan Hindu juga terdapat di Sintang seperti batu
Kundur (Lingga) lambang pemujaan agama Syiwa di samping keraton Sintang, Phallus atau
lingga di Kampung Tanjung Ria Sungai Tebelian, dan Patung Kempat (Gusar) atau patung
Ciwa di Kampung Pari Empahan di Pinggir Sungai Sepauk. (Ahok, dkk, 1980: 10; Lontaan,
1975: 180, 192).
145
oleh Syarif Abdurrahman Alkadri, seorang anak dari ulama terkenal Sayid Habib
Husein Alkadri,42 sejak awal dikenal sebagai kerajaan Islam. Ketika beberapa
pertambangan, mereka juga membawa kepercayaan atau agama asli mereka, Kong
Hu Cu. Berikutnya kehadiran penjajah Portugis dan Belanda juga membawa serta
agama Kristen-Katolik ke wilayah Kalbar. Kedua agama ini awalnya dianut oleh
(Abdillah, 2010).
dan menghormati nenek moyang. Hal ini terbukti sampai sekarang di derah atau
kampung yang belum beragama, adat mereka yang dinamakan ponto’ atau pantak,
yaitu patung dari nenek moyang yang terbuat dari kayu yang tiap tahun mereka
hormati dan diberi makan. Bukti lainnya adalah adanya tradisi ngayau atau
1980/1981: 8-9), tariyu (memanggil roh nenek moyang, khususnya pada saat
perang antar kelompok). Namun saat sekarang dua tradisi terakhir tersebut sudah
42
Menarik untuk diperhatikan bahwa Syarif Abdurrahman lahir dari ayah (Sayid Hahib Husein
Alkadri) seorang ulama keturunan Arab dan ibu (Nyai Tua) yang merupakan keturunan Dayak
yang masuk Islam. Syarif Abdurrhaman kemudian merperisteri Utin Candramidi puteri dari
pasangan Opu Daeng Menambun (berasal dari Luwuk Sulawesi Selatan) dan Puteri Kesumba
(anak Sultan Muhammad Zainuddin dari Matan) (Lihat Rahman, dkk., 2000: 24, 46).
146
daerah lain yang berada dalam kekuasaan Majapahit (Muljono, 1965: 49). Dari
bukti ini dapat dinyatakan bahwa pengaruh Hinduisme masuk dari dan pada masa
Brawijaya dari Jawa Timur. Dalam cerita tersebut disebutkan bahwa putera raja
Brawijaya kawin dengan puteri dari kerajaan Tanjungpura yang bernama Putri
Sepauk; patung Ciwa dari perunggu di Sepauk, Sintang (Ahok, 1980/1981: 14-
15).
ditemukan pada Batu Pahat di hulu Sekadau, dipahat dalam aksara Pallawa awal
yang sudah wujud antara tahun 600 M dan 700 M. Temuan ini sejajar dengan
berbagai artefak dari India seperti patung Budha, alat ritual Budhis dan
barat merupakan tempat persinggahan yang disukai oleh para pedagang yang
ditemukan batu bertulis dalam bahasa Sanskerta yang bermakna ”Senkala tahun
oleh Pangeran Ratu Idris, Sintang awalnya merupakan kerajaan Hindu. Baru pada
masa pemerintahan Pangeran Agung Abang Pincin sebelum Islam masuk dengan
dibawa oleh Muhammad Saman dari Banjarmasin dan Encik Shamad dari
pasti, karena masuknya tidak dilakukan oleh badan khusus yang bertujuan untuk
menyebarkan Islam. Pola seperti ini juga terjadi di wilayah lain di Nusantara.
Daerah yang pertama kali mendapat pengaruh Islam menurut Rachman, dkk.
(1970: 35) adalah daerah pesisir barat Kalimantan Barat yang membujur dari
sungai Landak dan masuk terus ke pedalaman, tetapi hanya sampai daerah-daerah
sepanjang sungai saja. Pembawa Islam ke Kalbar adalah para pedagang dari
Sumatera Selatan (Palembang) dan Jawa dan juga orang asing. Namun orang
asing dari mana tidak ada penjelasan. Adapun mengenai waktu kedatangan Islam
sebagai pedagang. Penerima pertama agama Islam adalah rakyat biasa, sedangkan
raja pertama yang memeluk Islam adalah Panembahan Giri Kusuma yang naik
(Arab, India, Cina, dll.) yang telah memeluk agama Islam bertempat tinggal
dan mengikuti pola hidup lokal sedemikian rupa, sehingga mereka itu sudah
sungai Landak masuk ke daerah Tayan, Sintang dan Nanga Pinoh. Dari daerah
Syafruddin Usman MHD, dkk (1996: 3). menyebutkan bahwa Islam mulai
tersebut terjadi ketika kerajaan Sukadana atau lebih dikenal dengan nama kerajaan
menyatakan baru pada masa Giri Kusuma (yang memerintah setelah Dibarokh)
Islam datang ke Sukadana dibawa oleh seorang bernama Syeck Husin. Dan mulai
atas ternyata tidak sesuai dengan hasil penelitian Lisyawati Nurcahyani (2000: 22.
lihat juga: Umberan, dkk, 1994 :15) yang menyatakan Islam sudah masuk ke
149
didasarkan pada bukti sejarah berupa makam yang oleh masyarakat setempat
diberi nama makam keramat tujuh dan keramat sembilan yang bertuliskan huruf
Arab dan berbahasa Alquran, dan diperkirakan dari abad ke-13 M. Sayangnya
tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang makam tersebut. Jika apa yang
paling awal adalah di Kalbar, tepatnya di kerajaan Tanjungpura. Karena itu perlu
Nurcahyani tersebut.
Pada masa pemerintahan Raja Burjaya, telah datang seorang berbangsa Arab
Quraisy yang namanya belum diketahui, mengajarkan seluk beluk agama Islam
kepada raja Burjaya, yang pada akhirnya memeluk agama Islam dengan gelar
Sultan Burjaya. Sultan Burjaya memeluk agama Islam dengan diikuti oleh dua
orang saudaranya yaitu Karang Tanjung dan Karang Nata. Karang Tanjung
maka pendapat yang menyatakan bahwa Islam memang sudah lama hadir di
Daerah lain yang diperkirakan menerima pengaruh Islam pada masa lebih
awal adalah kerajaan Landak. Sebagaimana dikatakan oleh Usman (2000: 11), di
agama Islam. Dan raja sendiri kemudian berganti nama menjadi Raden Abulkahar.
Sampai saat ini makam Raden Abdulkahar masih ada, namun belum ada
Daerah pesisir lainnya yaitu pesisir utara Kalbar di mana terdapat kerajaan
Sambas yang, menurut Rahman dkk. (2001: 15), pada awalnya beragama Hindu.
Pada 1570 M kerajaan Sambas di Kota Lama berada di bawah kerajaan Johor.
agama Islam. Dan sejak saat itu pula agama Islam mulai dianut oleh orang-orang
pengaruh Islam pada awalnya adalah daerah pesisir Kalbar. Dapat ditarik suatu
garis penyebaran Islam di derah pesisir tersebut adalah bermula dari daerah pesisir
berikutnya adalah daerah agak ke tengah, melalui aliran sungai Landak, yaitu
memasuki kerajaan Landak. Setelah itu ke pesisir bagian utara, yaitu di kerajaan
Meliau, Sanggau, Sekadau, Sintang dan Kapuas Hulu. Untuk daerah pedalaman
sungai Kapuas, ada juga yang menyatakan penyebaran Islam melalui Kalimantan
pedalaman sungai Kapuas, dan beberapa anak sungainya, Islam baru berkembang
ke daerah pedalaman Kalbar melalui jalur sungai mengalami waktu yang cukup
lama. Sementara di daerah pesisir relatif lebih cepat. Hal ini antara lain
disebabkan selain karena kendala alam Kalbar yang berupa hutan dan rawa-rawa,
juga karena sikap orang-orang yang hidup di daerah pesisir lebih bersikap terbuka,
etnis penerima agama Islam, maka penerima awal Islam adalah suku bangsa
Melayu, Bugis, Banjar dan lain-lain yang berasal dari Sumatera, Jawa dan
mudah menerima Islam adalah adanya kesamaan budaya antara penyebar Islam
atas agama Islam pada masyarakat pesisir ini memiliki perbedaan dengan
bawah.
secara keseluruhan disebut sebagai Melayu, sehingga ada kesan bahwa Melayu
tersebut. Apakah sebutan Melayu dan Dayak merupakan term yang menunjuk
pada etis / suku bangsa ataukah suatu budaya? Apakah identifikasi demikian
dikonstruk dan muncul dari masyarakat sendiri atau dari pihak lain. Hal ini akan
Istilah Dayak sampai sekarang masih belum dapat dipastikan secara jelas
dari mana dan apa makna yang sebenarnya. 43 Banyak literatur memperkirakan
kata Dayak merupakan perkembangan dari kata “Daya” yang dalam bahasa dari
bahasa Heban (Kaltim) Daya berarti “manusia”. Makna lain yang berasal dari
anak suku lainnya seperti Dusun, Murut, Ngaju, Kenyah dan sebagainya Daya
berarti: hulu sungai, pedalaman, darat (Ibrahim: 1996: 204). Kata Daya dalam
bahasa anak suku Benayat/Kendayan juga berarti: dalam, hulu, darat. Ini dapat
dibuktikan dari kalimat: Ampus kamai kita? (Pergi ke mana kita?) Ampus kadaya!
(Pergi ke dalam!) ( Ali AS., 1996: 197). Hal ini didasarkan pada pemilahan letak
arah bagi kalangan Dayak berdasarkan aliran sungai, yaitu bagian hulu disebut
darat atau pedalaman, sedangkan bagian ke arah muara sungai disebut hilir atau
laut. Jadi di kalangan masyarakat Dayak hanya mengenal dua arah: laut dan darat
43
Tentang proses perubahan istilah Dayak dengan beberapa variasinya Daya, Daya’ dan Dya serta
implikasi dari istilah tersebut dapat dilihat dalam: F. Alkap Pasti, Dayak Islam di Kalimantan
Barat, dalam Budi Susanto, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius,
2003), hal. 113-116.
153
yang berarti hilir dan hulu sungai atau pesisir dan pedalaman. 44 Sehingga
nama umum Daya sesungguhnya tidak mengandung pengertian etnis atau suku
bangsa secara antropologis yang satu dan sama. Kalangan masyarakat Dayak
sendiri pada awalnya tidak akrab dengan sebutan tersebut. Bahkan di Kalbar
kampung atau sungai, seperti: “kami orang Kantu”, “kami orang Kayan”, kami
suka menamakan Daya (Coomans, 1987; Ali, 1996).45 Terutama di masa silam,
kadang juga Katolik atau Protestan (bukan Islam), hidup di pedalaman, di tengah
berikhtiar hidup dengan cara berladang dan nomad, bertelinga panjang dan
Hanapi Dollah gambaran seperti itu merupakan sebagian dari naratif kolonial,
44
Bandingkan misalnya penduduk di Jawa dalam menunjuk arah menggunakan empat arah mata
angin: barat, timur, utara, selatan.
45
Penggunaan istilah Daya juga digunakan untuk nama awal dari Universitas Tanjungpura yang
pada saat berdirinya pada tahun 1959 bernama Universitas Daya Nasional.
154
Yusriadi, 2005: 2). Selanjutnya pada masa Orde Baru, menurut Pasti (2003: 113),
keberadaan suku Dayak dengan menyebut kelompok ini sebagai kaum perambah
untuk memperkokoh dominasi sosial dan eksploitasi terhadap sumber daya alam
oleh pemerintah.
Dayak sendiri tidak suka, sehingga mereka enggan menggunakan penyebutan diri
sungai di mana mereka bermukim. Hal ini menyebabkan ketika mereka berpindah
agama ke agama Islam, mereka kemudian menyebut dirinya dan disebut sebagai
“orang melayu”. Pemilihan identitas menjadi orang melayu tersebut secara sosial
menyatakan diri sebagai Melayu, mereka akan relatif lebih mudah diterima di
46
Dalam pandangan F. Alkap Pasti, dengan mengutip pendapat Stefanus Djuweng dan G.P.
Djaong, strereotype yang sifatnya merendahkan terhadap Dayak merupakan hasil kerjasama
antara pemerintah Kolonial Belanda dengan pemerintah feodal (kesultanan Melayu?). Lihat: F.
Alkap Pasti, op.cit. hal. 112-113. Tentang hal ini penulis kurang sependapat. Jika menelusuri
sejarahnya, sejak awal berdirinya, kerajaan/kesultanan Melayu di Kalbar telah melakukan
kerjasama dengan penduduk setempat (Dayak), yang lebih dahulu menetap di wilayah kerajaan
itu berdiri. Bahkan tidak sedikit para keluarga kerajaan yang menikah dengan orang-orang
Dayak.
155
atas menimbulkan spesifikasi tersendiri. Karena yang disebut Melayu tidak lagi
yang benar-benar berasal dari suku bangsa Melayu, tetapi siapa saja yang
orang-orang yang orang tuanya tidak berasal dari satu suku bangsa (misalnya:
bapak Bugis dan ibu Banjar) maka mereka menyebut dirinya sebagai Melayu.
Melayu di Kalbar adalah Melayu yang “khas”, yang berbeda dengan Melayu di
Kepulauan Riau, Sumatera, dan Malaysia.47 Tentang hal ini, Ibrahim (1996:206)
vis Dayak. Sementara istilah Melayu di daerah lain lebih bermakna antropoligis
2.3.3 Ulama-ulama
Kajian sejarah terhadap para ulama yang ada di Kalimantan Barat belum
banyak dilakukan. Catatan-catatan tentang para ulama yang ada saat ini sebagian
besar menyangkut para ulama yang dapat dikategorikan sebagai ulama pejabat di
Mempawah misalnya tercatat nama Syaikh Habib Husein Alkadri sebagai mufti
47
Kostitusi Malaysia mendefinisikan Melayu sebagai: “ Setiap orang yang yang lahir di dalam
Federasi (atau Singapura) sebelum kemerdekaan (atau keturunan orang-orang seperti itu), yang
memeluk keyakinan Islam, biasa berbahasa Melayu, dan melaksanakan kebudayaan Melayu”.
Lihat: Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas Perspektif Politik Melayu, (Jakarta: LP3ES, 1995),
hal. 12.
156
pertama (dengan gelar Tuan Besar Mempawah) yang memiliki anak Syarif
Abdurrahman Alkadri pendiri Kerajaan Pontianak.48 Setelah itu hadir pula Syaikh
Ali bin Faqih al-Fatani sebagai mufti kedua Mempawah (dengan gelar Maharaja
Imam Mempawah), pengganti Habib Husein. Kedua tokoh ini tidak akan dibahas
di dalam bagian ini, karena masa hidupnya jauh sebelum lahirnya Basioeni Imran.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa ulama yang hidup sezaman
dengan Basioeni Imran. Uraian mengenai beberapa ulama dan / atau Mufti di
Wan Mohd. Shaghir Abdullah di berbagai sumber daring serta sumber lain yang
menunjang.
dipanggil Tok Haji Mat Yasin adalah salah seorang khalifah dan mursyid Tarekat
Mat Kecik Fatani. Kepergian Yasin ke Mempawah juga karena perintah dari
memiliki hubungan dengan para ulama Semenanjung Melayu dan Patani, terutama
mereka yang melaksanakan ibadah haji dan belajar di Mekkah. Mulai dari masa
Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani hingga Syaikh Nik Mat Kecik al-Fatani.
48
Pada saat Syarif Abdur Rahman al-Qadrie mendirikan kota atau Kerajaan Pontianak pada 1771
M., Maharaja Imam Syaikh Ali bin Faqih al-Fathani diajak pindah ke Pontianak. Di Pontianak
ia tinggal di Kampung Bugis yang berdekatan dengan Keraton Kadriyah. Dengan demikian,
Syaikh Ali bin Faqih al-Fathani berkhidmat pada dua kerajaan sekaligus, yaitu Mempawah dan
Pontianak (Abdullah, 2007).
157
dan uang kepada para ulama Patani di Mekah, termasuk kepada Syaikh Nik Mat
Kecik al-Fatani. Karena hal tersebut, Nik Mat Kecik mengirim muridnya
ketika itu yaitu Sultan Syarif Yusuf bin Syarif Abdul Hamid Alkadri (1873-
beberapa bulan, kerana pada pandangannya mengajar dengan cara menerima gaji
adalah mencerminkan kurang tawakalnya terhadap Allah. Oleh karena itu, Yasin
masyarakat dan saat itu raja atau panembahan kerajaan Mempawah adalah Gusti
kesenian hadrah, salah satu kesenian yang dikuasainya. Yasin juga mengajarkan
berbagai lagu Barzanji, Nazham dan Burdah, serta zikir-zikir tarekat Qadiriyah
Quraniyah dan Shalawat Seratus Empat Puluh Sembilan yang terdapat di dalam
Lum’atul Aurad karya Syaikh Wan Ali Kutan al-Kalantani. Rumah tempatnya
Pathani (Abdullah,.2006-d).
158
Nama lengkapnya adalah Tuan Guru Haji Abdur Rahman bin Husein al-
awal Tok Kenali. Di antara murid Tok Kenali yang menjadi ulama besar terkenal
dan sama-sama belajar dengan Abdur Rahman, bahkan tinggal sepondok, ialah
yang sangat banyak di pondok pengajian Tok Kenali, Abdur Rahman melanjutkan
Abdur Rahman belajar antara lain kepada Syeikh Mukhtar bin `Atharid Bogor.
Setelah belajar di Mekah, Abdur Rahman sempat pulang ke Kelantan namun tidak
Sambas ia bertemu dan bermalam di rumah Basioeni Imran. Atas saran Basioeni
sebelah selatan kepada Tuan Guru Haji Abdul Qadir bin Ahmad yang berasal dari
perang dunia kedua. Selain sebagai Mufti, mengajar kerabat istana, mengajar di
menurut sistem pondok Patani dan Kelantan yang diberi nama Darul `Ulum
(Abdullah, 2006-e).
tersebut dicetak oleh Mathba'ah al-Masawi, Empat Belas Ulu Palembang. Abdur
Rahman Kelantan menikah dua kali dengan perempuan dari Kampung Semperiuk,
anak bernama Abdul Malik (pernah menjabat sebagai Kakanwil Depag Provinsi
Kalimantan Barat). Di antara murid Abdur Rahman ialah Ustadz Haji Zainal
Arifin bin Ahmad (pernah menjabat Ketua Majelis Ulama Daerah Kabupaten
Haji Ismail bin Haji Abdul Karim (Daeng Talengka) bin Haji Utsman
(Daeng Pagalak). Haji Ismail ini selanjutnya lebih dikenal sebagai Haji Ismail
Mundu, Mufti Kerajaan Kubu. Haji Ismail Mundu lahir 1287 H. / 1870 M. dan
terkenal adalah Haji Ibrahim Bugis dan Haji Ahmad Tatapantas, keduanya tinggal
sendiri), Haji Abdullah Ibnu Salam (Haji Abdullah Billawa). Setelah belajar dari
kedua oran tersebut, Ismail Mundu dikirim oleh ayahnya ke Mekah untuk belajar
kepada Sayyid Abdullah Azzawawi mufti Mekah. Gurunya yang lain di Mekah
adalah Tuan Guru Umar Sumbawa (Basioeni Imran juga belajar kepadanya) dan
Makabro alias Puang Lompo (Ulama Bugis). Salah seorang sahabatnya saat
belajar di Mekah adalah Tok Kenali. Sejak pulang dari Mekah, pada 1907 M.
(1326 H.) Ismail Mundu diangkat sebagai mufti di Kerajaan Kubu, dan menetap
di Teluk Pakedai yang masih masuk wilayah kerajaan Kubu. Pada 1356 H. / 1937
M. Ismail Mundu berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang ketiga
nama perkumpulan Jami’ut Thanasuh. Setelah mendapat berita dari Sultan Hamid
II, Sultan Pontianak yang menunaikan Haji bahwa masyarakat Kubu sangat
masyarakat Bugis hingga sekarang nama Haji Ismail Mundu masih sangat
161
dikenal. Hal ini disebabkan ia adalah seorang ulama yang kuat mengerjakan
lainnya. Ada beberapa karya ditulis oleh Mufti Haji Ismail Mundu, yaitu:
yang dibangsakan kepada duniawi adalah untuk penjagaan diri dari berbagai
bentuk dan corak permusuhan sesama makhluk Allah. Selain itu ia juga
3) Jadwal Hukmin Nikah atau Jadwal Nikah Soal-Jawab, diselesaikan hari Selasa,
15 Muharam 1355 H. Ini keterangan yang dicetak oleh Kantor Tulis dan Toko
Kitab as-Saiyid Ali Al-‘Aidrus, Kramat No. 38 Batavia Centrum. Tetapi pada
Mundu menulis, “Maka tatkala adalah tahun seribu tiga ratus lima puluh tujuh
daripada hijrah Nabi... (1357 H. / 1938 M.) bergeraklah hati saya dan
soal jawab pada bicara hukum nikah...”. Risalah ini diberi kata pendahuluan
Alwi bin Thahir bin Abdullah al-Haddad al-Alawi dan kata pujian oleh Ketua
162
nikah, talak, rujuk, fasakh, iddah, dan lain-lain. Sekira-kira memberi faham dan
faedah soal jawab dan jadual yang tersusun dengan peraturan yang mudah
dengan tuturan bahasa Melayu, supaya diketahui dengan tiada guru buat dibaca
oleh penuntut penuntut ilmu dan yang sudah kawin. Dan juga bagi mereka
yang akan kawin laki-laki dan perempuan. Dan kitab ini telah ditashhihkan dan
diakui oleh Mufti Kerajaan Johor dan pujian oleh Ketua Kadi-kadi Singapura
(Abdullah, 2006-b).
Nama lengkapnya ialah Ismail bin Haji Abdul Majid bin Haji Abdul Qadir
al-Kalantani. Lahir di Kampung Labok, Machang, Kelantan pada 1876 (1882) dan
wafat pada 1946 (1951).49 Pendidikan dasar diperoleh oleh Ismail di Kelantan. Ia
pulang ke Kelantan sesudah haji pada 1325 H. / 1908 M., yaitu tahun wafatnya
49
Mengenai tahun lahir dan wafatnya masih perlu dikaji kembali. Pendapat awal menyebut
bahawa Ismail Kelantan lahir pada tahun 1293 H. / 1876 M.. Ismail Che' Daud menjelaskan
bahawa ulama tersebut lahir pada awal tahun 1300 H. / 1882 M. Demikian tentang wafatnya
bahawa pendapat awal menyebut tahun 1365 H. / 1946 M. Ismail Che' Daud menyebut
kemungkinan pada tahun 1370 H. / 1951 M. atau terkemudian lag i.
163
Syeikh Ahmad al-Fathani.50 Riwayat lain menyebut bahwa setelah Syeikh Ahmad
Syeikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi berasal dari Termas (Jawa)
adalah seorang ulama besar Mazhab Syafi’i dan ahli dalam ilmu hadis (Abdullah,
2006-c).
Zawawi telah terjalin sejak beliau belajar di Mekah, yang ketika itu Saiyid
pergolakan Wahhabi di Mekah, beberapa orang ulama tidak aman tinggal di sana,
Pontianak, Ismail Kelantan terus bersama gurunya itu, belajar berbagai bidang
ilmu tiada henti-hentinya walau pun ilmu yang dikuasainya cukup banyak dan
dari Syeikh Ahmad al-Fathani. Oleh karena itu setelah Syeikh Ahmad al-Fathani
meninggal dunia, beliau meneruskan pendidikan khusus tentang ilmu falak dari
Syeikh Muhammad Nur bin Muhammad bin Ismail al-Fatani. Ketika mempelajari
50
Syeikh Ahmad al-Fathani wafat pada 11 Zulhijjah 1325 / 18 Januari 1908.
51
Al-Zawawi lahir 1266 H. / 1850 M.; wafat 1343 H. / 1924 M.
164
ilmu falak dari Syeikh Muhammad Nur al-Fatani, beliau bersama Syeikh Haji Abu
Bakar bin Haji Hasan Muar. Murid-murid Ismail al-Kalantani antara lain Ustadz
Syaikh Haji Abdul Rani Mahmud, seorang ulama terkemuka di kota Pontianak
dan pernah menjabat sebagai Ketua Majlis Ulama Kalimantan Barat). Mengenai
ketokohan Ismail Kelantan dalam ilmu falak dapat dibuktikan dalam karyanya
bahawa Ismail Kelantan adalah orang pertama yang menyebarluaskan ilmu falak
Muhamad Yasin, seorang ulama besar yang berasal dari Kedah tetapi sayang
beliau tidak lama di rumah Syaikh Yasin karena Syeikh Muhamad Yasin
Wan, seorang ulama Tasawuf yang berasal dari Patani. Karena pengetahuan
agamanya yang mendalam, Ismail Abdul Majid atau Ismail Kelantan disambut di
diambil menjadi menantu oleh seorang hartawan Bugis di kampung Sungai Itik
Darat. Dari perkawinan tersebut ia meperoleh tiga orang anak perempuan. Sambil
mengajar ia mengubah khutbah Jumaat ke dalam bahasa Melayu yang selama ini
dilakukan dalam bahasa Arab. Kebijakannya ini mendapat reaksi dari masyarakat
setempat kemudian diadukan kepada Sultan Pontianak Syarif Muhamad bin Syarif
bahwa mula-mula ia dilantik sebagai Naib Hakim di Rad Agama Pontianak mulai
lembaga pendidikan tinggi kala itu. Selain mengajar di Jami' Merbau, Ismail
Sewaktu Ismail Kelantan menjadi Mufti Pontianak, ada tiga orang ulama
yang bernama Ismail. Dua orang lagi ialah Ismail bin Abdul Lathif (lebih dikenali
dengan Ismail Jabal) dan Ismail bin Abdul Karim (lebih dikenali sebagai Ismail
Mundu). Ismail bin Abdul Lathif adalah Adviseur atau Penasihat Rad Agama
Kerajaan Pontianak. Ismail bin Abdul Karim adalah Mufti Kerajaan Kubu, sebuah
dijelaskan di atas.
Shalih az-Zawawi Jawab Soal Dari Tanah Jawa, diselesaikan pada 25 Syawal
1330 Hijrah. Isinya mengenai ayat-ayat al-Quran dalam piringan hitam. Diberi
penjelasan makna dalam bahasa Melayu dari karya asalnya yang ditulis dalam
bahasa Arab, Rajab 1326 H. Dicetak dengan kehendak as-Saiyid Ja'far bin
1330 H.
terdapat beberapa lembaga pendidikan Islam (madrasah) yang berdiri pada masa
Hindia Belanda, yaitu Madrasah Al-Najah wal Falah52 (1918 M) di Sungai Bakau
Raudhatul [Islamiah] di Pontianak (1936 M), dan Madrasah Normal Islam (1928
M) oleh H. Abdul Rasyid, lulusan Al-Azhar Kairo Mesir. Selain yang disebutkan
oleh Tarmi, sebenarnya di Kota Pontianak sejak tahun 1926 telah berdiri
Perguruan Islamiyah yang didirikan oleh H. Arif H. Ismail dan dibantu oleh
masyarakat di Kampung Bangka (Pasifikus, dkk., 1981: 39). Dari catatan sejarah
di atas, di Kota Pontianak sejak awal abad ke-20 telah berdiri lembaga pendidikan
52
Namanya yang benar adalah Madrasah Dar al-Falah wa al-Najah yang didirikan oleh Syaikh
Haji Muhammad Yusuf al-Manshury.
167
Surat Kabar Sinar Borneo yang terbit pada 1926 memberikan informasi
Pada hari Djema’at 30 April 1926 djam 5 sore lebih koerang 80 moerid-
moerid sekolah arab berbaris-baris berarak-arak dengan muziek teroes
menghadap keroemah p. t. Resident Pontianak goena memberi selamat
pada p. t. Resident dan Selamat lahirnya Prinses Juliana, Poetri seri Ratoe
H. M. Koningin Nederland. Sesampainja diroemah p. t. Resident maka S.
Joesoep Kepala Sekolah Arab mengoetjapkan oepatjara Selamat dan
moerid-moeridpoen tidak ketinggalan menarik lagoe Wilhilimus, dengan
diiringi poela dengan muziek (Sinar Borneo. 10 Mei 1926).
Dalam berita di atas, diketahui bahwa pada 1926 di Pontianak telah berdiri
Madrasah Arab yang dipimpin oleh Syaikh Haji Muhammad Yusuf al-Manshury
dengan jumlah murid cukup ramai. Namun tidak ada penjelasan di mana letak
tersebut Syaikh Haji Muhammad Yusuf al-Manshuri adalah juga tokoh ulama
yang mendirikan Madrasah Dar al-Falah wa al-Najah pada 1918 di Sungai Bakau
Selain itu Madrasah Arab di atas, pada 1928 di daerah Kampung Kapur
Pontianak juga telah berdiri Sekolah Arab atau sekolah agama dengan gurunya
Abdoel Moetalib. Sekolah ini juga sudah memiliki murid yang cukup banyak
53
Tentang sejarah Madrasah Al-Raudhatul Islamiah dapat dilihat dalam laporan penelitian Zulkifli,
Sejarah Perkembangan Bawari (Badan Wakaf al-Raulatul Islamiyah) (1936-2009) (2009).
168
yaitu sekitar 100 siswa (40 laki-laki dewasa yang belajar sore hari dan 60 anak
1938 yang didirikan oleh seorang guru bernama Pakanoeddin (lulusan Tarbiyah
yaitu pada 10 Mei 1939 Tarbiyatul Islamiyah pindah ke gedung baru yang
didirikan di tepi tebing sungai Melawi di atas munggu yang tertinggi. Murid-
muridnya selain dari Nanga Pinoh juga dari Kotabaru, Serawai dan sebagainya.
Pada Agustus 1940 muridnya lebih kurang 80 orang. Dengan adanya sekolah
Tarbiyah Islamiyah maka masjid Besar (Djoem’at) Nanga Pinoh ikut menjadi
maka digunakan rumah Ahmad sebagai tempat belajar. Sekarang (20 Januari
1940) telah mempunyai murid 44 orang. Waktu belajar dibagi menjadi dua, pagi
dan siang. Madrasah tersebut dipimpin oleh Hoesin H. Mustafa dari Kampung
yang tak setuju dengan pendirian madrasah, tetapi ia jalan terus. (Borneo Barat,
20 Januari 1940).
menurut laporan surat kabar Borneo Barat telah berdiri sebuah perhimpunan atau
Moehammad (juru surat atau sekretaris) dan Wan Idroes (Bendahara). Usaha ini
Muhammadiyah di Palmenlaan No. 118 dengan jumlah siswa awal 20 orang laki-
(dekat istana Kadriyah Pontianak). Hadir dalam peresmian itu antara lain
Pangeran Kusuma Yuda. Salah satu pelajaran yang ditekankan dalam sekolah
Desember 1940).
Kerajaan Sambas merupakan salah satu dari kerajaan bercorak Islam yang
berjaya di bagian utara Kalimantan Barat sejak abad ke-17 M. Kerajaan ini masih
saat ini. Kerajaan Sambas yang bercorak Islam yang didirikan oleh Raden
atau biasa disebut dengan Kerajaan Hindu Ratu Sepudak. Namun informasi
rakyat. Bahkan sebelum hadirnya Kerajaan Sambas Lama, dikatakan telah tumbuh
kerajaan yang didirikan oleh Dinasti Samsu Abasiyah, yang diduga nama Sambas
berasal dari kata Samsu Abasiyah yang lama kelamaan berubah dan disingkat
54
Nama Kerajaan Sambas Lama sebenarnya diberikan oleh peneliti. Penamaan kata Lama di
belakang nama Kerajaan Sambas bertujuan untuk membedakannya dengan Kerajaan Sambas
yang bercorak Islam. Selain itu kata Lama juga dikaitkan dengan ibu kota kerajaan yang berada
di Kota Lama. Tidak ditemukan bukti sejarah tentang nama Kerajaan ini sebenarnya. Penulis
lain menyebutnya sebagai Kerajaan Sambas Tua.
171
Abasiyah berdirilah kerajaan yang bercorak Hindu yang berasal dari ekspedisi
Gajah Mada ke Sambas. Dari kerajaan Hindu ini yang dapat diketahui hanya
Umberan, & Zuhdi, 1995: 11-12). Hal ini didukung oleh ditemukannya salah satu
situs sejarah yaitu situs makam Ratu Sepudak yang berada di Kota Lama
KERAJAAN SAMBAS
Sumber: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1116305.
Diakses tanggal 28 Oktober 2017. Pukul 08.15 WIB
172
Hindu tersebut yang menurutnya pada abad ke-14 Sambas diperintah oleh Raden
Sambas bernama ”Jawi” dan sekarang disebut Jawai, yang kemudian mengambil
alih kekuasaan Raden Janur. Sejak saat itu berdirilah kerajaan Hindu Sambas.
Oleh karena itu, negeri Sambas sejak abad ke-14 dikenal sebagai negeri koloni
Majapahit. Pendapat Musa ini sejalan dengan apa yang ditulis dalam kakawin
(Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung, dan juga Barus
itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk Negara-negara
di Pulau Tanjungnegara; Kapuas-Katingan Sampit, Kota Lingga. Kota
Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut) (Muljono, 1965: 49).
55
Dalam versi yang lain menyebutkan hal yang sebaliknya. Yudithia Ratih (2009: 60) menyatakan
asal-usul berdirinya pemerintahan di Paloh bermula dari kedatangan orang-orang Majapahit di
bawah pimpinan Raden Janur pada sekitar tahun 1364 M. Setelah beberapa saat berinteraksi
dengan warga lokal, mereka mendirikan pemerintahan baru dengan Raden Janur sebagai
rajanya. Pemerintahan di Paloh mengalami pergeseran kepemimpinan karena raja yang
memimpin bukan keturunan Majapahit. Hal itu karena Raden Janur tidak memiliki keturunan
dan mengangkat anak bernama Tang Nunggal. Raja Tang Nunggal, yang dikenal sebagai sosok
yang kejam, menimbulkan kegelisahan dari Majapahit selaku kerajaan yang membawahi Paloh.
Oleh karena itu, sepeninggal Tang Nunggal, kendali pemerintahan di Paloh diambil alih oleh
Majapahit.
173
diperintah oleh Raja Gipang. Selanjutnya diteruskan oleh Ratu Sepudak pada
1550 M (Musa, 2010: 3). Pada saat Ratu Sepudak memerintah, pusat kerajaan
dipindahkan dari daerah Paloh ke Kota Lama yang berada di wilayah Kecamatan
Teluk Keramat sekitar 36 km dari kota Sambas saat ini (Nurcahyani, Purba,
Umberan, & Zuhdi, 1995: 13). Dalam sumber lokal naskah manuskrip Asal Raja-
Bab ini surat pada menyatakan silsilah asal daripada raja-raja Sambas.
Syahdan maka adalah pada masa itu bernegeri di Kota Lama’, maka adalah
rajanya bernama Ratu Sepuda’ beranak dua orang perempuan pertama-
tama yang tua bernama Mas Ayu Anom dan yang bungsu bernama Mas
Ayu Bungsu dan saudaranya pun anaknya dua orang laki-laki yang
seorang bernama Pangeran Prabu Kencana dan yang seorang bernama
Pangeran Mangkurat. Maka Pangeran Prabu Kencana itu dikawinkan
dengan Mas Ayu Anom kemudian dijadikan raja dan digelarnya Ratu
Anom, maka ialah yang memegang perintah memerintahkan negeri
Sambas. Adapun Pangeran Mangkurat menjadi Patih yang memerintahkan
di bawahnya Pangeran Ratu Anom itu. Maka adalah Ratu Anom itu
berputera dua orang laki-laki yang tua bernama Raden Bakut dan yang
seorang bernama Mas Buang. Maka telah beberapa lamanya Ratu
memerintahkan negeri maka Ratu Sepuda’ itu pun kembalilah ke
rahmatullahi ta’ala. Maka tinggallah Ratu Anom Kesukma Yudha
56
Naskah ini adalah koleksi Perpustakaan Nasional yang diidentifikasi dengan judul Asal Raja-
raja Sambas. Belum diketahui identitasnya, baik mengenai asal muasalnya, judulnya,
penulisnya, maupun waktu dan tempat penulisannya. Ada indikasi bahwa naskah ini diperoleh
oleh Perpustakaan Nasional dari Sambas. Ditulis menggunakan aksara Jawi (Arab-Melayu),
tanpa ilmuninasi, kolofon, dan tanpa penanggalan. Diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-18
atau awal abad ke-19 berdasarkan watermark pada alas naskah yang kertasnya diproduksi
sekitar tahun 1795.
174
Sejak 1570 M. Kerajaan Sambas Lama atau Kerajaan Ratu Sepudak tidak
lagi menjadi koloni Majapahit, melainkan menjadi daerah yang dikuasai oleh
dibuktikan dengan memberikan upeti setiap tahun kepada Kerajaan Johor (Risa,
2016: 19). Tidak jauh berbeda dengan yang tertulis dalam naskah Asal Raja-raja
Sambas dalam sumber lokal lainnya, yaitu naskah Asal Usul Raja-raja Sambas57
Ratu Sepudak ditulis dengan “Ratu Sepuh” memiliki saudara bernama Timbung
Paseban. Ratu Sepudak berasal dari keturunan Bantara Majapahit yang masih
menganut agama Hindu. Beliau mempunyai dua orang putri, yang tertua bernama
Raden Mas Ayu Anom yang dikawinkan dengan keponakannya sendiri (anak dari
Timbung Paseban) bernama Pangeran Prabu Kencana. Putri yang kedua bernama
Raden Mas Ayu Bungsu (Asal Usul Raja-raja Sambas, 1324 H).
Pada saat Ratu Sepudak memerintah ini datanglah Raja Tengah 58 yang
sebagaik berikut:
57
Asal Usul Raja-raja Sambas adalah manuskrip yang naskah aslinya berbahasa Arab-Melayu
yang ditulis oleh Datuk Kiyai Raja Wangsa Menteri Kerajaan Sambas pada 27 Jumadil Akhir
1314. Naskah ini diserahkan kepada Panglima Muda Sultan van Sambas Haji Alwi Bakran
pada tahun 1924, diteruskan kepada anak beliau Datuk Panglima H. Djuhardi H. Alwi
kemudian disampaikan oleh cucu beliau Alwindo H. Djuhardi pada tanggal 21 Februari 2010 di
rumah beliau di Kampung Dagang Timur. Ditugaskan menyalinnya ke huruf Latin pada
Mohammad Sabirin AG. BA.
58
Sering juga disebut dengan Sultan Tengah. Ia adalah putra sultan Brunei ke-9, yaitu Sultan
Muhammad Hasan yang menurut Awang Moh. Jamil (1995: 25) memerintah tahun 1582-1598.
59
Naskah Salsilah atau biasa dibaca Salasilah atau Salasalah adalah naskah beraksara Jawi
berbahasa Melayu yang “disurat” oleh Sri Paduka Sultan Mohamad Tsafioedin II, pada malam
Jumat 14 Ramadhan 1321 bersamaan 4 Desember 1903 (keterangan pada halaman pertama
175
Tengah diterima dengan baik oleh Ratu Sepudak. Bahkan untuk menjalin
dengan putera Raja Tengah bernama Raden Sulaiman. Pernikahan Mas Ayu
Sambas sekitar 10 tahun. Gelar Raden yang dilekatkan pada Sulaiman adalah
anugerah dari penguasa Sambas Lama karena telah menjadi bagian dari keluarga
Tak berapa lama Raja Tengah dan anaknya Raden Sulaiman berada di
Kencana (keponakan sekaligus menantu Ratu Sepudak) sebagai Raja dengan gelar
menjadi patih. Ratu Anom Kesumayuda memilki dua orang anak yaitu Raden
naskah). Menurut Pabali Musa (2003, hal. 70-71), jika dilihat dari bahasa teksnya tampaknya
bukan ditulis sendiri oleh Sultan Tsafioedin II, tetapi didiktekan kepada seorang juru tulis.
Naskah ini telah dikaji oleh Musni Umberan dan Anita (1994) dan Pabali Musa (2003).
60
Naskah Asal Raja-raja Sambas, Salsilah Raja Sambas, Asal usul Raja-raja Sambas memberikan
informasi yang sama tentang anak dan keponakan Ratu Sepudak. Perbedaan hanya terletak
pada nama anak dari Ratu Anom Kesumayuda. Dalam Asal usul Raja-raja di Sambas dua anak
Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Bakul dan Amsar Buyung.
176
Anom Kesumayuda pindah dari Kota Lama ke Kota Balai Pinang (di hulu sungai
beralih ke tangan anaknya yang bernama Raden Bakut dengan gelar Panembahan
Kota Balai. Raja terkahir Kerajaan Sambas Lama adalah Raden Mas Dungun,
Raja Tengah dari Brunei. Raja Tengah adalah putra Sultan Brunei ke-9 yaitu
berani dan giat menyebarkan agama Islam. Sumber lokal naskah Salsilah
oleh putranya Sultan Abdul Jalil Akbar, yang memiliki dua orang anak, Sultan
Abdul Jalil Jabbar dan Sultan Tengah. Setelah Sultan Abdul Jalil Akbar wafat
maka ia digantikan oleh Sultan Abdul Jalil Jabbar. Oleh Sultan Abdul Jalil Jabbar,
Dalam naskah Asal Raja-raja Sambas penyebutan nama Sultan Abdul Jalil
Akbar dan negeri Sarawak agak berbeda: ”Syahdah maka tersebut perkataan Raja
Tengah orang Brunei ia berpindah dari Brunei sebab berselisih dengan saudaranya
Raja Abdullah maka disuruhnya dia berdiam di Gelagak maka diamlah di sana
dua musim maka keluar pula dari Gelagak lalu masuk ke Sukadana”. Selanjutnya
61
Menurut Jamil (1995: 25) Sultan Muhammad Hasan memerintah tahun 1582-1598.
177
Adapun puteranya Sri Sultan Abdul Jalil Akbar yang bernama Raja Tengah
sangat gagah beraninya tiada berlawan serta dengan nakalnya barang
kerjaannya tiada berketahuan setelah dilihat oleh kakandanya itu yaitu
Sultan Abdul Jalil Jabbar maka baginda pun duka citalah karena tiada
siapa dapat berlawan dengan dia hatta maka dipanggil oleh kakanda
baginda Sri titah baginda hai saudaraku kakanda ini dengan rahmat Allah
ta’ala menjadi raja dalam negeri Brunei akan adinda pun hendak kakanda
rajakan juga maka hati kakanda baharulah suka karena kita ini sama juga
anak marhum maka sembah Raja Tengah adapun patik ini hamba bawah
duli mana titah patik junjung tiadalah ia tahu akan dirinya hendak
dikeluarkan di negeri Brunei setelah demikian titah patik junjung tiadalah
ia tahu akan dirinya hendak dikeluarkan di negeri Brunei setelah demikian
titah kakanda baginda baiklah adinda kanda rajakan di Sarawak.
Datu Petinggi Seri Setia, Datu Syahbandar Indera Wangsa, Datu Amar Setia
Diraja dan Datu Temenggong Laila Wangsa. Pemberian gelar ini yang selanjutnya
gelar ini mengikuti tradisi Diraja yang lazim dilakukan di Brunei. Setelah itu Raja
Tengah memasyhurkan diri dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah, Sultan
Berunai (Sweeney, 1968: 65-67) menjelaskan bahwa Raja Tengah adalah anak
Sultan Abdul Jalilul Akbar saudara kepada Sultan Muhammad Ali, jadi saudara
62
Naskah ini ditulis oleh Sri Paduka Sultan Mohamad Tsafioedin II, Sultan Sambas ke-13 yang
berkuasa pada tahun 1866-1922. Naskah ini ditulis pada malam Jumat 14 Ramadan 1321 atau 4
Desember 1903.
63
Menurut Machrus Effendy, Raja Tengah terkenal juga dengan nama Sultan Abdul Jalil.
178
memerintahkan Sultan Tengah keluar dari Brunei dan menjadi raja di negeri
kemudian berangkat menuju negeri Johor dengan membawa lima ratus orang
tetapi singgah di Negeri Matan. Di Matan Sultan Tengah diterima dengan penuh
kehormatan dan dimuliakan oleh Sultan Matan. Bahkan setelah beberapa lama,
Sultan Matan memberi isteri kepada Sultan Tengah. Dari isterinya tersebut, lahir
anak laki-laki yang oleh Sultan Matan diberi gelar Pengeran Mangkunegara.
memerintah saat itu, namun naskah Silsilah dan Asal Raja-raja Sambas menyebut
nama sultan negeri Matan (orang juga menyebutnya negeri Sukadana) adalah
putra pertama Raja Tengah yakni Raden Sulaiman pada 1009 H. / 1600 M.
Sedangkan Giri Mustika berkuasa pada 1622-1659. Oleh karena itu, lebih tepat
adalah Raja Tengah ke Sukadana pada masa ayah Giri Mustika, yaitu Giri
Kesuma, yang berkuasa pada 1550-1609, berlanjut ke masa isterinya Ratu Mas
Ratu Surya Kesuma dengan Raja Tengah. Dari pernikahan itu Raja Tengah dan
Ratu Surya memiliki 5 orang anak: tiga orang laki-laki yaitu Raden Sulaiman,
Raden Badaruddin, dan Raden Abdul Wahab serta dua orang anak perempuan
Raja-raja Berunai disebutkan bahwa tidak berapa lama menikah dengan putri
Matan, istri Raja Tengah tersebut melahirkan anak yang digelar oleh Sultan Matan
Pangeran Mangkunegara adalah gelar bagi Raden Badaruddin (anak kedua Raja
Tengah).
Setelah beberapa lama di Sukadana, Ratu Surya dan Raja Tengah pindah ke
Sambas ketika itu terletak di Kota Lama. Penguasanya adalah seorang ratu yang
bernama Ratu Sepudak yang beragama Hindu. Raja Tengah diterima dengan baik
oleh penguasa Sambas tersebut. Hubungan itu kemudian dipererat lagi dengan
pernikahan Raden Sulaiman dengan putri bungsu Ratu Sepudak yaitu Mas Ayu
Bungsu. Menurut Pabali (2008: 48) ada dua situasi yang melatarbelakangi Ratu
Sepudak menerima Raja Tengah dengan baik yaitu: pertama, Raja Tengah
merupakan anak Sultan Brunei sedangkan Sambas pada masa itu berada di bawah
pengaruhnya. Kedua, sejak Raja Gipang berkuasa (1484 M.) telah banyak rakyat
jabatannya sebagai wazir kedua, pengaruh dan kegiatan Raden Sulaiman dalam
yang masuk Islam. Adapun yang menjadi wazir pertama adalah Pengeran
Mangkurat, adik dari Ratu Anom Kesumayuda. Tidak lama setelah menikahkan
putranya Raden Sulaiman dengan Mas Ayu Bungsu, Raja Tengah kembali ke
tempat yang bernama Batu Buaya, Santubong, karena hendak buang air. Pada saat
itulah Raja Tengah diserang oleh sakai (hulubalang)-nya yang gila. Beliau sempat
menikam sakainya itu dengan keris. Dalam keadaan terluka, Raja Tengah dibawa
ke istana, namun jiwanya tidak tertolong. Setelah Raja Tengah wafat, sang istri
(Salsilah: 16-17).
menteri Raden Sulaiman yang bernama Kiyai Setia Bakti, karena dibunuh oleh
memutuskan untuk keluar dari Kota Lama. Sejumlah petinggi kerajaan mengikuti
Bangun, tempat ayahanya Sultan Tengah pertama kali singgah dari Sukadana.
