Anda di halaman 1dari 489

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pokok Permasalahan

“Mengapa kaum muslimin mundur dan mengapa kaum selain mereka maju

( ‫لماذاتاءخرالمسلمون ولماذا تقدم غيرهم‬ / Limaza taakhkharal muslimun wa limaza

taqaddama ghairuhum)?” Inilah pokok pertanyaan sangat penting yang disampaikan

oleh Haji Moehamad Basioeni Imran (selanjutnya ditulis Basioeni Imran) melalui

sebuah surat yang dikirimkan kepada Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935

M.)1 tertanggal 21 Rabiul Akhir 1347 H.2 Pertanyaan tersebut oleh Rasyid Ridha

1
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha adalah salah seorang revivalis dan pembaru Islam dari Mesir.
Ia dilahirkan di sebuah desa dekat Tripoli, yang waktu itu termasuk bagian dari Suriah. Setelah
menempuh pendidikan awal di sekolah agama tradisional, Ridha masuk ke sekolah yang
didirikan oleh ulama tercerahkan, Syaikh Husain Al-Jisr (w. 1909 M.) yang percaya bahwa jalan
menuju kemajuan bangsa Muslim adalah melalui sintesis antara pendidikan agama dan ilmu
pengetahuan modern. Dengan demikian Ridha memperoleh pendidikan menyeluruh dalam
doktrin dan tradisi Islam serta pengetahuan yang cukup tentang ilmu alam dan bahasa (Turki dan
Prancis). Dia mempelajari karya-karya Al-Ghazali (w. 1111 M.) dan Ibn Taimiyah (w. 1328 M.),
yang mengilhaminya dengan kebutuhan untuk mereformasi kondisi kaum Muslim yang merosot
serta memurnikan Islam dari praktik-praktik sufi yang merusak [John L. Esposito (ed.).
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jilid 6. (terj. Eva Y.N., dkk.). (Bandung: Mizan, 2002);
lihat juga: Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. ke-
14, (Jakarta: Bulan Bintang, 2011: 60-67); Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013: 113-129)].
2
Surat tersebut dimuat dalam majalah Al-Manar Volume 31 Nomor 5 (29 Rajab 1349 H. / 20
Desember 1930 M.). Secara ringkas pertanyaan Basioeni Imran adalah sebagai berikut: (1) Apa
yang menjadi sebab kaum muslimin dalam keadaan lemah dan mundur—terutama kaum
Muslimin di Jawa [Hindia Belanda] dan Melayu--, baik tentang urusan keduniaannya maupun
urusan keagamaannya; dan kita (kaum Muslimin) menjadi golongan yang hina dina, tidak
mempunyai daya dan kekuatan, padahal Allah menyatakan dengan firman-Nya dalam kitab-Nya
yang mulia: “Dan kemuliaan itu bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman”
(al-Munafiqun: 8). Dimanakah “kemuliaan” orang-orang yang telah beriman (kaum Muslimin)
sekarang ini? Adakah benar bagi seorang yang mengaku beriman, bahwa ia menjadi seorang
yang mulia raya, walaupun keadaannya hina dina; tidak ada dari padanya sedikit pun dari pada
sebab-sebab yang mendatangkan kemuliaan; (2) Apa yang menjadi sebab timbulnya kemajuan
bagi bangsa-bangsa Eropa, Amerika dan Jepang, dengan suatu kemajuan yang mengagumkan?
Adakah mungkin bagi kaum Muslim memperoleh kemajuan sebagai yang telah dicapai oleh
mereka itu, jika sekiranya kaum Muslim telah mengikuti sebab-sebab yang telah dikerjakan
mereka, yang tidak dilanggar batas-batas agamanya (Islam) ataukah tidak [lihat lebih lanjut: Al-
Manar: 31 (5), 353-354; Arsalan, al-Amir Syakib, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, (terj.

1
2

dikirimkan kepada Al-Amir Syakib Arsalan (1869-1946)3 di Lausanne, dengan

harapan agar diberikan jawaban yang memuaskan. Syakib Arsalan menjawab

pertanyaan penting tersebut dengan panjang lebar, berlandaskan ayat Alquran dan

Hadis Nabi. Jawaban-jawaban ini diberikan kepada Rasyid Ridha. Basioeni Imran

minta jawaban atas pertanyaannya dimuat dalam majalah al-Manar, dengan tujuan

agar dapat dibaca dan diketahui oleh para pembaca di seluruh dunia Islam.

Selanjutnya jawaban-jawaban Syakib Arsalan ini diterbitkan, oleh Rasyid Ridha

melalui percetakan al-Manar, dalam sebuah buku dengan kata pengantar dan

beberapa komentar dari Rasyid Ridha sendiri. Buku yang berjudul Limazaa

Taakhkhar al-Muslimun wa Limaza Taqaddam Ghairuhum ini selanjutnya

diterjemahkan oleh K.H. Munawar Khalil dengan judul Mengapa Kaum Muslim

Mundur.4

Pertanyaan yang diajukan oleh Basioeni Imran jelas bukan pertanyaan

yang mudah dijawab karena membutuhkan pemahaman yang mendalam dan

komprehensif atas kondisi dunia. Ini terbukti secara khusus Rasyid Ridha harus

meminta kepada Al-Amir Syakib Arsalan untuk menjawabnya. Jawaban yang

diberikan juga tidak singkat, bahkan harus dijawab dengan 19 seri artikel

Munawwar Chalil), Jakarta: Bulan Bintang, 1954, khususnya bagian Pengantar oleh penerjemah,
hal. viii-ix].
3
Al-Amir Syakib Arsalan adalah seorang politikus, diplomat, sejarawan, mujahid, dan wartawan.
Lahir di Libanon pada tahun 1869 M. dan wafat 1946 M. Arsalan termasuk seorang buangan
politik pemerintah Perancis, dan dia memilih Geneva. Pemerintah Syria mengangkat Arsalan
sebagai ketua Delegasi Syria di Volkenbond (Liga Bangsa-bangsa), bersidang di Geneva (lihat
lebih lanjut dalam: Arsalan, 1954: vii). William L. Cleveland menulis sebuah buku biografi
Arsalan dengan judul Islam Against the West: Shakib Arslan and The Campaign for Islamic
Nationalism.
4
Pada tahun 2004 buku ini diterbitkan kembali oleh Islamic Book Trust dalam Bahasa Inggris
dengan judul Our Decline Its Causes and Remedies.
3

jawaban.5 Pertanyaan ini selain menunjukkan kegelisahan terhadap kondisi umat

Islam pada saat itu, juga sekaligus menunjukkan kualitas diri penanya sebagai

seorang ulama terkemuka saat itu di Kerajaan Sambas yang dalam bahasa Pijper

disebut sebagai berpandangan reformis dan betul-betul mewakili pandangan

reformisme Mesir di Indonesia (Pijper, 1985: 142). Kualitas keulamaan Basioeni

Imran dapat dilihat baik dari sisi pendidikan yang dilaluinya, karya-karya yang

dihasilkan, maupun aktivitas sosial politik yang diperankannya selama hidup.

Dari aspek pendidikan, Basioeni Imran adalah salah seorang murid dari

dua tokoh ulama terkemuka yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (di

Makkah, Arab Saudi; antara 1898 s.d. 1903 M.) dan selanjutnya Syaikh

Muhammad Rasyid Ridha (di Cairo, Mesir; antara 1908 s.d. 1913 M.). Karya-

karya yang dihasilkan oleh Basioeni Imran juga banyak, tercatat ada 12 kitab

(karya sendiri, terjemahan, petikan kitab-kitab) yang mencakup bidang ilmu

tauhid, fikih, sejarah, tafsir dan ilmu hisab. Selain menulis kitab-kitab, Basioeni

Imran juga menjadi penulis di majalah al-Ittihad, sebuah majalah berbahasa

Melayu pertama yang terbit di Timur Tengah (Burhanuddin, 2012: 272).

Sementara di bidang sosial politik Basioeni Imran dipercayai oleh pihak Kerajaan

Sambas sebagai Maharaja Imam6 (sejak 9 November 1913 hingga wafat) dan

5
Lihat jawaban-jawabannya dalam: Arsalan, Op.Cit.
6
Maharaja Imam adalah nama jabatan tertinggi yang mengurusi masalah agama Islam di masa
Kerajaan Sambas. Pada awalnya nama jabatan ini adalah Imam. Diriwayatkan Imam Kerajaan
Sambas yang pertama bernama Haji Mushthafa Nuruddin yang dilantik oleh Sultan Muhammad
Ali Shafiyuddin (Pertama) pada tahun 1186 H/1772 M. Kira-kira 100 tahun kemudian, tepatnya
pada 1289 H/1872 M barulah istilah ‘Maharaja Imam’ digunakan. Maharaja Imam Kerajaan
Sambas yang pertama ialah Maharaja Imam Muhammad Arif bin Nuruddin as-Sambasi yang
dilantik oleh Sultan Muhammad Ali Shafiyuddin (Kedua). Sebelum itu, pada 1238 H/1823 M,
Muhammad Arif hanya digelar ‘Imam’. Disebabkan umurnya telah lanjut, Muhammad Arif
menyandang pangkat Maharaja Imam hanya setahun. Pada tahun 1290 H/1873 M, dilantik
anaknya bernama Muhammad Imran bin Muhammad Arif as-Sambasi menggantikannya menjadi
4

melakukan modernisasi Madrasah Al-Sulthaniyah. Pada Pemilu 1955 Basioeni

Imran juga terpilih mewakili Kalimantan Barat sebagai anggota Konstituante dari

Partai Masyumi. Ini membuktikan bahwa Basioeni Imran layak dikatakan sebagai

tokoh ulama yang dapat disejajarkan dengan ulama lainnya di Indonesia.

Studi-studi tentang gerakan pembaruan Islam di Indonesia hampir

semuanya mengarahkan pandangan ke daerah Sumatera dan Jawa7. Nyaris tidak

ada studi tentang gerakan pembaruan Islam yang dilakukan di daerah lain,

misalnya di Kalimantan dan Sulawesi, khususnya lagi Kalimantan Barat. Hal ini

akan berdampak pada pandangan bahwa di luar Sumatera dan Jawa tidak ada

ulama yang melakukan gerakan pembaruan Islam, padahal tidak demikian adanya.

Oleh karena itu, studi tentang Basioeni Imran sebagai ulama pembaru di Kerajaan

Maharaja Imam. Terakhir sekali dilantik pula cucu Maharaja Imam yang pertama pada 1331
H/1913 M yaitu Haji Moehammad Basioeni Imran bin Maharaja Muhammad Imran. Secara
hirarkis, jabatan dibawah Maharaja Imam adalah: Imam muda atau Imam Maharaja; Maharaja
Khatib; Khatib Maharaja; Sidana Khatib; Penghulu (untuk beberapa tempat di luar ibukota
Kerajaan); Lebai (di setiap Kampung); Bilal dan Modim (untuk setiap masjid) (Lihat: Wan
Mohd. Shaghir Abdullah, 2013, Muhammaad Basiuni Imran, artikel dalam:
http://mabmonline.org, akses 10 September 2013; Moh. Haitami Salim, dkk. Sejarah Kerajaan
Sambas, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2011: 75-76; 113-114). Nama-
nama jabatan ini juga disebutkan dalam naskah Asisten Residentie II Sambas Kalimantan,
tertanggal 30 Januari 1861 yang ditulis oleh De Assistent Resident, sebuah naskah yang awalnya
adalah koleksi Museum Nasional, tetapi sekarang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dengan
kode koleksi: 84 CS – 2/42 (dalam bentuk microfilm dengan kode: 753.01).
7
Beberapa studi tersebut misalnya: (1) Harry J.Benda , The Crescent and The Rising Sun, (Den
Haag: Van Hoee: 1958); Diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae: Bulan Sabit dan Matahari Terbit:
Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985); (2) Deliar Noer,
The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, (New York: Oxford University Press,
1973), edisi Indonesia: Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996);
(3) Alfian, Islamic Modernism in Indonesian Politics: The Muhammadijah Movement During the
Dutch Colonial Period (1912-1942). (The University of Wisconsin PH, 1969, tesis); (4) Taufik
Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933),
(Ithaca, New York: Cornell University, 1971). Lihat penjelasan singkat tentang studi-studi
tersebut dalam: Karel A. Steembrink. Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988: 260-264). Selain karya-karya tersebut, ada juga karya yang
mencoba melakukan rekonstruksi pemikiran Islam Indonesia misalnya Fachry Ali & Bahtiar
Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1992) dan Yudi Latif, Intelegensia
Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. (Bandung: Mizan,
2005). Lagi-lagi dua karya penting tentang perkembangan pemikiran Islam di Indonesia ini sama
sekali tidak menyebutkan tentang gerakan pembaruan di Kalimantan atau Sulawesi.
5

Sambas layak untuk dilakukan khususnya untuk mengisi kekosongan tersebut.

Terdapat beberapa tulisan dan hasil penelitian yang mengulas kehidupan

Basioeni Imran. Di antaranya adalah buku yang ditulis oleh G.F. Pijper (Beberapa

Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. 1985), Mahrus Efendi

(Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas. 1985), Muhammad

Rahmatullah (Pemikiran Fikih Maharaja Imam Kerajaan Sambas Muhammad

Basiuni Imran (1885-1976). 2003) dan Erwin Mahrus (Falsafah dan Gerakan

Pendidikan Islam Maharaja Imam Sambas Muhammad Basiuni Imran 1885-1976.

2007). Hasil penelitian yang belum diterbitkan adalah penelitian A. Muis Ismail

(Prihidup Muhammad Basiuni Imran Maharaja Imam Sambas. 1993) dan Pabali

Musa (Muhammad Basiuni Imran (1883-1976): Rekonstruksi Pemikiran

Maharaja Imam Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. 1999). Tulisan dalam

bentuk artikel atau makalah antara lain ditulis oleh Gusti Mahyudin Ardhi

(Muhammad Basioeni Imran 1883-1976 Maharaja Imam Kerajaan Sambas

Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan dan Politik Kenegaraan. 2001), Wan Moh.

Shaghir Abdullah (Basiyuni Imran Maharaja Imam. 2006) yang dimuat secara

daring dan Hamka Siregar (Dynamics of Local Islam: Fatwa of Muhammad

Basiuni Imran, the Grand Imam of Sambas, on the Friday Prayer Attended by

Fewer than Forty People. 2013).

Secara khusus ada beberapa alasan yang mendorong peneliti untuk

melakukan studi dan menulis tentang Basioeni Imran. Pertama, sebagaimana

disebutkan di atas, Basioeni Imran berguru pada dua orang ulama yang relatif
6

berbeda corak pemikiran, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau8 (ulama

Sunni yang mengikuti salah satu mazhab fikih) dan Syeikh Muhammad Rasyid

Ridha (ulama Salafiyah penerus ide-ide pembaruan Jamaluddin Al-Afghani dan

Muhammad Abduh). Dengan demikian, pemikiran dan pola gerakan pembaruan

yang dilakukan oleh Basioeni Imran terindikasi memadukan kedua corak

pemikiran tersebut. Kedua, Basioeni Imran adalah ulama yang produktif menulis

di media untuk menularkan ide pembaruannya ke tengah masyarakat. Dalam

pandangan Ali & Effendy (1992: 68) sosialisasi gagasan melalui media cetak

merupakan ciri pembeda antara para pendukung dan pelaku gerakan pembaruan

dengan pendukung tradisionalisme. Tentu saja karya-karyanya sangat penting

untuk dikaji.

Ketiga, dalam melakukan gerakan pembaruan Basioeni Imran

menggunakan “kekuataan politik”, yaitu memanfaatkan kedudukannya sebagai

Maharaja Imam Kerajaan Sambas. Sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang

keagamaan di Kerajaan Sambas, Basioeni Imran dengan leluasa dapat

mengalirkan ide pembaruannya melalui jalur resmi kerajaan. Keempat, pengaruh

pembaruan yang dilakukan oleh Basioeni Imran menunjukkan indikasi yang

cukup signifikansi di masyarakat Sambas hingga saat ini, meskipun –menurut

Pijper (1985: 142)– tidak sampai menimbulkan gerakan keagamaan. Kelima,

8
Ahmad Khatib Lahir di Bukittinggi pada tahun 1855 (Deliar Noer, 1996: 38) atau 1860 (menurut
Hamka). Ia diangkat menjadi imam dari golongan Syafi'i di Masjidil Haram dan kemudian
ditambah menjadi khatib, merangkap guru besar, ulama yang diberi hak mengajar agama di
Masjidil Haram. Meskipun Ahmad Khatib menentang tarekat dan adat Minangkabau di bidang
hukum waris, tetapi ia tetap taklid kepada mazhab Syafi'i di bidang fikih. Kepada murid-
muridnya Ahmad Khatib menyuruh untuk membaca karangan Muhammad Abduh, meskipun
secara pribadi ia tidak setuju dengan Muhammad Abduh. Ahmad Khatib wafat pada tahun 1916.
[Deliar Noer, 1996: 38-40; Karel A. Steembrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19,(Jakarta: Bulan Bintang, 1984: 139-148].
7

masyarakat yang dihadapi oleh Basioeni Imran adalah masyarakat yang masih

tradisional dalam memahami agama Islam. Dalam menyampaikan ide-idenya,

sebagaimana dituturkan oleh anaknya Badran Basioeni Imran9, Basioeni Imran

senantiasa menyampaikan ide-idenya dengan cara-cara yang santun dan bijaksana.

Dengan demikian, ketegangan dan konflik relatif dapat dihindari.

Dalam skala yang lebih luas, kajian terhadap ulama memang telah banyak

dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Namun sebagaimana dikatakan di atas,

dengan karakteristik khususnya sebagai “ulama pejabat”10 di Kerajaan Sambas,

kajian atas sosok dan pemikiran Basioeni Imran semakin penting dilakukan.

Dengan posisinya sebagai Maharaja Imam, logika politik akan menyatakan bahwa

Basioeni Imran adalah bagian dari agen kerajaan yang harus ikut mendukung dan

menjaga legitimasi kerajaan. Posisi yang demikian menuntut segala pikiran dan

tindakan Basioeni Imran untuk loyal terhadap kebijakan kerajaan. Sementara itu,

di sisi lain Basioeni Imran juga mendapatkan suntikan pikiran-pikiran baru—

khususnya di bidang keagamaan—sebagai hasil dari interaksinya dengan para

tokoh pembaru Islam. Dengan pikiran-pikiran barunya, Basioeni Imran tentu akan

melakukan perubahan-perubahan dalam upaya melakukan pembaruan. Dalam

kondisi terakhir ini, Basioeni Imran akan menghadapi dua kutub yang tampaknya

berseberangan, antara menjaga stabilitas masyarakat dan melakukan pembaruan.

Dilema ini tentu menarik untuk dikaji, khususnya terkait dengan posisi dia sebagai

9
Dalam sebuah wawancara peneliti pada tanggal 3 Februari 2010.
10
Ada istilah lain yang digunakan untuk menunjuk pada “ulama pejabat” di berbagai kerajaan di
Nusantara, misalnya kadi dan syaikhul Islam (Aceh) atau penghulu (di Jawa). Khusus tentang
penghulu penjelasan yang cukup penting dapat dilihat dalam: G.F. Pijper. 1984. Beberapa Studi
Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: UI Press, khususnya halaman: 67-100.
8

ulama.

Berkaitan dengan posisinya sebagai ulama pejabat, menarik untuk

diperhatikan kategorisasi Weber (1947: 328) tentang tiga sumber legitimasi atas

otoritas seorang pejabat atau birokrat sebagai berikut:

There are three pure types of legitimate outhority. The validity of their
claims to legitimacy may be based on: (1) Rational grounds—resting on a
belief in the ‘legality’ of patterns of normative rules and the right of those
elevated to authority under such rules to issue commands (legal authority).
(2) Traditional grounds—resting on an established belief in the sanctity of
immemorial traditions and the legitimacy of the status of those exercising
authority under them (traditional authority); or finally, (3) Charismatic
grounds—resting on devotion to the specific and exceptional sanctity,
heroism or exemplary character an individual person, and of the
normative patterns or order revealed or ordained by him (charismatic
authority).

[Ada tiga tipe murni otoritas legitimasi. Validitas klaim otoritas atas
legitimasi didasarkan pada: (1) Alasan Rasional—bertumpu pada
kepercayaan terhadap 'legalitas' pola aturan normatif dan hak mereka
mendapatkan kewenangan sesuai aturan seperti untuk mengeluarkan
perintah (otoritas hukum); (2) Alasan Tradisional—bertumpu pada
keyakinan yang dibangun atas kesucian tradisi turun temurun dan otoritas
atas legitimasi status mereka dijalankan atas dasar hal tersebut (otoritas
tradisional); atau terakhir, (3) Alasan Karismatik—bertumpu pada devosi
kepada kesakralan tertentu dan luar biasa, kepahlawanan atau karakter
teladan seorang individu, dan pola normatif atau perintah yang
diwahyukan atau ditetapkan olehnya (otoritas karismatik)].

Mengacu pada kategorisasi Weber di atas, maka Basioeni Imran memiliki

ketiga sumber legitimasi atas otoritas yang dimilikinya. Pertama, sumber otoritas

yang bersifat rasional atau yang disebut legal authority yaitu kewenangannya

sebagai Maharaja Imam, kadi dan mufti yang diberikan langsung oleh Sultan

Kerajaan Sambas. Legal authority ini juga diperkuat oleh pemerintah Hindia

Belanda dengan mengangkatnya sebagai Presiden Mahkamah Raad Agama,

Penghulu land rechter, dan Adviseur dari Zelfbestuur Commissie di wilayah


9

Sambas. Kedua, sumber legitimasi otoritas yang bersifat tradisional karena ia

adalah keturunan kelima ulama yang memegang jabatan imam atau Maharaja

Imam di kerajaan Sambas. Ia juga adalah kerabat Sultan Moehammad Tsafioeddin

II. Ketiga sumber legitimasi otoritas yang besifat karismatik, karena Basioeni

Imran menguasai ilmu agama melebihi masyarakat umum yang dengan hal itu ia

menjadi tumpuan tempat bertanya dan mememecahkan berbagai masalah

keagamaan.

Berbeda dengan penjelasan Weber di atas, Kartodirdjo (1982: 227)

menyebutkan bahwa karisma ada dua jenis, yaitu karisma murni dan karisma

rutin. Karisma murni adalah karisma pribadi yang dimiliki oleh pemimpin dan

merupakan hasil usahanya sendiri. Sementara karisma rutin adalah yang diperoleh

atau diterima (askriptif) pemimpin dalam menduduki jabatan tertentu atau yang

diwariskan menurut garis keturunan. Kedua jenis karisma ini dimiliki oleh

Basioeni Imran. Karisma murni dari proses pembelajarannya sehingga ia

menguasai ilmu-ilmu agama yang lebih dari masyarakat umum. Sementara

karisma rutin dimiliki karena jabatan Maharaja Imam yang disandangnya adalah

jabatan turun temurun. Jika Weber memasukkan legitimasi otoritas yang diperoleh

secara turun temurun bersifat tradisional, sedangkan Kartodirdjo memasukkannya

sebagai sumber karisma yang bersifat askriptif. Pendapat Kartidordjo ini

meskipun berbeda dengan Weber dalam memaknai karisma tetapi justru semakin

memperkuat sumber legitimasi otoritas Basioeni Imran.Berbekal tiga sumber

otoritas tersebut, Basioeni Imran memiliki posisi dan peran yang penting dalam

kehidupan sosial dan keagamaan di Kerajaan Sambas.


10

Belum terlalu banyak kajian dilakukan secara khusus terhadap tokoh

ulama dalam kategori “ulama pejabat”. 11 Karena itu, penelitian ini penting

dilakukan untuk merekonstruksi model ulama pejabat dalam melakukan

pembaruan. Kajian tentang sosok ulama pejabat yang diperankan oleh Basioeni

Imran semakin menarik jika melihat konteks lokalitasnya. Berbeda dengan para

ulama di Jawa khususnya, ulama di Kalimantan Barat memiliki karakteristik yang

berbeda. Perbedaannya terletak pada proses kelahiran mereka sebagai ulama dan

sumber kewibawaan mereka di tengah masyarakat.

Ulama-ulama di Jawa pada umumnya lahir dan besar dengan berbasis pada

pondok pesantren. Sementara di Kalimantan Barat, sebagian besar ulama lahir

tidak berbasis pondok pesantren. Banyak ulama di Kalimantan Barat, termasuk di

Sambas bukan ulama yang lahir dan besar karena pondok pesantren yang mereka

bangun. Bahkan sangat sedikit ulama yang dikenal luas masyarakat yang memiliki

pondok pesantren. Dengan demikian, sumber kewibawaan ulama-ulama di

Kalimantan Barat sebagian besar tidak berasal dari pesantren. Demikian juga

halnya dengan Basioeni Imran, pendidikannya diawali dari Madrasah al-

Sulthaniyah yang kemudian dilanjutkan belajar di Mekah dan Mesir sebagaimana

telah dijelaskan sebelumnya. Selain tidak berlatar belakang pendidikan pesantren,

11
Dari penelusuran penulis ada empat tulisan yang mengulas tentang ulama penjabat (khususnya
tentang penghulu di Jawa). Tulisan tersebut adalah: (1) Ibnu Qayim Isma’il, Kiai Penghulu
Jawa Peranannya di Masa Kolonial, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997); (2) G.F. Pijper,
Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1985), khususnya bab
2, halaman 67-100; (3) Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad
ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), khususnya bab ke-5 bagian 2, halaman 226-233; dan (4)
Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1980), tetapi karya
Lev ini fokus perhatiannya menyangkut segi-segi politik sosial dan dalam perubahan hukum
yang berlaku di Indonesia.
11

Basioeni Imran juga tidak mendirikan atau membangun pesantren. Di bidang

pendidikan Basioeni Imran hanya mengelola Madrasah al-Sulthaniyah yang

kemudian diubah menjadi Sekolah Tarbiyatul Islamiyah.

Dalam penelitiannya, Dirdjosanjoto (1999: 246-248) menyimpulkan

bahwa sumber kewibawaan kyai (ulama) bisa dari beberapa sumber, yaitu: (1)

dukungan dan penerimaan umat; (2) dukungan kelembagaan; (3) jaringan

hubungan antar para kiai; (4) hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan; dan (5)

kualitas pribadi para kiai sendiri. Berdasarkan konsep dari Dirdjosanjoto ini,

Basioeni Imran diduga memperoleh kewibawaannya dari hubungan dengan pusat

pemerintahan, kualitas pribadi, dan dukungan dan penerimaan umat. Karena

masih dugaan, maka harus dilakukan kajian lebih lanjut tentang sumber-sumber

kewibawaan Basioeni Imran, terutama dalam kaitannya dengan posisi dia sebagai

ulama pejabat.

Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap sosok pribadi

dan pemikiran keagamaan Basioeni Imran sebagai ulama pejabat yang

mengusung ide pembaru Islam. Ada sejumlah pertanyaan yang dapat diajukan

terkait dengan hal tersebut. Pertanyaan itu antara lain bagaimana sosok pribadi

Basioeni Imran? Bagaimana perjalanan hidupnya sehingga ia berhasil menjadi

ulama terkemuka di Kerajaan Sambas? Seperti apa ide-ide pembaruan yang

digagas dan bagaimana merealisasikan serta penyebarluasannya di tengah

masyarakat? Bagaimana peran yang dimainkannya di tengah masyarakat,

khususnya dalam melakukan pembaruan dengan posisinya sebagai seorang ulama

pejabat? Bagaimana Basioeni Imran mempertahankan posisinya sebagai seorang


12

ulama, sementara sumber kewibawaannya tidak sekuat ulama di Jawa—yang

misalnya memiliki jaringan kekeluargaan dan keulamaan dengan ulama-ulama

pesantren lain?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penelitian ini berupaya

mengurai biografi dan genealogi pemikiran Basioeni Imran. Hal berikutnya yang

terpenting adalah upaya mengurai seluruh spektrum pemikiran keagamaan sang

tokoh, yaitu pemikiran teologi, fikih, tafsir, dan pendidikan. Di sinilah letak

perbedaan penelitian ini dengan karya-karya dan penelitian terdahulu

sebagaimana telah disebutkan di atas, yang lebih cenderung hanya menelaah salah

satu saja dari aspek pemikiran keagamaan Basioeni Imran. Melihat seorang tokoh

hanya dengan mengambil salah satu aspek pemikirannya tentu akan menimbulkan

pemahaman yang parsial dan mungkin bisa keliru. Memahami pemikiran seorang

tokoh haruslah dilihat secara utuh dari seluruh spektrum pemikirannya. Untuk

mememperjelas penelitian ini, berikut akan dirumuskan masalah dan pertanyaan

penelitian sebagai panduan dalam seluruh proses penelitian.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, sebagai seorang ulama pejabat, Haji

Moehammad Basioeni Imran sewajarnya senantiasa menjadi penjaga stabilitas

masyarakat sebagai perwujudan komitmennya kepada pemerintah Kerajaan

Sambas. Namun sebagai seorang ulama yang bertanggung jawab membimbing

umat, Basioeni Imran juga dituntut untuk melakukan perubahan dan perbaikan

kehidupan umat. Oleh karena itu, ia mesti melakukan perannya mencerdaskan

umat melalui ide-ide pembaruan. Sebagai seorang ulama, Basioeni Imran harus

menjadi agen pembaru di tengah umatnya. Di sinilah letak masalah yang akan
13

dikaji dalam penelitian ini. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Bagaimana

Basioeni Imran memainkan perannya sebagai ulama pejabat sekaligus ulama yang

melakukan pembaruan? Pertanyaan utama ini dapat dirinci menjadi beberapa

pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimana konteks sosial, budaya, dan politik kehadiran Basioeni Imran

sebagai pembaru?

2. Bagaimana pemikiran Basioeni Imran dalam berbagai aspek (teologi, hukum,

tafsir, pendidikan)?

3. Bagaimana pendapat Basioeni Imran tentang kemunduran Umat Islam?

Pengungkapan masa lalu terutama menyangkut biografi seorang tokoh

ulama melalui studi atau penelitian sejarah mempunyai beberapa tujuan. Pertama,

untuk mencari kebenaran ilmiah dengan cara merekonstruksi perjalanan hidup

seorang tokoh ulama pada masa lampau secara metodis dan sistematis. Terkadang

cerita-cerita yang berkembang di tengah masyarakat tentang seorang tokoh,

khususnya ulama, tercampur antara fakta dan mitos. Penelitian dengan

menggunakan metode sejarah dapat memisahkan antara keduanya, sehingga

kebenaran ilmiah dapat tersaji. Dalam konteks ini, peneliti berupaya menerapkan

pernyataan Leopold von Ranke bahwa sejarah yang ditulis haruslah sebagaimana

peristiwa itu terjadi (”wie es eigentlich gewesen ist”) (Lubis, 2008: 91). Kedua,

ikut melestarikan masa lampau yang penuh makna untuk dijadikan pendidikan

moral (Kuntowijoyo, 2001: 23, 26), dalam konteks ini adalah sosok pribadi dan

aktivitas Basioeni Imran dalam membina masyarakatnya. Ketiga, sebagai

pendidikan kebijakan (Kuntowojoyo, 2001: 29), yaitu mengambil contoh dan


14

pelajaran dari pengalaman hidup seorang ulama yang terjadi di masa lampau

untuk dijadikan patokan dasar dalam mengambil kebijakan-kebijakan di masa

kini dan mendatang.

Kepribadian seorang tokoh ulama senantiasa penting untuk dikaji dan

dikemukakan ke hadapan publik agar dapat dijadikan bahan perenungan dan

teladan bagi masyarakat. Tak terkecuali kepribadian dan ketokohan Basioeni

Imran sangat penting artinya bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat

Sambas khususnya, agar dapat diteladani. Kehadiran sosok tokoh ulama Basioeni

Imran telah memberi banyak kontribusi bagi kemajuan masyarakat Sambas pada

masanya. Kemajuan, khususnya di bidang keagamaan, tersebut telah menjadikan

Sambas dijuluki sebagai “Serambi Mekah”. Namun sangat disayangkan kemajuan

Sambas sebagai Serambi Mekah saat ini telah hilang. Saat ini, yang dikenal dan

diingat orang tentang Sambas tidak lagi ia sebagai Serambi Mekah, tetapi sebagai

daerah yang tidak ramah bagi semua orang. Masyarakat Sambas telah melakukan

tindakan yang jelas tidak mencerminkan pengamalan agama yang benar ketika

mereka melakukan “pengusiran” etnis tertentu.12

Penelitian tentang seorang ulama besar Sambas ini diharapkan dapat

membangkitkan kembali semangat keberagamaan masyarakat Sambas sehingga

mereka memiliki tekad untuk mengembalikan Sambas sebagai Serambi Mekah.

Apa yang telah dilakukan oleh Basioeni Imran diharapkan dapat menjadi contoh

dan teladan bagi masyarakat sehingga kehidupan keberagamaan masyarakat

12
Terjadi konflik sosial di Sambas pada 1999 yang mengakibatkan banyak korban jiwa serta
terusirnya salah satu kelompok etnis dari Kabupaten Sambas. Padahal kelompok etnis ini telah
bermukim dan menetap di sana selama beberapa generasi sehingg banyak yang sudah kawin-
mawin dengan masyarakat setempat.
15

menjadi tumbuh kembali. Bahkan diharapkan akan lahir kembali tokoh-tokoh

ulama yang dapat meneruskan perjuangan Basioeni Imran dalam memperbaiki

kehidupan sosial kemasyarakatan Sambas.

Secara substantif penelitian ini diharapkan mampu mendeskripsikan

gerakan pembaruan Islam yang terjadi di Sambas. Basioeni Imran dikenal sebagai

murid dari salah seorang tokoh pembaru Islam dari Mesir yaitu Muhammad

Rasyid Ridha. Sebagaimana diketahui, Ridha adalah tokoh yang menganjurkan

agar umat Islam kembali kepada ajaran yang sebenarnya, yaitu ajaran yang murni

dari segala bid’ah yang menggerogoti ajaran tauhid. Ridha juga menentang paham

fatalisme (Jabariyah) yang berakar kuat di tengah masyarakat dan telah

memperlemah umat Islam. Oleh karena itu, agar umat Islam kuat perlu diterapkan

paham dinamisme dangan menggunakan instrumen ijtihad. Kelanjutan paham

Ridha ini adalah penolakannya pada paham tasawuf dan tarekat yang ekstrem.

Ajaran ini dianggap juga turut andil dalam memperlemah umat Islam (Sani, 1998:

67-69). Penelitian ini berupaya mengungkap sejauh mana Basioeni Imran

mengikuti ide-ide pembaruan gurunya tersebut, dan bagaimana penyampaian

idenya ke tengah masyarakat. Hal ini sangat penting diungkap agar dapat

dijadikan acuan bagi para da’i dan pemikir agama dalam menyosialisasikan ide-

ide keagamaannya yang mungkin dianggap “menyimpang” dari keumuman

pemahaman masyarakat.

Penelitian ini berupaya mengelaborasi sosok dan pemikiran seorang ulama

yang peneliti kategorikan sebagai “ulama pejabat” dalam melakukan pembaruan.

Dalam konteks ini, ada tiga konsep yang harus dijelaskan, yaitu konsep ulama,
16

ulama pejabat, dan pembaruan. Selain konsep, perlu juga dijelaskan teori yang

akan digunakan dalam melakukan interpretasi atas fakta-fakta sejarah yang

didapatkan dari sumber-sumber yang ada. Teori yang akan digunakan dalam

interpretasi adalah teori yang terkait dengan peran ulama di tengah masyarakat

yang disebut sebagai “cultural broker” dari Eric Wolf yang kemudian diperkuat

oleh Clifford Geertz.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 985) ulama adalah orang

yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Shihab (1992: 382)

menjelaskan bahwa ulama adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang

ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kawniyyah maupun qur’aniyyah. Selain

memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, ulama juga memiliki sikap

istislam (tunduk) dan khassyah (takut) kepada Allah. Namun sebagaimana

dikemukakan lebih lanjut oleh Shihab, pengertian ulama saat ini mengalami

penyempitan makna, yaitu hanya terbatas pada orang yang mempunyai

pengetahuan agama saja, dan tidak termasuk orang yang mempunyai pengetahuan

umum.

Hsubky (1995: 47) menyebutkan tujuh kriteria yang harus dimiliki oleh

seorang ulama, yaitu: (1) Menguasai ilmu agama Islam dan sanggup membimbing

umat dengan memberikan bekal ilmu-ilmu keislaman yang bersumber dari

Alquran, hadis, ijma’, dan qiyas; (2) Ikhlas melaksanakan ajaran Islam; (3)

Mampu menghidupkan Sunnah Rasul dan mengembangkan Islam secara kaffah;

(4) Berakhlak luhur, berpikir kritis, aktif mendorong masyarakat melakukan

perbuatan positif, bertanggung jawab, dan istiqamah; (5) Berjiwa besar; kuat
17

mental dan fisik, tahan uji, hidup sederhana, amanah, beriradah, berjamaah,

tawaduk, kasih sayang terhadap sesama, mahabbah, serta khasyyah dan tawakal

kepada Allah; (6) Mengetahui dan peka terhadap situasi zaman serta mampu

menjawab setiap persoalan untuk kepentingan Islam dan umatnya; dan (7)

Berwawasan luas dan menguasai beberapa cabang ilmu demi pengembangannya.

Menerima pendapat orang lain yang tidak bertentangan dengan Islam dan bersikap

tawaduk.

Sebagai pewaris nabi, ulama mengemban beberapa fungsi, antara lain: (1)

Tabligh, yaitu menyampaikan pesan-pesan agama yang menyentuh hati dan

memberi stimulasi bagi orang untuk melakukan pengamalan agama; (2) Tibyan,

yaitu menjelaskan masalah-masalah agama berdasarkan referensi kitab suci secara

lugas, jelas dan tegas; (3) Tahkim, yaitu menjadikan Alquran sebagai referensi

utama dalam memutuskan perkara dengan bijaksana dan adil; (4) Uswatun

Hasanah, yaitu menjadikan dirinya sebagai tauladan yang baik dalam pengamalan

agama (Anwar & Malik, 2003: 17). Sementara itu, menurut Shihab (1992: 385)

keempat hal di atas adalah tugas utama para ulama.

Dari segi pendidikan menurut Fajar (1999: 153), fungsi ulama dapat

dipetakan menjadi dua: Pertama, mempersiapkan sarana dan melaksanakan

pendidikan dan pengkaderan dalam bidang ilmu pengetahuan dan keulamaan.

Kedua, mempersiapkan sarana kepada pendengarnya dan tanpa kenal lelah

melaksanakan penelitian dan penyelidikan dalam bidang keilmuan dan

keulamaan. Fungsi ulama dalam versi berbeda dikemukakan oleh Hsubky (1995:
18

66) sebagai berikut: (1) Menegakkan dakwah dan membentuk kader ulama; (2)

Mengkaji dan mengembangkan Islam; dan (3) Melindungi Islam dan umatnya.

Dari segi fungsi, sosok ulama di tengah masyarakat –khususnya di Jawa—

menurut Huda (2007: 211-213) terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok

ulama bebas atau ulama yang kedudukan peran sosialnya berada di jalur al-

da’wah wa al-tarbiyah (dakwah dan pendidikan). Ulama kelompok ini biasanya

disebut juga dengan kyai atau ulama pondok pesantren. Tugas utama ulama ini

adalah guru atau pengajar dan sekaligus sebagai penyiar (muballigh) agama.

Kedua, kelompok ulama pejabat atau yang disebut dengan penghulu.

Istilah lain dari ulama pejabat ini adalah kadi (khususnya di Kerajaan

Malaka, Aceh dan Banten) (Burhanudin, 2012: 37-41). Kelompok ulama ini

mempunyai kedudukan atau peran sosial keagamaan di jalur al-tasyri’ wa al-

qadha. Dengan kata lain, kelompok ulama pejabat mempunyai peran utama

sebagai pelaksana bidang kehakiman yang menyangkut hukum (syariat) Islam.

Pada masa penjajahan, ulama tipe ini dipandang sebagai operator dari penguasa

pribumi atau perpanjangan tangan dari pemerintah. Karenanya mereka sering

disebut dengan ulama dependen. Ulama pejabat yang di Jawa dan Madura disebut

penghulu menurut Isma’il (1997: 117) merupakan pemuka agama yang berada di

dua dunia, yakni sebagai formal leader dan informal leader di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, penghulu menduduki tempat yang penting dalam peran

perubahan sosial keagamaan untuk masyarakat Islam di Jawa dan Madura.