Selain didorong oleh kesamaan agama dan keluhuran budi Raden Sulaiman,
Mangkurat yang disebutkan dalam naskah Salsilah (hal. 34) terlalu keras lagi
aniaya. Setelah itu Raden Sulaiman pindah lagi ke simpang Sungai Teberau
tepatnya di Lubuk Madung. Dari Lubuk Madung, pusat kerajaan terakhir pindah
lagi ke Muare Ulakan, sebuah tempat pertemuan tiga buah anak sungai, yaitu
Sungai Sambas Kecil, Sungai Subah, dan Sungai Teberau. Sekarang daerah ini
dilakukan pada masa pemerintahan Raden Bima yang dinobatkan sebagai Sultan
Sambas yang kedua pada Sabtu, 11 Muharram 1080 H dengan gelar Sultan
1040 H. [10 Juli 1631 M.], Raden Sulaiman mendapat gelar Sulthan Muhammad
Syafiuddin. Artinya, pada saat itulah Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan
64
Kota Bandir merupakan tempat persinggahan sementara Raden Sulaiman sebelum menemukan
sebuah tempat yang tepat untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Raden Sulaiman
bermukim di sini selama tiga tahun. Sekarang Kota Bandir terletak di Desa Mensemat
Kecamatan Sajad. Beberapa situs masih ditemukan di tempat ini seperti situs makam keramat
Bantilan dan perkuburan tua di daerah Suak Nibung Desa Segerunding Kecamatan Sajad
(Sopyan, Hermanto, & Fahmi, Mengenal Situs Sejarah Kerajaan Sambas Islam, 2007).
182
dua adik laki-lakinya bernama Raden Baharudin bergelar Pangeran Bendahara Sri
Maharaja dan Raden Abdul Wahab bergelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma,
(Fahmi, 2004: 1; Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi, 1995: 20-21). Dengan
Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara kalangan penulis tentang
penentuan waktu yang pasti kapan Kerajaan Sambas Islam yang dibangun oleh
tahun 1040 H. (Fahmi, 2004: 1) bertepatan 10 Juli 1631 M. (Sopyan, Hermanto, &
Fahmi, 2007: 3). Penulis yang meyakini penobatan Raden Sulaiman pada 10
Muharram tahun 1080 H. [10 Juni 1669 M.] (Achmad, Ikram, & Rivai, 1980).
Namun di dalam manuskrip berjudul Susunan Para Raja pada Masa Kerajaan
65
Pada halaman yang sama, Salsilah juga menyebutkan bahwa Raden Sulaiman lahir di Negeri
Sukadana pada hari Rabu waktu Zuhur kepada sepuluh hari bulan Syawal 1009, tahun seribu
sembilan kepada tahun Nun ()ن. Kemudian kembali ke rahmatullah Ta’ala kepada hari Jumat
pada lima hari bulan al-Muharram 1081, tahun seribu delapan puluh satu kepada tahun Nun
()ن.
66
Naskah ini dikoleksi oleh oleh Mul`am Khusairi.
183
dengan anak Ratu Sepuda’ di Kota Lama. Dilantik tahun 156867 atau tanggal 14
Rajab tahun 987 H.”68 Sejumlah penulis saling silang pendapat ihwal
Sejarawan Melayu asal Brunei, Awang Al-Sufri menyatakan pada 1631 M. (Musa,
2003: 35; Ratih, 2009). Mengenai tahun wafatnya Raden Sulaiman, pendiri
Kerajaan Sambas Islam, Pabali Musa menyebutnya pada 1669 M (Musa, 2003:
36). Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan sumber yang digunakan dan
Kerajaan Sambas Tua yang berpusat di Kota Lama dipimpin oleh Ratu Anom
Kesuma Yuda dipindahkan ke hulu Sungai Selakau bernama Negeri atau Kota
Balai Pinang. Ratu Anom Kesumayuda kemudian wafat dan dimakamkan di Balai
Pinang. Ratu Anom Kesumayuda digantikan oleh putranya yang bernama Raden
Bekut dengan gelar Panembahan Kota Balai Pinang. Selanjutnya penerus tahta
Kerajaan Sambas Lama adalah Raden Mas Dungun yang menjadi Raja Terakhir,
karena tidak lama setelah dinobatkan sebagai raja Raden Mas Dungun
67
M. Zaini AR (Zaini, 1991) menyebutkan Raden Sulaiman dinobatkan sebagai raja tahun 1568.
Menurut Muhammad Gade (1985), Sultan Sambas ke-3 setelah Raden Sulaiman dan Sultan
Muhammad Tajuddin I yakni Sultan Umar Akamaddin I sudah mengadakan kontrak dengan
Belanda yang diwakili oleh Samuel Blomaert pada tahun 1609. Dalam beberapa tulisan lain
disebutkan pihak Sambas yang menandatangani perjanjian ini adalah Ratu Sepudak yang masih
Hindu. Jika data yang dikemukakan oleh Muhammad Gade ini dikaitkan dengan naskah
koleksi Mul’am, maka menurut peneliti sangat dimungkinkan Kerajaan Sambas Islam telah
wujud pada pertengahan abad ke-16 M, dan bukan pada awal abad ke-17 M.
68
Jika menggunakan Conversion of Hijri A.H. (Islamic) and A.D. Christian (Gregorian) dates
yang tersedia dalam ww.muslimphilosophy.com maka tanggal 14 Rajab 987 H. adalah 6
September 1579 M.
184
(Ratih, 2009: 63). Sebenarnya, usulan agar dua keluarga yaitu Ratu Anom
Kesuma Yuda dan Raden Sulaiman bersatu sudah disampaikan oleh Petinggi
Segerunding, Nagur dan Bantilan kepada Ratu Anom. Namun usulan tersebut baru
terlaksana pada masa Raden Mas Dungun (Zaini, 1991: 25-26). Dengan
Sultan hingga tahun 1943. Daftar para sultan yang pernah memerintah di Kerajaan
3. Marhum Adil atau Raden Milia bin Raden Bima, bergelar Sultan Umar
M].
(1757-1782).
69
Angka di dalam tanda kurung siku [] adalah menurut naskah koleksi Mul’am.
185
6. Marhum Tanjung atau Raden Gayung bin Raden Jamak, bergelar Raden
7. Marhum Janggut atau Raden Mantri bin Raden Jamak, bergelar Sultan
8. Marhum Anom atau Raden Pasu bin Raden Jamak, bergelar Sultan
9. Marhum Usman atau Raden Timba bin Raden Jamak, bergelar Sultan Usman
10. Marhum Tengah atau Raden Semar bin Raden Jamak, bergelar Sultan Umar
11. Marhum Tajuddin atau Raden Ishak Kalukuk bin Marhum Anom, bergelar
(1848-1853).
12. Marhum Umar atau Raden Tokok bin Marhum Usman, bergelar Pangeran
Ratu Mangku Negara dan Sultan Umar Kamaluddin (1853-1866) [w. 1865
M].
70
Arsip Borneo West 226 berjudul Ini Peraturan Kerajaan Sambas dengan Cerita yang Pendek
menyebutkan bahwa Sultan Abu Bakar Tajudin lari ke hutan karena berperang melawan
Inggris. Sultan Abu Bakar Tajudin kemudian wafat di hutan dan dimakamkan di kaki gunung
Senjujuh.
71
Arsip Borneo West 226 menyebutkan bahwa Sultan Anom yang masih bernama Pangeran
Bendahara naik menjadi Sultan pada tahun 1811 M dan bergelar Sultan Muhammad Ali
Safiuddin. Pada tahun 1818, Sultan Anom bersengketa dengan Pangeran Bendahara yang
didukung oleh orang Cina Darat. Dalam sengketa tersebut Sultan Anom meminta bantuan dari
Governement Belanda di Batavia. Tahun 1819, Sultan Anom menandatangani kontrak dengan
pihak Belanda. Bulan April tahun 1828, Sultan Anom wafat dan kemudian digantikan oleh
Pangeran Bendahara yang bergelar Sultan Usman Kamaluddin. Sultan Usman Kamaludin
memiliki anak Pangeran Jaya.
186
13. Marhum Cianjur atau Raden Afifuddin atau Raden Afif bin Marhum
14. Marhum Muhammad Ali atau Raden Muhammad Aria Diningrat bin Marhum
15. Raden Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati Ahmad bin Marhum Cianjur,
72
Dalam Regeering Almanak voor Nederlandsch-Indie 1900 (hal. 284) disebutkan bahwa tanggal
konfirmasi pemerintah (datum van bevestiging door de reegering) adalah 6 Agustus 1866.
187
Dari lima belas orang sultan di atas, ada empat orang yang menjabat
sebagai wakil sultan karena sultan yang sesungguhnya (putra mahkota) masih
kecil. Mereka yang menjabat sebagai wakil sultan adalah sultan keenam, ketujuh,
kesembilan, dan kesepuluh. Puncak kejayaan Kerajaan Sambas dicapai pada masa
Sumber: Diolah dari Naskah 84 CS 2/41 dan 83 CS 2/43. Koleksi Cohen Stuart. Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI.
nama Sultan Muda Umar Kamaluddin yang menunjukkan bahwa naskah ditulis
setidaknya pada masa pemerintahan Sultan Muda Umar Kamaluddin, yaitu pada
pejabatnya terdiri dari seorang sultan, enam mantri raja atau pangeran yang
Laksamana. Kemudian terdapat enam orang kiai (guru agama Islam), empat orang
kaya (bangsawan) dan seorang imam. Pangeran mahkota, jika ada, dapat
disangga oleh empat tiang-tiang pendek (Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi,
1995: 45). Ini melambangkan kekuasaan Sultan dalam pemerintahan dibantu oleh
para wasir yang empat orang, yaitu Pangeran Adipati, Pangeran Bendahara,
Pangeran Paku Negara, dan Laksamana. Tiap-tiap wasir dibantu oleh empat citra
Pangeran Cakranegara.
1995: 45-46):
190
Balai Raja, merupakan peradilan di atas Balai Bidai dengan ketua Demang dan
Balai Qanun, peradilan tertinggi dengan ketua Sultan dan anggota Wasir-wasir,
pernah suatu ketika sultan ditanya tentang batas wilayah Kerajaan Sambas, dan
Datu’ dengan Batu Belat. Batas yang lebih jelas disebutkan dalam Encyclopaedie
kontrak 14 Agustus 1909, dibatasi oleh Laut Cina di sebelah Barat dan Barat Laut
191
mulai dari muara Sungai Duri hingga Tanjung Dato; Mempawah di sebelah
Selatan dan Tenggara. Sebagian daerah Sungai Duri merupakan batas antara
Landak dan Sanggau yang berada di sebelah timur dan timur laut. Batas Sambas
dengan Mempawah mulai Sungai Duri dan tanah di sebelah utara sungai
sepanjang pantai sampai pegunungan Batu Belat. Termasuk juga dalam wilayah
Kecil, Kabung, Saluar, Semesak, Keran, Tempurung, Burung, Pikak, dan Tuwa
Bugis. Berikutnya adalah istilah Kepala Kampung yang diikuti nama kampung.
Ada juga istilah Pembekal Dayak dan Melayu yang diikuti nama kampung, yaitu:
Sambas. Selain itu, informasi di atas juga menjelaskan kelompok masyarakat yang
mendiami wilayah Kerajaan Sambas selain Melayu Sambas juga ada suku Bugis
yang dikepalai oleh seorang Penggawa dan suku Dayak yang berdiam di beberapa
kampung dengan dikepalai oleh seorang pembekal. Suku Melayu sebagian besar
Cina yang didatangkan pihak kerajaan dengan tujuan untuk bekerja di lahan
pertambangan emas.
kerajaan dan juga Belanda. Terdapat setidaknya dua kongsi besar yaitu Tai Kong
di Monterado dan Sin Ta Kiu di Sambas. Sering terjadi pertikaian dan peperangan
antara dua kongsi ini dan suatu ketika pihak Kerajaan Sambas memihak Sin Ta
Kiu. Meskipun Sin Ta Kiu menang karena dibantu pihak kerajaan, tetapi salah
194
seorang panglima kerajaan bernama Tengku Sambo tewas di tangan kongsi Tai
Sambas 1824-1850, terdapat catatan bahwa per 1 Januari 1824 jumlah penduduk
Eropa 4 jiwa, Arab 18 jiwa, Melayu 9.403 jiwa, Bugis 331 jiwa, Dayak 20.601
jiwa dan Cina 6.284 jiwa (Arsip Borneo West No. 3, ANRI). Selanjutnya pada
1848 catatan van Grave, Tobias, dan Francis menunjukkan angka sebagai berikut:
Data di atas menunjukkan bahwa angka yang disebutkan Tobias berbeda jauh
dengan angka van Grave dan Francis. Dimungkinkan ini karena perbedaan
melihat Sambas sebagai wilayah afdeeling (menurut Tobias) dan Sambas sebagai
Sambas pada 1906 berjumlah 11.089 jiwa, dengan rincian: Eropa 16 jiwa, pribumi
10.037 jiwa, Cina 753 jiwa, Arab 244 jiwa, dan Timur Asing 39 jiwa. Angka ini
mengalami perubahan pada Regering Almanak 1911 (hal. 11) menjadi berjumlah
195
12.096 jiwa, dengan rincian: Eropa 20 jiwa, pribumi 11.080 jiwa, Cina 860 jiwa,
Arab 97 jiwa, dan timur asing 39 jiwa.73 Angka yang cukup berbeda ditunjukkan
Sambas pada 1915 berjumlah 123.600 jiwa, dengan rincian: Eropa 100 jiwa,
Dayak 26.000 jiwa, Melayu, Jawa dan Bugis 67.000 jiwa, Cina 30.000, dan Arab
dan lainnya 270 jiwa. Data yang ditampilkan dalam Encyclopaedie van
data yang ditampilkan dalam Regering Almanak hanya secara khusus di wilayah
antara pihak VOC yang diwakili oleh Samuel Bloemaert dengan Saboa Tangan
247 dan 248).74 Di dalam kontrak tersebut disebutkan bahwa perdagangan berlian,
yang saat itu banyak ditemukan di Sambas, hanya boleh dilakukan dengan pihak
Belanda, sedangkan akses pihak Sambas untuk negara-negara Eropa lainnya tidak
73
Dalam Regering Almanak tahun 1913 sampai tahun 1918 mencantumkan jumlah yang sama
dengan tahun 1911. Sementara itu Regering Almanak tahun 1920 dan 1921 khusus untuk
wilayah Westerafdeeling van Borneo hanya mencantumkan jumlah penduduk untuk
Singkawang, Pontianak, Ketapang, dan Sintang. Sejak tahun 1922 data yang ditampilkan
Regering Almanak hanya total jumlah penduduk untuk wilayah Westerafdeeling van Borneo.
Selanjutnya tahun 1938 sampai 1942 jumlah penduduk yang dicantumkan dalam Regering
Almanak lebih umum, yaitu mencantumkan jumlah penduduk Jawa-Madura dan luar Jawa-
Madura (Buitengesesten) dengan tanpa perincian lebih detail.
74
Ulasan tentang kontrak ini dapat dibaca dalam JHR. Mr. J. K. J. de Jonge (Jonge, MDCCCLXV:
302-304).
196
dibaca dalam Arsip Borneo West nomor 226 berjudul Ini Peraturan Kerajaan
Sambas dengan Cerita yang Pendek. Dalam arsip tersebut disebutkan bahwa
Sultan Anom yang masih bernama Pangeran Bendahara naik menjadi Sultan pada
1811 M. dan bergelar Sultan Muhammad Ali Safiuddin. Sultan sebelum beliau
adalah Sultan Abu Bakar Tajudin yang lari ke hutan karena berperang melawan
Inggris. Sultan Abu Bakar Tajudin kemudian wafat di hutan dan dimakamkan di
kaki gunung Senjujuh. Pada 1818 Sultan Anom bersengketa dengan Pangeran
Bendahara yang didukung oleh orang Cina Darat. Dalam sengketa tersebut Sultan
Anom meminta bantuan dari Governement Belanda di Batavia. Pada 1819 Sultan
Pada April 1828, Sultan Anom wafat dan kemudian digantikan oleh
Bendahara menolak, maka Van den Bosjch akan menjadikan orang lain dari
negeri lain menjadi Sultan. Akhirnya Pangeran Bendahara Seri Magraja menjadi
Mutinghe dan van Boekholtz tiba di muara sungai Sambas. Secara resmi pada 6
Belanda yang diikuti dengan pendirian loji (kantor dagang) Belanda pada 3
dalamnya adalah tentang uang pengganti kerugian dari hasil-hasil duane, candu
75
Menurut Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi (1995: 54) kontrak dibuat antara Sultan
Muhammad Ali Tsafiuddin I dengan pemerintah Belanda di Sambas pada tanggal 25
September 1819, berisi tentang persahabatan dan pedagangan hasil bumi Sambas. Melalui
kontrak ini pemerintah Hindia Belanda dapat ikut campur dalam melaksanakan sistem
pemerintahan di kerajaan Sambas dan secara otomatis juga berhak mengatur masyarakat.
Meskipun sultan masih tetap diberi wewenang untuk mengatur kerajaannya, tanpa disadari
kekuasaan sultan sudah berkurang. Hal ini tejadi karena Belanda secara tidak langsung ikut
berperan dalam menentukan keputusan kerajaan dan dalam penobatan pegawai kerajaan. Untuk
memperlancar kekuasaannya, Belanda membentuk sistem pengaturan tersendiri di Sambas
yaitu dengan menempatkan seorang wedana berkedudukan di kota Sambas dan dapat
berhubungan langsung dengan rakyat.
198
Belanda pada 7 November 1848 dan disahkan pada 9 Januari 1849 oleh Gubernur
mengikat kontrak dengan Belanda pada 23 Agustus 1877 (Salim, et al., 2011:
160-161).
Informasi terawal Islam datang pertama kali ke Sambas pada awal abad ke-
15 dibawa oleh orang Cina. Menurut informasi itu pada 1407, di Sambas didirikan
Laksamana Hadji Sam Po Bo, Hadji Bong Tak Keng, dan Hadji Gan Eng Tju,
76
Sayangnya tulisan ini tidak menyebutkan sumbernya dan bagaimana proses masuk serta
kelanjutan sejarah komunitas Cina ini. Memang sebelumnya telah ada komunitas Cina yang
singggah dan menetap di Kalimantan Barat yaitu di Kepulauan Karimata. Pada tahun 1292
ekspedisi pasukan Khubilai Khan dibawah pimpinan Ike Maso, Shih Pi dan Khau Sing dikirim
untuk menghukum Kertanegara, berpangkalan di kepulauan Karimata. Ekspedisi ini kalah dan
gagal mencapai tujuannya. Mungkin karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa
dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, sejumlah anggota pasukan ini melarikan diri
dan menetap di Kalimantan Barat (Wati, 1989: 41). Diperkirakan sejak saat inilah mulai adanya
orang Cina yang menetap di Kalimantan Barat. Apakah komunitas ini yang sebagiannya
membentuk Muslim Hanafi di Sambas atau ada kelompok lain, tidak dijelaskan.
199
yang terkenal itu, atas perintah Kaisar Cheng Tsu atau Jung Lo (kaisar keempat
Dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi ke Nan Nyang. Beberapa
anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur
dengan masyarakat setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka
serta bagaimana peranan anak buah Cheng Ho yang muslim di Kalimantan Barat
perkembangan Islam pada masa sultan pertama ini. Baru pada masa sultan kedua,
Raden Bima bin Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad Tajuddin yang
memerintah pada 1669 – 1702 M. didirikan masjid sederhana di dalam kota dan di
pendidikan Islam. Kemudian pada masa sultan ketiga, Sultan Umar Akamuddin
(memerintah 1702-1727 M.) telah dibangun masjid baru yang diberi nama
Kamasallaita. Diperkirakan juga pada masa yang sama, datang seorang ulama
besar dari Patani, Thailand Selatan bernama Syaikh Abdul Jalil al-Fatani78 untuk
77
Pada tahun 1405 seorang Cina Muslim atas nama Laksamana Cheng Ho mengunjungi Brunei
dan dia mencatat bahwa Brunei pada tahun itu sudah diperintah oleh seorang Sultan Islam
pertama, Awang Alak Betatar (Harrisson, 1968: 180).
78
Wan Mohd. Shaghir Abdullah dalam tulisannya berjudul Syeikh Ali faqih al-Fathani Mufti
200
Anom, Muhadi, & Fahadi, 2001: 86-87). Selanjutnya pada masa Sultan kelima,
saat itu, istana menjadi salah satu tempat penyelenggaraan pendidikan, meskipun
menangani berbagai hal yang terkait persoalan agama. Keluarga Nuruddin ini
kemudian melahirkan ulama-ulama besar Sambas pada abad ke-19 dan ke-20
(Mahrus, Jamani, & Hadi, 2003: 8; 10). Tiga orang ulama yang disebut terakhir
dikenal sebagai pejabat maharaja imam, sebuah jabatan birokrasi dalam sistem
Kerajaan Mempawah (2007) (ww1.utusan.com.my, akses 10 Mei 2017 pukul 22.22 WIB)
menjelaskan sekitar tahun 1160 H/1747 M dua ulama tiba di Mempawah yaitu Syeikh Ali bin
Faqih al-Fathani (Keramat Pokok Sena) dan Syeikh Abdul Jalil al-Fathani (Keramat Lumbang)
dan menghadap Opu Daeng Manambon, Raja Mempawah saat itu. Keduanya berasal dari
Kampung Sena, Pattani. Keduanya mendapatkan pendidikan pondok di Pattani dan
melanjutkan pendidikan di Mekah, namun tidak ada catatan tentang guru-guru mereka. Syeikh
Ali al-Fathani berserta keluarga dan rombongan menetap di Kampung Tanjung Mempawah.
Sedangkan Syeikh Abdul Jalil al-Fathani melanjutkan perjalanan ke Sambas untuk
menyebarkan Islam di sana. Sejak kedatangan kedua ulama tersebut, mulai berkembang
Barzanji, Nazham dan Burdah dan sejenisnya yang dibaca setiap malam Jumat. Kehadiran
kedua ulama Patani tersebut dianggap sebagai perintis bagi kedatangan orang-orang Patani di
daerah lain di semanjung seperti Kedah dan Kelantan serta Kalimantan Barat.
201
lingkungan istana oleh Sultan Mohamad Tsafioedin pada 1872. Saat itu
Kerajaan Sambas. Selanjutnya Risa (2016: 88) dengan berdasar pada laporan
Imam berdiri pada 1869 M. Kesimpulan tersebut kurang tepat karena tidak berarti
lembaga Maharaja Imam dibentuk pada saat laporan dibuat. Lebih tepat jika
dikatakan bahwa saat laporan pada 1869 dibuat lembaga Maharaja Imam sudah
ada dan mungkin telah dibentuk sebelum laporan itu dibuat. Hal didukung oleh
Imam”, “Imam Tua”, dan “Imam Muda”. Ketiga istilah ini adalah nama jabatan
atau jabatan Maharaja Imam, Imam Tua, dan Imam Muda ada pada masa
menyebutkan bahwa Sultan mengangkat dua orang imam (mufti) yang digelar
dengan Maharaja Imam dan Imam Maharaja dan empat orang khatib dengan
202
gelar: Maharaja Khatib, Khatib Maharaja, Sidana Khatib, dan Khatib Sidana.
Maharaja Imam berkedudukan sebagai kadi dan Imam Maharaja sebagai wakil
kadi, yang diberi tugas dan kewajiban untuk menjalankan hukum dan peraturan
agama Islam meliputi seluruh kerajaan. Selain itu Maharaja Imam juga bertindak
sebagai penasihat Sultan dalam urusan agama Islam dan dapat pula diangkat
hingga memiliki struktur sampai ke tingkat kampung pada masa Maharaja Imam
dijabat oleh Basioeni Imran. Salim, et al. (2011: 79), menyatakan Basioeni Imran
Salah seorang ulama terkemuka dan bereputasi global dari Kerajaan Sambas
khususnya di bidang tarekat, adalah Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar al-
di Kampung Dagang, Sambas pada 1803 M. Pada usia kira-kira 4-5 tahun Khatib
Sambas diasuh dan dididik agama oleh pamannya, di samping oleh ayahnya
203
sendiri. Pada sekitar 1820 M., Khatib Sambas berangkat menuntut ilmu ke kota
Mekah.
Masjidil Haram dan berguru dengan ulama-ulama Melayu yang sudah lama
bermukim di sana. Di antara guru-guru Khatib Sambas adalah Syaikh Dawud bin
Abd. Allah bin Idris al-Fatani79, Syaikh Abd al-Hafidz al-‘Ajami, Ahmad
Marzuqi80, dan Syaikh Shams al-Din (Mahrus, Jamani, & Hadi, 2003: 11; 13; 22-
23). Di bidang tasawuf, Khatib Sambas belajar dengan Syaikh Syams al-Din
sebagai satu-satunya guru. Tetapi Syams al-Din ini menurut Bruinessen (2012:
266-267) sedikit misterius karena tidak dijumpai namanya pada sumber lain
mengenai ulama di Mekah pada awal abad ke-19. Mungkin Syams al-Din bukan
memperoleh semangat dan dukungan baru dari masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh kedatangan para pengikut Khatib Sambas dan Sulaiman Effendi81 dari Mekah
seorang kyai yang terkenal dan dianggap oleh murid-muridnya sebagai seorang
79
Azyumardi Azra menyebut Syaikh Dawud bin Abd Allah bin Idris al-Fatani masuk dalam
jaringan ulama nusantara abad ke-18. Diperkirakan kemungkinan besar lahir pada 1153/1740
dan wafat di Tha’if 1265/1847. Dawud belajar langsung dengan Al-Sammani, Isa bin Ahmad
Al-Barrawi, Muhammad bin Ali Al-Syanwani, Muhammad As’ad, Ahmad al-Marzuqi, dan
Ibrahim al-Rais al-Zamzami al-Makki. Dawud al-Fatani menuis sedikitnya 57 karya yang
membahas hampir semua disiplin Islam. Penjelasan lebih lanjut tentang Dawud al-Fatani dapat
dibaca dalam Azyumardi Azra (2004: 323-335).
80
Kemungkinan yang dimaksud adalah Ahmad al-Marzuqi (al-Makki al-Maliki), seorang murid
dari al-Syanwani. Al-Marzuqi, juga guru dari Dawud al-Fatani, dikenal sebagai muhaddis yang
mengajar terutama di Mekah (Azra, 2004: 334).
81
Snouck Hurgronje (1931: 205-206) menyebutkan bahwa tarekat “Naqshibandi” mempunyai
sebuah markas besar yang terletak di kaki gunung Abu Qubes di pinggiran kota Mekah.
Markas ini didirikan oleh Sheikh Suleiman, yang menarik pengikut-pengikutnya kebanyakan
dari Turki dan wilayah-wilayah Hindia Belanda dan bekas jajahan Inggris di daerah Melayu.
204
orang yang berasal dari wilayah Hindia Belanda sebagai murid tarekat yang
dua tarekat menjadi tarekat yang berdiri sendiri yang dikenal dengan Tarekat
dua tarekat yang berbeda lalu diamalkan bersama-sama. Tarekat ini lebih
merupakan sebuah tarekat baru dan berdiri sendiri. Di dalamnya terdapat unsur-
unsur pilihan dari tarekat Qadiriyah dan juga Naqsabandiyah yang telah
dipadukan (Bruinessen, 2012: 264). Ajaran TQN terangkum dalam kitab singkat
berjudul Fath al-‘Arifin setebal sebelas halaman yang menguraikan tentang bai’at,
zikir, muraqabah, dan silsilah TQN.82 Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas
kemudian diturunkan oleh murid dan khalifahnya Muhammad Ismail bin Abd al-
Rahman al-Bali. Khatib Sambas wafat sekitar 1878 M. (1875 M. menurut Mahrus,
Jamani & Hadi, 2003), dan kedudukannya sebagai pimpinan tarekat digantikan
1931: 276). Kharisma Abdul Karim menyebabkan TQN berkembang sangat pesat
terutama di daerah Banten dan daerah lain mulai dari Sumatera Selatan sampai
82
Ulasan tentang isi kitab ini dapat dibaca dalam buku karya Erwin Mahrus, Rosadi Jamani, dan
Edy Kusnan Hadi (Shaykh Ahmad Khatib Sambas (1803-1875) Sufi & Ulama Besar Dikenal
Dunia. 2003. 37-58).
205
Lombok. Selain Abdul Karim, Ahmad Khatib Sambas juga memberi ijazah
kepada dua orang khalifah lainnya, yaitu Syaikh Tholhah di Cirebon dan Kyai
Guru Bangkol yang juga mengaku sebagai guru TQN dan memanfaatkan jaringan
umat Islam yang tak pernah padam mengenai Perang Sabil disuarakan tak henti-
dipimpin oleh Abdul Karim memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal
keagamaan dan bernada puritan yang kuat. Setelah Abdul Karim meninggalkan
merembesi praktik-praktik tarekat itu. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru
bahwa pada sekitar 1970 terdapat empat pusat TQN yang penting di Jawa, yaitu
Pontianak, ajaran Khatib Sambas disebarkan oleh muridnya Syaikh Mahmud bin
Muhammad yang diteruskan kepada Habib Ahmad bin Husin al-Qadri, diturunkan
yang menerima ajaran TQN dari Abah Anom Suryalaya. Muhammad Nur Fattah
juga berguru kepada Kyai H. Abdul Rani Mahmud al-Yamani yang merupakan
wakil talqin (khalifah) Abah Anom di Pontianak. Sejak Abdul Rani Mahmud
wafat tahun 1991, maka Muhammad Nur Fattah diangkat sebagai khalifah untuk
83
Penjelasan lebih lanjut tentang TQN di Ponpes Rejoso ini dapat dibaca dalam buku tulisan
Mahmud Sujuthi (Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, 2001).
84
Mahrus, Jamani & Hadi (2003: 70)menambahkan Pesantren Tebuireng Jombang dengan Kyai
Syamsuri Badawi sebagai pesantren pengembang TQN.
207
Seperti yang terlihat dari cara penyebarluasan TQN oleh dua orang murid Ahmad
sebagai pusat pengajaran TQN. Di Sambas, TQN disebarluaskan oleh dua orang
murid Ahmad Khatib Sambas, yaitu Syaikh Muhammad Saad (1807-1922) dan
rumahnya sendiri di Selakau hingga wafat pada 1922. Selanjutnya ajaran TQN
pusat pengembangan TQN dan mengajarkan ilmu-ilmu agama yang lain. Karena
keagamaan masyarakat pada periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di
bentuk tradisi keagamaan seperti tahlil, haul, dan ziarah kubur sangat dikenal
masyarakat dan terus terpelihara. Dalam buku catatan harian tahun 1926, Basioeni
208
Imran menulis bahwa dirinya sering menghadiri acara tahlilan dan haul yang
menulis: “Jumat ini saya membaca Nashaihul ‘Ibad di masjid dan saya membaca
khutbah Jumat karena khatib Zabir ada uzur. Jadi Imam Jumat Imam Maharaja
Abdurrahman. Asar hari ini menujuh85 hari Nazhah binti Dato’ Kaya Haji Su’ud
orang-orang hadir tahlil ramai.” Tidak hanya sering menghadiri acara yang
memperingati haul untuk kedua orang tuanya serta kakeknya sebagaimana tertulis
dalam agenda hariannya. Hari Jumat, 8 Januari 1926 Basioeni Imran menulis:
“Lepas Jumat saya memanggil sanak saudara buat tahlil haul Bunda Sa’mi
(Shaleh) dan daripadanya Imam Maharaja, khatib-khatib, dan Datuk Kaya Su’ud.
Membuat 12 saprah nasi.” Pada hari Jumat, 9 April 1926, Basioeni mencatat:
“Tahlil haul almarhum ayahnda Muhammad Imran membuat ada lebih kurang 25
saprah. Belanja lebih 100 rupiah. Imam-imam dan khatib dan lain-lain penuh
seramainya di surau.” Demikian juga pada hari Jumat, 7 Mei 1926 Basioeni Imran
yang dilakukan oleh Basioeni Imran. Tradisi sedekah kubur ini dilakukan di bulan
Tradisi lainnya adalah ziarah kubur yang menjadi tradisi kalangan istana
85
Acara selamatan atau pembacaan tahlil pada hari ketujuh setelah meninggalnya seseorang.
209
28 Februari 1926: “Ziarah kubur duli Sultan Muhammad Shafiyuddin, duli Sultan
tiada berangkat. Pangeran Bendahara hadir. Pangeran Laksamana hadir dan yang
diungkapkan oleh surat kabar Oetoesan Borneo (18 April 1928) dengan judul
Selain tradisi selamatan dan tahlilan, ada juga tradisi di tengah masyarakat
terkait dengan pernikahan. Tradisi yang sekarang disebut “uang angus” adalah
pemberian dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon
mempelai perempuan. Tradisi yang disebut oleh surat kabar Oetoesan Borneo
sebagai “ongkos kawin” telah ada sejak dahulu di Kerajaan Sambas. Surat kabar
Oetoesan Borneo edisi Nomor 28 Tahoen ke-1, 11 April 1928 menurunkan berita
Surat kabar Oetoesan Borneo melanjutkan beritanya bahwa salah satu dampak
dari tradisi ini adalah banyaknya pemuda yang mencari jalan pintas untuk
Kerajaan Sambas menyebutnya dengan istilah “soendal” atau “Konde Litjin” atau
”topi mering” yang berasal dari luar pulau Kalimantan (Borneo) (Oetoesan
istana. Effendi (1995: 20) menyebutkan pada 1872, Sulthan Mohamad Tsafioedin
waktu yang hampir bersamaan, dibangun pula sebuah sekolah Arab dengan nama
Madrasah al-Sulthaniyah yang teletak di sisi kiri istana. Muridnya terdiri dari
Berbeda dengan pendapat Effendi, Mahrus, Jamani, & Hadi (2003: 10)
pada 1868, dua tahun setelah Sultan Mohamad Tsafioedin II diangkat menjadi
Sultan. Belum ditemukan sumber yang dapat memperkuat dua pendapat tersebut,
di istana itu. Naskah Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad
Imran tamat mengaji Quran dan Sekolah Melayu di Sambas pada 1898.
dan ahli istana. Diduga kuat bahwa yang dimaksud dengan “Sekolah Melayu”
keluarga kerajaan dan keluarga imam dan khatib. Sebagai anak dari Maharaja
Imam Muhammad Imran dan sekaligus sebagai kerabat istana, maka Basioeni
1910 M. didirikan Sekolah Raja yang diasuh oleh Belanda. Sekolah Raja ini
sekolah ini didirikan Belanda sebagai sarana untuk mencengkram keluarga istana
secara halus. Menyadari hal ini, pada 1914, Basioeni Imran mendirikan sekolah
(Ismail, 1993: 25-26). Sekolah ini dalam perkembangannya diberi nama Madrasah
al-Sulthaniyah.
disebutkan oleh Muis Ismail, tetapi saudaranya Fauzi Imran atas restu dan
kemurahan hati Sultan Mohamad Tsafioedin II. Surat kabar Borneo Barat
Berita yang ditulis pada 1920 di atas menyebutkan yang mendirikan sekolah
agama adalah Sultan Sambas dan peran Ahmad Fauzi adalah sebagai guru. Waktu
pendiriannya juga tidak disebutkan. Data yang lebih jelas didapatkan dari surat
213
kabar Oetoesan Borneo dalam dua edisi terbitan yaitu edisi nomor 16 tahun ke-1
(25 Februari 1928) dan nomor 79 tahun ke-1 (13 Oktober 1928). Oetoesan Borneo
1928 telah berusia 9 tahun yang berarti didirikan pada tahun 1919 oleh Sultan
Muhammad Safiuddin. Informasi dari Oetoesan Borneo edisi Nomor 42, 2 Juni
1928 menyebutkan bahwa sekolah agama telah berdiri lebih 10 tahun, yang berarti
2 terdapat berita tentang peran Ahmad Fauzi Imran dalam madrasah al-
Dalam gewest ini hanja di Sambas moelai terdiri sekolah agama Islam jang
agak teratoer ialah atas andjoeran toean almarhoem A.F. Imran [Ahmad
Fauzi Imran] seorang jang menjintai kemadjoean dalam hal agama, beliau
seorang bekas student dari sekolah Islam tinggi di Cairo. Kemoedian kita
lihat sekolah jang seroepa itoe djoega di Mempawah, baroelah dalam
tahoen 1926 terdiri di Pontianak atas anjoeran toean Sech Joesoef…..di
sekolah moerid mendapat peladjaran bahasa Arab dan menoelis atau
membatja, sedangkan kepandaian ilmoe boemi, ilmoe alam, ilmoe
berhitoeng, d.l.l. diadjarkan djoega kepada moerid-moerid…..almarhoem
toean A.F. Imran dan kini diteroeskan oleh saudaranya toean Mohd.
Basioeni Imran cs. Sebagai sekolah agama Sambas jang paling menarik
hati kita ialah tentang goeroe jang mengadjar ada terdiri dari Indonesier
Sambas semoeanja, dan patoetlah orang sana berbesar hati akan
214
lembaga pendidikan sekolah agama atau sekolah Arab yang bernama Madrasah
al-Sulthaniyah didirikan pada 1916 (Rahmatullah, 2003: 34; Mahrus, 2007: 22;
Maksum, 1999: 98; Fahmi, 2008: 41). Berdasarkan manuskrip yang ditulis
mematangkan rencana pendirian madrasah yang dimotori oleh Basioeni Imran dan
Raden Temenggung. Pada saat itu Ahmad Fauzi Imran (adik kandung Basioeni
Imran) masih belajar di Mesir. Segala sesuatu telah dipersiapkan terutama dalam
hal pembiayaan yang diambil dari beras fitrah dan berbagai sumber lainnya.
Setelah Ahmad Fauzi Imran pulang dari Mesir, maka dibukalah madrasah tersebut
86
Manuskrip ini judulnya tidak ada, namun karena isinya berbicara tentang Madrasah al-
Sulhaniyah, peneliti memberinya judul tersebut.
215
sultan untuk membuka madrasah, gaji guru sepenuhnya juga ditanggung oleh
dibantu oleh Haji Ahmad bin Datuk Kaya Laila Mahkota. Sedangkan Basioeni
Borneo edisi nomor 84 tahun ke-1 yang terbit 31 Oktober 1928 menulis bahwa
Oktober 1928.
orang Kampung Manggis sendiri. Karena ramainya murid sekolah, terpaksa waktu
216
belajar dibagi dua, pagi dan sore. Pagi murid masuk pukul 07.30 sampai 11.30,
sore masuk pukul 13.00 sampai 15.00 sore. Malam hari para orang tua atau
dewasa juga ada yang belajar, seperti belajar burda, mengaji, membaca kitab,
menulis, dan lain-lain. Anak-anak dan para orang tua atau dewasa terlihat
(gedung) sekolah baru “pisinan” atau potongan kawat sampai mau jadi, letaknya
berdekatan dengan rumah sekolah yang lama sebelah barat dari gang kampung,
sekolah agama, sekolah lain juga senang sekolah seperti Sekolah Kelas II, Sekolah
sekolah.
1928 halaman 1 disebutkan bahwa selain sekolah agama yang bernama Madrasah
Sekolah HIS yang disebut oleh surat kabar di atas dapat diduga adalah apa yang
disebut oleh Muis Ismail sebagai Sekolah Raja yang dibangun di lingkungan
sebelumnya disebutkan bahwa HIS sebagai sekolah kelas 1 adalah sekolah yang
Madrasah al-Sulthaniyah.
218
Selain tiga sekolah di atas, berdasarkan berita yang ditulis dalam Oetoesan
Borneo nomor 39 taheon ke-1, 19 Mei 1928 terdapat satu sekolah swasta yang
Dengan berdirinya sekolah swasta (particulier) Bahasa Inggris yang dibina oleh
telah berdiri lembaga pendidikan yang cukup representatif sifatnya. Ada sekolah
bangsawan (HIS) maupun untuk kalangan masyarakat biasa (Kelas 2), sekolah
yang dibangun oleh dan untuk umat Islam (Madrasah al-Sulthaniyah), dan sekolah
Selanjutnya Borneo Barat nomor 46 tahun ke-6, 22 April 1941 menulis berita
sekolah pada Agustus 1941. Untuk maksud tersebut, CPSM telah mengumpulkan
219
BAB III
mempunyai tiga orang istri: Mas Nafsiah, Encik Sa’diah, dan seorang perempuan
asal Mekah yang tidak diketahui namanya. Pada masa pemerintahan Sultan
Nuruddin. Dari pernikahan Imam Nuruddin dengan Mas Nafsiah lahir anak
1995: 20).
Maharaja Imam Muhammad Arif mempunyai dua orang istri: Wan Aisyah
dan Encik Biru. Dari perkawinannya dengan Wan Aisyah lahir enam orang anak
yaitu: Raba’ah, Nawyah (istri Sultan Mohamad Tsafioedin II), H. Imran, Halimah,
Imran mempunyai dua orang istri: Salehah atau biasa dipanggil Sa’mi dan
220
221
Badriyah. Dari rahim Sa’mi lahirlah empat orang anak yaitu: Muhammad
Basioeni, Ahmad Fauzi, Hamdah, dan Aisyah. Hamdah dan Aisyah meninggal
saat masih kecil. Saat anak-anaknya masih kecil, Sa’mi meninggal dunia.
keduanya ini Maharaja Imam H. Imran memiliki anak yaitu: (1) Haji Maaz; (2)
Abdiyah; (3) Fathumah [Fathimah]; (4) Fachriyah; (5) Munzir; (6) Hifni [Gifni];
(7) Mahfuzhah; (8) Wajidiyah; dan (9) Haji Zuhdi (Ismail, 1993: 12-13).87
87
Badran dalam wawancaranya menyebutkan urutan yang berbeda dan hanya menyebut delapan
orang, yaitu: (1) H. Zuhdi; (2) H. Ma’adz; (3) H. Munzir; (4) Wajidiyah; (5) Mahfudzah; (6)
Gifni (berdasarkan prasasti makam, nama yang benar adalah Gifni, bukan Hifni seperti ditulis
oleh A. Muis Ismail); (7) Fahriyah; dan (8) Fathimah (Badran, wawancara, 8 September
2016).
88
G. F. Pijper pernah berkunjung ke Sambas pada tahun 1947 saat mengadakan perjalanan
keliling Kalimantan Barat. Setelah membaca tulisan Basioeni Imran tentang agama, Pijper tahu
bahwa ia murid Rasyid Ridha. Karena tertarik dengan sosok Basioeni Imran Pijper kemudian
memohon kepada Basioeni Imran agar menulis riwayat hidup dan pendidikannya di bidang
agama. Basioeni Imran kemudian menulis surat pada 2 Desember 1950 M (2 Safar 1370 H).
89
Tanggal kelahiran 25 Zulhijjah 1302 juga kemukakan oleh Harun Nawawi, sekretaris pribadi
Basioeni Imran (Ismail, 1993: 15; Badran, tt). Hal ini berbeda dengan yang ditulis oleh Effendy
(1995: 14) yang menulis tanggal lahirnya adalah 23 Zulhijjah 1300 H. (4 November 1883).
Sesuai dengan yang telah ditulis sendiri oleh Basioeni Imran serta didukung oleh Harun
Nawawi dan Badran maka dapat disimpulkan bahwa kelahiran Basioeni Imran tanggal 25
Zulhijjah 1302 H adalah lebih kuat dan dapat dipercaya. Dengan menggunakan program
Conversion of Hijri A.H. (Islamic) and A.D. Christian (Gregorian) yang tersedia pada website
www.muslimphilosophy.com ditemukan bahwa tanggal 12 Zulhijjah 1302 hasil konversinya
menunjukkan tanggal 5 Oktober 1885 M. Pada prasasti di makam Basioeni Imran tanggal
kelahirannya adalah 16 Oktober 1885, sesuai dengan yang disebutkan oleh G.F. Pijper.
222
Ibunya bernama Sa’mi, wafat pada saat Basioeni Imran dan ketiga adiknya
masih kecil, yaitu Ahmad Fauzi, Hamdah, dan Aisyah. Mereka kemudian diasuh
oleh ibu tirinya bernama Badriyah (Ardhi, 2001: 4). Badriyah adalah seorang yang
bijak dan mengerti tanggung jawabnya sebagai pengganti ibu kandung bagi
menganggap mereka sebagai anak kandungnya (Ismail, 1993: 18). Dari anak-anak
Maharaja Imam H. Imran tersebut, ada tiga orang yang menonjol dan akan
Pada 1906 Basioeni Imran pulang dari belajar di Mekah karena ayahnya
sakit. Dua tahun setelah pulang, pada 8 Rajab 1326 H (6 Agustus 1908) Basioeni
Imran menikah dengan Muznah, putri Imam Hamid dari Sambas. Muznah adalah
sepupu Basioeni Imran. Ibu Muznah (istri Imam Hamid) adalah adik kandung
lahir putrinya yang bernama Wahhajah (Pijper, 1985: 143). Dari istrinya Muznah,
Basioeni Imran memiliki anak: (1) Wahhajah; (2) Hasibah; (3) Sabihah; (4)
Hanunah; (5) No’mah; dan (6) Muhammad Rasyid. Anak yang bungsu diberi
nama Muhammad Rasyid karena obsesi Basioeni Imran agar anaknya menjadi
Muhammad Rasyid meninggal saat masih kecil karena fisiknya lemah dan sering
sakit-sakitan.