19

Kategorisasi ulama seperti di atas juga dikemukakan oleh Abdullah (1996:

65-78) dengan menambahkan satu kategori baru yang berada di posisi tengah. 13

Dari analisisnya tentang saluran bagi rekrutmen kepemimpinan dalam konteks

komunitas Islam, Abdullah membagi ulama menjadi tiga kategori. Pertama,

ulama-bebas, yaitu ulama pemimpin yang bertolak dari pengakuan umat dan

dipersyaratkan oleh kemampuan diri yang telah dibuktikan. Mewakili tipe seperti

ini adalah para muballigh dan guru agama yang sering mempunyai pusat-pusat

pendidikan, seperti pesantren atau madrasah. Mereka adalah para intelektual

bebas, yang kadang-kadang mempertanyakan keabsahan dari perwujudan dan

sistem kekuasaan dan harus selalu mengingatkan umat mana yang haq dan yang

bathil.

Kedua, pejabat agama, yaitu pemimpin yang bersandar pada pengangkatan

dari pemegang kekuasaan temporal atau masyarakat adat, dan lebih berkaitan

dengan status sosial. Mewakili tipe ini adalah para pejabat yang dipercayakan

untuk menyelenggarakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan sosial keagamaan.

Mereka adalah bagian dari sistem kekuasaan, yang menjaga agar ketentuan hukum

dan struktural agama mereka keduanya terletak pada keahlian keagamaan yang

mereka miliki masing-masing. Ketiga, tokoh organisasi, yaitu pemimpin yang

kehadirannya ditentukan oleh ikatan solidaritas yang diformalkan dalam

organisasi. Mobilitas kepemimpinan mereka tergantung pada kesempatan yang

tersedia di dalam organisasi. Mungkin mereka telah memiliki kemampuan ilmu

13
Bandingkan pendapat Taufik Abdullah ini dengan kategorisasi yang dibuat oleh Karel A.
Steenbrink (1984: 227) yang membagi ahli agama menjadi tiga, yaitu: penghulu, pemimpin
masjid, dan kyai pesantren.
20

keagamaan sebelum menjadi pemimpin jalur organisasi. Tetapi tak jarang pula

mereka tidak dilengkapi dengan ilmu-ilmu keagamaan.

Secara khusus dan detail, Pijper (1985:72-84) menjelaskan bahwa tugas-

tugas ulama pejabat yang di Jawa disebut penghulu ada lima. Pertama, mengadili

soal-soal agama menurut hukum Islam. Oleh karena itu ia dapat disebut qadi

dalam Bahasa Arab, meskipun ia hanya mempunyai keahlian sedikit kalau

dibandingkan dengan seorang kadi. Ia juga menjabat ketua pengadilan agama

yang sebagai akibat kesalahpahaman bersejarah—disebut “priesterraad” (Rad

Agama). Kedua, sebagai mufti, yaitu orang yang memberi penerangan tentang

hukum agama. Ketiga, mengepalai masjid dan juga kepala seluruh pegawai serta

mengatur tugas pegawai bawahannya. Ia mengatur soal-soal peribadatan,

bertindak sebagai imam dan khatib atau melimpahkannya kepada pegawai

bawahannya. Ia juga mengurus keuangan masjid, seperti uang nikah, hasil wakaf,

zakat dan sedekah. Keempat, mengurus dan mencatat pernikahan, perceraian dan

rujuk menurut hukum Islam. Kelima, mengawasi pendidikan agama.14

Berdasarkan kategori-kategori di atas, maka Basioeni Imran dapat

dimasukkan dalam kelompok kedua, ulama pejabat atau pejabat agama.

Pemosisian ini tentu saja tidak bisa dilakukan sesederhana ini. Dibutuhkan

analisis yang komprehensif dan mendalam atas sosok pribadi dan kiprahnya di

14
Karel A. Steenbrink (1984: 227-228) juga menyebutkan lima tugas penghulu, tetapi dengan
sedikit perbedaan. Tugas penghulu adalah: (a) Sebagai mufti (‘penasihat hukum Islam’), dia
harus menghadiri sidang-sidang pengadilan negeri (landraad) dan untuk fungsi ini ia diangkat
oleh pemerintah Belanda dan memperoleh uang sidang. (b) Sebagai Qadi atau hakim dalam
pengadilan agama. (c) Sebagai imam masjid, dia mengurus segala sesuatu yang berhubungan
dengan masjid raya di tempat kediamannya. (d) Sebagai wali hakim, dia mengawinkan wanita
yang tidak mempunyai wali; dan pada perkawinan lain membantu demi keabsahan perkawinan.
(e) Menurut adat dia adalah satu-satunya orang yang berhak mengumpulkan zakat; yang tidak
diperuntukkan bagi mustahik, tetapi untuk gajinya.
21

tengah masyarakat atau komunitasnya. Apakah dengan posisi Basioeni Imran

sebagai Maharaja Imam di Kerajaan Sambas kemudian menjadikannya sebagai

ulama dependen? Apakah posisinya tersebut digunakan untuk melanggengkan

struktur (kekuasaan dan wewenang) pihak Kerajaan Sambas?

Dalam banyak kasus, sebagaimana dijelaskan oleh Huda (2007: 213-222)

sering terjadi gesekan antara ulama birokrat dengan ulama rakyat. Terlepas dari

masalah tersebut, secara umum ulama mempunyai peran dan posisi khusus dalam

masyarakat Muslim di Nusantara. Eric Wolf menyebut ulama sebagai cultural

broker (perantara kebudayaan). Sebutan ini didasarkan pada peran mereka yang

menjadi “penjaga simpang sulit” yang menghubungkan sistem lokal dengan

sistem yang lebih luas. Bahkan, menurut Leonard Binder, tanggung jawab dan

kesempatan ulama Indonesia jauh lebih besar daripada di Timur Tengah.

Selanjutnya, menurut Geertz (1960) kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus

informasi yang masuk ke kalangan kaum santri, menularkan apa yang dianggap

berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Manakala

informasi yang masuk begitu deras dan tidak mungkin disaring, maka peran kyai

menjadi macet. Dalam kondisi seperti ini maka kyai mengalami kesenjangan

budaya (cultural lag) dengan masyarakat.

Berbeda dengan pendapat Geertz di atas, Horikoshi (1976) mengatakan

bahwa kyai berperan kreatif dalam perubahan sosial. Kyai bahkan memelopori

perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan menyaring informasi, tetapi

justru menawarkan agenda perubahan yang dianggap sesuai dengan kebutuhan

nyata masyarakat. Hal ini terjadi karena ia sadar bahwa perubahan adalah hal yang
22

tak bisa dihindari. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana kebutuhan akan

perubahan itu dapat dipenuhi tanpa merusak ikatan-ikatan sosial yang telah ada.

Bahkan justru memanfaatkan ikatan-ikatan sosial itu sebagai mekanisme

perubahan sosial yang diinginkan. Jika Geertz melihat peran kyai atau seorang

ulama hanya sebagai perantara, maka Horikoshi lebih jauh berpendapat bahwa

ulama itu sendirilah yang menjadi pelopor perubahan di tengah masyarakat.

Dengan demikian, maka ulama berperan sebagai agen pembaru di tengah

masyarakatnya.

Sebelum berbicara lebih jauh tentang pembaruan dalam Islam, harus

dijelaskan dahulu konsep pembaruan dan pembaru. Secara kebahasaan, di dalam

Kamus Bahasa Indonesia (2008: 142) disebutkan pembaruan merupakan kata

benda yang berasal dari kata “baru”. Baru adalah adjective yang berarti “belum

pernah ada (dilihat) sebelumnya”, “belum pernah didengar (ada) sebelumnya”.

Selanjutnya, pembaruan berarti proses, cara, perbuatan membarui. Sementara

orang yang membarui disebut pembaru.

Jika dikaitkan dengan Islam, Nasution (2011: 3-4) mendefinisikan

pemba[ha]ruan (-Islam) yang dalam masyarakat Barat dikenal dengan

modernisme sebagai usaha mengubah paham-paham keagamaan Islam, adat

istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana

baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Sehingga yang tepat menurut Nasution adalah pembaharuan dalam Islam. Definisi

yang agak berbeda dan selanjutnya akan menjadi patokan dalam penelitian ini

dikemukakan Azra (1999: 166-167) dengan mendefinisikan gerakan


23

“pembaharuan” (tajdid, renewal) sebagai upaya, baik secara individual maupun

kelompok pada kurun dan situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan di dalam

persepsi dan praktik keislaman yang telah mapan (established) kepada

pemahaman dan pengamalan “baru”.

Pembaruan menurut Azra lazimnya bertolak pada asumsi atau pandangan –

yang jelas dipengaruhi situasi dan lingkungan sosial—bahwa Islam sebagai

realitas sosial pada lingkungan tertentu tersebut tidak sesuai atau bahkan

menyimpang dari apa yang dipandang sebagai Islam yang sebenarnya, Islam yang

lebih sesuai dengan cita ideal. Terlepas dari bagaimanapun berbedanya persepsi

tentang “Islam ideal” tersebut, sesuai dengan cara pandang, pendekatan, latar

belakang sosial kultural, dan keagamaan individu dan kelompok pembaru yang

bersangkutan. Karena alasan-alasan inilah, lanjut Azra, muncul berbagai tipologi

gerakan pembaruan Islam. Sejak dari, misalnya, puritanisme, neosufisme,

pramodernisme, modernisme, neomodernisme, reformisme, fundamentalisme,

sampai bahkan kepada sekularisme dan westernisme. Berbagai tipologi ini jelas

bukan penggolongan yang ketat. Karena, satu tipologi tertentu bisa saja

mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri yang melekat pada tipologi lainnya.

Kata pembaruan yang menurut Nasution sebagaimana disebutkan di atas

dikenal di Barat dengan modernisme terkadang diartikan sebagai reformisme.

Sebenarnya antara modernisme dan reformisme jika dikaitkan dengan Islam

memiliki perbedaan, meskipun keduanya sama-sama ingin melakukan perubahan.

Latif (2005: 120-121) mengatakan bahwa modernisme Islam merupakan proyek

dari generasi Islam baru yang terpengaruh Barat untuk menyesuaikan diri dengan
24

peradaban modern, tetapi dengan tetap mempertahankan kesetiaan terhadap

kebudayaan Islam. Dengan kata lain, modernisme Islam merupakan sebuah titik

tengah (interstitial space) antara “Islamisme” dan “sekularisme” yang mungkin

saja akan bergerak kembali ke arah Islamisme atau bergerak ke arah sekularisme.

Seperti halnya yang terjadi di Turki di bawah Turki Muda, atau berada dalam

posisi moderat di antara kedua titik ekstrim itu. Berbeda dengan modernisme,

reformisme Islam dikatakan sebagai usaha untuk menata kembali umat Muslim

dan memperbarui perilaku individu. Proyek historis ini didasarkan pada gagasan

pemurnian kepercayaan dan praktik Islam dengan kembali kepada sumber yang

autentik, yaitu Alquran dan Sunnah, serta memiliki kecenderungan kuat untuk

menolak kebudayaan Barat.

Jika dilihat dari perkembangannya, reformisme lebih dahulu lahir dan

dapat dilacak pada diri Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) yang diikuti idenya oleh

Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M). Gerakan Muhammad bin Abdul

Wahhab lebih bersifat memurnikan atau gerakan revivalisme, yaitu memurnikan

paham tauhid yang menurutnya telah dikotori oleh berkembangnya bid’ah.

Belakangan gerakan revivalisme ini dikenal dengan nama gerakan Wahhabi.

Menurut Muhammad bin Abdul Wahhab, kemunduran umat Islam disebabkan

banyaknya praktik atau kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai dengan paham

tauhid. Kebiasaan tersebut seperti pemujaan dan kepatuhan yang berlebihan

kepada para ulama tarekat, ziarah ke kuburan wali dengan tujuan meminta

syafa’at. Kebiasaan-kebiasaan ini menurut Wahhab mengandung syirik

(bertentangan dengan paham tauhid). Semua kebiasaan itu adalah bid’ah, tidak
25

pernah dipraktikkan oleh Rasulullah, para sahabat dan para ulama-ulama besar

yang disebut dengan salaf.15 Gerakan Wahhabi kemudian juga dikenal dengan

gerakan salafi, karena ingin agar praktik keberagamaan kembali mencontoh apa

yang telah dipraktikkan oleh generasi awal Islam, para salaf.

Selain gerakan reformisme—yang mengambil bentuk pemurnian

(revivalisme)—dan modernisme, dalam Islam juga terdapat upaya memadukan

antara keduanya. Gerakan pemaduan ini oleh Latif (2005: 123-124) disebut

sebagai gerakan salafiya. Gerakan salafiya adalah hibrida “reformisme-

modernisme” Islam, khususnya yang dibawa oleh Muhammad Abduh yang

melakukan pembaruan pendidikan, hokum, dan spiritual. Gerakan ini tujuannya

adalah kebangkitan kembali Islam secara politik. Dengan tujuan yang sama,

Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M) lebih cenderung melakukannya melalui

gerakan Pan-Islamisme, sebagai wujud dari penekanannya pada kebutuhan

pragmatis akan adanya aliansi politik.

Beralih ke Indonesia, ketika mengamati dan menganalisis munculnya

gerakan-gerakan pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia, Ali dan Effendy

(1992: 9) menyatakan bahwa akan selalu diiringi oleh suatu ketegangan dan

konflik yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena adanya perbedaan antara

doktrin agama dan dinamika perubahan dunia. Kedua, karena proses sosiologis.

15
Terdapat pergeseran makna gerakan Salaf pada awal munculnya dan maknanya saat ini. Pada
masa-masa awal, gerakan salaf (salafiyah) berarti gerakan yang ingin mengembalikan agama
Islam pada dua sumber aslinya yaitu Alquran dan Sunnah Nabi, dengan meninggalkan
pertengkaran mazhab dan segala bid’ah yang disisipkan orang ke dalamnya. Gerakan inilah
yang menurut Aboebakar Atjeh (1970: 5) berhak dinamakan Aliran Pembaharuan dalam Islam
(at-Tajdid fi al-Islam), yang dalam bahasa asing diterjemahkan dengan reformisme. Dalam
perkembangan terkini, muncul istilah gerakan Salafi Wahhabi, yang dalam wujud gerakannya
lebih bersifat frontal dan keras dan berpandangan linier-tekstual dalam memahami teks-teks
agama (ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi).
26

Lebih jelasnya, mengapa ketegangan dan konflik itu muncul, berikut pendapat

keduanya.

Suatu hal yang sulit sekali dihindari dalam dinamika pemikiran keagamaan

adalah, ketegangan-ketegangan, bahkan konflik yang muncul mengiringi

perkembangan pemikiran itu. Di satu pihak, ketegangan dan konflik muncul oleh

suatu keharusan—yang dilandaskan pada kepercayaan—untuk mempertahankan

segi doktrinal suatu agama dalam situasi dunia yang selalu berubah. Ketegangan

antara doktrin dan dunia merupakan persoalan yang tidak pernah selesai di mana

pun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami

modernisasi.

Di lain pihak, ketegangan dan konflik itu muncul oleh proses sosiologis.

Kehadiran suatu agama, atau tepatnya suatu pemikiran agama tertentu, kerap

memberikan dasar bagi proses pelembagaan sosial, politik, bahkan ekonomi,

masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks ini, hampir semua proses

kemasyarakatan bekerja dengan rujukan-rujukan pada pemikiran keagamaan yang

berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Intensitas pendalaman agama ini

menciptakan lembaga yang mewadahi proses mobilitas vertikal bagi mereka yang

mengontrol pemikiran agama itu. Dari sini lahir elit agama, yang sekaligus elit

sosial-ekonomi, dalam masyarakatnya. Ketegangan dan konflik akan segera

muncul dalam proses-proses sosiologis ini, ketika muncul gerakan “pembaharuan

pemikiran” agama yang berusaha menggantikan pemikiran lampau. Ketegangan

atau konflik sering mencerminkan pertarungan antara kekuatan-kekuatan lama –


27

yang ingin mempertahankan posisi elitisnya— dengan kekuatan baru yang

mengancam sistem sosial dan kepemimpinan lama (Ali & Effendy, 1992: 9).

Tentu generalisasi yang dilakukan oleh Ali dan Effendi tersebut harus

dibuktikan secara ilmiah melalui penelitian. Sebagaimana disebutkan terdahulu,

Basioeni Imran dikenal sebagai sosok pembaru Islam pada awal abad ke-20 di

Kerajaan Sambas. Melalui kajian sejarah intelektual yang akan dilakukan ini,

peneliti ingin membuktikan, apakah generalisasi Fachry Ali dan Bahtiar Effendi

ini juga mengiringi upaya pembaruan pemikiran keagamaan yang dilakukan oleh

Basioeni Imran. Jika terjadi ketegangan dan konflik, seberapa besar ketegangan

dan konflik itu; dan sebaliknya jika tidak terjadi ketegangan dan konflik harus

ditemukan faktor-faktor yang menyebabkan pembaruan pemikiran keagamaan itu

berjalan tanpa hambatan.

Seperti telah disebutkan di atas, Basioeni Imran dikenal sebagai ulama

pembaru yang banyak mendapat pengaruh dari gurunya Muhammad Rasyid Ridha

(1865-1935 M.). Oleh karena itu, perlu dijelaskan sekilas bagaimana pemikiran

keagamaan Rasyid Ridha. Hal ini penting sebagai acuan dalam menganalisis

sejauh mana pemikiran keagamaan Rasyid Ridha memengaruhi pemikiran

keagamaan Basioeni Imran. Rasyid Ridha dikenal sebagai salah seorang pembaru

di Mesir dan merupakan murid dari Muhammad Abduh (1849-1905 M). Murid

dan guru ini sama-sama lulusan Universitas al-Azhar Cairo, Mesir. Meskipun

Rasyid Ridha banyak berguru kepada Muhammad Abduh, tetapi antara keduanya

memiliki beberapa perbedaan. Berbeda dengan gurunya, Rasyid Ridha banyak

dipengaruhi oleh ajaran Ibn Taimiyah dan aliran Wahabiah. Menurut Nasution
28

(2002: 99) guru [Muhammad Abduh] lebih liberal dari murid [Rasyid Ridha].

Guru melepaskan diri dari aliran-aliran mazhab, sedangkan murid mengikut pada

aliran dan mazhab. Tetapi pada garis besarnya murid mengikuti ide pembaruan

guru. Kemunduran umat Islam menurut Rasyid Ridha disebabkan karena mereka

tidak lagi menganut Islam yang murni dan untuk mengetahui Islam murni, umat

Islam harus kembali kepada Alquran dan Hadis. Ajaran Islam tidak membawa

kepada kepasifan, tetapi sebaliknya kepada dinamisme. Peradaban Barat tidak

bertentangan dengan Islam dan umat Islam harus menerima peradaban itu.

Peradaban Barat sekarang berasal atau bersumber dari kemajuan peradaban Islam

pada Zaman Klasik (650 – 1250 M). Pembaruan harus juga memasuki lapangan

fikih.

Rasyid Ridha banyak menyoroti masalah akidah Islam hubungannya

dengan praktik di tengah masyarakat Islam waktu itu. Ia ingin mempertajam

hidupnya paham keagamaan salafisme modern yang sebelumnya pernah dirintis

oleh Ibn Taimiyah, yaitu berpegang ketat kepada kemurnian ajaran Islam sesuai

dengan Alquran dan Sunnah. Menurut Rasyid Ridha umat Islam harus kembali

kepada ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu ajaran yang murni yang bebas dari

segala bid’ah yang menggerogoti ajaran tauhid itu. Lebih jauh, seperti Abduh,

Rasyid Ridha juga menyoroti paham fatalisme (jabari) yang berakar kuat di

tengah masyarakat dan telah memperlemah umat Islam. Agar umat Islam tidak

menjadi lemah, maka mutlak membuang jauh-jauh paham tersebut, kemudian

menggantikannya dengan paham dinamisme (progress, kemajuan). Menurutnya

kemajuan dan perubahan hidup yang dijalani umat Islam, sepenuhnya lebih
29

ditentukan oleh umat Islam sendiri. Di bidang pendidikan Rasyid Ridha juga

sangat antusias mendukung program Muhammad Abduh yang memasukkan ilmu-

ilmu umum ke dalam lembaga pendidikan milik umat Islam. Sementara di bidang

sosial kenegaraan, Rasyid Ridha masih memandang perlunya sistem kekhalifahan

di dalam Negara Islam (Sani, 1998: 66-69).

Untuk menganalisis peran Basioeni Imran di tengah masyarakatnya,

penelitian ini akan menggunakan teori yang diperkenalkan oleh Eric Wolf dan

dikembangkan oleh Clifford Geertz yang menyatakan bahwa ulama berperan

sebagai cultural broker. Dalam pandangan Geertz (1960), kyai berperan sebagai

alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke kalangan kaum santri,

menularkan apa yang dianggap berguna dan membuang apa yang dianggap

merusak bagi mereka. Manakala informasi yang masuk begitu deras dan tidak

mungkin disaring, maka peran kyai menjadi macet. Dalam kondisi seperti ini

maka kyai mengalami kesenjangan budaya (cultural lag) dengan masyarakat.

Berasarkan penelitiannya pada sosok Kyai Yusuf Tajri di daerah Garut,

Horikoshi (1976) kemudian mengoreksi dan memperbaiki teori ini dengan

menyatakan kyai [ulama] berperan kreatif dalam perubahan sosial. Kyai bahkan

memelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan menyaring

informasi, tetapi justru menawarkan agenda perubahan yang dianggap sesuai

dengan kebutuhan nyata masyarakat. Hal ini terjadi karena ia sadar bahwa

perubahan adalah hal yang tak bisa dihindari. Masalah yang dihadapi adalah

bagaimana kebutuhan akan perubahan itu dapat dipenuhi tanpa merusak ikatan-
30

ikatan sosial yang telah ada. Bahkan justru memanfaatkan ikatan-ikatan sosial itu

sebagai mekanisme perubahan sosial yang diinginkan.

Dalam penelitiannya, Dirdjosanjoto (1999: 246-248; 250) membedakan

kyai menjadi tiga kategori: kiai langgar, kiai pesantren dan kiai tarekat. Kiai

langgar yang awalnya lahir karena penerimaan masyarakat lambat laun berubah

menjadi dilahirkan oleh proses politik. Kiai pesantren adalah kiai supralokal, yang

wibawanya dibangun dari hubungan dengan pesantren di daerah lain. Sementara

kiai tarekat sangat eksklusif. Dari penelusurannya, disimpulkan bahwa sumber

kewibawaan kiai bisa dari beberapa sumber, yaitu: (1) dukungan dan penerimaan

umat; (2) dukungan kelembagaan; (3) jaringan hubungan antar para kiai; (4)

hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan; dan (5) kualitas pribadi para kiai sendiri.

Berada antara padangan Geertz dan Horikoshi, Dirdjosanjoto mengatakan bahwa

kiai tetap menjadi tempat penduduk datang untuk bertanya tentang berbagai

perubahan di luar yang tidak mereka pahami. Tak jarang kiai memakai

pengetahuan luar untuk mempertahankan kewibawaannya di mata umat. Posisi

kiai sebagai “cultural broker” tidak terbatas hanya pada masa transisi, dan dalam

kaitan antara kebudayaan nasional dan kebudayaan lokal. Posisi sebagai perantara

berada dalam konteks lebih luas. Kiai berperan sebagai perantara dalam segala

segi kehidupan umatnya: antara doktrin dan praktik, antara Tuhan dan umat,

antara peradaban Islam dunia dan tradisi Islam setempat.

1.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang
31

menempuh empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi

(Garaghan, 1946: 103-426; Gottschalk, 2008: 23-24, Herlina, 2008: 15-16;

Sjamsuddin, 2007: 85-239). Secara metodologis penelitian ini dapat juga

dikatakan termasuk studi tokoh dan termasuk jenis penelitian kualitatif dengan

mengikuti prosedur umum penelitian sejarah (Furchan & Maimun, 2005:15).

Langkah pertama penelitian ini adalah penelusuran sumber-sumber.

Sumber-sumber sejarah menurut Herlina (2008: 18) dapat ditemukan di berbagai

tempat, misalnya perpustakaan pribadi, perpustakaan umum, hingga kantor arsip.

Langkah ini sebenarnya telah peneliti lakukan sejak 2010, di saat peneliti terlibat

dalam sebuah kegiatan penelitian sejarah Kesultanan Sambas. Peneliti kembali

menelusuri sumber-sumber di Sambas pada Agustus 2016 dan Mei 2017. Dalam

penelusuran sumber tersebut, peneliti telah menemukan sejumlah sumber primer

karya Basioeni Imran yang tersimpan di Museum Tamadun Islam Nagri Sambas

(rumah Basioeni Imran) di Kampung Dagang Timur Sambas.

Sumber-sumber yang ditemukan antara lain kitab-kitab hasil cetakan,

manuskrip-manuskrip, naskah-naskah ketikan, dan kitab-kitab bacaan milik

Basioeni Imran. Sumber-sumber primer yang telah ditemukan tersebut telah pula

peneliti lakukan proses digitalisasi, sehingga copy digital dalam bentuk file telah

ada di tangan peneliti. Selain dari museum tersebut, peneliti juga telah melakukan

penelusuran ke berbagai tempat penyimpanan naskah, yang sebagian dikoleksi

secara pribadi menyangkut naskah karya-karya Basioeni Imran. Beberapa naskah

kitab baik dalam bentuk asli hasil cetakan penerbit atau sudah dalam bentuk foto

copy peneliti peroleh antara lain dari para peneliti terdahulu seperti dari Erwin
32

Mahrus, Muhammad Rahmatullah, dan Pondok Pesantren Basiuni Imran di

Sambas.

Untuk penelusuran dokumen-dokumen lain, peneliti juga mendapatkan

sejumlah dokumen pribadi milik Basioeni Imran dari anaknya Badran Basioeni

yang berdomisili di Sambas. Khusus sumber-sumber yang menyangkut sejarah

Kesultanan Sambas dan kondisi sosial budaya yang melingkupi zaman Basioeni

Imran, peneliti melakukan penelusuran ke beberapa tempat seperti di lembaga

Arsip Nasional RI, Perpustakaan Nasional RI, maupun beberapa perpustakaan di

daerah seperti Kantor Arsip dan Perpustakaan Provinsi Kalimantan Barat dan

Perpustakaan Balai Pelestarian Nilai Tradisional Kalimantan Barat. Dari Arsip

Nasional RI di Jalan Ampera Raya Jakarta, peneliti memperoleh beberapa arsip

terkait Kerajaan Sambas seperti, peta kuno, naskah kontrak, Regeerings Almanak

voor Nederlandsch-Indie dan Staatsblad van Nederlandsch-Indie. Dari

Perpustakaan Nasional di Jalan Salemba Raya, peneliti memperoleh beberapa

manuskrip tentang Kerajaan Sambas, dan beberapa surat kabar terbitan Borneo

Barat yang memberitakan tentang kondisi Kerajaan Sambas dan Basioeni Imran.

Surat kabar yang ditemukan anatara lain: Warta Borneo (terbitan 1924), Sinar

Borneo (terbitan 1926), Oetoesan Borneo (terbitan 1928), dan Borneo Barat

(terbitan 1940-1941). Khusus dua perpustakaan terakhir, sebagian besar yang

ditemukan adalah sumber-sumber sekunder seperti hasil-hasil penelitian tentang

Basioeni Imran dan Kerajaan Sambas.

Penelusuran sumber juga dilakukan terhadap sumber-sumber lisan.

Sumber lisan ini diperoleh melalui wawancara langsung terhadap beberapa


33

narasumber yang diduga kuat pernah bertemu dan berinteraksi dengan Basioeni

Imran. Beberapa narasumber yang telah diwawancarai antara lain Badran bin

Basieoni Imran,16 mantan imam masjid Jami Sultan Safiuddin, mantan guru

sekolah Tabiyatoel Islam dan beberapa masyarakat Kampung Dagang Timur.

Fokus masalah yang digali dari sumber-sumber lisan ini khususnya yang berkaitan

dengan sosok pribadi dan kegiatan dakwah Basioeni Imran.

Bantuan sangat berharga dalam penelusuran sumber peneliti peroleh dari

membaca karya-karya terdahulu tentang Basioeni Imran. Karena sebagian besar

penulisnya adalah kenal dekat dengan peneliti, maka peneliti bisa berkomunikasi

langsung untuk melakukan penelusuran sumber-sumber yang mungkin belum

diperoleh sebelumnya. Bantuan yang sangat berharga berikutnya adalah dari

media online, internet. Melalui internet, peneliti berupaya melakukan penelusuran

tentang sumber-sumber terkait dengan tema penelitian. Sebagian besar sumber

yang diperoleh dari internet adalah sumber sekunder dan bahkan tersier. Namun

demikian, tetap saja sumber-sumber tersebut memberikan kontribusi tersendiri

dalam penyempurnaan hasil penelitian. Salah satu sumber berharga yang peneliti

peroleh dari penelurusan di internet adalah edisi lengkap (volume ke-1 sampai

ke-35) majalah ilmiah al-Manar yang diterbit di Mesir oleh Muhammad Rasyid

Ridha. Majalah al-Manar merupakan majalah langganan Basioeni Imran dan

dalam beberapa edisi terbitannya terdapat pertanyaan-pertanyaannya yang

diajukan kepada Rasyid Ridha. Selain majalah al-Manar, peneliti juga dapat

mengunduh sejumlah buku berharga, terutama buku lama yang tidak lagi terbit

16
Salah seorang anak Basioeni Imran yang masih hidup dan mengetahui perihal bapaknya serta
menyimpan beberapa dokumen pribadi Basioeni Imran.
34

namun bisa diunduh dalam bentuk e-book (file PDF).

Langkah kedua adalah melakukan kritik, baik eksternal maupun internal,

atas sumber-sumber yang telah ditemukan. Oleh karena sumber-sumber berupa

naskah karya Basioeni Imran sebagian besar telah tercetak dalam bentuk

buku/kitab, maka kritik eksternal tidak diperlukan. Hal yang perlu dikerjakan

hati-hati adalah kritik eksternal atas naskah-naskah manuskrip yang sebagian

tulisannya sulit dibaca. Dalam meneliti otentisitas naskah, peneliti melakukannya

terutama dengan melihat bentuk tulisan dan gaya bahasa naskah yang dapat

menjadi indikator otentisitas. Bentuk tulisan tangan Basioeni Imran yang

menggunakan aksara Arab Melayu memiliki bentuk khusus yang relatif konsisten

sehingga dapat dibedakan dengan tulisan tangan orang lain. Dalam beberapa

manuskrip, Basieoni Imran juga membubuhkan tanda tangan yang dapat menjadi

dasar penguat otentisitas sumber. Setelah sumber dinyatakan otentik, maka

peneliti meneliti nilai sumber serta kemampuan dan kemauan sumber memberikan

kesaksian yang benar (Herlina, 2008: 30-34). Tak kalah pentingnya adalah peneliti

melakukan koroborasi antar sumber, sehingga fakta yang diperoleh benar-benar

kredibel.

Langkah ketiga adalah melakukan interpretasi atas fakta-fakta yang

terungkap dari sumber-sumber yang digunakan. Dalam melakukan interpretasi,

dilakukan analisis dan sintesis (Herlina, 2008: 36-39; Daliman, 2012: 87).

Interpretasi berarti memberi makna atau menafsirkan fakta-fakta atau bukti-bukti

sejarah. Ada dua bentuk interpretasi dalam upaya merekonstruksi sejarah tokoh

Basioeni Imran. Pertama, memberikan kembali relasi antar fakta-fakta, baik relasi
35

subjek (siapa?), tempat (di mana?), waktu (kapan?), okupasional atau fungsional

(apa?), keadaan atau proses (bagaimana?). Kedua, interpretasi yang dikaitkan

dengan eksplanasi sejarah, yaitu menjawab pertanyaan mengapa (relasi kausal)

dan bagaimana (relasi nilai) (Daliman, 2012: 83-86). Dalam melakukan

interpretasi ini peneliti menggunakan teori dan konsep dari ilmu sosial lain

sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Langkah keempat atau terakhir dari penelitian ini adalah melakukan

penulisan sejarah (historiografi). Untuk memberi gambaran apa yang harus

dituangkan dalam tulisan, Kartodirdjo (1992: 19) mengibaratkannya dengan

membuat lukisan, bukan memotret. Sejarah sebagai sebuah lukisan, tidak memuat

secara utuh dan serupa atas apa yang terjadi layaknya dalam potret. Tercermin

pada lukisan cara pelukis melihat objek, teknik penggarapan, pandangan,

pendekatan, metode, dan gaya bahasa sejarawan. Perbedaannya ialah bahwa

sejarawan tidak terlalu bebas dalam mengekspresikan diri; dia terikat pada fakta-

fakta, dan dalam cerita sejarah bagaimana cerita itu sebenarnya terjadi.

Sehubungan dengan hal terakhir, perlu dikemukakan bahwa peneliti

berperan mirip saksi di pengadilan. Peneliti wajib mengungkapkan fakta-fakta

sedemikian rupa sehingga pembaca mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Sedapat mungkin peneliti tidak menyampur persaksian dengan pendapat,

komentar, dan ekspresi emosional, yang kesemuanya tidak relevan dengan cerita

kejadian. Dalam historiografi, peneliti akan menggunakan perpaduan model

penulisan diakronis dan sinkronis. Artinya, pemaparan mengikuti alur

memanjangnya lukisan yang berdimensi waktu. Namun dalam memanjangnya


36

lukisan waktu itu, pemaparan akan disusun berdasarkan tema-tema yang telah

disusun sebelumnya.

Dengan melihat langkah-langkah tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa

penelitian sejarah sangat tergantung pada sumber. Terkait dengan sumber-sumber

yang menjadi bahan dasar penelitian ini, peneliti telah mengoleksi sejumlah

sumber primer yang sangat penting untuk mengungkap biografi intelektual

Basioeni Imran. Berikut karya-karya Basioeni Imran yang telah peneliti koleksi:

(1) ‫( نورالسراج في قصةاالسراء والمعراج‬Nur al-Siraj fi Qissat al-Isra’ wa al-Mi’raj /

Cahaya Pelita pada Ceritera Isra’ dan Mi’raj);

(2) ‫بداية التوحيد في علم التوحيد‬ (Bidayah al-Tawhid fi al-Ilm al-Tawhid / Dasar-

dasar ke-Esa-an Allah dalam Ilmu Tauhid);

(3) ‫( جهيا سوله فد مندريكن جمعة كورغ درفد امفت فوله‬Cahaya Suluh Pada Mendirikan

Jumat Kurang dari pada Empat Puluh);

(4) ‫( تذكير سبيل النجاه في تارك الصالة‬Tazkir, Sabil al-Najah fi tarik al-Shalat /

Peringatan, Jalan Kelepasan pada Mengingati Orang yang Meninggalkan

Sembahyang);

(5) ‫( حسن الجواب عن اثبات االهلة بالحساب‬Husn al-Jawab ‘an Isbat al-Ahillah bi al-

Hisab / Molek Jawaban pada Mentsabitkan Awal Bulan dengan Kiraan);

(6) ‫االبانة واالنصاف في المسائل الدينية وازالة التفرق فيها واالختالف‬ (Al-Ibanatoe wal

inshafoe fil masaailiddiniah wa izalati attafarruqifiha wal ichtilaaf /

Menyatakan dan Menengahi [Mengadili] pada Masalah Agama dan

Menghilangkan Berpecah-belah dan Bersalah-salahan Padanya);

(7) ‫( ارشاد الغلمان الى اداب تالوة القران‬Irsyad al-Gilman ila Adab Tilawat al-Qur’an
37

/ Petunjuk Praktis untuk Anak tentang Adab Membaca Alquran);

(8) ‫( الجنا ئز‬al-Janaiz / Kitab Jenazah);

(9) ‫خالصة السيرة المحمدية حقيقة سروان اسالم‬ (Khulashah al-Sirah al-

Muhammadiyyah / Ringkasan Sejarah Hidup Muhammad);

(10) ‫( بحث فركارا بربيلغ استري اتو بركاوين لبه دري ساتو‬Bahas Perkara Berbilang Istri

atau Berkawin Lebih dari Satu);

(11) ‫( تفسير ايات الصيام‬Tafsir Ayat al-Shiyam);

(12) ‫( ترجمة االمام الشافعيي رضي هللا عنه‬Tarjamah al-Imam al-Syafi’i Radhiya Allah

‘Anh);

(13) Risalah Shalat Bacaan dan Artinya;

(14) Naskah tentang Tafsir Surah-surah Pendek;

Selain kitab-kitab dan naskah-naskah yang disebutkan di atas, peneliti juga

memiliki beberapa buku catatan salinan surat menyurat, buku catatan harian dan

agenda harian, foto-foto, dan peta.

Selain sumber-sumber naskah, peneliti juga menggunakan sumber-sumber

lisan. Sumber lisan ini antara lain hasil wawancara anak Basioeni Imran bernama

Badran, mantan guru Sekolah Tarbiyatul Islam, tokoh agama, dan masyarakat

Kampung Dagang Timur (tempat tinggal Basioeni Imran semasa hidupnya). Para

narasumber yang telah diwawancarai adalah sumber sezaman dengan Basioeni

Imran, yang bertemu dan berinteraksi langsung dengan Basioeni Imran. Sumber

lisan ini terutama untuk melihat sosok pribadi, pemikiran dan aktivitas Basioeni

Imran dari perspektif orang lain. Ini penting dilakukan untuk memberikan

gambaran yang seobyektif mungkin tentang tokoh. Untuk menambah data-data


38

dalam menemukan fakta-fakta, sedapat mungkin peneliti juga menggunakan

sejumlah sumber visual, berupa foto-foto yang terkait dengan tema penelitian.

Tentu saja sumber foto-foto ini adalah foto yang memiliki identitas, sehingga

otentisitas dan kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan.

Mengikuti pendapat Kartodirdjo (1992: 77), dalam memahami dan

mendalami kepribadian seseorang dituntut pengetahuan latar belakang lingkungan

sosio-kultural di mana tokoh itu dibesarkan, bagaimana proses pendidikan formal

dan informal yang dialami, watak-watak orang yang ada di sekitarnya. Menyelami

mentalitas seorang tokoh diperlukan analisis psikologis agar segi emosional,

moral, dan rasionalnya lebih tampil. Lebih lanjut Kartodirjdo mengatakan bahwa

perlu diinterpretasikan cara persepsi dan konsepsinya, pandangan hidup, orientasi

intelektualnya, yang kesemuanya hanya dapat diungkap apabila cukup data

tersedia. Berdasarkan pendapat ini, saat ini peneliti telah memiliki cukup sumber

berupa tulisan-tulisan Basioeni Imran baik yang sudah tercetak maupun yang

masih dalam bentuk naskah manuskrip dan naskah ketikan. Jenisnya ada yang

berupa surat-surat pribadi, daftar riwayat hidup, dokumen surat-surat penting, dan

buku harian.

Dalam rekonstruksi biografis, peneliti berupaya sedapat mungkin untuk

senantiasa mengindahkan historical-mindedness, yaitu bagaimana peneliti

menempatkan diri dalam konteks zamannya. Dalam hal ini peneliti harus mampu

menunjukkan emphaty yaitu dapat menempatkan diri seolah-olah ada di dalam

situasi tokoh itu, bagaimana emosinya, motivasi dan sikapnya, persepsi dan

konsepsinya (Kartodirdjo, 1982: 66-67 dan 1992: 77). Padmo (2007: 159)
39

mengatakan bahwa gerakan Islam merupakan satu fenomena yang mencerminkan

jiwa zamannya. Lingkungan kultural dan sosial mendorong seseorang untuk

berbuat sesuatu dan membangun jaringan, merumuskan masalah, mencari jalan

keluar, dan melakukan tindakan reformasi sosial dan kultural.

Dalam melakukan interpretasi atas fakta-fakta sejarah yang terkait dengan

tokoh dan pemikiran Basioeni Imran, peneliti menggunakan pendekatan ilmu

politik. Dalam menganalisis peran Basioeni Imran sebagai seorang elit (ulama

pejabat) di Kerajaan Sambas, peneliti menggunakan pendekatan ilmu politik

tentang peran elit atau birokrat dalam menentukan kebijakan pemerintah (Weber,

1947; Singhi, 1974; Kartodirdjo, 1981; Kartodirdjo, 1992: 165-170).

1.3 Tinjauan Pustaka

Dari penelusuran yang telah peneliti lakukan terdapat tiga buku, satu tesis

dan satu laporan penelitian yang ada untuk mengungkap biografi dan pemikiran

Basioeni Imran. Tulisan pertama adalah buku yang ditulis oleh Machrus Effendi

(1995) berjudul “Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas H.M.

Basioeni Imran”. Sebagaimana judulnya, buku ini selain menguraikan riwayat

hidup juga mengemukakan usaha-usaha Basioeni Imran dalam memajukan

kehidupan keagamaan di Kerajaan Sambas. Karya Machrus Effendi ini hanya

menyoroti biografi umum Basioeni Imran. Tidak ada elaborasi tentang latar

belakang pendidikan dan pengaruhnya pada pembentukan pola pikir. Buku ini

lebih difokuskan pada perjuangan Basioeni Imran memajukan kehidupan

beragama masyarakat di Kerajaan Sambas. Pemikiran keagamaan yang


40

diperjuangkan oleh Basioeni Imran sendiri kurang mendapatkan perhatian,

padahal masalah ini penting untuk diungkap.

Tulisan kedua adalah buku yang ditulis oleh Muhammad Rahmatullah

(2003) yang berjudul Pemikiran Fikih Maharaja Imam Kerajaan Sambas

Muhammad Basiuni Imran (1885-1976). Buku ini awalnya adalah tesis di IAIN

Wali Songo Semarang. Buku ini berisi rekonstruksi pemikiran Basioeni Imran di

bidang fikih yang meliputi dua pokok bahasan utama, yaitu corak pemikiran dan

metode istinbath hukum yang digunakan. Penulis buku ini hanya membatasi diri

mengkaji tiga karya Basioeni Imran, yaitu Tadzkir, Kitab al-Janaiz dan Cahaya

Suluh. Dalam kesimpulannya, penulis buku ini mengatakan bahwa Basioeni Imran

memperlihatkan corak berpikir yang beragam dan bervariasi. Ia terkadang tampil

sebagai fuqaha yang rasional, tetapi di saat tertentu ia berpikir “literal dan

tekstual”. Namun yang pasti ia adalah penganut mazhab Syafi'i baik secara qauli

maupun secara manhaji. Karena buku ini hanya menyoroti satu sisi pemikiran

keagamaan Basioeni Imran, maka kesimpulan yang diambil lebih bersifat

prematur dan parsial.

Tulisan ketiga adalah buku yang ditulis oleh Erwin (2007) berjudul

“Falsafah Gerakan Pendidikan Islam Maharaja Imam Sambas Muhammad

Basiuni Imran (1885-1976)”. Buku ini awalnya adalah tesis di IAIN Walisongo

Semarang. Dalam penelitiannya, Erwin memfokuskan kajian pada faktor-faktor

yang memengaruhi gagasan pendidikan serta bentuk-bentuk gagasan pendidikan

Islam Basioeni Imran. Erwin mengemukakan bahwa Basioeni Imran

mengembangkan ide-ide pembaruannya melalui pendidikan dengan mendirikan


41

lembaga pendidikan. Pembaruan pendidikannya dipengaruhi oleh pemikiran

pembaruan yang muncul pada awal abad 19 M, khususnya di Universitas Al-

Azhar Cairo, Mesir. Selain itu, faktor kondisi pendidikan di Sambas yang

memprihatinkan pada saat itu juga menjadi faktor yang memengaruhi pembaruan

pendidikan Basioeni Imran. Erwin juga mengemukakan bahwa bentuk pembaruan

pendidikan yang dilakukan Basioeni Imran adalah: (1) Mengembangkan sistem

pendidikan a la kolonial (Barat); (2) kurikulum pendidikan mengadopsi

kurikulum HIS (Hollandsch Inlandsche School); (3) Memandang pentingnya

pendidikan luar sekolah melalui kegiatan dakwah Islamiyah. Buku ini meskipun

telah menyoroti ide-ide pembaruan Basioeni Imran, tetap saja tidak utuh karena

hanya dikaji dari aspek pemikiran pendidikan.

Perbedaan penelitian ini dengan ketiga buku di atas dan tulisan lainnya 17

terletak pada sisi keluasan cakupan pemikiran keagamaan Basioeni Imran yang

akan dielaborasi dan dari sisi sumber-sumber yang digunakan. Penelitian ini

berusaha mengurai biografi intelektual dan berbagai sisi pemikiran Basioeni

Imran, yaitu pemikiran teologi, hukum, tafsir, dan pendidikan serta pengaruhnya

di tengah masyarakat. Tentu saja tidak berarti bahwa penelitian ini hanya

berupaya menggabungkan apa yang telah dibahas oleh buku-buku tersebut. Hal ini

17
Masih ada tulisan lainnya yang berupa hasil penelitian yang dilakukan oleh Pabali Musa (1999)
dalam bentuk tesis berjudul “Muhammad Basiuni Imran”. Tesis tersebut sudah mengungkap ide-
ide dan pemikiran keagamaan Basioeni Imran secara cukup luas, termasuk juga biografi
intelektualnya.Tesis ini lebih menyoroti pemikiran keagamaan, khususnya di bidang fikih dari
Basioeni Imran. Dalam tesis ini diungkap juga tentang kecenderungan Basioeni Imran yang
paling kuat dalam menggagas perbaikan kehidupan umat tanpa kekerasan melalui keterikatan
yang kuat terhadap khazanah yang telah ada. Karena itu, Musa menyebut Basioeni Imran dengan
“reformis tradisionalisme”. Selain itu, sumber-sumber yang digunakan juga tidak jauh berbeda
dengan sumber yang digunakan oleh ketiga buku yang telah disebutkan sebelumnya.
42

akan terlihat terutama dengan ditemukannya beberapa sumber yang belum pernah

digunakan oleh buku-buku yang telah disebutkan di atas.

1.4 Sistematika Penulisan

Disertasi ini disusun menjadi lima bab. Pada bab pertama, yaitu

pendahuluan, dijelaskan pokok permasalahan yang menjadi fokus kajian, metode

penelitian yang ditempuh dan kajian atas karya-karya terdahulu. Sebelum

memasuki bahasan utama, dijelaskan latar belakang historis baik dalam konteks

spasial global maupun lokal yang melatari kehidupan Basioeni Imran. Dalam

konteks global dijelaskan sejarah lahirnya gerakan pembaruan di dunia Islam dan

pengaruhnya yang sampai ke wilayah Hindia Belanda. Dalam lingkup lokal,

dipaparkan sejarah berdirinya Kerajaan Sambas dan kondisinya hingga pada masa

Basioeni Imran lahir dan menjabat sebagai Maharaja Imam. Latar historis ini

dijelaskan pada bab kedua. Pada bab ketiga, dipaparkan riwayat hidup dan

genealogi intelektual Basioeni Imran. Dalam bagian ini diurai latar belakang

keluarga, pendidikan, karya-karya, aktivitas keagamaan, sosial dan politik

Basioeni Imran. Selanjutnya pada bab keempat dielaborasi pemikiran keagamaan

Basioeni Imran dalam berbagai aspek. Aspek pemikiran yang dielaborasi adalah

aspek teologi, hukum, tafsir, dan pendidikan. Di akhir bab ini diuraikan juga

tentang pendapat Basioeni Imran terhadap terhadap kemunduran dan perbedaan

pendapat umat Islam. Bab terkakhir atau kelima adalah penutup yang berisi

simpulan, saran, dan rekomendasi.


43

BAB II

LATAR BELAKANG HISTORIS

Membincang sosok Basioeni Imran sebagai seorang tokoh pembaru Islam

di Kerajaan Sambas tidak akan memberikan gambaran yang utuh dan tepat jika

tidak diikuti dengan pemaparan latar historis yang melingkupi kehidupannya.

Latar belakang historis menyediakan informasi yang penting untuk melihat

mengapa dan bagaimana pembaruan yang dilakukan. Supaya gambaran yang

disajikan benar-benar utuh, dalam bab ini digambarkan latar belakang historis

baik dalam konteks kondisi dunia Islam secara global khususnya di Timur Tengah,

lokal wilayah Hindia Belanda, dan lebih kecil lagi adalah di Kalimantan Barat dan

Kerajaan Sambas.

Membahas pembaruan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari

pembahasan pembaruan di dunia Islam yang lain, khususnya di Timur Tengah,

karena dari sanalah salah satu sumber inspirasi pembaruan di Indonesia. Azra

(2002: 90; 183) menyebut bahwa sejak Islam berkembang di Asia Tenggara

[termasuk di Indonesia] dinamika Islam di Timur Tengah secara terus menerus

memengaruhi diskursus Islam di Dunia Melayu-Indonesia. Pembaruan di Dunia

Melayu-Indonesia, baik yang terjadi pada abad ke-17 dan ke-18 maupun pada

awal abad ke-20, didorong oleh jaringan lama di Haramain serta gerakan

pembaruan yang terjadi di Timur Tengah, khususnya Kairo dan Mekah. Zayd

(2006: 42) saat hendak membahas pembaruan pemikiran di Indonesia

mengatakan:

43
44

On the other hand, religious reform movements cannot be separated from


religious movements elsewhere in the Muslim World, particularly in the
Middle East. The religious reformation of the late 19th century in the
‘heartlands of Islam’ that was initiated by influential thinkers such as al-
Afghani and Muhammad Abduh, had a massive impact on the discourse in
Indonesia.

(Di sisi lain, gerakan reformasi agama tidak dapat dipisahkan dari gerakan
keagamaan di tempat lain di Dunia Muslim, khususnya di Timur Tengah.
Reformasi agama pada akhir abad ke-19 di 'jantung Islam' yang
diprakarsai oleh pemikir berpengaruh seperti al-Afghani dan Muhammad
Abduh, memiliki dampak besar pada wacana di Indonesia.)

Bertolak dari pendapat Zayd tersebut, pada bagian awal bab ini membahas

pembaruan di Dunia Islam, khususnya di Timur Tengah yaitu Arab Saudi dan

Mesir. Kedua, wilayah yang menjadi tempat Basioeni Imran menuntut ilmu dan

dari sanalah ia berkenalan dengan ide-ide pembaruan Islam.

2.1 Pembaruan Islam di Timur Tengah

2.1.1 Cikal Bakal dan Pembaruan Islam pada Periode Pramodern

Pembaruan di dalam Islam tidak hadir begitu saja. Pembaruan baru muncul

setelah Islam mengalami masa-masa pertumbuhan, perkembangan, kemajuan, dan

kemunduran. Perjalanan panjang sejarah Islam dan umatnya melewati beberapa

periode. Andress (2002: 110-130) membagi sejarah Islam menjadi delapan

periode: (1) Arabia sebelum Islam (hingga 610 M.); (2) Muhammad (610-632

M.); (3) Khalifah hingga akhir Umayyah (632-750 M.); (4) Khalifah Abbasiyah

dan negara-negara dan penggantinya (mulai 749 M. sampai pertengahan abad ke-

11 M.); (5) Periode Saljuq (1055 – 1258 M.); (6) Periode Mongol, mulai

penaklukan Bagdad oleh Mongol hingga berdirinya Kekaisaran Ottoman

[Usmani] (1258 – 1517 M.); (7) Periode Ottoman [Usmani] (abad ke-16 – abad
45

ke-18 M.); dan (8) Munculnya negara-negar bangsa, westernisasi dan reformasi

(mulai dari awal abad ke-19 M.).

Periodesasi secara lebih sederhana diajukan oleh Harun Nasution yang

membagi sejarah umat Islam menjadi tiga periode besar: klasik, pertengahan, dan

modern. Periode Klasik (650-1250 M) merupakan zaman kemajuan dan dibagi ke

dalam dua fase: ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M.), dan

disintegrasi (1000-1250 M.). Periode Pertengahan (1250-1800 M.) juga dibagi ke

dalam dua fase: kemunduran (1250-1500 M.) dan tiga kerajaan besar (1500-1800

M.). Periode modern (1800 M. dan seterusnya) yaitu fase timbulnya pembaruan

Islam yang mempunyai tujuan untuk membawa umat Islam kepada kemajuan

(Nasution, 2011: 4-6). Pembaruan dalam Islam menurut Andress (2002: 128-130)

dimulai pada awal abad ke-19. Namun, baru sejak berakhirnya abad ke-19 sebuah

perkembangan baru terjadi dan seluruh dunia Islam menerima struktur dan batas-

batas politik baru, yang meliputi: (1) intervensi politik dan ekonomi Eropa sangat

menentukan bagi perkembangan internal masyarakat Islam; (2) konfrontasi

intelektual dengan Eropa yang sekuler dan teknologinya yang superior

menyebabkan terjadinya penilaian kembali secara kritis nilai-nilai Islam

tradisional bagi umat Islam sendiri; dan (3) Kekuatan nasionalisme yang awalnya

terbangun untuk melakukan penentangan terhadap kekuasaan Ottoman (Usmani)

pada akhir abad ke-19 M. kemudian diarahkan untuk melawan kolonialisme dan

imperialisme Eropa.

Dominasi Eropa atau dunia Barat terhadap dunia Islam yang telah dimulai

pada abad ke-16 M. lambat laut memunculkan reaksi di kalangan elit masyarakat
46

muslim. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke19 M muncul kalangan elit

masyarakat yang memberikan respon terhadap dominasi dunia Barat. Respon

tersebut menurut Lapidus (2002: 457) dapat dibedakan menjadi dua bentuk.

Pertama, respon dari kalangan elit politik dan intelegensia baru yang terbentuk

oleh pendidikan Barat dan terpikat pada nilai-nilai budaya dan pencapaian Barat.

Mereka terpikat pada konsep Islam modern atau konsep nasionalis sekuler tentang

masa depan masyarakat, dan cenderung mendefinisikan kembali Islam untuk

menjadikannya konsisten pada pola kenegaraan dan ekonomi Eropa. Respon

kedua datang dari tokoh-tokoh kesukuan, pedagang, dan petani-pedagang yang

dipimpin oleh ulama dan sufi, yang menyokong sebuah regorganisasi komunitas

muslim dan mereformasi sikap individual agar sesuai dengan prinsip-prinsip

ajaran Islam yang fundamental. Dua bentuk respon yang disebutkan Lapidus

tersebut secara umum dikenal dengan model pembaruan dan pemurnian.

Meskipun pembaruan timbul pada periode modern, tetapi sebenarnya cikal

bakal pemikiran dan usahanya sudah ada pada periode pertengahan sejarah Islam.

Semua gerakan pembaruan pra-modernis (yang terjadi pada periode pertengahan)

memperlihatkan ciri-ciri umum berikut: (1) Suatu keprihatinan yang mendalam

dan berubah terhadap kemerosotan sosial-moral masyarakat muslim; (2) Suatu

himbauan untuk “kembali” ke Islam orisinal, menanggalkan tahayul-tahayul yang

ditanamkan dalam bentuk sufisme popular, meninggalkan gagasan tentang

kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional, dan berusaha

melaksanakan ijtihad; (3) Suatu himbauan untuk membuang beban yang

menghancurkan, berupa pandangan tentang kodrat takdir yang dihasilkan agama


47

rakyat tetapi juga secara material disumbangkan oleh teologi Asy’ariah yang

pengaruhnya nyaris ada di mana-mana; (4) Suatu himbauan untuk melaksanakan

pembaharuan revivalis ini melalui kekuatan bersenjata (jihad) jika perlu (Rahman,

1985: 22).

Pada periode pertengahan atau pramodern, ide pembaruan paling awal

muncul pada diri Ibnu Taimiyah (1263 – 1328 M.) yang selanjutnya menginspirasi

beberapa gerakan pada abad-abad berikutnya yaitu gerakan Wahhabi dan gerakan

Sanusi. Amin (2000: 229-230) menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyah adalah ahli

fikih mazhab Hambali. Saat terjadi bencana penyerangan Mongol terhadap

Bagdad (ibukota daulah Abbasiyah), Taimiyah sedang berada di Damaskus. Saat

tentara Mongol telah menyingkir dari Damaskus, Ibnu Taimiyah dan para

pengikutnya berkeliling toko-toko minuman keras dan memecahkan botol-

botolnya. Dia menyerang dengan pena dan lidahnya, semua kelompok Islam,

seperti Khawarij, Syi'ah, Murji'ah, Rafidhah, Qadariyah, Mu'tazilah, Asy'ariyah,

Jahmiyah, dan lain-lain.

Ibn Taimiyah meninggalkan karya tulis yang sangat banyak kepada kita.

Dalam tulisannya dia sering menyerang kelompok sufi yang meyakini inkarnasi

dan penyatuan wujud manusia dengan Tuhan. Menurutnya hal itu termasuk syirik

terhadapAllah swt. Dia juga menyerang para fukaha karena keterikatan mereka

dengan imam Ahlusunah yang empat ketika mereka membahas persoalan-

persoalan syariat. Ibn Taimiyah menghendaki munculnya pandangan baru.

Menurutnya adalah tidak termasuk zindik apabila seseorang mengeluarkan

pendapat yang berbeda dengan konsensus para ulama. Dia memerangi orang-
48

orang yang dianggap melakukan bid'ah yang menundukkan diri kepada wali, atau

menziarahi kubur. Bahkan dia menganggap maksiat apabila seorang muslim

bepergian dengan niat menziarahi kuburan Nabi saja. Dia sangat berlebihan ketika

berpendapat bahwa Allah memiliki jasad seperti manusia ketika menafsirkan ayat

dan hadis yang berkaitan dengan Allah. Dia mengikuti bentuk lahiriah lafal ayat

atau hadis tersebut.

Sepeninggal Ibnu Taimiyah, upaya-upaya pembaruan tidak muncul lagi

hingga pada abad ke 18 muncul gerakan pembaruan di beberapa wilayah.

Pemikiran dan usaha pembaruan sebelum periode modern ini terjadi di kerajaan

Usmani, India, dan Arabia. Di kerajaan Usmani, pembaruan sebelum periode

modern dilakukan khususnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad III (1703-

1730 M). Usaha pembaruan dipelopori oleh Celebi Mehmed, Said Mehmed,

Humbaraci Pasya, dan Ibrahim Mutafarrika. Usaha pembaruan yang dilakukan

antara lain dengan mendirikan badan penerjemah (1717 M), pembukaan

percetakan (1727) dan pencetakan buku-buku serta mendirikan Sekolah Teknik

Militer (1734 M). Namun usaha-usaha pembaruan di kerajaan Usmani ini tidak

berhasil karena ditentang oleh pasukan Yeniseri dan para ulama yang saling

bekerja sama (Nasution, 2011: 7-10).

Selanjutnya, Nasution (2011: 12-13) mengemukakan pembaruan di India

sebelum periode modern dilakukan oleh Syah Waliyullah (1703-1762 M).

Kemunduran umat Islam, khususnya di India menurut Syah Waliyullah antara lain

disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perubahan sistem pemerintahan dari

sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Sistem pertama besifat demokratis


49

sedangkan yang kedua bersifat otokratis. Pada umumnya raja-raja Islam berkuasa

secara absolut, termasuk dalam membuat kebijakan perpajakan. Sistem

perpajakan yang dibuat oleh raja yang absolut selanjutnya menimbulkan

keditdakadilan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perlu dihidupkan kembali

sistem kekhalifahan seperti pada masa khalifah yang empat.

Kedua, perpecahan di kalangan umat, yang terutama ditimbulkan oleh

aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang terdapat dalam umat Islam. Perpecahan itu

seperti pertentangan antara aliran atau mazhab Syiah dan Sunni; Muktazilah di

satu pihak dengan Asy’ariah dan Maturidiah di lain pihak; antara kaum sufi

dengan kaum syariat; dan antara pengikut-pengikut empat mazhab dalam fikih.

Pertentangan yang kuat saat itu adalah antara Syiah dan Sunni, di mana Syiah

dianggap telah keluar dari Islam. Menurut Syah Waliyullah, Syiah sama dengan

Sunni, masih tetap orang Islam dan ajaran yang mereka anut tidak membuat

mereka keluar dari Islam.

Ketiga, masuknya adat istiadat dan ajaran bukan Islam ke dalam keyakinan

umat Islam. Menurut pengamatan Syah Waliyullah, umat Islam di India saat itu

banyak dipengaruhi oleh adat istiadat dan ajaran agama Hindu. Oleh karena itu

keyakinan umat Islam harus dibersihkan dari hal-hal yang asing itu. Umat Islam

harus dikembalikan kepada sumber ajarannya yang asli, yaitu Alquran dan

Sunnah. Umat Islam harus kembali kepada kedua sumber tersebut dan bukan

kepada buku-buku tafsir, fikih, ilmu-ilmu kalam, dan sebagainya.

Selain hal di atas, Syah Waliyullah juga tidak setuju dengan sikap taklid,

karena menurutnya hal ini juga menjadi salah satu penyebab mundurnya umat
50

Islam. Menurutnya, masyarakat bersifat dinamis dan karenanya penafsiran juga

harus mengikuti perkembangan. Karena itu ia menentang taklid dan

menganjurkan ijtihad. Sebagai pengikut Ibnu Taimiyah, menurutnya pintu ijtihad

masih tetap terbuka. Salah satu langkah nyata yang dilakukannya adalah

melakukan penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Persia yang

disempurnakannya pada 1758. Pada masanya, penerjemahan Alquran ke dalam

bahasa selain Arab masih dianggap terlarang. Pada awalnya, usaha penerjemahan

Alquran ke dalam bahasa Persia tersebut mendapatkan tantangan. Namun lambat

laun usahanya diterima masyarakat, bahkan putranya kemudian menerjemahkan

Alquran ke dalam bahasa Urdu.

Pembaruan pada periode pramodern di Arab dipelopori oleh Muhammad

bin Abdul Wahab (1703 – 1787 M), yang di kemudian hari dikenal dengan

gerakan atau aliran Wahhabi. Berbeda dengan gerakan di kerajaan Usmani (Turki)

dan Mughal (India) yang muncul sebagai reaksi atas kondisi politik di kerajaan

masing-masing, gerakan atau aliran Wahhabi lahir sebagai reaksi terhadap paham

tauhid yang ada di kalangan umat Islam saat itu. Kemurnian paham tauhid mereka

telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang sejak abad ke-13 M memang tersebar

luas di dunia Islam.

Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir di Nejd mengenyam pendidikan

di Madinah. Ia kemudian mengembara ke berbagai tempat seperti Basrah, Bagdad,

Kurdistan, Hamdan, dan Isfahan. Di kota yang terakhir Muhammad bin Abdul

Wahab sempat mempelajari filsafat dan tasawuf. Setelah lama merantau akhirnya

ia kembali ke Nejd. Dalam pengembaraannya itulah ia menemukan praktik


51

keagamaan masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran tauhid. Di setiap kota

atau bahkan di desa-desa terdapat makam syekh atau para wali. Masyarakat

banyak yang berziarah dan memanjatkan doa kepada para wali yang sudah

meninggal, bukan meminta langsung kepada Allah. Semua ini karena pengaruh

ajaran tasawuf. Namun tidak itu saja, paham tauhid juga dirusak oleh paham

animism yang memengaruhi umat Islam. Ada masyarakat yang berziarah ke

sebatang pohon atau batu yang dianggap gaib dan meminta pertolongan di sana.

Perbuatan berziarah dan meminta bantuan ke kuburan wali atau ke tempat-tempat

gaib telah merusak kemurnian ajaran tauhid dan dikategorikan sebagai perbuatan

syirik (Nasution, 2011: 15-16).

Secara garis besarnya, pokok ajaran Muhammad bin Abdul Wahab terdiri

dari larangan mengerjakan segala sesuatu yang baru dalam agama yang tidak

terdapat dalam masa tiga abad sesudah Nabi atau dikenal dengan istilah bid’ah.

Pekerjaan yang demikian dianggap terlarang dalam agama Islam dan harus

dibasmi dengan sekeras-kerasnya. Termasuk dalam larangan itu adalah

memuliakan orang-orang keramat dan kuburan-kuburan, tidak terkecuali kuburan

Nabi Muhammad sendiri. Selanjutnya yang masuk larangan dalam aliran ini

adalah mengambil segala bentuk hidup mewah seperti merokok, musik, memakai

pakaian sutera dan perhiasan emas oleh laki-laki dan sebagainya. Kehidupan

masyarakat waktu itu penuh dengan hal-hal yang menyimpang dari ajaran ke-

Esaan Tuhan, mereka hendak mengembalikan kepada ajaran tauhid semula dalam

Islam dan kehidupan murni menurut Sunnah Nabi. Karena itu, mereka

menamakan dirinya golongan Muwahhidin, artinya pendukung Tauhid Allah.


52

Kitab terpentingnya adalah kitab “at-Tauhid” (Atjeh, 1970: 59).

Menurut Gibb (1996: 44-46) gerakan Wahhabi secara prinsipil bukan

gerakan bangsa Arab, karena inspirasinya berasal dari aliran puritan (aliran yang

ingin memurnikan Islam sesuai dengan Alquran dan Sunnah, sering juga disebut

purifikasi) Hanbali, yaitu aliran yang mengakui ijmak hanya dalam batas-batas

yang sempit dan yang melahirkan tokoh Ibn Taimiyah. Meskipun gerakan

Wahhabi secara politik mengalami kegagalan (karena kekerasan dan

ketidaktolenransiannya terhadap kaum ortodoks) namun ia berhasil menampilkan

gagasan pembaruan, yang sedikit demi sedikit menyebar ke seluruh dunia Islam.

Sebagaimana Gibb, Lewis (1994: 172-173) juga menyebut Muhammad bin

Abdul Wahab melakukan gerakan puritan (pemurnian). Sebuah gerakan

pemurnian yang keras dan anti mistik. Atas nama gerakan pemurnian yang berarti

kembali ke dalam Islam pada abad yang pertama, dia memotong tahayul sebagai

pembaruan, melarang penyembahan terhadap orang-orang suci dan pemujaan

tempat-tempat suci. Bahkan pujian yang berlebih-lebihan terhadap Nabi

Muhammad dan menolak semua bentuk meditasi (renungan).

Gerakan Wahhabi berkembang pesat tatkala mendapatkan dukungan

militer dan politik dari Muhammad Ibn Sa’ud, amir Nejd, salah seorang pengikut

Wahhabi. Dengan bantuan tersebut, Wahhabisme berkembang melalui penaklukan

terhadap sebagian besar Arabia tengah, merebut kota suci Mekah dan Madinah

dari tangan sharif yang memerintah daerah itu atas nama kerajaan Usmani, dan

bahkan berhasil mengancam kedudukan provinsi-provinsi Usmani di Syria dan

Irak. Reaksi datang pada 1818 ketika penyerbuan tentara Turki-Mesir yang
53

dikirim oleh Muhammad Ali, gubernur Mesir, meruntuhkan kekuasaan Wahhabi

dan membatasi gerak Wahhabisme ke daerah asalnya Nejd. Di tempat itu,

kelompok Wahhabi hidup terus hingga muncul kembali sebagai suatu faktor

politik di pertengahan abad ke-19 dan sekali lagi di abad ke-20.

Paham Wahhabi ikut mempengaruhi gerakan pembaruan di India yang

dipimpin oleh Syari’atullah dan Sayyid Ahmad melawan Moghul yang tengah

mengalami kemunduran, kelompok-kelompok Sikh, dan penjajahan Inggris.

Pengaruh Wahhabi juga memengaruhi lahirnya Gerakan Sanusiyah (oleh

Muhammad Ibnu ‘Ali as-Sanusi di Lybia) dan Tarekat al-Mahdi (oleh Muhamma

Ahmad di Sudan) bahkan sampai ke Nigeria dan Sumatera (dengan gerakan

Paderi di Minangkabau). Dorongan pemikiran teokratik revolusioner dari gerakan

Wahhabi juga menjadi landasan kegiatan tokoh Pan-Islamisme Jamaluddin al-

Afghani, meskipun terdapat perubahan besar dalam arah dan tujuannya. Inti

pokok pemikiran Jamaluddin al-Afghani adalah bahwa umat Muslim harus

membersihkan diri mereka sendiri dari kesalahan-kesalahan dan

pencampuradukan agama, para ulama Muslim harus tampil menghadapi arus-arus

pemikiran modern, dan negara Islam harus tampil sebagai ekspresi politik dan

sarana untuk menyuarakan ajaran-ajaran ortodoks Alquran (Gibb, 1996: 46-49).

Pada permulaan abad ke-20 M, gerakan Wahhabi bangkit kembali dan

Raja Abdul Aziz (putra Muhammad Ibn Saud) dapat menduduki Mekah pada

1924 dan setahun kemudia juga Madinah dan Jeddah. Mulai dari waktu itu

mazhab dan kekuatan politik Wahhabi mempunyai kedudukan yang kuat di tanah

suci. Selain memiliki dan didukung dengan kekuatan politik, pemikiran-pemikiran


54

Muhammad bin Abdul Wahab mempunyai pengaruh pada perkembangan

pemikiran pembaruan di abad ke-19 seperti: (1) Hanya Alquran dan Hadis-lah

yang merupakan sumber asli dari ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan

sumber; (2) Taklid kepada ulama tidak dibenarkan; dan (3) Pintu ijtihad terbuka

dan tidak tertutup (Nasution: hal. 18).

2.1.2 Varian Pola Pembaruan

Kesadaran bahwa kehidupan umat Islam telah jauh tertinggal dari umat

lain, khususnya bangsa-bangsa Eropa nonmuslim, yang menjadi salah satu

keprihatinan Basioeni Imran, direspon secara berbeda oleh kalangan umat Islam.

Di atas telah disinggung adanya dua pola gerakan pembaruan, sebagai respon atas

ketertinggalan umat Islam, yaitu yang terpikat dengan kejayaan Islam pada

periode awal dan yang terpikat dengan kemajuan Barat. Pola pertama mengambil

bentuk pemurnian (purifikasi/revivalisme) sedangkan pola kedua mengambil

bentuk modernisasi. Upaya pemurnian sering juga disebut dengan reformisme

(Lapidus, 2002: 459-468; Latif, 2005: 120; Azra, 1999: 46-47). Meskipun kedua

pola ini dibedakan, tetapi menurut Azyumardi Azra (1999: 47) ada sedikit

tumpang tindih di antara kedua bentuk kecenderungan gerakan dan pemikiran

Islam ini. Secara khusus Fazlur Rahman membedakan antara revivalisme pra-

modernis dan pasca-modernis (Rahman, 1985: 21-26).

Terkait dengan pola gerakan renewal modern dan gerakan reformasi,

Aslan (2009: 586) menyebutkan:

Although Islamic movements of this type differ in organization, ideology,


and even objective, there are nevertheless characteristics that many of
55

them share. These include: (1) promoting a "return" to the "straight path"
of religion based on the Quran and Sunnah, which are regarded as
universally valid; (2) looking to the righteous community of the first
Muslims (the Salaf) for inspiration; (3) and reforming traditional practices
and beliefs that are considered to be innovations (sing. bid'aa).

[Meskipun gerakan Islam jenis ini berbeda dalam organisasi, ideologi, dan
bahkan tujuan, namun ada karakteristik yang sama. Termasuk di dalamnya:
(1) mempromosikan "kembali" ke "jalan yang lurus" dari agama
berdasarkan Alquran dan Sunnah, yang dianggap sebagai berlaku
universal; (2) melihat masyarakat yang benar dari Muslim pertama (salaf)
sebagai inspirasi; (3) dan mereformasi praktik dan keyakinan yang
dianggap tradisi inovasi (bid'ah)].

Dalam pandangan Lapidus (2002: 462), reformisme adalah doktrin ulama

yang berakar pada perkembangan abad ke-17 dan ke-18 dan gagasan tersebut

mendahului penjajahan Eropa. Di Arabia dan Kairo ulama informal dan beberapa

kelompok studi sufi menyokong versi pemurnian keyakinan dan praktik Islam

berdasarkan pada studi Alquran, hadis dan hukum yang dipadu dengan asketisme

sufi. Peneladanan terhadap Nabi Muhammad menjadi cita-cita kehidupan Muslim.

Para reformer tersebut, dengan ditunjang pengukuhan bahwasanya Allah akan

menghukum muslim lantaran kelalaian mereka memberlakukan kehendak-Nya,

menentang sikap toleran negara muslim terhadap warga dan kultur non-muslim,

berusaha menghapus praktik pemujaan wali dan praktik pemujaan serta seremoni

keagamaan secara berlebih-lebihan, dan menghapuskan tahayul tentang keyakinan

dan praktik magis. Sebaliknya, para reformer mendukung ketekunan beragama

secara pribadi, tanggung jawab moral, dan komitmen terhadap masyarakat muslim

universal. Jika perlu mereka harus melakukan tindakan militan untuk

menghancurkan versi-versi Islam yang menyimpang dan menciptakan komunitas

Islam yang sejati dan adil.


56

Gerakan revivalisme terkadang juga disebut “fundamentalisme”. Namun

fundamentalisme dalam Islam ini tidak bisa disamakan dengan fundamentalisme

di dalam tradisi Kristen. Fundamentalisme dalam Islam ini adalah reaksi melawan

apa yang dipandang sebagai kepercayaan dan cara hidup yang merendahkan

dalam agama rakyat, bukan reaksi melawan modernisme manapun. Rivivalis yang

disebut fundamentalis ini juga menjunjung tinggi ijtihad dan menentang kesetiaan

buta terhadap tradisi (taklid). Meskipun mengembangkan ijtihad tetapi mereka

membentuk suatu sikap yang sedikitnya mengecilkan intelektualisme. Selain

terhadap filsafat, mereka juga curiga terhadap teologi spekulatif. Hanya sebagian

kecil revivalis yang tidak anti intelektualisme seperti Syeikh Ahmad Sirhindi (w.

1624 M) dan Syah Waliyullah dari Delhi (w. 1767 M),

Spektrum gerakan revivalisme [pemurnian] Islam sangat luas, mencakup

gerakan-gerakan yang sekadar antusiasme keislaman sampai kepada

fundamentalisme yang bisa berujung pada militerisme dan radikalisme. Lebih

tegas lagi revivalisme dapat mewujudkan diri secara sederhana dalam bentuk

inteksifikasi penghayatan dan pengamalan Islam yang bersifat individual atau

inward oriented, maupun pembentukan kelompok atau gerakan (harakah)

terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan kembali Islam dengan cara damai,

sampai pada gerakan fundamentalisme yang outward oriented, yang ingin

membangun sistem sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang mereka pandang

lebih Islami melalui aksi-aksi kekerasan (Azra, 1999: 47).

Gerakan pemurnian atau revivalisme pada akhir periode pertengahan

sejarah Islam dalam pandangan Rahman (1992: 306) lahir dalam situasi
57

kerohanian Islam dalam ketegangan antara Islam ortodoks dengan sufisme. Oleh

karena itu, Fazlur Rahman menyebutnya sebagai kebangkitan kembali ortodoks.18

Sesungguhnya kebangkitan ortodoks atau upaya pemurnian telah dimulai oleh

ortodoksi sayap kanan ekstrim Hanabilah [mazhab Imam Ahmad bin Hanbal] di

Arab Tengah sekitar abad ke-18, yang diilhami oleh ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah.

Pencetus gerakan ini, sebagaimana telah dibicarakan secara singkat di atas, adalah

Muhammad bin Abdul Wahab. Pada masa mudanya ia menjadi seorang ahli sufi,

tetapi kemudian mendapatkan pengaruh dari tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah, yang

mengutuk keras penambahan-penambahan tahayul sufi dan ajaran-ajaran

intelektual sufi –terutama ajaran Kesatuan Wujud sebagaimana yang diuraikan

oleh Ibnu Arabi. Muhammad bin Abdul Wahab menyerang kepercayaan-

kepercayaan kepada kekuatan para wali serta praktik-praktik akibat kepercayaan

itu, seperti pemujaan terhadap kuburan para wali, kepercayaan kepada Nabi dan

para wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Tuhan. Padahal semua itu

adalah keseluruhan agama orang awam.

Dalam polemiknya melawan kemerosotan moral umum, Muhammad bin

Abdul Wahab tidak hanya menyerang kepercayaan dan praktik yang dianjurkan

sufisme, tetapi juga menyerang penerimaan otoritas secara membabi buta dalam

materi-materi keagamaan secara umum. Karena sistem yang terbentuk menjadikan

apa yang dikatakan ulama sebagai kata akhir, sehingga tidak dibenarkan untuk

memikirkan hal itu secara bebas. Inilah yang ditentang oleh Muhammad bin

Abdul Wahab. Oleh karena itu, penguasa-penguasa mazhab pada masa


18
Ortodoks secara bahasa berarti berpegang teguh pada peraturan agama; kolot; berpandangan
kuno. Sedangkan ortodoksi berarti ketaatan kepada peraturan agama (Tim Redaksi Kamus
Bahasa Indonesia, 2008).
58

pertengahan ditentangnya dan hanya mengakui dua otoritas, yaitu: Alquran dan

Sunnah Nabi beserta keteladanan para sahabat. Konsekuensi sikap ini menjadikan

“Wahhabisme” mendesakkan kebenaran ijtihad dan menyingkirkan umat dari

taklid (Rahman, 1992: 313-314).

Wahhabisme menurut Rahman (1992: 314-316) menolak qiyas dan untuk

menafsirkan Alquran dan Sunnah mereka mengikuti Ahmad bin Hanbal. Mereka

bersifat ultra-konservatif dan hampir mutlak memahami Alquran dan Hadis

menurut yang tertulis. Namun di satu pihak lagi, mereka juga menganjurkan untuk

memberikan pendapat yang bebas (ijtihad) daripada menggunakan analogi semata

(qiyas), terutama untuk masalah yang secara langsung tidak terdapat dalam

Alquran dan Hadis. Dalam perkembangan jangka panjang, mereka lebih jauh

sedikit yang berpegang dengan naskah tertulis literalis dan membatasi dirinya

pada qiyas ulama. Selanjutnya yang terpenting dalam motivasi normalnya, yaitu:

merupakan reaksi keras terhadap perbaikan kemerosotan moral, karena

masyarakat telah membiarkan dirinya secara berangsur-angsur terperosok ke

dalam sufisme popular, yang selama berabad-abad telah menjadi faktor yang

menentukan.

Jika reformisme merupakan doktrin para ulama abad ke-17 dan ke-18,

maka modernisme adalah doktrin elit politik dan intelegensia Muslim abad ke-19

sebagai reaksi sekaligus terinspirasi dan mengidealkan kemajuan Eropa. Lapidus

(2002: 459-460) mengatakan prinsip esensial dari modernisme Islam adalah

bahwa kekalahan muslim di tangan kekuasaan Eropa telah menyadarkan

kelemahan dan untuk memulihkan kekuatan politik mereka dituntut meminjam


59

teknik-teknik militer Eropa, pemusatan kekuatan negara, modernisasi

perekonomian, dan menyelenggarakan pendidikan modern bagi kalangan elit. Ini

bermakna bahwa bentuk-bentuk peradaban Islam masa pertengahan harus

disingkirkan—tetapi Islam sendiri juga tidak dapat dilepaskan. Agaknya, Islam

harus direkonstruksi berdasarkan ajaran inherennya yaitu prinsip-prinsip

rasionalitas, aktivisme etis dan patriotisme, bukan haru ditinggalkan sama sekali.

Tak dapat dipungkiri bahwa ide dan gerakan modernisme lahir karena

kontak dengan Barat pada abad ke-18 dan terutama abad ke-19. Dampak utama

dari penundukan dan penaklukan secara politik oleh Barat atas Islam, secara

langsung maupun tidak langsung, diikuti dengan bentuk-bentuk pergeseran

keagamaan dan intelektual. Pergeseran itu setidaknya melalui tiga jalur: para

misionaris Kristen, pemikiran modern tentang Eropa serta pengkajian dan kritik

oleh orang-orang Barat terhadap Islam, dan masyarakat penganut Islam itu sendiri

(Rahman, 1992: 338).

2.1.3 Pembaruan pada Periode Modern: Tokoh dan Pemikirannya

Di atas telah dijelaskan pembaruan dalam Islam baik yang muncul pada

periode pertengahan (sebelum abad ke-19) maupun pada periode modern (mulai

abad ke-19) dapat dibedakan ke dalam dua pola besar, yaitu pemurnian (purifikasi

atau revivalisme) dan modernisme. Pada bagian ini akan dibicarakan secara

singkat tokoh pembaru Islam yang hadir pada periode modern (mulai abad ke-19),

namun hanya dipilih tiga orang tokoh pembaru. Ketiga tokoh pembaru ini

memiliki keterkaitan pemikiran dengan Basioeni Imran. Ketiga tokoh tersebut


60

adalah Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid

Ridha. Tokoh yang terakhir bahkan sangat berpengaruh pada pemikiran Basioeni

Imran karena kepadanyalah Basioeni Imran berguru dan melakukan

korespondensi. Sebagai guru yang berperan penting bagi pemikiran Basioeni

Imran, maka pembahasan lebih panjang tentang Rasyid Ridha akan disampaikan

pada bab berikutnya saat membicarakan riwayat genealogi Basioeni Imran.