Basioeni Imran menyadari bahwa dia berasal dari leluhur dan keluarga
ulama. Oleh karena itu wajar jika dia berharap agar keulamaannya diteruskan oleh
Imran memutuskan menikah lagi dengan Mas Marhana binti Mas Zailani dari
sembilan orang anak: (1) Mu’anah; (2) Makinah; (3) Sahal; (4) Badran; (5)
Dauhah; (6) Taqiuddin; (7) Najimi; (8) Jamaluddin; dan (9) Mustafa (Salim, 1994:
Sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap istri dan anak-
dari kebun kelapa dan karet yang dimilikinya. Basioeni Imran memiliki kebun
kelapa dan karet serta tanah ladang/sawah di beberapa tempat seperti di Kampung
Imam, semua kebun yang dimiliki diserahkan kepada orang-orang yang dipercaya
untuk mengelolanya atau dikenal dengan istilah dipajakkan kepada orang lain,
tidak diolah sendiri. Basioeni Imran tidak menagih hasil kebunnya, tetapi orang
Jika tidak disetorkan ia diam saja dan tidak menagihnya. Berikut pernyataan
Kalau nafkah, beliau itu ndak ada gaji, tapi beliau itu kan penghulu, jadi
dapat dari biaya nikah, zakat, infaq, dan sebagainya. Itu juga untuk biaya
pendidikan kemajuan sekolah. Saat Sultan Tsafioedin II masih hidup
beliau yang membiayai sekolah. Tapi setelah beliau meninggal biaya
pendidikan itu dari zakat dan sebagainya.
Beliau itu punya kebun di Sarilaba, Nunuk, Kampung Dagang. Kebun
karet dan kelapa. Itulah untuk hidup beliau, menghidupi keluarga. Kalau
90
Menurut Abdul Muis Ismail (1993: 15), jumlah anak Basioeni Imran dari Mas Marhana ada
sepuluh orang, namun urutan dari anak ke-6 hingga ke-10 adalah sebagai berikut: Nazimi,
Taqiuddin, Riyat, Jamaluddin dan Mustafa.
224
Basioeni Imran tergolong keluarga yang sangat terpandang, kaya, serta alim. Dari
Basieoni Imran tidak mendapatkan fasilitas rumah dinas dan gaji sebagaimana
(istri kedua). Sebagai Maharaja Imam dan Kadi, Basioeni Imran memang
mendapatkan pemasukan dari biaya pernikahan, talak, dan rujuk. Pemasukan yang
lain adalah infak dan sedekah dari masyarakat muslim yang masuk ke dalam
Baitul Mal yang dikelolanya. Semua pemasukan tersebut tidak digunakan untuk
sebagai Maharaja Imam dan Kadi serta untuk membiayai operasional lembaga
Tsafioedin II tidak lagi mendapat bantuan dari pihak istana (sultan) dan oleh
kitab-kitab yang ditulisnya. Dalam catatan harian tahun 1926 Basioeni Imran
91
Menurut A. Muis Ismail (1993: 50) Basioeni Imran mempunyai gaji.
225
menulis kalimat: “Minta jualkan kepada Syaikh Abdul Wahab: 5 naskah al-
rupiah.” Dalam beberapa lembaran buku tulis juga ditemukan catatan penyaluran
badan lebih kurang 48-50 kg. dan tinggi badan 157-159 cm. Dalam pergaulan
sehari-hari ia sangat sederhana dan akrab bergaul dengan siapa saja, termasuk
dengan para penganut agama lain (Rahmatullah, 2003: 49). Basioeni Imran
pakaiannya senantiasa bersih dan tertata. Ia selalu berkopiah putih atau kopiah
haji dan hampir tidak pernah dilepas kecuali ketika berwudlu dan hendak tidur.
Saat keluar rumah, ia menggunakan kopiah Turki atau bersorban dan berbaju
panjang atau jubah dan menggunakan kain sarung (Ismail, 1993: 48).
Sumber: Koleksi Foto Badran bin H.M. Basioeni, Sambas, 9 Agustus 2016
226
Dalam hal makan, Basioeni Imran selalu disiplin makan tiga kali sehari.
Ketika makan, ia selalu menggunakan sendok (sudu’), garpu, dan pisau yang telah
disediakan di atas meja makan. Setelah makan nasi selalu makan buah-buahan.
Setiap pagi makan telur ayam kampung setengah matang, segelas susu, dan
beberapa sendok madu. Pada siang hari untuknya disiapkan teh manis-panas.
Salah satu jenis minuman favoritnya adalah laksamane mengamuk, yaitu buah
asam bacang atau kuini yang dicincang atau diiris halus kemudian dicampur
dengan air santan yang diberi gula merah (Ismail, 1993: 48). Basioeni Imran juga
sangat menyukai ikan kalli’ (ikan lele), bahkan jika diundang dalam sebuah acara
mengatakan bahwa ayahnya adalah sosok yang sederhana baik dalam penampilan
sederhana, pergi ke kantor jalan kaki atau pakai sepeda. Dari sini (Kampung
Durian) ke kantornya di Kampung Jawa. Di sini, rumah ini istri muda, kalau yang
di Kampung Dagang itu istri tua. Begitu juga saat menjadi anggota Konstituante,
beliau tidak itu, tidak ini. Beliau itu akrab dengan Ovang Oeray, 92 sama-sama
anggota konstituante.
92
Tokoh masyarakat Dayak, nonmuslim, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Provinsi
Kalimantan Barat yang pertama.
227
malam pada dua pertiga malam. Aktivitas sembahyangnya hampir tidak bisa
keilmuan. Membaca buku atau kitab tidak cukup sekali, tetapi berulang-ulang
setiap selesai sembahyang. Kegemaran membaca buku ini menjadi bahan bagi
Basioeni Imran untuk memberikan pengajaran kepada umat Islam Sambas dengan
berbagai ilmu agama Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, ushul fikih, sejarah, dan
sekaligus bekal bagi dirinya untuk menulis berbagai kitab-kitab agama Islam.
Kampung Dagang Timur yang saat ini dijadikan Museum Tamadun Islam Nagri
Basioeni Imran yang masih tersimpan di kedua tempat tersebut antara lain:93
1. Nail al-Authar (Karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy [w.
1255 H.]).
Imam Abu Ja’far Muhammmad bin Jarir al-Thabari (w. 110 H.).
93
Kitab-kitab ini hanya sebagian saja dari yang dimiliki oleh Basioeni Imran. Sebagian kitab-kitab
miliknya diambil dan disimpan oleh keluarga di rumah masing-masing. Jika dilihat kondisi
pengelolaan dan perawatan peninggalan Basioeni Imran di Museum Tamadun Islam Nagri
Sambas telihat jelas bahwa kitab-kitab tersebut tidak mendapatkan perawatan dan penjagaan
yang selayaknya. Beberapa koleksi kitab yang terdapat di lemari penyimpanan terlihat sudah
berkurang dari saat peneliti berkunjung pada Mei 2010 dengan kunjungan September 2016.
228
Rasyid Ridha.
7. Al-Insan al-‘Uyun fi Sirah al-Amin al-Ma’mun yang lebih dikenal dengan al-
Sirah al-Halbiyyah
10. Zaad al-Ma’ad fi Hadiy Khair al-Ibaad karya Al-Imam al-`Allamah Syams
al-Din Abi `Abdillah Muhammad Ibn Abi Bakr yang lebih terkenal dengan
11. Tafsir al-Baidhawiy judul aslinya Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya
`Abd Allah bin Umar bin Muhammad bi ‘Aliy al-Baidhawi al-Syafi`I al-
12. Al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Syaikh al-Imam al-`Allamah Saif al-
Din Abi al-Hasn `Ali bin Abi `Ali bin Muhammad al-Amadi.
Kegemaran atau hobby yang paling menonjol dari sosok Basioeni Imran
suka memelihara burung perkutut (dalam bahasa setempat: burung ketitir) untuk
didengar suara merdunya. Ayahnya juga kadang ikut pertandingan adu merdu
kicauan burung perkutut. Badran sendiri diberi tugas untuk merawat burung-
burung perkutut milik ayahnya. Dalam buku catatan Basioeni Imran berjudul
Bahas Perkara Berbilang Istri atau Berkahwin Lebih Dari Satu (1937) pada
lembar akhir halaman buku terdapat salinan surat Basioeni Imran yang ditujukan
kepada Raden Zaini Asyikin (Bupati Singkawang) yang ditulis di Sambas pada
Agustus 1950.
Bupati Singkawang agar dicarikan burung ketitir yang bagus dan memuaskan hati
di tanah Jawa. Dalam kunjungan ke Sambas, Bupati Singkawang yang juga suka
memelihara burung, pernah mengatakan bahwa burung ketitir dari Jawa lebih
bagus dan lebih merdu suaranya daripada yang ada di Sambas, Singkawang
bersedia membeli burung yang dibawa dari tanah Jawa. Burung miliknya
Imran juga memelihara angsa, ayam dan bebek di halaman belakang rumahnya.
pada waktu luang dengan menceritakan kisah tokoh-tokoh yang mengukir sejarah.
Mulai dari kisah Rasulullah, kisah para nabi dan rasul, para sahabat Rasulullah,
serta tokoh-tokoh muslim lainnya (seperti: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi,
Nasa’i, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad Natsir, Hamka,
dan Muhammad Rasyid Ridha). Basioeni Imran berharap agar sosok tokoh-tokoh
keulamaan mereka. Oleh karena itu, dua orang anaknya bahkan diberi nama kedua
tokoh pembaru, yaitu Rasyid (anak dari istri pertama) dan Jamaluddin (anak dari
istri kedua).
termasuk dengan pastor yang tinggal tidak jauh dari rumahnya di Kampung
Durian. Keduanya sering berbincang akrab tentang berbagai hal. Sebagai dua
orang tokoh agama yang berbeda (Islam dan Katolik) serta latar belakang yang
Oeray, tokoh masyarakat Dayak dan gubernur Kalimantan Barat yang pertama.
Sambas, sejumlah jabatan lainya pernah diemban oleh Basioeni Imran, antara
lain:94
94 Point 1 s.d. 8 berdasarkan naskah ketikan berjudul “Daftar sedjarah perdjalanan hidup dari
HADJI MOHAMAD BASIOENI IMRAN Maharadja Imam Sambas” yang dibubuhi tanda
tangan Basioeni Imran tertanggal 13 Juni 1950.
231
9) Diangkat sebagai Huku-Kaityo (Ketoea Moeda) dari “Dai Toa Kyokai” mulai
10) Diangkat sebagai penghulu muda pada Kantor Urusan Agama Kabupaten
2010: 14).
Pemilu 1955.96
12) Diangkat sebagai Penata Hukum Tk. I atau Ketua Pengadilan Agama
95
Berdasarkan Zirei No. 237/SK. Tanggal 2 Gogatu 2605.
96
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Penetapan Terpilih dalam Pemelihan Anggota Konstituante
Tahun 1954 dari Panitia Pemilihan Indonesia Nomor: 56/Sp/1283/Pn/6 tertanggal 16 Juli 1956
dan Petikan Surat Keputusan Panitia Pemeriksaan No. 305/1956/K
232
Agama, 4 Mei 1966. Jabatan ini diembannya hingga 1975 (Ardhi, 2001: 5;
Pada 1974, Basioeni Imran menderita penyakit darah tinggi selama dua
tahun dan sempat dirawat di Rumah Sakit Sungai Jawi Pontianak (saat ini berubah
menjadi Rumah Sakit St. Antonius). Pada hari Senin, 26 Juli 1976 Haji
Moehamad Basioeni Imran wafat di Pontianak dalam usia 93 tahun. Pada hari
berasal dari keluarga ulama terkemuka. Secara turun temurun, dari empat generasi
Dimulai dari Mustafa yang menjabat sebagai Imam pertama di Kerajaan Sambas.
digantikan oleh anaknya Haji Muhammad Arif dengan nama jabatan baru, yaitu
Maharaja Imam. Haji Muhammad Arif adalah kakek Basioeni Imran. Setelah Haji
Maharaja Imam digantikan oleh anaknya Haji Imran (bapak Basioeni Imran).
yang diperoleh atau diterima (askriptif) yang diwariskan menurut garis keturunan.
Sebagaiman disebutkan Kartodirdjo (1982: 227), karisma ada dua jenis: karisma
murni dan karisma rutin. Karisma murni adalah yang dimiliki seseorang sebagai
hasil usahanya sendiri. Karisma rutin adalah karisma seorang pemimpin yang
diwariskan menurut garis keturunan. Dalam pespektif yang lain, fakta bahwa
Basioeni Imran adalah kerabat dekat Sultan dan keturunan kelima ulama pejabat
bergelar Imam atau Maharaja Imam kerajaan Sambas, menurut teori Weber,
kepada Sultan dan kerabatnya, apalagi ia adalah seorang ulama adalah suatu
keharusan.97
berusia enam hingga tujuh tahun Basioeni Imran belajar Alquran dengan ayahnya
sendiri. Selanjutnya Basioeni Imran disekolahkan pada Sekolah Rakyat (SR), dan
sejak saat itu ia telah memahami ilmu nahwu dan sharaf (kaidah bahasa Arab).
Hal yang sama dikemukakan oleh Basioeni Imran dalam suratnya kepada Pijper:
“Pada waktu saya berumur 6 atau 7 tahun, ayah saya mengajar saya membaca
diajari dasar-dasar nahwu dan sharaf, yaitu dari kitab al-Jurumiyah dan Kaylani”
(Pijper, 1985: 142). Selain belajar pada ayahnya, Basioeni Imran juga belajar
agama pada Haji Muhammad Djabir.98 Di Sekolah Rakyat Basioeni Imran hanya
agama Islamnya ke Mekah (Imran, 1950). Selain untuk menuntut ilmu agama
Islam, di Mekah Basioeni Imran juga melaksanakan ibadah rukun Islam yang
kelima, yaitu ibadah haji. Di Mekah, selama lima tahun Basioeni Imran belajar
kepada beberapa orang guru yaitu Tuan Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman
Serawak, Syaikh Achmad Khatib Minangkabau, dan Syaikh Ali Maliki (Arab).
Dari Tuan Guru Umar Sumbawa dan Tuang Guru Usman Serawak,
Basioeni Imran belajar ilmu Nahwu, Sharaf dan Fikih. Sementara dari Syaikh
Ahmad Khatib Minangkabau Basioeni Imran belajar ilmu fikih. Selanjutnya ilmu
bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Ma'ani, Badi', Bayan), ilmu mantiq dan beberapa
ilmu pengetahuan lain seperti ushul fikih, tafsir serta ilmu tauhid, Basioeni Imran
belajar dari Syaikh Ali Maliki (seorang Arab) (Pijper, 1985: 142-143). Ketika
belajar di Mekah, Basioeni Imran sudah sangat tahu tentang siapa dan bagaimana
bagaimana para gurunya. Dari empat orang guru yang disebutkan di atas, hanya
Sumbawa yang disebutkan sangat singkat oleh Hurgronje sebagai orang yang
lebih muda dan tidak begitu ‘alim (jika dibanding dengan Zainuddin Sumbawa)
namun sangat baik dalam penguasaan bahasa Arab (Hurgronje, 1931: 286). Secara
khusus di bawah akan dijelaskan dengan singkat profil guru-guru Basioeni Imran.
236
orang tuanya. Sejak pulang dari Mekah, Basioeni Imran secara rutin berlangganan
majalah al-Manar.99 Selain itu Basioeni Imran juga mempelajari berbagai kitab
berbahasa Arab dari Mesir (Badran, tt: 8-9). Basioeni Imran sendiri menjelaskan
Setelah pulang dari Mekah (1906 M), Basioeni Imran diangkat oleh Sultan
Istana) Sambas dan memberikan pelajaran agama Islam di Istana Sultan Sambas
99 Pada bab terdahulu telah dijelaskan tentang peran majalah ini dalam transmisi ide-ide
pembaruan dari Mesir ke kawasan Hindia Belanda. Sebagai tambahan penjelasan, majalah ini
pertama kali terbit tahun 1898 dalam bentuk majalah mingguan, dan berikutnya menjadi
majalah bulanan hingga berhenti terbit tahun 1935. Azyumardi Azra menyatakan bahwa
majalah ini adalah karya pribadi Ridha dan memiliki pengaruh yang tidak dapat dipandang
remeh sebagai perangkat instrumental dalam penyebaran ide-ide kaum pembaharu atau
modernis di dunia Melayu-Indonesia. Meskipun Belanda berusaha mencegah al-Manar masuk
ke Nusantara, tetapi dalam kenyataannya al-Manar beredar dengan baik di kepulauan
Nusantara melalui cara: (1) penyelundupan, terutama melalui pelabuhan yang tidak diawasi
ketat seperti pelabuhan Tuban, Jawa Timur; (2) melalui para haji yang pulang dari Mekah ke
Indonesia; (3) melalui para mahasiswa yang baru pulang dari Cairo ataupun Madinah; dan (4)
melalui agen-agen yang ditunjuk secara resmi (Azra, 2002: 184-186). Penjelasan lebih lanjut
hubungan dan pengaruh majalah al-Manar dengan muslim di Asia Tenggara, khususnya di
Indonesia dapat dilihat dalam kajian yang dilakukan Mona Abaza (1998) dan Jutta E. Bluhm
(1983).
237
kepada putra-putri dan ahli istana. Selanjutnya pada 8 Rajab 1326 H (6 Agustus
1908) Basioeni Imran menikah dengan Muznah, putri Imam Hamid dari Sambas.
Wahhajah. Setelah lebih kurang empat tahun mengabdi di Masjid Jami’ dan Istana
Imran berangkat ke Mesir ditemani oleh adiknyanya H. Achmad Fauzi Imran dan
Pada suatu malam kami turun dari kapal, pergi ke sebuah hotel di Suez dan
baru keesokan harinya kami menuju Mesir, Kairo, dengan kereta api. Pada
malam hari menjelang isya kami sampai di sebuah stasiun. Rupanya kami
dijemput oleh Sayyid Salih Ridha, saudara Tuan Sayyid Muhammad
Rashid Rida, yaitu redaktur Al-Manar. Kami dijemput karena kami
mengirim kawat dari Suez, mengabarkan kedatangan kami. Sayyid Salih
segera membawa kami ke rumah Sayyid Rashid Rida dan kami
ditempatkan di suatu kamar yang besar. Kami diterima dengan tangan
terbuka. Tiga atau empat hari kemudian, kami menyewa di dekat masjid
Al-Azhar dan kami pindah dari rumah tuan Sayyid Rashid Ridha.
Saya ditanya oleh Tuan Rashid Rida, apa saja yang telah saya pelajari.
Setelah saya menerangkan apa yang telah saya pelajari, dia berkata:
“Tentang pengetahuan nahu sudah cukup, tidak usah membaca lebih
banyak lagi. Rupanya surat-surat yang mengandung pertanyaan-
pertanyaan yang pernah saya kirimkan kepadanya dan ditulis dalam bahasa
Arab, dianggapnya sudah memadai (Pijper, 1985: 143).
kemudian bersama dengan adiknya Ahmad Fauzi Imran kemudian belajar di al-
Irsyad” yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha (Imran, 1950; Salim, et al.,
juga belajar secara privat kepada seorang ulama terkemuka dari Al-Azhar, Sayyid
Ali Surur al-Zankaluni. Dari Muhammad Rasyid Ridha, Basioeni Imran banyak
Basioeni Imran di banding guru-gurunya yang lain. Hal ini dapat dilihat dari
Beberapa karya Rasyid Ridha juga diterjemahkan dan diberikan penjelasan oleh
Basioeni Imran. Bahkan hubungan dengan Rasyid Ridha terus berlanjut saat
Basioeni Imran kembali ke Sambas. Hubungan itu dijalin melalui surat-surat yang
dikirimkan oleh Basioeni Imran dari Sambas kepada Rasyid Ridha di Kairo.
Surat-surat itu dikirimkan kepada Rasyid Ridha sebagai shahib al-Manar yang
melalui fatwa atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan yang dimuat dalam
majalah al-Manar. Secara khusus pada bagian tersendiri di bawah akan dijelaskan
profil Rasyid Ridha sebagai guru yang paling berpengaruh terhadap Basioeni
Imran.
majalah al-Manar dan surat kabar al-Ittihad. Al-Ittihad adalah sebuah majalah
239
Setia Pelajar yang didirikan pada 1912 di bawah arahan ulama Syaikh Ismail
Abdul Muthalib dengan anggota inti sebanyak dua belas orang. Majalah al-Ittihad
yang terbit pertama kali pada 31 Oktober 1912, adalah majalah berbahasa Melayu
pertama yang pernah terbit di Timur Tengah. Editor al-Ittihad adalah Ahmad
Fauzi Imran dan Muhammad Fadlullah bin Muhammad Suhaimi dari Singapura.
Penulis majalah ini antara lain adalah Muhammad Basioeni Imran dan Abdul
Wahab Abdullah dari Tapanuli. Seperti yang dilaporkan oleh al-Munir pada 9
Januari 1913 (vol. 2, no. 21), al-Ittihad direncanakan untuk beredar di Mekah,
Melayu, dan Hindia Belanda, berharap bahwa hal itu akan memberikan manfaat
bagi semua masyarakat dari pihak kita di Jawa, Sumatera, maupun orang-orang
Maharaja Imam Haji Muhammad Imran, sang ayah meninggal dunia. Setelah
1913, Basioeni Imran diangkat menjadi Maharaja Imam, Kadi dan Mufti di
Maharaja Imam ini diemban Basioeni Imran hingga masa kemerdekaan Indonesia,
saat Kerajaan Sambas secara otomatis tidak lagi berfungsi secara politis-
administratif.
240
fikih maupun kitab lainnya terutama tafsir al-Manar dan majalah al-Manar.
beberapa kitab dan / atau risalah dalam bahasa Arab. Di samping itu, ia juga
redaksi majalah al-Manar (Pijper, 1985: 145). Di antara pertanyaan yang diajukan
adalah tentang kemunduran umat Islam dan majunya kaum lain sebagaimana telah
disebutkan pada bagian pendahuluan. Semua itu telah memberikan arti dan
Dari uraian di atas terungkap bahwa selain orang tuannya sendiri, ada
beberapa guru yang turut andil memberikan pendidikan dan pengajaran kepada
Basioeni Imran. Saat di Mekah tercatat empat nama guru yang disebutkan sendiri
oleh Basioeni Imran, yaitu Tuan Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman
Serawak, Syaikh Achmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Ali Maliki (Arab).
Namun dari keempat orang tersebut, hanya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
sebagaimana telah disebutkan di atas, Basioeni Imran menyebutkan ada dua orang
yang menjadi guru utamanya, yaitu Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid
Ali Surur al-Zankaluni. Dari dua orang gurunya di Mesir, hanya Rasyid Ridha
yang memiliki riwayat lengkap dan direkam secara luas. Sedangkan al-Zankaluni
241
tidak ditemukan informasi yang berarti terkait profilnya. Oleh karena itu, pada
bagian berikut hanya akan menguraikan riwayat singkat dua orang guru Basioeni
Imran, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha.
berdasarkan otobiografi yang ditulis Ahmad Khatib empat bulan sebelum wafat
adalah Ahmad Khatib bin al-Marhum Syeikh Abdul Lathif bin Abdullah bin
Kalan. Digelari “khatib” karena bapaknya adalah seorang khatib di daerah Koto
Gadang. Ibunya bernama Aminah berasal dari Koto Tuo. Ahmad Khatib lahir di
Koto Tuo pada Senin, 6 Zulhijjah tahun 1276 H (26 Mei 1860 M) sebagai anak
Shafiyyah. Ahmad Khatib juga memiliki saudara tiri enam belas orang karena
bapaknya hingga 1287 H, saat berusia sekitar sebelas tahun. Pada Rabiul Awal
bapak, kakek, dan pamannya Abdul Ghani (saudagar kopi dan orang kaya di
100
Naskah asli manuskrip otobiografi ini tersimpan di Perpustakaan Mekah. Selanjutnya foto copy
manuskrip ini salah satunya disimpan di Pondok Pesantren Syech Ahmad Chatib al-
Minangkabawi yang berada di Koto Tuo, Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat. Copy manuskrip otobiografi tersebut kemudian diterjemahkan dan
telah diterbitkan dengan judul: Dari Minangkabau untuk Dunia Islam “Otobiografi Syeikh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916 M) oleh Muhammad Husni, Zulhamdi Malin
Mudo, dan Afdhil Fadli.
242
melaksanakan ibadah haji, Ahmad Khatib dan bapaknya serta tiga orang
sepupunya tinggal di Mekah untuk menuntut ilmu. Ahmad Khatib belajar Alquran
di Maktab Syaikh Abdul Hadi (ulama asal Inggris). Selanjutnya Ahmad Khatib
belajar kitab Matan al-Jurumiah dan Sanusiah di Masjidil Haram kepada soerang
ulama terkemuka Said Umar Syatha. Ahmad Khatib juga menghadiri pengajian
dua orang saudara Said Umar, yaitu Said Ustman Syatha dan Ibnu Said
Ahmad Khatib pergi ke kampung ibunya dan belajar kitab Matan Minhaj dan
Tafsir Jalalain kepada seorang ulama bergelar Tuanku Mudo (Syaikh al-Fata).
Suatu ketika Syaikh Ustman Syatha (guru dari Ahmad Khatib) berkunjung
ke kampung halaman Ahmad Khatib dan mengajak sang murid kembali ke Mekah
Ummu Shalihah (anak Ummu Shalihah bernama Maryam dinikahi oleh bapak
Ahmad Khatib saat berada di Mekah pada 1292 H). Ahmad Khatib menuntut ilmu
siang dan malam kepada Syaikh Ustman Syatha hingga wafatnya pada 1295 H.
Selanjutnya Ahmad Khatib belajar kepada Said Umar dan saudaranya Maulana
putri dari Syaikh Muhammad Shalih bin Syaikh Faidhullah al-Kurdi. Syaikh
kepada Syaikh Bakri Syatha. Pada 20 Zulhijjah 1301 H, isteri Ahmad Khatib
wafat saat melahirkan anak ketiganya. Selanjutnya pada 4 Rabiul Awwal 1302 H,
Ahmad Khatib menikah lagi dengan Fatimah, kakak dari istri pertamanya
Khadijah. Selain belajar dengan tiga ulama bersaudara: Umar Syatha, Utsman
Syatha, dan Bakri Syatha, Ahmad Khatib juga belajar kepada Syaikh Ahmad
Masjidil Haram. Saat mulai mengajar di Masjidil Haram, gaji Ahmad Khatib
adalah 500 qirsy, gaji tertinggi untuk guru Masjidil Haram. Namun kemudian
diturunkan menjadi 300 qirsy karena kepangkatannya tidak dimulai dari bawah,
tapi langsung yang tertinggi. Jadilah Ahmad Khatib di antara imam-imam mazhab
Syafiiyah yang mengawasi para khatib dan dia sendiri berkhutbah di mimbar
Masjidil Haram. Teman-teman Ahmad Khatib antara lain: Syaikh Abi Mufti
fikih, fikih, hisab, tarekat, tafsir, ilmu bahasa Arab (Nahwu). Ada beberapa kitab
yang ditulis dalam dua versi yaitu berbahasa Arab dan bahasa Melayu. Sebagian
besar kitab yang ditulis adalah jawaban atas berbagai persoalan yang muncul di
& Lecomte, 1995: 446) disebutkan nama lengkap Rasyid Ridha adalah
al-Din b. Munla (atau Mulla) Ali Khalifa. Rasyid Ridha lahir 27 Jumadil Awal
Muhammad. Keluarga Rasyid Ridha sendiri diduga dari garis keturunan Husain
sekolahnya waktu itu adalah Syaikh Husain al-Jisr (1845-1909). Di madrasah ini
Di sekolah ini, ia belajar bahasa Arab, bahasa Turki, dan bahasa Perancis juga
Tripoli, Syaikh Husain al-Jisr adalah seorang ulama yang telah dipengaruhi ide-
ide modern. Saat itu di Syria telah banyak sekolah-sekolah misi Kristen yang
menarik banyak minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sana. Untuk
hubungan dengan al-Jisr tetap terjalin dan menjadi pembimbing baginya di masa
muda.
luas tentang pengetahuan modern di samping sebagai penulis dan penyair modern.
Al-Jisr lah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan
pikiran Rasyid Ridha. Dia pula yang memberikan kesempatan bagi Rasyid Ridha
untuk menjadi penulis di beberapa surat kabar. Selain al-Jisr, tokoh yang banyak
kepatuhan eksternal terhadap hukum dan ketaatan ruhaniah yang bersifat pribadi
dalam sufisme al-Ghazali. Untuk itu, Rasyid Ridha memilih bergabung dalam
saat anggota tarekat sedang melakukan tarian ritual ada prosesi di tengah tarian
246
mereka dan menunduk kepadanya. Rasyid Ridha bertanya apa yang sedang
dilakukan oleh para darwis tersebut? Salah seorang menjawab bahwa itu adalah
ibadah ritual tarekat Maulawi yang diciptakan oleh Jalal al-Din al-Rumi,
dan berteriak kepada semua yang hadir dan mengatakan bahwa itu adalah
perbuatan terlarang, yang tidak seorang pun punya hak untuk melihat atau berlalu
dengan diam, karena hal itu berarti menyetujuinya. Bagi mereka yang
menjadi senda gurau dan permainan.” Rasyid Ridha langsung meninggalkan acara
ritual tersebut dan sejak itu ia meninggalkan tarekat dan menjauhi tasawuf. Sejak
saat itu, Rasyid Ridha tertarik kepada ajaran Ibn Taimiyah dan praktik-praktik
1884-1885, tetapi hanya mendengar beberapa artikel yang dibaca oleh orang lain.
Pada saat yang sama, ia juga bertemu dengan Abduh ketika berkunjung ke Tripoli.
Baru pada 1892-1893 Rasyid Ridha menemukan satu set lengkap al-Urwah al-
Wusqa dan pengaruhnya sungguh luar biasa. Terkait hal ini, Rasyid Ridha
mengatakan:
Untuk beberapa saat, Rasyid Ridha berpikir untuk begabung dengan al-
Abduh. Pada 1894, Abduh kembali berkunjung ke Tripoli dan Rasyid Ridha
bertemu sekali lagi dengannya dan berbicara panjang dengannya. Dari saat itu
hingga akhir hayatnya, Rasyid Ridha menjadi pengikut setia Abduh: juru bicara
Pada 1897, Rasyid Ridha pergi menuju Kairo, Mesir. Sehari setelah sampai
Edisi perdana jurnal yang diberinya nama “al-Manar” 22 Syawal 1315/17 Maret
1898, sebuah majalah bulanan yang membahas falsafah agama dan urusan
masyarakat, yang terbit sekali tiap bulan menurut bulan Arab. Pada nomor
menghimpun berbagai hal menyangkut reformasi agama, sosial dan ekonomi (Al-
Manar, 1898).
Majalah ini menjadi media penting bagi Rasyid Ridha untuk mencurahkan
polemik yang tiada akhir baik yang mendukung maupun yang menyerang dirinya.
Berbagai macam berita dan pertanyaan bermunculan dari berbagai belahan dunia
melalui korenspondensi, tak terkecuali dari Jawah, termasuk dari Sambas Borneo
Barat. Di dalamnya juga dimasukkan tafsir Alquran berdasarkan kuliah dan tulisan
Abduh yang telah dikumpulkan oleh murid Abduh, tetapi tafsir yang kemudian
terkenal dengan nama Tafsir al-Manar ini tidak sampai selesai oleh Abduh.
Mesir pada 1912. Lembaga pendidikan tinggi ini tidak bertahan lama karena
berhenti beraktivitas sampai masa awal Perang Dunia I 1914 (Hourani, 2004: 363-
sekaligus latihan keagamaan. Para generasi muda muslim yang berusia antara 20 -
25 tahun yang memenuhi syarat diterima sebagai murid. Mereka berasal dari
berbagai belahan dunia muslim seperti Cina, Malaysia, Afrika Barat, Afrika
sebagai “da’i” atau “pendakwah”. Mereka harus siap dikirim ke mana saja
ditugaskan. Namun sayang, madrasah ini terpaksa berhenti saat pecahnya Perang
juga terlibat dalam kegiatan politik. Di dalam al-Manar, ia menulis dan memuat
juga menulis artikel yang menentang politik Inggris dan Perancis untuk membagi-
Arab dengan Inggris dan Perancis dalam upaya mereka menjatuhkan kerajaan
Usmani.
sejak revolusi Turki Muda hingga akhir hayatnya; yakni dalam Partai
Suriah 1920, sebagai anggota delegasi Suriah-Palestina di Jenewa pada 1921, dan
komite politik di Kairo selama Revolusi Suriah 1925-1926 (Hourani, 2004: 364;
250
Rasyid Ridha tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal
kapal di Suez.
Abduh, sementara murid-murid Abduh yang lain seperti Qasim Amin, Ali Abd al-
Raziq, Thaha Husayn, Khalid Muhammad Khalid, Amin al-Khuli dana lainnya
lebih merepresentasikan aspek liberal dari Abduh. Rasyid Ridha berpern penting
menguasai Hijaz. Dalam pandangan Nasution (2011: 63) dan Hourani (2004:
semua aspek peradaban? Penyebabnya menurut Rasyid Ridha adalah umat Islam
telah kehilangan kebenaran sejati agamanya, atau dengan kata lain tidak lagi
menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Kondisi ini diperparah lagi oleh
ditinggalkan dan banyak terkontaminasi oleh bid’ah atau hal-hal baru yang tidak
ada contohnya dari Rasulullah. Di antara bid’ah itu menurut Ridha adalah
pendapat bahwa dalam Islam ada ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya
251
dan di dunia diperoleh melalui hukum alam yang diciptakan Tuhan. Bid’ah
tidak pentingnya hidup duniawi, tentang tawakal, dan tentang pujaan dan
Agar bisa keluar dari ketertinggalannya, umat Islam harus kembali kepada
ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah. Islam murni atau sejati
adalah Islam yang diajarkan Nabi dan orang-orang terdahulu (salaf; generasi
yang sah), yang sifatnya sederhana sekali, sederhana dalam ibadah dan sederhana
dalam muamalahnya. Ibadah terlihat berat dan ruwet karena dalam hal-hal yang
wajib dalam ibadah telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi
Rasyid Ridha menginterpretasi Sunni sebagai doktrin Hanbali yang ketat, yang
Kendati ia berbeda dari Ibn Taimiyah dalam beberapa hal, dia mengambil ajaran-
ajarannya barangkali sama banyaknya dengan dari al-Ghazali dan melalui al-
Sa’ud. Dia menyambut gembira penaklukan Wahhabi terhadap Hijaz dan kota-
kota suci dan membela mereka dari tuduhan bid’ah. Sama seperti Abduh, Rasyid
Ridha tidak menyukai perkembangan terakhir dari pemikiran dan praktik mistik
dalam Islam Sunni. Ia menarik sebuah perbedaan antara mistisisme yang benar
dan yang palsu. Kaum sufi bagi Rasyid Ridha merupakan kelemahan bagi
mereka di dunia, dengan mempelajari hal-hal yang tak berguna, dan mereka
Meskipun titik berat Rasyid Ridha adalah pada sifat tidak berubah Islam,
itu tidak berarti bahwa pemikirannya bersifat kaku, karena seperti orang-orang
Hanbali, dia membedakan mana yang termasuk pada esensi Islam dan mana yang
bukan. Bahwa apa yang tertera di dalam Alquran dan hadis sahih adalah satu hal;
adalah hal lain. Pembedaan ini terkait satu sama lain: antara tindakan ibadah dan
manusia.
dalam Alquran dan hadis; hal ini tidak dapat diubah, dan tidak tidak ada tambahan
yang boleh dilakukan terhadapnya; sejauh yang berkenaan dengan hal ini, ijmak
keagamaan baku dan tidak melibatkan hubungan dengan manusia lain, biasanya
lebih baik bagi orang muslim untuk mengikuti contoh dari kaum muslim awal
sebagaimana tertuang di dalam hadis. Tetapi hal ini sebaiknya dilakukan secara
bebas sebagai suatu tindakan kesadaran yang bersifat spontan, dan tidak seorang
manusia yang kompleks tidak pernah dan tidak akan bisa diatur dengan cara
larangan, dan orang harus mematuhinya. Namun dalam persoalan ini harus segera
ditambahkan dua persyaratan lain. Pertama, ketika suatu perintah secara spesifik
bertolak belakang dengan perintah yang bersifat umum yang mengandung suatu
prinsip moral umum yang tidak boleh dilakukan pelanggaran terhadapnya (la
tadinya dilarang (al-dharurat tubih al-mahzhurat); maka prinsip itu harus menjadi
acuan bagi perintah khusus tersebut. Kedua, ada banyak permasalahan yang
tentangnya tidak ada teks sama sekali, atau maknanya tidak tuntas atau
yang memutuskan apa yang terbaik berdasarkan pada jiwa Islam. Dalam
dan hadis (Hourani, 2004: 372-373). Dengan demikian, maslahat bagi Rasyid
254
(qiyas).
Terkait dengan ijmak, bagi Rasyid Ridha ijmak tidak ada dan tidak
mungkin ada dalam hal moralitas sosial, termasuk ijmak dari generasi pertama.
dan yudikatif, mereka juga memiliki kekuatan legislatif bagi kepentingan publik
sehingga dimungkinkan adanya sebuah badan hukum positif (qanun) yang bersifat
subordinat terhadap syariat. Jika tidak ada pertentangan maka syariat yang shahih,
mengikat yang pada titik tertinggi berasal dari prinsip-prinsip umum Islam. Hal
ini karena kewajiban sebuah bangsa muslim menyediakan bagi dirinya sendiri
sebuah sistem hukum yang berkeadilan sesuai dengan situasi yang telah
otoritas: penguasa muslim yang adil dan taat dengan ulama sejati (mereka yang
memperkenalkan yang baru: yakni ijmak dari para ulama di setiap zaman, sebuah
prinsip yang lebih bersifat legislatif ketimbang yudikatif, yang bekerja semacam
pandangan tentang perbedaan antara mana yang esensial dan mana yang tidak.
Sedikit demi sedikit di masyarakat mulai merebak sebuah penyakit yang disebut
Dalam aspek hukum sikap ini muncul dalam bentuk kepatuhan membabi buta
terhadap salah satu dari keempat mazhab yang diakui. Sebagai contoh Rasyid
Eropa karena ia hanya sekali bepergian ke Eropa dan tidak memiliki kontak yang
modern dan berkeinginan agar Islam menerima peradaban baru tersebut, sejauh
Dengan mendasarkan pada kaidah ushul fikih “ماال يتم الواجب االبه فهو واجب ”
ilmu pengetahuan dan cara-cara dunia modern menjadi wajib hukumnya dalam
peradaban Eropa itu hanyalah mengambil apa yang dulu sebenarnya milik Islam,
karena peradaban Eropa bersumber dari khazanah Islam di Spanyol dan Tanah
Suci.
dilakukan secara lebih sistematis, karena tidak bertentangan dengan akal dan
prinsip-prinsip Islam. Talfiq menjadi keliru jika digunakan secara tidak kritis. Jika
talfiq yang digunakan secara rasional maka ia menjadi semacam ijtihad dan ia sah
persoalan yang ditanyakan oleh masyarakat muslim dari seluruh dunia di dalam
tradisional yang mengharuskan orang yang murtad dihukum mati. Rasyid Ridha
sehingga membahayakan umat dengan mereka yang murtad secara individual dan
hukuman mati; sedangkan yang kedua tidak dihukum mati. Dalam konteks ini
257
Rasyid Ridha mendasarkan pandangannya pada tidak adanya teks ayat Alquran
yang mengatakan semua orang murtad harus dibunuh. Sebaliknya ada sebuah ayat
pertama hanya sah jika ibadah umat yang dilakukan secara damai dilarang atau
Islam dibenarkan.
Rasyid Ridha memandang perlunya menciptakan suatu sistem hukum yang benar-
benar dapat dipatuhi manusia pada zaman modern ini, menjadi hukum dalam arti
sebenarnya dan bersifat Islami dalam arti sebenarnya pula. Sebuah sistem hukum
Karena padangannya ini, terlihat bahwa Rasyid Ridha masuk dalam mazhab
Alquran dan hadis tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-
hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zaman ia timbul (Nasution,
2011: 64).
258
menggunakan akal dan melarang manusia bersikap taklid misalnya dalam Q.S. al-
Tercelanya sikap taklid menurut Rasyid Ridha didasarkan pada alasan: (1)
memiliki kemampuan memilih yang baik dan yang buruk. Sedangkan sikap taklid
terhadap nenek moyang cenderung untuk menerima apa adanya sekalipun itu
101
Rasyid Ridha menunjukkan tercelanya taklid dengan mengacu pada Q.S. al-A’raf/7:28 dan Q.S.
al-Zukhruf/43: 20-13):
maka posisi akal sebagai sarana berijtihad memiliki posisi yang penting.
Sekalipun tidak setinggi Abduh memosisikan akal, menurut Rasyid Ridha akal
atau muamalah. Akal dapat digunakan terhadap ayat atau hadis yang tidak
mengandung arti tegas dan terhadap persoalan yang tidak disebutkan dalam
Artinya: (20) Dan mereka berkata: "Jikalau Allah yang Maha Pemurah menghendaki tentulah
Kami tidak menyembah mereka (malaikat)". mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun
tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. (21) Atau Adakah Kami
memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Quran, lalu mereka berpegang dengan
kitab itu ? (22) Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami
menganut suatu agama, dan Sesungguhnya Kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan (mengikuti) jejak mereka". (23) Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut
suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka" (Q.S. al-
Zukhruf/43: 20-23).
260
Alquran dan hadis. Sedangkan terhadap ayat Alquran dan hadis yang tegas, ijtihad
Tuhan, termasuk dalam hal mengetahui baik dan buruk maka posisi wahyulah
yang lebih tinggi. Oleh karena itu dalam hal teologi, kedudukan akal bagi Rasyid
Ridha sangat lemah. Dalam teologi cukuplah manusia mengikuti petunjuk dari
perlunya menghidupkan kembali kesatuan umat Islam. Salah satu sebab lain
umat Islam sendiri. Kesatuan yang dimaksud bukanlah kesatuan yang didasarkan
atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan
yang sama. Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme yang
dipelopori oleh Mustafa Kemal di Mesir dan gerakan nasionalisme Turki yang
Persaudaraan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bahasa, tanah air, dan
perbedaan bangsa.
keyakinan, satu sistem moral dan satu sistem pendidikan dan tunduk pada satu
kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, kesatuan umat perlu mengambil bentuk
negara, dan bentuk yang dianjurkan Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan.
261
Kepala negara ialah khalifah yang mempunyai kekuasaan legislatif dan karenanya
harus mempunyai sifat atau kualifikasi mujtahid. Namun khalifah tidak boleh
bersifat absolut. Oleh karena itu, khalifah ulama harus menjadi pembantu utama
Khalifah harus menjadi pelaksana tertinggi ijtihad, mujtahid besar. Hanya dengan
masih eksis dan sultan diklaim sebagai khalifah. Dalam konteks ini, Rasyid Ridha
berpandangan bahwa imperium dibutuhkan bagi orang Arab dan Muslim, karena
dengan imperium inilah mereka bisa memeroleh kekuatan yang dibutuhkan untuk
masih terikat dengan pandangan Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah, terutama dalam
memahami sifat Tuhan, Rasyid Ridha sangat terikat dengan nash dan tidak
262
seperti yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsir maupun takwil.102
Corak pandangannya yang bersifat tradisonal dan literal ini sangat berbeda
dengan pandangan gurunya Muhammad Abduh, yang dikenal rasional dan liberal.
Perbedaan antara keduanya juga terlihat dalam tafsir al-Manar, misalnya ketika
filosofis, tafsiran yang mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima
balasan dalam bentuk jasmani, bukan dalam bentuk rohani. Terkait perbedaan
Nasution menjelaskan:
102
Dalam doktrin teologi Al-Asy`ari pemahan tersebut dikenal dengan konsep bila kaifa
263
peradaban Barat daripada Rasyid Ridha. Sang guru pernah tinggal di Paris
Rasyid Ridha berpendapat perbuatan manusia sudah dipolakan oleh suatu hukum
yang telah ditetapkan Tuhan yang disebut sunnatullah, yang tidak mengalami
Artinya: Sebagai suatu sunnatullah yang telah Berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada
akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu (Q.S. Al-Fath/48: 23).
264
mereka beriman atau sebaliknya yaitu mereka kafir dengan segala akibat dari
memiliki kehendak dan daya, itupun merupakan pemberian Allah SWT. Dengan
demikian, apapun yang terjadi pada manusia tidak di luar dari ketentuan-Nya.
kekafiran. Manusia memiliki kebebasan berbuat, dalam arti bahwa manusia dapat
memilih untuk percaya kepada Tuhan atau sebaliknya. Manusia juga memiliki
kemampuan memilih perbuatan baik atau buruk untuk dirinya. Dengan demikian,
dalam hal perbuatan manusia Rasyid Ridha cenderung kepada paham Kadariah,
Di atas telah dijelaskan bahwa Rasyid Ridha melihat keadaan umat Islam
saat itu berada dalam kemuduran, kelemahan, dan kehinaan. Penyebabnya adalah
umat Islam melalaikan Alquran dan Sunnah Nabi. Untuk mengatasi kondisi umat
tersebut, pendidikan bagi umat Islam harus diarahkan agar mereka memiliki
yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah. Jihad tidak terbatas dalam bidang
kebodohan.
Untuk itulah, Rasyid Ridha mengharapkan agar para pemuda dididik untuk
Islam. Ketangguhan seseorang yang telah terdidik dengan baik terlihat dari
ketekunan, keberanian, keimanan dan akhlak serta pola pikir yang mantap. Dalam
kuat kepada setiap pelajar karena tanpa dasar tersebut generasi muda akan
terjerumus dalam kerendahan moral dan akan hilang kemuliaan dalam diri
hakikatnya dan bukan pula memahami tanpa pengamalan. Lebih lanjut diharapkan
menghendaki agar kaum perempuan juga mendapatkan hak yang sama dengan
hak laki-laki dan perempuan dalam memeroleh pendidikan, Rasyid Ridha tidak
penjenjangan atau tingkat pendidikan. Hal ini bertolak dari anggapannya bahwa
dengan perbedaan waktu dan tempat sebagaimana berbedanya metode atau cara
membutuhkan suatu jenis metode pengajaran yang tidak sama dengan metode
yang terdapat pada zaman lainnya, karena pada dasarnya telah berbeda metode
tersebut tidak lama. Hal ini dilakukannya karena tidak mau bekerja pada
lagi menjalankan misi Islam dan memerintah secara absolut. Lembaga pendidikan
formal milik pemerintah menurutnya juga telah mengikuti model Barat yang
kurang memperhatikan ilmu agama. Ia juga tidak mau bergabung dengan lembaga
pendidikan formal Islam yang ada, karena dianggap masih bersifat tradisional dan
267
Oleh karena itu, Rasyid Ridha menyatakan: “Sesungguhnya saya telah sibuk
pemilihan guru-guru, tenaga staf dan lain-lainnya” (Ridha, 1911-b: 332). Rasyid
memiliki visi keilmuan dan rela berjuang untuk kemajuan umat Islam (Ridha,
1911-a: 573).
sejumlah guru. Berbekal ilmu-ilmu dasar seperti baca tulis Arab, bahasa Arab dan
ilmu-ilmu agama. Di Mekah, Basioeni Imran belajar dari seorang guru bermazhab
Proses belajar kepada Rasyid Ridha tetap dijalani Basioeni Imran meskipun sudah
1913. Mengikuti konsep Kartodirdjo (1982: 227) tentang sumber otoritas karisma,
sebagai karisma murni. Karisma yang dimiliki atas usahanya sendiri, yaitu dengan
berkelana mencari ilmu ke Mekah dan Kairo. Dengan demikian, Basioeni Imran
memilki dua sumber otoritas karisma sekaligus, yaitu karisma murni (karena
terkemuka).
wafatnya memegang beberapa jabatan penting baik pada masa Kerajaan Sambas
(Masjid Keraton), serta di rumahnya sendiri. Dengan kegiatan seperti itu, maka
269
secara total menyerap berbagai ilmu dari dirinya. Kondisi ini berdampak pada
tidak adanya istilah “murid” yang dapat mewarisi ilmu dan keulamaan yang
semua mengatakan bahwa Basioeni Imran tidak memiliki murid khusus yang
keluarganya pun tidak ada yang dianggap bisa mewarisi ilmu agama atau sosok
keulamaannya. Badran, sebagai salah seorang anak Basioeni Imran yang masih
hidup mengakui bahwa tidak satu pun saudara-saudaranya yang mengikuti jejak
270
tersebut bisa dilihat dari pemberian nama anak-anak laki-lakinya dengan nama
Kerajaan Sambas sangat terlihat semarak. Kondisi ini sangat ditunjang oleh
pembentukan struktur pejabat keagamaan yang disusun secara hirarkis mulai dari
tingkat tertinggi Maharaja Imam hingga lebai di setiap kampung, serta bilal dan
Semasa hidupnya Basioeni Imran banyak menulis, baik yang telah dicetak
maupun yang masih hasil ketikan atau tulisan tangan di buku tulis atau lembaran-
lembaran. Namun sebagian dari karya tulis tersebut sudah tidak ditemukan lagi
dan hanya diketahui informasinya dari berbagai sumber. Berikut adalah beberapa
karya Basioeni Imran yang masih ada dan menjadi sumber-sumber penelitian ini:
Kitab ini ditulis oleh Basioeni Imran pada Rajab 1334 H. / 1916 M. yang
selesai selama dua hari, kemudian selesai diperbaiki atau direvisi pada hari
Maka supaya jadi ringkas dan pendek inilah saya tulis ceritera ini sahaja
mengambil riwayat yang shahih supaya senang dan tetap hati orang
yang membacanya berpegang dengan dia dan saya tiada salin lagi
lafadz-lafadz Arabnya melainkan ayat Quran atau hadis Rasulullah
SAW. Supaya mudah memahamnya bagi orang yang tiada tahu bahasa
Arab dan ilmunya (Imran, 1938-c, hal. 2).
bab atau pasal), harus diakui bahwa di dalam kitab ini terdapat beberapa
Imran di dalam kitab ini adalah: Pertama, pendapatnya bahwa isra dan mikraj
dijalani oleh Rasulullah dengan jasad dan ruh serta dalam keadaan jaga bukan
tingkatan langit adalah ruh para nabi yang diserupakan dengan jasadnya.
keberanian Basioeni Imran dalam menyatakan bahwa dalam ilmu dan iradat
Kitab ini selesai ditulis pada Rabu 13 Jumadil Akhir 1336 H (27 Maret 1918),
pada tahun yang sama. Kitab berbahasa Melayu ini mungkin merupakan
karya pertama Basioeni Imran yang dicetak. Kitab setebal 59 halaman ini
272
memuat enam bab yang ditambah dengan daftar ralat, pengantar penulis,
menjelaskan bahwa kitab ini merupakan nukilah atau salinan dari beberapa
kitab, yaitu kitab al-Jawahir al- Kalamiyya karya al-‘Allamah Syaikh Tahir
al-Jazairi, kitab Kalimat al- Tawhid karya al-‘Allamah Syaikh Husein Waaly
al-Mishry, dan sedikit dari kitab Kifayat al-‘Awam karya Syaikh Muhammad
al-Fudhali. Kitab ini ditulis tidak mengikuti aturan dan susunan asli kitab-
Melayu serta tidak keluar dari maksud asalnya (Imran, 1918-a: 1).
besarnya adalah hukumnya wajib peorangan (fardhu ‘ain) bagi setiap ‘aqil
wajib bagi orang banyak (fardhu kifayah) (Imran, 1918-a: 1-2). Kitab ini
terdiri dari enam bab sesuai dengan jumlah rukun iman di mana setiap bab
membahas satu rukun iman. Khusus bab iman kepada para nabi dan rasul
3) ( جهيا سوله فد مندريكن جمعة كورغ درفد امفت فولهCahaya Suluh Pada Mendirikan
Kitab Cahaya Suluh, Pada Mendirikan Jumat Kurang Daripada Empat Puluh
adalah risalah pendek, yaitu hanya 17 halaman. Kitab tersebut selesai ditulis
pada waktu Maghrib malam Jumat 2 Safar 1339 H (14 Oktober 1920 M).
273
ini juga ditulis dalam edisi bahasa Arab dengan judul al-Nusus wa al-Baharin
Tujuan penulisan risalah Cahaya Suluh juga dapat dilihat dari penjelasannya
yang kurang dari empat puluh orang yang simpang siur dan berkembang di
274
4) تذكير سبيل النجاه في تارك الصالة (Tazkir, Sabil al-Najah fi tarik al-Shalat /
Sembahyang).
Kitab ini selesai ditulis di Sambas pada Rabu, 9 Rabiul Awwal 1349 H (3
Singapura, pada 23 Sya’ban 1349 H (12 Januari 1931 M) (Imran, 1931: 29;
mengingatkan, atau peringatan) di awal judul kitab ini merupakan tema pokok
keseluruhan isi kitab. Sasaran kitab ini adalah kepada tiga kelompok orang
sembahyang.
Pada bagian awal kitab, Basioeni Imran menjelaskan landasan ayat Alquran
atau tidak mendirikan sembahyang. Dalam hal ini, ada tiga pendapat ulama,
yaitu (1) menjadi kafir-murtad; (2) tidak menjadi kafir tapi berdosa besar; dan
(3) kafir sebagaimana orang yang mengerjakan dosa besar lainnya seperti
Bagian berikutnya dari kitab Tazkir adalah penjelasan tata cara sembahyang
jawab yang diambil dari majalah al-Manar yang menyangkut masalah hukum
ulang oleh Basioeni Imran sebagai pelengkap kitabnya. Tiga halaman terakhir
niat sembahyang.
Beberapa kitab yang dijadikan rujukan resmi Basioeni Imran dalam menulis
karya ini adalah: Kitab al-Zawajir karangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitam,
kitab al-Azhar karangan Imam Nawawi, majalah al-Manar edisi 31, dan kitab
Muhazzab.
5) ( حسن الجواب عن اثبات االهلة بالحسابHusn al-Jawab ‘an Isbat al-Ahillah bi al-
276
Kitab ini peneliti temukan masih tersimpan di Museum Tamadun Islam Nagri
Sambas pada 9 Agustus 2016. Pada akhir kitabnya, yaitu pada halaman 28,
Maka pada pagi hari Arba’a ini berbetulan 21 Zulqaiddah tahun 1355
bersamaan 3 Februari 1937 selesai menulis ini risalah dengan sempurna
ialah memperbaiki dan membetulkan risalah yang telah saya tulis pada
6 hari bulan Ramadan tahun 1352 bersamaan 23 Desember 1933 ketika
saya baru sembuh daripada sakit keras (Imran, 1938-a: 28).
Dengan demikian, kitab ini sebenarnya telah selesai ditulis pada 6 Ramadan
Basioeni Imran menulis kitab Husn al-Jawab ini karena prihatin atas kondisi
umat Islam yang berselisih paham dan bertengkar bahkan mengarah pada
Ramadhan (awal puasa) dan awal bulan Syawal (Idul Fitri). Ada yang
menggunakan metode rukyat (melihat hilal atau bulan muda dengan mata
kepala) dan ada pula yang menggunakan metode hisab (perhitungan dengan
Maka pertengkaran dan perselisihan itu hendaknya tidak bagus bagi kita
orang muslimin yang tahu agama. Maka bagaimana kiranya orang
agama lain nya memandang hal kita pada yang demikian? Akan tetapi
memang tabiat manusia suka bersalah-salahan dan berlain-lainan karena
bersalah-salahan akal dan dan paham masing-masing. Sungguhpun
demikian, maka agama kita (Islam) menyuruhkan kita muwafakat dan
277
hilal, qamar, dan syahr (halaman 3-4). Pemahaman awal tentang makna
tiga puluh hari jika bulan tidak terlihat karena terhalang remang (awan atau
metode melihat bulan. Hadis ini selanjutnya juga menjadi pangkal persoalan
ibadah dengan rukyat” (halaman 12-14). Bagian terakhir kitab adalah “bahas
beramal memakai hisab pada segala waktu ibadah” (halaman 14-28) menjadi
Dalam catatanya di sebuah buku tulis, ditemukan bahwa kitab Husn al-Jawab
dihadiahkan sendiri oleh Basioeni Imran kepada sejumlah orang antara lain:
(18) Haji Semberang, 1 buat hadiah kepadanya dan 5 buah buat jual;
6) االبانة واالنصاف في المسائل الدينية وازالة التفرق فيها واالختالف (Al-Ibanatoe wal
104
Judul dalam huruf Latin dan terjemahnya mengikuti atau sesuai dengan yang ditulis oleh
279
bekas rumah Basioeni Imran di Kampung Dagang Timur. Naskah tulisan Haji
Moehamad Basioeni Imran ini tidak bersampul, dan karenanya kita tidak
(nomor halaman ditulis di tengah atas halaman) yang dimulai dengan tulisan
basmalah (beraksara Arab dan diikuti yang beraksara Latin) yang merupakan
“kata pengantar” naskah. Judul naskah baru disebutkan dalam rangkaian kata
pengantar pada halaman 5. Judul naskah yang tertulis dalam aksara Latin
terbaca karena kertas dimakan rayap)…qi fiha wal ichtilaaf) Setelah judul
ditulis judul naskah dengan menggunakan bahasa dan aksara Arab. Naskah
ayat Alquran dan Hadis Nabi ditulis dengan bahasa dan aksara Arab. Naskah
diketik pada kertas biasa tanpa cap kertas atau water mark berukuran 22,2 cm
halaman.
Secara umum naskah dalam kondisi baik, kecuali sisi bawah naskah sudah
Tamadun Islam Nagri Sambas di Kota Sambas. Bagian awal naskah adalah
bagi menjadi dua puluh sembilan pasal (halaman 23-122) tanpa pasal atau
Basioeni Imran yang diikuti dengan tanda tangan serta keterangan “Sambas,
Tujuan ditulisnya naskah ini adalah untuk menjelaskan kepada umat Islam
menggali hukum-hukum dari kitab suci Alquran dan Sunnah Rasul. Hal ini
penting disampaikan dan diketahui oleh umat Islam agar terhindar dari sikap
taklid a’ma dan kembali mencari petunjuk langsung kepada Alquran dan
ijtihad untuk mencari petunjuk dari Alquran dan Sunnah tidak bisa lagi
mencari petunjuk dari Alquran dan Sunnah tidak harus dengan ijtihad,
sebagaimana dijalani oleh umat di masa lalu. Untuk menjelaskan hal inilah
al-Ibanah).
281
Ditinjau dari isinya, naskah ini dapat dikatakan sebagai Tarikh Tasyri’ atau
sejarah pembentukan hukum Islam karena naskah atau risalah ini: “...pada
menerangkan hal ‘ilmoe agama atau ‘ilmoe fikih dan jang berfatwa padanja
dari masa Rasoeloellah s.a.w. hingga masa taklid jang semata-mata ialah
oentoek pengadjaran bagi jang tidak tahoe dan ingatan bagi jang lalai...”
(Imran, 1933-a: 5). Secara keseluruhan risalah al-Ibanah terdiri dari 29 fatsal
atau bab (ada yang memiliki judul bab namun ada juga yang tidak memiliki
judul bab).
Bagian isi Al-Ibanah dimulai dengan perkembangan hukum Islam pada masa
Rasulullah dan cara para sahabat menerima ilmu dari Rasulullah. Selanjutnya
dilanjutkan penjelasan para tokoh kalangan tabi’in, tabi’ tabi’in, para imam
mazhab dan tata cara mereka berijtihad dan berfatwa hingga sampai pada
7) ( ارشاد الغلمان الى اداب تالوة القرانIrsyad al-Gilman ila Adab Tilawat al-Qur’an /
Kitab ini selesai ditulis Basioeni Imran pada 5 Syawal 1352 (21 Januari
Alquran harus dibaca dengan betul dan ikhlas. Lebih baik lagi jika di samping
bagi manusia:
Sistematika pembahasan kitab ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama
membahas adab membaca Alquran antara lain meliputi: suci daripada najis
dan hadats (yakni tahir) dan suci batin dari sifat riya’ (keangkuhan) ‘ujub
(rasa angkuh) dan sum’ah namun sebaliknya harus ikhlas, khusyu’ (penuh
konsentrasi), tawaddu’ (rendah hati) dan khasyyah (takut kepada Allah ta’ala).
Dalam bagian adab membaca Alquran ini, Basioeni Imran membahas cukup
makna dan tata cara sujud tilawah serta tempat-tempat di dalam Alquran
283
(ayat-ayat) untuk sujud tilawah. Kitab Irsyad al-Ghilman ini ditutup oleh
Basioeni Imran dengan teks doa khatam Alquran yang dikutip dari kitab اعانة
dimulai dengan pembahasan mengenai ziarah dan melihat orang sakit hingga
Saya buat untuk kaum muslimin umumnya dan untuk lebai-lebai yang
jadi pengurus hal itu di kampung-kampung di dalam Kerajaan Sambas
khususnya, ialah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama Islam di
dalam kitab-kitab fikih dan hadis yang saya kutip daripada ia (Imran,
1943: 1).
dalam menulis kitab al-Janaiz ini antara lain: (1) Kitab al-Umm karya
Muhammad bin Idris al-Syafi’i (Imam Syafi’i); (2) Kitab al-Muhazzab karya
Imam Abi Ishaq al-Syairaziy; (3) Syarah al-Minhaj (al-Mahalliy); (4) Kitab
al-Mughni karya Imam Ibn Qudhamah (mazhab Hanbali); (5) Kitab Nail al-
Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar karya Imam Muhammad bin Ali al-
Kitab Janaiz ini cukup penting tidak hanya untuk masa ditulis pada tahun
1940-an, tetapi juga hingga saat ini. Separuh awal kitab ini mengulas hukum-
hukum fikih dan tata cara mengurus orang yang meninggal (mayat). Separuh
akhir kitab ini membahas beberapa persoalan yang menjadi perdebatan dan
pahala kepada orang mati, ta’ziyah, berkumpul di rumah duka dan memberi
Kitab ini adalah terjemahan dari kitab sejarah singkat Rasulullah SAW
dapatkan adalah kitab cetakan pertama setebal 101 halaman dicetak oleh
halaman 89 dan selesai ditulis setelah sembahyang Isya pada malam Ahad, 29
285
101 adalah terjemahan ringkas dari pendahuluan dari kitab Zikr al-Maulid al-
Nabawiy yang juga karya Muhammad Rasyid Ridha. Tambahan ini berisi
malam atau siang hari tanggal 12 Rabiul Awwal atau pada lain waktu. Naskah
salinan hasil terjemahan Basioeni Imran yang diberikan kepada percetakan al-
Ahmadiyah, Singapura.
Maka adalah di dalam beberapa tahun lalu saya menulis surat ke hadrat
al-‘allamah al-muslih al-sayyid Muhammad Rasyid Ridha Sahib al-
Mannar di Mesir mohon akan ditunjukkan kepada saya satu kitab atau
risalah yang patut dan bagus untuk menunjuki orang-orang muslimin
kepada jalan kebenaran dan kebagusan agama Islam untuk memanggil
akan orang-orang asing kepada agama yang mulia itu, dan saya berjanji
dengan dia apabila ada itu kitab atau risalah maka saya terjemahkan
risalahnya (Zikr al-Maulid al-Nabawi) ringkasan perjalanan dan ceritera
Nabi kita Muhammad SAW, maka saya pun terjemahkan mukhtasar-
nya di dalam bulan Ramadan tahun 1374 [sekitar 1928] karena hendak
mengambil pendeknya. Kemudian maka saya beritahu tuan Sayyid itu
dengan yang demikian, maka katanya jikalau diterjemahkan zikr al-
maulid itu maka terlebih baik.
Kemudian datang surat beliau (Muhammad Rasyid Rida) itu bertarikh
20 Jumadil Akhir 1349 bersamaan 11 Nopember 1930 jawab surat saya
di dalam perkara hendak menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa
Melayu maka katanya: “Tuan mulailah dengan menterjemahkan risalah
286
Kandungan kitab ini memuat petunjuk bagi orang-orang Islam untuk tetap
berada pada jalan kebenaran dan kebaikan, mengajak orang lain untuk masuk
Islam. Di samping itu, dimuat juga tafsir Alquran. Kitab ini juga berbicara
10) ( بحث فركارا بربيلغ استري اتو بركاوين لبه دري ساتوBahas Perkara Berbilang Istri atau
Tulisan singkat yang membahas tentang poligami ini adalah tulisan tangan
empat belas halaman tersimpan di Museum Tamadun Islam atau bekas rumah
Basioeni Imran. Di dalam buku tulis yang memuat risalah tentang poligami
ini juga memuat beberapa tulisan lain seperti catatan tentang perkembangan
pada jalan Allah ialah jalan kemajuan” dan “sangat menyedihkan hati hal
agama di Ankara (Turki)” serta salinan surat Basieoni Imran kepada Raden
hal tertentu.
287
Pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini akan dibahas di bab yang
selanjutnya.
Tulisan singkat tentang tafsir ayat-ayat puasa ini merupakan tulisan tangan
tulis dengan jumlah delapan halaman. Pada sampul luar tertulis judul “ تفسير
“ ايات الصيامdan dibawah judul tersebut diberi keterangan dengan huruf Arab
Melayu (Jawi) “Tafsir Ayat Tentang Hukum Puasa ditulis oleh Muhamad
1357”. Dalam tafsir terhadap ayat-ayat puasa, yaitu Q.S. Al-Baqarah (2): 183-
yaitu “semoga kamu takut (bertakwa) kepada Allah”, yang mendidik orang
yang berpuasa dekat kepada Allah dan jauh dari perbuatan durhaka kepada
288
12) ( ترجمة االمام الشافعيي رضي هللا عنهTarjamah al-Imam al-Syafi’i Radhiya Allah
‘Anh)
Naskah ترجمة االمام الشافعيي رضي هللا عنهadalah tulisan tangan (manuskrip)
beraksara Arab Melayu (huruf Jawi). Ditulis di atas kertas agak tipis tanpa
water mark dengan kertas yang agak lapuk di pojok kanan bawah, namun
tidak mengenai tulisan, sehingga tulisan masih utuh dan bisa dibaca. Naskah
seluruhnya berjumlah dua belas halaman (nomor halaman ditulis pada sisi
tengah atas) dan ditulisi hanya pada satu sisi. Naskah ditemukan tersimpan di
museum Tamadun Islam Negeri Sambas atau bekas rumah Basioeni Imran.
Dilihat dari judulnya “ ” ترجمة االمام الشافعيي رضي هللا عنهdan keterangan yang
ada di dalam naskah, sebenarnya tulisan ini adalah upaya Basioeni Imran
dalam naskah ini, hanya ada bagian pengenalan (halaman 1), pengantar
tidak terselesaikan dan hanya bisa menyelesaikan bagian pengantar saja dan
subbab tentang bersuci dari kitab al-Um. Meskipun demikian, naskah ini
Basioeni Imran terkait dengan hukum Islam, khususnya dalam masalah taklid
dan ijtihad.
berpegang pada Q.S. al-Nisa (4): 59 dan hadis terkait penugasan Muaz bin
yang tidak ditemukan jawabannya di dalam Alquran dan Sunnah. Umat Islam
tidak harus mengacu kepada kitab-kitab al-Rafi’i atau al-Nawawi atau kitab-
kitab lain di lingkungan mazhab Syafi’iyah. Tidak berarti bahwa jika tidak
Pemikiran Basioeni Imran seputar taklid dan ijtihad ini akan dibahas lebih
Naskah risalah ini tidak memiliki judul dan dilihat dari isinya maka disebut
Arab Melayu dan berbahasa Melayu ini ditulis pada buku tulis bergaris
dari lembaran buku tulis dibiarkan kosong tanpa ditulisi apa-apa. Lembaran
yang berisi tulisan tidak diberi nomor halaman dan tidak ditemukan catatan
waktu ditulisnya naskah ini. Pada bagian akhir “kata pengantar” terdapat
Pada halaman awal, terdapat “kata pengantar” yang menjelaskan isi naskah
Maka inilah sebuah risalah yang kecil besar artinya dan faedahnya,
yaitu mengandung akan makna dan arti /tafsir al-Fatihah dan surah-
290
surah daripada Alquran dan zikir-zikir, tasbih dan doa yang dibaca di
dalam sembahyang dan di luar sembahyang dengan Bahasa Melayu
(Indonesia) yang rendah dan mudah supaya orang yang membacanya
mengerti akan maksudnya (Imran, tt: 1).
Risalah yang singkat ini berisi tata cara istinja, wudhu, azan, iqamat,
membaca doa qunut adalah hukumnya sunnat baik pada setiap sembahyang
Naskah tafsir tujuh surah pendek ini merupakan manuskrip tanpa judul dan
22,5 cm. x 17 cm. (kertas folio bergaris yang dipotong menjadi dua bagian)
terdiri dari 24 halaman, namun halaman 19-22 hilang. Dalam risalah singkat
Risalah ini ditulis oleh Basioeni Imran karena sebagian besar umat Islam
wajib maupun sunnah, serta di luar sembahyang. Karena sering dibaca, maka
selayaknya umat Islam memahami isinya, tidak hanya sekedar dibaca (Imran,
tt: 2).
291
Dalam salinan surat kepada Pijper yang ditulis di Sambas pada 21 Oktober
1950 (Imran, 1939; Pijper, 1985: 146) Basioeni Imran menjelaskan bahwa ia telah
(1) Cahaya Suluh pada Menyatakan Sah Jumat Kurang daripada Empat Puluh
Pijper di atas, maka ada kitab yang tidak ditemukan lagi hingga saat ini, yaitu:
Kurang dari Empat Puluh Orang). Karya ini merupakan edisi bahasa Arab dari
risalah Cahaya Suluh. Pijper (1985: 146) menyatakan kitab ini dicetak oleh
Membatalkan Nikah). Kitab ini dicetak di Penang pada 1938 M. Kandungan kitab
ini membahas suatu persoalan yang timbul dalam kehidupan beragama yaitu faskh
padanya bahwa kebiasaan “ta’liq”, yaitu talaq yang dikenakan persyaratan dan
(menyatakan tidak berlaku lagi). Tentu saja harus ada alasan yang kuat untuk
mengajukan faskh dan ini harus diajukan kepada Maharaja Imam, Basioeni
Dalam pengantar kitab Cahaya Suluh, Basioeni Imran (1920: 2-3) juga
menyebutkan dua buah kitab yang pernah ditulis. Pertama, منهل الراغبين في اقامة
dari Empat Puluh Orang). Risalah ini ditulis pada 14 Ramadan 1332 H / 1914 M.
Kitab ini tidak diterbitkan karena menurut Basioeni Imran risalah ini ada
awam dan hanya orang-orang yang terpelajar dan berpengetahuan yang dapat
Jumat). Kitab yang ditulis dengan bahasa Arab ini selesai ditulis pada Muharram
1339 H. Risalah ini ada lanjutannya dan diharapakan dapat memuaskan dahaga
Selain yang telah disebutkan di atas, penelitian Salim, dkk, (2011: 115-
116) menyebutkan dua kitab karya Basioeni Imran lainnya, yaitu Tarjamah Durus
al-Tarikh Syariat dan Durus al-Tawhid. Penelusuran sumber yang telah peneliti
lakukan belum mampu menemukan dua kitab tersebut. Berikut penjelasan tentang
dua kitab dimaksud sebagaimana dikutip dari hasil penelitian Salim, dkk.
Hukum Islam). Kitab ini masih merupakan manuskrip terjemahan ringkas kitab
Lebanon. Karya setebal 56 halaman ini tidak dicetak dan mungkin satu-satunya
buku utuh dan ditulisnya ketika masih berada di Mesir. Dalam pendahuluan kitab
295
ilmu yang wajib dipelajari, terutama sejarah Rasulullah SAW. Ketiga, kesadaran
akan kurangnya kitab-kitab sejarah Rasulullah SAW yang ditulis dalam bahasa
Melayu. Menurut Mahrus (2007: 76), manuskrip kitab ini disimpan di istana
ada juga kitab Khutbah Jumat, Hari Raya Aidilfitri, Hari Raya Aidil Adha, dan
ditulis dalam bahasa arab dan khutbah gerhana ditulis dalam bahasa Melayu
(Abdullah, 2006).
selesai ditulis Basioeni Imran pada 20 Rajab tahun 1354 (18 Oktober 1935).
Menurut keterangan Basioeni Imran, karya ini merupakan terjemahan dari kuliah-
kuliah Muhammad Rasyid Ridha. Dalam pengantar kitab Durus al-Tawhid ini
Basioeni Imran menjelaskan bahwa karya ini merupakan terjemahan dari kuliah-
Rasyid Ridha telah wafat (kembali ke rahmat Allah Ta’ala) di Mesir hari
Kamis, 23 Jumadil Awwal tahun 1354 ia dapat sakit keras terus meninggal
di dalam otomobil. Ketika ia kembali dari Negeri Swiss mengantarkan
Amir Sa’ud bin Imam Abdul Aziz raja Hijaz dan Nejd hendak berlayar
pulang ke Makkah musyarrafah ialah tiada putus pahala amalnya itu
Dan pelajaran ini teratur atas soal dan jawab, maka saya tulis S artinya soal
– pertanyaan – dan saya tulis J artinya jawab. Dan saya namai akan ini
risalah “Durus al-Tawhid al-Sayyid Muhammad Rasyid” dan ada jua saya
tambah-tambah di hasyiyah itu supaya terang. Maka saya harap akan Allah
Ta’ala beri manfaat dengan dia akan orang-orang yang membacanya dan
mempelajarinya dengan ikhlas dan bersih hati “sesungguhnya Dia maha
mendengar doa”.
ilmu tauhid merupakan ilmu yang wajib dipelajari, karena merupakan akidah yang
bersumber dari Alquran dan hadis. Kedua, kesadaran akan kurangnya kitab-kitab
tauhid yang ditulis dalam bahasa Melayu. Ketiga, adanya keinginan untuk
beramal jariyah di bidang ilmu, agar ilmu dari gurunya tidak terputus.
(1) Koleksi Cohen Stuart, Nomor Peti 84, nomor urut B.II.41 (Kode: 84 CS 2/40;
Rol 752.39). Nama penulis dan tahun tidak ditemukan. Dalam manuskrip ini
(Paus). Di bawah nama jabatan Maharaja Imam dituliskan juga jabatan Imam
(2) Koleksi Cohen Stuart, Nomor Peti 84, nomor urut B.II.42 (Kode: 84 CS 2/42;
298
Rol 753.01). Naskah ditulis oleh Asisten Residen (nama tidak terbaca) pada
Maharaja Imam jabatan Imam Setia Maharaja, Imam Muda, Chatib, Mudin,
dan Lebai.
(3) Koleksi Cohen Stuart, Nomor Peti 84, nomor urut B.II.43 (Kode: 84 CS 2/43)
Nama penulis dan tahun penulisan tidak ditemukan. Di bawah nama jabatan
Maharaja Imam dituliskan juga jabatan Imam Tua dan Imam Muda.
diduga kuat bahwa jabatan Maharaja Imam setidaknya telah ada pada tahun 1861.
Pada manuskrip 84 CS 2/41. Pada ketiga manuskrip selain jabatan maharaja imam
terdapat juga sebutan Imam Tua dan Imam Muda. Sebagaimana telah disebutkan
di atas, jabatan Maharaja Imam telah dijabat secara turun temurun dari kakek
Basioeni Imran bernama Haji Muhammad Arif kemudian digantikan oleh anaknya
bernama Haji Muhammad Imran. Setelah Haji Muhammad Imran wafat maka
jabatan Maharaja Imam diduduki oleh Basioeni Imran hingga wafat dan tidak ada
kerjaan Sambas adalah Imam. Jabatan Imam di Kerajaan Sambas pertama kali
dijabat oleh Mustafa dan dilanjutkan oleh anaknya Haji Nuruddin (bapak dari H.
Muhammad Arif).
Pada masa sultan ke-8 Muhammad Ali Syafiuddin I diangkat secara resmi
Haji Nurudin Mustafa sebagai imam kerajaan. Tugasnya kala itu adalah mendidik
salah satu anggota dewan kerajaan yang membantu sultan dalam menjalankan
ruang lingkup tugas di lembaga pengadilan dan sebagai penasihat sultan. Tugas
masyarakat.
Pada masa ini belum ada struktur hirarkis pejabat keagamaan di bawah
Selanjutnya pada masa Haji Muhammad Imran sebagai Maharaja Imam, tugasnya
(Risa, 2016, hal. 89-92). Baru pada masa Basioeni Imran menjabat Maharaja
Imam terdapat uraian tugas yang jelas serta disusunnya struktur hirarkis pejabat
Mohamad Basioeni Imran (1950), pada 1905 Basioeni Imran diangkat oleh Sri
istana sultan Sambas. Baru setelah Maharaja Imam Haji Muhammad Imran wafat,
bapaknya pada 9 November 1913 sebagai Maharaja Imam, kadi dan mufti di
300
Kerajaan Sambas. Dengan demikian pada diri Basioeni Imran melekat tiga jabatan
atau peran sekaligus yaitu sebagai: (1) Maharaja Imam; (2) kadi; dan (3) mufti.
atau kekuasaan Maharaja Imam dapat dilihat dari surat Sultan Muhammad
September 1915 M. Isi surat tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut:
Gambar 3.5: Surat Uraian Tugas Basioeni Imran sebagai Maharaja Imam
kepada Basieoni Imran dalam kapasitasnya sebagai Maharaja Imam atau adviseur
kualifikasi orang-orang yang akan diangkat menjadi imam, khatib, penghulu, lebai
fardhu kifayah, dan guru mengaji Alquran dan lainnya. Tugas dan kewenangan ini
dibebankan kepada Maharaja Imam sebagai anak buah atau pegawai Kerajaan
Sambas. Tugas Maharaja Imam ibarat tim seleksi yang melakukan fit and proper
302
calon pejabat keagamaan tersebut lolos dari pemeriksaan Maharaja Imam, baru
selanjutnya mereka diangkat dan disahkan oleh Sultan. Dengan demikian, para
pejabat keagamaan mulai dari Maharaja Imam, imam, khatib, penghulu, lebai,
guru mengaji dan lainnya merupakan bagian dari birokrasi kerajaan yang
jabatannya. Tidak boleh para pejabat yang sudah diangkat oleh Sultan melepaskan
Maharaja Imam yang bersangkutan patut untuk melepas jabatannya, barulah pihak
22 Muharram 1337 buat 3 lembar surat besluit buat melepas lebai Haji
Ismail dan lebai Haji Imran Sekuduk distrik Kota, dan lebai Haji Takif
kampung Sebetuan distrik Kota. Satu surat ke bawah duli Sultan memohon
dicap surat-surat itu dan menyatakan sebab mereka itu patut dilepas
daripada jawatannya (Imran, Catatan Harian, 1918-b: 1).
Selain tugas pokok di atas, Maharaja Imam dalam kesehariannya juga bertugas
sebagai imam tetap di Masjid Jami’ (masjid istana). Jauh sebelum diangkat
sebagai Maharaja Imam, Basioeni Imran juga diberi tugas memberikan pengajaran
Di dalam surat uraian tugas di atas perlu juga diperhatikan bahwa setelah
istilah Maharaja Imam diikuti kata atau istilah “[adviseur] agama”. Meskipun
303
dalam uraian tugas tidak dijelaskan tugas sebagai penasihat agama, tetapi secara
Terlebih Kerajaan Sambas yang bercorak Islam, maka eksistensi Maharaja Imam
dasar hal ini, maka terkadang Basioeni Imran menulis identitasnya sebagai
Imam. Dengan demikian, jabatan sebagai Maharaja Imam melekat padanya fungsi
Imran juga diangkat sebagai kadi. Jabatan kadi terkait erat dengan pengambilan
hukum Islam. Sebagian besar persoalan yang ditangani oleh Basioeni Imran dalam
dan pembagian harta warisan. Dalam beberapa catatan manuskrip yang ditulis
Imran sering memanggil para pihak yang berperkara maupun saksi-saksi, baik
melalui pesan kepada seseorang maupun dengan menulis surat panggilan. Dalam
304
buku agenda kegiatan tahun 1926, Basioeni Imran dalam kedudukannya sebagai
Pagi hari ini saya pergi Kartiasa berhenti di rumah Haji Ismail karena
hendak mengurus perkara tarkah (harta peninggalan) Haji Abdul Razak
(Rajab) sebelum di antara waris-warisnya ialah dua anaknya laki-laki Haji
Mahmud dan Haji Ahmad dan dua perempuan umak dan Khadijah (waris-
warisnya). Dua laki-laki itu mau ambil semua kebun dan ada perempuan
hendak diberi maka dua-dua perempuan tiada mau dari sebab itu belum
habis (Kamis, 27 Mei).
........................................................................................................................
Urus perkara Mahmus Durian sama menantu perempuannya bernama
Jariah dalam perkara tanah di Sarilaba. Maka sudah putus dengan damai.
Dibagi dua, 1 (satu) buat Mahmus laki bini dan 1 (satu) buat Jariyah dan
anaknya perempuan. Tetapi anaknya dapat 2 bagian dan umaknya Jariyah
satu bagian (Sabtu, 24 Juni 1926) (Imran, 1926).
hendak menikah. Informasi ini diperoleh dari beberapa catatan yang ditulis sendiri
kehidupan sehari-hari. Dalam catatan hariannya, Basioeni Imran menulis: “23 al-
Muharram 37 [1337 H / 1918 M] buat surat fatwa pada Jumat yang kurang
Sya’ban 1337 tulis fatwa pada i`adah zuhur kemudian daripada Jumat yang
305
kurang daripada empat puluh maka adakah akan dia wajib atau sunnah atau
Maharaja Imam, Basioeni Imran juga menggunakan sebutan lain seperti hakim
agama (Imran, 1943: 2), adviseur, kadi (Imran, 1918-a), adviseur agama (Imran,
1934; Imran, 1932-b), adviseur agama Islam (Imran, 1931), mufti dan hakim
agama (Imran, 1933-a: 6). Meskipun berbeda-beda sebutan, namun pada dasarnya
meliputi tiga jabatan sebagaimana disebutkan di atas, yaitu Maharaja Imam, kadi,
dan mufti. Sebutan sebagai adviseur adalah tugasnya sebagai Maharaja Imam
yang memberikan nasihat kepada kerajaan serta tugasnya sebagai penasihat dari
Sambas.
Cohen Stuart di atas, disebutkan struktur hirarkis pejabat keagamaan yang terdiri
dari Maharaja Imam, Imam Setia Maharaja, Imam Muda, Chatib, Mudin, dan
Lebai. Sedangkan dua manuskrip lainnya hanya menyebut Imam Tua dan Imam
Muda di bawah Maharaja Imam. Hasil penelitian Salim, dkk (2011: 73-74)
Imam, yaitu kadi dan mufti di Kerajaan Sambas dan kepala bagi seluruh pegawai
agama; (2) Imam muda atau imam maharaja; (3) Maharaja khatib; (4) Khatib
306
Maharaja; (5) Sidana Khatib. Sementara itu di luar kota Sambas seperti
penghulu. Kemudian di setiap kampung juga dilengkapi dengan lebai dan tiap-tiap
nama para pejabat keagamaan yang dihimpun dari beberapa sumber (Imran, 1939;
waktu, sembahyang Jumat maupun sembahyang sunnah seperti Idul Fitri dan Idul
Adha. Tugas khatib adalah memberikan khutbah pada setiap sembahyang Jumat
dan Idul Fitri dan Idul Adha. Tugas penghulu yang utama adalah mengurus
perkawinan, perceraian, talak dan rujuk. Selain itu penghulu bertugas menerima
Maharaja Imam. Tugas lebai antara lain memungut zakat padi di kampungnya
masing-masing. Lebai menjadi tokoh agama yang menjadi panutan dan tempat
308
Imran, lebai-lebai menjadi ujung tombak membina umat Islam dan menjadi orang
kepercayaannya di setiap kampung. Karena itu, para lebai selalu dikirimi kitab-
kitab tulisan Basioeni Imran. Di bawah ini terdapat daftar nama lebai yang
sendiri.
membaca ma’asyiaral pada setiap khatib hendak naik mimbar membaca khutbah.
Sedangkan tugas modim adalah mengurus segala sesuatu bagi kebersihan dan
Basioeni Imran, disebutkan bahwa menurut adat di dalam Kerajaan Sambas dari
zaman dahulu dengan perintah raja atau sultan, untuk menyokong atau menolong
para pegawai agama seperti imam, khatib, penghulu, lebai, bilal dan modim ialah
dari padi zakat dan beras fitrah sekali setahun serta dari uang nikah, cerai dan
56 Kutun Jambu
311
Selain sebagai Maharaja Imam, kadi dan mufti, dokumen Daftar Sedjarah
menyebutkan pada tahun 1918, Basioeni Imran diangkat menjadi pengawas bagi
Resident Borneo Barat Nomor 3 tanggal 5 Februari 1946 Basieoni Imran diangkat
menjadi Ridder in de Orde van Oranje Nassau. Berbagai jabatan ini merupakan
pada diri Basioeni Imran melekat jabatan yang dipercayakan oleh penguasa lokal-
tradisional yaitu dari Sultan Sambas dan dari penguasa asing-kolonial Belanda.
sumber legitimasi yang kuat dari sisi legal authority atas otoritas yang
dimilikinya. Kasus Basioeni Imran yang mendapatkan legal authority dari dua
312
pihak pemegang kekuasaan (Kerajaan Sambas dan Hindia Belanda) agak berbeda
jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di daerah lain, khususnya di Jawa.
dikategorikan sebagai ulama pejabat atau pejabat agama (biasa disebut penghulu
di Jawa) tidak saja sebagai ulama yang menjadi pejabat dari sistem administrasi
dan birokrasi Kerajaan Sambas tetapi juga ulama yang menjadi pejabat dalam
Pijper (1985:72-84) menyebutkan ada lima tugas ulama pejabat yang di jawab
disebut penghulu yaitu sebagai kadi, mufti, mengepalai masjid, mengurus dan
ulama bebas yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan dengan ulama
pejabat atau pejabat agama yang bergerak di jalur hukum dan pengadilan tidak
terjadi. Pada diri Basieoni Imran berkumpul dua model ulama yaitu ulama bebas
sekaligus ulama pejabat, yang di Jawa dan beberapa daerah lain terpisah dan
dijabat oleh sosok ulama yang berbeda. Ulama bebas umumnya dekat dan
masyarakat.
sebagai Maharaja Imam sekaligus sebagai kadi dan mufti sejak 1913. Selanjutnya
313
Commissie pada 1946. Berdasarkan data ini dapat dikatakan bahwa kebijakan
kadi, dan mufti) merupakan kebijakan cerdas untuk menjaga kesatuan masyarakat.
sebagai ulama pejabat (sebagai kadi dan mufti), namun pada dirinya juga melekat
Basioeni Imran sebenarnya tidak begitu berarti untuk menjadikan dirinya identik
dengan bagian dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang “kafir”. Beberapa
jabatan sebagai bagian dari sistem birokrasi pemerintah Hindia Belanda tersebut
lembaga atau institusi di bawah Kerajaan Sambas semestinya bubar dan melebur
Maharaja Imam. Sebutan jabatan Maharaja Imam terus melekat pada diri Basioeni
Imran hingga ia wafat pada 1976. Masyarakat Sambas tetap menghormatinya dan
memanggilnya sebagai Maharaja Imam Sambas. Basioeni Imran sendiri juga tetap
Maharaja Imam dalam sepucuk surat yang dikirimkannya kepada Awang bin Haji
Imran diangkat sebagai Penghulu Muda pada Kantor Urusan Agama Kabupaten
Sambas dan pensiun pada 13 September 1975 (Badran, tt, hal. 15-16; Sabirin,
Maharaja Imam Basioeni Imran memiliki peran dan posisi yang spesifik
dan berbeda dengan tipologi ulama di daerah lain, khususnya di Jawa. Selain
dipercaya sebagai pejabat baik oleh pihak penguasa lokal (Sultan kerajaan
wilayah kerajaan Sambas khususnya dan Kalimantan Barat umumnya pada awal
Jawa. Pondok pesantren di Jawa menjadi pusat kegiatan keagamaan dan tempat
rujukan masyarakat dalam berbagai hal. Para ulama atau kyai yang memiliki atau
memimpin pondok pesantren dengan demikian juga menjadi sosok pemimpin dan
panutan yang senantiasa menjadi rujukan masyarakat. Pesantren dan ulama atau
kyai di Jawa juga memiliki jaringan dengan pesantren dan ulama atau kyai
lainnya. Semakin banyak dan kuat jaringan tersebut, maka semakin tinggi otoritas
suatu pesantren atau seorang ulama / kyai. Sistem atau tradisi pesantren (dalam
otoritas tinggi dan pengaruh luas di tengah masyarakat. Tipologi ulama seperti ini
sosok ulama. Namun sebagian besar ulama tersebut bukan lahir dari pondok
pesantren sehingga tidak memiliki jaringan keulamaan dengan ulama lain yang
kental dengan tradisi pesantren. Para ulama Sambas adalah para ulumni Madrasah
keulamaan yang ada di kalangan ulama Sambas adalah jaringan dengan sesama
alumni Mekah atau Kairo. Karena tidak memiliki tradisi pesantren, maka jaringan
keulamaan mereka tidak sekuat jaringan ulama di Jawa. Dalam konteks ini,
Basioeni Imran menjadi tokoh sentral di antara para ulama Sambas alumni Mekah
317
maupun Kairo karena dirinya adalah generasi awal dan sekaligus memiliki
otoritas legal formal sebagai pejabat Maharaja Imam. Hampir semua ulama
alumni Mekah dan Kairo selanjutnya direkrut oleh Basioeni Imran dalam sistem
Dalam posisi yang demikian, hampir tidak ada ulama yang beroposisi atau
menjadi kritikus terhadap pemikiran dan kebijakan Basioeni Imran. Inilah yang
menjadikan Basioeni Imran sebagai Maharaja Imam berbeda tipologi dengan para
Dalam konteks teori Weber tentang otoritas, posisi Basoeni Imran sebagai
Setiyono (2012: 50) menjelaskan bahwa otoritas karismatik adalah yang bertumpu
biasa dari seseorang. Dalam otoritas ini, seseorang taat dan patuh kepada orang
lain, dalam hal ini adalah Basioeni Imran, karena ia dipercaya memiliki kelebihan-
kelebihan khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain, atau karena ia memiliki
hasil karya dan aktivitas yang memberikan manfaat atau pertolongan kepada
orang lain. Pada bagian lain dijelaskan bahwa Basioeni Imran dalam posisinya
sebagai Maharaja Imam telah banyak melakukan aktivitas yang memberi manfaat
menghasilkan berbagai karya tulis yang bisa gunakan dan dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat.
318
Bruinessen (1998, hal. 26) menyebut Basioeni Imran sebagai reformis dan
murid Rasyid Ridha yang paling menonjol dan setia di Nusantara. Sebagai murid
setia, Basioeni Imran aktif berkirim surat kepada gurunya Muhammad Rasyid
dengan bahasa Inggris. Kedua, bagaimana perihal beristeri lebih dari empat
malaikat maut tanpa dengan nama Izrail. Hal ini terkait dengan pendapat
Muhammad Taufiq Sidqi bahwa nama Izrail tidak memiliki sumber yang kuat
baik dari Alquran maupun hadis sahih. Nama itu masyhur di kalangan orang
Yahudi dan mereka menamai manusia dengan nama Izrail. Kedua, perihal
hukum belajar bahasa Arab bagi muslim ajami (non-Arab) serta masalah
1928: 659-664).
Belanda huruf Latin lebih banyak digunakan dibanding huruf Arab Melayu
(aksara Jawi). Dan karena itu pula, tidak ditemukan koran-koran dan majalah-
maka bedampak pada orang Melayu. Semua kitab-kitab keagamaan, etika dan
dibiarkan, orang Melayu lama-kelamaan akan jauh dari agama Islam (Al-
Imran bertanya tentang berbagai hal. Pertama, hukum membaca talqin mayat
Aufa. Keempat, apakah sekolah SMA di Mesir serupa dengan SMA di Eropa
dalam cabang ilmunya serta bahasa yang diajarkan selain bahasa Arab dan
pelajaran agama Islam. Kelima, apakah pegawai di Mesir belajar di salah satu
juga bertanya hal yang sangat penting pada Al-Manar volume 31 nomor 5 ini.