2.1.3.1 Jamaluddin al-Afghani

Jamaluddin al-Afghani merupakan pimpinan agen pertama gerakan

modern di Mesir. Lahir pada 1839 M di As’ad Abad dekat Kabul di Afghanistan

dan wafat di Istambul tahun 1897 M. Ayahnya adalah Sayyid Safdar, seorang

miskin dan buta huruf dan masih keturunan Ali bin Abi Thalib (Adams, 1933: 4).

Jamaluddin mengaku sebagai seorang Sayyid, keturunan Nabi, dan agaknya tak

ada alasan untuk menolak hal tersebut. Berbeda dengan pendapat umum, Syaikh

Abu al-Huda al-Sayyadi19 mengatakan Jamaluddin sesungguhnya seorang Persia

dari Mazandaran. Arah dari pernyataan ini cukup penting. Karena ia orang Persia

tentulah ia juga seorang syiah, dan inilah yang diinginkan oleh musuh-musuhnya.

Lapidus (2002: 516) juga menyatakan bahwa Jamaluddin al-Afghani

seorang Iran dan terdidik dalam ajaran Syi’ah, namun belakangan mengklaim

sebagai warga Afghanistan. Jamaluddin sendiri menolak menyebut dirinya

seorang Afghan karena sebagian besar karirnya dijalani di negara-negara Sunni.

19
Abu al-Huda al-Sayyadi adalah seorang Arab dari Aleppo yang menjabat sebagai kepala
penasihat Sultan Abdul Hamid, yang oleh Barakat digolongkan sebagai kelompok religius
tradisionalis yang berpandangan dan memegang teguh pentingnya kekhalifahan Islam (Barakat,
2012: 326-327).
61

Berdasarkan tulisan-tulisan dan kuliah-kuliahnya, tak diragukan Jamaluddin al-

Afghani memiliki pengetahuan yang berasal dari tradisi filsafat Islam, khususnya

Ibnu Sina, dan ini adalah pengetahuan yang mudah didapatkan waktu itu di

sekolah-sekolah Syiah daripada sekolah-sekolah Sunni (Hourani, 2004: 175-176;

Barakat, 2012: 327).

Meskipun lahir di Afghanistan (menurut pendapat umum), Jamaluddin al-

Afghani berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain dan pengaruh

terbesarnya terdapat di negara Mesir. Saat berusia lima hingga sepuluh tahun, ia

sekolah di sekolah setempat. Setelah selesai, ia kemudian menuntut ilmu di

berbagai tempat berbeda di Persia dan Afghanistan. Sampai usia 18 tahun,

Jamaluddin al-Afghani boleh dikatakan telah menerima hampir semua ilmu-ilmu

keislaman dan familiar dengan ilmu-ilmu: tata bahasa Arab, filologi dan seluruh

cabang retorika, sejarah Islam, teologi Islam dan seluruh cabangnya, sufisme,

logika, filsafat, fisika, metafisika, matematika, astronomi, pengobatan, anatomi,

dan sebagainya. Saat berusia 18 tahun ia pergi ke India selama setahun setengah

untuk berkenalan dengan ilmu-ilmu Eropa dan metodologinya. Mengakhiri

studinya di India, Jamaluddin al-Afghani melaksanakan ibadah haji ke Mekah

pada 1857 (Adams, 1933: 4-5).

Saat berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu Pangeran Dost

Muhamamad Khan di Afghanistan. Pada 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali

Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan

menjadi Perdana Menteri, saat itu usianya baru 27 tahun. Pada saat yang sama,

Inggris mulai mencampuri persoalan politik dalam negeri Afghanistan. Dalam


62

pergolakan yang terjadi, Jamaluddin al-Afghani berpihak pada kelompok yang

menentang Inggris. Karena kelompok yang disokongnya (Muhammad A’zam)

kalah oleh kelompok Shir Ali, Jamaluddin al-Afghani merasa lebih aman

meninggalkan tanah airnya dan pergi ke India pada 1869. Saat ia tinggal di India,

dalam sebuah kesempatan ia melakukan kunjungan singkat selama 41 hari di

Kairo. Dalam kunjungan singkat tersebut ia sempat berkenalan dengan seorang

siswa a-Azhar bernama Muhammad Abduh. Sejak kunjungan tersebut,

Jamaluddin secara intensif mulai melakukan hubungan dengan para dosen dan

mahasiswa al-Azhar (Adams, 1933: 5; Hourani, 2004: 176).

Selanjutnya, Jamaluddin pergi ke Istanbul atau Constantinopel dan di sana

ia diterima oleh Sultan Abdul Hamid dan mendapatkan perlindungan oleh

negarawan reformis Ali Pasha. Namun dalam sebuah kuliah yang diberikannya,

yang agaknya menempatkan filsafat di tempat yang sederajat dengan kenabian,

telah membangkitkan permusuhan dari kalangan ortodoks. Akhirnya, pemerintah

Turki memerintahkan Jamaluddin meninggalkan Turki dan ia memutuskan untuk

kembali ke Mesir dan tiba di Kairo pada 22 Maret 1871. Di Mesir, Jamaluddin al-

Afghani mendapatkan perlindungan dan jaminan dari seorang Perdana Menteri

berpandangan liberal, Riaz Pasha. Ia tinggal di Mesir selama delapan tahun dan

ini merupakan periode kehidupannya yang paling produktif (Adams, 1933: 6;

Hourani, 2004: 176-177).

Dalam masa delapan tahun di Mesir, Jamaluddin al-Afghani menggunakan

rumah tempat tinggalnya menjadi tempat pertemuan para murid dan pengikutnya.

Di sanalah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Para mahasiswanya


63

terdiri dari orang-orang terkemuka bidang pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa

al-Azhar dan perguruan tinggi lain serta para pejabat pemerintah. Di antara

mereka itu terdapat Muhammad Abduh dan Saad Zaghlul, yang lima puluh tahun

kemudian menjadi pemimpin bangsa Mesir. Dalam kuliahnya, Jamaluddin al-

Afghani mengajarkan: teologi, filsafat, ilmu hukum (yurisprudence), astronomi,

dan mistisisme.

Pada 1876 Jamaluddin al-Afghani memasuki perkumpulan Freemason di

Mesir agar bisa berinteraksi dengan politisi, termasuk dengan putra mahkota

Taufik. Saat kondisi telah memungkinkan tahun 1879 atas usaha Jamaluddin al-

Afghani, terbentuk partai al-Hizb al-Watani (Partai Nasional) dengan slogan

“Mesir untuk orang Mesir”. Tujuan partai ini adalah memperjuangkan pendidikan

universal, kemerdekaan pers, dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-

posisi dalam bidang militer.20 Atas dukungan partai ini, Jamaluddin al-Afghani

berupaya menggulingkan Raja atau Gubernur Mesir waktu itu, Khedewi Ismail

untuk diganti putranya Taufik. Taufik sendiri waktu itu berjanji akan mengadakan

pembaharuan-pembaharuan yang diinginkan oleh al-Hizb al-Watani. Tetapi

setelah menjadi Khedewi pada 25 Juni 1879, Taufik atas tekanan Inggris mengusir

Jamaluddin al-Afghani dari Mesir pada September 1879 (Nasution, 2011: 44;

Hourani, 2004: 177; Adams, 1933: 7). Selama delapan tahun di Mesir, peran

Jamaluddin al-Afghani tidak kecil. Dialah yang membangkitkan gerakan berpikir

di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. “Mesir modern adalah

hasil dari usaha-usaha Jamaluddin al-Afghani”, demikian pandangan Muhammad

20
Perlu diingat bahwa saat itu Mesir masih masuk dalam wilayah kekuasaan Ottoman (Usmani
Turki)
64

Salam Madkur seperti dikutip Nasution (2011: 45).

Setelah diusir dari Mesir, Jamaluddin al-Afghani kembali ke India,

tepatnya ke tempat tinggalnya di Hyderabad. Di sini ia menulis karya berbahasa

Persia Refutation of Materialists (al-Radd ‘ala al-Dahiriyya: Bantahan terhadap

Materialisme), sebuah perlawanan Islam terhadap serangan modern yang

menghina. Karyanya ini merupakan respon atas ceramah Ernest Renan di Sorbone

yang berjudul “L ‘Islamisme et la Science” (1839) (Barakat, 2012: 328).

Jamaluddin al-Afghani menghabiskan beberapa tahun di India dan pada saat

pendudukan Inggris di Mesir ia ditahan oleh otoritas Inggris. Menjelang 1884 ia

pergi ke Paris dan singgah beberapa hari di London. Saat di Paris, Jamaluddin al-

Afghani memulai periode aktif dalam propaganda internasional. Ia

mempublikasikan pemikirannya dalam French Press. Tulisannya mendapatkan

perhatian dari beberapa pemerintah Eropa yang secara politik terkait dengan

negara-negara muslim, khususnya Ingrris. Sejak tahun 1883 Afghani terlibat

kontroversi dengan Ernest Renan dalam Kolom Le Journal des Debats terkait

tema “Islam dan Sains”, yang mendiskusikan tentang kemampuan Islam

mereformasi dan mengadaptasi peradaban modern.

Sejak 1884, atas permintaannya sendiri Afghani mulai bekerja sama

dengan Muhammad Abduh mengorganisasi sebuah masyarakat Muslim bawah

tanah yang berikrar untuk bekerja demi kesatuan dan pembaruan Islam. Dengan

bantuan masyarakat ini, keduanya menerbitkan delapan belas edisi jurnal berkala

mingguan berbahasa Arab bernama al-Urwah al-Wutsqa (di Perancis dikenal

dengan Le Lien Indissoluble), terbit pertama 13 Maret 1884 dan terakhir 16


65

Oktober 1884. Jurnal ini juga menganalisis kebijakan-kebijakan kekuatan adidaya

di dunia muslim, khususnya Inggris di Mesir dan Sudan, menjelaskan kelemahan-

kelemahan internal umat Islam dan mendorong masyarakat muslim

menyembuhkan kelemahannya itu. Untuk menyembuhkan kelemahan umat, jurnal

ini menganalisis masyarakat muslim dan kebutuhannya untuk mempersatukan

kekuatan dalam menghadapi agresi dan eksploitasi Barat. Bahasa al-Urwah al-

Wutsqa menggunakan bahasanya Muhammad Abduh, tetapi pimikirannya dari

Jamaluddin al-Afghani. Antara bahasa dan pemikiran keduanya menyatu dalam

jurnal yang memberi pengaruh besar ke berbagai belahan dunia muslim karena

jurnal ini tersebar luas ke berbagai belahan dunia, sekalipun dicegah oleh otoritas

Inggris (Adams, 1933: 8-9; Hourani, 2004: 177-178).

Sewaktu berada di Eropa, al-Afghani mengadakan perundingan dengan Sir

Randolph Churchil dan Drummond Wolf tentang masalah Mesir dan tentang

penyelesaian pemberontakan al-Mahdi di Sudan secara damai. Wolf meminta

bantuannya untuk mewujudkan hubungan persahabatan antara Ottoman (Usmani

Turki), Persia, dan Afghanistan. Persahabatan ketiga negara perlu bagi Inggris

dalam menentang politik Rusia di Timur Tengah. Tetapi kedua usaha tersebut

tidak membawa hasil. Setelah jurnal al-Urwah al-Wutsqa berhenti terbit,

Jamaluddin al-Afghani sempat pergi ke Rusia, tepatnya ke Moscow dan St.

Petersburg selama lebih dari empat tahun. Di sana ia diterima dengan sangat

ramah.

Pada 1889, al-Afghani diundang ke Persia untuk menolong mencari

penyelesaian tentang persengketaan Rusia-Persia yang timbul karena politik pro-


66

Inggris yang dianut pemerintah Persia waktu itu. Al-Afghani tidak setuju dengan

pemberian konsesi-konsesi kepada Inggris dan akhirnya timbul pertikaian paham

antara al-Afghani dan Syah Nasi al-Din. Al-Afghani melihat bahwa Syah perlu

digulingkan, namun sebelum sempat menjatuhkannya ia dipaksa keluar dari

Persia. Pada 1896 Syah dibunuh oleh seorang pengikut al-Afghani.

Atas undangan Sultan Abdul Hamid, al-Afghani selanjutnya pindah ke

Istambul pada 1892. Pengaruhnya yang besar di berbagai negara Islam diperlukan

dalam rangka pelaksanaan politik Islam yang direncanakan di Istambul. Bantuan

dari negara-negara Islam amat dibutuhkan Sultan Abdul Hamid untuk menentang

Eropa yang di waktu itu telah kian mendesak kedudukan Ottoman (Usmani Turki)

di Timur Tengah. Tetapi kerjasama antara al-Afghani, sebagai pemimpin yang

mempunyai pemikiran-pemikiran demokratis tentang pemerintahan, dengan Abdul

Hamid, sebagai sultan yang masih mempertahankan kekuasaan otokrasi lama,

tidak bisa tercapai. Karena takut terhadap pengaruh al-Afghani yang demikian

besar, kebebasanya dibatasi dan ia tak dapat keluar dari Istambul. Ia terpaksa

tinggal di sana sampai wafat pada 9 Maret 1897.

Pemikiran Jamalauddin al-Afghani. Mencermati pengembaraannya dari

satu negara ke negara lain yang sebagian besar bersentuhan dengan kegiatan

politik, Nasution (2011: 46) menyebut Jamalaluddin al-Afghani lebih banyak

bersifat pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam

Islam. Stoddard (1922: 52) menyebut Jamaluddin al-Afghani “he concerned

himself very little with theology, devoting himself to politics” [dia sangat sedikit

mengonsentrasikan dirinya terhadap teologi, ia menerjunkan dirinya ke dunia


67

politik]. E. G. Browne dalam The Encyclopaedia of Islam (1991) Menyebut

Jamaladdin sebagai filosof, penulis, orator, dan jurnalis. Meskipun ia dikenal

sebagai tokoh politik, aktivitas politiknya didasari oleh ide-idenya tentang

pembaruan Islam. Oleh karena itu, Jamaluddin al-Afghani pada hakikatnya adalah

pemimpin pembaruan sekaligus pemimpin politik. Hourani (2004: 175) menyebut

gerakannya sebagai pan-Islamisme revolusioner.

Tujuan utama al-Afghani adalah menggerakkan perlawanan terhadap

kekuatan Eropa. Ia bermimpi pemulihan zaman keemasan Islam di masa silam.

Dalam pandangannya, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan memerlukan

solidaritas dan kekuatan. Selain itu, kaum muslimin harus menjadi masyarakat

ilmiah modern dan cakap secara teknik. Untuk memulihkan zaman keemasan

Islam, diperlukan reformasi masyarakat Muslim yang korup. Pada intinya, Islam

sangat tepat dijadikan landasan bagi sebuah masyarakat modern. Islam adalah

agama akal dan membebaskan penggunaan akal pikiran. Alquran harus ditafsirkan

menggunakan akal dan mestilah dibuka kesempatan bagi penafsiran ulang

(reinterpretasi) oleh para individu dalam setiap zaman (Lapidus, 2002: 517).

Pemikiran pembaruan Jamaluddin al-Afghani berdasarkan keyakinan

bahwa Islama adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua

keadaan. Jika terlihat ada pertentangan antara ajaran Islam dengan perkembangan

zaman, penyesuaian dapat dilakukan dengan mengadakan interpretasi baru tentang

ajaran-ajaran Islam seperti yang tercantum dalam Alquran dan Hadis. Untuk

interpretasi tersebut dibutuhkan ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya tetap terbuka

(Nasution, 2011: 46-47).


68

Kemunduran Islam bukanlah karena ajaran Islam, tetapi karena umat Islam

telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran

yang datang dari luar dan asing bagi Islam. Unsur atau anasir luar yang

merusakkan tersebut sebagian dibawa oleh orang yang pura-pura suci, sebagian

lainnya oleh orang-orang yang mempunyai keyakinan-keyakinan yang

menyesatkan dan sebagian lagi oleh hadis-hadis buatan. Misalnya, menurut al-

Afghani, paham qada dan qadar diubah menjadi fatalism, yang membawa umat

kepada keadaan statis. Salah satu sebab lainnya adalah pengertian maksud hadis

yang mengatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir

zaman. Salah pengertian ini membuat umat Islam tidak berusaha mengubah nasib

mereka. Sementara itu, sebab-sebab politis ialah perpecahan yang terjadi di

kalangan umat Islam, pemerintahan yang absolut, mempercayakan kepemimpinan

kepada orang yang tak dapat dipercayai, mengabaikan masalah pertahanan militer,

menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang tidak kompeten dan

intervensi asing. Lemahnya rasa persaudaraan Islam juga menjadi sebab

kemunduran umat Islam. Tidak hanya di kalangan awam, tetapi juga persaudaraan

antara para ulama (Nasution, 2011: 46-48).

Berdasarkan sebab-sebab kemunduran tersebut, jalan untuk memperbaiki

keadaan umat Islam menurut Jamaluddin al-Afghani adalah melenyapkan

pengertian-pengertian salah yang dianut umat Islam dan kembali ke ajaran-ajaran

dasar Islam yang sebenarnya. Corak pemerintahan otokrasi harus diubah menjadi

demokrasi. Kepala negara harus mengadakah syura (musyawarah) dengan

pemimpin-pemimpin masyarakat. Islam dalam pandangan Jamaluddin al-Afghani


69

menghendaki pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan

mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara tunduk kepada undang-

undang dasar. Di atas segala-galanya, persatuan umat Islam mesti diwujudkan

kembali. Semasa hidupnya ia berusaha mewujudkan persatuan Islam dalam ide

pan-Islamisme, persatuan seluruh umat Islam. Tetapi usahanya tidak berhasil. Ide-

idenya banyak memengaruhi pemikir pembaru berikutnya yaitu Muhammad

Abduh, yang sebagaimana gurunya, juga memiliki pengaruh besar di Mesir.

2.1.3.2 Muhammad Abduh

Tak ada sejarah perdebatan tentang reformasi al-Azhar yang dapat

mengabaikan Muhammad Abduh (Gesink, 2010). Muhammad Abduh adalah

seorang pembaru Muslim dan seorang ahli hukum paling berpengaruh pada abad

ke-19 (Martin, 2004). Muhammad Abduh adalah seorang ulama, ahli hukum dan

pemimpin sebuah gerakan reformasi sosial di dunia Islam yang menganjurkan

sebuah reinterpretasi modern terhadap Islam. Dikenal sebagai “bapak

mondernisme Islam”, ia lahir pada 1849 dari keluarga sederhana di delta Mesir

(Campo, 2009: 5). Sementara itu Lapidus (2002: 466) menyebut Abduh sebagai

ulama yang mampu memadukan prinsip-prinsip reformis dengan sikap responsif

kalangan modernis terhadap tekanan politik dan kultural Eropa. Bapaknya

bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di

Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai

pada suku bangsa Umar ibn al-Khattab.21

21
Riwayat hidup dan doktrin Muhammad Abduh dapat dibaca secara cukup komprehensif dalam
70

Abduh disuruh belajar membaca dan menulis oleh orang tuanya. Setelah

mahir membaca dan menulis ia diserahkan kepada seorang guru untuk dilatih

menghafal Alquran dan ia dapat menghafalnya dalam masa dua tahun. Selanjutnya

Abduh dikirim ke Tanta untuk belajar agama di masjid Syekh Ahmad pada 1862.

Setelah dua tahun belajar bahasa Arab, nahwu, sharaf, fikih, dan sebagainya, ia

merasa tak mengerti apa-apa. Menurut Abduh, ketidakmengertiannya disebabkan

metode yang digunakan oleh guru salah. Guru mengajak menghafal istilah-istilah

nahwu atau fikih tetapi tidak menjelaskan arti istilah tersebut. Guru merasa tidak

penting apakah murid mengerti atau tidak arti istilah-istilah itu. Karena merasa

tidak puas dengan metode menghafal tersebut, Abduh sempat lari dari Tanta dan

bersembunyi di rumah pamannya selama tiga bulan, namun ia dipaksa kembali

belajar di Tanta. Karena yakin belajar itu tak membawa hasil, akhirnya Abduh

pulang ke kampungnya dan berniat menjadi petani. Pada 1865, saat berusia 16

tahun, ia pun menikah (Nasution, 2011: 50).

Setelah empat puluh hari menikah, Abduh kembali dipaksa oleh ayahnya

untuk kembali belajar ke Tanta. Namun Abduh bukannya ke Tanta, tetapi

bersembunyi di rumah pamannya. Di sini ia bertemu dengan seseorang yang

mengubah jalan hidupnya. Orang itu bernama Syekh Darwisy Khadr, paman dari

ayah Muhammad Abduh. Syekh Darwisy baru saja pulang dari belajar agama dan

tasawuf (tarekat Syadli) di Libya. Syekh Darwisy tahu akan keengganan Abduh

belajar di Tanta. Ia kemudian mengajar Abduh untuk membaca buku. Awalnya

Abduh enggan, namun setelah beberapa lama dibujuk, dan terutama karena

buku karya Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (1933: 18-176)
71

kesediaan Syekh Darwisy menjelaskan makna setiap kalimat yang dibacanya,

akhirnya Abduh tertarik membaca buku. Muhammad Abduh berubah sikapnya

terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Sekarang ia mulai mengerti apa yang

dibacanya dan ingin mengerti dan mengetahui lebih banyak hal. Akhirnya ia

memutuskan untuk pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajaran.

Setelah belajar di Tanta, Abduh melanjutkan studinya di al-Azhar pada

1866. Saat ia belajar di al-Azhar, Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir dalam

perjalanan ke Istambul. Saat itu untuk pertama kalinya Abduh bertemu dengan al-

Afghani, saat bersama dengan mahasiswa lainnya ia berkunjung ke tempat

menginap Jamaluddin al-Afghani di dekat kampus al-Azhar. Saat perjumpaan itu,

al-Afghani mengajukan beberapa pertanyaan mengenai arti beberapa ayat

Alquran. Kemudian al-Afghani memberikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini

meninggalkan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh. Saat Jamaluddin

al-Afghani kembali ke Mesir pada 1871 untuk menetap, Muhammad Abduh

menjadi muridnya yang paling setia. Ia mulai belajar filsafat di bawah bimbingan

al-Afghani. Di masa ini, Abduh mulai menulis karangan-karangan untuk harian

al-Ahram yang pada saat itu baru saja didirikan.

Pada 1877 Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar dengan mendapat

gelar alim. Ia mulai mengajar di almamaternya al-Azhar, juga di Dar al-Ulum dan

juga di rumahnya sendiri. Buku yang diajarkannya antara lain buku akhlak

karangan Ibn Miskawaih, Muqaddimah-nya Ibn Khaldun, dan sejarah kebudayaan

Eropa karya Guizot yang telah diterjemahkan oleh al-Tahtawi ke dalam bahasa

Arab. Saat al-Afghani diusir dari Mesir pada 1879 karena dituduh mengadakan
72

gerakan menentang Khedewi Taufiq, Muhammad Abduh juga dipandang turut

terlibat dalam peristiwa ini, dibuang ke luar kota Kairo. Namun tahun 1880, ia

dibolehkan kembali ke Kairo dan oleh Perdana Menteri Riaz Pasha ia kemudian

diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir al-Waqa’i

Misriyah. Saat itu rasa nasionalisme Abduh mulai tumbuh dan di bawah

pimpinannya al-Waqa’i Misriyah bukan hanya menyiarkan berita-berita resmi,

tetapi juga artikel-artikel tentang kepentingan-kepentingan nasional Mesir

(Nasution, 2011: 52; Adams, 1933: 44-47).

Selama krisis dua tahun berikutnya, Abduh memainkan peran penting

dalam membentuk opini publik melalui serangkaian artikel mengenai tatanan

sosial dan politik, dan khususnya mengenai pendidikan nasional. Ia adalah salah

satu pemimpin sayap sipil dari oposisi nasional. Atas anjuran Blunt, ia dan para

pimpinan sipil lainnya menulis sebuah pernyataan mengenai aspirasi mereka yang

dikirimkan kepada Gladstone dan dipublikasikan The Times. Saat itu ia tidak

setuju ide-ide dan metode-metode dari para pimpinan militer dan tidak menaruh

respek terhadap Urabi Pasha, tetapi ketika serangan Inggris dimulai, ia tidak ragu-

ragu mendekati mereka dan melakukan upaya sekuat tenaga untuk mengorganisasi

sebuah perlawanan nasional. Setelah pendudukan Inggris dan pengembalian

kekuasaan Khedewi, ia ditangkap, dijebloskan ke penjara sebentar, dan mendapat

perlakuan buruk. Abduh kemudian dijatuhi hukuman pengasingan selama tiga

tahun. Mula-mula ia pergi ke Beirut dan kemudian ke Paris dan bergabung dengan

al-Afghani dan membantunya mengorganisasi masyarakat bawah tanah dan

menerbitkan al-‘Urwah al-Wutsqa pada tahun 1894 (Hourani, 2004: 215-216).


73

Pada 1884, Muhammad Abduh mengunjungi London untuk mendiskusikan

bersama Harington dan orang-orang lainnya tentang persoalan Mesir dan Sudan.

Saat al-‘Urwah al-Wutsqa berhenti terbit, ia pegi ke Tunis dan kemudian masuk

ke Mesir dengan menyamar, berharap dari sana pergi ke Mahdi di Sudan. Rencana

itu tidak membuahkan hasil, dan Abduh kembali ke Beirut, tempat ia tinggal di

sana selama tiga tahun. Di Beirut ini Abduh memberikan kuliah tentang teologi

yang kemudian diperluas menjadi bukunya yang paling terkenal. Sebagaimana di

Kairo, rumahnya di Beirut menjadi pusat bagi para sarjana dan penulis muda,

Kristen, Druz dan Muslim, yang datang berdiskusi dengannya tentang Islam dan

bahasa Arab.

Pada 1888 Muhammad Abduh diizinkan kembali ke Mesir oleh Khedif

atas campur tangan berbagai pihak. Pada 3 Juni 1899 Khedif Mesir mengangkat

Abduh menjadi mufti besar Mesir menggantikan Shaikh Hassuna al-Nawawi yang

mengundurkan diri. Jabatan ini memungkinkannya memegang kontrol atas

lembaga keagamaan. Abduh dapat melakukan sesuatu untuk memperbarui

pengadilan agama dan administrasi wakaf. Fatwanya mengenai persoalan-

persoalan yang menjadi perhatian publik membantu untuk menafsirkan kembali

hukum agama sesuai dengan kebutuhan zaman. Dengan jabatannya itu, ia

mendedikasikan dirinya untuk memformulasikan interpretasi Islam yang

mencerahkan. Seruannya untuk kembali kepada sumber-sumber asli Islam

bersanding harmonis dengan seruan mengenai perlunya mengatasi tuntutan

kehidupan modern. Abduh berupaya membebaskan pemikiran Islam dari

kungkungan tradisi dengan mengembalikannya pada sumber-sumber Islam,


74

mereformasi sistem hukum Islam, dan memodernisasi sistem pendidikan

keagamaan (Barakat, 2012: 328-329; Hourani, 2004: 216; Adams, 1933: 79).

Pada tahun yang sama saat diangkat sebagai Mufti Mesir, tepatnya 25 Juni

1899 Muhammad Abduh ditunjuk sebagai anggota tetap dewan legislatif (Adams,

1933: 82-83). Dewan yang didirikan pada 1883 hanya berfungsi memberikan

pertimbangan dan nasihat saja. Selain aktivitas di atas, Abduh juga membantu dan

mengarahkan berdirinya organisasi Masyarakat Dermawan Muslim (Muslim

Benevolent Society) tahun 1892 dan kemudian menjadi anggota organisasi sosial

tersebut. Pada 1895 Abduh berhasil meyakinkan Khedif untuk membentuk sebuah

dewan administratif untuk al-Azhar. Ia kemudian menjadi anggota terkemuka

dewan selama sepuluh tahun dan mampu melaksanakan sejumlah pembaruan

dalam organisasi universitas kuno tersebut. Jika ada kesempatan, Abduh mengajar

dan bila ada waktu ia juga menulis. Abduh wafat di Iskandariyah pada 11 Juli

1905. Di antara karya tulisnya antara lain: al-Islam Din al-Ilmi wa al-Madaniah,

al-Radd Badi’ al-Dahriyah, Risalah al-Tawhid, Maqamat Badi’i al-zaman al-

Hamdani, Nahj al-Balaghah, Hasyiah ‘ala Sharh al-dawani li al-Aqaid al-

Adudiah (Hourani, 2004: 217; Adams, 1933: 84; Rusli, 2013: 102).

Pemikiran Muhammad Abduh. Untuk melihat bagaimana corak

pemikiran pembaruan yang digemakan oleh Muhammad Abduh, cukup penting

memahami corak teologi yang dianutnya. Ada perbedaan pendapat para penulis

terkait teologi yang dianut Abduh, tetapi penilaian Harun Nasution nampak lebih

tepat jika dikaitkan dengan ide-ide dan gerakan pembaruan Abduh. Menurut

Nasution (2002: 98) teologi yang dianut Abduh bercorak rasional dan dengan
75

demikian dekat dengan teologi Mu’tazilah. Kecenderungan kepada teologi

Mu’tazilah dapat dilihat dalam karyanya Hasyiah ‘ala Syarh al-Aqaid al-Qawani

li al-Adudiah yang diterbitkan pada 1905. Dengan teologi rasional itulah ide-ide

pembaruan Muhammad Abduh memiliki ruang gerak yang lebih luas. Di bawah

sikap rasional dan paham kebebasan manusia ide pembaruannya bercorak

dinamis, dan mempunyai arti penting bagi kemajuan umat Islam pada zaman

modern. Dengan kata lain, gagasan utama pembaruannya berangkat dari asumsi

dasar bahwa semangat rasional harus mewarnai sikap dan pikiran masyarakat

dalam memahami ajaran Islam. Jika semangat ini dapat ditumbuhkan,

kecenderungan taklid dan menutup pintu ijtihad dapat dikikis.

Titik tolak pemikiran pembaruan Muhammad Abduh, sebagaimana halnya

Jamaluddin al-Afghani, adalah masalah kemerosotan internal dan kebutuhan akan

kebangkitan internal (Hourani, 2004: 218). Menurut Abduh, kemunduran atau

kemerosotan internal umat Islam disebabkan oleh paham jumud yang terdapat di

kalangan umat. Dalam kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan

statis, tak ada perubahan. Pengaruh paham jumud membuat umat Islam tidak

menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Umat Islam

berpegang teguh pada tradisi.

Sikap ini, sebagaimana dijelaskan oleh Abduh sendiri dalam al-Islam Din

al-Imi wa al-Madaniah, dibawa ke dalam tubuh Islam oleh orang-orang bukan

Arab yang kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam.

Dengan masuknya mereka ke dalam Islam, adat istiadat dan paham-paham

animistis mereka turut pula memengaruhi umat Islam yang mereka perintah. Di
76

samping itu, mereka bukan pula berasal dari bangsa yang mementingkan

pemakaian akal seperti yang dianjurkan dalam Islam. Mereka berasal dari bangsa

yang jahil dan tidak kenal pada ilmu pengetahuan (Nasution, 2011: 53).

Dalam pandangan Muhammad Abduh, mengatasi kemerosotan umat tidak

cukup dengan hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli Islam seperti yang

diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab. Karena zaman telah berubah, maka

ajaran-ajaran asli Islam perlu disesuaikan dengan keadaan modern. Mengikuti

kategorisasi Ibnu Taimiyah yang membagi ajaran Islam menjadi dua kategori,

ibadah dan muamalah, Abduh menyatakan ajaran-ajaran tentang muamalah yang

bersifat umum dan tidak terperinci dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman.

Sementara ajaran-ajaran ibadah yang bersifat tegas, jelas, dan terperinci tidak

dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Untuk menyesuaikan ajaran-

ajaran muamalah maka dibutuhkan interpretasi baru, dan untuk itu pintu ijtihad

perlu dibuka. Ijtihad tidak hanya boleh, bahkan penting dan perlu diadakan.

Meskipun demikian, tidak semua orang boleh berijtihad, hanya yang memenuhi

syarat saja yang boleh berijtihad. Ijtihad harus dijalankan langsung pada Alquran

dan Hadis. Pendapat ulama terdahulu tidak mengikat, bahkan ijmak tidak

mempunyai sifat ma’sum (Nasution, 2011: 54-55).

Atas dasar pemikiran di atas, dengan sendirinya taklid kepada ulama lama

tak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi karena taklid inilah yang

membuat umat berada dalam kemunduran dan tidak maju. Abduh mengkritik

keras ulama-ulama yang menimbulkan paham taklid, karena membuat umat Islam

berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Alquran dan Hadis menurut Abduh
77

melarang umat Islam bertaklid. Pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid

oleh Abduh didasarkan atas kepercayaannya pada kekuatan akal. Alquran

berbicara bukan semata kepada hati, tetapi juga kepada akal manusia. Islam

memandang akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Islam adalah agama yang

rasional. Wahyu tak dapat membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal.

Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal, haruslah dicari interpretasi yang

membuat ayat itu sesuai dengan pendapat akal.

Kepercayaan kepada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh pada

paham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free

will dan free act atau qadariah). Paham ini dapat dilihat dari uraiannnya mengenai

perbuatan manusia dalam Risalah al-Tauhid. Abduh menyebutkan bahwa manusia

mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak

melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam al-

Urwah al-Wusqa, Abduh bersama al-Afghani menjelaskan bahwa paham qada’

dan qadar telah diselewengkan menjadi fatalism, sedangkan paham itu

sebenarnya mengandung unsur dinamis yang membuat umat Islam di zaman

klasik dapat membawa Islam sampai ke Spanyol dan dapat menimbulkan

peradaban yang tinggi. Paham fatalism yang dianut masyarakat harus diubah

dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang

akan menimbulkan dinamika umat Islam kembali.

Sebagai konsekuensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus

mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, umat Islam harus pula

mementingkan soal pendidikan. Sekolah-sekolah modern perlu dibuka, di mana


78

ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping pengetahuan agama.

Terhadap al-Azhar, perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern, agar ulama-ulama Islam

mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian dapat mencari penyelesaian

yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul dalam zaman modern.

Memperbarui sistem pembelajaran di al-Azhar menurut Abduh akan berpengaruh

besar dalam berkembangnya usaha-usaha pembaruan dalam Islam. Pembaruan

sistem pembelajaran di al-Azhar terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif

yang belum dapat melihat manfaat perubahan-perubahan yang dianjurkannya.

Selain upaya memperbarui al-Azhar, Muhammad Abduh juga memikirkan

sekolah-sekolah pemerintah yang telah didirikan untuk mendidik tenaga-tenaga

yang diperlukan bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan,

perindustrian, pendidikan, dan sebagainya. Ke dalam sekolah-sekolah ini, menurut

Abduh perlu dimasukkan pendidikan agama yang lebih kuat, termasuk di

dalamnya sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Upaya memperbarui

sistem al-Azhar dengan memasukkan ilmu-ilmu modern dan pada sekolah-sekolah

umum memasukkan pendidikan agama bertujuan untuk memperkecil jurang

perbedaan antara ulama dan ahli-ahli lainnya. Ulama dari al-Azhar diharapkan

memahami ilmu pengetahuan modern; sementara ahli-ahli ilmu modern paham

ilmu agama.

Dalam bidang politik kenegaraan, Abduh berpendapat kekuasaan negara

harus dibatasi. Di zamannya, Mesir telah memiliki konstitusi dan usahanya waktu

itu tertuju pada membangkitkan kesadaran rakyat akan hak-hak mereka. Menurut

pendapatnya, negara harus bersikap adil terhadap rakyat, sebaliknya terhadap


79

pemerintah yang bersikap adil, rakyat harus patuh dan setia. Pemerintah

dimungkinkan berbuat kesalahan dan untuk itu rakyatlah yang mengingatkannya.

Untuk itu rakyat harus cerdas yang kecerdasan itu didapatkan melalui pendidikan,

penerangan melalui surat kabar dan sebagainya (Nasution, 2011: 58).

Untuk mengatasi kemerosotan dan mengejar kemajuan bagi umat Islam,

terutama untuk mengikis sikap jumud dan taklid maka diperlukan berbagai

langkah strategis mengatasinya. Secara garis besar pemikiran Muhammad Abduh

atas hal tersebut dapat disimpulkan dalam empat hal, yaitu: (1) Pemurnian

(purifikasi) Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak

benar; (2) Reformasi pendidikan tinggi Islam; (3) Perumusan kembali doktrin

Islam sejalan dengan pemikiran modern; dan (4) Pembelaan Islam terhadap

pengaruh-pengaruh Eropa dan serangan-serangan Kristen (Gibb, 1947: 33).

Keempat sasaran program Abduh ini jelas terdapat keterkaitan antara satu dengan

yang lainnya. Berikut akan dijelaskan secara singkat empat program pembaruan

Abduh.

Dalam pemikiran Abduh, pemurnian Islam merupakan konsep yang sangat

luas. Namun aspek yang paling utuh mendapatkan dukungan adalah

penekanannya pada upaya melenyapkan bid’ah-bid’ah dan khurafat yang masuk

dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Program Abduh ini mendapatkan

simpati dari sebagian besar ulama ortodoks, yang menentang tarekat-tarekat yang

“tidak mu’tabar”, menentang “syaikh-syaikh” yang hidup karena mendapatkan

pengakuan dan kepercayaan secara tidak kritis dari petani dan pekerja. Abduh

menentang usaha-usaha untuk menghidupkan kepercayaan-kepercayaan animistik,


80

fetishisme, dan sihir dalam berbagai keyakinan dan peribadatan umat; serta

menentang penyembahan “wali-wali” dan bid’ah-bid’ah yang menyertai

peringatan maulid Nabi Muhammad SAW., atau upacara-upacara rakyat di

kuburan-kuburan para wali yang dianggap keramat. Abduh menegaskan bahwa

umat Islam tidak perlu mempercayai adanya karamah yang dimiliki para wali atau

kemampuan mereka sebagai perantara (washilah; intercession) kepada Allah

(Gibb, 1947: 33-34).

Terkait dengan membangkitkan umat dari keterpurukan, Muhammad

Abduh mengambil sikap tegas menentang penerimaan pendapat secara tidak kritis

yang dalam Islam disebut taklid. Dalam buku Risalah al-Tauhid, Abduh

menghidupkan kembali berpikir dialektika yang dirasionalisasikan dari para

ulama lama. Murid setianya, Rasyid Ridha, meneruskan proses berpikir itu

dengan gerakan khas yang halus menuju kepada ekstrimisme. Para murid Abduh

terbawa ke arah eksklusivisme dan kekakuan pandangan mazhab Hanbali. Di

dalam majalah al-Manar, pengaruh besar al-Ghazali dengan cepat digantikan oleh

pengaruh tokoh fundamentalis Ibnu Taimiyah (Gibb, 1947: 34-35).

2.1.3.3 Muhammad Rasyid Ridha

Membicarakan pemikiran Basioeni Imran tidak bisa dilepaskan dari sosok

Muhammad Rasyid Ridha, karena di antara keduanya terdapat hubungan yang

sangat penting yaitu hubungan murid dan guru. Tidak hanya saat Basioeni Imran

menuntut ilmu langsung kepada Rasyid Ridha di Kairo, hubungan tersebut

berlanjut saat Basioeni Imran sudah pulang ke Sambas. Hubungan keduanya


81

terjalin melalui korespondensi dan melalui media majalah al-Manar. Berikut profil

singkat Muhammad Rasyid Ridha, selanjutnya penjelasan yang lebih panjang

akan diuraikan pada bab berikutnya.

Rasyid Ridha (1865-1935 M.) termasuk ulama al-Azhar yang cukup dekat

dengan Muhammad Abduh, sehingga dengan demikian ide-ide pembaruannya

memiliki kemiripan. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan yang cukup

signifikan antara keduanya. Rasyid Ridha memiliki pemikiran tidak seradikal

Abduh, tetapi untuk kalangan ulama al-Azhar, pemikiran Rasyid Ridha termasuk

kontroversial. Muhammad Abduh mempunyai sikap lebih liberal dari Rasyid

Ridha. Guru (Abduh) melepaskan diri dari aliran-aliran dan mazhab, sedangkan

murid (Ridha) terikat pada aliran dan mazhab. Tetapi pada garis besarnya, murid

mengikuti ide pembaruan guru (Nasution, 2002: 99).