Pertanyaan itu secara ringkas adalah sebagai berikut: (1) Apa yang menjadi
memeroleh kemajuan sebagai yang telah dicapai oleh mereka itu, jika
Imran bertanya perihal Nabi Adam AS. terkait pendapat Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab yang menyatakan nabi pertama adalah Nuh AS, bukan
Imran mengajukan pertanyaan tentang kelahiran Isa ibn Maryam yang tanpa
bapak apakah telah menjadi kesepakatan ulama atau tidak serta dalil
Imran bertanya tentang (1) Bagaimana hukum mengundi nasib atau lotre
orang yang terkena musibah atau untuk kemashlahatan umat lainnya; (2)
berperan penting menjadi salah satu faktor yang mendorong transmisi ide-ide
pembaruan dari dunia luar ke kawasan Hindia Belanda, tak terkecuali di Kerajaan
Sambas. Jika dibaca secara seksama isi Al-Manar, maka akan terlihat bahwa
orang dari wilayah Hindia Belanda yang meminta fatwa (mustafti) atau
banyak. Tidak ada mustafi dari Hindia Belanda selain Basioeni Imran yang rajin
mengirim surat dan pertanyaannya dimuat dalam Al-Manar. Dalam hal ini
322
Basioeni Imran dapat dikatakan sejajar dengan para ulama lain dari berbagai
Sebagai seorang ulama yang memiliki ilmu yang mendalam dalam bidang
agama Islam, Basioeni Imran menjadi tumpuan masyarakat dalam belajar ilmu
agama bahkan pihak keluarga Kerajaan Sambas. Seperti yang telah disebutkan
pengajaran agama Islam di istana sultan Sambas untuk puteri-puteri dan ahli
Dagang Timur.
masjid Jami’ dan rumah di Kampung Dagang Timur, adalah dua tempat yang
oleh Basioeni Imran. Pembelajaran di Masjid Jami’ dimulai sekitar pukul 11 pagi
hingga menjelang sembahyang Jumat. Secara rutin setiap hari Jumat, Basioeni
jamaah masjid yang semuanya laki-laki. Setelah membaca kitab sekali-kali dibuka
kesempatan kepada para jamaah untuk bertanya. Kitab yang dibaca juga
masjid Jami’ antara lain: kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh-Rasyid
Ridha, kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani, Ikhtilaf al-
‘Ibadah karya Ibnu Taimiyah, Zikri al-Mulid al-Nabi karya Rasyid Ridha, Al-Um
di rumahnya ini juga dilaksanakan pada hari Jumat, tetapi pada sore hari dan
khusus untuk kaum perempuan. Kitab-kitab dan materi yang disampaikan juga
Jumat, 11 Juni 1926: Malam ini saya baca kitab di warung Haji
Abdurrahim di Sekura dan hadir + 20 orang. Haji Taufiq Mahmud ada
juga. Dan tidur di situ. Hari ini membaca kitab jua di surau dan
sembahyang Jumat.
Kamis, 24 Juni Juni 1926: Saya pergi menikahkan orang Sebatu’ Rantau
Panjang bersama-sama Khatib Zabir, maka sore baru balik. Di taruf [tenda
khusus yang didirikan saat ada acara pesta perkawinan] saya ada
berkhutbah pada perkara masjid baru dan memberi nasihat-nasihat.
Kamis, 24 September 1926: Sembahyang Jumat di Masjid Selakau.
Sebelum sembahyang saya membaca kitab perkara sembahyang berimam
dan hukumnya sembahyang (Imran, 1926).
324
Bermula saat diminta memberikan pelajaran agama di kalangan istana pada 1905,
Ahmad Fauzi Imran. Sejak 1918, Basioeni Imran diangkat menjadi pengawas bagi
Sekolah Agama Islam di Sambas yang dijabatnya hingga 1950 (Imran, 1950).
Dalam catatan harian tahun 1337 H ada catatan yang ditulis Basioeni
Imran bahwa ia menulis surat kepada para lebai di beberapa kampung dan ingin
26 al-Muharram 1337: Tulis surat kepada lebai-lebai kasih tahu saya pergi
kepada kampung mereka itu buat mengetahui hal mereka itu pada agama
dan hendak mengajarnya perkara agama sedikit-sedikit dan mau minta
pertolongan buat sekolah agama… (Imran, 1918-b).
Dari catatan tersebut, dan juga di beberapa catatan lainnya, terlihat Basioeni Imran
Sultaniyah tidak lagi ditanggung oleh pihak istana. Oleh karena itu, Basioeni
325
Imran harus pandai-pandai mencari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak
Setelah Ahmad Fauzi Imran wafat, maka Basioeni Imran diangkat menjadi
pimpinan Madrasah al-Sultaniyah mulai tahun 1919 hingga 1936 oleh Sultan
(Erwin, 2002: 71). Dalam buku catatan hariannya, Basioeni Imran menulis bahwa
Berdasarkan catatan di atas, usaha memajukan sekolah agama atau Madrasah al-
Sambas dalam melahirkan ulama-ulama karena saat itu tidak ada lembaga
pendidikan agama yang lain seperti pondok pesantren atau lainnya. Regenerasi
disebutkan terakhir ini adalah lembaga pendidikan Islam modern yang didirikan
hingga tahun 1950 (Erwin, 2002: 72). Pada saat yang sama Basioeni Imran juga
menjadi ketua dari Perkumpulan Tarbiatoel Islam Sambas (Imran, 1950), lembaga
106
Bahkan hingga hari ini di kota Sambas baru ada satu pondok pesantren, yaitu Pesantren
Basiuni Imran.
326
Tarbiatoel Islam.
Tarbiatoel Islam didorong oleh situasi ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda
1933. Sedangkan antusiasme putera puteri Sambas untuk belajar bahasa Belanda
dan pengetahuan umum cukup besar. Satu-satunya sekolah umum yang ada pada
bergerak cepat karena sadar dengan adanya sekolah umum yang menarik anak-
anak dari lapisan masyarakat atas dan menengah, akan berdampak merugikan
327
pendidikan Islam yang sudah ada waktu itu. Untuk menyikapi kondisi ini,
dr. Syahrial dan Ali Imran (seorang guru HIS). Dalam pertemuan itu diputuskan
ciri pendidikan Islam (Salim, et al., 2011: 89; Imran M. B., Al-Madrasah al-
1936. Perkumpulan ini memiliki motto: “Nusa dan bangsa tidak akan lekas
kemudian diberi nama Sekolah Tarbiatoel Islam. Sekolah ini pada awalnya
menggunakan bahasa Melayu lama sebagai bahasa pengantar dan aksara Arab
dan Basioeni Imran diangkat sebagai pimpinannya pada 1967. Kulliyat al-
Sambas. YASPI Sambas didirikan pada 20 April 1967 dan bergerak khusus di
328
Sebagai bagian dari masyarakat biasa dan juga tokoh agama, Basioeni
Imran tak lepas dari aktivitas sosial di lingkungan masyarakatnya. Salah satu
aktivitas sosial keagamaan yang dilakukan Basioeni Imran adalah menjadi ketua
para jamaah masjid Jami setelah sembahyang Jumat. Bersama Raden Muhsin
Panji Anom, salah seorang anggota komite, Basioeni Imran pada Senin 25 Januari
untuk biaya pembangunan masjid dan menerima selembar dengan nilai 10 rupiah.
Pada 27 Januari 1926 para anggota komite berkumpul di kantor Basioeni Imran di
wakaf kepada para dermawan. Sesuai rencana, pada Ahad 7 Februari 1926 para
pertemuan berbicara Raden Muhsin Panji Anom dan Basioeni Imran sendiri di
329
Kampung Dagang Hulu tidak mau datang. Namun pada kesempatan berikutnya,
setelah diminta datang akhirnya masyarakat Kampung Dagang Hulu datang juga.
Jam 2 Zuhur ahli kampung Dagang Hulu banyak hadir di rumah saya
karena saya suruh sebab hendak minta wakaf masjid baru, sesudah hadir
mereka itu, saya pun berpidato menerangkan kewajiban saya menyeru
mereka dan menerangkan seruan dahulu yang mereka itu tidak datang.
Maka masing-masing memberi derma (wakaf) barang yang menyenangkan
hati saya karena patuh dengan kadarnya masing-masing (Imran, 1926).
Mengenai hasil kerja komite pendirian masjid baru tersebut, surat kabar
Berita yang dilansir oleh Oetoesan Borneo di atas menunjukkan kerja komite atau
panitia pembangunan masjid baru yang dipimpin oleh Basioeni Imran tidak
seratus ribu rupiah ternyata dalam waktu tiga tahun hanya terkumpul hampir
orang kaya karena penghasilan karetnya, serta banyaknya orang alim yang tahu
beberapa kali dimuat dalam surat kabar Ooetoesan Borneo. Salah satunya yang
ditulis oleh koresponden dari Sambas bernama Parker Pen pada 21 Maret 1928.
Ada dua judul tulisan yang bernada miring terhadap Basioeni Imran, pertama
Dalam tulisan yang pertama diceritakan bahwa suatu ketika ada seorang bernama
dalam sangkar. Ada orang yang mengatakan bahwa hal tersebut haram.
menjawab si penanya dengan tidak sabar, dan di mukanya ada tanda amarah,
bilang haram, dan toendjoekkan mana kitab jang mengatakan haram? Kalau ada
nanti saja periksa, kalau ada nasnja saja akan bertobat dihadapan orang itoe”.
Parker Pen kemudian menyatakan kelakuan M.I. (Maharaja Imam) yang begitu
sangat penulis sesali dan herani. Dan tidak habis-habisnya menggelengkan kepala
karena kelakuannya begitu. Cuma didapat pada siahmaq, lagi pula menjadikan
hati publik jadi liar, takut dan jera, hingga publik dalam kegelapan. Mudah-
mudahan kelakuan begitu tidak kekal melekat padanya lagi (Oetoesan Borneo, 21
Maret 1928).
1934. Pertanyaan tersebut seperti yang telah disinggung di atas adalah sebagai
berikut:
Apakah boleh memelihara burung atau lainnya dari jenis binatang ternak
di dalam sangkar (kandang, reban dll.) baik sendiri atau disandingkan
dengan lawan jenisnya serta terpenuhi makan, minum dan lainnya,
pekerjaan seperti ini dilakukan untuk memeroleh kesenangan dengan
bentuk hewan peliharaan itu atau karena suaranya. Apakah pekerjaan ini
dihitung perbuatan zalim terhadap binatang atau tidak? Dan telah
memberikan fatwa seseorang bahwa sesungguhnya menahan burung di
332
dalam sangkar adalah kezaliman bagi burung walau makan dan minumnya
terpenuhi dengan baik.
Artikel berjudul “Hoejan Naik ke Langit” yang juga ditulis oleh Parker
Pen dalam Oetoesan Borneo juga menunjukkan nada miring terhadap Maharaja
Imam Basioeni Imran. Artikel ini membandingkan kondisi dulu dan sekarang
(tahun 1928) antara Kampung Jawa dan Kampung Lorong dengan Simpang
Kampung Dagang (tempat domisili Basioeni Imran). Dahulu Kampung Jawa dan
Kampung Lorong dipandang miring oleh masyarakat karena di sana kata orang
Sambas sarang judi, arak, dan sundal (PSK). Sebaliknya Simpang Kampung
Dagang dihormati masyarakat karena di sana ada tokoh Marhoem Ahmad Fauzi
Sebagai pejabat dan tokoh keagamaan Basioeni Imran sering diajak atau
Sebagaimana disebutkan dalam catatan hariannya, pada hari Ahad tanggal 13 Juni
keluarga kerajaan untuk menghibur diri. Hal ini terbukti, pada Ahad 26 Maret
Demikianlah pada hari Rebo ddo. 16-3-’41, kira2 djam 8.30 berangkatlah
kami dgn seboeah auto-bus menoedjoe Soebedang dg maksoed akan
meloeaskan pemandangan dan bermakan2 di sana. Kira2 djam 9 sampailah
kami ketempat jg ditoedjoe.
Disana kami berhenti diseboeah roemah kepoenjaan Toeankoe Sulthan
Sambas. Sekalian jg pergi tampak bergembira semoeanja apalagi disitoe
hadir poela Toeankoe Sulthan Sambas jg datang kemoedian sedikit dari
kami. Lain dari pada itoe sebagai jg mengepalai pemergian kami dan jg
ikoet serta adalah toean2: Maharadja Imam H. M. Basioeni Imran, Imam
H. M. Djabir, Imam Maharadja H. Abdoerrachman, D. H. Hadran, R.
Mohsin P. A., R. Aboe Bakar, P. A. H. Abd. Malik voorz. Moehammadijah
Tjabang Sambas, dan banjak lagi orang2 jg terkemoeka dalam masjarakat
Sambas (Borneo Barat, 5 April 1941).
Maharaja Imam Kerajaan Sambas, melekat pada dirinya adalah sosok ulama dan
pendidik dan jauh dari aktivitas politik. Pada masa awal kemerdekaan di kota
tentara sekutu di kota Sambas dengan diboncengi oleh Nederlandsch Indie Civil
Administratie (NICA) di bawah pimpinan Kapten van der Schoor. Saat Schoor
kota Sambas dan sekitarnya yang akan disusun nanti, pimpinan PERBIS menolak
dengan tegas dan menyatakan bahwa Sambas adalah termasuk wilayah negara
Republik Indonesia yang telah merdeka, berdaulat penuh dan tidak membutuhkan
bantuan NICA. Sikap tegas ini melahirkan sikap keras NICA terhadap para tokoh
hujjah agar para pemuda memberikan apa yang ada (jasmani, rohani, dan harta
benda) untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Dalam sebuah pertemuan
dihadang oleh tentara NICA dan dalam peristiwa itu jatuh korban jiwa yaitu H.
Sirad Sood (Pemerintah Daerah Tk . I Kalimantan Barat, 1989: 215; Ismail, 1993:
40).
kepada Basioeni Imran.108 Tidak ada informasi terkait latar belakang mengapa
surat tersebut dikirimkan kepada Basioeni Imran dan apa hubungannya dengan
Basioeni Imran sebagai tokoh Islam penting di Sambas yang pernah belajar di
Mekah. Isi surat tersebut antara lain menjelaskan bahwa berita kemerdekaan
107
Menurut Anggaran Dasar BPMBC: Badan ini didirikan sesudah terjadinya penyerahan pass-
pass kepada wakil pemerintah Belanda di Hijaz, dan dinamakan BPMBC singkatan dari Badan
Pembelaan Maluku Borneo Celebes, di Mekah al-Mukarramah (Pasal 1). Badan ini bertujuan:
1) Badan ini berusaha akan menolong anak dari Borneo Celebes Maluku yang telah
menyerahkan pasnya kepada wakil pemerintah Belanda di sini (Hijaz), dengan berupa uang
atau pekerjaan dan apa jua yang dianggap pertolongan di kala mereka berhajat; 2) Merapatkan
tali silaturrahim sesama putra dan putri kepulauan tersebut dan seluruh rakyat Indonesia
umumnya; 3) Menyatukan perasaan kebangsaan, dengan membutuhkan pendirian yang
menunjukkan kesimpasian [simpati] terhadap pemerintah RI; 4) Memperkuat putra dan putri
kepulauan Sulawesi, Kalimantan dan Maluku, dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Negara Republik Indonesia, di samping persatuan Indonesia yang lainnya; 5)
BPMBC bekerja bersama-sama dengan apa jua perkumpulan Indonesia maupun di tanah Hijaz
atau di luar tanah Hijaz dan tetap menerima pergabungan dengan perkumpulan yang lain kalau
ada dorongan yang membikin perlu, dan tak ada undang-undang di perkumpulan itu menentang
atau bertentangan dengan undang-undang BPMBC; 6) BPMBC tidak bermaksud akan
mengasingkan diri dari persatuan bangsa Indonesia yang lainnya; 7) BPMBC tidak bisa
menerima pergabungan dengan apa jua perkumpulan kalau ada undang-undang di situ yang
bertentangan dengan undang-undang BPMBC; 8) BPMBC bekerja dengan ikhlas karena Allah
dan agama serta nusa dan bangsa dan RI; 9) Badan ini sendirinya akan terbubar dikala hajat
untuk meneruskan dan sebab-sebabnya telah hilang dan tanggal (Pasal 2).
108
Dari Meseum Tamadun Islam Nagri Sambas juga ditemukan dokumen berupa surat BPMBC
yang ditujukan kepada Idris bin Noeroeddin Poetat di Sambas tertanggal 19-5-46. Isinya
hampir sama dengan surat diditujukan kepada Basioeni Imran. Selain dua surat tersebut,
BPMCB juga mengirimkan “Perselag ringkas dari Rapat Perajaan jang Diadakan oleh BPMBC
oentoek memperingari hari kelahiran Jang Moelia Pemimpin Besar kita Toean Dr. Ir. Soekarno
dan Pergaboengan antara BPMBC dan COPINDO” serta Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga BPMBC.
336
Indonesia telah sampai ke para pemuda yang sedang belajar atau menuntut ilmu di
Mekah. Mereka menunjukkan simpati dan ikut berjuang mengambil bagian dan
yang sedang menuntut ilmu di Mekah menolak terhadap cacian musuh (Belanda)
kepada RI melalui surat kabar dan selebaran yang diterbitkan. Disampaikan juga
berita bahwa karena sikap para putra Indonesia menolak mengakui pemerintah
bantuan kepada mereka dan karenanya juga mereka keluar dari “kerakjatan”
perjuangan bangsa Indonesia di Jawa, maka putra Borneo, Celebes, dan Maluku
BPMBC kepada Basioeni Imran, 1946, Museum Tamadun Islam Nagri Sambas).
hebatnya perjuangan putra Indonesia di Jawa melalui RRI dari Bandung. Namun
mereka heran mengapa tidak terdengar perjuangan dari Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku:
Surat yang dikirim oleh pengurus BPMBC, yaitu Moh. Hasjim Moechtar -
Abd. Hadi Badjoeri (Bagian Luar Negri) dan Abd. Raak Salih – Siradj Salman
musuh (Belanda) dan jangan suka di bawah kungkungan orang kafir dan kaum
penjajah. Mereka meminta agar menolong perjuangan di Jawa, jangan takut dan
gentar karena ini adalah perang jihad yang wajib untuk meninggikan agama Islam
Selain surat kepada Basioeni Imran, terdapat juga surat tertanggal 19-5-46
yang isinya hampir sama yang ditujukan kepada Idris bin Noeroeddin Poetat di
Sambas. Selain dua surat tersebut, BPMCB juga mengirimkan Perselag ringkas
dari Rapat Perajaan jang Diadakan oleh BPMBC oentoek memperingari hari
kelahiran Jang Moelia Pemimpin Besar kita Toean Dr. Ir. Soekarno dan
Di masa tuanya, Basioeni Imran terjun ke dunia politik dengan ikut dalam
pemilihan umum 1955 mewakili Partai Masyumi. 109 Ia berhasil terpilih menjadi
Secara nasional pada Pemilu tersebut, Partai Masyumi menempati posisi kedua
dengan perolehan suaran 20,59 % dengan jumlah kursi 112 orang (Puspoyo,
109
Masyumi dibentuk dalam Muktamar Islam Indonesia di gedung Madrasah Mua`allimin
Muhammadiyah, Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Pembentukan Masyumi sebagai
sambutan tokoh-tokoh Islam terhadap terbitnya Maklumat Pemerintah Nomor X tanggal 3
November 1945 tentang anjuran membentuk partai-partai politik. Dalam muktamar itu
diputuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, dan
Masyumi-lah yang akan memperjuangkan nasib politik umat Islam Indonesia (Thaba, 1996:
158-159). Menurut Kahin (1952: 157) dalam Masyumi terdapat dua kelompok utama yang
sering berselisih pendapat, yaitu “kaum sosialis keagamaan” yang banyak mengambil inspirasi
dari ajaran Muhammad Abduh dan “pemimpin agama angkatan tua yang konservatif” yang
berpangkalan pada Nahdlatul Ulama dan unsur-unsur Muhammadiyah yang lebih konservatif.
338
2012). Basioeni Imran mewakili daerah pemilihan Sambas dan ditetapkan sebagai
Mangkusasmito.
kuat posisinya sebagai Maharaja Imam dan ketokohan Basioeni Imran yang
mengakar di masyarakat menjadi daya tarik bagi partai Masyumi untuk mengajak
Basioeni Imran juga sejalan dengan garis politik Partai Masyumi. 110 Sebagaimana
dijelaskan oleh Boland (1971: 48-49), sebagian anggota dan pemimpin Masyumi
sebagai satu kesatuan politik-agama dan sosial. Cita-cita negara Islam ataupun
terwujudnya asas-asas Islam dalam politik jelas tumbuh subur dalam lingkungan
ini. Secara sosiologis pengikut Masyumi adalah para pedagang kota, dan di antara
pekerja bebas serta kaum intelektual yang berasal dari kalangan mereka ini.
Abduh dan Rasyid Ridha). Di sinilah mungkin bertemunya antara garis politik
110
Berdasarkan Anggaran Dasar yang mulai berlaku Agustus 1952, Partai Masyumi berasaskan
Islam dan bertujuan “untuk mewujudkan ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan pribadi,
dalam masyarakat dan dalam Republik Indonesia sebagai sebuah negara, menuju keridhaan
Allah
339
bergaul erat dengan tokoh-tokoh seperti Haji Agus Salim, Mr. Soekiman dan
Muhammad Natsir. Ia juga kemudian akrab dengan Dr. Haji Abdul Karim
Amrullah (HAMKA) dan Dr. Abdul Kahar Muzakkir. Mereka menawarkan agar
(Effendy, 1995: 168). Namun, tawaran tersebut ditolak secara halus karena
terlibat dalam perdebatan panjang tentang bentuk dan dasar negara yang terjadi di
dalam lembaga yang khusus dibentuk untuk menyusun konstitusi baru pengganti
Pada Pemilihan Umum pertama masa Orde Baru 1971, Basioeni Imran
ikut terlibat dalam memenangkan Golongan Karya (Golkar). Atas usaha dan jerih
111
Penjelasan lengkap tentang perdebatan panjang dalam lembaga Konstituante dapat dilihat
dalam Boland (1971: 90-99); Nasution (1992).
340
BAB IV
Teologi dari segi bahasa bermakna ilmu tentang Tuhan atau ilmu
ajaran dasar dari suatu agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
Arab, ajaran-ajaran dasar itu disebut ushul al-din atau ‘aqa’id. Teologi dalam
Islam disebut juga ‘ilm al-tauhid atau ‘ilm al-kalam. Disebut ‘ilm al-tauhid
karena membahas keesaan Allah sebagai sifat terpenting Tuhan. Disebut ‘ilmu al-
kalam (kalam berarti kata-kata) dalam teologi Islam karena persoalan kalam Allah
dalam filsafat (Hanafi, 1990: 5). Secara sederhana teologi Islam atau ilmu kalam
dosa dan balasannya, sirath al-mustaqim serta mahsyar yang akan dijalani
340
341
disebut Bidayah al-Tauhid) yang terbit tahun 1336 H / 1918 M. Kitab ini
membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan rukun iman. Sebelum memulai
hukumnya fardu ‘ain, yaitu wajib atas tiap-tiap orang mukallaf (akil baligh).
Perkataan ini sangat erat kaitannya dan bahkan bisa dikatakan sebagai
konsekuensi logis dari yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali dalam al-Risalah al-
Laduniah yang dikutip oleh Hanafi: “Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia,
paling penting dan paling sempurna. Ilmu ini wajib dicari oleh setiap orang yang
Akidah Islam yaitu segala perkara yang di-i`tikad-kan akan dia oleh ahli
Islam, yakni mereka itu jazam dan putus dengan sahnya. Makna dan arti
Islam menurut syarak adalah inqiyad (tunduk) bagi barang yang datang
dengan dia Nabi SAW. dan daripada yang demikian bertutur dengan dua
kalimat syahadat. Makna iman pada syarak yaitu tashdiq (membenarkan)
dengan barang yang datang dengan dia oleh Nabi SAW. dan ia ketahui
daripada dalil-dalil agama, dan makna tashdiq itu iz’an dan qabul
(mengaku dan menerima) (Imran M. B., 1918: 2-3).
singkat rukun Islam dan rukun iman. Di bagian akhir pendahuluannya ditulis tiga
hukum akal yang digunakan dalam ilmu tauhid (wajib, mustahil dan jaiz). Setelah
342
menjelaskan tiga hukum akal, barulah masuk bab pertama, yaitu pembahasan
Bermula iman (percaya) dengan Allah SWT dengan ijmal yaitu kita
‘itiqad-kan bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan segala sifat
kesempurnaannya dan Mahasuci dari pada segala sifat kekurangan.
Adapun iman dengan Allah SWT dengan tafshil maka yaitu: kita ‘itiqad-
kan bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan wujud, qidam, baqa, mukhalafatuh
lilhawadisi, qiyamihi bi nafsih, wahdaniyah, hayah, ‘ilm, qudrah, iradah,
sam’a, bashr, kalam, hayy, ‘alimun, qadirun, maridun, sami’un, bashirun,
mutakallimun. Jumlah dua puluh sifat dan semuanya itu wajib bagi Allah
Ta’ala dan lawannya dua puluh juga maka semuanya mustahil atas Allah
Ta’ala (Imran M. B., 1918, hal. 5).
Setiap sifat wajib yang berjumlah dua puluh dijelaskan secara singkat
disertai dengan dalil-dalil aqli atau logika. Hanya beberapa sifat yang dijelaskan
dengan dalil naqli atau ayat Alquran. Dua puluh sifat Allah oleh Basioeni Imran
dibagi menjadi empat kelompok, yaitu sifat nafsiyah, salbiyah, ma’aniy dan
ma’nawiyah. Satu sifat yaitu wujud (ada) termasuk sifat nafsiyah. Sifat qidam
baharu), qiyamuh bi nafsih (Ia berdiri dengan sendirinya) dan wahdaniyah (esa
atau satu) termasuk dalam sifat salbiyah. Tujuh sifat berikutnya yaitu hayah
kelompok sifat ma’aniy. Selanjutnya tujuh sifat masuk dalam kelompok sifat
akhir bab pertama ini Basioeni Imran menyebutkan sifat-sifat yang mustahil bagi
aliran Asy`ariyah113. Pembicaraan tentang sifat Tuhan diawali oleh pandangan al-
112
Secara sederhana Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah berarti golongan yang berpegang pada sunnah
dan merupakan mayoritas. Terminologi ini banyak digunakan setelah timbulnya aliran al-
Asy`ariyah dan al-Maturidiyah (Nasution H. , 2013: 65). Al-Imam al-Hafiz al-Zabidi (w. 1205
H.) dalam kitab Ithaf al-Sadah al-Muttaqin (II/6) menyatakan: “Bila Ahl al Sunnah wa al-
Jama`ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut mazhab al-Asy`ari dan al-
Maturidi”. Abu al-Fadhl bin Abdussyakur dalam kitab al-Kawakib al-Lumma`ah mengatakan:
“Yang disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada
sunnah Nabi SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal
lahiriyah serta akhlak hati (Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2016: ix; 15). Dalam
perkembangannya, Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah tidak lagi dipahami sebagai aliran tapi
merupakan manhaj al-fikr atau metode berpikir. Hal ini dapat dilihat dari definisi yang
diberikan oleh Siradj: “Ahlussunnah wal Jama`ah adalah orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-
dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran” (Siradj, 2008: 8).
113
Aliran ini dinisbatkan kepada Abu al-Hasan `Ali Ibn Isma`il al-Asy`ari lahir di Basrah tahun
260 H. / 873 M. dan wafat di Bagdad pada tahun 324 H. / 935 M., keturunan dari Abu Musa al-
Asy`ari (seorang perantara atau juru runding dalam tahkim mengakhiri perang Shiffin antara
Ali bin Abu Thalib vs. Mu`awiyah bin Abu Sufyan). Di masa mudanya ia belajar pada tokoh
Mu`tazilah yang terkenal, al-Jubbai, mempelajari dan mendalami serta mengikuti ajaran-ajaran
Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun. Saat berusia 40 tahun ia menyendiri di rumahnya sendiri
selama 15 hari. Ia kemudian pergi ke masjid Basrah dan di depan orang ramai ia menyatakan
bahwa ia mula-mula mengatakan Alquran itu makhluk; Tuhan tidak dapat dilihat mata kepala;
perbuatan buruk manusia sendiri yang memperbuatnya (semua adalah pendapat aliran
Mu`tazilah). Kemudian ia mengatakan: “Saya tidak lagi memagangi pendapat-pendapat
tersebut, saya harus menolak faham-faham orang Mu`tazilah dan menunjukkan keburukan-
keburukan dan kelemahan-kelemahannya.” Sikap itu diambilnya karena khawatir atas
perpecahan umat Islam antara kaum rasionalis dan tekstualis. Karena itu al-Asy`ari mengambil
jalan tengan antara keduanya. Karyanya yang terkenal ada tiga: (1) Maqalat al-Islamiyyin
(Pendapat-pendapat Golongan-golongan Islam); (2) al-Ibanah `an Ushul al-Diniyah
(Keterangan Tentang Dasar-dasar Agama); dan (3) al-Luma (Sorotan) (Hanafi, 1990: 58-60;
Nasution H. , 2013: 66-69; Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2016: 26-30). Tentang
doktrin akidah al-Asy`ari dapat dibaca lebih lanjut dalam: Kamal. (1995). “Kekuatan dan
Kelemahan Paham Asy`ari Sebagai Doktrin Akidah” dalam Rachman (ed.), Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah:131-146; Madjid. (1992) . Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah
Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan: 269-285.
344
Asy`ari yang berada di tengah antara aliran Mu`tazilah di satu pihak dengan aliran
(bila kaifa). Sifat Tuhan bukan esensi Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan zat Tuhan
tertentu (Hitti, 2002: 544). Konsep bila kaifa ini juga digunakan oleh Basioeni
Sama` artinya mendengar, dan i`tiqad dengan sama` itu kita i`tiqad-kan
bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan sama` dan Ia mendengar akan tiap-tiap
sesuatu sama ada perlahan atau nyaring, tetapai sama`-Nya (Ia
Mendengar) bukan seperti kita mendengar, karena kita mendengar dengan
wasithah telinga dan sama` Allah (Ia Mendengar) bukan dengan wasithah
sesuatu.
………………………………………………………………………………
tetapi bashar-nya (Allah Ta`ala Melihat) bukanlah seperti bashar-nya kita
karena bashar kita yakni kita melihat dengan wasithah mata dan bashar
Allah SWT bukan dengan wasithah sesuatu (Imran M. B., 1918-a: 13).
Selanjutnya penjelasan lebih lengkap tentang para guru al-Asy`ari, proses peralihannya dari
seorang Mu`tazilah menjadi mendirikan aliran sendiri dan ulasan kitab-kitabnya dapat dibaca
dalam: Asep Saifuddin Chalim. (2012). Membumikan Aswaja, Pegangan Para Guru NU: 80-
95.
345
(telinga dan mata) karena Tuhan mendengar dan melihat tidak dengan
lanjut oleh para tokoh ulama pengikutnya.115 Al-Juwaini116 dalam kitab al-Irsyad
membagi sifat Tuhan kepada sifat nafsiyah dan ma`nawiyah. Sifat nafsiyah adalah
sifat itsbat (positif) bagi Zat yang selalu ada sepanjang Zat ada, tanpa dikarenakan
sesuatu yang ada pada Zat. Sifat nafsiyah ialah qidam, berdiri sendiri (qiyamuh bi
ukuran. Sifat ma`nawiyah adalah yang timbul (ada) karena sesuatu illat yang ada
114
Dalam memahami sifat Tuhan, diduga kuat Basioeni Imran juga mengikuti pendapat gurunya
Rasyid Ridha (yang terikat dengan pandangan Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah) yang berpegang
teguh pada pemahaman Alquran secara tekstual dan tidak berkehendak sama sekali
menggunakan akal rasional. Sifat-sifat Tuhan selayaknya dikembalikan pemahamannya kepada
Allah dan Rasulnya. Terhadap ayat-ayat tajassum Rasyid Ridha tidak mau menafsirkan atau
menakwilkannya. Dengan demikian, Rasyid Ridha juga mengikuti konsep bila kaifa-nya Al-
Asy`ari.
115
Tokoh-tokoh ulama aliran Asy`Ariyah antara lain: (1) Al-Baqillani (w. 403 H.); (2) Ibn Faurak
(406 H.); (3) Ibn Ishaqal-Isfaraini (w. 418 H.); (4) Abdul Kahir al-Bagdadi (w. 429 H.); (5)
Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H.); (6) Abdul Muzaffar al-Isfaraini (w. 478 H.); (7)
Imam al-Ghazali (w. 505 H.); (8) Ibn Tumart (w. 524 H.); (9) As-Syihristani (w. 548 H.); (10)
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H.); (11) Al-`Iji (w. 756 H.); dan (12) Al-Sanusi (w. 895 H.)
(Hanafi, 1987: 110).
116
Al-Juwaini, namanya Abu al-Ma`ali bin Abdillah, lahir di Naisabur (Iran) dan kemudian
tinggal di Bagdad. Ia ahli bidang Ushul Fikih dan Theologi Islam. Ia menjunjung tinggi
kekuasaan akal pikiran mengikuti jejak al-Baqillani dan al-Asy`ari, dan karena hal tersebut
menimbulkan kemarahan ahli hadis. Akhirnya ia meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan
bertempat tinggal di Mekah dan kemudian di Madinah untuk mengajar di sana. Karena
kegiatannya di Mekah dan Madinah maka ia digelari dengan “Imam al-Haramain”. Setelah
Madrasah Nizamiyah didirikan di Naisabur, al-Juwaini kemudian diminta kembali ke
negerinya dan mengajar di sana (Hanafi, 1987: 112; 1990: 64).
117
Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf, kelahiran Tilimsan, Aljazair. Mula-
mula ia belajar kepada ayahnya sendiri dan ulama-ulama terkemuka di negerinya, kemudian
346
merumuskan secara praktis menjadi 20 sifat wajib bagi Allah (Tim Aswaja NU
Center PWNU Jawa Timur, 2016: 131-132). Salah satu kitab al-Sanusi yang
terkenal adalah Ummu al-Barahin disebut juga Aqidah al-Tauhid kecil atau lebih
dikenal dengan nama al-Risalah al-Sanusiyah. Di dalam kitab kecil ini sifat-sifat
Tuhan dan Rasul-Nya diformulasi dan dikategorisasi lebih jelas. Sifat-sifat Tuhan
dan Rasul-Nya dibagi menjadi sifat wajib, mustahil dan jaiz. Sifat wajib ada 20
sifat, yaitu 6 sifat nafsiyah, 7 sifat ma`ani, dan 7 sifat ma`nawiyah. Sifat mustahil
ada 20 juga, yaitu kebalikan dari sifat-sifat wajib. Sifat jaiz ada satu, yaitu bahwa
segala pekerjaan Tuhan bersifat Jaiz. Al-Sanusi juga merinci sifat Rasul menjadi
tugas risalahnya) dan fathanah (cerdas, pandai). Sifat mustahil bagi Rasul-Nya
juga empat yaitu kebalikan dari sifat wajib. Sedangkan sifat jaiz bagi Rasul ada
satu, yaitu mempunyai sifat kemanusiaan yang tidak mengurangi martabat mereka
dan mendetil atau dengan kajian yang lebih mendalam. Hal ini, sebagaimana telah
masyarakat yang menjadi sasaran atau pembaca kitab Bidayah al-Tauhid. Basioeni
Imran tidak berupaya memberi takwil apalagi tafsir yang filosofis agar tidak
melanjutkan pelajarannya di kota Aljazai pada seorang ulama bernama Abdur Rahman
Attsa`alibi. Para ulama Maghribi (negara-negara Afrika Utara) menganggapnya sebagai
pembangun Islam karena jasa dan karyanya dalam lapangan keagamaan dan ketauhidan. Di
antara karyanya adalah: (1) `Adidah Ahl al-Tauhid (disebut juga Aqidah al-Tauhid besar) dan
ulasannya yang berjudul Umdah Ahl al-Tauhid wa al-Tasdid; (2) Umm al-Barahin (disebut
juga Aqidah al-Tauhid kecil).
347
untuk tidak menjelaskan secara detil sifat-sifat Tuhan tersebut adalah mengikuti
beriman kepada sifat kalam Allah, Basioeni Imran menulis sebagai berikut:
Kalam artinya berkata-kata dan i’tiqad dengan kalam itu kita i’tiqad-kan
bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan kalam dan kalam-Nya (perkataan-Nya)
tiada menyerupai akan kalam (perkataan) kita. Karena, perkataan kita
makhluk (yang dijadikan) pada kita, lagi dengan wasithah alat daripada
mulut dan lidah dan dua bibir, dan kalam Allah SWT bukan demikian, dan
kalam Allah itu Mahasuci daripada huruf dan suara. Allah Ta’ala
mutakallim (berkata-kata) dan mustahil atasnya lawanan kalam yaitu
bakam (kelu dan bisu) (Imran M. B., 1918: 12).
Hal yang sama juga dilakukan Basioeni Imran saat menjelaskan sifat sama` dan
Tuhan mempunyai sifat. Meskipun demikian, sifat Tuhan tidaklah sama dengan
sifat yang ada pada manusia. Dari pandangannya yang demikian, dapat dikatakan
“Malaikat ialah hamba Allah Ta’ala yang semata-mata taat akan Allah dan tiada
sekali-kali mereka itu mendurhakai akan Dia” (Imran M. B., 1918: 15). Karena
malaikat adalah makhluk Allah yang ghaib, maka tidak ada yang mengetahui
hakikatnya melainkan Allah. Manusia tidak dapat melihat rupa jism malaikat
karena ia jism yang halus. Berbeda dengan para nabi yang dimungkinkan melihat
348
malaikat karena itu bersifat khushushiyah supaya para nabi menerima segala
perkara agama dan hukum-hukum dari malaikat itu. Manusia tidak wajib
Memadai iman dengan malaikat itu dengan ijmal dan yang wajib
mengetahuinya dengan tafshil (uraian satu-satu) yaitu Jibril, Mikail, Israfil,
‘Izrail, Ridwan, Malik, Raqib, ‘Atid. Maka jadi kafir orang yang ingkar
akan satu dari pada yang tersebut itu tidak akan yang lain, demikian kata
mereka itu (Imran M. B., 1918, hal. 16).
Penjelasan Basioeni Imran tentang iman kepada malaikat ini sama dengan doktrin
satunya adalah wajib percaya kepada adanya malaikat, yaitu makhluk halus yang
diciptakan Allah dari cahaya. Jumlah mereka banyak sekali, tetapi yang wajib
dipercayai secara terperinci adalah 10, yaitu: Jibril, Mikalil, Israfil, Izrail, Munkar
dan Nakir, Raqib dan Atid, Malik dan Ridwan (Chalim, 2012: 75-76).
Perbedaannya hanya pada malaikat Munkar dan Nakir yang tidak disebutkan oleh
empat, terdiri dari shuhuf-shuhuf dan kitab-kitab. Shuhuf Syis sebanyak 60,
shuhuf Ibrahim 30, shuhuf Musa (sebelum Taurat) 10 dan ditambah empat kitab
349
(Taurat Nabi Musa, Zabur Nabi Daud, Injil Nabi Isa dan Alquran Nabi
Muhammad). Selanjutnya bagi umat Islam sudah cukup memadai beriman atau
percaya bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab dengan ijmal melainkan
Imran ini sama dengan keyakinan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah seperti yang
dijelaskan oleh Chalim (2012: 75) bahwa kaum muslimin wajib mempercayai
adanya kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah kepada para rasul-Nya untuk
disampaikan kepada umatnya. Kitab suci yang diturunkan Allah banyak sekali,
tetapi yang wajib diketahui secara terperinci ada empat, yaitu Taurat, Zabur, Injil
dan Alquran.
dan Alquran. Khusus terhadap Injil, yang wajib diimani adalah kitab yang
diturunkan Allah kepad Nabi Isa al-Masih, bukan kepada kitab-kitab yang dibaca
oleh orang-orang sekarang. Menurut Basioeni Imran, kitab yang dibaca orang
sekarang ada empat naskah yang dikarang oleh empat orang yang sebagian
mereka tidak melihat Isa AS. sama sekali. Keempat kitab tersebut saling
sekitar dua ratus tahun setelah nabi Isa diangkat ke langit. Tetapi saat ini hanya
empat kitab yang dibaca, yaitu: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes (Imran M.
Allah mengirim beberapa orang menyampaikan perintah Allah untuk berbuat baik
350
dan melarang berbuat buruk untuk semua manusia. Allah kuatkan kerasulan
mereka dengan tanda-tanda yang zhahir dan mukjizat. Nabi adalah manusia yang
pasti, namun yang disebutkan di dalam Alquran ada 25 orang mulai dari Nabi
Adam AS. sampai Muhammad SAW. Menurut sebagian ulama jumlah Rasul ada
313 orang dan Nabi 124.000 orang, sebagian lagi mengatakan setengahnya.
Terkait mukjizat yang menyertai para nabi atau rasul, Basioeni Imran
mendefinsikannya:
didakwahkan oleh para Rasul karena setiap dakwah yang tiada disertai dalil
mereka dengan orang yang mendakwahkan nubuwah dengan dusta (nabi / rasul
palsu). Berbeda dengan mukjizat, sihir adalah suatu perkara yang menyalahi adat
terjadi karena beberapa sebab. Jika Mukjizat terbit dari nafsu yang bersih
(melahirkan kebaikan dan petunjuk), sedangkan sihir terbit dari nafsu yang jahat
351
mana karomah adalah perkara yang menyalahi adat yang ada pada waliy
nabi tentang sifat-sifat wajib bagi para nabi (shidq = benar; amanah =
menyembunyikan; dan ghaflah = lali), sifat-sifat jaiz (segala yang melekat pada
manusia seperti makan, minum, tidur dengan mata, dsb.). Basioeni Imran
menjelaskan hikmah datangnya penyakit pada para nabi / rasul, antara lain:
menambah besar pahala, kesabaran dan ketabahan para nabi / rasul; supaya orang
lain tahu dunia ini tempat bala’ dan cobaan; agar tidak menuhankan para nabi /
rasul saat melihat mukjizat mereka; agar orang lain tetap menganggap para nabi /
rasul itu hamba Allah yang lemah untuk menolak ketentuan Allah. Harus juga
dibawa para rasul karena adanya perbedaan umat yang dihadapi, masa, tempat, hal
dan tabiat (Imran M. B., 1918-a: 26-31). Seperti yang telah dinyatakan di atas, al-
menjelaskan bahwa Rasul-Nya memiliki empat sifat wajib dan empat sifat
mustahil serta satu sifat jaiz sama seperti yang dijelaskan oleh Basioeni Imran
dalam kitabnya ini. Oleh karena itu, jelas bahwa pemahaman tentang iman kepada
Nabi ini mengikuti pandangan al-Sanusi dan dengan demikian termasuk dalam
aliran Asy`ariyah. Demikian juga dengan keyakinan adanya mukjizat bagi Rasul
352
juga merupakan salah satu dari ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah (Hanafi,
dengan para nabi terdahulu. Ada tiga perbedaan antara Nabi Muhammad dengan
para nabi dan rasul yang lain, yaitu: pertama, ia seafdal-afdal nabi dan rasul dan
manusia dan jin; ketiga, bahwa ia kesudahan nabi-nabi maka tiada ada lagi nabi
kemudiannya. Syariat Islam itu bersetuju [bersesuaian] dengan segala umat pada
segala masa dan hal, dan karenanya tidak diperlukan lagi nabi setelahnya karena
menjelaskan mukjizat Nabi Muhammad banyak, tetapi setengah dari semua itu
melemahkan akal dan pikiran ahli akal dan pikiran. Mukjizat lainnya adalah
keluar air dari celah-celah jari pada saat musafir (saat bepergian) serta
tentang sirah (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Sirah nabi diawali dengan
penjelasan singkat kemuliaan sifat dan perilaku Rasulullah Muhammad SAW. Ada
dan Islam yaitu mengetahui nasab (bangsa) nabi kita SAW. maka yang demikian
wajib seperti kata setengah ulama kalam” (Imran M. B., 1918-a: 35). Atas dasar
353
Nabi Muhammad, yaitu Abdullah wafat saat ia berusia dua tahun, hal yang
saat Muhammad baru berusia dua bulan di dalam rahim ibunya Aminah). Dalam
Madinah, wafat dan anak-anak Nabi Muhammad, para khulafa al- rasyidin.
Di bagian akhir bab tentang iman kepada Nabi, Basioeni Imran membahas
Imran mengatakan:
Imran dalam bab kelima kitabnya Bidayah al-Tauhid. Iman kepada hari kemudian
bermakna: “Membenarkan bahwa tiada boleh tiada akan datang dan zhahir
padanya sekalian barang yang warad (datang) di dalam Quran dan Hadis pada hal
keadaannya” (Imran M. B., 1918-a: 43). Hari akhir sendiri dimaknai oleh Basioeni
Imran sebagai hari yang besar susahnya, manusia dibangunkan dari alam
amalnya untuk selanjutnya dibalas dengan nikmat atau siksa, ialah hari kiamat
atau hari akhir, akhir dari seluruh hari. Tercakup di dalam keyakinan kepada hari
6) Shirat (titian);
Munkar dan Nakir, yang akan mengajukan pertanyaan tentang Tuhan, Nabi,
agama, seluruh kewajiban yang telah diperintahkan Allah. Jika mayat itu orang
beriman yang beramal saleh, maka ia akan mampu menjawab pertanyaan malaikat
tersebut dengan taufik atau petunjuk Allah dengan jawaban yang benar tanpa
gentar dan takut kepada kedua malaikat. Setelah itu Allah akan membukakan
kepadanya inilah balasan bagi orang yang selama di dunia berada di jalan yang
lurus. Jika mayat tersebut termasuk orang kafir atau munafik, maka ia akan heran
dan tidak tahu apa yang hendak dijawabkan kepada kedua malaikat Munkar dan
355
Nakir. Kedua malaikat itu akan menyiksanya dan dibukakan pandangannya dan
pintu neraka serta bermacam-macam siksa untuknya. Kedua malaikat itu berkata
kepada mayat bahwa itulah balasan orang yang kafir kepada Tuhan dan mengikuti
Keyakinan berikutnya adalah bahwa semua manusia yang telah wafat akan
di suatu tempat yang bernama mauquf (mahsyar). Di tempat tersebut juga akan
berkumpul semua jin, malaikat dan binatang. Setelah semuanya berkumpul, maka
Allah akan menghisab setiap orang atas apa yang diperbuatnya (baik dan jahat).
Kepada manusia akan diperlihatkan segala perbuatan baik atau jahatnya sekecil
apa pun perbuatan itu. Selanjutnya harus diyakini bahwa setelah dilakukan hisab,
setiap orang akan ditimbang perbuatan baik dan jahatnya. Jika perbuatan baiknya
lebih berat daripada perbuatan jahatnya, maka akan diberikan kepadanya kitab
atau surat dengan tangan kanan dan ia memperoleh keuntungan yang besar.
kitabnya dengan tangan kiri dan ia merugi dengan kerugian yang nyata (Imran M.
melewatinya bagaikan secepat kilat atau secepat kuda atau yang berjalan lambat di
atasnya. Orang-orang kafir dan mukmin yang berbuat maksiat (durhaka) mereka
akan jatuh ke dalam api neraka. Kita juga harus meyakini bahwa Rasulullah
mukmin yang maksiat (durhaka). Sedangkan orang kafir tidak akan mendapatkan
syafa`at. Basioeni Imran juga menulis bahwa di dalam surga ada sungai bernama
Di akhir bab kelima kitab Bidayah al-Tauhid dibahas tentang surga dan
neraka. Mukmin yang taat akan masuk surga dan kekal di dalamnya. Orang kafir
atau munafik akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Sedangkan mukmin
yang maksiat jika Allah ampunkan maka akan masuk surga dari mula-mula dan
kekal selamanya. Namun jika tidak diampunkan Allah maka ia akan masuk neraka
1918-a: 49).
manusia di mahsyar, adanya timbangan, shirath, dan syafa`at, surga dan neraka
adalah setiap orang muslim wajib mempercayai adanya hari akhirat. Permulaan
hari akhirat bagi setiap orang adalah sesudah mati, dengan melalui proses dan
tahapan sebagai berikut. Setiap orang akan mati apabila jangka usianya sudah
habis. Setelah mati ia akan dikubur. Dalam kubur ia akan ditanya oleh malaikat
Munkar dan malaikat Nakir tentang siapa Tuhanmu, siapa nabimu, siapa imammu,
357
dan pertanyaan-pertanyaan lain. Orang yang jahat akan disiksa di dalam kubur.