Rasyid Ridha banyak menyoroti masalah akidah Islam hubungannnya

dengan praktik di tengah masyarakat Islam saat itu. Taklid merupakan salah satu

penyebab umat Islam berpecah belah dan mundur. Rasyid Ridha ingin

mempertajam hidupnya paham keagamaan salafisme modern sebagaimana pernah

dirintis oleh Ibnu Taimiyah. Umat harus dibawa kepada ajaran Islam yang murni

dan bebas dari bid’ah yang menggerogoti ajaran tauhid. Rasyid Ridha juga

menyoroti paham fatalisme (Jabariyah) yang masih mengakar kuat di tengah umat

Islam. Fatalisme menjadi penyebab berikutnya kemunduran umat dan oleh karena

itu harus ditinggalkan dan diganti dengan paham dinamisme melalui jihad

pembukaan pintu ijtihad. Rasionalisme juga harus digalakkan untuk mendorong

kemajuan umat Islam. Meskipun demikina, penghargaan Rasyid Ridha tehadap


82

kekuatan akal tidak setinggi yang diberikan oleh Muhammad Abduh.

Dalam lapangan pendidikan, Rasyid Ridha mendukung program gurunya

memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga pendidikan milik umat Islam.

Menurutnya, kemajuan Barat karena ditopang oleh penguasaan terhadap ilmu

pengetahuan dan teknologi. Di bidang kenegaraan, Rasyid Ridha masih

memandang perlunya sistem kekhalifahan di dalam negara Islam, karena dapat

menyatukan beragam perbedaan. Rasyid Ridha dianggap masih sebagai penopang

paham Salaf Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah, sehingga banyak pendapatnya yang

berbeda dengan gurunya, Muhammad Abduh. Untuk mewujudkan kesatuan umat,

awalnya ia berharap pada Kerajaan Usmani, namun harapan itu hilang saat

Mustafa Kemal menghapus sistem pemerintahan khilafah. Selanjutnya Rasyid

Ridha menambatkan harapannya pada Kerajaan Arab Saudi setelah Raja Abdul

Aziz yang menjadikan Riyadh sebagai basis gerakan Wahhabisme.

2.2 Pembaruan Islam di Hindia Belanda

Untuk memberikan gambaran utuh mengapa dan bagaimana pemikiran

pembaruan Islam dari Basioeni Imran di Kerajaan Sambas, perlu dijelaskan secara

singkat kondisi Islam dan umat Islam di kawasan Hindia Belanda secara umum.

Periode yang dibicarakan adalah masa paruh pertama abad ke-20. Hal ini

dikaitkan dengan masa Basioeni Imran mulai mengemban tugas sebagai Maharaja

Imam di Kerajaan Sambas yaitu mulai 9 November 1913. Bagian berikut akan

mengulas secara singkat bagaimana kondisi umat Islam di Hindia Belanda dan

kebijakan Belanda atas umat Islam serta implikasinya bagi lahirnya tokoh-tokoh
83

dan organisasi pembaruan Islam di Hindia Belanda atau Indonesia saat ini.

2.2.1 Politik Etis

Pada peralihan abad ke-20, wilayah geografis yang kini dikenal dengan

nama Indonesia merupakan koloni Belanda dan disebut dengan Netherlands East

Indies (Hindia Timur Belanda, atau biasanya hanya disebut Hindia Belanda).

Wilayah ini tunduk pada undang-udang yang dikeluarkan badan legislatif Belanda

dan pada instruksi-instruksi pemerintah di Den Haag, yang disampaikan terutama

melalui Menteri Koloni-koloni. Organisasi pemerintahan dan seluruh kebijakan

utama ditetapkan di Belanda, sementara kebijakan dan organisasi yang bersifat

sekunder menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Timur Belanda yang

berlokasi di Batavia. Pemerintahan itu dikepalai oleh seorang gubernur jenderal,

yang ditunjuk oleh pemerintah di Den Haag. Gubernur Jenderal dibantu oleh

seorang staf administrator di Batavia dan para administrator lokal yang ada di

seluruh wilayah ini.

Pada sekitar 1900, beberapa kebijakan penting diterapkan di Hindia

Belanda. Di antara kebijakan itu adalah tatanan finansial baru di mana anggaran

Hindia Belanda dan Belanda dipisahkan, sehingga Hindia Belanda bertanggung

jawab sendiri atas anggaran dan pembelanjaannya sendiri. Kebijakan ini

mengakhiri praktik penggunaan “laba” (Batig Slot, sistem keuangan berih)22

22
Sejak Cultuurstelsel dijalankan, Hindia Belanda wajib menyetorkan kelebihan uang ke negeri
Belanda sejumlah antara 10 sampai 40 juta gulden tiap tahunnya. Kebijakan ini disebut Batig
Slot (sistem keuntungan bersih). Ketika Batig Slot terakhir diterima pada tahun 1877 negeri
induk (Belanda) memperoleh keuntungan sebesar 825 juta gulden (Kartodirdjo, 1993: 26).
Menurut Antonie Cabaton, 2.800.000.000 gulden dari hasil kebijakan Cultuurstelsel pada
pertengahan abad ke-19 dikirim ke Den Haag (Federspiel, 2001: 18).
84

Hindia Belanda bagi pemerintah Belanda. Kebijakan berikutnya adalah

desentralisasi pengaturan administrasi yang menciptakan sebuah sistem penataan

ulang provinsi-provinsi Hindia Belanda dan melahirkan dewan-dewan

pemerintahan lokal. Dewan-dewan ini memasukkan beberapa orang Indonesia

dalam keanggotaannya, sebagian dipilih dan sebagian diangkat (Federpiel, 2001:

18).

Brooshooft melalui majalah terbesar Hindia Belanda The Locomotive

melaporkan adanya ‘declining Native welfare’ (penurunan kesejahteraan

bumiputera)—kemiskinan yang melilit, kegagalan panen, kelaparan dan wabah

yang tampak nyata pada 1900 (Vickers, 2005: 17). Hal ini disebabkan terjadinya

krisis ekonomi yang melanda Hindia Belanda pada kuartal terakhir abad ke-19.

Kondisi tersebut menjadikan pemerintah menyadari bahwa liberalisme ekonomi

tidak secara otomatis menyebabkan kemakmuran bagi semua orang. Hubungan

finansial Hindia Belanda dan Negeri Belanda serta kebijakan Batig Slot selalu

menjadi sasaran kritik para politisi di Negeri Belanda. Bahkan berkembang

sentimen yang sama sekali menentang politik kolonial lama, yang menuduh

pemerintah Belanda telah merampok jutaan kekayaan Hindia Belanda di masa

lampau dan menuntut restitusi dari surplus yang diambilnya, terhitung sejak 1867

ketika Comptabiliteitswet berlaku. Setelah Batig Slot dihapuskan berkembang

suatu mentalitas baru mengenai kesejahteraan bangsa Indonesia dan berpengaruh

pada para politisi dan lahirlah suatu orientasi politik kolonial baru dengan prinsip

“Hindia Belanda untuk orang pribumi” (Kartodirdjo, 1993: 25).

Kabinet-Kuyper yang agamis, yang muncul pada 1901, berpendapat bahwa


85

naastenliefde (cinta terhadap sesama manusia) harus menjadi dasar kebijakan

kolonial. Troonrede (Pidato Raja) pada tahun itu mangandung pernyataan yang

belakangan menjadi terkenal, bahwa Belanda sebagai “Christelijke Mogendheid”

(Negara Kristen) memiliki kewajiban untuk “geheel het regeeringsbeleid te

doordringen van het besef, dat Nederland tegenover de bevolking dezer gewesten

een zedelijke roeping heft te vervullen (menjalankan seluruh kebijakan pemerintah

dengan kesadaran, bahwa terhadap rakyat di wilayah tersebut Belanda harus

memenuhi suatu panggilan moral) (Anrooij, 2014: 6; Vlekke, 2010: 372;

Federspiel, 2001: 18; Kartodirdjo, Poesponegoro, & Notosusanto, 1976: 35).

Sebuah janji memperbaiki kondisi berkurangnya kesejahteraan penduduk Jawa

yang menandai transisi dari Liberal policy ke apa yang dinamakan oleh Belanda

sebagai Ethical policy. Kebijakan yang didasarkan pada ide yang sama, yang

diterapkan di Inggris yang terinspirasi dari doktrin White Man’s Burden

(Furnivall, 1948: 227).

Politik Etis mengubah pandangan dalam politik kolonial yang

beranggapan Indonesia tidak lagi sebagai “wingewest” (daerah yang

menguntungkan) menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat

dipenuhi keperluannya, dan ditingkatkan budaya rakyat pribumi. Untuk keperluan

rakyat pribumi berlaku sebutan politik yang bersemboyan “ches vous, pour vous,

sans vous” (Kartodirdjo, Poesponegoro, & Notosusanto, 1976: 38-39). Menurut

definisi yang dikenal, Politik Etis bertujuan menempatkan seluruh Kepulauan

Nusantara di bawah otoritas pemerintah Belanda yang nyata dan dengan di bawah

pimpinan Belanda mengembangkan tanah dan rakyat ke arah pemerintahan


86

mandiri dengan model Barat. “Voogdijpolitiek” (Politik Perwalian), begitulah

disebut orang pada zaman itu, mengakibatkan adanya perluasan dan

pengintensifan urusan pemerintah (Anrooij, 2014: 6-7).

Politik Etis mencakup dua aspek, yaitu ekonomi dan sosial. Di bidang

ekonomi, politik Etis bertujuan mempromosikan pembangunan oleh perusahaan

Barat dengan maksud menyediakan dana bagi peningkatan kesejahteraan. Di

bidang sosial tujuannya adalah mempromosikan kesejahteraan sosial di seluruh

desa (Furnivall, 1948: 227; Ricklefs, 2001: 193). Sementara Kartodirdjo (1993:

32) menyebutkan politik etis menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu

“Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi”. Untuk mendukung kebijakan politik Etis, maka

pada 1904 didirikannya Departement van Landbouw (Departemen Pertanian),

yang kemudian ditambah dengan Nijverheid en Handel (Industri Kerajinan dan

Perdagangan). Pada 1907, didirikan Departement van Gouvernementsbedrijven

(Departemen Perusahaan Pemerintah) (Staatblad van Nederlandsch-Indie 1904

No. 380; 1907 No. 406; 1911 No. 467 dan 480).

Konsep politik Etis secara khusus bagaikan sebuah payung lebar yang

meliputi berbagai hal. Locher-Scholten mengemukakan bahwa istilah tersebut

mencakup politik sebagai pelindung yang diikuti oleh politik emansipasi, politik

kesejahteraan untuk kepentingan penduduk Indonesia, politik asosiasi, politik

pengamanan kepentingan ekspor Belanda (Steenbrink, 1995: 127). Meskipun

kebijakan politik etis ditafsirkan dalam berbagai cara, tetapi harus diakui bahwa

memiliki dampak positif bagi bangsa Indonesia. Vlekke (2010: 373-374)

menyebutkan bahwa sebab-sebab ekonomilah yang menyebabkan perubahan


87

kebijakan yang melahirkan politik Etis dan oleh karenanya kebijakannya sebagian

besar di bidang ekonomi terutama untuk memperbaiki kondisi keuangan Belanda.

Kepentingan ekonomi ini juga menjadi dasar sikap politik Belanda selama periode

antara Perang Dunia I dan II (Kartodirdjo, 1993: 38-39).

Setelah pada 1907 van Heutsz berhasil memperoleh surplus pemerintah

dan berhasil mempertahankan anggaran yang berimbang, maka selanjutnya

Belanda berupaya sebaik mungkin memperbaiki posisi material orang Indonesia.

Tetapi mereka terus menganggap remeh kebutuhan pendidikan dan politis rakyat

banyak. Membaiknya kondisi ekonomi Belanda tersebut juga dikemukakan oleh

Vickers (2005: 18) dan Kartodirdjo (1993: 37). Suara berbeda dari aktivis Muslim

Agus Salim sebaliknya menyatakan bahwa era politik etis sebagai era opresif dan

didedikasikan untuk meyakinkan bahwa sistem kolonial dilanjutkan dengan model

yang baru. Pernyataan-pernyataan Belanda tentang perubahan sikap dan cara

berpikir mereka tidak lain hanyalah janji yang hampir-hampir tidak terwujud

dalam mode signifikan apa pun (Federspiel, 2001: 19).

Masyarakat Hindia Belanda pada peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20

secara umum dibagi ke dalam dua kelompok yaitu: golongan Europeanen dan

orang-orang yang disetarakan dengannya, dan golongan Inlanders orang-orang

yang disetarakan dengannya. Termasuk dalam golongan Eropa adalah: (1) semua

orang Kristen; (2) Semua orang Jepang; (3) dan semua individu yang tidak masuk

dalam golongan pribumi. Adapun yang termasuk golonga pribumi adalah orang

Arab, Moor, Cina, semua yang tidak termasuk dalam golongan Eropa, dan bangsa

lain yang beragama Islam (Mohammedans) (Regeerings Almanak voor


88

Nederlandsch-Indie. 1901: 3). Meskipun secara resmi ada dua golongan populasi,

tetapi dalam realitasnya ada tiga golongan populasi yang ditentukan berdasarkan

latar belakang ras dan budaya: Eropa, Asia, dan Indonesia (Federspiel, 2001: 34-

35).

Kelompok Eropa yang kira-kira berjumlah 90.000 jiwa pada 1900,

menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan, membawahi korps pegawai

dan menduduki sekitar separuh jabatan lain di pasukan pertahanan, dan

menjalankan elemen-elemen kunci di bidang ekonomi seperti perkebunan, pabrik-

pabrik pengolahan, dan bisnis ekspor. Mereka memiliki hak penuh sebagai warga

negara Belanda, dan banyak upaya yang dilakukan untuk memberi mereka gaya

hidup yang sesuai dengan gaya hidup kelas menengah di Eropa saat itu. Mereka

memiliki sistem pendidikan publik yang sangat baik, yang disuplai dengan biaya

publik.

Kelompok kedua adalah penduduk Asia terdiri dari orang-orang Arab,

Cina, dan India, yang diperkirakan berjumlah 300.000 jiwa pada tahun 1900.

Beberapa dari kelompok ini merupakan para buruh yang bekerja di perkebunan

dan tambang timah. Khusus di Borneo Barat terutama di Sambas orang-orang

Cina sebagian besar bekerja di tambang emas dengan mendirikan perkumpulan

“kongsi”. Sebagian lainnya merupakan pedagang perantara penyaluran barang-

barang ke konsumen, sebagai pemberi pinjaman uang kepada para penduduk desa,

dan sebagai pemilik bisnis kecil dalam ekonomi pribumi. Kelompok Cina

merupakan paling dinamis dan mampu mendirikan sistem pendidikan sendiri.

Bahkan pemerintah Hindia Belanda secara khusus menunjuk pegawai yang


89

bertugas mengurusi masalah Cina.

Dalam struktur pemerintahan daerah Wester-afdeeling van Borneo

misalnya, di afdeeling Sambas pada 1900 tercatat selain penjabat Assistant-

Resident yang dijabat oleh K.H.F. Roos, Commies yang dijabat oleh J.P.K. Bolt,

juga ada pejabat Kapitein der Chineezen yang dijabat oleh Liau Sjang Kon. Di

Onderafdeeling Pemangkat disamping ada Controleur yang dijabat oleh A.H.N.

Kruijboom, juga ada pejabat Kapitan (districtshoofd) der Chineezen Pemangkat

yang dijabat oleh Lau Tjai Kon, di Sambas dijabat oleh Tjoe Kong Loy, di

Singkawang dijabat oleh Wong Kon Loy. (Regeering Almanak voor

Nederlandsch-Indie 1900: 235-236). Orang-orang Cina menempati kelas

menengah dan saat mereka mengusulkan agar disetarakan dengan orang Eropa,

usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Pemerintah Hindia Belanda. Laporan-

laporan Belanda menggambarkan mereka sebagai kelompok licik dan susah

dipahami. Bahkan di Wester-Afdeeling Borneo “kongsi-kongsi” Cina sejak 1819

beberapa kali melakukan kontak senjata melawan Belanda (Heidhues, 2008: 74).

Akibat dari kontak senjata melawan Belanda, salah satu dari tiga kongsi besar

milik Cina, yaitu Kongsi Lan Fong dibubarkan oleh Belanda pada 1886

(Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie. 1901: 120)

Kelompok ketiga adalah orang-orang Indonesia, pribumi/bumiputra

(natives), yang merupakan bagian terbesar penduduk yang kira-kira mencapai 35

juta jiwa pada 1900. Mereka dianggap sebagai warga negara Belanda yang terikat

dengan wilayah dan komunitas mereka, baik secara hukum maupun budaya.

Dalam sistem tanam paksa di pertengahan abad ke-19, status mereka jelas-jelas
90

dianggap di bawah orang-orang Eropa. Mereka diperlakukan sebagai buruh tropis,

terikat dengan tanah mereka dan harus membayar upeti kepada pemerintah.

Berlakunya politik Etis di awal abad ke-20 tidak otomatis mengangkat status

orang-orang Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda tetap menganggap mereka

sebagai penduduk pertanian dengan tingkat ekonomi tertentu.

Berlakunya politik Etis yang memang berlatar belakang ekonomis

menunjukkan hasil perkembangan sangat pesat kapitalisme kolonialis pada awal

abad ke-20. Aliran emas dari Indonesia semakin besar; produksi gula meningkat

dua kali lipat antara tahun 1904 dan 1913. Begitu juga hasil-hasil perkebunan teh,

karet, tembakau, lada, beras, dan kapuk. Di daerah luar Jawa dengan kekayaan

sumber alamnya produksi naik dari 74 juta gulden menjadi 305 juta gulden,

terutama karena industri/perkebunan. Peran koloni sebagai tempat penanaman

modal semakin penting, karena itu dibutuhkan politik luar negeri pintu terbuka.

Namun akibatnya adalah terjadinya denasionalisasi hubungan perdagangan dan

lebih bergerak ke arah internasionalisasi. Di sini kolonialisme meluas sebagai

imperialisme yang berusaha menguasai daerah produksi dan pasaran-pasarannya.

Dalam konteks politik dalam negeri, Belanda terpaksa harus mengambil sikap

berdamai dengan gerakan emansipasi yang hendak mewujudkan aspirasi nasional,

suatu politik yang terkenal dengan nama politik asosiasi (Kartodirdjo,

Poesponegoro, & Notosusanto, 1976: 39).

Pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) tahun 1916 mungkin

dimaksudkan untuk menampung aspirasi nasional, namun faktanya dewan ini

hanya diberi kekuasaan sebagai penasihat dan tidak dapat mengubah


91

pemerintahan, tidak memiki kekuasaan menentukan anggaran belanja. Pihak

kerajaan Belanda tetap mempertahankan kekuasaan legislatifnya. Pembatasan

hak-hak legislatif Dewan Rakyat ini tidak sesuai dengan janji Gubernur Jenderal

yang diucapkan saat pidato pembukaannya di Dewan Rakyat. Menurut Gubernur

Jenderal, Dewan berhak menyalurkan suara hati nurani rakyat di samping

mungkin kelak menjadi titik berat politik akan dipindahkan dari Negeri Belanda

ke Indonesia. Selanjutnya dikatakan bahwa status sebagai tanah jajahan yang

dieksploitasi akan diganti dengan status sebagai bagian dari Kerajaan Belanda

yang diberi otonomi dengan pemerintahan yang demokratis. Baru pada 1925

Dewan Rakyat menjadi sebuah badan kolegislatif dengan kekuasaan mengajukan

petisi, mengubah undang-undang dan mengundangkan. Tidak maksimalnya fungsi

legislasi pada Volksraad adalah komposisi keanggotaannya yang sampai dengan

tahun 1931 mayoritas adalah orang Barat dan anggota bukan hasil pemilihan.

Sebelum 1931 komposisi anggota Volksraad adalah: 30 orang Eropa, 25 orang

pribumi, 5 orang Timur Asing. Sesudah 1931 komposisinya menjadi: 25 orang

Eropa, 30 orang pribumi dan 5 orang Tmur Asing (Kartodirdjo, 1993: 45-46;

Vandenbosch, 1943).

2.2.2 Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda Terhadap Islam

Kolonial Belanda saat menginjakkan kaki di kawasan Nusantara

(Indonesia) harus menghadapi realitas bahwa sebagian besar penduduknya adalah

muslim. Perlawanan besar pada abad ke-19 seperti perang Paderi (1821-1827),
92

perang Diponegoro (1825-1830),23 dan perang Aceh (1873-1903) betapapun tidak

lepas dari kaitan dengan ajaran agama Islam. Mula-mula, Belanda tidak berani

mencampuri urusan agama secara langung. Sikap Belanda dalam masalah ini

“dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang

berlebihan”. Keduanya lahir dari kekurangan akan pengetahuan yang tepat, kalau

bukannya ketiadaan pengetahuan sama sekali (Benda, 1985: 38; Suminto, 1985:

9). Kebijakan Belanda terhadap Islam selama abad ke-19 dibuat sedemikian rupa

agar umat Islam tetap di bawah kontrol mereka, terutama agar tidak terjalin

hubungan dekat dengan muslim di belahan dunia lain. Ada kekhawatiran bahwa

hubungan muslim Hindia Belanda dengan muslim Timur Tengah akan

membangkitkan permusuhan penentangan terhadap kontrol politik non-Muslim

(kolonial Belanda). Berbagai pemberontakan dipimpin oleh mereka yang pulang

dari beribadah haji, oleh karena itu mereka dianggap memiliki ideologi Pan-

Islamisme yang menganjurkan penggulingan sistem kolonial (Federspiel, 2007:

99).

Benda (1985: 32-33) menjelaskan selama empat abad lamanya

perlawanan terhadap kolonial Belanda baik yang dipimpin oleh mereka yang

fanatik agama atau oleh pangeran-pangeran Indonesia yang mengibarkan panji-

panji bulan sabit, hampir dengan sendirinya ada hubungannya dengan agama

Islam. Ini dapat dimengerti karena bagi orang-orang Indonesia, Islam berfungsi

sebagai titik pusat identitas, untuk melambangkan keterpisahan dari dan

perlawanannya terhadap penguasa-penguasa Kristen dan asing. Ketaatan


23
Penjelasan lengkap tentang perang Diponegoro menurut versi orang Belanda dapat dibaca
dalam: E.S. de Klerck. 1905. De Java-Oorlog van 1825-30. Batavia: Landsdrukkerij-‘s Hage
M. Nijhoff.
93

masyarakat di pedesaan sangat kuat terhadap agama sehingga tingkat penolakan

mereka terhadap penguasaan kolonial sangat tinggi. Hal ini jika ditelusuri berakar

dari kenyataan bahwa di dalam Islam batas antara agama dan politik sangat tipis.

Islam adalah way of life dan agama. Posisi guru-guru agama, dan ahli kitab suci,

kyai dan ulama, sejak awal merupakan unsur sosial yang penting dalam

masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut Benda mengatakan sejarah Islam Indonesia adalah sejarah

perluasan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial

dan politik di Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, studi Kahin (1952:

45) juga menunjukkan bahwa agama Islam berperan penting dalam membentuk

nasionalisme Indonesia. Suminto (1985: 5) menyatakan kesempatan mengenyam

pendidikan yang diberikan kepada kalangan tertentu pribumi kemudian

melahirkan golongan nasionalis sekuler. Golongan ini selanjutnya bertemu dengan

golonga Islam dalam rasa nasional, kemudian saling bahu membahu dalam

memperjuangkan pembebasan tanah air, meskipun terkadang di antara kedua

golongan ini terjadi persaingan ketat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat

pribumi yang selama ini diibaratkan oleh Pijper (1985:105) sebagai “sebuah

kolam yang tenang namun telah berubah menjadi satu aliran sungai yang sewaktu-

waktu meluap.”

Berdasarkan berbagai pengalaman di atas, pemerintah Hindia Belanda

selanjutnya mendatangkan seorang ahli bahasa Arab dan ahli Islam, Cristian

Snouck Hurgronje, ke Hindia Belanda pada 1889 untuk menjadi penasihat pada

kantor yang baru dibentuk untuk menangani masalah-masalah Arab dan pribumi,
94

Kantoor voor Inlandsche Zaken. Hurgronje menelaah kondisi umat Islam Hindia

Belanda dan hasilnya kemudian dijadikan bahan pertimbangan kebijakan

pemerintah Hindia Belanda terhadap umat Islam. Hurgronje mendukung

pemisahan antara politik dan agama, namun nasihat politiknya mengarah pada

semakin meningkatnya keterlibatan pemerintah kolonial dalam urusan sehari-hari

“agama Islam” (Steenbrink, 1995: 120).

Hurgronje melawan ketakutan Belanda terhadap Islam dengan

menegaskan bahwa dalam Islam tidak dikenal lapisan kependetaan seperti dalam

Kristen. Ide Pan-Islamisme juga sudah dikubur oleh kekhalifahan Turki Usmani.

Umat Islam yang jumlahnya besar, bahkan para Kyai tidak harus dikenai sumpah

serapah oleh pemerintahan “kafir”. Penghulu merupakan bawahan pemerintah

pribumi, dan bukan atasannya. Ulama independen bukanlah komplotan jahat,

sebab mereka hanya menginginkan ibadah. Pergi melaksanakan ibadah haji ke

Mekah pun bukan berarti fanatik dan berjiwa pemberontak (Benda, 1985: 41-42).

Usul-usul kebijakan Islam yang ditawarkan Snouck Hurgronje lahir secara

logis dari analisanya tentang Islam di Hindia Belanda. Secara umum rekomendasi

tersebut melihat adanya pembagian Islam ke dalam dua bagian, yaitu Islam

sebagai agama dan Islam sebagai politik. Terhadap yang pertama, Hurgronje

menawarkan suatu sikap toleransi yang dijabarkan dalam sikap netral terhadap

kehidupan keagamaan. Jika tanpa alasan khusus, maka Islam bukanlah merupakan

ancaman terhadap pemerintah kolonial. Toleransi terhadap Islam merupakan suatu

sine qua non demi ketenangan dan kestabilan. Penindasan terhadap Islam bukan

saja tidak bijaksana, bahkan tidak perlu dan tidak terhormat. Rintangan dan
95

campur tangan dalam melakukan ibadah Haji ke Mekah bertentangan dengan

prinsip kebebasan pribadi yang termaktub dalam konstitusi Belanda. Selama Kyai

dan Ulama tidak melakukan kegiatan propaganda politik maka mereka tidak perlu

takut kepada pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya manakala fanatisme telah

muncul sebagaimana di Aceh, Hurgronje menekankan perlu adanya tindakan yang

drastis, kalau perlu aksi militer dibutuhkan untuk mengembalikan wibawa

Belanda. Tindakan tersebut untuk meletakkan dasar bagi keamanan agama dan

dasar yang langgeng bagi suatu modus vivendi antara pemerintah kolonial dan

Islam Indonesia (Benda, 1985: 44-45).

2.2.2.1 Kondisi Pendidikan Islam

Di atas disebutkan bahwa politik Etis fokus pada masalah irigasi, imigrasi,

dan edukasi. Pada bagian berikut secara singkat akan dibahas perkembangan

kondisi pendidikan, khususnya pendidikan Islam pada masa akhir abad ke-19 dan

awal abad ke-20. Hal ini perlu diungkap untuk memberikan gambaran kondisi

umum pendidikan Islam di Hindia Belanda sehingga dapat terlihat ide dan praktik

pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Basioeni Imran. Gubernur Jenderal

Van der Capellen melalui keputusan 8 Maret 1819 memerintahkan penelitian

tentang pendidikan masyarakat Jawa. Laporan menunjukkan hanya ada beberapa

orang juru tulis yang memberikan pelajaran bahasa dan huruf Arab, Jawa ataupun

Latin. Selain itu ada juga pendidikan agama Islam dengan memakai bahasa Arab

yang merupakan pendidikan paling penting di antara orang-orang Jawa.

Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun masyarakat muslim telah


96

memiliki sistem pendidikan sendiri, tetapi pemerintah kolonial selalu memilih

jalan lain dan menolak menyesuaikan pendidikan Islam yang ada. Inspektur

pendidikan pribumi pertama, yaitu J. A. van der Chijs pada 1865 menyatakan

bahwa pendidikan pribumi memiliki kebiasaan terlalu jelek, yaitu metode

membaca teks Arab yang hanya dihafal tanpa pengertian. Pada 1888 Menteri

Kolonial juga menolak memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam.

Selanjutnya pemerintah kolonial mendirikan apa yang disebut sekolah desa dan

menolak menggabungkannya dengan pendidikan Islam. Hingga permulaan abad

ke-20, pendidikan Islam mulai mengembangkan satu model pendidikan sendiri

yang berbeda dan terpisah dari sistem pendidikan Belanda (Steenbrink, 1986: 1-

7).

Salah satu lembaga pendidikan penting umat Islam adalah pesantren.

Karena dianggap tidak terlalu penting bagi inspeksi pendidikan, statistik pesantren

selalu tidak lengkap, bahkan sesudah tahun 1927 bentuk pesantren sama sekali

tidak masuk dalam laporan resmi pemerintah kolonial (Steenbrink K. A., 1986: 9).

Menurut Bruinessen (2012: 93) pesantren tertua adalah Pesantren Tegalsari yang

didirikan tahun 1742. Survey yang dilakukan tahun 1819 menunjukkan lembaga

pesantren pada saat itu sebenarnya belum ada. Lembaga yang mirip pesantren

baru ada di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan

Ponorogo.

Perlu diingat bahwa belum ada lembaga semacam pesantren di

Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi keilmuan

Islam di sana masih sangat informal. Anak-anak belajar membaca dan menghafal
97

Alquran dari orang-orang kampung yang telah lebih dahulu menguasainya. Ulama

setempat di beberapa daerah memberikan pengajian umum kepada masyarakat di

Masjid. Murid-murid yang sangat berminat akan mendatangi ulama tersebut di

rumahnya atau bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Murid-murid yang

ingin belajar lebih lanjut bisa pergi mondok ke Jawa atau, jika memungkinkan, ke

Mekah.

Pengajaran Alquran adalah pendidikan yang paling sederhana. Pendidikan

ini berupa belajar membaca huruf Arab sebagai aksara Alquran, dilanjutkan

dengan mempelajari surah al-Fatihah dan surah-surah pendek lainnya yang ada di

dalam juz Amma. Para murid juga menghafal surah-surah tersebut. Di samping

itu, diajarkan juga tata cara sembahyang, wudlu, dan beberapa doa. Terkadang

ditambah juga dengan ilmu tajwid, ilmu tata cara atau kaidah membaca Alquran

dengan baik. Umumnya pengajian ini diberikan secara individual di rumah guru,

masjid, langgar atau surau. Dalam beberapa kasus juga dilakukan di rumah murid,

terutama bagi murid yang orang tuanya mempunyai kedudukan penting.

Biasanya anak umur 6 sampai 10 tahun belajar beberapa jam pada guru

agama setempat. Pelajaran mengaji Alquran untuk tiap anak tidak sama lama

waktunya, tergantung kemampuan masing-masing anak. Tujuan pendidikan dasar

ini adalah murid untuk pertama kali telah menamatkan membaca kitab Alquran

secara keseluruhan. Membaca dalam arti melafalkan, bukan mengerti isi teks. Jika

murid sudah selesai membaca keseluruhan Alquran maka akan diadakan acara

khataman atau tammatan. Biasanya acara ini diikuti dengan sunatan bagi murid

laki-laki dan merupakan inisiasi dalam agama Islam. Setelah acara tersebut, maka
98

murid dianggap akil baligh (dewasa) dan wajib melaksanakan ibadah seperti

shalat, puasa dan sebagainya (Steenbrink K. A., 1986: 10-12).

Bentuk pendidikan lanjutan setelah mengaji Alquran adalah pengajian

Kitab. Pada umumnya pengajian kitab ini berbeda dengan pengajian Alquran

dilihat dari tiga segi: (1) Para murid pengajian kitab ini pada umumnya masuk

asrama dalam lingkungan lembaga pendidikan agama Islam yang disebut

pesantren; (2) Mata pelajaran yang diberikan meliputi mata pelajaran yang lebih

banyak daripada pengajian Alquran. Fase pertama pendidikan pada umumnya

dimulai dengan pendidikan Bahasa; (3) Pendidikan diberikan tidak hanya secara

individual, tetapi juga secara berkelompok (Steenbrink K. A., 1986: 14).

Pendidikan dalam bentuk Pengajian Kitab pada tingkat pertama adalah

mempelajari bahasa Arab, khususnya ilmu nahwu (ilmu tata bahasa Arab). Metode

belajarnya bersifat individual dan lama berlajar sangat tergantung kemampuan

murid dan gurunya. Ilmu nahwu adalah ilmu “alat” dalam mempelajari ilmu-ilmu

agama lainnya. Setelah murid menguasai ilmu alat, barulah mereka melanjutkan

pelajaran mengkaji kitab-kitab fikih, tauhid, atau ushulul al-din dan tafsir

Alquran. Setelah menyelesaikan ketiga ilmu tersebut, para murid dapat

mengambil mata pelajaran sampingan seperti tawasuf, hadis, hisab, atau falak,

yang semuanya tergantung keahlian kyai pesantren. Selain metode individual, ada

juga penggunaan metode halaqah, dimana mata pelajaran diberikan secara

berkelompok dalam satu lingkaran kepada beberapa santri sekaligus.

Berlakunya politik etis atau politik asosiasi sesungguhnya tidak mengubah

kebijakan dalam bentuk apapun bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Perubahan


99

yang terjadi justru memunculkan kebijakan memajukan pendidikan umum yang

dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam pandangan Thaba (1996: 127)

sasaran Islam politieke Belanda adalah menciptakan stabilitas keamanan dan

menarik hati pribumi. Untuk mengeliminir peranan pemimpin pergerakan Islam,

didirikan sekolah-sekolah modern. Menurut pemerintah Belanda, produk lembaga

pendidikan ini akan dijadikan pegawai negeri dengan tugas membantu Belanda.

Menurut Hurgronje, pendidikan Barat adalah jalan yang efektif untuk mengurangi

dan akhirnya menghilangkan pengaruh Islam di Indonesia. Hurgronje

memimpikan kesatuan Belanda dan Indonesia dalam ikatan Pax Neerlandica.

Pada tahap awal, pemerintah Hindia Belanda pada dasawarsa terakhir abad

ke-19, mendirikan sekolah desa yang terdiri dari dua jenis, sekolah kelas I dan

sekolah kelas II. Sekolah kelas I, yang didirikan menurut staatblad 1893 nomor

128, diperuntukkan bagi anak-anak pegawai dan orang-orang yang berkedudukan

atau berharta. Sekolah kelas I ini didirikan di ibukota karesidenan, afdeling,

onderafdeling atau pusat perdagangan dan kerajinan. Pada 1903 terdapat 14

sekolah kelas I di ibukota karesidenan dan 29 sekolah di ibukota afdeling. Mata

pelajaran yang diberikan adalah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu

alam, sejarah, dan menggambar.

Sekolah kelas II diperuntukkan bagi anak-anak pribumi pada umumnya.

Pada 1903 di Jawa dan Madura terdapat 245 sekolah kelas II negeri, 326 sekolah

kelas II partikelir (swasta), 63 di antaranya milik zending. Selanjutnya pada 1912

sekolah tersebut diubah menjadi Hollandsche Inlandsche School (HIS) dengan

kurikulum 7 tahun dan menggunakan bahasa Belanda. HIS khusus bagi murid-
100

murid dari kalangan keluarga terkemuka. Sekolah ini setingkat dengan

Europeeche Legere School (ELS). Perluasan pengajaran tingkat atas terjadi secara

berangsur-angsur. Pada 1902 STOVIA didirikan; pada 1913 didirikan NIAS, pada

1914 didirikan sekolah dokter hewan, dan pada 1927 sekolah kedokteran diubah

menjadi GHS (Genesskundige Hoogeschool). Sejak 1921, murid-murid lulusan

sekolah desa dapat melanjutkan masuk ke Schakelschool yang memiliki

kurikulum 5 tahun dan lulusan sekolah ini mempunyai kesempatan yang sama

dengan murid lulusan lulusan HIS. Sejak 1907 sekolah desa telah tersebar luas ke

seluruh wilayah Hindia Belanda, dan pada 1938 sepertiga dari anak usia sekolah

sudah memasuki sekolah ini (Kartodirdjo, Poesponegoro, & Notosusanto, 1976:

43-44; 61; Steenbrink, 1986: 24-25).

Meskipun politik etis atau politik asosiasi tidak secara langsung

berpengaruh terhadap kebijakan kolonial Belanda terhadap penyelenggaraan

pendidikan Islam, tetapi politik asosiasi mempergunakan lapangan pendidikan

sebagai garapan utama untuk mempererat ikatan antara Hindia Belanda dengan

Negeri Belanda. Sejatinya, upaya mempererat ikatan antara Hindia Belanda

dengan Negeri Belanda tidak terlepas dari usaha memperkokoh eksistensi

penjajahan itu sendiri. Snouck Hurgronje sebagaimana dikutip Suminto (1985: 41-

42) mengatakan bahwa dengan mengabulkan keinginan orang Indonesia

memperoleh pendidikan akan menjamin kekalnya loyalitas mereka. Ditegaskan

pula bahwa asosiasi akan menghilangkan cita-cita Pan-Islam dari segala

kekuatannya. Secara tidak langsung, asosiasi juga akan bermanfaat bagi

penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi lebih
101

mudah menerima panggilan misi (Hurgronje, 1915: 94).

Snouck Hurgronje sebagai pencetus gagasan asosiasi menyatakan bahwa

Belanda berfungsi sebagai wali yang karenanya wajib mendidik Indonesia. Dalam

rangka melaksanakan kewajiban itu pula ia memprakarsai pendidikan anak-anak

bangsawan. Meskipun mendapatkan tantangan dari pihak Belanda maupun kaum

pribumi, Snouck Hurgronje berhasil mendidik kader pribumi untuk disiapkan

menjadi pemimpin bangsanya yang bisa berasosiasi dengan Belanda. Salah satu

hasilnya adalah suksesnya Hoesein Djajadiningrat mencapai gelar Doktor dengan

cum laude di Leiden (Suminto, 1985: 41-42).

Tidak diperhatikannya pendidikan Islam oleh pihak kolonial Belanda

karena Islam dianggap sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat

yang dikembangkan oleh Belanda diformulasi sebagai faktor yang akan

menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Namun prediksi Belanda gagal dan

Islam berhasil mempertahankan diri. Hal ini disebabkan Belanda tidak

memperhitungkan faktor kemampuan Islam mempertahankan diri seraya

menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan ketahanan diri (Suminto, 1985:

49-51). Sikap pemerintah kolonial Belanda yang tidak memberikan perhatian

terhadap pendidikan Islam sesungguhnya merupakan strategi menjinakkan

pribumi sebagaimana saran Hurgronje kepada pemerintah Belanda. Saran

Hurgronje didasarkan pada hasil penelitiannya terhadap perikehidupan pribumi-

muslim setelah pemerintah kolonial Belanda mengalami serangkaian perlawanan

yang sangat menguras energi mereka.


102

2.2.2.2 Eksistensi Penghulu

Salah satu kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang cukup penting

dibicarakan terkait dengan posisi Basioeni Imran adalah masalah penghulu.

Menurut Karel Steenbrink sebagaimana dikutip oleh Latif (2005: 128) ambisi

pemerintah kolonial untuk mengekang Islam “yang liar” mendorong pemerintah

kolonial untuk memperkuat institusi penghulu sebagai instrumen bagi kontrol

pemerintah. Pijper (1985: 67) menyebut bahwa di Pulau Jawa sejak berabad-abad

ada jabatan penghulu.24 Karena kesalahpahaman terhadap Islam, Belanda

menyebut penghulu sebagai “priester” [pendeta]. Kebijakan pemerintah kolonial

Belanda terkait penghulu tertuang dalam Besluit nomor 152 tentang Priesterraden

tertanggal 19 Januari 1882 (Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1882, Jilid 2).25

24
Kata penghulu (Sunda: Panghulu; Jawa: pengulu atau pangulu; Madura: Pangoloh; Melayu:
penghulu) berasal dari kata hulu artinya kepada, mula-mula berarti orang yang mengepalai,
orang yang terpenting. Lama-lama penghulu berarti seorang ahli dalam soal agama Islam yang
diakui dan diangkat oleh yang berwajib (Pijper, 1985: 67; Hisyam, 2001: 1). Saat ini penghulu
dikenal masyarakat sebagai “tukang menikahkah”, orang yang berwenang menikahkan orang.
Lebih khusus lagi, dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/62/M.PAN/6/2006 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya disebutkan
Penghulu, adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang diberi tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang
ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan
pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan (Pasal 1 Point 1).
Kegiatan kepenghuluan, adalah kegiatan pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk serta
pengembangan kepenghuluan (Pasal 1 point 2).
25
Staatsblad 1882 No. 152 berisi 7 pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
Pasal 1: Di samping setiap Landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan Madura diadakan suatu
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum landraad.
Pasal 2: Pengadilan Agama terdiri atas: Penghulu yang diperbantukan kepada Landraad
sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang
ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur /
Residen
Pasal 3: Pengadilan Agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri sekurang-
kurangnya tiga anggota termasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua
yang menentukan.
Pasal 4: Keputusan Pengadilan Agama dituliskan dengan disertai alasan-alasanya yang singkat,
juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi
keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan juga jumlah ongkos yang dibebankan
kepada pihak-pihak yang berperkara.
Pasal 5: Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang di
103

Keputusan ini mengatur tentang daerah dan komposisi “priesterraad”

(pengadilan agama). Di samping setiap landraad (Pengadilan Negeri) di Jawa dan

Madura akan dibentuk pengadilan agama yang wilayah kerjanya sama dengan

wilayah kerja landraad. Pengadilan agama ini dikepalai oleh seorang penghulu

sebagai ketua dan paling sedikit tiga, paling banyak delapan anggota yang

diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Ini bermakna penarikan

ulama, yaitu penghulu ke dalam bagian birokrasi pemerintah kolonial Belanda,

yang sebelumnya merupakan bagian dari lingkungan pejabat dan struktur lembaga

kekuasaan pribumi [kerajaan atau kesultanan] (Isma'il, 1997: 27).

Pada 1931 priesterraad diubah menjadi “pengadilan penghulu” di mana

dalam aturan baru ini penghulu diberi hak sebagai hakim tunggal dan dapat

dibantu oleh satu atau dua orang (Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1931 No.

31). Selanjutnya mulai 1 April 1937 priesterraad hanya mengurus nikah dan

talak, sebuah penyusutan tugas. Selanjutnya pada 1938 pemerintah kolonial

Belanda mendirikan sebuah lembaga Islam yang lebih tinggi di Batavia yang

disebut “Hof voor Islamitische zaken” (pengadilan tinggi untuk soal-soal agama

Islam). Lembaga ini dibuka pada tanggal 7 Maret 1938 yang terdiri dari beberapa

ulama terpilih dari seluruh Jawa dengan ketua pertamanya Raden Haji

Moehammad Moesa.

Sebelum terbitnya Besluit nomor 152 tahun 1882, penghulu menjadi

tandatangani oleh ketua.


Pasal 6: Keputusan Pengadilan Agama harus dimuat dalam suatu daftar yang harus diserahkan
kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan
pengukuhan.
Pasal 7: Keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas wewenang / kekuasaannya atau
tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku.
104

bagian dari birokrasi kerajaan atau kesultanan. Menurut Serat Watu Aji (dalam:

Hisyam, 2001: 19) penghulu adalah pemimpin tertinggi dari jabatan keagamaan

kerajaan. Selain berfungsi dalam masalah ibadah dan kasus-kasus peradilan Islam,

penghulu juga bertugas untuk mendoakan raja dan keluarganya, mendoakan

tentara, dan semua masyarakat agar mendapat berkah. Penghulu disyaratkan

menguasai buku-buku agama dan ahli astronomi. Fauzia (2003, hal. 9) menulis

bahwa pada abad ke-16 sampai ke-18, fungsi penghulu pada kerjaan Jawa hampir

sama dengan kadi atau qadi, atau bahkan Syaikhul Islam pada kerajaan di luar

Jawa, seperti Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh. Kadi dan Syaikhul Islam

berperan penting tidak hanya dalam urusan agama, tetapi juga masalah

diplomatik.

Dalam birokrasi kerajaan, terutama di Jawa, penghulu memiliki hirarki

jabatan. Penghulu di lingkungan keraton disebut penghulu ageng, dan sebagai

kepala urusan agama ia juga disebut dengan wedana kaum atau kepala abdi dalem

pamethakan, kelompok yang dibebankan tanggung jawab mengurus administrasi

Islam di keraton. Di bawah penghulu ageng terdapat penghulu ketib atau penghulu

lurah naib untuk kabupaten atau kewedanaan, dan kaum untuk tingkat paling

bawah, desa. Penghulu ageng memiliki kewenangan di seluruh wilayah kerajaan.

Ia juga menjadi Imam di Masjid Agung di ibukota kerajaan serta mengatur semua

kegiatan keagamaan di keraton. Dalam melaksanakan tugasnya di masjid Agung,

penghulu ageng dibantu oleh: sembilan ketib (Arab: khatib), lima mudin (Arab:

mu’azzin), empat puluh ngulomo (Arab: ‘ulama) di Surakarta atau barjamangah

(Arab: jama’a) di Yogyakarta, dan sepuluh merbot (Hisyam, 2001: 25-26).


105

Dengan kedudukannya di keraton, penghulu ageng juga memiliki posisi sebagai

priyayi tingkat tinggi.

Sebelum 1882, terkesan bahwa jabatan penghulu adalah keturunan. Data

juga menunjukkan demikian. Dari sejumlah 46 orang penghulu, 33 penghulu

adalah berasal dari keluarga penghulu, 13 dari keluarga guru ngaji, 1 orang dari

keluarga priyayi, dan sisanya tidak diketahui. Terdapat kesan bahwa ada beberapa

penghulu yang dipilih dari kyai desa karena para bupati sendiri lebih condong

memilih penghulu yang akomodatif. Kesan bahwa jabatan penghulu adalah

keturunan, lebih disebabkan karena pemerintah tidak menyediakan lembaga

pendidikan khusus untuk penghulu sampai akhir masa kolonial. Madrasah

Mambaul Ulum yang didirikan pada 1905 adalah lembaga pendidikan non

pemerintah dibangun atas inisiatif para penghulu. Oleh karenanya, rekrutment

yang agak efektif adalah melalui pendidikan magang. Dengan sistem seperti ini,

hanya sebagian kecil saja yang tahu dan dapat dengan mudah memasukkan

keluarga mereka untuk magang. Sistem magang tidak hilang ketika penghulu

masuk dalam sistem administrasi kolonial. Memang setelah 1882, sistem

rekrutment lebih terbuka dan diawasi ketat oleh pemerintah (Fauzia, 2003: 183-

184).

Di Pulau Jawa, menurut pengamatan Pijper (1985: 72-73) ada tiga

golongan masyarakat yang dibebani soal-soal agama yakni: pegawai tinggi dalam

soal agama yang disebut penghulu; guru agama swasta (Arab: ‘alim, ‘ulama;

Sunda: ulama, kiai; Jawa: ulama, guru, kiai), dan pegawai agama rendahan

(Sunda: lebe, amil; Jawa: modin, kaum, kayin, dll.). Dahulu ada persaingan antara
106

guru agama dengan penghulu. Ini disebabkan guru agama menyalahkan penghulu

yang bekerja pada pemerintah kolonial yang kafir. Tugas utama penghulu adalah

mengadili persoalan-persoalan agama menurut hukum Islam. Oleh karena itu,

penghulu dapat disebut qadi dalam bahasa Arab, meskipun ia mempunyai sedikit

keahlian jika dibandingkan dengan seorang qadi. Ia juga menjabat ketua

pengadilan agama, yang karena kesalahpahaman disebut “priesterraad”.

Eksistensi penghulu sebagai petugas pengadilan telah disebutkan Raffles

(1817: 277-279) dengan menyatakan bahwa lembaga pengadilan terbagi menjadi

dua bagian, yaitu Panghulu atau pemimpin agama tertinggi, dan Jaksa. Panghulu

mengurusi masalah-masalah utama, seperti perceraian, kontrak dan waris, dan

dalam beberapa hal juga mengambil alih wewenang jaksa. Dalam birokrasi

pemerintah, yang duduk di pengadilan tinggi adalah panghulu dan jaksa.

Disebutkan juga bahwa pengadilan hukum yang dilakukan oleh panghulu selalu

diadakan di serambi atau beranda masjid. Pelaksanaannya disaksikan oleh

masyarakat dengan rasa hormat dan terlihat adil.

Di luar Pulau Jawa, posisi yang sama dengan penghulu adalah kadi dan

syaikhul Islam. Kerajaan Malaka pada abad ke-15 tampaknya telah memberikan

ulama posisi penting dalam sebuah jabatan bernama kadi. Informasi tentang kadi

sebagai lembaga pemberi legitimasi dan nasihat keagamaan kepada para raja

tersebut diperoleh dari Sejarah Melayu dan catatan perjalanan Tome Pires.

Selanjutnya di kerajaan Aceh dan Banten lembaga jabatan kadi semakin mapan

pada abad ke-17.

Di Aceh kadi mulai berdiri pada masa kekuasaan Iskandar Muda (1607-
107

1636). Lembaga kadi didesain sebagai sebuah institusi yang bertanggung jawab

untuk urusan-urusan agama, di samping sejumlah lembaga hukum lain untuk

kasus-kasus sipil, kriminal dan ekonomi. Selain kadi, kerajaan Aceh juga

memiliki syaikhul Islam (Belanda menyebutnya Moorish Bishop atau “Uskup

Moor”), sebuah lembaga yang secara khusus didesain untuk memberi nasihat

kepada raja. Syaikhul Islam langsung berada di bawah raja, sehingga memiliki

akses langsung ke jantung kehidupan politik kerajaan. Oleh karena itu, jabatan

syaikhul Islam memiliki pengaruh besar dalam pembuatan kebijakan-kebijakan

raja dalam masalah sosial dan politik. Salah seorang syaikhul Islam yang

terkemuka adalah Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri (Burhanuddin, 2012:

37-41).

2.2.3 Sumber Inspirasi Pembaruan Islam di Hindia Belanda

Jika dilihat perkembangan pendidikan di Hindia Belanda, khususnya

pendidikan Islam, pada akhir abad ke-19 maka bisa dikatakan mustahil

mengharapkan ia menjadi faktor pendorong lahirnya gagasan-gagasan pembaruan

Islam. Kesadaran atas ketertinggalan umat Islam di Hindia Belanda khususnya

dari dunia Barat sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh kontak umat Islam

Indonesia dengan dunia luar. Di antara saluran kontak umat Islam dari Hindia

Belanda dengan dunia luar adalah melalui perjalanan menjalankan ibadah haji dan

perjalanan menuntut ilmu ke Timur Tengah, khususnya Hijaz (Mekah dan

Madinah) dan Mesir (Kairo) (Pijper, 1985: 107). Secara tradisional Mekah dan

Madinah, setidaknya sejak abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, menjadi tumpuan
108

rihlah ‘ilmiyyah atau thalab al-‘ilm bagi para pelajar Dunia Melayu-Indonesia

(Azra, 1999: 197).

Bagi bangsa Indonesia, selain sebagai salah satu rukun Islam,

melaksanakan ibadah haji ke Kota Mekah dan Madinah memiliki makna khusus

yaitu untuk mencari legitimasi (‘ngelmu’ atau ilmu). Di antara seluruh jemaah

haji, orang nusantara—selama satu setengah abad terakhir—merupakan proporsi

yang sangat menonjol. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 jumlah mereka

berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh jamaah haji. Bahkah pada dasawarsa

1920-an sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia [Hindia

Belanda].

Jamaah haji Indonesia sebagian menetap untuk beberapa lamanya di

Mekah untuk menuntut ilmu. Di antara semua bangsa yang berada di Mekah,

orang Jawah (Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar.

Setidaknya sejak 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Mekah setelah

bahasa Arab. Komunitas Jawah ini kemudian diidentifikasi lagi dengan sebutan

khusus sebagai pembeda berdasarkan asal daerah mereka dengan sebutan seperti

Jawah Funtiana, Jawah Sambas, Jawah Martafura, Jawah Madura, Jawah Boyan,

Jawah Sumbawa, Jawah Mekasar. Khusus orang-orang Bugis tetap disebut dengan

Bugis (Hurgronje, 1931: 215-233).

Setelah selesai belajar di Mekah dan Madinah, para haji sebagian besar

kembali pulang, namun tidak sedikit juga yang akhirnya menetap dan menjadi

ulama terkemuka di kedua kota tersebut. Salah seorang putra asli Sambas, Syaikh

Ahmad Khatib al-Sambasi yang kemudian sangat terkenal sebagai tokoh yang
109

memadukan dan mendirikan jenis tarekat baru Qadiriyah wa Naqsabandiyah juga

berhaji pada sekitar tahun 1820 dan memiliki murid Syaikh Abdul Karim Banten

(Mahrus, Jamani, & Hadi, 2003: 60; Bruinessen, 2012: 264-267; Hurgronje, 1931:

262; 276).

Di Mekah para haji dari berbagai daerah di Nusantara saling

berkomunikasi dengan bahasa Melayu dan saling berbagi informasi dan

pengalaman, termasuk pengalaman perang Aceh yang menumbuhkan semangat

perlawanan terhadap kolonialisme pada diri para haji dari daerah lain. Bruinessen

(2012: 3-15) menyebut bahwa perjalanan haji dengan demikian mulai berfungsi

sebagai pemersatu dan perangsang antikolonialisme. Masyarakat “Jawah mukim”

punya peran penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama

maupun politik di bagian dunia Islam lainnya.

Ulama seperti Nawawi Banten, Mahfudz Termas dan Ahmad Khatib

Minangkabau, yang mengajar di Mekah pada akhir abad ke-19, mengilhami

gerakan keagamaan di Indonesia dan mendidik banyak ulama yang kemudian

berperan penting di tanah air. Termasuk salah satunya adalah Basioeni Imran yang

menjadi murid dari Ahmad Khatib Minangkabau. Ahmad Khatib Minangkabau

selanjutnya dikenal sebagai pemimpin komunitas Jawi dan Muslim Hindia

Belanda yang berkontribusi bagi terciptanya diskursus sosial intelektual di

Sumatera Barat pada awal abad ke-20 (Burhanuddin, 2012: 250). Ahmad Khatib

Minangkabau juga menyatakan sendiri dirinya sebagai ulama yang siap untuk

menghadapi para pemangku adat Minangkabau yang didukung oleh Belanda,

menentang Islam berorientasi-syariat di ranah Minang (Laffan, 2003: 109-110).


110

Peran Mekah-Madinah sebagai pusat otoritas keagamaan, yang dengan

demikian menjadi tujuan rihlah ‘ilmiyyah para ulama, pada menjelang dekade

akhir abad ke-19 digantikan oleh Kairo, Mesir. Komunitas Jawah di Mekah

menjadi pelopor pembangunan jaringan dengan Kairo. Salah seorang tokoh ulama

dari komunitas Jawah di Mekah yang membuka jaringan ke Kairo adalah Thaher

Djalaluddin yang pada 1895 pergi ke Al-Azhar untuk menyelesaikan studi

Astronomi (ilmu Falak). Sebelum memutuskan kuliah di Al-Azhar, Thaher

Djalaluddin telah menghabiskan waktu belajar di Mekah selama lima belas tahun

(Burhanuddin, 2012: 263-264).

Pergeseran orientasi keilmuan para ulama dari Haramayn ke Kairo

menurut Azra (1999: 197; 2000: 153-154) murni bersifat keagamaan, persisnya

berkaitan dengan semangat rihlah ‘ilmiyyah. Pergerseran ini memiliki signifikansi

bagi perkembangan Islam di Indonesia. Jika para ulama “lulusan” Haramayn

termasuk kelompok tradisionalis, maka “lulusan” Kairo termasuk kelompok

modernis yang cenderung “teralienasi” dari lembaga-lembaga sosial kegamaan

“tradisional” semacam surau atau pesantren dan tarekat. Mereka umumnya

bergerak di madrasah-madrasah modern dan sekolah-sekolah umum, atau

organisasi-organisasi sosial politik Muslimin. Perbedaan modus transmisi ini

tampaknya secara signifikan memengaruhi efektifitas transmisi, penyebaran

gagasan, dan kedalaman pengaruh mereka di Nusantara. Seperti yang telah

disebutkan sebelumnya, Kairo menjadi salah satu pusat berkembangnya ide-ide

pembaruan Islam dengan tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad

Abduh, dan para muridnya termasuk Rasyid Ridha.


111

Setelah Thaher Jalaluddin, sebagaimana akan dibahas pada bagian

selanjutnya, Basioeni Imran termasuk salah seorang ulama yang turut

memindahkan orientasi keilmuannya dari Mekah ke Kairo dengan belajar di Al-

Azhar dan Dar al-Da’wah wa al-Irsyad. Selain faktor al-Azhar dan tokoh-tokoh

pembarunya, ketertarikan terhadap Kairo juga direfleksikan oleh munculnya

permintaan fatwa (istifta’) yang ditujukan kepada Rasyid Ridha melalui al-Manar

(Bluhm, 1983; Abaza, 1998).

Zayd (2006: 42) menyebut beberapa faktor yang berkontribusi bagi

tersebarnya gerakan pembaruan dari Timur Tengah ke Indonesia. Pertama,

beberapa aktivis muslim Indonesia menuntut ilmu di Kairo, di mana ide

pembaruan Abduh berkembang. Kedua, banyak pemimpin agama (Islam) yang

berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan di sana mereka melakukan

kontak dengan ide-ide pembaruan Timur Tengah. Beberapa ulama Indonesia

kemudian belajar di Haramayn, dua tempat suci Mekah dan Madinah, tidak

langsung pulang ke Indonesia. Di sana para ulama berhubungan dengan sejumlah

pemikir Islam, khususnya yang menganjurkan untuk melakukan perlawanan

terhadap non-muslim atau para kolonialis Eropa di negara Islam atau negeri

Muslim. Ketiga, dua Jurnal yaitu al-Imam dan al-Munir melanjutkan misi al-

Manar dalam mempropagandakan pembaruan Islam di kepulauan Melayu-

Indonesia.

Bersamaan dengan masuknya pengaruh Timur Tengah, kondisi internal

umat Islam di Hindia Belanda juga turut menstimulasi lahirnya gerakan

pembaruan Islam. Steenbrink (1986: 26-28) menyebutkan empat faktor penting


112

pendorong terjadinya perubahan Islam di Hindia Belanda pada permulaan abad

ke-20. Pertama, sejak 1900 di beberapa tempat muncul keinginan kembali

kepada Alquran dan Sunnah dengan mengambil tema sentral menolak taklid.

Seperti disebutkan di atas, dorongan ini terutama datang dari Muhammad Abduh

dan murid-muridnya dari Mesir. Hal ini mengakibatkan perubahan dalam

bermacam-macam kebiasaan agama. Bahkan dalam perkembangan lebih lanjut,

terjadi perseteruan antara yang mengikuti mazhab dan yang menolak taklid.

Meskipun hanya dalam masalah-masalah kecil (furu’iyyah; cabang) (Ali &

Effendy, 1992: 52-53), tetapi perseteruan itu semakin tajam terutama sekitar

1910-1930. Kelompok pengikut mazhab (khususnya mazhab Syafi’i)

dikategorikan sebagai “kaum tua” sedangkan yang menolak taklid disebut “kaum

muda”. Dalam beberapa studi kaum tua disebut kaum ortodoks atau konservatif

sedangkan kaum muda disebut reformis atau modernis.

Kedua, adanya dorongan untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa

kolonial Belanda. Penentangan terhadap kolonialisme ini sifatnya selalu

nasionalis. Memang dorongan nasionalis tidak selalu besifat agama seperti

reformasi, namun untuk perkembangan Islam di Indonesia ia mempunyai arti

yang cukup penting. Ketiga, dorongan dari orang-orang Islam untuk memperkuat

organisasinya di bidang sosial ekonomi, baik demi kepentingan mereka sendiri

maupun untuk kepentingan rakyat banyak. Keempat, dorongan dari pembaruan

pendidikan Islam. Karena tidak puas dengan metode tradisional dalam

mempelajari Alquran, maka pribadi-pribadi dan organisasi Islam pada permulaan

abad ke-20 berusaha memperbaiki pendidikan Islam, baik dari segi metode
113

maupun isinya. Mereka juga mengusahakan memberikan pendidikan umum untuk

orang Islam.

Dari keempat dorongan tersebut di atas, tidak ada individu atau organisasi

yang menerima empat dorongan sekaligus. Oleh karena itu, terkadang ada pribadi

atau organisasi yang termasuk taklid dalam bidang ibadah (konservatif), tetapi

dalam bidang politik sangat progresif dan revolusioner. Pada permulaan abad ke-

20 garis pemisah yang membedakan antara kaum reformis-modernis dengan kaum

ortodoks-konservatif adalah dalam masalah taklid. Kaum reformis-modernis

menolak taklid; sedangkan kaum ortodoks-konservatif tetap berpegang teguh

(taklid) pada mazhab Syafi’i.

Empat faktor pendorong yang disebutkan oleh Steenbrink di atas hanya

melihat faktor internal umat Islam di wilayah Hindia Belanda. Seperti yang telah

disebutkan sebelumnya, pembaruan Islam di Hindia Belanda tak dapat dipisahkan

bahkan terinspirasi dari perkembangan global. Sebagaimana dicatat oleh Thaba

(1996: 131-132), gerakan pembaruan Islam pada pergantian abad ke-19 kepada

abad ke-20 dipicu perkembangan yang terjadi di negara Islam seperti Turki,

negara-negara Timur Tengah, dan India yang turut andil mendorong gerakan

pembaruan Islam di Hindia Belanda.

Keberhasilan gerakan Turki Muda dan kekalahan Dinasti Umani Turki

dalam Perang Dunia I membuat pusat peradaban Islam di Eropa memudar.

Negara-negara Barat segera melakukan perluasan wilayah dan konsolidasi

kekuatan ke negara-negara Islam di Timur Tengah. Kehadiran negara-negara

Barat yang diikuti oleh misionaris dan kaum intelektual itu selanjutnya mendapat
114

reaksi dari negara-negara Islam baik dalam bentuk perlawanan maupun

munculnya kesadaran atas keterbelakangan dunia Islam. Selain karena faktor

negara-negara Barat, ketegangan-ketegangan di internal umat Islam sendiri turut

mendorong lahirnya gerakan pembaruan. Ketegangan antara Islam ortodoks

dengan sufisme dan berbagai ketegangan antara kekuatan-kekuatan spiritual dan

aliran yang saling bertentangan mewarnai sejumlah kawasan dunia Islam.

Lahirnya Wahhabisme dan gerakan pembaruan di Mesir yang dimotori oleh

Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan sebagainya

merupakan contoh reaksi yang muncul atas ketegangan yang ada. Faktor

berikutnya adalah terbukanya terusan Suez di Mesir yang berdampak pada

semakin mudahnya transportasi menjadikan penyebaran informasi dari berbagai

belahan dunia dengan cepat sampai ke kawasan Hindia Belanda.

Dalam pandangan Azra (1999: 157-166) pembaruan Islam Indonesia

sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-11 H. / ke-17 M. dan ke-12 H. / ke-18

M. yang menjadi peletak pondasi gerakan modern Islam abad ke-14 H. / ke-20 M.

Pembaruan Islam awal ini lebih bersifat inwardly oriented yaitu upaya mengubah

pemikiran mistisisme filosofis menjadi mistisisme yang lebih syari’ah oriented

yang bisa disebut neosufisme dengan tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri (wafat

1077 H. / 1666 M.), Abd al-Rauf al-Singkili (1024-1105 H. / 1615-1699 M), dan

Syekh Yusuf al-Maqassari (1030-1111 H. / 1626-1696 M.).

Berbeda dengan pembaruan periode awal ini, gerakan pembaruan abad ke

13 H. / ke-18 M. dan lebih-lebih abad ke-14 H. / ke-20 M. di samping didorong

oleh faktor-faktor sosial keagamaan di dalam umat Islam sendiri, juga banyak
115

disebabkan oleh faktor luar. Faktor luar tersebut khususnya dominasi politik

penjajah Eropa yang sekaligus memunculkan perubahan-perubahan sosial budaya

yang cepat dan berdampak luas. Posisi umat Islam internasional umumnya secara

politik berada di bawah cengkraman para penjajah Barat dan secara sosial kultural

berada di dalam kemunduran dan kejumudan. Dalam kondisi demikian, seruan

kembali kepada Alquran dan Hadis dan pembukaan pintu ijtihad yang

didengungkan oleh para penganjur pembaruan segera bergaung di berbagai

pelosok dunia Islam. Faktor pendorong perluasan gerakan tersebut di antaranya

adalah kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan printing. Kemajuan

tersebut menjadikan gagasan-gagasan yang bersumber dari Timur Tengah segera

menjalar ke berbagai tempat di Nusantara.

Kemajuan teknologi percetakan dimanfaatkan dengan baik oleh para tokoh

pembaru dengan mencetak surat kabar atau majalah sebagai media penyebaran

ide-ide pembaruan ke seluruh dunia Islam. Rasyid Ridha, sebagaimana telah

disebutkan di atas, menerbitkan majalah al-Manar yang penyebarannya hingga ke

wilayah Nusantara. Majalah yang diterbitkan pertama kali pada 1898 ini tujuan

utamanya adalah untuk menguji dekadensi yang melanda institusi politik umat

Islam, menggarisbawahi bahaya kolonialisme Eropa di dunia Islam dan

menggemakan ide bahwa Islam cocok bagi modernitas dan akal. Al-Manar telah

menjadi pembuka jalan bagi berkembangnya pembaruan Islam di Hindia Belanda.

Dalam kaitan ini, al-Manar telah memfasilitasi pembacaan dan interpertasi

individual terhadap doktrin-doktrin Islam.

Hasil studi Ahmed Ibrahim Abushouk (2007, hal. 322) menunjukkan


116

bahwa Majalah al-Manar berperan sebagai sarana transmisi gagasan reformis

Islam dan menjadi komponen utama dari wacana intelektual antara kaum reformis

Hadrami berhadapan dengan kaum tradisionalis di Indonesia. Majalah ini juga

menjadi pondasi jalan dalam membentuk gerakan revivalis dan modernis dengan

penolakan terhadap tradisi taklid dan pengakuan atas validitas ijtihad dalam

memenuhi tuntutan modernitas. Majalah ini juga menjadi langganan bagi Basioeni

Imran. Tidak sekedar untuk bahan bacaan, Basioeni Imran juga berperan sebagai

mustafti (orang yang meminta fatwa) dengan cara beberapa kali mengirim surat ke

pemilik al-Manar, Rasyid Ridha yang berisi berbagai pertanyaan (permintaan

fatwa) yang selanjutnya dimuat dan diberikan jawabannya (fatwa) di dalam al-

Manar.

2.2.4 “Kaum Tua” versus “Kaum Muda”

Perubahan Islam di Hindia Belanda pada awal abad ke-20, terutama

munculnya ide-ide dan gerakan pembaruan sebagaimana dibahas di atas tidaklah

terjadi tanpa adanya reaksi. Seperti telah disebutkan oleh Steenbrink di atas,

pembaruan yang menolak taklid dan mengusung pembukaan pintu ijtihad serta

pembersihan unsur-unsur yang dinyatakan sebagai bid’ah dan khurafat dalam

tubuh umat Islam, melahirkan polarisasi bahkan pertentangan dan mengarah pada

perpecahan di kalangan umat Islam. Fenomena paling nyata adalah lahirnya

“kaum muda” versus “kaum tua”26.

26
Istilah “kaum muda” dan “kaum tua” merujuk pada lahirnya intelegensia Hindia Belanda di
ruang publik pada dekade pertama abad ke-20. Kaum muda adalah kolektifitas “bangsawan
pikiran” yang merupakan sebuah kode untuk menamai generasi baru orang-orang Hindia
Belanda yang terdidik secara modern dan ikut serta dalam gerakan menuju kemadjoean,
117

Istilah ini muncul pertama kali dan berkembang luas di kota Padang,

Sumatera Barat. Kaum muda adalah golongan yang menghendaki pembaruan,

sedangkan kaum tua golongan yang berpegang terus pada pemikiran dan

perbuatan yang tradisional. Kaum muda yang menyuarakan reformisme Islam

terutama melalui majalah mereka al-Munir. Pada umumnya kaum tua bertahan

pada kebiasaan yang dianut. Sedangkan kaum muda lebih menyokong kemajuan

umumnya tanpa mengikat diri pada tradisi yang ada. Dalam masalah agama, kaum

muda berusaha menghapuskan bid’ah dan khurafat yang dipandang sebagai

paham dan perbuatan yang berlawanan dengan syari’at. (Noer, 1996: 7;

Burhanuddin, 2012: 287).

Dalam konteks Minangkabau, gerakan kaum muda tidaklah dimotivasi

oleh hasrat untuk mengubah dasar-dasar teologi Islam, tetapi lebih bertujuan

untuk menyiapkan dasar bagi perubahan sosial. Perubahan yang didasarkan pada

masyarakat beragama yang dapat berpikir rasional. Pembaruan yang dilakukan

bukan hanya mengenai kaum tua, tetapi sekaligus kaum adat. Kaum muda agama

Minangkabau digerakkan oleh tiga tokoh utama murid Syekh Ahmad Khatib,

yaitu Syaikh Muhammad Jamil Jambek (Bukittinggi), Haji Abdullah Ahmad

(Padang dan Padang Panjang), dan Haji Rasul (H. Abdul Karim Amrullah,

Maninjau). Mereka menyerang praktik-praktik yang bersifat bid’ah dan juga

aliran-aliran tarekat. Menurut mereka, keimanan yang didasarkan pada taklid

berlawanan dengan istilah “bangsawan usul”. Sementara kolektivitas bangsawan usul diberi
nama “kaum tua” atau “kaum kuno”. Kaum muda dalam pengertian sebagai kaum intelegensia,
tidaklah homogeny. Ada “kaum muda yang berorientasi “sekuler”, “kaum muda yang
berorientasi adat”, dan “kaum muda yang berorientasi Islam”. Khusus kaum muda yang
berorientasi Islam memiliki basis kultural reformisme-modernisme Islam (Latif, 2005: 32; 153-
154).
118

adalah salah. Sumber utama hukum hanyalah Alquran dan hadis, bukan ijtihad

ulama. Umat Islam harus kembali ke sumber asli tersebut. Kaum muda juga

mementingkan penggunaan akal dan membuka pintu ijtihad (Azra, 1999, hal.

192).

Selain perbedaan pandangan dalam hal yang cukup prinsip, sebenarnya

sebagian masalah yang diperselisihkan antara kaum muda dan kaum tua adalah

hal-hal yang tidak prinsip atau masalah furu’iyah (cabang). Atjeh (1966: 322-323)

menyebut kaum muda dengan gerakan Salaf yang diwakili oleh Muhammadiyah,

al-Irsyad, dan Persatuan Islam dan kaum tua dengan gerakan modernis yang

selanjutnya diwakili oleh Nahdlatul Ulama. Masalah-masalah yang ditolak oleh

gerakan Salaf tetapi dipertahankan oleh gerakan modernis adalah: mempelajari

tauhid dengan sistem sifat duapuluh, sembahyang tarawih lebih delapan rakaat,

masalah qunut sembahyang subuh, melafalkan niat sembahyang, adzan pertama

sembahyang Jumat, talqin pada kubur orang mati, membaca tahlil, fidyah untuk

orang mati yang meninggalkan sembahyang masa hidupnya, kenduri orang mati,

tawashul doa pada kubur atau orang-orang keramat, mencium tangan guru,

menggunakan tasbih, membakar kemenyan, membaca barzanji dalam acara

maulid, berhari raya tidak di tanah lapang, khutbah dalam bahasa Arab saja,

masalah benda-benda keramat, pembagian waris secara adat .

Dalam perkembangan selanjutnya istilah kaum tua dan kaum muda ini

meluas hampir ke berbagai wilayah nusantara. Perseteruan antara kedua kelompok

masyarakat ini mengalami perkembangan yang semakin kuat setelah tahun 1920-

an seiring semakin banyaknya generasi muda Muslim Hindia Belanda menuntut


119

ilmu ke Kairo dan kembali membawa ide-ide pembaruan dari sana. Fealy (1997:

8-10) menjelaskan selama awal 1920-an terjadi rivalitas antara kaum tradisionalis

[kaum tua] dengan tokohnya Kyai Wahab Chasbullah dan modernis [kaum muda]

dengan tokohnya Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan Syaikh Ahmad

Soorkatti (Al-Irsyad).

Pertikaian kaum tua dan kaum muda tergambar jelas dalam serangkaian

Kongres al-Islam antara 1922-1926. Dalam Kongres al-Islam Pertama di Cirebon

pada 1922 terjadi saling ejek, kalangan modernis menuduh kalangan tradisional

syirik, sementara kalangan tradisional menuduh kalangan modernis kafir. Kaum

tradisional akhirnya meninggalkan arena dan memutuskan tidak ikut dalam

kongres al-Islam berikutnya. Hubungan kedua kelompok ini semakin memburuk

pada 1924, ketika umat Islam Hindia Belanda berusaha mencari kesatuan

tanggapan atas dua isu internasional: masa depan kekhalifahan pasca Khilafah

Usmani bubar dan direbutnya Mekah oleh pemimpin Wahhabi Abdul Aziz ibnu

Saud.

Saat Kongres al-Islam pada Desember 1924 di Surabaya, terpilih tiga

orang wakil umat Islam Indonesia untuk hadir dalam Kongres di Kairo, yaitu:

K.H. Wahab Chasbullah (tradisionalis), Surjopranoto (Sarekat Islam), dan H.

Fachroeddin (Muhammadiyah). Namun Kongres Kairo ditunda dan delegasi tidak

berangkat. Selanjutnya Ibnu Saud juga mengundang umat Islam Indonesia untuk

hadir dalam Kongres Mekah. Untuk keperluan tersebut, umat Islam Hindia

Belanda mengadakan Kongres al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus

1925) dan Kongres al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926), namun kedua
120

kongres ini didominasi oleh kaum modernis.

Dalam Kongres di Yogyakarta kaum modernis menolak usulan kaum

tradisonalis yang ingin menyampaikan usulan agar Ibnu Saud perlu menjamin

kebebasan beragama (bermazhab) untuk semua muslim di Mekah. Bahkan

sebelum kongres di Bandung, diadakan rapat para pimpinan organisasi modernis

tanpa mengundang kaum tradisionalis di Cianjur (8-10 Januari 1926) yang

memutuskan akan mengirim H.O.S. Cokroaminoto (Sarekat Islam) dan K.H. Mas

Mansur (Muhammadiyah) sebagai delegasi mewakili umat Islam Hindia Belanda

di Kongres Mekah. Kongres di Bandung yang didominasi oleh kaum modernis

kembali menolak usulan kaum tradisionalis. Karena aspirasi kaum tradisionalis

tidak diakomodir oleh kaum modernis, akhirnya kaum tradisonalis melakukan

serangkaian pertemuan dan memutuskan membentuk komite khusus untuk dikirim

menghadiri Kongres Mekah bernama Komite Hijaz (komite yang selanjutnya

berubah menjadi organisasi Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926) (Noer, 1996:

242-243; Fealy, 1997: 9-10; Dhofier, 2011: 144; Bruinessen, 1994: 30-34).

Noer mengungkapkan bahwa pada 1921 Surabaya telah merupakan pusat

pertikaian antara kaum tua dan kaum muda. Di Singapura juga terdengar

pertikaian antara keduanya, meskipun tidak terlalu ramai. Di Sumatera Barat

sendiri perlawanan terhadap kaum muda datang dari Islam tradisi melalui

tokohnya Syaikh Muhammad Saad bin Tanta’ di Mungkar (Syaikh Mungkar) dan

Syaikh Haji Muhammad Ali bin Abdul Muttalib (Syaikh Khatib Ali) di Padang.

Dalam menghadapi serangan kaum muda, kaum tua mendirikan organisasi

Ittihadul Ulama Minangkabau (1921) dan menerbitkan buku dan majalah


121

meskipun tidak tetap terbitnya (Noer, 1996: 98-99; 240-241). Hadirnya berbagai

organisasi sosial keagamaan juga turut menguatkan pertentangan kaum tua versus

kaum muda. Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi Muhammadiyah

(berdiri 1912) dicap sebagai kaum muda sedangkan Nahdlatul Ulama (berdiri

1926) dicap sebagai kaum tua.

Atjeh (1970: 5; 1966: 297-301) secara umum menyebut bahwa

“kebangkitan Islam” adalah semua gerakan yang bertujuan memperbaharui cara

berpikir dan cara hidup umat Islam. Gerakan ini dinamakan oleh Ibn Taimiyah

dengan muhyi asaris salaf (menghidupkan contoh para salaf), membangkitkan

kembali ajaran-ajaran lama, yaitu ajaran para Sabahat Rasul dan Tabi’in;

ditonjolkannya ajaran Imam Ahmad bin Hambal, yang senantiasa gemar

mempraktikkan ijtihad dan anti kemusyrikan serta bid’ah, pedoman satu-satunya

yang dipakai adalah Quran dan Sunnah Rasul. Sebuah gerakan yang bertujuan

mengembalikan agama Islam kepada dua sumbernya yang murni yakni Alquran

dan Sunnah Rasul, sekaligus meninggalkan pertengkaran mazhab dan segala

bid’ah serta khurafat yang disisipkan ke dalamnya. Salah satu sifat utamanya

adalah berpegang teguh pada pemakaian ijtihad dan secara konsekuen menolak

taklid. Gerakan Salaf mengomandokan agar segera meninggalkan pengekoran

pada salah satu mazhab, agar semua mazhab dipersatukan kembali,

mengembalikannya pada relnya yang asli yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul.

Pembaruan Islam di Hindia Belanda yang menurut Noer bermula dari

Sumatera Barat awalnya hanya digerakkan oleh orang-orang secara individual.

Namun karena mendapatkan inspirasi dari Bagindo Djamaluddin Rasjad yang


122

baru saja pulang dari Eropa, pada 1915 di Padang Panjang berdiri organisasi yang

bernama Perkumpulan Sabun (semacam koperasi untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari, termasuk sabun) yang menjadi cikal bakal organisasi dan sekolah

Sumatera Thawalib. Pada 1918 perkumpulan ini berubah nama menjad Sumatera

Thuwailib yang bergerak di bidang pelajaran agama dan meluaskan ajarannya

dengan mendirikan sekolah. Setahun kemudian berubah lagi namanya menjadi

Sumatera Thawalib yang kemudian berkembang dengan membina dan mengawasi

sekolah sendiri. Pada 15 Februari 1920 Muzakaratul Ikhwan di Parabek

bergabung ke dalam Sumatera Thawalib. Pada perkembangan berikutnya, sekolah

yang dibina baik yang di Padang Panjang maupun di Parabek mulai

mengintrodusir ide-ide pembaruan dengan mengajarkan kitab tafsir al-Manar,

membaca kitab-kitab Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Buku-buku dari Mesir

didatangkan. Mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah dimasukkan, di samping mata

pelajaran utama ilmu-ilmu agama. Pada 1923, Thawalib mendapat pengaruh

komunis melalui tokoh Datuk Batuah yang baru pulang dari Jawa dan dibantu

oleh guru bernama Zainuddin (Noer, 1996: 54-57).

Pada 1929 organisasi Sumatera Thawalib memperluas keanggotaannya dan

setahun berikutnya berubah menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PMI atau

Permi) dan pada 1932 berubah menjadi partai politik. Setahun setelah berubah

menjadi partai politik, Permi mengalami tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh

pemerintah kolonial. Sebelum berubah menjadi partai politik, pada 1930,

Sumatera Thawalib di Padang Panjang mengalami puncaknya dengan memiliki

murid kira-kira 1.300 pelajar, termasuk yang berasal dari daerah Malaya,
123

Kalimantan, dan Sulawesi. Saat kembali ke daerah asalnya, mereka

mengembangkan lembaga pendidikan dengan mencontoh Sumatera Thawalib

(Noer, 1996: 59-61).

Dalam membicarakan pembaruan Islam di awal abad ke-20, peran

masyarakaat keturunan Arab cukup penting. Meskipun masyarakat Arab

disamakan dengan kedudukan orang-orang asing lainnya, tetapi berbeda dengan

orang-orang Cina dan Eropa, masyarakat Arab lebih dekat dengan masyarakat

Indonesia. Selain faktor mereka beragama Islam, agama mayoritas masyarakat

Indonesia, sebagian besar mereka adalah peranakan dengan ibu orang Indonesia.

Tak jarang mereka tidak lagi memahami bahasa Arab dan lebih mahir

menggunakan bahasa ibu mereka. Mereka juga memiliki kebiasaan-kebisaan

Indonesia, terutama yang tidak termasuk golongan Sayid.

Menurut Berg (1989: 72) keturunan Arab di Nusantara cenderung

berasimilasi dengan masyarakat pribumi. Banyak laki-laki Arab yang mengawini

wanita pribumi, sehingga bahasa percakapan mereka bukan bahasa Arab tetapi

bahasa Melayu, Jawa, bahasa istri mereka. Saat itu masyarakat Arab terbagi

menjadi golongan Sayid dan bukan Sayid (Noer, 1996: 67). Golongan Sayid

adalah keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad, mereka bergelar Habib.

Sementara golongan Syarif adalah keturunan al-Hasan.