Kemudian pada saatnya nanti terompet akan dibunyikan sehingga seluruh orang
yang mati akan bangun kembali dan berkumpul di padang Mahsyar. Setelah itu
akan ada hisab, yaitu perhitungan pahala dan dosa manusia. Di padang Mahsyar
akan ada syafa`at (pertolongan) dari Nabi Muhammad SAW dengan izin Allah
SWT. Lalu akan ada timbangan untuk menimbang pahala dan dosa. Akan ada
jembatan shirath al-mustaqim, yang dibentangkan di atas neraka yang akan dilalui
oleh semua manusia. Akan ada telaga Kautsar di dalam surga, dimana orang-orang
beriman akan dapat minum di sana. Orang yang lulus ujian dengan meniti
jembatan tersebut akan selamat dan masuk surga Jannatun Na`im, sedangkan
orang kafir akan jatuh ke neraka. Orang yang baik akan langsung masuk surga dan
mukmin yang berdosa dan mati sebelum bertaubat akan masuk ke dalam neraka
buat sementara, dan sesudah dihukum akan dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam
surga untuk selama-lamanya. Orang mukmin yang baik akan diberi nikmat apa
saja yang ia sukai di dalam surga, dan akan diberi nikmat tambahan yang paling
besar dan paling lezat, yaitu melihat Allah SWT. Dengan demikian, jelas bahwa
doktrin keimanan kepada hari akhir yang disajikan Basioeni Imran dalam bab
Bab terakhir atau bab keenam dari kitab Bidayah al-Tauhid menjadi
pembahasan yang cukup penting, karena terkait dengan pemikiran Basioeni Imran
tentang qadha dan qadar. Beriman kepada qadha dan qadar menurut Basioeni
Imran adalah:
358
Kita i’tiqad-kan bahwa sekalian perbuatan hamba sama ada yang ikhtiar
seperti berdiri dan duduk, makan dan minum, atau yang darurat seperti
gugur (jatuh) yaitu adalah ia dengan iradat Allah Ta’ala dan takdir-Nya
pada azali dan dengan ilmu-Nya (pengetahuan-Nya) dengan dia sebelum
waktunya (Imran M. B., 1918: 50).
Dengan definisi tersebut terkesan bahwa manusia tidak memiliki kuasa apa pun
hamba memiliki juzu’ (suku-suku) iradat yang dengan iradat itu ia kuasa
juga memiliki akal yang mampu bedakan antara kebajikan atau kejahatan. Jika
hamba memalingkan iradatnya kepada kejahatan maka lahirlah kebajikan itu atas
lahirnya perbuatan itu atas tangannya. Perbuatan manusia dapat dilihat dari dua
sudut pandang. Pertama perbuatan dengan ikhtiar dan iradat dirinya seperti ia
makan dan minum. Kedua, perbuatan yang bukan dengan ikhtiarnya seperti gugur
(terjatuh). Untuk perbuatan yang dengan ikhtiar dan iradat dirinya, maka hamba
tersebut akan mendapatkan pahala atau dosa. Sedangkan perbuatan hamba yang
darurat maka ia tidak mendapat pahala atau dosa (Imran M. B., 1918-a: 50-51).
Allah itu adalah mengikuti hukum sebab akibat. Sebagai contoh, saat menjelaskan
Bahkan boleh dikatakan bahwa mereka itoe hamba2 Allah jang Shalih
tentang mereka itoe menoeroet soennah Allah dan djalannja pada
machloeknja karena Allah Ta’ala mendjadikan segala sesoeatoe dengan
sebabnja, mitsalnja kekajaan sebabnja oesaha seperti berkeboen,
bertoekang, berniaga, dan lainnja maka barang siapa mendjalani sebab-
sebabnja nistjaja dapatlah ia kekajaan atau kesenangan baik poen ia
Moeslim atau kafir, dan barang siapa meninggalkan sebab-sebab kekajaan
atau kesenangan hanja memangkoe tangan atau berselimoet dengan
selimoet kemalasan, bersenang diri atau berharapkan barang jang di dalam
tangan orang nistjaja djadilah ia papa dan tidak menaroeh apa2 maka
djadilah ia miskin dan faqir dan hina sama ada ia Moeslim atau kafir.
Maka barang siapa jang memperbaikkan perdjalanan doenianja dan
achiratnja nistjaja djadilah ia baik dan shalih di dalam kedoeanja dan inilah
haloean Agama Islam jang diseroe sekalian manoesia kepadanja. Dan ialah
soennah Allah pada machloeknja maka firmannja:
menjelaskan berbagai hal lain yang terkait dengan keimanan dalam bentuk tanya
jawab (Imran M. B., 1918-a: 52-59). Berikut ini beberapa intisari dari tanya jawab
seputar keimanan menurut pendapat Basioeni Imran. Akal manusia terbatas untuk
mengetahui hakikat zat Allah, dan apa pun yang terlintas di pikiran tentang Allah,
maka semua itu tidak sama dengan Allah. Cara mengatahui Allah adalah dengan
indah dan menakjubkan akal manusia. Ibarat melihat satu kitab, maka pastilah ada
yang menulis kitab tersebut, meskipun penulisnya tidak bisa dilihat atau didengar
beritanya. Demikian juga Allah, bisa diketahui ada-Nya dengan melihat segala
ciptaannya yang sempurna. Memahami wujud Allah yang tidak dapat dilihat
dengan mata kepala ibarat mengetahui wujudnya ruh (nyawa). Ruh diketahui
360
wujudnya dari bekas ruh itu. Keyakinan terhadap kesempurnaan Allah didasarkan
ruh, karena keterbatasan akal. Membahas hakikat ruh hanya menghabiskan waktu,
karena akal manusia tidak akan sampai pada memahami hakikatnya. Melihat
Allah dengan penglihatan yaitu mungkin (boleh) pada akal jatuh di dalam syirik
tanpa kaifiyat pada hari kiamat. Sedangkan bagi orang-orang kafir, maka akan
dibanding dengan umat nabi-nabi lain, dan seafdal-afdal umat Muhammad adalah
para sahabat yang berhimpun dengan Nabi dan beriman kepadanya. Dari para
sahabat tersebut maka yang paling afdal adalah khalifah yang empat (Abu Bakar,
hadiah pahala dari orang yang hidup kepada orang yang telah meninggal:
“Sedekah adalah barang yang diingini dan doa dan tadharru’ kepada Allah itu
dituntut kedua-duanya memberi manfaat bagi orang yang hidup dan orang mati”
(Imran M. B., 1918-a: 56). Berkaitan dengan wujud surga dan neraka, Basioeni
Imran mengatakan bahwa surga melengkapi atas dua nikmat ruhani dan jasmani
demikian juga neraka melengkapi atas azab jasmani dan azab ruhani. Surga dan
neraka besifat kekal dan keduanya telah ada wujudnya sekarang. Berkenaan
para ulama memilih taklid kepada empat imam mazhab (Abu Hanifah al-Nu’man
361
ibn Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i dan Ahmad bin
Hanbal). Para mujtahid tidak berbeda pendapat pada persoalan ushul agama dan
ibu-ibu furu’nya karena penetapannya dengan dalil yang qath’i. Para mujtahid
berbeda pendapat hanya pada sebagian masalah furu’ [cabang] karena tiada
penetapannya dengan dalil yang qath’i. Karena para mujtahid telah mengerahkan
mendapatkan dua pahala jika hasil ijtihadnya benar dan mendapatkan satu pahala
Isra Mikraj merupakan sebuah peristiwa luar biasa yang dialami oleh
Rasulullah Muhammad SAW. Peristiwa Isra Mikraj sangat terkait dengan masalah
keimanan, karena peristiwanya sulit diterima oleh akal dan logika manusia. Isra
Mikraj hanya bisa diterima kebenaran beritanya oleh orang-orang yang memiliki
keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasulnya. Oleh karena itu, pendapat
Basioeni Imran tentang hal ini dimasukkan dalam aspek pemikiran teologis.
Secara khusus Basioeni Imran menjelaskan peristiwa Isra Mikraj dalam sebuah
Pada bagian awal kitab Nur al-Siraj Basioeni Imran menjelaskan latar
kalangan umat Islam pada setiap malam tanggal 27 Rajab diadakan acara
pembacaan kisah Isra Mikraj dan bahkan ditambah dengan cerita-cerita Rasulullah
362
yang lainnya. Karena masyarakat sering mendengar cerita yang panjang, maka
untuk membantu masyarakat agar lebih mudah memahami peristiwa Isra Mikraj
Di bagian awal kitab Nur al-Siraj, Basioeni Imran menjelaskan makna Isra
dan Mikraj:
Artinya Isra ialah berjalan malam yakni Nabi SAW berjalan atau pergi
pada satu malam dari Mekah al Musyarrafah ke Baitul Maqdis di negeri
Syam. Adapun arti Mikraj maka ialah naik, yakni Nabi SAW pada malam
itu jua naik ke langit atau ke alam yang di atas. Dan ceritera Isra itu
tersebut di dalam Alquran seperti yang akan datang tafsir ayat:
Hingga akhirnya. Dan adapun Mikraj maka tiada disebut di dalam Quran
hanya ia disebut di dalam hadis-hadis Nabi SAW dan yang paling shahih
riwayatnya ialah yang diriwayatkan oleh dua syaikh al-Bukhari dan al-
Muslim (Imran M. B., 1938-c: 4).
Menarik untuk diperhatikan bahwa yang maksud naik ke langit juga diberi
tambahan penjelasan atau naik ke alam yang di atas. Basioeni Imran berupaya
menjelaskan bahwa naik yang dimaksud tidak bermakna tunggal ke langit dalam
pengertian umum, tetapi menuju suatu alam yang berada di atas atau alam yang
para pembaca tidak terpaku pada satu pendapat saja. Berikut ini beberapa contoh
terjadinya Isra Mikraj, jumhur (kebanyakan ulama) menyatakan Isra dan Mikraj
terjadi pada satu malam. Banyak yang mengatakan terjadi di dalam bulan Rabiul
Awal setahun sebelum hijrah. Pendapat al-Zuhriy menyatakan terjadi pada bulan
363
Rajab tahun kelima kenabian dan pendapat ini dikuatkan oleh al-Qurthubiy dan al-
Nawawi.
Berkaitan dengan persoalan apakah Rasulullah Isra dan Mikraj jasad dan
ruhnya atau ruhnya saja atau hanya dalam mimpi, Basieoni Imran juga
Rasulullah naik dengan ruh dan badannya; satu kelompok lagi menyatakan naik
dengan ruhnya saja dan tiada lenyap (tanpa dengan) badannya, namun bukan
manusia berbagai hal agar dapat dilihat dalam mimpi. Basieoni Imran sendiri
Isra dan Mikraj dengan badan dan ruhnya berdasarkan pada pendapat Ibnu Ishaq
yang mengutip riwayat dari Aisyah dan Muawiyah yang mengatakan: adalah Isra
dengan ruhnya dan tiadalah lenyap jasadnya yakni ruhnya saja yang pergi dan
tubuhnya tinggal. Riwayat ini juga dikutip oleh Hasan al-Bashriy (Imran M. B.,
1938-c: 4-5). Pendapat Basioeni Imran bahwa Rasulullah Isra dan Mikraj dengan
Selain apakah Isra Mikraj dijalani Rasulullah dengan ruh dan jasad,
persoalan berikutnya yang juga diperdebatkan adalah apakah Isra Mikraj dijalani
dalam keadaan jaga atau mimpi. Basioeni Imran menyatakan bahwa Isra dan
didasarkan pada tafsir Ibnu Abbas terhadap Q.S. Al-Isra’ (17): 60:
Ibnu Abbas menafsirkan bahwa kata “ ”الرء ياdalam potongan ayat tersebut adalah
Atas dasar tafsir Ibnu Abbas ini, Basieoni Imran menyatakan bahwa Rasulullah
dalam keadaan jaga bukan dalam keadaan mimpi saat menjalani Isra dan Mikraj.
Alasan berikutnya adalah adanya penolakan yang kuat dari orang-orang Quraisy.
Jika dijalani dalam keadaan mimpi tidak mungkin mendapatkan penolakan yang
dadanya, hatinya dibasuh dan disucikan untuk selanjutnya diisi dengan iman dan
kejadian pembelahan dada menjelang Isra dan kejadian itu hanya sekali yaitu saat
Rasulullah masih kecil dan dalam pengasuhan Bani Sa’ad. Sesampai di Masjid al-
Aqsha sebelum Mikraj, Rasulullah mengimami sembahyang dan ruh para rasul
menjadi makmumnya. Kisah Mikraj yang ditulis selanjutnya oleh Basioeni Imran
tidak berbeda jauh dengan yang telah umum diketahui. Ditemani malaikat Jibril
dan dengan mengendari buraq Rasulullah Muhammad SAW. mulai naik ke langit
pertama hingga langit ketujuh. Pada setiap langit Rasulullah bertemu para nabi,
yaitu: Adam AS. (langit pertama), Yahya AS. dan Isa AS. (langit kedua), Yusuf
AS. (langit ketiga), Idris AS. (langit keempat), Harun AS. (langit kelima), Musa
AS. (langit keenam) dan Ibrahim AS. (langit ketujuh). Terkait dengan bertemunya
365
Dengan demikian, menurut Basioeni Imran, para nabi yang ditemui oleh
Rasulullah di setiap tingkatan langit itu adalah ruh mereka saja, tidak disertai
digambarkan oleh Basieoni Imran sebagai suatu pohon yang buahnya seperti
bin Malik, Rasulullah menyebutkan bahwa Allah mewajibkan atas umatnya lima
tidak dijelaskan oleh Basioeni Imran. Dimungkinkan hal ini dilakukan oleh
perintah sembahyang lima puluh kali sehari semalam, Rasulullah kemudian turun
dan bertemu dengan nabi Musa. Nabi Musa bertanya perintah apa yang diberikan
366
sembahyang lima puluh kali sehari semalam. Nabi Musa kemudian berkata bahwa
disuruh oleh Nabi Musa untuk kembali menghadap Allah dan meminta
kemudian bertemu lagi dengan Nabi Musa dan Nabi Musa meminta agar Nabi
Rasulullah berikutnya sebanyak empat kali dan setiap kembali kepada Allah
dikurangi sepuluh dan yang terakhir dikurangi lima sehingga tinggallah lima kali
Nabi Musa dan menyampaikan saran yang sama bahwa umat Nabi Muhammad
tidak akan mampu melaksanakan sembahyang lima kali sehari semalam. Namun
permintaan terakhir Nabi Musa ditolak oleh Rasulullah dengan alasan malu
kepada Allah. Rasulullah menerima dan rida dengan kewajiban sembahyang lima
kali sehari semalam. Terkait dengan jumlah sembahyang wajib yang lima sehari
semalam, Basieoni Imran mengatakan bahwa di dalam ilmu dan iradat Allah
memang sembahyang itu lima yang Ia tetapkan dan fardukan kepada Nabi
Muhammad dan umatnya. Ilmu dan iradat Allah itu tetap dan tidak bergerak dan
ketujuh untuk bertemu Allah, Basieoni Imran memberikan catatan singkat sebagai
367
berikut:
pemahaman yang benar tentang wujud Tuhan kepada masyarakat agar tidak
Rasulullah bertemu Allah dan Allah bertempat di langit. Ada dugaan hal ini
telah dijelaskan di atas. Basioeni Imran sangat menjaga agar paham ketauhidan
Kisah Isra Mikraj yang ditulis Basioeni Imran dalam kitab Nur al-Siraj
spiritualnya menjalani Isra dan Mikraj kepada orang-orang Quraisy dan tanggapan
mereka. Pada waktu subuh setelah kembali dari Isra Mikraj, Nabi Muhammad
Quraisy lainnya. Mendengar cerita Nabi Muhammad, orang-orang Quraisy itu ada
yang ingkar dan murtad, terutama orang yang lemah iman dan hatinya. Saat
Bakar, maka ia pun membenarkan cerita tersebut. Bahkan jika ada cerita yang
368
bersumber dari Rasulullah yang melebihi cerita Isra Mikraj maka ia akan
dengan menanyakan ciri-ciri Bait al-Maqdis. Maka Allah bukakan atau nyatakan
Bait al-Maqdis kepada Rasulullah dan dengan demikian beliau dapat menjelaskan
cerita Isra Mikraj, sebaliknya orang-orang kafir Quraisy semakin kufur dan
mengatakan apa yang disampaikan Rasulullah adalah sihir yang nyata (Imran M.
teologi Basioeni Imran sangat kental dengan doktrin-doktrin Ahl al-Sunnah wa al-
Jama`ah atau Aswaja atau lebih sering disebut Sunni. Hampir semua uraiannya
bidang hukum ini merupakan yang dominan. Pemikiran hukum yang dimaksud di
sini adalah menyangkut hukum Islam, khususnya dalam bentuk hukum fikih dan
118
Karena sikap tersebut maka Abu Bakar digelari dengan ( الصديقal-Shiddiq).
369
Bermoela meneontoet ilmoe itoe fardloe atas tiap-tiap Moeslim ja`ni laki2
dan perempoean. Adapoen `ilmoe jang fardloe dan moesti ditoentoet dan
diketahoei oleh tiap2 Moeslim ialah `ilmoe `Aqa`idoel Islam dan
hoekoem2 `ibadat seperti sembahjang poeasa dan lainnja dan hoekoem2
halal dan haram. Karena dengan ilmoe itoe tertjapai segala kebaikan dan
terloepoet segala kedjahatan (Imran M. B., 1933-a: 2).
Tidak hanya dominan dalam karya-karyanya, aspek hukum fikih menjadi fokus
masyarakat Sambas.
dahulu dijelaskan secara singkat makna hukum Islam dan beberapa istilah yang
terkait dengannya.
definisi hukum dari para ahli berlainan. Dalam pengertianya yang luas, hukum
1; 18). Hukum Islam, adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari
agama Islam. Sebagai sistem hukum, ia mempunyai beberapa istilah kunci yang
perlu dijelaskan terlebih dahulu. Beberapa istilah tersebut adalah (1) hukum, (2)
hukm dan ahkām, (3) syari`ah atau syari`at, (4) fiqih atau fiqh. Hukum dalam
konsepsi Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur
konsepsi Islam, kerangka hukum ditetapkan oleh Allah yang mengatur relasi,
370
tidak hanya manusia dengan manusia lain, tetapi juga dengan makhluk lainnya.
Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan itu diatur oleh ukuran tingkah
laku yang di dalam bahasa Arab disebut hukm ( )حكمjamaknya ahkām ()احكام. Hukm
( )حكمdalam bahasa Arab bermakna norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur,
patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan
manusia dan benda. Dalam sistem hukum Islam, tolok ukur itu disebut al-ahkam
al-khamsah ( )االحكام الخمسةatau penggolongan hukum yang lima, terdiri dari (1)
Jaiz atau mubah atau ibahah, (2) sunnah, (3) makruh, (4) wajib, dan (5) haram.
Penggolongan yang lima disebut juga hukum taklifi. Selain hukum taklifi juga ada
yang disebut dengan hukum wadh`i ( )وضعyang meliputi sebab, syarat, dan
Selain istilah hukm, dalam pembahasan hukum Islam juga dikenal istilah
syari`at atau syari`ah ()شريعة. Dari segi bahasa syari`ah adalah jalan ke sumber
dan ketentuan Rasululullah baik yang berupa perintah maupun larangan, meliputi
seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia (Ali, 2004: 46). Mahmud Syaltout
tentang aspek keyakinan atau akidah tidak termasuk dalam pembahasan syari`ah.
yang dibuat oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga hasil kajian para ulama dengan
ketentuan atau norma-norma yang merupakan hasil pemahaman para ulama itulah
selanjutnya dikenal dengan istilah fiqh (dalam kaidah bahasa Indonesia ditulis
Fikih itu pada lughah (bahasa) faham dan ilmu pengetahuan, maka
dikatakan “fulan yufaqqih al-khair al-syar” artinya si anu faham atau tahu
akan kebaikan dan kejahatan. Adapun maknanya pada syara` yaitu
mengetahui hukum-hukum syar`i yang tsabit bagi segala perbuatan orang-
orang mukallifin (akil baliqh) ialah seperti wajib, haram, mubah (harus)
mandhub atau sunnah, makruh119 keadaan akad itu shahih atau bathal dan
keadaan ibadah itu qadha atau adaan (tunai). Orang yang tahu ilmu fiqh itu
dinamakan faqih dan jama’nya fuqaha, seperti ulama jama’nya ‘alim
(Imran M. B., 1933-b: 6).
Fiqh dari segi bahasa bermakna “paham” atau “pengertian”. Ilmu fikih
ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-
kitab hadis” (Ali, 2004: 48). Hasil pemahaman para ulama tersebut disusun secara
sistematis dalam kitab-kitab fikih yang disebut dengan hukum fikih. Ketentuan-
ketetentuan dasar yang ada di dalam Alquran dan Sunnah diistilahkan dengan
119
Wajib itu ialah barang yang diberi pahala atas mengerjakannya dan disiksa atas
meninggalkannya. Haram atau mahzhur ialah barang yang diberi pahala atas meninggalkannya
dan disiksa atas mengerjakannya. Mubah barang yang tiada diberi pahala atas mengerjakannya
dan tiada disiksa atas meninggalkannya. Mandhub ialah yang yang diberi pahala atas
mengerjakannya dan tiada disiksa meninggalkannya. Makruh ialah barang yang diberi pahala
atas meninggalkannya dan tiada disiksa atas mengerjakannya (Imran M. B., 1933-b: 6).
372
Sunnah pada umumnya masih bersifat umum dan karena itu perlu dirinci. Hal ini
dipahami agar dapat menjawab berbagai persoalan baru yang muncul. Dari sinilah
para ulama dituntut untuk menggunakan akal atau pemikirannya dalam menggali
istilah ijtihad.
digunakan dalam bidang jurisprudensi (fikih) untuk menyatakan salah satu kaidah
sebuah hukum syariat dan dia tidak menjumpai suatu teks (nash) pun yang
mengacu kepadanya di dalam Alquran dan Sunnah, maka dia harus meminta
bantuan pada ijtihad sebagai ganti teks semisal itu”. Di sini ijtihad berarti
“pemikiran individual”. Jadi, seorang faqih yang tidak menemukan satu teks
sahih pun akan menggunakan pemikiran individual khasnya atau ilham Ilahi dan
diungkapkan dengan istilah ra’y [( ]رأيpendapat) (ash-Shadr & Mutahhari, 1993:
373
44-45).
4.2.2 Sembahyang
yang dibenarkan (uzur). Prihatin dengan kondisi ini, Basioeni Imran kemudian
menulis sebuah kitab berjudul ( تذكير سبيل النجاه في تارك الصالة1931) yang ditujukan
Dalam kitab ini Basioeni Imran menjelaskan beberapa pendapat ulama tentang
status orang yang meninggalkan sembahyang karena malas atau karena alasan
sibuk bekerja. Sebagian sahabat Rasulullah dan tabi’in menyatakan orang yang
sama dengan sebagian sahabat, yaitu kafir orang yang meninggalkan sembahyang.
sampai pada kafir murtad, tetapi berdosa besar, selama yang bersangkutan tidak
bertaubat dan tetap meninggalkan sembahyang maka ia boleh dibunuh. Bagi kaum
mukmin namun juga tidak kafir dan mereka kekal di dalam api neraka (Imran M.
120
Di dalam keseluruhan tulisan ini juga digunakan kata sembahyang karena alasan tersebut.
374
Oleh karena yang demikian hendaklah orang muslim yang beriman dengan
Allah dan hari yang kemudian takut hendak meninggalkan sembahyang
dengan sebab malas atau banyak pekerjaan karena yang demikian tidak
menguzurkannya daripada sembahyang meskipun ia tiada jadi kafir
menurut qaul (perkataan) di nomor 2 [pendapat Imam Syafi’i dan Ahl al-
Sunnah wa al-Jamaah], akan tetapi berkurang ia dosa besar hingga harus
dibunuh dan tumpahkan akan darahnya, maka alangkah besar salahnya dan
dosanya kepada Allah Ta’ala yang menjadikan akan dia (Imran M. B.,
1931: 11).
berdosa besar atau kekal dalam siksa neraka bagi orang yang meninggalkan
Sambas lebih taat dalam menjalankan ibadah sembahyang fardu. Agar masyarakat
lebih baik lagi dalam menjalankan ibadah sembahyang, Basioeni Imran juga
tuntunan tersebut mengikuti mazhab Syafi’i. Hanya dalam hal-hal tertentu saja
Basioeni Imran memberikan perspektif lain, salah satunya adalah dalam hal niat
121
Ibn Rusyd menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan
keengganannya bukan karena menentang kewajiban sembahyang, maka sebagian fuqaha
menetapkan untuk orang tersebut dengan hukuman mati. Sedangkan fuqaha yang lain
mengatakan bahwa orang tersebut dikenakan hukum takzir dan penjara. Beberapa fuqaha
mengatakan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan itu untuk menghukum kekafirannya. Itu
adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Mubarak. Tetapi ada pula yang menilai sebagai
hukuman pidana. Ini adalah pendapat Malik, Syafi`i, dan Abu Hanifah termasuk para
pengikutnya. Sedangkan fuqaha ahli Zhahir adalah fuqaha yang menetapkan hukuman takzir
bagi orang yang meninggalkan sembahyang secara sengaja sampai orang itu sanggup
melakukan sembahyang lagi (Rusyd, 2002:195).
375
Basioeni Imran menyatakan: “Dan maklum tempat niat itu hati” (Imran M.
B., 1931: 13). Meskipun demikian, dijelaskan juga perbedaan pendapat para
Adapun melafalkan atau membaca niat ushalli hingga akhir seperti yang
tersebut maka kata ulama itu sunnat saja dan yang dimaksud itu di hati.
Dan jikalau dilafalkan dengan lidah saja dan tiada di hati niscaya tiada sah.
Dan setengah ulama mengatakan bahwa melafalkan niat itu makruh karena
tiada di-warad pada syarak (Imran M. B., 1931: 14).
Mungkin karena persoalan ini menjadi salah satu perbedaan pendapat para ulama
dan arti niat itu qasad (kehendak) dan tempatnya di hati. Basioeni mengutip ulama
Syafi’iyah yang mengatakan bahwa niat itu meng-qashad sesuatu beserta dengan
gerak hati kepada barang yang ia lihat akan dia bersetuju bagi maksud daripada
menarik manfaat atau menolak mudarat ketika itu jua atau kemudian, dan syarak
itu menentukan akan dia dengan iradat (kehendak) yang berhadap kepada
ulama tersebut mengakui tidak ada dalil Alquran maupun Sunnah Rasul yang
376
menyatakan tempat niat itu di hati, namun jika niat cuma di hati dan tidak
dilafalkan dengan lidah maka itu sudah memadai. Jika ada yang berniat di hati dan
juga dilafalkan dengan lidah itu juga tidak apa-apa. Di akhir penjelasannya,
Basioeni Imran menyatakan bahwa ulama yang sangat berpegang dengan Alquran
dan Sunnah Rasul serta mengikuti jalan Salaf serta takut bid`ad berpendapat
bahwa melafalkan niat itu bid`ah yang tiada diizinkan Allah dan Rasul-Nya. Hal
tentang hukum fikih. Tentu saja pandangan demikian didasarkan pada keragaman
pendapat, baik yang mengatakan niat cukup dihati, sunnah dilafalkan dan yang
yang terlebih penting dari semua itu adalah keinginannya untuk menyampaikan
kepada masyarakat bahwa dalam hukum fikih perbedaan pendapat itu sebuah
pendapat para ulama, Basioeni Imran ingin mengajak pembaca atau masyarakat
apalagi berpecah belah. Meskipun pada akhir penjelasannya dapat diduga kuat
melafalkan niat sembahyang, karena tidak ada dasar dalil, baik Alquran maupun
Sunnah Rasulullah. Jika dugaan ini benar, maka khusus masalah melafalkan niat
Ulama Syafi`iyah menganjurkan supaya hati dan lisan selaras membaca niat (Tim
juga terkadang diperselisihkan oleh para fuqaha adalah membaca doa qunut.
Imam Malik berpendapat bahwa qunut untuk sembahyang subuh adalah sunat.
bahwa qunut dalam sembahyang subuh dilarang, sedangkan tempat qunut hanya
pada sembahyang witir. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa qunut itu untuk
semua sembahyang. Ulama lain lagi berpendapat bahwa qunut hanyalah untuk
sembahyang pada bulan Ramadan. Fuqaha lainnya lagi ada yang berpendapat
bahwa qunut hanyalah dilakukan pada tengah bulan pertama di bulan Ramadan
menulis: “Dan sunnah doa qunut di dalam i`tidal akhir sembahyang subuh dan
i`tidal akhir sekalian sembahyang ketika turun bala’ dan akhir witir setengah
bulan Ramadan” (Imran M. B., Risalah Sembahyang Bacaan dan Artinya, tt: 8).
Penjelasan yang lebih lengkap ditulis Basioeni Imran di dalam kitabnya Tazkir
sebagai berikut:
378
qunut hukumnya sunnah ab`adh yang jika ditinggalkan baik karena sengaja
maupun lupa maka sunnah sujud sahwi dua kali sebelum salam. Pendapat
Basioeni Imran ini sama dengan (mengikuti) mazhab Syafi`i yang menyatakan
hukumnya sunnah ab`adh dan jika ditinggalkan maka dianjurkan untuk sujud
sahwi dua kali (Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2016: 251-252).122
Sembahyang Jumat menjadi salah satu persoalan yang cukup penting dan
menjadi perhatian serius Basioeni Imran. Pada masa tahun 1920-an, banyak
pertanyaan dan permintaan fatwa dari berbagai tempat dan desa kepada Basioeni
Imran mengenai hukum sembahyang Jumat kurang dari empat puluh orang.
(mengulang) sembahyang Jumat yang kurang dari empat puluh orang. Untuk
membahas persoalan ini Basioeni Imran menulis kitab berbahasa Melayu berjudul
Cahaya Suluh: Pada Mendirikan Jumat Kurang Daripada Empat Puluh (امفت فوله
)جهيا سوله فد مندريكن جمعة كورغ درفد. Kitab ini juga ditulis oleh Basioeni Imran dalam
122
Dalil-dalil hadis tentang qunut dapat dibaca dalam : Mustamar. 2016. Dalil-dalil Praktis
Amaliah Nahdliyah: 111-114).
379
versi bahasa Arab berjudul: Al-Nusus wa al-Barahin ‘ala Iqamat al-Jum’ah bima
Jumat yang Kurang dari Empat Puluh Orang). Selain kitab dua versi bahasa
tersebut, Basioeni Imran juga menulis kitab منهل الغاربين في اقامة الجمعة بدون االربعين
yang Asing Tentang Melaksanakan Sembahyang Jumat Kurang dari Empat Puluh
Orang). Kitab ini tidak diterbitkan karena banyak pembahasannya yang tidak
dipahami oleh orang-orang awam. Satu lagi kitab yang ditulis juga membahas
dalam bahasa Arab. Dari keempat kitab tersebut, hanya satu kitab yang ditemukan
dan masih bisa dibaca saat ini, yaitu kitab Cahaya Suluh. Berikut ini akan
hukum sembahyang Jumat kurang dari empat puluh orang. Dijelaskan tentang
orang yang wajib sembahyang Jumat, syarat sah sembahyang Jumat, fardu dan
Oleh karena itu ia mengkaji dan menemukan jawabannya bahwa menurut qaul
meskipun jamaahnya kurang dari empat puluh orang. Namun jika masih
sembahyang Jumat ini. Dalam transformasi hukum Islam, Ibn al-Qayyim al-Jauzy
terjadi karena perubahan dan perbedaan waktu, ruang, kondisi, niat, dan manfaat”.
Sebuah prinsip yang menjadikan hukum Islam lebih elastis (Rahmatullah, 2003:
memenuhi hajat masa dan mayarakat. Inilah yang dilakukan Basioeni Imran
Jumat, tetap dalam konsep bermazhab, yaitu dalam koridor mazhab Syafi`iyah.
wajib atau sebagai syarat sah atau penyempurna sembahyang Jumat (Imran M. B.,
1920: 12).
bahwa pada masa ayahnya menjadi Maharaja Imam, masih banyak didengar
bahwa umat Islam di pedesaan tidak mendirikan sembahyang Jumat jika kurang
382
dari empat puluh orang (Badran, tt: 14). Diduga kuat karena ada permintaan fatwa
dari kampung Sungai Garam Singkawang, maka Basioeni Imran membuat surat
fatwa yang dikirim ke sana. Dalam catatan hariannya Basioeni Imran menulis:
“Pada 23 Muharram 1337 H. buat surat fatwa pada Jumat yang kurang dari 40
laki-laki dan tiada wajib i’adah zuhur kemudian, diberikan pada Wan Said Sungai
Garam” (Imran M. B., Catatan Harian, 1918-b: 2). Melalui suratnya tersebut
jumlah jamaahnya kurang dari empat puluh orang. Karena sembahyang Jumatnya
sah, maka tidak wajib melaksanakan sembahyang zuhur lagi setelah sembahyang
Jumat.
ternyata terjadi juga di Brunei pada 1951. Hal ini diketahui berdasarkan surat yang
dikirim oleh Awang bin Haji Musa Hanafi dari Brunei kepada Basioeni Imran.
Ditemukan ada dua surat yang dikirim Awang bin Haji Musa Hanafi dari Brunei
kepada Basioeni Imran, yaitu surat tertanggal 6 September 1951 dan 4 Oktober
1951.123 Surat-surat tersebut berisi antara lain permintaan fatwa terhadap berbagai
masalah agama yang muncul di Brunei. Pada surat 6 September 1951 Awang
menceritakan bahwa di Kuala Jelai ada kadi yang diangkat oleh Sultan Brunei
perlu melaksanakan sembahyang zuhur lagi jika sudah sembahyang Jumat. Jika
123
Menurut salinan surat Basioeni Imran kepada Awang bin Haji Musa Hanafi bertanggal 18
Oktober 1951, surat Awang ada tiga, satu lagi adalah surat bertanggal 27 September 1951.
383
dikembar antara Jumat dan Zuhur, itu berarti sembahyang menjadi 6 kali dalam
sehari, padahal Allah mewajibkan 5 kali. Atas persoalan ini, Awang bertanya
kepada Basioeni benar atau salah pendapat kadi Muhammad Sahli tersebut (Surat
Islam Nagri Sambas). Selain masalah sembahyang Jumat yang dikembar dengan
Basioeni Imran adalah masalah fidyah puasa dan fidyah sembahyang atas orang
yang telah meninggal yang semasa hidupnya tidak melaksanakan puasa dan
tersebut di dalam kitab-kitab fikih yang dibaca oleh orang-orang tua kita di mana-
mana negeri bahwa sembahyang Jumat yang berbilang-bilang di dalam satu negeri
atau kurang dari 40 dari ahli Jumat mereka sembahyang Zuhur karenanya.
sembahyang dibayar fidyahnya dengan uang kepada imam, khatib atau ahli
agama. Kalau memperhatikan dalil-dalil agama baik hadis maupun Alquran betul
bahwa perbuatan itu tidak sesuai dengan agama Allah karena beberapa sebab.
Pendapat hukum atau fatwa yang diberikan Basioeni Imran kepada Awang
negara lain di luar Indonesia. Belum ditemukan data daerah mana saja yang telah
panjang dan bertele-tele. Bahkan dalil-dalil ayat Alquran maupun hadis tidak
Oleh karena itu, seperti yang di sampaikannya di dalam surat di atas, Basioeni
Imran lebih memilih memberikan dalil-dalil logika sederhana agar lebih mudah
dipahami.
385
Hingga saat ini umat Islam di Indonesia sering berbeda pendapat dalam
menetapkan awal bulan Ramadan atau awal berpuasa dan awal bulan Syawal atau
Nahdlatul Ulama lebih kuat berpegang pada hasil melihat bulan baru (rukyat al-
hilal). Kondisi perbedaan pendapat ini, berdasarkan tulisan Basioeni Imran dalam
kitab Husn al-Jawab 'an Itsbat al-Ahillat bi al-Hisab (Molek Jawaban Pada
Menstabitkan Awal Bulan dengan Kiraan) (1938) (selanjutnya ditulis Husn al-
Jawab), ternyata telah terjadi di tengah masyarakat kerajaan Sambas pada era
terdengar ada perselisihan dan pertengkaran di berbagai daerah baik dalam proses
penetapan awal bulan Ramadan (puasa) maupun ketika penetapan awal bulan
Syawal (Idul Fitri). Perselisihan dan pertengkaran muncul akibat adanya dua
kelompok umat: kelompok yang memakai hisab dan kelompok yang memakai
rukyat (melihat bulan). Bagi Basieoni Imran perselisihan tidaklah baik bagi orang
Islam yang tahu agama. Memang perbedaan pendapat dan paham tidak dapat
menghindari perpecahan.
“Adakah harus kita puasa dan hari raya dengan memakai perhitungan (hisab
falakiyah) atau tiada, yakni mesti memakai rukyat (melihat bulan) saja?” (Imran
M. B., 1938-a: 1). Sebelum sampai pada pembahasan dan menjawab pertanyaan
386
tersebut, terlebih dahulu Basioeni Imran mengurai secara singkat arti dan
Rasulullah dari Abu Hurairah di dalam kitab Shahihain dan kitab lainnya yang
berbunyi:
صوموا لرؤ يته افطروا لرؤيته فان غم – وللبخاري غبي – عليكم فاكملوا شعبان ثالثين
Artinya: Puasalah kamu karena melihatnya (hilal bulan Ramadan) dan berbukalah
kamu karena melihatnya (hilal bulan Syawal), dan jika ada remang di atas kamu
maka hendaklah kamu sempurnakan bilangan Sya`ban tiga puluh (hari). Ini adalah
lafal atau redaksi dari Bukhari, sedangkan Muslim dan jumhur ulama mengatakan
tidak ada kata Syakban. Sebagian ulama mengatakan tambahan Syakban itu tafsir
dari Bukhari dan bukan marfu`. Berdasarkan hadis ini para ulama sepakat bahwa
dalam kondisi cuaca cerah dan tidak terhalang remang maka terlihat atau tidaknya
penafsiran dari para ulama terutama terkait dengan penetapan awal bulan
Ramadan manakala pada saat melihat hilal di akhir Syakban ternyata terhalang
oleh remang (kabut karena awan atau lainnya). Ketika pandangan terhalang oleh
menjadi 30 hari) ataukah besoknya telah memasuki tangal 1 Ramadan dan dengan
berpuasa dengan dasar ihtiyadh atau kehati-hatian. Sebaliknya ada juga ulama
yang mengatakan jika pandangan terhalang oleh remang sehingga hilal tidak
Adalah kepada Ahmad pada ini masalah –yaitu apabila ada remang—debu
atau kabus di tempat naik bulan (mathla’ul hilal) pada malam 30 Syakban
yaitu 3 qaul: Pertama, wajib puasa bahwa ia daripada Ramadan. Kedua,
tiada harus puasa baikpun fardu atau nafal –Sunnah—tetapi harus qadha
dan kafarat dan nazar dan nafal yang berkebetulan dengan adat dan dengan
dia berkata Syafi’i. dan berkata Malik dan Abu Hanifah tiada harus puasa
daripada Ramadan, dan harus daripada yang lain daripada yang demikian.
Yang ketiga, tempat kembali kepada ra’yu (tilikan dan timbangan) imam
(raja) pada puasa dan berbuka (Imran M. B., 1938-a: 10).
Dari tiga pendapat di atas, menurut Basioeni Imran yang paling kuat adalah
pendapat kedua dan yang lemah adalah yang pertama. Dengan demikian, Basieoni
cara rukyat. Pertama, menujukkan bahwa agama Islam adalah agama yang berlaku
umum atau demokratis, di mana penetapan waktu ibadah tidak didasarkan pada
pendapat seorang tokoh atau kepala agama. Di mana pun orang berada, baik di
desa maupun di kota, di seluruh belahan bumi dapat menggunakan cara ini (rukyat
hal itu sudah memadai. Kedua, penentuan waktu ibadah dengan rukyat dapat
dilakukan sekalipun oleh orang atau masyarakat yang ummi (tidak tahu membaca
waktu ibadah, kecuali karena perbedaan wilayah tempat tinggal (Imran M. B.,
1938-a: 13-14).
awal bulan melalui metode melihat bulan baru (ru’yah al-hilal) kitab Husn al-
Jawab selanjutnya membahas ibadah dengan menggunakan hisab atau ilmu falak
di atas, sebenarnya ketika hilal tidak nampak lantaran terhalang oleh remang dan
karenanya lahir perbedaan pendapat, maka masalah tersebut dapat diatasi dengan
menggunakan hisab dengan ilmu falak. Tetapi sebagian ulama, salah satunya al-
Hafidz (Ibn Hajar) tidak setuju dengan penggunaan hisab karena itu sama saja
menggunakan ilmu nujum, dan itu jelas dilarang. Sebuah persangkaan atau
Bagi ulama yang setuju menggunakan hisab dalam menetapkan awal bulan
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Jika ayat di atas dikaitakan dengan hadis: ” فإن غم عليكم فاقدروالهmaka jika ada
dimaksud dengan “faqduru lahu” adalah dengan hisab manazil. Inilah yang
389
dikatakan oleh al-Abbas ibn Suraij (Syafi’iyah), Muthraf bin Abdullah (tabi’in)
Basioeni Imran berpendapat saat rukyat al-hilal terhalang oleh adanya remang
maka jika memang terdapat ahli hisab pendapatnya bisa digunakan karena ia
menyakini ilmunya. Namun jika tidak ada ahli hisab, menjadi sebuah keniscayaan
Perbedaan pendapat dalam penggunaan cara hisab tidak hanya terjadi antar
Al-Fath:
falakiyah tidak ada ijmak atasnya pada masa salaf. Oleh karena itu, menurut
Basioeni Imran, hasil perhitungan (hisab) dari ilmu falakiyah tetap dapat
390
digunakan, tetapi hanya sebatas pada memprediksi posisi hilal di akhir bulan
Syakban atau pada menjelang malam ke-30 Syakban. Adapun untuk menetapkan
awal bulan Ramadan tetap harus menggunakan rukyat al-hilal atau melihat bulan
baru, tidak dengan hisab. Basioeni Imran mengatakan: “Jadi tiadalah men-tsabit-
kan wajib puasa itu perkataan ahli falak yang menghitung (hisab) itu tetapi dengan
ada bulan (hilal) dan hanya ahli falak itu menyatakan kepada sekalian orang
bilamana waktu bulan itu boleh dilihat” (Imran M. B., 1938-a: 21).
terkait dengan perlunya hisab dengan ilmu falak. Secara ringkas lima hal tersebut
penetapan waktu sembahyang yang lima kali. Jangan terjebak pada tata cara
(Allah) tentang waktu-waktu ibadah itu adalah mengetahui akan Dia. Perintah
masyarakatnya adalah ummi (tidak tahu baca dan tulis), padahal misi
Oleh karena itu, hisab dengan ilmu falak adalah bagian dari melaksanakan misi
2) Allah berkehendak agar umat bersepakat dalam hal ibadah sepanjang masih
bisa sepakat, baik dalam hal washilah (perantara) maupun pada maksud ibadah
itu. Sungguh di masa awal, para sahabat sepakat dalam memaknai zhahir nash
sembahyang, haji), yaitu dengan melihat matahari dan bulan. Namun jika tidak
dapat dilihat maka boleh dengan ditakdirkan (ditetapkan dengan hisab) atau
3) Tidak boleh beramal atas dasar zhan (prasangka). Saat ini ilmu falak yang
digunakan dalam hisab awal bulan masuk dalam kategori ilmu qath`i (ilmu
pasti)124 dan hasil hisabnya tidak masuk zhan, karena itu para pemimpin
mewajibkan kembali kepada ra’yu (pandangan) Imam (Sultan yang kuasa atas
hukum syarak) dalam menetapkan puasa atau tidak, ketika ada remang saat
bulan). Jika berpegang pada tekstual nash [hadis yang telah disebutkan di atas]
maka sama maknanya seorang muazzin harus melihat terbitnya fajar baru dia
azan subuh atau telah melihat matahari terbenam baru ia azan maghrib.
124
Tengok keadaan gerhana bulan yang dinyatakan oleh mereka itu di dalam almanak akan
masanya pada negeri yang ditentukan oleh mereka itu dengan jam dan menit apabila intai dan
diperhatikan kemudian daripada telah dibetulkan jam pada waktu gelincir matahari niscaya
didapati betul bagaimana kenyataan mereka itu (ini catatan kaki yang diberikan oleh Basioeni
Imran dalam kitabnya Husn al-Jawab 'an Itsbat al-Ahillat bi al-Hisab [Molek Jawaban Pada
Menstabitkan Awal Bulan dengan Kiraan]), 1938: 25.
392
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika diedarkan takwim atau almanak yang
bulan (terutama Ramadan, Syawal dan Zulhijjah). Berbekal informasi awal dari
hasil hisab ini rukyat al-hilal dilakukan untuk memperkuatnya (Imran M. B.,
1938-a: 22-27).