Pada 17 Juli 1905, masyarakat Arab di Batavia mendirikan al-Jam’iyat al-

Khairiyah yang lebih dikenal dengan nama Jamiat Khair. Organisasi ini memiliki

program mendirikan dan membina satu sekolah tingkat dasar dan pengiriman

anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pendidikan. Namun karena masalah


124

biaya dan kemunduran khilafah Usmani, program pengiriman anak-anak muda ke

Turki terhambat. Pada 1905 itu juga, Jamiat Khair mendirikan sekolah dengan

bermacam-macam pelajaran seperti berhitung, sejarah, ilmu bumi dan ilmu-ilmu

agama. Sekolah telah menerapkan sistem kelas dan menggunakan bahasa Melayu

sebagai bahasa pengantar dan bahasa Inggris sebagai pelajaran wajib.

Pada Oktober 1911, tiga orang Arab bergabung ke Jamiat Khair, yaitu

Syaikh Ahmad Soorkatti dari Sudan, Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, dan

Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekah. Thaib kembali ke Maroko pada

1913, Hamid pindah ke Bogor pada sebuah sekolah Jamiat Khair. Soorkatti

selanjutnya menjadi tokoh utama organisasi al-Irsyad. Pada 1913, para anggota

Jamiat Khair yang keluar membentuk Jam’iyat al-Islam wa al-Irsyad al-Arabia

yang disingkat al-Irsyad. Al-Irsyad kemudian diakui oleh pemerintah pada 11

Agustus 1915. Perpecahan dalam Jamiat Khair yang selanjutnya melahirkan al-

Irsyad disebabkan perseteruan antara golongan Sayid dengan bukan Sayid.

Para pendiri a-Irsyad adalah para pedagang, tetapi guru yang dijadikan

tempat meminta fatwa adalah Syaikh Ahmad Soorkatti. Soorkatti lahir di

Dunggula, Sudan pada 1872. Setelah berlajar Alquran di tempat kelahirannya,

Soorkatti belajar di Madinah selama empat tahun dan dilanjutkan sebelas tahun di

Mekah. Di Mekah antara lain belajar kepada Syaikh Muhammad bin Yusuf al-

Khayyat. Soorkatti menerima sertifikat tertinggi guru agama dari pemerintah

Istambul dan sejak 1906 ia mengajar di negeri tersebut dan telah mengenal

tulisan-tulisan Muhammad Abduh dan berlangganan al-Manar. Pada 1911

Soorkatti tiba di Batavia karena diundang oleh Jamiat Khair untuk mengajar di
125

sekolah mereka. Tapi pada 1913, seperti telah disebutkan di atas, Soorkati

meninggalkan Jamiat Khair dan membuka sekolah sendiri di rumahnya dan

kemudian bergabung dengan al-Irsyad. Ia terus mengajar di al-Irsyad hingga wafat

(1943) kecuali selama kurun 1920-1924 saat ia mencoba berdagang.

Al-Irsyad memusatkan perhatian pada bidang pendidikan, khususnya bagi

masyarakat Arab, meskipun anggota al-Irsyad juga ada yang bukan Arab. Al-

Irsyad kemudian mengembangkan bidang kerjanya dengan bekerjasama dengan

Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Al-Irsyad juga aktif dalam beberapa kali

kongres al-Islam pada 1920-an dan bergabung dengan Majelis Islam A’la

Indonesia (MIAI) saat didirikan pada 1937. Cabang-cabang al-Irsyad berdiri

antara lain di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surabaya, dan Lawang. Semua cabang

mendirikan sekolah tingkat dasar, bahkan cabang Surabaya mendirikan sekolah

guru 2 tahun dan Schakelschool sekolah tingkat dasar berbahasa Belanda.

Sementara itu di Jakarta (Batavia) al-Irsyad menyelenggarakan sekolah

tingkat dasar dan sekolah guru, sekolah takhassus (bidang agama, pendidikan atau

bahasa) dua tahun. Dalam perkembangannya, sekolah al-Irsyad mulai tertarik dan

menerapkan ide-ide Abduh di bidang pendidikan, misalnya penekanan pendidikan

dalam masalah tauhid, fikih, dan sejarah. Al-Irsyad juga menggunakan cara

tabligh dan menerbitkan beberapa buku dan pamflet-pamflet untuk

menyebarluaskan pahamnya.

Pertikaian antara Jamiat Khair (yang merupakan representasi Arab

golongan Sayid) dengan al-Irsyad (yang merupakan representasi Arab golongan

non-Sayid) terus berlangsung dan sulit dicarikan titik temu. Jamiat Khair menurut
126

Noer (1996: 78-79) berupaya mempersulit anggota al-Irsyad mengunjungi

Hadramaut (dengan menghasut pemerintah Inggris agar tidak memberi passport

kepada anggota al-Irsyad), menyarankan pemerintah kolonial Belanda agar

bertindak terhadap al-Irsyad karena dikatakan pengikut Bolshevik, serta

mengecam al-Irsyad sebagai tidak mendukung kekhalifahan Syarif Husein di

Mekah. Pertikaian tidak surut bahkan hingga tahun 1930-an saat Jamiat Khair

menuntut bahwa hanya mereka yang berhak mempergunakan gelar sayid sesuai

dengan tradisi dan katanya juga sesuai syariat. Sebaliknya al-Irsyad tetap menolak

tuntutan tersebut dan mengatakan tidak ada aturan dalam Islam yang memberikan

kedudukan istimewa kepada keturunan-keturunan Nabi.

Di daerah Jawa Barat tepatnya di Majalengka hadir organisasi

Persyarikatan Ulama27. Diawali pada 1911 berdiri organisasi Madjlisoel ‘Ilmi.

Setahun kemudian berganti nama menjadi Hajatoel Qoeloeb yang didirikan oleh

Haji Abdul Halim yang bergerak di bidang ekonomi dan pendidikan (Hernawan,

2014: 1-2). Namun karena sering terjadi persaingan dan konflik dengan para

pedagang Cina dan karenanya dianggap penyebab kerusuhan, pemerintah kolonial

Belanda melarang organisasi Hayatul Qulub pada 1915.

Pada 1916 didirikan kembali sekolah Jam’iyat I’anat al-Muta’allimin

yang mulai mengintrodusir sistem pendidikan modern. Abdul Halim sebagai

tokohnya juga menjalin hubungan dengan Jami’at Khair dan al-Irsyad untuk

memajukan sekolah. Organisasi kemudian berubah lagi menjadi Persyarikatan

Ulama dan berbadan hukum pada 21 Desember 1917 atas bantuan H.O.S
27
Penjelasan lebih lengkap tentang organisasi Persyarikatan Ulama dapat dilihat dalam buku
karya Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011), Bandung: YMSI
Cabang Jawa Barat & PUI Jawa Barat, 2014.
127

Tjokroaminoto. Selain menyelenggarakan madrasah yang biasa, pada 1932

Persyarikatan Ulama mendirikan lembaga Santi Asrama yang terdiri dari tingkat

permulaan, dasar, dan lanjutan. Lembaga pendidikan ini menerapkan sistem

asrama dan melatih berbagai keterampilan untuk murid-muridnya. Selain itu,

Persyarikatan Ulama juga melakukan tabligh, menerbitkan majalah dan brosur

sebagai media penyebaran cita-citanya. Persyarikatan Ulama secara resmi

berpegang teguh pada mazhab Syafi’i, tetapi hubunganya dengan kalangan

pembaru lebih dekat di banding dengan kalangan tradisional. Abdul Halim sendiri

berusaha menyebarkan pemikirannya dengan penuh pengertian dan toleransi,

dengan tanpa mengecam golongan lain (Noer, 1996: 80-84).

Di antara organisasi sosial keagamaan yang terpenting adalah

Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta, 18 November 1912 oleh Kyai Haji

Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada 1869 dengan nama

Muhammad Darwis anak K. H. Abu Bakar (khatib di masjid Sultan Yogyakarta).

Setelah menamatkan pendidikan dasar dalam ilmu nahwu, fikih, dan tafsir di

Yogyakarta dan sekitarnya, ia pergi ke Mekah pada 1890 dan belajar di sana

selama setahun. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib

Minangkabau. Kemudian pada 1903 ia kembali mengunjungi Mekah dan menetap

di sana selama dua tahun. Sejak pulang dari Mekah untuk yang pertama kalinya,

Ahmad Dahlan sudah menghayati cita-cita pembaruan. Usaha awal yang

dilakukannya adalah mengubah arah sembahyang di masjid keraton Yogyakarta ke

arah kiblat yang sebenarnya (semula mengarah ke Barat). Ia juga mengorganisir

teman-temannya mulai memperhatikan aspek kesehatan dengan memperbaiki dan


128

membersihkan jalan-jalan dan parit-parit.

Meskipun terlihat sederhana, tetapi Ahmad Dahlan ingin menunjukkan

betapa penting mengamalkan ajaran Islam tidak sekedar teori. Meskipun usahanya

membetulkan arah kiblat masjid keraton tidak berhasil, ia kemudian membangun

langgar sendiri dengan arah kiblat yang benar. Namun perubahan itu tidak

disenangi dan ditentang oleh penghulu K. H. Mohammad Halil, yang

memerintahkan untuk membongkar langgar tersebut. Kecewa dengan kejadian

tersebut, Ahmad Dahlan ingin meninggalkan Yogyakarta, tetapi salah seorang

keluarganya menghalangi maksud tersebut dan membangunkan untuknya sebuah

langgar lain serta memberikan jaminan baginya untuk mengajarkan dan

mempraktikkan agama menurut keyakinannya. Ia kemudian menggantikan

ayahnya sebagai khatib di masjid keraton sembari aktif berdagang batik.

Pada 1909 Ahmad Dahlan bergabung dengan Budi Utomo dengan maksud

memberikan pelajaran agama bagi anggota-anggotanya dan bisa meluaskan

pengaruhnya ke sekolah-sekolah. Ahmad Dahlan kemudian mendapat dukungan

dari para anggota Budi Utomo dan menyarankan mendirikan sekolah sendiri dan

didukung oleh sebuah organisasi. Akhirnya didirikan organisasi Muhammadiyah

dengan maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

kepada penduduk bumiputra” dan “memajukan agama Islam kepada anggota-

anggotanya”. Untuk maksud tersebut, organisasi akan mendirikan lembaga-

lembaga pendidikan, mengadakan rapat dan tabligh, mendirikan wakaf, masjid-

masjid dan menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah. Hingga

1917, Muhammadiyah hanya terbatas di daerah Kauman Yogyakarta. Ahmad


129

Dahlan aktif melakukan tabligh dan mengajar di sekolah Muhammadiyah dan

membantu fakir miskin. Sejak awal sifat sosial Muhammadiyah telah dirintis oleh

Ahmad Dahlan.

Pada 1917, Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta dan rumah

Ahmad Dahlan menjadi pusat kegiatannya. Pesona Ahmad Dahlan dalam

memberi tabligh membuat pengurus Muhammadiyah menerima berbagai

permintaan dari berbagai tempat di Jawa untuk mendirikan cabang-cabang.

Perubahan Anggaran Dasar Muhammadiyah pun dilakukan pada 1920 di mana

kegiatannya diluaskan meliputi seluruh Jawa dan setahun berikutnya ke seluruh

Indonesia. Di Pekalongan, organisasi Nurul Islam berubah menjadi cabang

Muhammadiyah, sedangkan di Surabaya didirikan atas inisiatif K. H. Mas

Mansur.

Pada 1918, Ahmad Dahlan membentuk kepanduan Hizbul Wathan sebagai

bagian Muhammadiyah. Di luar Jawa, Minangkabau menjadi daerah pertama

yang mendirikan cabang Muhammadiyah oleh Haji Rasul pada 1925. Pada 1927

berdiri cabang-cabang di Bengkulu, Banjarmasin, dan Amuntai dan pada 1929 di

Aceh dan Makassar. Beberapa organisasi seperti Penolong Kesengsaraan Umum

(PKU) pada 1921 dan Sopotrisno (yang berubah nama menjadi Aisyiyah) pada

1922 bergabung dengan Muhammadiyah.

Pada 1927 Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih yang berfungsi

mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah tertentu yang

dipertikaikan masyarakat. Kehadiran Majelis Tarjih ini menurut Noer

menunjukkan sikap toleransi Muhammadiyah terhadap adanya perbedaan


130

pendapat, termasuk di kalangan mereka sendiri. Dengan sikap toleransi yang

ditunjukkannya, pada 1925 Muhammadiyah telah memiliki 29 cabang, 4.000

anggota, 8 sekolah HIS, 32 sekolah dasar lima tahun, 1 schakelschool, 14

madrasah dengan seluruh guru 119 orang dan murid 4.000 orang (Noer, 1996: 87-

94).

Bandung cukup terlambat dalam merespon pembaruan Islam yang

ditandai dengan berdirinya Persatuan Islam (Persis) 28 pada 12 September 1923.

Oganisasi Persis bermula dari pertemuan kenduri tiga keluarga yang berasal dari

Palembang. Pelopornya adalah dua orang pedagang bernama H. Zamzam dan H.

Muhammad Junus. Zamzam pernah belajar di lembaga Darul Ulum di Mekah

selama tiga setengah tahun dan pernah mengajar di sekolah Darul Muta’allimin

Bandung, sedangkan Muhammad Junus adalah pedagang biasa yang belajar

agama secara tradisional dan dilanjutkan dengan membaca kitab-kitab.

Persis pada umumnya kurang memberikan tekanan bagi kegiatan

organisasi. Perhatian Persis terutama bagaimana menyebarkan cita-cita dan

pemikirannya. Hal ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh,

khutbah, kelompok studi, mendirikan sekolah, dan menyebarkan atau menerbitkan

pamflet, majalah (Pembela Islam, al-Fatwa, al-Lisaan, dan at-Taqwa) dan kitab.

Persis juga membangun Pesantren Persis pada 1936 di Bandung, tetapi pesantren

ini kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur ketika Ahmad Hasan pindah ke

sana. Berbeda dengan Muhammadiyah, Persis senang melakukan perdebatan dan

polemik. Persis tercatat berkali-kali melakukan debat dengan Ahmadiah Qadian,


28
Penjelasan lengkap tentang PERSIS dapat dilihat dalam buku karya Howard M. Federspiel.
2001. Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State: The Persatuan Islam (PERSIS)
1923 to 1957. Leiden: Brill
131

al-Ittihadul Ummah Sukabumi, Majlis Ahli Sunnah Bandung, dan NU di Ciledug

dan Cilegon. Terbitan-terbitan Persis dijadikan referensi oleh para guru dan

propagandis al-Irsyad dan Muhammadiyah (Noer, 1996: 95-104).

Anggaran Dasar Persis menyebutkan bahwa organisasi tersebut mengajak

untuk “memajukan Islam dengan landasan Alquran dan Sunnah Nabi” serta untuk

“berdakwah dan mengajarkan Islam”. Memajukan Islam oleh para pemimpin

Persis diartikan sebagai kepedulian terhadap masalah-masalah kontemporer,

mengkaji kitab suci Islam untuk menetapkan pandangan-pandangan Islam yang

benar, berpendapat berdasarkan hasil kajian itu, dilanjutkan dengan

mengajarkannya kepada publik muslim. Sepanjang waktu, mereka menganggap

dirinya sebagai genre baru ulama yang perjuangannya ditujukan untuk

membersihkan agama dari bid’ah dan mengadaptasikan prinsip-prinsip agama

dengan kondisi-kondisi kontemporer (Federspiel, 2001: 87).

Persis memiliki tokoh utama Ahmad Hasan dan Mohammad Natsir.

Ahmad Hasan berasal dari keluarga campuran Indonesia-India lahir di Singapura

pada 1887. Ahmad Hasan tidak menyelesaikan pendidikan dasarnya dan mulai

bekerja sejak usia 12 tahun dengan berbagai jenis pekerjaan. Ia pernah menjadi

anggota tim redaksi Utusan Melayu. Pada 1921 Ahmad Hasan pindah ke Surabaya

yang saat itu merupakan pusat pertikaian antara Kaum Tua dengan Kaum Muda.

Ia banyak mendapatkan informasi tentang pertikaian tersebut dari K. H. Abdul

Wahab Hasbullah (tokoh pendiri NU). Setelah melalui proses berpikir, Ahmad

Hasan menyimpulkan bahwa yang benar adalah Kaum Muda. Dari Surabaya

Ahmad Hasan pindah ke Bandung dan tinggal di rumah H. Muhammad Junus


132

yang merupakan pendiri Persis.

Saat masih berada di Singapura, Ahmad Hasan telah mendengar tentang

pertikaian Kaum Tua dan Kaum Muda dan mulai berkenalan dengan majalah-

majalah al-Manar (Mesir), al-Imam (Singapura), dan al-Munir Padang. Tokoh

Persis berikutnya dalah Mohammad Natsir, lahir 17 Juli 1908 di Alahan Panjang,

Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS dan MULO di

Minangkabau, Natsir pergi ke Bandung karena ingin melanjutkan pendidikannya

pada Algemene Middelbare School (setingkat SMA) pada 1927. Di Padang, Natsir

juga pernah belajar pada H. Abdullah Ahmad. Dengan demikian dapat dikatakan

Natsir telah mengenal ajaran-ajaran pembaruan sejak masih kecil.

2.3 Kalimantan Barat: Kondisi Politik dan Sosial Keagamaan

2.3.1 Penguasa Lokal dan Kolonial Belanda

Wilayah Provinsi Kalimantan Barat sekarang pada masa kolonial Belanda

dikenal sebagai Borneo Westerafdeling. Sebelum hadirnya kolonialisme Belanda

di Kalimantan Barat atau Borneo Westerafdeling telah hadir cukup banyak

kerajaan atau kesultanan yang bercorak Islam. Bahkan beberapa kerajaan yang

cukup besar telah eksis sezaman dengan Majapahit, atau setidaknya pada masa

kejayaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dengan tercantumnya nama

beberapa kerajaan itu di dalam kakawin Nagarakrtagama. Di dalam kakawin

Nagarakrtagama khususnya pada pupuh 14/3 ada disebutkan nama-nama Sambas,

Malano dan Tanjungpuri bersama-sama dengan penyebutan daerah lain yang

berada dalam kekuasaan Majapahit (Muljono, 1965: 49). Sebagian besar kerajaan-
133

kerajaan di wilayah Kalimantan Barat awalnya bercorak Hindu yang kemudian

mengalami proses pengislaman dengan berbagai cara. Beberapa kerajaan Islam

yang cukup besar adalah Tanjungpura29, Sambas30, Pontianak31, Mempawah32 dan

Sintang33. Sementara kerajaan kecil cukup banyak, seperti Kubu, Landak,

Simpang, Matan, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Suhait, Selimbau dan Bunut.

Pada 1839, menurut susunan ketatanegaraannya, pulau Borneo atau

Kalimantan dibagi menjadi 3 kawasan, yaitu: (1) Kawasan yang dikuasai oleh

Kerajaan Belanda; (2) Kawasan kerajaan Brunei; dan (3) Kawasan Timur Laut,

yang masuk lingkungan kerajaan Sulu. Kawasan yang dikuasai oleh Pemerintah

Belanda secara administratif dibagi menjadi 3 afdeling yaitu Afdeling Pantai

Selatan dan Timur, Afdeling Sambas dan Afdeling Pontianak (kemudian lebih

dikenal sebagai Borneo Westerafdeling). Setiap afdeling tersebut dipimpin oleh

seorang Residen atau Asisten Residen dan langsung di bawah pemerintahan

tertinggi Batavia.

Sampai 1846 pemerintah Belanda di Kalimantan hanya membatasi

kekuasaannya di kota-kota pantai, dan pemerintahan dibatasi untuk kepentingan

perdagangan dan keamanan. Urusan perdagangan yang dikuasai adalah bea cukai

di pelabuhan dan monopoli perdagangan garam dan candu. Pada 1846 prinsip

kekuasaan Pemerintah Belanda tersebut mulai ditinggalkan. Masalahnya adalah

29
Berubah menjadi kerajaan bercorak Islam sekitar abad ke-13 M (Abdillah, 2010: 170).
30
Berubah menjadi kerajaan bercorak Islam sekitar awal abad ke 16 M (Salim, dkk. 2011: 36).
31
Sejak didirikan pada 23 Oktober 1771 telah bercirikan Islam (Abdillah: 2010: 229).
32
Beralih menjadi kerajaan bercorak Islam pada awal abad ke-18 M. (Abdullah: 2006).
33
Mulai secara tegas beralih menjadi kerajaan bercorak Islam pada masa pemerintahan Sultan
Nata Muhammad Syamsuddin (memerintah 1672-1737 M). Dua raja Sintang sebelumnya
sebenarnya telah menganut Islam, yaitu Pangeran Agung Abang Pincin dan Pangeran Tunggal.
Namun Islam belum benar-benar eksis baik di tengah rakyat maupun di lingkungan istana
(Sjamsuddin, 2008: 39-40).
134

karena pada 1841 James Brooke seorang petualang Inggris menjadi penguasa di

Serawak. Karena terjadi perebutan wilayah maka Pemerintah Belanda mulai

memperluas kekuasaannya baik secara teritorial maupun administratif. Ekspedisi

dilakukan oleh Letnan II D. van Kessel menjelajahi pedalaman Kalimantan dari

arah Pontianak, kemudian diikuti oleh ekspedisi yang dilakukan Dr. CM

Schwaner menjelajahi dari arah Timur. Dalam melakukan ekspedisi ke Pontianak,

Pemerintah Belanda juga berperan sebagai wasit atas sengketa antara orang-orang

China dan suku Dayak yang disebabkan oleh perampasan kampung-kampung

orang Dayak, tambang emas dan intan (Supriyadi, dkk. 1999: 2).

Afdeling Pontianak atau Borneo Westerafdeling terbagi atas 26 negeri,

yaitu Pontianak, Mempawah, Landak, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Sipau,

Blitang, Sintang, Silat, Suhait, Salembau [Selimbau], Piasa, Jungkung

[Jongkong], Bunut, Malo [Embaloh], Sibau, Taman, Madai, Kayan, Melawai,

Matan, Simpang, Sukadana, dan Kubu. Sejak 1819 Afdeling Pontianak dipimpin

oleh Sultan Syarif Usman bin Sultan Abdurrahman Alkadri. Hubungan antara

Sultan dengan pemerintah Belanda ditetapkan pada perjanjian-perjanjian 16

Agustus 1819, 16 Desember 1822, dan 14 Oktober 1823 (Supriadi, dkk. 1999: 2-

3).

Menurut Ricklefs (2001:179) pada 1820-an dan 1830-an pihak Belanda

telah menandatangani perjanjian-perjanjian dengan Pontianak, Mempawah,

Sambas, dan negeri-negeri kecil di pesisir barat [Borneo] lainnya. Akan tetapi,

kegiatan yang dilakukan Belanda di sana sangat sedikit. Pada 1834, misalnya,

seluruh garnisun Belanda di Mempawah terdiri dari seorang perwira yang


135

berkebangsaan Indonesia dan empat orang polisi. Di beberapa daerah, setelah

ditandatanganinya perjanjian-perjanjian tahun 1830-an, Belanda tidak mempunyai

hubungan lebih lanjut sampai 1840-an.

Kepentingan kerajaan Belanda di Kalimantan tiba-tiba dibangkitkan

karena adanya intervensi seorang Inggris yang bernama James Brooke (1803-

1868) di Sarawak. Brooke menggunakan harta warisannya yang tidak begitu besar

untuk membeli sebuah kapal yang dipersenjatai, dan pada 1839 dia berlayar ke

Singapura dan kemudian ke Serawak dalam rangka bertualang. Dia melakukan

campur tangan dalam suatu perang saudara di sana dengan mendukung seorang

pangeran Brunei, dan pada 1841 (setelah mengalami kesulitan dengan pangeran

tersebut) dia diberi hadiah berupa pengangkatannya sebagai gubernur daerah

Kucing, yang menjadi Divisi Pertama kerajaan pribadi Brooke yang luar biasa.

Kekuasaan teritorial James Brooke dan dua orang penggantinya, yaitu tiga ‘raja

putih’ dari Sarawak, yang semakin luas mengakibatkan rasa malu di London dan

kecemasan di kalangan orang-orang Belanda. Sikap lesu Belanda tiba-tiba

berubah menjadi suatu kebijakan perluasan wilayah kerajaan yang lebih aktif,

khususnya untuk membendung ekspansi kerajaan Brooke. Pada 1840-an dan

1850-an Belanda melakukan campur tangan di beberapa wilayah, memadamkan

sengketa-sengketa dalam negeri, dan mengatur hubungan dengan perjanjian-

perjanjian baru. Di Borneo Westerafdeling sikap baru Belanda tersebut

menimbulkan perlawanan hebat, termasuk perlawanan dari kongsi-kongsi Cina

yang menguasai pertambangan dan perdagangan emas di daerah Pontianak

[Mempawah?]-Sambas (Ricklefs, 2001: 179).


136

Kerajaan Landak menurut Rachman, dkk (1970: 39) mengalami intervensi

Belanda sejak 1700. Saat itu terjadi perang antara Kerajaan Landak melawan

kerajaan Sukadana. Dalam peperangan tersebut, kerajaan Landak dibantu oleh

Belanda dan kerajaan Sukadana akhirnya kalah. Belanda kemudian melindungi

dan bersahabat dengan kerajaan Landak. Namun pada abad ke-19 raja-raja Landak

merasa dirugikan oleh Belanda. Mereka kemudian melakukan pemberontakan

terhadap Belanda. Pada 1831, Ratu Adi melakukan pemberontakan. Berikutnya

pada 1890, Gusti Kandut juga memberontak. Terakhir pada 1899 Gusti Abdurrani

yang dibantu oleh Panglima Bida, Panglima Daud, Panglima Anggu dan Ya’

Bujang mengadakan pemberontakan terhadap Belanda. Namun karena pemerintah

Hindia Belanda sedang kuat karena provit dari tanam paksa, semua

pemberontakan tersebut dapat dipatahkan.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, Kerajaan Tanjungpura, Sukadana,

dan Matan sebenarnya memiliki pertalian sejarah yang berkesinambungan. Pada

1786, terjadi perang antara Kesultanan Pontianak dengan Kerajaan Sukadana.

Dalam peperangan ini, kerajaan Sukadana kalah dan peran perdagangannya

dilumpuhkan dengan ditutupnya pelabuhan dagang Sukadana. Aktivitas

perdagangan di Borneo Westerafdeling selanjutnya diambil alih oleh kesultanan

Pontianak dengan pelabuhan dagangnya di Pontianak. Oleh Sultan Achmad

Kamaluddin, pusat pemerintahan di Sukadana dipindahkan ke Matan kemudian ke

Ulu di Laya, Sungai Kayong. Dan di tempat baru ini dibangun kerajaan baru

bernama Tanjungpura (Rachman, dkk, 1970: 37). Dengan demikian, kerajaan


137

Tanjungpura yang baru ini dapat dibedakan dari kerajaan Tanjungpura yang

pernah ada sebelumnya (yang disebutkan dalam Nagarakrtagama).

Di masa kepemimpinan Sultan Jamaluddin sebagai pengganti Sultan

Achmad Kamaluddin, kerajaan Tanjungpura untuk pertama kalinya melakukan

perlawanan terhadap intervensi asing yang akan menghancurkan Tanjungpura.

Pada 1822, Belanda dengan berbagai alasan menuntut Pulau Karimata agar

diberikan kepada mereka. Penyerangan Belanda terhadap Tanjungpura yang

diikuti oleh Raja Akil, cucu Sultan Siak, berusaha menurunkan Sultan Jamaluddin

dari tahtanya. Karena kalah dalam peperangan, akhirnya Sultan Jamaluddin

mungundurkan diri ke hulu. Belanda kemudian menobatkan Raja Akil sebagai

raja di Nieuwe Brusel, nama baru bagi Sukadana (Rachman, dkk, 1970: 37).

Dengan demikian, sejak saat itu Belanda telah menanamkan kekuasaannya di

tanah Kayong (sebutan bagi Sukadana) dan menjadikan sultan sebagai pegawai

mereka yang diberi gaji. Dengan demikian maka kekuasaan politik sultan telah

hilang dan diambil alih oleh Belanda.

Di belahan utara Borneo Westerafdeling terdapat kerajaan Sambas.34 Sejak

1 Oktober 1609 kerajaan ini telah melakukan kontrak dagang dengan VOC.

Naskah kontrak VOC ini menurut Arsip Nasional merupakan yang tertua.35

Perjanjian tersebut berisi kesediaan Ratu Sepudak untuk menjual emas dan hasil

hutan Sambas hanya kepada VOC. Namun kontrak ini hanya dalam bidang

perdagangan dan baru pada 1817 pemerintah Hindia Belanda duduk dan berkuasa

di Sambas secara politis. Setelah menjalin kontrak dengan VOC, Sambas juga
34
Akan dibahas secara khusus pada bagian 2.4.
35
Arsip kontrak ini tersimpan di ANRI pada kelompok Arsip Borneo Westerafdeling (K.34) nomor
247, dan transkripsinya nomor 248.
138

menjalin kontak dengan orang-orang dari Cina.36 Karena Sambas kaya dengan

tambang emas, maka pihak kerajaan berupaya mendatangkan tenaga kerja

pertambangan emas dari Cina. Kehadiran orang-orang Cina sebagai tenaga kerja

tambang emas terjadi pada masa pemerintahan Sultan Umar Akamuddin

(berkuasa 1762-1786) yaitu sekitar tahun 1772. (Salim, dkk. 2011: 159-160, 47).37

Mengikuti perkembangan internasional mengenai daerah jajahan antara

Inggris dan Belanda, maka kekuasaan Inggris atas Hindia Belanda kembali

diserahkan pada pihak Belanda melalui Gubernur Jenderal van der Capellen pada l

1 Agustus 1816. Atas dasar kebijakan tersebut, maka pada 1819 diadakan

perjanjian kontrak dagang antara Belanda dengan Sultan Muhammad Ali

Syafiuddin. Sebagai realisasinya, Belanda membangun loji di tepi sungai Teberau,

berseberangan dengan istana kerajaan Sambas. Dalam perkembangan selanjutnya,

sultan yang akan menduduki jabatannya selalu harus ditetapkan melalui besluit

Gubernement. Hal yang sama juga berlaku dalam pengangkatan putra mahkota

(Rachman, dkk, 1970: 44-45). Dengan kebijakan ini dapat dikatakan bahwa secara

politik kerajaan Sambas telah takluk di bawah pengaruh kekuasaan Hindia

Belanda.

Masuknya Belanda ke beberapa kerajaan di Borneo Westerafdeling

memang berkaitan langsung dengan kepentingan ekonomi. Penguasaan kerajaan

Landak dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menguasai wilayah yang

merupakan penghasil intan. Sementara penguasaan kerajaan Sambas dan

36
Eksistensi orang-orang Cina atau Tionghoa di daerah Sambas ini secara lengkap dapat dibaca
dalam: Mary Somer Heihues. 2008. Penambang Emas, Petani dan Pedagang di “Distrik
Tionghoa” Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil.
37
Bagaimana akibat kehadiran orang-orang Cina di Sambas akan dijelaskan pada bagian tersendiri
saat membicarakan kerajaan Sambas nanti.
139

Mempawah karena kedua wilayah ini adalah penghasil emas.38 Karena

penambangan emas telah dikuasai oleh kongsi-kongsi Cina, maka seperti telah

disebutkan di atas, terjadi perang antara Belanda melawan kongsi-kongsi Cina.

Kepentingan ekonomi juga menjadi alasan utama penguasaan Belanda terhadap

kerajaan atau kesultanan termuda tetapi sangat cepat perkembangannya yaitu

kesultanan Pontianak. Kesultanan yang didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman

pada 1771 ini dalam waktu singkat dapat memperluas wilayahnya dengan

melakukan penyerangan ke kerajaan Sanggau. Perluasan wilayah ke kerajaan

Sanggau terjadi pada 1777 dan 1778 dengan dibantu oleh Yam Tuan Muda Raja

Haji dari Riau yang juga membawa pasukan (Abdillah, 2010: 231).

Di di saat VOC masih berkuasa di Hindia Belanda, tepatnya pada 5 Juli

1779 Sultan Pontianak mengadakan perjanjian dengan VOC dengan tujuan untuk

mengatur dan mempertahankan negeri ini secara bersama-sama.39 Selanjutnya

oleh Sultan Pontianak kepada mereka diberi tempat di seberang selatan Sungai

Kapuas untuk membangun perkantoran dan pemukiman. Berawal dari sini,

mulailah Belanda menanamkan kekuasaannya di kesultanan Pontianak

(Nurcahyani, 1999: 35). Karena telah ada perjanjian tersebut, maka pada 1786

Sultan Pontianak dibantu tentara VOC menyerang kerajaan Sukadana. Akibat

serangan ini, sultan Sukadana Achmad Kamaluddin lari mengungsi ke Matan

(Rachman, dkk, 1970: 49). Selanjutnya pada 1787, Sultan Syarif Abdurrahman

38
Laporan kondisi dan potensi pertambangan emas di Sambas dan sekitarnya dapat dilihat dalam
buku yang disusun oleh London: The Sambas Ecploration Company (1890). Gold in Borneo.
39
Perjanjian atau kontrak dengan VOC tersebut sebenarnya dikecam oleh kerabat kesultanan.
Sultan Kasim bereaksi dengan meninggalkan keraton dan membuka perkampungan baru yang
dikenal dengan Kampung Luar. Sementara itu Syarif Abdullah dan para pengikutnya yang
terdiri dari orang Bugis dan Melayu mengungsi ke Loloan (Bali) untuk menyatu dengan
masyarakat Bugis di sana (Nurcahyani, 1999: 30).
140

yang dibantu pasukan Belanda (VOC) menyerang kerajaan Mempawah yang

diperintah oleh Panembahan Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya.

Menurut Abdullah (2006) penyerangan itu sebenarnya adalah keinginan pihak

Belanda yang ingin menangkap Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Ke-

V buronan VOC, namun sang buronan dilindungi oleh Gusti Jamiril. Raja Haji

sendiri adalah saudara sepupu Gusti Jamiril.

Sejak perjanjian dengan VOC pada 1779 hingga 1814 Belanda terus

mengembangkan kekuasaan ekonomi dan politiknya di Kesultanan Pontianak.

Pada saat Kesultanan Pontianak dipimpin oleh Sultan Syarif Kasim, muncul tiga

persoalan besar, yaitu masalah bajak laut, pemberontakan Sambas dan Cina.40

Untuk mengatasi problem ini Sultan Syarif Kasim meminta bantuan Inggris pada

1814. Tetapi Komisaris Jenderal mengambil alih pemerintahan atas dasar Treaty

London, maka perhatian terhadap luar Jawa termasuk Borneo Westerafdeling

mulai diaktifkan. Delegasi pemerintah Belanda datang ke Pontianak untuk

memaksa Sultan Syarif Kasim menandatangani kontrak perjanjian yang sangat

merugikan Kesultanan Pontianak. Dalam kontrak baru tersebut, Sultan diharuskan

menyerahkan wilayah Tayan dan Matan pada 1822. Setelah memaksa kesultanan

Pontianak menandatangani kontrak yang sangat merugikan tersebut, Belanda

kemudian menyerang kerajaan Matan (kelanjutan dari kerajaan Sukadana yang

sempat dikalahkan oleh Sultan Syarif Abdurrahman). Dengan bantuan dari Raja

Akil (cucu Sultan Siak) Belanda dengan mudah mengalahkan kerajaan Matan

40
Sebenarnya kongsi-kongsi Cina awalnya berada di wilayah Kerajaan Mempawah. Namun sejak
1787 Kerajaan Mempawah berada di bawah kendali Kesultanan Pontianak. Kerajaan Sambas
saat itu juga bertikai dengan Kerajaan Mempawah karena masalah batas wilayah. Masalah
sebenarnya adalah perebutan wilayah yang kaya dengan tambang emas.
141

yang memang sudah lemah sejak diserang oleh Sultan Syarif Abdurrahman

(Rachman, dkk, 1970: 49-50).

Untuk memperlemah kekuasaan politik raja-raja lokal, maka pemerintah

Hindia Belanda menjadikan para raja atau sultan sebagai ambtenaar (pegawai

pemerintah Hindia Belanda) yang digaji. Kebijakan yang dibuat oleh Deandels ini

juga diterapkan kepada Sultan Syarif Usman (memerintah 1819-1855). Kebijakan

berikutnya adalah membuat kontrak baru yang semakin merugikan pihak

kesultanan Pontianak. Kontrak yang mungkin dibuat pada 1819 tersebut antara

lain berisi: Pemerintah Belanda bersama-sama Sultan memerintah Kesultanan

Pontianak, dan penghasilan negara dibagi dua dengan pemerintah kolonial

Belanda. Kemudian Sultan menerima sejumlah uang sebagai gaji dari pemerintah

Belanda (Rachman, dkk, 1970: 50).

Pada masa pemerintahan sultan Pontianak berikutnya, Sultan Syarif Hamid

I (1855-1872) dipaksa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menandatangani

lagi perjanjian yang baru. Isi perjanjian tersebut berisi antara lain Sultan Syarif

Hamid I menerima gaji sebesar f.50.400,- (setahun) dan kekuasaan peradilan dan

kepolisian di dalam lingkungan kesultanan diserahkan kepada pemerintah kolonial

Belanda. Sultan pengganti Syarif Hamid I adalah Sultan Syarif Yusuf (1872-

1895) tidak dapat berbuat banyak untuk melepaskan diri dari belenggu Belanda.

Bahkan sultan hanya berfungsi untuk mengumpulkan pajak dari rakyat yang

selanjutnya harus diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda.

Cengkraman kekuasaan Hindia Belanda di Kesultanan Pontianak semakin

kuat pada masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad (1895-1944).


142

Berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada 23 Juni 1911 dan direalisasikan

berdasarkan Besluit Gubernur No. 44 tanggal 8 Januari 1912 jo. No. 23 tanggal 26

Maret 1912 disebutkan:

1) Pemerintah kolonial Hindia Belanda ikut aktif menentukan personil pegawai

kerajaan.

2) Berlakunya hukum perdata dan pidana di dalam wilayah Kesultanan Pontianak

(yang berarti hukum Islam dihapuskan dari Kesultanan Pontianak yang sejak

awal telah berlaku).

3) Seluruh staf kerajaan mendapat gaji dari pemerintah kolonial Hindia Belanda

(Rachman, dkk, 1970: 51).

Demikianlah kondisi Kesultanan Pontianak hingga berakhirnya

pemerintahan Hindia Belanda pada 1942 tidak dapat berbuat banyak untuk

memulihkan wibawa politik di negeri sendiri.

Menanggapi berbagai kontrak yang dilakukan antara penguasa lokal

(Sultan atau Panembahan) dengan kolonial Belanda (VOC dan Pemerintah Hindia

Belanda), terdapat sebuah tulisan menarik dari Pakoe Negara yang dimuat dalam

surat kabar Borneo Barat sebagai berikut:

Sulthan Sambas jg pertama sekali memboeat Contract kepada Oost Ind.


Compagny dalam th. 1609, jg oejoednja memberi hak monopoli
perdagangan kepada Compagny, terutama monopoli Intan yang terdapat
didalam keradjaan Sambas. Dalam th. 1818 sesoedah keradjaan Belanda
mendapat kembali djadjahannja dari keradjaan Inggris, diperboeat lagi
contract baroe kepada Sulthan Sambas, jg oejoednja mengakoe ta’loek
kepada Gouvernement Belanda serta dengan ini terdjadi poela contract
dengan Sulthan Pontianak pada 12 Jan. 1819. Melihat taktik pemerintah
Belanda moelai dari zaman poerba kala hingga sampai sekarang, tidak
sadja pihak pemerintah mendjaga asal-oesoel ketoeroenan Radja2 jg
mempoenjai Keradjaan2 di Borneo dapat silih berganti dgn tidak
meroesakkan adat istiadat jg bahri, dgn mengingat kemadjoean dan
143

kepentingan Negeri, inilah sebabnja tiap2 seorang Radja [Zelfbestuur]


dilantik baroe sekalipoen mendjadi wakil, Contract moesti diperboeat, agar
kesetiaannja bertambah kepada pemerintah. Dalam penjelidikan kita
tentangan Radja2 (Zelfbestuurs) di Borneo Barat ini kedati keradjaannja
ketjil sekalipoen, pemerintah mendjaga soepaja adat istiadat keradjaan itoe
nanti djangan hilang dibelakang hari, inilah maka Contract perloe
diperboeat dan soepaja adat kebesaran negeri tidak roesak hilang (Borneo
Barat, 24 Desember 1940).