Telah nyata daripada bahsun-bahsun yang tersebut bahwa tiada syak lagi
harusnya memakai hisab (perhitungan falakiyah) tentang menetapkan awal
bulan Ramadan dan lainnya, istimewa seperti negeri-negeri kita di Borneo
Barat: Sambas, Mempawah, Pontianak dan lainnya banyak hujan maka
berkehendak betul kepada hisab itu ialah seperti hisab (perhitungan) al-
Alim al-Falakiy al-Syahir al-Syaikh Muhammad Thahir Jalaluddin
Hafizhallah Taala. Maka beliau itu telah mengeluarkan sebuah takwim
( )نتيجة العمرuntuk mengenal awal tiap-tiap bulan Arab dan Masehi dari
mula Hijrah nabi kita Muhammad SAW. dan Milad memperanakkan al-
Masih Isa AS sampai hari kiamat, maka natijah ini patut benar disimpan
dan diketahui isinya oleh tiap-tiap orang yang suka akan ilmu dan hendak
mengetahui akan segala waktu sembahyang atau segala waktu ibadah
(Imran M. B., 1938-a: 28).
pengunaan hisab dengan mengunakan ilmu falak, baik dalam penetapan awal
menetukan hari raya Idul Fitri) dan bulan Zulhijjah (untuk menentukan hari raya
utamanya adalah kondisi alam Sambas dan sekitarnya yang merupakan daerah
tropis yang sering hujan atau banyaknya kabut atau awan yang dapat menghalangi
perkembangan ilmu falakiyah pada masa itu (tahun 1937, selesai ditulisnya kitab
393
Husn al-Jawab) telah dianggap oleh Basioeni Imran sebagai salah satu ilmu qath`i
atau ilmu pasti. Hal tersebut dibuktikan dengan ketepatannya dalam menghitung
atau memperkirakan waktu terjadinya gerhana. Jika ditinjau dari kondisi masa itu,
jelas sikap atau pendapat Basioeni Imran yang membolehkan menggunakan hisab
dengan ilmu falak adalah sikap yang tidak populer. Tetapi sebagaimana yang
masyarakat dari kondisi ummi atau tidak bisa baca dan tulis. Dengan kata lain,
penggunaan ilmu falak dalam urusan ibadah menjadi salah satu cara Basioeni
Dalam karyanya yang lain Basioeni Imran mengatakan bahwa kemajuan umat
agama dan ilmu keduniaan. Umat Islam mundur salah satunya disebabkan telah
4.2.5 Poligami
Berbilang Istri atau Berkawin Lebih dari Satu. Di dalamnya Basioeni Imran
satu atau berpoligami hingga empat perempuan bagi seorang laki-laki adalah
bukan dengan sesuka hati tetapi dengan beberapa syarat. Setengah syaratnya
adalah berlaku adil di antara para istri dan jika tidak adil dan tidak cukup syarat,
394
maka Alquran lebih keras melarang berpoligami. Basioeni Imran juga menyatakan
tidak harus dan tidak boleh orang yang tidak setuju dengan poligami kemudian
mencukupi syarat-syarat yang diterangkan oleh Alquran (Imran M. B., 1937: 1-2).
kecuali tentang yang telah ditentukan bagi laki-laki seperti hak dan kekuasaan
berbeda dengan perempuan. Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam
dari masanya membahas masalah ini, yaitu pada 1937, pemikiran Basioeni Imran
laki dan perempuan baru mulai menggejala pada dua dekade akhir abad ke-20.
Memasuki abad ke-21 pembicaraan tentang jender mulai marak dan menjadi
kejadiannya adalah pemikiran yang jelas sangat maju pada masanya. Hampir
sebagian besar ulama tafsir, ulama hadis dan fuqaha di masa itu masih
dengan yang ditulis oleh Nasaruddin Umar dan Amany Lubis pada 2002 berikut
ini. Islam cenderung membedakan fungsi antara laki-laki dan perempuan namun
tidak mengandung diskriminasi. Perbedaan itu didasari oleh kondisi fisik biologis
yang ditakdirkan, terutama organ seksual. Perbedaan itu tidak berarti keunggulan
satu atas yang lainnya. Yang pasti, Islam telah berperan besar dalam mengangkat
harkat dan martabat kaum perempuan. Semua ayat dan hadis yang menyatakan
perempuan (Umar & Lubis, 2002: 26-27). Terkait dengan keadilan sebagai
poligami:
Kedua ayat tersebut [Q.S. al-Nisa (4): 3; 129] secara tegas menyatakan
bahwa keadilan merupakan prinsip mendasar yang diajarkan Alquran
untuk dipakai dalam seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam
kehidupan perkawinan. Kedua ayat itu bukan melegitimasi poligami
sebagaimana dipahami banyak orang. Poligami hanyalah solusi sementara
bagi umat Islam pada masa-masa awal, sehingga mereka terbebas dari
perkawinan tak terbatas yang dikutuk karena sarat dengan ketidakadilan,
menuju perkawinan monogami yang menjamin keadilan (Mulia, 2004: 18).
Menurut Basioeni Imran, poligami bukanlah bagi bangsa Arab dan Islam
saja, karena hal itu juga ada pada bangsa-bangsa lain. Poligami sejarahnya
396
bersumber dari praktik perbudakan perempuan oleh orang kaya dan kuat
[penguasa]. Ada juga negeri-negeri yang panas yang penduduknya kuat syahwat.
berpoligami tanpa batas. Demikian juga praktik tersebut terjadi di Jerman dan
Perancis. Di masa sekarang [1937 M], orang Eropa melarang poligami, tetapi
terang di berbagai negara-negara besar. Padahal agama Islam sangat melarang hal
tersebut dengan diberlakukannya hukum rajam atau pukul seratus kali bagi pelaku
zina. Basioeni Imran juga mengutip Herbert Spencer, seorang filosof Inggris, yang
menuturkan kondisi di Inggris para istri dijual dan adanya undang-undang yang
Eropa diperoleh dari dari bahan bacaan yang dimilikinya. Selain berlangganan
majalah al-Manar, sebuah majalah seperti jurnal ilmiah saat sekarang, ditemukan
Basioeni Imran di Museum Tamadun Islam Nagri Sambas (bekas rumah Basioeni
penghormatan dan menjaga harkat dan martabat perempuan. Lebih lanjut Basioeni
Imran menulis:
Apakala Allah SWT mengirim akan Muhammad jadi Rasul kepada orang
Arab dan lainnya dan dibatalkan oleh syariat-Nya akan zina dan tiap-tiap
barang yang berarti serupa zina daripada nikah-nikah yang tidak sah
demikian dibatalkan barang yang menghitungkan bahwa perempuan
dipandang seperti satu benda atau hayawan (binatang) yang dimiliki.
Sungguhpun demikian, Islam tiada juga haramkan terus akan berbilang-
bilang istri atau lebih dari satu dan tiada Ia biarkan segala laki-laki di atas
hal keadaan mereka yang berlimpawan [berlimpahan] pada berbilang-
bilang istri dengan tidak berbatas dan pada menzhalimi akan mereka, akan
tetapi Islam haruskan yang demikian dengan bilangan yang bersetuju
dengan maslahat dan hal berhimpunnya manusia dan persediaan segala
laki-laki baginya ialah tiada boleh melebih daripada 4 orang perempuan
bagi seorang laki-laki yang merdeka dengan syarat kuasa atas memberi
nafkah yang cukup serta adil di antara dua orang istri atau lebih karena
menegahkan menzalimi akan segala perempuan dengan sedapat-dapatnya
ialah supaya menarik akan orang yang beragama Islam kepada berpendek
dan berpada dengan seorang istri saja melainkan karena darurat atau
terpaksa (Imran M. B., 1937: 4-5).
tanpa batas yang nantinya akan menjadikan mereka berlaku zalim terhadap para
istrinya. Islam membatasi poligami hanya sampai empat orang istri untuk
398
kemaslahatan, dengan syarat kuasa atau mampu memberi nafkah yang cukup serta
adil di antara para istri. Hal ini ditetapkan oleh Islam untuk mencegah perilaku
orang saja, kecuali karena darurat atau terpaksa barulah dibolehkan berpoligami.
Berdasarkan Q.S. An-Nisa [4]: 4 dan 129, Basioeni Imran mengatakan ada
tiga masalah yang tidak ada perselisihan padanya, yaitu: Pertama, bahwa Islam
tidak mewajibkan poligami dan tidak pula ia sunnahkan. Islam hanya menyebut
bahwa hanya sedikit orang berpoligami yang lepas dari berbuat zalim yang
diharamkan. Oleh karena itu hendaklah berhati-hati dan menghitung diri atas
keinginan dan cita-cita jika ingin berpoligami agar bisa berbuat keadilan yang
wajib. Kedua, Poligami tidak diharamkan karena secara alamiah setiap laki-laki
berhasrat terhadap hadirnya anak, tetapi boleh jadi istri mandul. Atau mungkin
karena akibat perang jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Tidak
dipungkiri juga bahwa ada laki-laki yang kuat dan kaya serta kuasa memelihara
1937: 21-22).
darurat atau terpaksa, itupun dengan syarat adil di antara keduanya. Dan
bahwa berkawin satu ialah yang setinggi-tinggi hidup laki istri dan ialah
yang sebaik-baiknya hendaknya….Telah diketahui bahwa Islam tidak ada
mewajibkan berkawin lebih dari satu hingga empat melainkan ia haruskan
yang demikian bagi orang yang adil dan mampu akan nafkah dan berdiri
dengan syarat-syarat perkawinan dan hidup laki istri maka barangsiapa
yang tiada mencukupi akan syarat-syarat dan tiada akan adil maka Islam
tiada haruskan baginya berkawin lebih dari satu. Dan siapa-siapa yang
berkawin lebih daripada satu dengan tidak mendirikan keadilan dan tidak
cukup syaratnya maka bukanlah perkawinannya menurut Islam dan Quran
(Imran M. B., 1937: 10-11).
tentang poligami terinspirasi dari sang guru. Rasyid Ridha sebagaimana gurunya
akan muncul kejahatan dan kezaliman harus dipenuhi terlebih dahulu. Mengacu
pada Q.S. al-Nisa (4): 3 dan 129, Rasyid Ridha menjelaskan tiga masalah pokok
125
Dengan mengaitkan ayat ke-3 dan ayat sebelumnya, ayat ke-2 surah al-Nisa, Muhammad
Abduh mengatakan dalam Tafsir al-Manar (IV: 349): “Dari dua ayat di atas, diketahui bahwa
kebolehan jumlah berbilangnya istri dalam Islam adalah persoalan kesempitan atau darurat
yang sangat, yang dibolehkan bagi yang melakukannya dengan syarat bisa berbuat adil dan
aman dari ketercelaan”. Meskipun mentolerir praktik poligami di awal-awal Islam, Muhammad
Abduh sangat menentang poligami yang dipraktikkan dalam masyarakat, karena ia
menganggap poligami sebagai biang keladi kerusakan masyarakat yang terjadi di Mesir.
Bahkan ia mengatakan dengan menggunakan kaidah dar`u al-mafasid muqaddamu `ala jalbi
al-mashalih maka inna ta`adduda az-zaujati muharramun qath`an `inda al-khaufi min `adami
al-adli. Dalam hal ini, poligami diharamkan apabila tidak mungkin terciptanya keadilan di
antara para istri (Ismail, 2003: 222-223).
400
Basioeni memiliki kemiripan dengan tulisan sang guru. Ini menunjukkan bahwa
dapat dipungkiri. Seperti telah dijelaskan di bagian terdahulu, meskipun tidak lagi
berhubungan langsung sebagai murid dan guru, Basioeni Imran tetap memelihara
Ridah secara rutin dibaca oleh Basioeni Imran melalui majalah al-Manar yang
dalam hal poligami tentu saja bukan persoalan sederhana, karena lingkungan
Islamiyah yang dikepalai oleh orang yang alim dan mengetahui dan faham syariat
berpoligami tidak memenuhi syarat, sesuai dengan kaidah ushul fikih “menolak
kerusakan didahulukan atas mengambil maslahat atau faedah” [ درء المفاسد مقدم علي
]جلب المصالح.
Salah satu persoalan hukum yang sering diperselisihkan oleh umat Islam
adalah hukum talkin126 terhadap mayat. Bahkan menurut Basioeni Imran talkin
mayat sejak dahulu kala telah menjadi perselisihan di antara para ulama
talkin mayat menjadi lebih memprihatinkan jika dilihat dari sisi dampaknya.
Maka mereka tidak cukup dengan menyatakan mana yang benar dan mana
yang salah saja, tetapi mereka jadikan talkin itu tempat celaan dan kata
nista. Oleh karena itu timbul perbantahan dan berpecah belah sesama
sendiri dan perseteruan yang hebat yang sesangat dilarang Allah yang
terlebih besar mudaratnya daripada mudarat talkin, jika dikatakan bahwa
talkin itu mudarat (Imran M. B., 1943: 31).
antara yang mempraktikkan talkin mayat dengan yang tidak jauh lebih besar
126
Asal perkataan talkin dari “laqqanahu al-kalam” : ”fahhamahu iyyahu”. Artinya, ia talkinkan
kepadanya akan perkataan, yakni pahamkan kepadanya akan dia, atau ia ajar akan dia ( (Imran
M. B., 1943: 30). Dalam praktiknya, mentalkinkan mayat adalah: setelah mayat dikuburkan
dan tanah kuburan sudah diratakan dan dirapikan serta dipasang batu nisan, maka salah seorang
tokoh agama membaca sebuah pesan yang isinya “mengajarkan” kepada orang yang baru
dikuburkan bahwa ia telah masuk ke alam kubur dan segera setelah para pengantar jenazah
pulang maka akan datang malaikat Munkar dan Nakir bertanya kepadanya. Pertanyaan itu
antara lain: Siapa Tuhanmu? Siapa Nabimu? Apakah agamamu? Apa kiblatmu? Siapa
pemimpinmu? Dan Siapa saudaramu?. Maka jawablah: Allah Tuhanku, Muhammad Nabiku,
Islam agamaku, Ka’bah kiblatku, Alquran imamku, dan Muslim-Muslimat saudaraku. Saat ini
teks bacaan talkin sudah tersedia di dalam buku majmu` syarif.
402
memiliki sandaran (rujukan) dari pendapat para ulama, demikian juga sebaliknya.
disebutkan bahwa talkin mandhub yaitu sunnah atas orang yang ditanya di dalam
kuburnya, sekalipun adalah ia bid’ah (tidak ada sunnah yang sahih). Imam
Imran sangat menyayangkan orang-orang yang menyatakan jahil dan bodoh serta
dilakukan dengan tanpa dasar pendapat para ulama. Oleh karena itu, meskipun ada
kelompok yang tidak setuju dengan alasan talkin mayat adalah perbuatan bid’ah
beradab. Bukan dengan cara caci maki dan menistakan. Menyampaikan sebuah
Pendapat ini didasarkan pada adanya dalil yang mendasari sikap kedua kelompok
(Imran M. B., 1943: 35). Pertanyaan Basioeni Imran adalah sebagai berikut:
tentang masalah talkin mayat. Jawaban Rasyid Ridha jelas menyatakan bahwa
405
talkin mayat termasuk bid’ah karena tidak ada dalil yang kuat sebagai dasar
hukumnya. Hadis dha`if yang dijadikan dasar oleh ulama yang membolehkan
talkin menurut Rasyid Ridha tidak bisa digunakan sebagai dalil kebolehan talkin
maka di akhir pembahasan tentang talkin mayat dalam kitab Al-Janaiz, Basioeni
daripada ini putus bahwa talkin itu bid`ah dhalalah karena tak ada alasan atau
dalil yang sahih daripada Kitab atau Sunnah untuk menguatkan tilikan itu” (Imran
M. B., 1943: 38). Dengan pernyataannya ini, jelas bahwa Basioeni Imran
Hampir sama dengan masalah talkin di atas, dalam hal pahala bacaan
Alquran dan bacaan lainnya yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah
meninggal Basioeni Imran menyetujui pendapat dari gurunya Rasyid Ridha dan
kepada orang yang telah meninggal dibahas Basioeni Imran dalam kitab Al-Janaiz
menyebutkan bahwa tidak berpindah pahala dari orang yang berdoa kepada yang
didoakan. Pahala orang yang beribadah adalah untuk dirinya sendiri. Kecuali do`a
seorang terhadap orang yang telah meninggal dan doa tersebut dikabulkan Allah,
maka itu bermanfaat bagi yang didoakan. Khusus anak, maka baik doa maupun
amalnya, jika dikabulkan Allah maka itu bermanfaat bagi orang tua yang telah
406
Daripada yang tersebut yaitu bahwa adat yang telah berlaku dari hari turun
tanah, tiga hari, tujuh hari, lima belas hari, dua puluh hari, empat puluh
hari, dan seratus hari berkumpul di rumah orang mati dan memberi makan
yaitu daripada niyahah (merumpi) [menangisi mayat] yang menyalahi
syariat (Imran M. B.. 1943: 43).
sesuai syariat kegiatan atau acara selamatan atau (orang Sambas menyebutnya
kitab al-Um yang memakruhkan menangisi orang mati, demikian juga berkumpul
di rumah orang yang mati juga makruh. Demikian juga pendapat Ibnu Qudamah
dalam kitab al-Mughni (mazhab Hambali) bahwa berkumpul dan makan di rumah
orang yang meninggal hukumnya makruh, kecuali bagi keluarga yang berasal dari
tempat yang jauh dan harus menginap itu tidak mengapa (Imran M. B.. 1943: 42-
43).
terhadap kuburan. Setelah mengutip beberapa hadis dan pendapat beberapa ulama,
dan memasang api padanya berdasarkan beberapa hadis yang dikutipnya (Imran
M. B.. 1943: 47-48). Dalam hal ziarah kubur, dikatakannya bahwa disukai akan
ziarah kubur bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Ada perbedaan pendapat
ulama tentang kebolehan perempuan ziarah kubur karena ada hadis yang saling
mendatangkan fitnah atau menangis serta merumpi di kubur maka itu dilarang
meninggal dunia. Jika dilihat praktik yang dijalani oleh Basioeni Imran khususnya
pada era 1920-an (seperti yang diuraikan pada bagian terdahulu), maka terjadi
perubahan sikap padai dirinya. Berdasarkan catatan harian tahun 1926, banyak
Imran adalah sosok yang lentur atau tidak kaku. Saat menyampaikan pendapatnya
tentang hukum orang yang meninggalkan sembahyang ia terlihat keras dan tanpa
sembahyang Jumat meskipun jamaahnya kurang dari empat puluh orang. Di saat
408
menyatakan poligami hingga empat orang istri dibolehkan dalam keadaan darurat
puritan saat menyatakan talkin mayat hukumnya bid’ah dan beberapa tradisi yang
hukumnya sebenarnya bukan tanpa dasar yang kuat. Sebagaimana akan dilihat
umat Islam yang dicirikan dengan terjadinya perselisihan dan perpecahan, baik di
telah belajar banyak tentang ide-ide modern dari belajar dengan Rasyid Ridha dan
lebih maju dan modern. Bersamaan dengan itu, ia juga tidak ingin masyarakat
semakin larut dalam perselisihan dan tercerabut dari nilai-nilai dan ajaran Islam
menyesuaikan diri (lentur dan tidak kaku) dengan kondisi dan situasi saat
Dari sisi metode penetapan hukum, pada semua tulisannya Basioeni Imran
pendapat para ulama, baik pendapat para imam mazhab yang empat maupun
memilih pada salah satu pendapat dan memperkuatnya atau ia berpendapat sendiri
hukumnya tidak mengikuti mazhab Imam Syafi`i, namun secara umum Basioeni
Imran adalah pengikut setia mazhab Syafi`i. Ia sering menyebut dalam tulisannya
Imam kita al-Syafi`i sebagai bentuk pengakuannya sebagai pengikut Imam Syafi’i.
lebih banyak berkonsentrasi menulis dalam bidang hukum Islam atau fikih. Tidak
ada karya lengkap apalagi yang telah diterbitkan dalam bidang tafsir Alquran.
Hanya ada dua manuskrip singkat yang isinya tidak utuh yang Basioeni Imran
sendiri menyebutnya sebagai tafsir. Pertama, Tafsir Ayat al-Shiyam (1936) yang
ini hanya terdiri dari delapan halaman buku tulis. Berisi tafsir Q.S. al-Baqarah (2):
183-185. Kedua, Tafsir Tujuh Surah Pendek, manuskrip yang tidak ada informasi
waktu penulisannya dan tanpa diberi judul. Naskah ini berisi penafsiran Basioeni
Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas. Seluruh naskah ditulis dari halaman 1 s.d. 24, tetapi
lembaran halaman 19, 20, 21 dan 22 hilang. Selain dua naskah singkat tersebut,
ada satu kitab yang telah dicetak berjudul Irsyad al-Ghilman Ila Adab Tilawah
410
Alquran (1934). Meskipun kitab Irsyad al-Ghilman ini bukan termasuk tafsir,
tetapi peneliti masukkan dalam pembahasan pemikiran tafsir karena ini kitab ini
Alquran.
Irsyad al-Ghilman) ini diawali oleh penulisnya Basioeni Imran dengan kata
kitab ini.
Quran yang mulia itu ialah Kalam Allah (firman-Nya) yang diturunkan-
Nya di atas nabi-Nya yang ummi (yang tidak tahu membaca dan menulis)
Sayyidina Muhammad SAW. dan ialah kitab yang melemahkan segala jin
dan manusia hendak mendatangkan satu surah yang seumpamanya dari
mula turunnya sampai ini hari, tetapi sampai hari kiamat maka tak ada
suatu daripada ilmu (pengetahuan) melainkan ada padanya, dan tak adalah
satu kitab daripada kitab-kitab Allah Ta’ala yang terpelihara daripada
berubah atau hilang atau lenyap suatu daripadanya (Imran M. B., 1934: 1).
Pertama, Alquran adalah kalam atau firman Allah, bukan perkataan Muhammad
atau lainnya; Kedua, Rasulullah Muhammad yang diberi amanah untuk menerima
kalam Allah adalah manusia yang ummi, yang tidak bisa membaca dan menulis.
Dengan demikian, lebih menegaskan bahwa tidak mungkin manusia yang tidak
bisa membaca dan menulis mampu membuat ayat-ayat yang begitu baik dan indah
dan manusia untuk membuat satu surah saja yang serupa Alquran. Keempat,
411
bahkan sampai kapanpun. Kelima, Alquran adalah kitab suci yang terpelihara dari
paham atau tidak paham maknanya, semua akan diberi pahala oleh Allah. Agar
membaca Alquran berpahala maka membacanya haruslah dengan betul dan ikhlas.
atas maknanya. Kalau membaca Alquran tidak tahu maknanya, maka yang
Karena membaca Alquran harus betul dan dipahami maknanya maka Basioeni
Imran menyusun kitab Irsyad al-Ghilman agar menjadi petunjuk setiap orang
hukum menyentuh mushaf (Quran yang ditulis atau dicap dijadikan sebagai buku
atau kitab) dengan tanpa berwudhu. Dijelaskan bahwa jumhur ulama dan imam
(kehati-hatian) dan adab terhadap Alquran (Imran M. B., 1934: 5). Basioeni Imran
juga mengikuti pendapat jumhur ulama dan empat imam mazhab dalam hal
bagi orang yang sedang junub dan perempuan yang sedang haid. Adab dalam
membaca Alquran harus suci dari najis dan hadas serta batin yang suci dari riya’
dan ujub. Membaca Alquran harus dengan ikhlas, khusyuk, tawaduk, dan
khasyiyah (takut kepada Allah) serta tartil (bagus dan sempurna tajwidnya) (Imran
membaca Alquran dengan menggunakan irama tertentu atau dalam kitab ini
mengatakan boleh saja membaca Alquran dengan lagu yang secara naluriah,
bukan lagu yang perlu diperlajari dengan susah payah. Karena pada dasarnya
manusia memiliki potensi seni untuk membaca Alquran dengan cara yang indah,
bukan yang dipelajari secara khusus. Sementara itu ada ulama yang menyatakan
makruh hukumnya jika membaca Alquran berlagu atau bergaya jika lagu yang
menyatakan:
Membaca Alquran berlagu yang dibolehkan atau disunnahkan ialah tidak dengan
besusah payah dan tidak mencederai bacaan, cukup dengan tajwid, tartil, tidak
lupa mempelajari atau memahami isinya. Membaca Alquran harus dengan adab
dan khusyuk dan menjauhi `ujub atau riya’ dan tidak bermegah-megah tetapi
413
harus dengan ikhlas. Khusus untuk perempuan, terutama para gadis, agar tidak
membaca Alquran dengan suara nyaring, apalagi dengan berlagu sementara yang
Kitab Irsyad al-Ghilman, sesuai dengan judulnya, adalah kitab yang ditulis
untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi anak-anak agar membaca Alquran
sesuai dengan adab atau tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para
ulama. Isi kitab sederhana dan ringan serta mudah membacanya, dalam arti tidak
Salah satu manuskrip Basioeni Imran yang berbicara tentang tafsir adalah
naskah tafsir ayat-ayat puasa, yaitu Q.S. al-Baqarah (2): 183-185. Tulisan diawali
rangkaian ayat 183, 184 dan 185 Surah al-Baqarah. Pembahasan dimulai dengan
definisi shiyam yang dari arti bahasanya adalah imsak, yaitu menahan dari segala
sesuatu. Menurut hukum syarak yaitu: “menahan dari makan, minum dan campur
(jima’) dengan perempuan dari waktu fajar hingga maghrib (masuk matahari)
Melalui ayat 183 Surah al-Baqarah Allah memberi tahu kepada kita bahwa
Dia telah memfardukan puasa atas umat Islam seperti yang difardukan atas orang-
orang dahulu. Maksud pemberitahuan ini menurut Basioeni Imran adalah untuk
aspek ushul dan maksud atau tujuan agama. Selain itu juga untuk meneguhkan
(pagan, penyembah berhala) juga memiliki tradisi puasa (Imran M. B., 1936: 2).
memiliki tradisi berpuasa. Demikian juga orang-orang India sejak dulu hingga
sekarang memiliki tradisi puasa. Dahulu Nabi Musa puasa 40 hari, orang-orang
orang Nasrani kitab Injil tidak menyebutkan adanya perintah kewajiban berpuasa,
namun ada anjuran berpuasa sebagai ibadah untuk mencegah riya’. Puasa bagi
orang Nasrani tidak baik ditampakkan kepada orang lain, karena itu disuruh agar
yang berpuasa membasahkan rambut dan membasuh muka. Karena tidak ada dalil
dari kitab Injil, maka aturan berpuasa dibuat oleh para kepala gereja dengan aturan
yang berbeda-beda antar mazhab mereka. Ada yang berpuasa makan daging, ada
yang puasa makan ikan, dan ada pula yang puasa makan telur dan minum susu.
Awalnya tata cara puasa mereka sama dengan orang Yahudi yaitu sehari semalam
makan sekali saja. Cara tersebut diubah menjadi berpuasa mulai tengah malam
Allah. Hikmah puasa ini berbeda dengan puasa yang dilakukan oleh orang-orang
memperoleh perkenan tuhan caranya adalah dengan menyiksa diri dan membunuh
bagian tubuh. Keyakinan seperti ini menyebar hingga kepada para ahli kitab.
Keyakinan ini kemudian diperbaiki oleh ajaran Islam dengan menyatakan bahwa
puasa dan juga ibadah lain diwajibkan adalah untuk kebaikan manusia dengan
takwa kepada Allah, dan Allah sangat kasih kepada manusia. Oleh karena itu,
puasa diwajibkan adalah untuk memberi manfaat kepada manusia (Imran, 1936:
4-5). Dengan kata lain dalam perspektif agama watsani puasa berorientasi untuk
(antroposentris).
takwa kepada Allah melalui beberapa jalan atau cara. Di kala seseorang berpuasa,
maka tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah. Puasa adalah sir atau rahasia
antara hamba dengan Tuhannya dan tak ada yang memperhatikannya selain Allah.
semata-mata karena menjunjung perintah Tuhan dan tunduk atas ketentuan agama
selama satu bulan (di bulan Ramadan). Di saat berpuasa berbagai hidangan yang
lezat dan godaan syahwat yang sangat diinginkan harus dihindari karena yang
memerintahkan dan meyakini Allah yang melihat mengawasi. Jika hal ini berhasil
dilakukan, maka tak diragukan lagi ia akan berhasil melatih untuk selalu
muraqabah atau ingat kepada Allah. Ia akan malu kepada Allah yang senantiasa
manfaatnya tidak hanya di akhirat nanti tetapi juga di dunia. Orang yang telah
muraqabah dan meyakini penjagaan Allah pasti tidak akan makan harta dengan
cara batil, tidak akan memperdaya orang lain, tidak akan menghindar dari zakat.
Orang yang selalu ingat kepada Allah maka ia tak akan berani mengerjakan
maksiat dan apabila ia lupa kemudian berbuat maksiat, maka ia segera ingat dan
segera kembali kepada Allah seperti firman Allah di dalam Q.S. al-A`raf (7): 201
yang artinya: Bahwa orang-orang yang takut kepada Allah apabila telah
menyentuh akan mereka oleh yang berkeliling daripada syaithan itu lantas mereka
adalah perihal orang yang tidak berpuasa. Dijelaskan bahwa orang-orang yang
berbuka (tidak berpuasa) di dalam bulan Ramadan dengan sengaja; atau orang
yang hanya malu kepada manusia sedangkan kepada Allah tidak malu dengan
pura-pura puasa; atau yang lebih jahat dari mereka yaitu yang berbuka di depan
orang lain yang sedang berpuasa tanpa uzur, maka orang-orang tersebut beribadah
tanpa ruh. Bagi mereka berpuasa adalah sebuah siksaan sebagaimana disangka
Demikian saja tafsir ayat-ayat puasa yang ditulis Basioeni Imran. Diduga
kuat tafsir ini belum selesai, karena hanya ayat 183 Surah al-Baqarah saja yang
ditafsirkan. Ayat 184 dan 185 Surah al-Baqarah belum ditafsirkan. Meskipun
ayat-ayat Alquran dengan berdasarkan pada ayat-ayat itu sendiri, penafsiran ayat
417
Alquran dengan hadis Nabi SAW atau penafiran ayat Alquran dengan keterangan
yang berumber dari para sahabat (Quthan, 1995: 188; Sayadi, 2011: 77).
Naskah tafsir yang ditulis Basioeni Imran yang berikutnya adalah masih
ditemukan ada 4 halaman yang hilang. Naskah ini berisi tafsir singkat atas tujuh
surah yang sering dibaca, baik di dalam maupun di luar sembahyang, yaitu surah
beriman yang percaya kepada Alquran untuk memahami bahwa Alquran adalah
keterangan mengenai agama, petunjuk agar tidak sesat dan pengajaran agar tidak
cepat lupa kepada Allah. Jika tiga fungsi Alquran itu mengenai dirinya maka ia
termasuk orang yang bertaqwa dan tempat yang dijanjikan baginya adalah surga.
Besar atau kecilnya manfaat Alquran bagi setiap orang sangat tergantung pada
baik di dalam maupun di luar sembahyang (Imran M. B., Tafsir Tujuh Surah
Imran:
Dan mudah atas tiap-tiap perempuan dan laki-laki daripada awam (orang
keramaian) mehafadzkan dia supaya ia baca kemudian daripada al-Fatihah
418
akan satu surah daripadanya, maka meniupkan oleh tadabbur akan dia
pada ruh orang yang sembahyang akan ruh sembahyang yang adalah ia
tiang agama dan sebesar-besar rukunnya yang adalah dengan dia
menegahkan daripada fahsya (barang yang sangat keji) dan munkar dan
dengan dia ia ketahui daripada dirinya akan arti keadaan sembahyang itu,
tauladan bagi perangai sabar pada minta pertolongan dengan dia atas
sebesar-besar pekerjaan dan segala kesengsaraan hidup pada firmannya
(Q.S al-Baqarah [2]: 45): was ta’inu bis shabri was shalah wa innaha
lakabiratun illa ’alal khasyi’in. Dan minta pertolongan kamu dengan sabar
dan sembahyang dan bahwa ianya sangat besar (berat) melainkan atasnya
orang-orang yang khusyu’ (Imran M. B., Tafsir Tujuh Surah Pendek, tt: 2).
Hal menarik dari kutipan di atas adalah istilah ruh sembahyang. Orang yang
membaca ayat Alquran disertai dengan tadabbur maka tadabbur itu akan
meniupkan ruh sembahyang ke dalam ruh orang yang membaca ayat Alquran tadi.
Peneliti menduga bahwa yang dimaksud dengan ruh sembahyang adalah spirit
yang mendorong seseorang untuk tidak sekedar sembahyang yang tanpa makna.
seluruh totalitas ritual sembahyang dalam kehidupan nyata. Kekuatan atau spirit
yang mendorong untuk menghindari segala perbuatan keji dan munkar. Itulah
teladan bagi perilaku sabar dan meminta pertolongan dengan sembahyang atas
segala masalah dan kesengsaraan hidup seperti firman Allah: Dan minta
pertolongan kamu dengan sabar dan sembahyang dan bahwa sembahyang sangat
besar (berat) kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (Q.S. al-Baqarah [2]: 45).
Orang yang sembahyang juga akan terhindar dari berkeluh kesah saat sudah dan
419
sifat kikir saat mendapat nikmat seperti firman Allah: Sesungguhnya manusia
berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-
yang panjang. Pada bagian awal pengantar tafsir al-Fatihah Basioeni Imran
menyatakan tafsir yang panjang atas surah ini dikutipnya dari Tafsir al-Manar
karya Muhammad Abduh [dan Rasyid Ridha] cetakan keenam. Tafsir yang
panjang tersebut kemudian diringkas dan Basioeni Imran hanya menambah pada
beberapa bagian saja. Uraian panjang tafsir surah al-Fatihah diletakkan pada
Tafsir Surah al-`Ashr. Tafsir atas ayat ini ada yang panjang, yaitu tafsir
atau pengajian para ulama di al-Jazairi pada tahun 1903 yang ditulis dengan
berkata: ”Jikalau sekiranya tidak turun melainkan ini surah saja niscaya memadai
akan segala manusia. Dan pada satu riwayat: Jikalau orang-orang tadbir
(pahamkan betul-betul) akan ini surah niscaya memadai akan mereka itu.”
Dan ringkasnya bahwa manusia itu (insan) dengan sepanjang tabiatnya dan
pergaulannya yaitu di dalam kerugian (khusrin) yang tak sejahtera
seseorang daripada semacam daripadanya dan yang sejahat-jahatnya
kerugian dirinya yang mencelakakan akan dia melainkan orang-orang
mukminin yang percaya dengan Allah dan hari yang kemudian dan
percaya dengan barang yang ada padanya daripada jaza’ balasan atas amal
perbuatan dan amal yang shaleh. Yang jadi baik dengan dia segala amal
perbuatan mereka itu dan pekerjaan mereka itu setengahnya dengan
setengahnya mereka beringat-ingatan (berwasiat) dengan haq (yang benar)
yang wajib atas mereka itu bagi Tuhan mereka itu dan bagi diri dan umat
mereka itu dan mereka itu berwasiat dengan sabar dan menahan akan
segala musyaqah pada jalan hak itu dan masuk padanya menyuruh dengan
kebajikan dan menegah daripada yang munkar (Imran, Tafsir Tujuh Surah
Pendek, tt: 5-6).
mencelakakan diri sendiri, kecuali orang yang beriman. Yang dimaksud adalah
percaya kepada Allah dan hari akhir serta pecaya akan adanya balasan atas
perbuatan manusia, termasuk amal saleh. Di antara yang dimaksud amal saleh
Tafsir surah al-Kautsar. Surah ini adalah surah yang paling pendek, di
dalamnya mengandung beberapa hal yaitu dalil-dalil tentang mukjizat dan kabar
tentang yang gaib yang menjadi ujian keimanan. Allah telah memberikan kepada
Rasulullah nikmat yang bayak baik di dunia maupun nanti di akhirat yang dengan
menghapus sebutan orang-orang yang benci kepadanya (Imran, Tafsir Tujuh Surah
membedakan antara ibadah tauhid dan ibadah syirik-bid`ah. Ibadah tauhid adalah
sesuai dengan apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Sedangkan ibadah syirik
421
dan bid`ah adalah mengikuti ajaran para nabi terdahulu sebelum Rasulullah.
Rasulullah dan orang-orang yang mengikutinya tidak akan menyembah apa yang
disembah oleh orang-orang musyrik atau yang serupa yang mereka sembah.
musyrik yang dibuat-buat dengan yang memang diturunkan oleh Allah (yang
dibawa oleh Rasulullah (Imran, Tafsir Tujuh Surah Pendek, tt: 7).
sesuatu kepada Allah serta membatalkan segala hal yang dibuat-buat oleh kaum
watsaniyah di masa lalu. Surah ini juga membatalkan pemahaman agama terakhir
kejahatan yang menyatakan adanya ibu tuhan atau menyerupakan dan mengambil
bandingan bagi Allah. Termasuk paham-paham yang dibatalkan atau tidak sesuai
Jelas terlihat dalam kutipan di atas Basioeni Imran menyatakan bahwa menyebut
422
nama-nama orang alim dalam berdoa yang disebut dengan istilah tawasul127 dan
istisyfa` seperti yang dilakukan oleh para aulia dan syufa`a merupakan bagian dari
yang dibatalkan atau tidak sesuai dengan makna Allah yang ahad dan Allah yang
shamad.
perlindungan) yaitu surah al-Falaq dan al-Nas. Ada hikmah yang besar
dengan berlepas diri dari paham-paham agama pagan (watsaniyah) dan orang-
dan al-Nas) adalah meminta perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan
penjagaan kepada Allah dari berbagai hal di alam dari kejahatannya, baik di waktu
siang maupun malam (Imran, Tafsir Tujuh Surah Pendek, tt: 9-10).
manusia bahwa ada kejahatan yang lebih besar dibandingkan yang bersumber dari
makluk lainnya, yaitu kejahatan yang tersembunyi dalam diri sendiri, yaitu
kejahatan yang bisa merusak akidah dan pikiran, menebarkan fitnah kepada
masyarakat, serta permusuhan yang diberikan oleh syaitan manusia dan jin pada
setiap diri, yaitu was-was yang tersembunyi. Atas semua jenis kejahatan itu,
ulangnya penyebutan kata al-nas dalam surah ini adalah untuk menegaskan bahwa
sumber kejahatan itu sesunguhnya berasal dari dalam diri manusia itu sendiri
Tafsir Surah al-Fatihah. Nama lain dari surah ini adalah Umm al-Kitab
berpendapat surah al-Fatihah adalah surah yang pertama kali turun. Namun
menurut jumhur ulama, yang pertama kali turun adalah awal surah al-`Alaq.
pertama kali turun secara lengkap. Barulah setelah itu surah al-Alaq diturunkan
Rasulullah dan ini telah menjadi ijmak ulama (Imran, Tafsir Tujuh Surah Pendek,
tt:14-15).
menyatakan Alquran itu diturunkan karena lima hal. Pertama, tauhid yaitu untuk
mengatasi agama berhala. Kedua, janji, yaitu janji pahala menyenangkan (wa’ad)
bagi yang berbuat baik dan janji berupa ancaman (wa`id) bagi yang berpaling dari
jalan kebaikan (sa`adah) dan cara menjalaninya. Kelima, kisah-kisah orang yang
taat dan yang ingkar. Kelima hal tersebut telah dirangkum di dalam surah al-
Segala nikmat itu datangnya dari Allah, maka segala pujian harus untuk-Nya. Rab
tidak hanya bermakna malik (yang memiliki) dan sayyid (tuan) saja, tetapi ada
424
nasta’in yang berhak disembah dan dimintai pertolongan hanya Allah. Ini untuk
Adapun wa’ad (janji dengan baik) dan wa’id (ancaman dengan kejahatan)
juga mengandung akan wa’ad dan wa’id. Al-din dapat berarti khudu’ yaitu
tunduk artinya segala yang ada di alam ini adalah tunduk kepada Allah. Al-din
juga berarti jaza’ (balasan) dan ialah pahala bagi orang yang membuat baik atau
siksa bagi orang yang membuat kejahatan dan yang demikian itu wa’ad dan
wa’id. Dan tambah lagi atas yang demikian, bahwa ia telah sebut kemudian (al-
shirath al-mustaqim) jalan yang lurus yaitu orang yang telah memasuki atau
menjalani akan dia. Beruntunglah ia dan barang siapa menjauhi akan dia niscaya
menyatakan perintah yang keempat yang melengkapi akan ibadah itu dan
melengkapi akan hukum-hukum mu’amalat (seperti jual beli dan lainnya) dan
menyiasati umat dengan zamannya. Ihdinash shirathal mustaqim yaitu jalan yang
atas bisa dikatakan cukup sederhana. Keduanya ditulis tidak tuntas dan sebagian
bahwa Basioeni Imran tidak begitu berminat dalam menulis tafsir. Ini mungkin
karena kebutuhan dan minat masyarakat Sambas terhadap kajian tafsir tidak
begitu tinggi. Cukuplah bagi Basioeni Imran menggunakan kitab-kitab tafsir yang
dimilikinya. Kedua naskah yang ditulisnya ini diduga adalah sebagai bahan
saat itu. Jadi, dua naskah tafsir tersebut ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan
nyata masyarakat saat itu. Naskah tafsirnya yang tidak selesai dan singkat belum
dapat dikategorikan masuk dalam tafsir bi al-ma’tsur, tafsir ayat Alquran dengan
Dari berbagai karya tulisnya, tidak ada satu pun Basioeni Imran menulis
khusus tentang pendidikan. Oleh karena itu agak sulit menemukan benang merah
tulisnya secara cermat satu per satu. Meskipun demikian, tidak berarti pemikiran
meskipun tidak ada karya tulisnya yang khusus tentang ini, karena kebijakan-
pendidikan. Seperti yang terjadi di belahan dunia Islam lainnya (Turki dan Mesir,
pembaruan Islam. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha juga berupaya melakukan
Sekolah Tarbiatoel Islam berikut beberapa petikan tulisan Basioeni Imran tentang
rumahnya sendiri serta di berbagai tempat lainnya. Saat ditanya oleh seorang
pegawai kantor Adviseur voor Inland Zaken te Batavia apakah ia ada mengajar di
[khusus untuk] orang-orang perempuan, saya baca tafsir dan hadis dan hukum-
hukum agama yang fardu diketahui oleh tiap-tiap muslim” (Imran M. B., 1933-
427
c:5). Ini menunjukkan bahwa alasan utama rutinitas Basioeni Imran mengajar
agama di masjid dan di rumah adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk
memahami seluk belum agamanya, baik itu Alquran, hadis, hukum-hukum (fikih)
maupun ilmu-ilmu lainnya. Demikian juga dengan ilmu ushul al-din (segala
pangkal agama) hukumnya wajib atau fardu `ain yaitu wajib bagi tiap-tiap orang
B., 1918-a: 1). Artinya, dasar utama mengajar dan belajar ilmu-ilmu agama adalah
kewajiban yang bersumber dari ajaran agama, yaitu beradasarkan hadis Rasulullah
SAW. “ “ طلب العلم فريضة علي كل مسلم ومسلمةMenuntut ilmu itu fardu atas tiap orang
Islam laki-laki dan orang Islam perempuan. Ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu:
lainnya hukum-hukum halal dan haram. Karena dengan ilmu itu tercapai segala
keduniaan maupun keagamaan pada masa lalu adalah karena mereka menguasai
ilmu pengetahuan.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa umat Islam di masa lalu mengalami masa
428
terlebih lagi dalam kehidupan keagamaan. Semua kemajuan itu dicapai karena
berkembangnya ilmu yang berdasar pada Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.
kemajuan orang-orang Barat. Berikut pernyataan Basioeni Imran tentang hal ini:
Jelas bahwa kemajuan yang telah dicapai negara-negara Barat dan Jepang
memilikinya, baik dia muslim maupun nonmuslim. Oleh karena itu, umat Islam
yang bermukim di ibukota kerajaan, kota Sambas. Hal ini tercatat dalam
429
sejak tahun 1914 hingga berdiri tahun 1916. Guru kepala (kepala sekolah)
baru saja pulang dari belajar di Mesir. Basioeni Imran bertugas sebagai pengawas
tahun 1922 (wafat tahun 1924) maka naiklah Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II
menggantikan sebagai sultan. Karena sejak awal sultan yang terakhir ini terlibat
terhadap madrasah tidak berkurang. Namun kondisi gedung madrasah sudah harus
diperbaiki. Oleh karena itu dibentuklah sebuah komite yang diberi nama
baru diberlakukan kepada para murid, yaitu adanya iuran yang harus dibayar oleh
tiap murid. Kebijakan berikutnya adalah meminta izin kepada sultan untuk
menggunakan uang nikah, cerai, fitrah dan zakat untuk membantu pembangunan
kepala madrasah karena merasa sudah tua dan sebagai gantinya Basioeni Imran
Pengetahuan berencana mendirikan gedung madrasah sendiri, dan usaha itu pun
430
dimulai. Gedung madrasah yang baru ditempati pada tanggal 8 Syawal 1348 H/9
9). Gedung madrasah dibangun di darat Kampung Angus, Kota Sambas di atas
tanah wakaf yang diberikan oleh Raden Muhammad Yusuf Perbukusuma dan Mas
Hasan bin Mas Tatut pada 30 Jumadil Akhir 1347 H. / 13 Desember 1928 (Surat
berciri modern. Madrasah yang semula hanya untuk kalangan terbatas mulai
anaknya ke madrasah. Di samping itu, pelajaran baca tulis huruf latin juga mulai
Latin dalam tradisi tulis menulis di dunia Melayu telah ditanyakan oleh Basoeni
Imran kepada gurunya Rasyid Ridha melalui surat bertanggal 13 Februari 1930
dan majalah sangat sedikit yang menggunakan huruf Arab-Melayu dibanding yang
Belanda mengajarkan huruf Latin saja sedangkan Arab-Melayu tidak. Ini cukup
huruf Arab-Melayu. Jika dibiarkan, maka hal ini akan menjadi kerugian besar bagi
Pernyataan dalam kutipan ini menunjukkan sikap Basioeni Imran bahwa khawatir
oleh huruf Latin. Ini akan berdampak pada pemahaman agama pada masyarakat.
keagamaan. Apa yang baik yang berasal dari Eropa, seperti penggunaan huruf
Sulthaniyah dengan mengajarkan tulis baca huruf Latin di samping huruf Arab-
Melayu.
128
Telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dari teks aslinya di dalam majalah al-Manar yang
berbahasa Arab.
432
dimuat enam pertanyaan Basioeni Imran yang tiga di antaranya adalah sebagai
berikut:
sebagian orang yang belajar di Mesir, itu lebih tinggi kualitas ilmunya dari pada
sebagian mereka yang belajar di Eropa. Sebagian pegawai di Mesir adalah lulusan
Mesir dan sebagiannya adalah lulusan Eropa. Untuk belajar bahasa asing memang
lebih baik hasilnya kalau belajar langsung di luar negeri, tetapi belajar di Mesir
juga bisa baik jika berinteraksi langsung dengan orang asing penutur bahasa yang
berbagai belahan dunia, Basioeni Imran juga aktif membaca majalah al-Manar
433
sekolah itu supaya sesuai dengan pelajaran standard school dan vervolg school.
1. Beliau minta supaya ini sekolah ditunjang oleh penduduk Sambas dan
daerahnya.
2. Beliau menyatakan: menurut sepanjang berita bahwa sekolah HIS akan
tutup bilamana bilangan murid-muridnya tidak mencukupi sebagaimana
mestinya.
3. Beliau bertanya: Apa kita tinggal diam sajakah apabila kita kehilangan
sekolah tersebut?
4. Beliau menerangkan bahwa: Jikalau sekolah tersebut diambil oleh
orang-orang agama lain seperti Kristen, tentu sekali orang-orang takut
akan memasukinya, atau pun ia masukkan anaknya tetapi dikhawatiri
agamanya kalau ia tidak jaga dan didik dengan pelajaran agama Islam.
5. Beliau minta bagaimanakah supaya murid-murid sekolah itu boleh
sampai menurut pelajaran HIS?
6. Beliau bertanya; Bagaimana kita ikhtiarkan supaya rumah sekolah
bekas HIS dapat kita mencapainya? (Imran M. B., Al-Madrasah al-
Sulthaniyah al-Islamiyah, tt: 10-11).
Sulthaniyah adalah sesuatu yang sangat penting, karena sejak awal berdiri biaya
operasionalnya sebagian diambil dari masyarakat melalui fitrah, zakat, uang nikah
dan cerai dan sumbangan lainnya. Menyangkut kondisi sekoah HIS, murid
diberitakan dalam surat kabar Oetoesan Borneo, 2 Juni 1928 Nomor 42 tahun ke-
bumiputra, yaitu HIS, sekolah kelas II milik pemerintah dan sekolah agama
sekitar 50 orang untuk tujuh kelas. Mengantisipasi ditutupnya HIS dan agar tidak
diambil alih oleh misi Katolik, maka menurut Basioeni Imran Madrasah al-
agar Madrasah al-Sulthaniyah siap menerima limpahan murid dari HIS jika
ditutup, madrasah juga harus siap dengan sistem pembelajarannya yang bisa
mengintrodusir sistem yang telah dijalankan di HIS. Jika nanti masyarakat yang
yang sistem dan kurikulumnya juga sudah sama dengan HIS atau bahkan lebih
baik.
6) Guru Ariyani
7) Uray Qadri
435
Islamiyah hanya sampai pada pembentukan komite sementara terdiri dari sepuluh
Perjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni Imran (1950) disebutkan mulai
1936 sampai 1950 (Februari) Basioeni Imran menjadi ketua dari Perkumpulan
Tarbiatoel Islam Sambas yang hingga kini masih mempunyai sekolah di Sambas.
Dengan demikian, tugas komite sementara yang telah dibentuk dan beranggotakan
Perkoempoelan Tarbiatoel Islam Sambas pada 1 Juli 1936 dengan motto “Nusa
dan bangsa tidak akan maju tanpa memiliki perguruan bangsa sendiri” dan dipilih
sebagai ketua adalah Basioeni Imran (Erwin, 2002: 105; Salim, et al., 2011: 90;
pelajaran agama Islam dalam Kerajaan Sambas serta memajukan cara kehidupan
tersebut adalah:
436
pendidik yang ahli dan memiliki ijazah. Salah seorang di antaranya adalah
dan sebagian lagi dari Madrasah al-Junayd Singapura (Erwin, 2002: 112). Selain
karena ingin mencari para pendidik yang ahli di bidangnya, usaha mengimpor
para pendidik dari luar adalah untuk memasukkan ide-ide dan upaya pembaruan
yang dibawa oleh guru-guru tersebut. Hal ini dapat dilihat dari daerah asal
mereka, yaitu dari daerah sekolah beraliran modern dan masyarakatnya telah
129
Perguruan ini dalam proses pembelajarannya banyak menggunakan kitab-kitab Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha, terutama Tafsir al-Manar, karena itu sangat sesuai dengan pemikiran
Basioeni Imran. Lihat penjelasan lebih lanjut tentang Thawalib dalam (Noer, 1996: 54-59).
130
Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah di zaman kolonial yang mendidik anak-anak dalam
bidang pengetahuan umum, kesenian dan kerajinan tangan di samping pemupukan kepercayaan
terhadap diri (Noer, 1996: 200; khususnya catatan kaki no. 90).
131
Tentang HIK Bandung dapat dibaca lebih lanjut dalam (Lubis, et.al., 2013: 16-22).
437
maju.
tetap dipertahankan. Perubahan terjadi pada jumlah tingkatan dan lamanya belajar.
Sistem tingkatan dari kelas 1 s.d. 5 yang berarti lama belajar lima tahun diubah
menjadi kelas 1 s.d. kelas 7 dengan lama belajar tujuh tahun. Hal ini dilakukan
menjadi kelas 1 s.d. 7 sesuai dengan muatan ilmu atau pelajaran yang diberikan
juga sudah diterapkan oleh Basioeni Imran, di mana murid laki-laki dan
perempuan belajar di ruang kelas yang sama. Dalam hal ko-edukasi, Sekolah
Tarbiatoel Islam lebih maju dibandingkan sekolah Katolik di Sambas yang saat itu
masih memisahkan antara murid laki-laki dan murid perempuan pada sekolah
administrasi modern seperti absensi kelas, evaluasi, daftar nilai (raport) serta
pembaruan mulai dilakukan seiring kembalinya para pemuda Sambas dari belajar
di Mekah dan Mesir dan mulai mengajar di madrasah tersebut. Pemuda tersebut
438
antara lain Basioeni Imran dan sudaranya Ahmad Fauzi Imran dan Haji
antara lain Fath al-Qarib (Muhammd Ibn Qasim), Syari`ah wa Aqidah (Mahmud
(Husayn Waliy). Setelah para pemuda tersebut masuk, maka mulai dimasukkan
beberapa pelajaran umum seperti berhitung dan baca-tulis huruf Latin (Erwin,
2002: 108-109).
Sumber: Data diolah dari H. Murad Kasim 2002, dalam: Erwin, 2002: 109-110.
439
Melayu kuno dan aksara Arab-Melayu mulai diperbarui. Khusus untuk murid
kelas 1 s.d. 3 masih menggunakan bahasa Melayu, sedangkan murid kelas 4 s.d. 7
mata pelajaran agama yang lama. Beberapa mata pelajaran umum yang masukkan
pada tahun 1936 adalah ilmu sejarah, berhitung, ilmu alam, ilmu tumbuhan, ilmu
hewan, ilmu manusia, Bahasa Belanda, Bahasa Indonesia. Seperti yang telah
berasal dari Barat yang baik maka harus diambil untuk kemajuan umat Islam.
Meskipun demikian, umat Islam tidak boleh tercerabut dari basis agama Islamnya,
Sumber: Data dioleh dari H. Murad Kasim, 2002 dalam Erwin, 2002: 114.
Melihat daftar mata pelajaran Tarbiatoel Islam di atas, nampak jelas bahwa
sekolah ini telah mengadopsi kurikulum HIS. Sekolah HIS adalah perubahan dari
(Membelanjakan Uang pada Jalan Allah Ialah Jalan Kemajuan) tahun 1938,
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa perbandingan jumlah murid laki-laki dan
perempuan adalah lebih kurang 2:1, dengan jumlah rata-rata satu kelas berkisar
40-50 murid. Salah satu kendala yang dihadapi oleh sekolah tersebut adalah masih
mengandalkan dari zakat, fitrah, uang nikah dan cerai yang dikumpulkan dengan
hasil yang dapat disaksikan oleh masyarakat luas. Salah satunya adalah
dibawakan oleh murid kelas 3 dan 4 dengan menggunakan bahasa Belanda pada
Sabtu, 5 Juli 1940. Saat itu Kepala Tarbiatoel Islam adalah Moersid [Murshid
Idris] dan salah seorang gurunya bernama Soefian [Sofyan Ahmad]. Borneo Barat
menyebut Tarbiatoel Islam sebagai Schakel School atau sekolah rakyat (Borneo
setiap malam Rabu bertempat di gedung sekolah dan diikuti baik laki-laki maupun
perempuan, tua dan muda. Dalam kegiatan tabliqh antara laki-laki dan perempuan
tanpa hambatan. Berdasarkan berita dalam Borneo Barat edisi 22 dan 24 Juli
1) Terjadinya krisis guru. Beberapa kali ada guru yang minta berhenti sebelum
tahun pelajaran berakhir. Terpaksa harus dicari guru pengganti dari tanah Jawa,
terpaksa menggunakan satu buku untuk dua atau tiga orang. Untuk membeli
hanya dari uang nikah dan cerai dari landschap Sambas. Uang tersebut tentu
tidak memadai karena juga digunakan untuk biaya guru dan alat-alat
sekolah.132
3) Masalah keuangan. Selain dari uang nikah dan cerai, pihak sekolah juga
ketika uang kontribusi dinaikkan, maka banyak anggota yang minta berhenti
sehingga jumlah anggota yang tadinya ada 500 orang lebih berkurang tinggal
beberapa ratus. Uang kontribusi dari anggota yang ada masuknya juga tidak
tetap.
tonil) dari sekolah Tarbiatoel Islam. Ada yang beranggapan bahwa tujuan
pelajaran bahasa Belanda, ada yang tidak setuju dan mengatakan kalau mau
132
Ketika masih sebagai Madrasah al-Sulthaniyah gaji para guru ditanggung oleh Sultan (baik
Sultan Moehammad Tsafioeddin II maupun Sultan Muhammad Ali Shafiuddin). Namun sejak
berubah menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam, yang bertanggung jawab adalah Perkumpulan
Tarbiatoel Islam. Hal ini wajar, mengingat namanya tidak lagi al-Sulthaniyah yang
diidentikkan dengan milik kesultanan.
443
Selain itu ada juga hal-hal yang menggembirakan dari sekolah Tarbiatoel Islam.
Pada tahun ini (1941), ada empat orang lulusan sekolah Tarbiatoel Islam yang
menempuh ujian staats examen (ujian negara) untuk voorklas MULO dan 2 orang
perubahan mata pelajaran, namun secara umum Sekolah Tarbiatoel Islam masih
memadukan mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum. Pada masa itu
ketua perkumpulan masih dipegang oleh Basioeni Imran (Yunus, 1979: 344).
1. Nahwu Berhitung
5. Hadis Kesehatan
8. Tarikh
9. Akhlak
10. Alquran
11. Terjemah
Sumber: Dioleh dari: Mahmud Yunus. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: 344.
444
dan segala hal yang terkait dengannya, dapatlah ditarik beberapa hal penting
seseorang sebagaimana telah digariskan oleh Rasulullah SAW melalui hadis yang
telah disebutkan. Ilmu pengetahuan menjadi pondasi dan sumber kemajuan umat
Islam baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Ilmu pengetahuan
harus tetap berpijak pada ajaran dan nilai-nilai agama. Mengembangkan ilmu
pengetahuan berarti pula mendayagunakan akal dan pikiran yang dimiliki oleh
agama dan kehidupan manusia maka dari mana pun sumbernya boleh diambil,
termasuk yang berasal dari dunia Barat. Ilmu pengetahuan yang diperoleh dari
manusia (peserta didik) agar siap dan sukses hidup di dunia ini. Untuk itu, kepada
peserta didik harus dibekali pula dengan ilmu dan keterampilan yang
Basioeni Imran telah menulis beberapa kitab dan naskah dengan berbagai tema.
Sebagian besar karya tulisnya di bidang hukum Islam dan sedikit di bidang tauhid,
tafsir dan sejarah. Jika dicermati tema-tema dan terutama latar belakang ia
Islam kepada umat karena kurangnya pemahaman mereka terhadap ajaran Islam.
Tulisan yang masuk dalam kategori ini adalah yang ditulis sebelum 1930. Kedua,
memahami ajaran Islam. Isi tulisan dalam kategori ini adalah selain memaparkan
keberpihakan Basioeni Imran atas perbedaan pendapat yang ada. Latar belakang
umat Islam. Tulisan yang masuk dalam kategori ini adalah yang ditulis mulai
merespon Islam dan umat Islam baik di Sambas, kawasan dunia Melayu maupun
dunia Islam secara umum. Pada masa sebelum 1930 Basioeni Imran masih dalam
masa menyerap dan memahami berbagai persoalan yang ada di tengah umat Islam
Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya tulisan Tarjamah Durus al-Tarikh al-Syari'ah
Mendirikan Jumat Kurang Dari Pada Empat Puluh (1920), dan bisa juga
dimasukkan dalam kategori ini kitab Tazkir Sabil al-Najah fi Tarik al-Shalat
(1931). Setelah 1930, Basieoni Imran sudah memahami dan menyadari kondisi
umat Islam, khususnya di Kerajaan Sambas dan dunia Melayu umumnya, umat
Termasuk penyebab perpecahan itu adalah sikap taklid dan anggapan bahwa pintu
ijtihad yang sudah tertutup. Karena tidak ada lagi ijtihad maka kondisi umat
menjadi jumud atau beku. Perselisihan dan perpecahan umat ini salah satunya
disebabkan oleh terjadinya perbedaan pendapat antara “kaum tua” dengan “kaum
muda”. Kaum tua diwakili oleh antara lain Nahdlatul Ulama, dan kaum muda
diwakili antara lain oleh Muhammadiyah dan al-Irsyad. Dalam upaya mengurai
attafarruqi fiha wal ichtilaaf (1933), Terjemah al-Imam al-Syafi'i (1933), Husn al-
Jawab 'an Itsbat al-Ahillat bi al-Hisab (Molek Jawaban Pada Menstabitkan Awal
Sebagai orang yang pernah belajar di pusat dan tempat awal lahirnya Islam
(Mekah) dan perguruan tinggi tertua di dunia (al-Azhar, Kairo) Basioeni Imran
447
jelas memiliki wawasan dan pandangan yang cukup luas menyangkut kehidupan
masyarakat muslim dunia. Terlebih lagi secara rutin ia menjadi pelanggan dan
pembaca setia majalah al-Manar, yang berisi berita-berita dari seluruh dunia, baik
Barat menguasai berbagai kerajaan dan kesultanan Islam hampir di semua belahan
dunia. Padahal dahulu orang-orang Islam mampu menjadi umat yang maju dan
Islam maju kepada gurunya Rasyid Ridha 133 seperti yang telah disinggung pada
Sambas khususnya dan dunia Melayu umumnya mendorong dirinya pada 1930
kemajauan umat lain (khususnya Eropa). Bermula dari hal tersebut, Basioeni
Terkait dengan kondisi umat Islam pada masanya, Basioeni Imran menulis:
133
Yang dimuat dalam majalah al-Manar Volume 31 Nomor 5 (29 Rajab 1349 H. / 20 Desember
1930 M.).
448
Kunci kemajuan umat Islam di masa lalu adalah ilmu pengatahuan. Dahulu umat
baik yang dikategorikan sebagai ilmu agama maupun ilmu umum. Semua jenis
manusia berilmu pengetahuan. Kemajuan yang dicapai dunia Barat ternyata juga
memiliki kunci yang sama yaitu ilmu pengetahuan. Umat Islam mundur
pendapat para ulama dan cerdik pandai terdahulu. Kondisi taklid ini kemudian
Surabaya, dan Yogyakarta. Banyak hal yang dilihatnya dan juga bertemu dengan
beberapa tokoh seperti G.F. Pijper, Syaikh Ahmad Sorkati, 134 serta tokoh-tokoh
Al-Irsyad (Syaikh Abu Bakar Basyarahil dan Sayyid Umar al-Habsyi di Surabaya)
umat Islam khususnya di Jawa. Di setiap tempat yang dikunjungi Basioeni Imran
134
Sorkati adalah pendiri dan tokoh utama organisasi Al-Irsyad yang membawa ide-ide
pembaruan. (Lihat kembali penjelasan pada bab 2 khususnya pada bagian “Kaum Tua” vs
“Kaum Muda” dan lihat penjelasan lebih lanjut tentang sosok Sorkati dalam: Pijper, 1985:
114-126).
449
Indonesia (PSII), Partai Syarikat Islam (PSI) dan Indonesia Muda (tokohnya Dr.
memberi kesan tersendiri pada diri Basioeni Imran seperti tulisannya berikut ini:
(Amma ba’du) Adapun kemudian daripada itu maka apakala saya tiba di
negeri saya (Sambas) di dalam Bulan Ramadan tahun 1351 H daripada
pelayaran saya di tanah Jawa (Betawi, Yogyakarta, dan Surabaya)
memperhatikan pergerakan agama Islam di sana dari segala pelajarannya
(sekolah-sekolahnya) dan hal ihwal ahlinya baik pun tentang perkara
keagamaan atau keduniaan maka mendapatlah saya ibrah dan tauladan dan
bertambahlah ingatan saya bahwa sebaik-baik pekerjaan seseorang
memberi manfaat akan dirinya sendiri kemudian ahlinya dan kaum
kerabatnya kemudian akan umatnya dengan kadar kuasanya. Dan manfaat-
manfaat itu bermacam-macam jenisnya baik pun untuk dunia semata-mata,
atau akhirat semata-mata, atau dunia dan akhirat bersama-sama dan
teruslah saya menulis (Imran M. B., 1933-b: 2).
Perselisihan dan saling bantah membantah terjadi baik dalam hal amalan maupun
dalam masalah keyakinan. Karena perselisihan terjadi di antara para ulama, maka
terjadi antara dua kelompok. Kelompok pertama ingin meninggalkan taklid buta
terhadap kitab-kitab ulama mutaakhkhirin dan ingin kembali kepada Alquran dan
Sunnah Rasulullah. Kelompok kedua tidak senang dengan kelompok pertama dan
tetap taklid kepada kitab-kitab ulama mutaakhkhirin yang telah diakui. Kelompok
pertama sering disebut “kaum muda” sedangkan kelompok kedua disebut “kaum
tua”.135
perselisihan adalah dalam penetapan awal bulan Ramadan (puasa) dan awal bulan
135
Lihat kembali penjelasan kedua kelompok ini pada bab 2.
451
Maka pertengkaran dan perselisihan itu hendaknya tidak bagus bagi kita
orang muslimin yang tahu agama. Maka bagaimana kiranya orang agama
lain nya memandang hal kita pada yang demikian? (Imran M. B., 1938-a:
1)
perbedaan pendapat dalam masalah talkin juga marak pada masa itu. Hal ini
setuju dengan yang tidak setuju (Imran M. B., 1943: 30-31). Karena maraknya
fatwa kepada Rasyid Ridha mengenai hukum talkin mayat. Dalam kata pengantar
keprihatinannya:
(hal-hal yang tidak ada kesepakatan ulama tentangnya) akan berdampak terjadinya
kerusakan dan dosa besar. Oleh karena itu, mengerjakan atau meninggalkan
Imran adalah meluasnya sikap taklid. Taqlid adalah istilah yang muncul dan
banyak dibahas dalam ilmu ushul fikih dan tarikh tasyri` (sejarah pembentukan
menganggap bahwa pendapat para sahabat Nabi adalah sumber hukum Islam dan
dengan tidak berdalil atau keterangan atau semata-mata meniru” (Imran M. B.,
Berdasarkan uraian di atas, taklid adalah menerima begitu saja perkataan atau
pendapat para ulama terdahulu dengan tanpa mengetahui dalil-dalil atau dasar
taklid bagi orang awam pada masalah furu`, berbagai ayat Alquran sangat
mencelanya.
Sikap taklid sesungguhnya tidak muncul pada zaman modern saja. Dalam
453
munculnya sikap taklid setelah abad keempat hijriyah. Dalam pembahasan sejarah
pembentukan hukum Islam (tarikh tasyri`) taklid bukan sekedar sikap, tetapi nama
pembukuan dan periode taklid (Khallaf, 2000). Periodesasi yang sama juga
taklid / jumud serta tambahan periode tiga kerajaan besar, periode kebangkitan
dan periode modern (Sopyan, 2010: 14-17).136 Sebagai nama sebuah periode,
maka sikap taklid menjadi sikap umum para ulama dan umat Islam di periode
tersebut. Prestasi cemerlang para ulama di bidang fikih pada periode pembukuan
(awal abad kedua hijriyah sampai pertengahan abad keempat hijriyah) dengan
hadirnya para imam mazhab diikuti dengan periode melemah dan mandegnya
semangat ijtihad mutlak, sehingga menjamur sikap taklid dan anggapan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup. Para ulama pada periode ini cukup puas hanya dengan
melakukan tiga hal: (1) mentarjih berbagai pendapat dalam mazhab; (2) membela
mazhab; dan (3) merumuskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah ushul fikih (Sirry,
sejumlah kerajaan yang saling bermusuhan. Hal ini berdampak pada melemahnya
136
Mun`im A. Sirry membuat periodesasi yang sedikit berbeda dalam penamaan periode, namun
substansinya sama. Sirry membagi perkembangan hukum Islam menjadi enam periode: (1) Era
kenabian; (2) Era Khulafaur-Rasyidin; (3) Era Sighar Sahabat dan Tabi`ien; (4) Era Keemasan;
(5) Era Keterpakuan Tekstual (Jumud dan Stagnasi); dan (6) Era Kebangkitan Kembali (Sirry,
1995: 20-21)
454
semangat ilmiah pengembangan ilmu. (2) Para imam mujtahid yang hadir pada
yang ketat bagi seseorang yang disebut mujtahid. (4) Tersebarnya penyakit moral
di kalangan para ulama yang menghalangi mereka dari ketinggian derajat ijtihad
fanatisme atau ta`assub ikut memperparah kondisi umat Islam. Baioeni Imran
sikap taklid. Akibat lanjutan dari fanatik terhadap mazhab masing-masing adalah
mujtahid, yang kepadanya dinisbatkan nama mazhab, terjalin hubungan erat guru-
455
murid137 yang saling menghormati dan tidak saling mengklaim dirinya yang
paling benar.
sikap fanatik yang berlebihan yang memang diciptakan oleh paran pengikut Imam
ulama mutaakhkhirin ini tidaklah benar, karena tidak didasarkan pada kitabullah
dan Sunnah Rasulullah. Padahal jelas Allah memerintahkan untuk kembali kepada
Alquran dan Sunnah jika terdapat perselisihan (Q.S. al-Nisa [4]: 59). Selanjutnya
jika tidak ditemukan pada keduanya, maka bisa langsung menggunakan ijtihad
seperti diisyaratkan dalam hadis Rasulullah tentang pengiriman Muaz bin Jabal
kamu dapati di dalam buku menyalahi Sunnah Rasulullah SAW. maka kamu
Taklid dan fanatisme yang membuat masyarakat jumud (beku) yang terjadi
di Indonesia dan dunia Melayu bertolak belakang dengan yang terjadi di Eropa,
137
Imam Malik bin Anas (93 – 173 H.) adalah guru dari Imam al-Syafi`i (150 – 204 H.) dan Imam
al-Syafi`i adalah guru dari Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H.). Riwayat hidup para imam
mazhab dapat dibaca dalam asy-Syarqawi. 2000. Riwayat Sembilan Imam Fiqih. Bandung:
Pustaka Hidayah.
456
memiliki tenaga, paham dan akal dan karenanya umat Islam bisa maju. Oleh
Maksoed saja dengan ini (1) menjatakan bahwa idjtihad itoe tidak Allah
Ta`ala toetoep akan pintoenja bagi siapa2 jang ia boekakan baginja dari
pada segala hambatannja. (2) Soepaja djangan disangka oleh orang2 djahil
bahwa idjtihad itoe haram dan tidak haroes lagi hingga hari qijamat. (3)
Soepaja berniat orang2 jang hendak menoentoet ilmoe agama akan
menoeroet perdjalanan Imam2 menoentoet ilmu jang berdalil dan
beralasan itoe sekalipoen kita tidak akan mendapat jang demikian karena
soedah loepoet waktoenja. (4) Boekanlah maksoed dengan idjtihad itoe
hendak menjalahi perkataan2 atau mazhab2 Imam soepaja baharoe shah
idjtihad itoe, tetapi haroes idjtihad seseorang berbetoelan dengan idjtihad
salah satoe dari pada mereka dan haroes joea bersalah-salahan sebab
menoeroet dalil dan keterangan. Dan haroes dan patoet memakai dan
menggoenakan kitab2 dan faham2 mereka dan kitab2 oelama jang
Moehaqqiqin oentoek menolong memfahamkan kitab Allah dan soennah
Rasoelnja s.a.w. sebagai faham jang betoel dan akan diterangkan perkara
ini (Imran M. B., 1933-a: 79).
Demikianlah pendapat Basioeni Imran, bahwa untuk keluar dari kebekuan pikiran,
keberanian untuk melakukan ijtihad. Dengan ijtihad maka akan berkembang ilmu
pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum. Berijtihad tidak berarti
telah ada. Hasil ijtihad bisa saja sama atau berbeda dengan pendapat mazhab yang
telah mapan, semuanya sangat tergantung pada dalil dan argumentasi yang
digunakan oleh mazhab-mazhab yang telah ada. Kitab-kitas tersebut tetap bisa
kekoeatannja dan daja oepajanja pada menghasilkan zhan dan sangka dengan
hoekoem sjar`i” (Imran M. B., 1933-a: 75). Syarat mujtahid atau orang yang
berijtihad dalam pandangan Basioeni Imran hanya dua, yaitu: Pertama, mengenal
mukjizatnya dan hal yang terkait dengannya ilmu dan iman dengan dalil-dalil
atau tempat pengambilan hukum (madarik al-ahkam), yaitu Alquran dan Sunnah
Rasulullah, ijmak, kias (Imran, 1933-a: 75). Jika seorang mujtahid hendak
yaitu: (1) Tahu mendirikan [mempergunakan] dalil dan syaratnya yang jadi dalil;
(2) Mengetahui bahasa Arab dan nahwu, termasuk ilmu balaghah (ma’ani, bayan
dan badi`) yang dengan itu ia mudah memahami khitab serta adat penggunaan
perkataan (kalam) sharih, zhahir, mujmal, haqiqi, majazi, `am, khash, muhkam,
mutasyabih, muthlaq, muqayyad, nash, fahwa, lahn dan mafhum. (3) Mengetahui
nasikh dan mansukh baik pada Alquran maupun Sunnah Rasulullah. (4)
Mengetahui riwayat dan membedakan sunnah yang sahih dengan yang fasid, yang
diterima dan yang ditolak (Imran, 1933-a: 76). Syarat-syarat seorang mujtahid dan
syarat yang harus dimiliki jika ingin meng-istinbath-kan hukum yang diajukan
Diduga ini dimaksudkan sebagai upaya agar para ulama bergairah kembali
Dari uraian di atas dapat dilihat Basioeni Imran sangat prihatin dengan
458
kondisi umat Islam yang terpuruk dalam sikap saling menyalahkan dan berbantah-
pendapat adalah rahmat bagi umat Islam. Hal ini disebabkan oleh merebaknya
sikap taklid buta dan fanatisme yang ditumbuhsuburkan sendiri oleh para ulama,
telah tertutup. Mungkin juga hal yang sebaliknya terjadi, karena anggapan pintu
terdahulu. Bersamaan dengan lahirnya sikap taklid muncul pula sikap fanatik atau
pendapat ulama tertentu yang dianutnya seraya mencela dan menyalahkan mazhab
atau ulama lain yang ia tidak sependapat denganya. Karena ulama dan masyarakat
ilmu pengetahuan terlupakan. Terjadilah kondisi masyarakat yang statis atau beku
(jumud).
umat bahwa perbedaan pendapat adalah sebuah fakta tak terbantahkan terjadi
sejak masa Rasulullah (yaitu antar para sahabat) hingga pada masa lahirnya para
ulama mujtahid atau para imam mazhab. Untuk membuka cakrawala berpikir
inilah maka Basioeni Imran menulis risalah Al-Ibanatoe wal Inshafoe fil
hijriyah tidak mengakibatkan perpecahan, karena sikap kritis dan ijtihad masih
terus berjalan. Sikap fanatik juga tidak berkembang. Karena itu, perbedaan
cakrawala berpikir ulama dan umat terbuka menerima perbedaan pendapat dan
Dengan demikian akan terjadi dinamika dalam masyarakat, ilmu pengetahuan pun
lalu.
adalah tercampurnya ajaran Islam yang murni dengan anasir-anasir baru yang
disebut dengan bid`ah dan khurafat. Oleh karena itu, jalan keluarnya menurut
hukum atau fikih. Dalam bidang teologi sangat jelas Basioeni Imran menganut
terhadap peristiwa Isra dan Mikraj juga mengikuti keyakinan Ahl al-Sunnah wa
al-Jamaah. Salah satu penjelasannya yang cukup menarik dari peristiwa Isra dan
langit dengan menggunakan konsep bila kaifa al-Asyari dengan bahasa yang lebih
mazhab yang diakui sebagai Ahl Sunnah wal al-Jamaah, khususnya lagi mazhab
lama Imam al-Syafi`i yang menyatakan sah sembahyang Jumat dengan jamaah
kurang dari empat puluh orang. Terkait dengan masalah sembahyang Jumat,
sembahyang Jumat tidak sah jika jamaahnya kurang dari empat puluh orang).
menyatakan sah dan perlunya metode hisab menggunakan ilmu falak dalam
penetapan awal bulan dan kebutuhan ibadah lainnya. Demikian juga dalam hal
poligami ini menjadi bukti berikutnya bahwa Basioeni Imran banyak mengikuti
pemikirannya yang utuh, karena karya tulisnya di bidang ini sangat minim.
Namun sekilas dapat dilihat bahwa Basioeni Imran menggunakan metode tafsir
bertanggung jawab bagi kesejahteraan peserta didik di dunia dan akhirat. Oleh
membawa kemajuan bagi agama dan umat harus diadopsi tanpa harus melihat
Imran mengikuti hal yang serupa di Mesir dan beberapa negeri muslim lainnya.
terhadap mazhab yang menjadikan pintu ijtihad tertutup dan umat mengalami
berkembangya taklid dan fanatisme. Oleh karena itu jalan keluarnya adalah
membuka kembali pintu ijtihad. Tertutupnya pintu ijtihad sejak abad keempat
Imran membuat persyaratan yang lebih ringan untuk seorang mujtahid dan juga
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Transmisi keilmuan dan ide-ide pembaruan dari pusat Islam Arab Saudi
Hindia Belanda yang menunaikan ibadah haji ke Mekah pada pada akhir abad ke-
19 dan awal abad ke-20. Sebagian jamaah haji tidak langsung pulang setelah
menjalankan ibadah haji. Mereka tinggal di sana untuk menuntut ilmu dalam
jangka waktu tertentu. Pada awal abad ke-20, pesona dan geliat pembaruan Islam
di Mesir juga telah menarik perhatian banyak muslim dari Hindia Belanda untuk
menimba ilmu di sana, tak terkecuali para pemuda dari Kerajaan Sambas. Pada
masa ini, transmisi ide-ide pembaruan dari Mesir ke Hindia Belanda semakin
deras karena didukung oleh hadirnya majalah ilmiah al-Manar yang memiliki
pusat keilmuan Islam dunia itu adalah Haji Moehamad Basioeni Imran. Ia anak
Sambas, Kalimantan Barat. Setelah pulang dari belajar di Mekah-Arab Saudi dan
meninggal dunia. Dari silsilah keluarganya, jelas terlihat bahwa Basioeni Imran
berasal dari keluarga ulama, karena empat generasi di atasnya adalah ulama yang
463
464
menjabat sebagai Imam atau Majaraja Imam di Kerajaan Sambas. Selain itu,
Tsafieoddin II, karena istri sultan adalah saudara dari bapaknya Muhammad
Imran. Berdasarkan dua fakta ini, Basioeni Imran memiliki sumber otoritas
Imran juga berkedudukan sebagai kadi dan mufti kerajaan yang secara resmi
Penghulu Land Rechter dan Adviseur dari Zelfbestuur Commissie. Semua jabatan
yang dimilikinya menjadi sumber otoritas yang bersifat legal (legal authority). Di
sisi lain, Basioeni Imran juga memiliki sumber otoritas yang besifat karismatik
(1982: 227), Basioeni Imran memperoleh dua sumber karisma sekaligus, yaitu
karisma murni dan karisma rutin. Karisma murni diperolehnya melalui proses
diakui oleh semua kalangan. Karisma rutin diperoleh Basioeni Imran karena ia
adalah keturunan kelima ulama yang menjabat sebagai Imam atau Maharaja Imam
kerajaan Sambas.
ke-20 tidak terdapat lembaga pondok pesantren di mana di dalamnya hidup ulama
Sambas sebagai pemegang otoritas keagamaan. Para Imam atau Maharaja Imam
kampung. Pejabat keagamaan seperti Imam Maharaja, Khatib, Bilal, Lebai dan
Modim inilah yang kemudian memerankan diri sebagai tokoh ulama pembimbing
dan panutan masyarakat. Kategorisasi ulama menjadi ulama bebas yang bergerak
di wilayah tabligh yang membimbing umat dan pejabat agama atau ulama
pejabat yang memegang otoritas hukum (sebagai kadi dan mufti) seperti di Jawa
agama atau ulama pejabat (karena ia adalah kadi dan mufti yang memegang
otoritas hukum) dan sebagai ulama bebas (karena ia adalah Maharaja Imam, yang
cultural broker, tetapi lebih dari itu adalah sebagai katalisator budaya (cultural
catalyst) yang ikut ambil bagian bahkan memimpin sendiri perubahan itu. Peran
otoritas, hampir tidak ada tokoh ulama yang memiliki pengaruh cukup besar yang
mudah direalisasikan dan diterima masyarakat. Kalau pun ada yang tidak setuju
berarti.
Sebagai seorang ulama yang pernah belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib
Imran masih berada dalam kerangka bermazhab meskipun ada sisi-sisi yang
masyarakat, Basioeni Imran menggunakan cara yang santun dan lemah lembut.
perpecahan umat adalah kondisi masyarakat yang dihadapi oleh Basioeni Imran.
adalah merebaknya taklid dan fanatisme terhadap mazhab. Solusi atas persoalan
reformasi yang lembut (soft reformation). Reformasi yang harus dilakukan untuk
Moehamad Basioeni Imran adalah seorang pembaru yang lebih cenderung pada
tampil sebagai ulama pejabat sekaligus ulama bebas. Atas dasar dua hal tersebut,
5.2 Saran
sangat penting untuk dijadikan model dalam melakukan dakwah. Berdakwah atau
suatu hal jangan sampai menimbulkan sikap saling menegasi satu pihak terhadap
pihak lainnya. Basioeni Imran memberikan contoh teladan sangat baik bagaimana
bersikap yang bijak terhadap sesuatu yang tidak disetujuinya. Demikian juga
dalam dakwah untuk mengubah sebuah tradisi harus dengan cara yang lembut,
bisa dengan cara-cara yang biasa. Tokoh ulama pembaru seperti Basioeni Imran
yang telah mengukirkan prestasi di Kerajaan Sambas juga didahului dengan usaha
yang tidak biasa. Ia harus dua kali berangkat mencari ilmu ke jantung Islam di
Timur Tengah. Sebuah usaha yang tidak mudah pada masa negeri ini masih dalam
Mekah tahun 1898 dan ke Kairo tahun 1908 pada masa lalu harus menjadi
pelajaran berharga bagi masyarakat pada masa kini. Masyarakat sekarang juga
469
harus melakukan hal yang luar biasa, khususnya di bidang pendidikan, untuk
sejarah dalam bentuk tertulis masih sulit ditemukan, karena masyarakat belum
merekam data sejarah. Salah satu contohnya adalah tidak adanya perhatian dalam
Tamadun Islam Nagri Sambas. Karena tidak ada pengelolaan yang memadai,
tempat penyimpanannya atau semakin rusak dimakan usia. Demikian juga dengan
situs-situs sejarah lainnya di Sambas, masih jauh dari perlakuan yang layak. Oleh
Maharaja Imam dan struktur birokrasinya yang sampai ke tingkat desa atau
kampung perlu diteliti lebih lanjut. Birokrasi keagamaan ini sangat penting
para kyai-nya dan sejenisnya tidak ada di Kerajaan Sambas. Kedua, sejarah
Meskipun mursyid TQN Syaikh Ahmad Khatib Sambas berasal dari Sambas, tapi
hingga hari ini masyarakat Sambas masih asing dengan TQN dan sosok Khatib
Sambas. Ketiga, dalam konteks yang lebih luas, di Kalimantan Barat terdapat
belasan kerajaan Islam yang sebagian besar memiliki lembaga keagamaan seperti
Maharaja Imam. Peran para pejabat keagamaan di berbagai kerajaan tersebut perlu
dikaji lebih lanjut untuk melihat bagaimana perannya dalam membina moralitas
DAFTAR SUMBER
A. Buku
Abaza, M. (1998). Southeast Asia and the Middle East: Al-Manar and Islamic
Modernity. Dalam C. Guillot (Ed.), From the Mediterranian to the China
Sea: miscellaneous notes (hal. 93-111). Wiesbaden: Harrassowitz.
Achmad, J., Ikram, A. M., & Rivai, M. (1980). Silsilah Raja Sambas. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Adams, C. C. (1933). Islam and Modernism in Egypt. New York: Russell &
Russell.
Ali, M. (1996). Nilai-nilai Islam dalam Budaya Daya. Dalam: Aswab Mahasin,
dkk., (Ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya Nusantara,
Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.
Ali, F., & Effendy, B. (1992). Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
Ali, M. D. (2004). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukun dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
471
472
Anwar, R., & Malik, A. B. (Ed.). (2003). Ulama dalam Penyebaran Pendidikan
dan Khazanah Keagamaan. Jakarta: Balitbang Diklat Depag RI.
Apeldoorn, L. J. (2001). Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de studie van het
Nederlandse recht). (O. Sadino, Penerj.) Jakarta: Pradnya Paramita.
Arsalan, A.-A. S. (1954). Mengapa Kaum Muslimin Mundur. (M. Chalil, Penerj.)
Jakarta: Bulan Bintang.
ash-Shadr, M. B., & Mutahhari, M. (1993). Pengantar Ushul Fiqh & Ushul Fiqh
Perbandingan. (S. Pinandito, & A. Muhammad, Penerj.) Jakarta: Pustaka
Hidayah.
-------. (1970). Salaf Muhji Atsaris Salaf Gerakan Slafijah di Indonesia. Jakarta:
Permata.
-------. (2000). Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
473
-------. (2002). Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan.
Badran. (tt). Mengenal: H.M. Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas. Makalah
koleksi pribadi, Sambas.
Barakat, H. (2012). Dunia Arab: Masyarakat, Budaya dan Negara. (I. M, &
Zakkie, Penerj.) Bandung: Nusa Media.
Benda, H. J. (1985). Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Bosworth, C., Donzel, E. v., Heirichs, W., & Lecomte, G. (Ed.). (1995). The
Encyclopaedia of Islam (New Edition ed., Vol. VIII). Leiden: E. J. Brill.
-------. (2012). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Edisi Revisi ed.).
Yogyakarta: Gading Publishing.
Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia (Edisi Revisi ed.). Jakarta: LP3ES.
Esposito, J. L. (Ed.). (2002). EnsiklopediOxford Dunia Islam Modern (Vol. 6). (E.
Y.N, Penerj.) Bandung: Mizan.
-------. (2007). Sultans, Shamans & Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia.
Honolulu: University of Hawai'i Press.
Furchan, A., & Maimun, A. (2005). Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai
Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-------. (1996). Aliran-aliran Modern dalam Islam. (M. Husein, Penerj.) Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Hanafi, A. (1987). Pengantar Theology Islam (ke-4 ed.). Jakarta: Pustaka Al-
Husna.
475
-------. (1990). Theology Islam (Ilmu Kalam) (ke-8 ed.). Jakarta: Bulan Bintang.
Hasan, A. (1984). Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. (A. Garnadi, Penerj.) Bandung:
Pustaka.
Hisyam, M. (2001). Cauht Between Three Fires: The Javanese Pangulu under the
Dutch Colonial Administration 1882-1942. Jakarta: INIS.
-------, C. S. (1931). Mekka in The Latter Part of The 19th Century: Daily Life,
customs adn learning the moslims of the East Indian Archipelago. (J. H.
Monahan, Penerj.) Leyden: Late E. J. Brill Ltd.
Ibrahim, Sutini. (1996). Senganan: Akulturasi Islam dengan Budaya Dayak, dalam
Aswab Mahasin, dkk., (ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Aneka
Budaya Nusantara, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.
-------. (1920). Cahaya Suluh pada Mendirikan Jumat Kurang Dari Pada Empat
Puluh. Singapura: Mathba'ah al-Ikhwan.
-------. (1931). Tazkir Sabil al-Najah fi Tarik al-Shalat. Sangapura: Mathba'ah al-
Ahmadiyah.
-------. Bahas perkara berbilang istri atau berkawin lebih dari satu. Sambas.
-------. (1937). Bahas Perkara Berbilang Istri atau Berkawin Lebih dari Satu.
Sambas.
-------. (1938-a). Husn al-Jawab 'an Itsbat al-Ahillat bi al-Hisab (Molek Jawaban
Pada Menstabitkan Awal Bulan dengan Kiraan). Penang: Maktabah al-
Zainiyah.
-------. (1938-b). Membelanjakan Uang pada Jalan Allah Ialah Jalan Kemajuan.
Sambas.
-------. (1950). Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni
Imran. Naskah Ketikan, Sambas.
Lontaan, J.U. (1975). Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat,
Pontianak: Pemda Tk. I Kalbar.
-------. (1976). Sejarah Nasional Indonesia (Ke-2 ed., Vol. V). Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kurniawan, S., & Mahrus, E. (2011). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Lewis, B. (1994). Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah (The Arabs in History).
(S. Jamhuri, Penerj.) Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
479
Lewis, B., Pellat, C., & Schacht, J. (Ed.). (1991). The Encyclopaedia of Islam
(Vol. II). Leiden: E. J. Brill.
Lubis, N. H., Djubiantono, T., Wildan, D., Dyanti, E. S., Dienaputra, R., Sofianto,
K., et al. (2013). Sejarah Provinsi Jawa Barat (Vol. 2). Bandung: Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
Madjid, N. (1992). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta:
Paramadina.
Mahrus, E., Jamani, R., & Hadi, E. K. (2003). Shaykh Ahmad Khatib Sambas
(1803-1875) Sufi & Ulama Besar Dikenal Dunia. Pontianak: Untan Press.
Martin, R. C. (Ed.). (2004). Encyclopedia of Islam and the Muslim World (Vol. I).
New York: McMillan Reference USA.
-------. (2011). Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (14nd
ed.). Jakarta: Bulan Bintang.
Nurcahyani, L., Purba, J., Umberan, M., & Zuhdi, S. (1995). Sejarah Kerajaan
Sambas. Pontianak: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Pasti, F. Alkap. (2003). Dayak Islam di Kalimantan Barat. Dalam: Budi Susanto,
Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius. Hal.
113-116.
Rahman, A., Ahmad, Y., Anom, R. F., Muhadi, & Fahadi. (2001). Kabupaten
Sambas Sejarah Kesultanan dan Pemerintahan Daerah. Sambas: Dinas
Pariwisata Pemda Kabupaten Sambas.
Riyadhi, B. (2011). Guru Haji Ismail Mundu: Ulama Legendaris dari Kerajaan
Kubu. Pontianak: Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten
Kubu Raya.
Rusyd, A.-F. A. (2002). Bidayatul Mujtahid wa Nihayatl Muqtashid (Vol. I). (I. G.
Said, & A. Zaidun, Penerj.) Jakarta: Pustaka Amani.
Salim, M. H., Hermansyah, Yapandi, Erwin, Hendry, E., Zulkifli, et al. (2011).
Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. Jakarta: Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan Balitbangdiklat Kementerian Agama RI.
-------. (1995). Kawan dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda dan Islam di
Indonesia (1596-1942). Bandung: Mizan.
Stoddard, L. (1922). The New World of Islam. London: Chapman and Hall, Ltd.
Supriyadi, dkk. 1999. Inventaris Arsip Kalimantan Barat. Jakarta: Arsip Nasional
Republik Indonesia.
Thaba, A. A. (1996). Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema
Insani Press.
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Umar, N., & Lubis, A. (2002). Hawa Sebagai Simbol Ketergantungan: Relasi
Gender dalam Kitab Tafsir. Dalam A. Munhanif (Ed.), Mutiara
Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (hal. 1-43). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Fauzia, A. (2003). Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda.
Studia Islamika, 10(2), 175-198.
Geertz, C. (1960). The Javanese Kijaji: The Changing Roles of a Cultural Broker.
Comparative Studies in Society and History., 2. 228-249.
Sjamsuddin, Helius. 2008. Kerajaan Islam Sintang. Jurnal Historia, Vol. IX, No.
2.
Inie Peratoran Keradjaan Sambas dengan Tjerieta Jang Pendiek. 1845. Koleksi
Arsip Borneo West Nomor 226. Jakarta: Arsip Nasional RI.
Surat Awang Brunei Kepada Basioeni Imran 6 September 1951. Sambas: Museum
Tamadun Islam Nagri Sambas.
Surat Awang Brunei Kepada Basioeni Imran 4 Oktober 1951. Sambas: Museum
Tamadun Islam Nagri Sambas.
487
Surat Basioeni Imran kepada Awang Brunei 18 Oktober 1951. Sambas: Museum
Tamadun Islam Nagri Sambas.
Surat Wakaf Raden Muhammad Yusuf Perbukusuma dan Mas Hasan bin Mas
Tatut, 30 Jumadil Akhir 1347 H. / 13 Desember 1928. Sambas: Yayasan
Pendidikan Tarbiatoel Islam.
Staatblad van Nederlandsch-Indie. 1882 (2) . No. 152. Jakarta: Arsip Nasional RI.
Staatblad van Nederlandsch-Indie. 1904. No. 380. Jakarta: Arsip Nasional RI.
Staatblad van Nederlandsch-Indie. 1907. No. 406. Jakarta: Arsip Nasional RI.
Staatblad van Nederlandsch-Indie. 1911 No. 467 dan 480. Jakarta: Arsip Nasional
RI.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1931 No. 31. Jakarta: Arsip Nasional RI.
D. Terbitan Berkala
Borneo Barat, 3 Desember 1940. Nomor 139 Tahun ke-5. Hal. 2-3.
E. Internet
Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. 2006-a. Basiyuni Imran Maharaja Imam Sambas
dalam http://ulama-nusantara.blogspot.com Diakses tanggal 25
Sepetember 2013, pukul 13.42 WIB.
-------. 2006-b. Haji Ismail Mundu Mufti Kerajaan Kubu. Dalam http://ulama-
nusantara-baru.blogspot.com/2006/11/haji-ismail-mundu-mufti-kerajaan-
kubu.html, Diakses 12 Desember, pukul 10. 20 WIB.
-------. 2006-f. Gusti Jamiril Tokoh Ulama, Raja dan Pejuang. dalam http://ulama-
489
nusantara-baru.blogspot.com/2006/11/gusti-jamiril-tokoh-ulama-raja-
dan.html. Diakses 12 Desember 2007, pukul 10.13 WIB.
-------. 2007. Syeikh Ali Faqih al-Fathani Mufti Kerajaan Mempawah. Dalam:
http://www.utusan.com.my/utusan/content.asp?y=2007&dt=0910&pub=Ut
usan_Malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm. Diakses: 10 Mei
2017, pukul 22.22 WIB.
F. Wawancara
Munziri. 70 tahun. Mantan Guru dan Ketua Yayasan Tarbiatoel Islam. Tanggal 9
Agustus 2016.
Rasyidi. 76 tahun. Tokoh Agama / Mantan Imam Masjid Jami Sultan Moehammad
Tsafieoddin Sambas. Tanggal 9 Agustus 2016.