Pakoe Negara menyatakan bahwa kontrak-kontrak yang dibuat antara penguasa

lokal dengan kolonial Belanda sebenarnya memiliki tujuan positif untuk menjaga

agar adat istiadat dan tradisi yang telah tumbuh berkembang di masyarakat tetap

terjaga. Hal ini mungkin didasarkan pada pemikiran jika para penguasa lokal

menolak menandatangani kontrak maka akan terjadi pertentangan dan peperangan

yang secara nyata akan berdampak hancurnya segala hal yang telah dibangun oleh

para penguasa lokal, tak terkecuali adat istiadat dan tradisi. Berbagai pengalaman

di daerah lain menunjukkan bahwa peperangan atau penentangan terhadap

kolonial Belanda bedampak negatif dengan hancurnya adat dan tradisi

masyarakat. Analisis Pakoe Negara dapat diterima dalam konteks kondisi

kerajaan-kerajaan yang ada di Kalimantan Barat. Agak berbeda dengan kondisi di

wilayah Jawa, kehadiran kolonial Belanda tidak terlalu berdampak pada

kehidupan masyarakat banyak, terutama di bidang ekonomi. Kolonial Belanda

lebih banyak mengincar sumber-sumber tambang seperti emas dan intan yang

banyak terdapat di wilayah Kalimantan Barat, khususnya di Kerajaan Sambas dan

Mempawah. Sementara hasil-hasil pertanian dan perkebunan di wilayah ini tidak

dapat diharapkan sebagaimana di Jawa dan wilayah timur Indonesia. Masyarakat

masih menggantungkan hidupnya pada hasil hutan dan hasil laut yang tidak begitu

menjadi incaran kolonial Belanda. Tambang-tambang emas dan intan yang ada di
144

Kalimantan Barat dapat dikatakan berada di bawah kewenangan para Sultan atau

Panembahan. Oleh karena itu, kontrak-kontrak yang ditandatangani lebih banyak

merugikan para Sultan atau Panembahan dan keluarganya dan tidak terlalu

berdampak langsung pada kehidupan masyarakat banyak.

2.3.2 Islam dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat

Dari aspek agama dan kepercayaan, masyarakat Kalimantan Barat

menganut berbagai agama dan kepercayaan. Pada awalnya masyarakat Dayak

memiliki kepercayaan (agama) asli, yang oleh sebagian kalangan disebut dengan

agama Kaharingan. Di samping itu, terdapat beberapa bukti bahwa agama Hindu

juga sempat memberikan pengaruh pada sebagian kecil masyarakat Kalbar.

Pengaruh Hindu ini berasal dari kerajaan-kerajaan Majapahit pada masa

pemerintahan Hayam Wuruk di pulau Jawa. Saat itu kerajaan Tanjungpura dan

Sambas masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit (Muljono, 1965: 40). 41

Belakangan datang agama Islam yang dibawa oleh para mubaligh dan pedagang

(nusantara dan mancanegera) muslim. Dalam perkembangannya, Islam menjadi

agama resmi beberapa kerajaan / kesultanan. Kesultanan Pontianak yang didirikan

41
Menurut cerita rakyat, pengaruh kebudayaan Hindu masuk ke Kalbar, khususnya di Kerajaan
Tanjungpura dimulai pada masa pemerintahan raja Brawijaya dari Jawa Timur. Salah seorang
putera Brawijaya menikah dengan puteri Junjung Buih dari Kerajaan Tanjungpura. Dalam
versi Sejarah Melayu kisah ke-14 diceritakan perkawinan antara Wi Kusuma puteri Majapahit
dengan Ki Mas Jiwa putra raja Tanjungpura. Perkawinan berlangsung di istana Majapahit oleh
Patih Gajah Mada. Setelah kawin ia bernama Jayaningrat (Mujono, 1965: 52). Keturunan
mereka kemudian ada yang mendirikan kerajaan Tayan dan Meliau. Sampai sekarang di bekas
kerajaan Tanjungpura terdapat gambar wayang, cerita wayang, dan kesenian wayang. Bahkan
di Meliau ada keris yang dinamai keris Majapahit. Di hulu sungai Kapuas dan anak –anak
sungai Kapuas seperti Belitang, Nangan Mahap, di dekat muara Sekayam terdapat peninggalan
berupa patung dan batu bertulis. Peninggalan Hindu juga terdapat di Sintang seperti batu
Kundur (Lingga) lambang pemujaan agama Syiwa di samping keraton Sintang, Phallus atau
lingga di Kampung Tanjung Ria Sungai Tebelian, dan Patung Kempat (Gusar) atau patung
Ciwa di Kampung Pari Empahan di Pinggir Sungai Sepauk. (Ahok, dkk, 1980: 10; Lontaan,
1975: 180, 192).
145

oleh Syarif Abdurrahman Alkadri, seorang anak dari ulama terkenal Sayid Habib

Husein Alkadri,42 sejak awal dikenal sebagai kerajaan Islam. Ketika beberapa

kerajaan mendatangkan orang-orang Cina untuk dipekerjakan di bidang

pertambangan, mereka juga membawa kepercayaan atau agama asli mereka, Kong

Hu Cu. Berikutnya kehadiran penjajah Portugis dan Belanda juga membawa serta

agama Kristen-Katolik ke wilayah Kalbar. Kedua agama ini awalnya dianut oleh

orang-orang Tionghoa, namun selanjutnya juga dianut oleh orang-orang Dayak

(Abdillah, 2010).

Sebelum pengaruh Hindu-Budha masuk, di Kalimantan Barat sebagaimana

daerah lain di Indonesia telah mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme

dan menghormati nenek moyang. Hal ini terbukti sampai sekarang di derah atau

kampung yang belum beragama, adat mereka yang dinamakan ponto’ atau pantak,

yaitu patung dari nenek moyang yang terbuat dari kayu yang tiap tahun mereka

hormati dan diberi makan. Bukti lainnya adalah adanya tradisi ngayau atau

mengayau (memotong kepala musuh yang dapat mendatangkan kesaktian) (Ahok,

1980/1981: 8-9), tariyu (memanggil roh nenek moyang, khususnya pada saat

perang antar kelompok). Namun saat sekarang dua tradisi terakhir tersebut sudah

mulai hilang, khususnya ketika mereka telah mengenal agama.

Tentang pengaruh Hinduisme masuk ke Kalbar belum dapat ditentukan

kapan masuknya, karena belum ada penelitian historis-arkeologis yang memadai.

Pengaruh Hinduisme diperkirakan masuk dari pulau Jawa ketika kerajaan-

42
Menarik untuk diperhatikan bahwa Syarif Abdurrahman lahir dari ayah (Sayid Hahib Husein
Alkadri) seorang ulama keturunan Arab dan ibu (Nyai Tua) yang merupakan keturunan Dayak
yang masuk Islam. Syarif Abdurrhaman kemudian merperisteri Utin Candramidi puteri dari
pasangan Opu Daeng Menambun (berasal dari Luwuk Sulawesi Selatan) dan Puteri Kesumba
(anak Sultan Muhammad Zainuddin dari Matan) (Lihat Rahman, dkk., 2000: 24, 46).
146

kerajaan Hindu berkuasa di pulau Jawa dan kekuasaannya sampai ke Kalbar. Di

dalam kakawin Nagarakrtagama khususnya pada pupuh 14/3 ada disebutkan

nama-nama Sambas, Malano dan Tanjungpuri bersama-sama dengan penyebutan

daerah lain yang berada dalam kekuasaan Majapahit (Muljono, 1965: 49). Dari

bukti ini dapat dinyatakan bahwa pengaruh Hinduisme masuk dari dan pada masa

kekuasaan Majapahit. Namun menurut cerita rakyat, di bekas kerajaan

Tanjungpura, pengaruh Hiduisme sudah masuk pada masa pemerintahan raja

Brawijaya dari Jawa Timur. Dalam cerita tersebut disebutkan bahwa putera raja

Brawijaya kawin dengan puteri dari kerajaan Tanjungpura yang bernama Putri

Junjung Buih (Lontaan, 1975: 75-81). Bukti-bukti fisik tentang pengaruh

Hinduisme antara lain: ditemukannya lingga di Nanga Belang, Sintang, Nanga

Sepauk; patung Ciwa dari perunggu di Sepauk, Sintang (Ahok, 1980/1981: 14-

15).

Krom (Collins, 2003: viii) menafsirkan bahwa teks Sanskerta yang

ditemukan pada Batu Pahat di hulu Sekadau, dipahat dalam aksara Pallawa awal

yang sudah wujud antara tahun 600 M dan 700 M. Temuan ini sejajar dengan

berbagai artefak dari India seperti patung Budha, alat ritual Budhis dan

sebagainya yang diperkirakan dibuat antara tahun 400-700 M yang ditemukan di

sungai Sambas. Bahkan pada zaman kegemilangan Sriwijaya, Kalimantan bagian

barat merupakan tempat persinggahan yang disukai oleh para pedagang yang

melakukan perjalanan jauh dari India ke negeri Cina. Sementara di Sanggau

ditemukan batu bertulis dalam bahasa Sanskerta yang bermakna ”Senkala tahun

110. Hidup. Mati. Suwarga” (Amir Hasan, 1953:3)


147

Berdasarkan sebuah manuskrip yang ditulis pada 1242 H (sekitar 1827 M)

oleh Pangeran Ratu Idris, Sintang awalnya merupakan kerajaan Hindu. Baru pada

masa pemerintahan Pangeran Agung Abang Pincin sebelum Islam masuk dengan

dibawa oleh Muhammad Saman dari Banjarmasin dan Encik Shamad dari

Sarawak (Sjamsuddin, 2002).

Berkaitan dengan masuknya Islam ke Kalbar, tidak dapat diketahui secara

pasti, karena masuknya tidak dilakukan oleh badan khusus yang bertujuan untuk

menyebarkan Islam. Pola seperti ini juga terjadi di wilayah lain di Nusantara.

Daerah yang pertama kali mendapat pengaruh Islam menurut Rachman, dkk.

(1970: 35) adalah daerah pesisir barat Kalimantan Barat yang membujur dari

Selatan ke Utara meliputi daerah-daerah Ketapang, Sukadana, Matan, Mempawah

dan Sambas. Baru dalam perkembangan berikutnya menyusuri sungai Kapuas,

sungai Landak dan masuk terus ke pedalaman, tetapi hanya sampai daerah-daerah

sepanjang sungai saja. Pembawa Islam ke Kalbar adalah para pedagang dari

Sumatera Selatan (Palembang) dan Jawa dan juga orang asing. Namun orang

asing dari mana tidak ada penjelasan. Adapun mengenai waktu kedatangan Islam

ia lebih lanjut menjelaskan kira-kira pada 1550 M dan pembawanya berprofesi

sebagai pedagang. Penerima pertama agama Islam adalah rakyat biasa, sedangkan

raja pertama yang memeluk Islam adalah Panembahan Giri Kusuma yang naik

menjadi Panembahan menggantikan ayahnya Panembahan Barukh (w. 1590 M)

dengan menggunakan gelar dan nama Islam, Sultan Muhammad Syafiuddin.

Mengenai proses masuknya Islam dijelaskan oleh Syahzaman dan

Hasanuddin (2003: 30) melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi


148

berhubungan dengan agama Islam, kemudian menganutnya. Kedua, orang asing

(Arab, India, Cina, dll.) yang telah memeluk agama Islam bertempat tinggal

secara permanen di suatu wilayah, kemudian melakukan perkawinan campuran

dan mengikuti pola hidup lokal sedemikian rupa, sehingga mereka itu sudah

menjadi suku yang lain.

Proses masuknya agama Islam ke Kalbar diawali dengan melalui aliran

sungai Sambas, kemudian menyebar ke Singkawang, Mempawah dan Pontianak,

dengan menyusuri sungai Kapuas. Selanjutnya penyebaran dilakukan melalui

sungai Landak masuk ke daerah Tayan, Sintang dan Nanga Pinoh. Dari daerah

Sintang menyusuri sungai Kapuas sampai ke daerah Putussibau. Penyebaran ini

berlangsung sekitar tahun 1550-1800 M (Syahzaman dan Hasanuddin, 2003: 30).

Syafruddin Usman MHD, dkk (1996: 3). menyebutkan bahwa Islam mulai

menyebar di Kalbar diperkirakan sekitar abad XVI Miladiyah. Penyebaran Islam

tersebut terjadi ketika kerajaan Sukadana atau lebih dikenal dengan nama kerajaan

Tanjungpura dengan panembahannya Barukh, mulai merubah sikap hidup. Pada

masa pemerintahan Barukh itu, di Sukadana agama Islam mulai diterima

masyarakat. Dalam penuturan Lontaan (1975: 83), panembahan Barukh ditulis

dengan “Dibarokh” memangku jabatan sejak 1538-1550 M. Lebih lanjut Lontaan

menyatakan baru pada masa Giri Kusuma (yang memerintah setelah Dibarokh)

Islam datang ke Sukadana dibawa oleh seorang bernama Syeck Husin. Dan mulai

waktu itulah Kerajaan Tanjungpura mengenal agama Islam. Kedua pendapat di

atas ternyata tidak sesuai dengan hasil penelitian Lisyawati Nurcahyani (2000: 22.

lihat juga: Umberan, dkk, 1994 :15) yang menyatakan Islam sudah masuk ke
149

kerajaan Tanjungpura pada sekitar abad ke-13 M. Pendapat Nurcahyani

didasarkan pada bukti sejarah berupa makam yang oleh masyarakat setempat

diberi nama makam keramat tujuh dan keramat sembilan yang bertuliskan huruf

Arab dan berbahasa Alquran, dan diperkirakan dari abad ke-13 M. Sayangnya

tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang makam tersebut. Jika apa yang

dinyatakan oleh Nurcahyani benar, berarti Islam masuk ke pulau Kalimantan

paling awal adalah di Kalbar, tepatnya di kerajaan Tanjungpura. Karena itu perlu

adanya kajian arkeologis dan epigrafis guna meneliti kebenaran pernyataan

Nurcahyani tersebut.

Berdasarakan tulisan-tulisan sejarah yang ada di Ketapang, awal mula

kedatangan Islam ke Tanjungpura dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab.

Pada masa pemerintahan Raja Burjaya, telah datang seorang berbangsa Arab

Quraisy yang namanya belum diketahui, mengajarkan seluk beluk agama Islam

kepada raja Burjaya, yang pada akhirnya memeluk agama Islam dengan gelar

Sultan Burjaya. Sultan Burjaya memeluk agama Islam dengan diikuti oleh dua

orang saudaranya yaitu Karang Tanjung dan Karang Nata. Karang Tanjung

selanjutnya mengembangkan kerajaan Tanjungpura sedangkan Karang Nata

mendirikan perkampungan di daerah Sukadana (Nurcahyani, 2000: 22-23).

Berdasarkan silsilah yang diungkapkan oleh Umberan dkk. (1994: 16-17),

maka pendapat yang menyatakan bahwa Islam memang sudah lama hadir di

kerajaan Tanjungpura (sebagaimana diungkapkann di atas, diperkirakan pada abad

ke-13 M) lebih mendekatati kebenaran. Panembahan Barukh atau Dibarokh

(memerintah 1538-1550 M) sebagaimana disebutkan oleh Usman dan Lontaan


150

merupakan keturunan kelima dari Raja Burjaya.

Daerah lain yang diperkirakan menerima pengaruh Islam pada masa lebih

awal adalah kerajaan Landak. Sebagaimana dikatakan oleh Usman (2000: 11), di

bawah pemerintahan Raja Adipati Karang Tanjung Tua (Raden Iswaramahayana)

yang memerintah pada 1472-1542 M, agama Islam berkembang dengan pesatnya

di wilayah kerajaan Landak. Raja Landak sendiri beserta rakyatnya memeluk

agama Islam. Dan raja sendiri kemudian berganti nama menjadi Raden Abulkahar.

Sampai saat ini makam Raden Abdulkahar masih ada, namun belum ada

penelitian yang lebih mendalam tentang nisan makam tersebut.

Daerah pesisir lainnya yaitu pesisir utara Kalbar di mana terdapat kerajaan

Sambas yang, menurut Rahman dkk. (2001: 15), pada awalnya beragama Hindu.

Pada 1570 M kerajaan Sambas di Kota Lama berada di bawah kerajaan Johor.

Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, maka kerajaan Johor telah menganut

agama Islam. Dan sejak saat itu pula agama Islam mulai dianut oleh orang-orang

di kesultanan Sambas. Penjelasa lebih lengkap tentang Islam di Sambas dapat

dilihat pada bagian tersendiri di bawah.

Paparan di atas memperlihatkan bahwa dari daerah-daerah yang menerima

pengaruh Islam pada awalnya adalah daerah pesisir Kalbar. Dapat ditarik suatu

garis penyebaran Islam di derah pesisir tersebut adalah bermula dari daerah pesisir

selatan Kalbar, yaitu di kerajaan Tanjungpura / Matan. Kemudian daerah

berikutnya adalah daerah agak ke tengah, melalui aliran sungai Landak, yaitu

memasuki kerajaan Landak. Setelah itu ke pesisir bagian utara, yaitu di kerajaan

Sambas, kemudian kembali lagi ke daerah pertengahan, yaitu Kerajaan


151

Mempawah, Pontianak baru mulai menyebar ke pedalaman sungai Kapuas, seperti

Meliau, Sanggau, Sekadau, Sintang dan Kapuas Hulu. Untuk daerah pedalaman

sungai Kapuas, ada juga yang menyatakan penyebaran Islam melalui Kalimantan

Utara, yaitu dari kerajaan Brunei melalui Serawak. Untuk daerah-daerah

pedalaman sungai Kapuas, dan beberapa anak sungainya, Islam baru berkembang

sekitar abad ke-19 dan ke-20.

Dengan melihat jalur penyebaran Islam tersebut, maka penyebaran Islam

ke daerah pedalaman Kalbar melalui jalur sungai mengalami waktu yang cukup

lama. Sementara di daerah pesisir relatif lebih cepat. Hal ini antara lain

disebabkan selain karena kendala alam Kalbar yang berupa hutan dan rawa-rawa,

juga karena sikap orang-orang yang hidup di daerah pesisir lebih bersikap terbuka,

jika dibandingkan dengan sikap orang-orang di pedalaman. Dilihat dari kelompok

etnis penerima agama Islam, maka penerima awal Islam adalah suku bangsa

Melayu, Bugis, Banjar dan lain-lain yang berasal dari Sumatera, Jawa dan

semenanjung Malaya. Faktor berikutnya mengapa orang-orang di pesisir lebih

mudah menerima Islam adalah adanya kesamaan budaya antara penyebar Islam

dengan mereka. Faktor pendorong terjadinya konversi ke Islam atau penerimaan

atas agama Islam pada masyarakat pesisir ini memiliki perbedaan dengan

masyarakat di pedalaman atau masyarakat Dayak, sebagaimana akan dijelaskan di

bawah.

Dalam perkembangan berikutnya, orang-orang yang beragama Islam

secara keseluruhan disebut sebagai Melayu, sehingga ada kesan bahwa Melayu

identik dengan Islam. Sedangkan orang-orang pedalaman yang belum memeluk


152

Islam sering disebut dengan Daya / Dayak. Dengan identifikasi demikian

menimbulkan suatu penafsiran baru atas dua kelompok masyarakat Kalbar

tersebut. Apakah sebutan Melayu dan Dayak merupakan term yang menunjuk

pada etis / suku bangsa ataukah suatu budaya? Apakah identifikasi demikian

dikonstruk dan muncul dari masyarakat sendiri atau dari pihak lain. Hal ini akan

dibahas dalam bagian berikut.

Istilah Dayak sampai sekarang masih belum dapat dipastikan secara jelas

dari mana dan apa makna yang sebenarnya. 43 Banyak literatur memperkirakan

kata Dayak merupakan perkembangan dari kata “Daya” yang dalam bahasa dari

beberapa anak suku Dayak itu sendiri mengandung makna bermacam-macam,

namun tidak memiliki pertentangan (hampir sama maknanya) seperti dalam

bahasa Heban (Kaltim) Daya berarti “manusia”. Makna lain yang berasal dari

anak suku lainnya seperti Dusun, Murut, Ngaju, Kenyah dan sebagainya Daya

berarti: hulu sungai, pedalaman, darat (Ibrahim: 1996: 204). Kata Daya dalam

bahasa anak suku Benayat/Kendayan juga berarti: dalam, hulu, darat. Ini dapat

dibuktikan dari kalimat: Ampus kamai kita? (Pergi ke mana kita?) Ampus kadaya!

(Pergi ke dalam!) ( Ali AS., 1996: 197). Hal ini didasarkan pada pemilahan letak

arah bagi kalangan Dayak berdasarkan aliran sungai, yaitu bagian hulu disebut

darat atau pedalaman, sedangkan bagian ke arah muara sungai disebut hilir atau

laut. Jadi di kalangan masyarakat Dayak hanya mengenal dua arah: laut dan darat

43
Tentang proses perubahan istilah Dayak dengan beberapa variasinya Daya, Daya’ dan Dya serta
implikasi dari istilah tersebut dapat dilihat dalam: F. Alkap Pasti, Dayak Islam di Kalimantan
Barat, dalam Budi Susanto, Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius,
2003), hal. 113-116.
153

yang berarti hilir dan hulu sungai atau pesisir dan pedalaman. 44 Sehingga

penduduk yang bermukim di pesisir menyebut orang yang bermukim di

pedalaman sebagai orang “darat”, sebaliknya penduduk yang bermukim di

pedalaman menyebut penduduk yang bermukim di pesisir sebagai orang “laut”.

Sesuai dengan makna di atas, setidak-tidaknya dapat dinyatakan bahwa

nama umum Daya sesungguhnya tidak mengandung pengertian etnis atau suku

bangsa secara antropologis yang satu dan sama. Kalangan masyarakat Dayak

sendiri pada awalnya tidak akrab dengan sebutan tersebut. Bahkan di Kalbar

mereka lebih cenderung mengidentifikasikan diri mereka sesuai dengan nama

kampung atau sungai, seperti: “kami orang Kantu”, “kami orang Kayan”, kami

orang Sejiram” dan sebagainya.

Istilah Dayak mempunyai konotasi merendahkan sehingga ada yang lebih

suka menamakan Daya (Coomans, 1987; Ali, 1996).45 Terutama di masa silam,

Dayak diasosiasikan dengan keterbelakangan, kebiasaan mengayau, animisme,

kadang juga Katolik atau Protestan (bukan Islam), hidup di pedalaman, di tengah

hutan belantara hulu-hulu sungai, membangun komunitas rumah panjang,

berikhtiar hidup dengan cara berladang dan nomad, bertelinga panjang dan

bertato, percaya pada magis, bergantung pada pengobatan tradisional. Kadang

kala digambarkan sebagai orang kampung, bertelanjnag dada dan bercawat.

Gambaran tersebut misalnya dilakukan oleh Dobby, King, Sellato. Menurut

Hanapi Dollah gambaran seperti itu merupakan sebagian dari naratif kolonial,

44
Bandingkan misalnya penduduk di Jawa dalam menunjuk arah menggunakan empat arah mata
angin: barat, timur, utara, selatan.
45
Penggunaan istilah Daya juga digunakan untuk nama awal dari Universitas Tanjungpura yang
pada saat berdirinya pada tahun 1959 bernama Universitas Daya Nasional.
154

untuk membuat kesan Dayak lebih eksotik (Singarimbun: 1996: 258-259;

Yusriadi, 2005: 2). Selanjutnya pada masa Orde Baru, menurut Pasti (2003: 113),

pemerintah sangat massif mereproduksi kekerasan verbal yang menyangkut

keberadaan suku Dayak dengan menyebut kelompok ini sebagai kaum perambah

hutan, peladang berpindah, atau masyarakat terasing. Stigma tersebut diciptakan

untuk memperkokoh dominasi sosial dan eksploitasi terhadap sumber daya alam

oleh pemerintah.

Stereotype atau stigma Dayak seperti itu dahulu menjadikan orang-orang

Dayak sendiri tidak suka, sehingga mereka enggan menggunakan penyebutan diri

mereka sebagai Dayak. Seperti disebutkan di atas, mereka lebih cenderung

menyebut kelompok mereka dengan nama-nama kampung atau nama-nama

sungai di mana mereka bermukim. Hal ini menyebabkan ketika mereka berpindah

agama ke agama Islam, mereka kemudian menyebut dirinya dan disebut sebagai

“orang melayu”. Pemilihan identitas menjadi orang melayu tersebut secara sosial

dapat meningkatkan status sosial. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam berjaya di

berbagai wilayah di Kalbar, posisi demikian dapat dimengerti. Karena dengan

menyatakan diri sebagai Melayu, mereka akan relatif lebih mudah diterima di

bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam, yang adalah Melayu. 46 Proses ini

kemudian menimbulkan akibat berikutnya, yaitu identifikasi Melayu dengan

46
Dalam pandangan F. Alkap Pasti, dengan mengutip pendapat Stefanus Djuweng dan G.P.
Djaong, strereotype yang sifatnya merendahkan terhadap Dayak merupakan hasil kerjasama
antara pemerintah Kolonial Belanda dengan pemerintah feodal (kesultanan Melayu?). Lihat: F.
Alkap Pasti, op.cit. hal. 112-113. Tentang hal ini penulis kurang sependapat. Jika menelusuri
sejarahnya, sejak awal berdirinya, kerajaan/kesultanan Melayu di Kalbar telah melakukan
kerjasama dengan penduduk setempat (Dayak), yang lebih dahulu menetap di wilayah kerajaan
itu berdiri. Bahkan tidak sedikit para keluarga kerajaan yang menikah dengan orang-orang
Dayak.
155

orang Islam dan Dayak dengan orang-orang non-Islam (animis, kepercayaan

tradisional/kaharingan, Kristen, Katolik).

Selanjutnya siapa yang disebut Melayu pun di Kalbar dengan gambaran di

atas menimbulkan spesifikasi tersendiri. Karena yang disebut Melayu tidak lagi

yang benar-benar berasal dari suku bangsa Melayu, tetapi siapa saja yang

beragama Islam disebut dengan Melayu. Dalam pengamatan penulis sendiri,

orang-orang yang orang tuanya tidak berasal dari satu suku bangsa (misalnya:

bapak Bugis dan ibu Banjar) maka mereka menyebut dirinya sebagai Melayu.

Melayu di Kalbar adalah Melayu yang “khas”, yang berbeda dengan Melayu di

Kepulauan Riau, Sumatera, dan Malaysia.47 Tentang hal ini, Ibrahim (1996:206)

menyatakan bahwa istilah Melayu di Kalbar lebih bermakna sosio-religius vis a

vis Dayak. Sementara istilah Melayu di daerah lain lebih bermakna antropoligis

sebagai satu kelompok etnis atau suku bangsa.

2.3.3 Ulama-ulama

Kajian sejarah terhadap para ulama yang ada di Kalimantan Barat belum

banyak dilakukan. Catatan-catatan tentang para ulama yang ada saat ini sebagian

besar menyangkut para ulama yang dapat dikategorikan sebagai ulama pejabat di

beberapa kerajaan seperti di Sambas, Pontianak dan Mempawah. Di kerajaan

Mempawah misalnya tercatat nama Syaikh Habib Husein Alkadri sebagai mufti

47
Kostitusi Malaysia mendefinisikan Melayu sebagai: “ Setiap orang yang yang lahir di dalam
Federasi (atau Singapura) sebelum kemerdekaan (atau keturunan orang-orang seperti itu), yang
memeluk keyakinan Islam, biasa berbahasa Melayu, dan melaksanakan kebudayaan Melayu”.
Lihat: Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas Perspektif Politik Melayu, (Jakarta: LP3ES, 1995),
hal. 12.
156

pertama (dengan gelar Tuan Besar Mempawah) yang memiliki anak Syarif

Abdurrahman Alkadri pendiri Kerajaan Pontianak.48 Setelah itu hadir pula Syaikh

Ali bin Faqih al-Fatani sebagai mufti kedua Mempawah (dengan gelar Maharaja

Imam Mempawah), pengganti Habib Husein. Kedua tokoh ini tidak akan dibahas

di dalam bagian ini, karena masa hidupnya jauh sebelum lahirnya Basioeni Imran.

Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa ulama yang hidup sezaman

dengan Basioeni Imran. Uraian mengenai beberapa ulama dan / atau Mufti di

beberapa Kerajaan di Kalimantan Barat berikut ini dikutip dari tulisan-tulisan

Wan Mohd. Shaghir Abdullah di berbagai sumber daring serta sumber lain yang

menunjang.

2.3.3.1 Haji Muhammad Yasin Kedah

Menurut muridnya, Haji Abdur Razak, Haji Muhammad Yasin yang

dipanggil Tok Haji Mat Yasin adalah salah seorang khalifah dan mursyid Tarekat

Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN). Yasin belajar di Mekah kepada Syaikh Nik

Mat Kecik Fatani. Kepergian Yasin ke Mempawah juga karena perintah dari

gurunya tersebut. Kerajaan Pontianak, Mempawah dan Sambas telah lama

memiliki hubungan dengan para ulama Semenanjung Melayu dan Patani, terutama

mereka yang melaksanakan ibadah haji dan belajar di Mekkah. Mulai dari masa

Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani hingga Syaikh Nik Mat Kecik al-Fatani.

Sultan atau Panembahan Mempawah setiap tahun mengirim surat, barang-barang

48
Pada saat Syarif Abdur Rahman al-Qadrie mendirikan kota atau Kerajaan Pontianak pada 1771
M., Maharaja Imam Syaikh Ali bin Faqih al-Fathani diajak pindah ke Pontianak. Di Pontianak
ia tinggal di Kampung Bugis yang berdekatan dengan Keraton Kadriyah. Dengan demikian,
Syaikh Ali bin Faqih al-Fathani berkhidmat pada dua kerajaan sekaligus, yaitu Mempawah dan
Pontianak (Abdullah, 2007).
157

dan uang kepada para ulama Patani di Mekah, termasuk kepada Syaikh Nik Mat

Kecik al-Fatani. Karena hal tersebut, Nik Mat Kecik mengirim muridnya

Muhammad Yasin ke Mempawah untuk berdakwah (Abdullah, 2006-d).

Pada awalnya Yasin ditampung oleh Sultan Pontianak yang memerintah

ketika itu yaitu Sultan Syarif Yusuf bin Syarif Abdul Hamid Alkadri (1873-

1895). Sultan meminta Yasin mengajar di istana dan masyarakat Pontianak.

Permintaan itu disetujuinya, namun mengajar di Pontianak tersebut hanya

beberapa bulan, kerana pada pandangannya mengajar dengan cara menerima gaji

adalah mencerminkan kurang tawakalnya terhadap Allah. Oleh karena itu, Yasin

kemudian memohon ijin untuk mengembara ke utara, yaitu ke Mempawah atau

Sambas. Yasin memutuskan untuk membangun lembaga pendidikan di muara

sungai Mempawah, yaitu di kampung Kuala Secapah. Ia diterima baik oleh

masyarakat dan saat itu raja atau panembahan kerajaan Mempawah adalah Gusti

Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Shafiuddin (1872-1887). Yasin

membangun rumah besar sebagai tempat memberikan pengajaran dan melatih

kesenian hadrah, salah satu kesenian yang dikuasainya. Yasin juga mengajarkan

berbagai lagu Barzanji, Nazham dan Burdah, serta zikir-zikir tarekat Qadiriyah

Nasqsyabandiyah. Yasin juga mengajarkan Shalawat Dalailul Khairat, Shalawat

Quraniyah dan Shalawat Seratus Empat Puluh Sembilan yang terdapat di dalam

Lum’atul Aurad karya Syaikh Wan Ali Kutan al-Kalantani. Rumah tempatnya

mengajar selanjutnya menjadi pondok pengajian mengikuti sistem pendidikan di

Pathani (Abdullah,.2006-d).
158

2.3.3.2 Abdur Rahman al-Kalantani

Nama lengkapnya adalah Tuan Guru Haji Abdur Rahman bin Husein al-

Kalantani. Tahun kelahirannya tidak diketahui. Beliau meninggal dunia pada

tahun 1391 H. / 1971 M. dalam usia lebih 80 tahun. Makamnya terletak di

Kampung Pulau Pedalaman, Mempawah. Abdur Rahman adalah murid peringkat

awal Tok Kenali. Di antara murid Tok Kenali yang menjadi ulama besar terkenal

dan sama-sama belajar dengan Abdur Rahman, bahkan tinggal sepondok, ialah

Syeikh Idris al-Marbawi, penyusun Kamus al-Marbawi, tokoh Maal Hijrah

peringkat kebangsaan Malaysia pertama. Selanjutnya setelah memperoleh ilmu

yang sangat banyak di pondok pengajian Tok Kenali, Abdur Rahman melanjutkan

pelajarannya ke Mekah. Beliau tinggal di Mekah selama belasan tahun. Di Mekah

Abdur Rahman belajar antara lain kepada Syeikh Mukhtar bin `Atharid Bogor.

Setelah belajar di Mekah, Abdur Rahman sempat pulang ke Kelantan namun tidak

lama. Ia kemudian pergi ke Singapura dan selanjutnya berlayar ke Sambas. Di

Sambas ia bertemu dan bermalam di rumah Basioeni Imran. Atas saran Basioeni

Imran, Abdur Rahman menikah dengan seorang perempuan dari Kampung

Semperiuk, Jawai dan diberi tugas mengajar di sana (Abdullah, 2006-e).

Setelah beberapa lama di Sambas, beliau diminta pula oleh Pangeran

Muhammad Taufiq Aqamuddin, Penembahan Mempawah untuk pindah ke

Mempawah mengajar di Istana Amantubillah Mempawah dan sekaligus mengajar

di masjid-masjid dan surau-surau dalam pemerintahan Mempawah. Sebelum

tawaran itu diterima, terlebih dahulu Abdur Rahman mengadakan perundingan

dan persetujuan Basioeni Imran. Semua yang dijanjikan oleh Pangeran


159

Muhammad Taufiq Aqamuddin kepada Abdur Rahman dipenuhi. Pangeran

Muhammad Taufiq membagi dua jalur penyebaran Islam dalam Kerajaan

Mempawah: sebelah utara ditugaskan kepada Abdur Rahman Kelantan dan

sebelah selatan kepada Tuan Guru Haji Abdul Qadir bin Ahmad yang berasal dari

Banjar. Kedua ulama tersebut paling terkenal di Kerajaan Mempawah sebelum

perang dunia kedua. Selain sebagai Mufti, mengajar kerabat istana, mengajar di

masjid-masjid dan surau-surau, Abdur Rahman juga mendirikan pondok pengajian

menurut sistem pondok Patani dan Kelantan yang diberi nama Darul `Ulum

(Abdullah, 2006-e).

Karya yang sempat dihasilkannya hanya sebuah, iaitu Qawaninul Mubtadi

fil Fiqh yang diselesaikan pada 22 Zulhijjah 1353 H. / 27 April 1935 M.

Kandungannya membicarakan tentang fikih dalam bentuk tanya jawab. Kitab

tersebut dicetak oleh Mathba'ah al-Masawi, Empat Belas Ulu Palembang. Abdur

Rahman Kelantan menikah dua kali dengan perempuan dari Kampung Semperiuk,

Sambas dan perempuan Mempawah. Dari istrinya di Mempawah ia memperoleh

anak bernama Abdul Malik (pernah menjabat sebagai Kakanwil Depag Provinsi

Kalimantan Barat). Di antara murid Abdur Rahman ialah Ustadz Haji Zainal

Arifin bin Ahmad (pernah menjabat Ketua Majelis Ulama Daerah Kabupaten

Pontianak di Mempawah) dan Haji Bujang Rasni (pimpinan Pondok Pesantren

Usuluddin di Singkawang) (Abdullah,2006-e).


160

2.3.3.3 Haji Ismail Mundu

Haji Ismail bin Haji Abdul Karim (Daeng Talengka) bin Haji Utsman

(Daeng Pagalak). Haji Ismail ini selanjutnya lebih dikenal sebagai Haji Ismail

Mundu, Mufti Kerajaan Kubu. Haji Ismail Mundu lahir 1287 H. / 1870 M. dan

wafat 15 Jumadil Akhir 1376 H. / 16 Januari 1957 M. Di antara muridnya yang

terkenal adalah Haji Ibrahim Bugis dan Haji Ahmad Tatapantas, keduanya tinggal

di Pontianak. Pendidikan awalnya diperoleh dari Haji Muhammad Ali (pamannya

sendiri), Haji Abdullah Ibnu Salam (Haji Abdullah Billawa). Setelah belajar dari

kedua oran tersebut, Ismail Mundu dikirim oleh ayahnya ke Mekah untuk belajar

kepada Sayyid Abdullah Azzawawi mufti Mekah. Gurunya yang lain di Mekah

adalah Tuan Guru Umar Sumbawa (Basioeni Imran juga belajar kepadanya) dan

Makabro alias Puang Lompo (Ulama Bugis). Salah seorang sahabatnya saat

belajar di Mekah adalah Tok Kenali. Sejak pulang dari Mekah, pada 1907 M.

(1326 H.) Ismail Mundu diangkat sebagai mufti di Kerajaan Kubu, dan menetap

di Teluk Pakedai yang masih masuk wilayah kerajaan Kubu. Pada 1356 H. / 1937

M. Ismail Mundu berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji yang ketiga

kalinya. Ia kemudian mulai mengajar di Masjidil Haram bagian Shafah dengan

nama perkumpulan Jami’ut Thanasuh. Setelah mendapat berita dari Sultan Hamid

II, Sultan Pontianak yang menunaikan Haji bahwa masyarakat Kubu sangat

merindukannya, akhirnya Ismail Mundu pulang ke Teluk Pakedai pada 1367 H. /

1948 M. (Riyadhi, 2011).

Di kalangan masyarakat Kubu Raya dan Pontianak, terutama di kalangan

masyarakat Bugis hingga sekarang nama Haji Ismail Mundu masih sangat
161

dikenal. Hal ini disebabkan ia adalah seorang ulama yang kuat mengerjakan

amalan-amalan bercorak sembahyang sunat, zikir, selawat dan berbagai wirid

lainnya. Ada beberapa karya ditulis oleh Mufti Haji Ismail Mundu, yaitu:

1) Kumpulan Wirid, diselesaikan pada 1 Muharam 1349 H. Kandungannya

membicarakan wirid untuk keselamatan dunia dan akhirat. Wirid keselamatan

yang dibangsakan kepada duniawi adalah untuk penjagaan diri dari berbagai

bentuk dan corak permusuhan sesama makhluk Allah. Selain itu ia juga

membantu kelancaran rezeki dalam urusan penghidupan. Walau bagaimana

buruk kondisi ekonomi, seseorang yang dibekalkan dengan wirid-wirid tertentu

tiada akan berasa takut untuk berhadapan dengannya.

2) Kitab Mukhtashar ‘Aqaid, diselesaikan di Teluk Pak Kedai, hari Jumaat, 18

Rajab 1351 H. Kandungannya merupakan pelajaran ilmu akidah untuk hafalan

anak-anak. Dicetak oleh Annashar & Co, Pontianak.

3) Jadwal Hukmin Nikah atau Jadwal Nikah Soal-Jawab, diselesaikan hari Selasa,

15 Muharam 1355 H. Ini keterangan yang dicetak oleh Kantor Tulis dan Toko

Kitab as-Saiyid Ali Al-‘Aidrus, Kramat No. 38 Batavia Centrum. Tetapi pada

mukadimah cetakan Mathba’ah al-Islamiyah, Singapura, Mufti Haji Ismail

Mundu menulis, “Maka tatkala adalah tahun seribu tiga ratus lima puluh tujuh

daripada hijrah Nabi... (1357 H. / 1938 M.) bergeraklah hati saya dan

cenderunglah fikiran saya bahawa hendak memungut akan beberapa masalah

soal jawab pada bicara hukum nikah...”. Risalah ini diberi kata pendahuluan

oleh Muhammad Ahmad az-Zawawi, testimoni oleh Mufti Kerajaan Johor

Alwi bin Thahir bin Abdullah al-Haddad al-Alawi dan kata pujian oleh Ketua
162

Kadi-Kadi Singapura, ‘Abbas bin Muhammad Thaha, Pejabat Qadhil Qudhah,

Singapura. Kandungannya disebut oleh Muhammad Ahmad az-Zawawi pada

kata pendahuluannya bahawa “diterbitkan kitab ini supaya menjadi pedoman

bagi sesiapa yang hendak mengetahui hukum-hukum agama dalam perkara

nikah, talak, rujuk, fasakh, iddah, dan lain-lain. Sekira-kira memberi faham dan

faedah soal jawab dan jadual yang tersusun dengan peraturan yang mudah

dengan tuturan bahasa Melayu, supaya diketahui dengan tiada guru buat dibaca

oleh penuntut penuntut ilmu dan yang sudah kawin. Dan juga bagi mereka

yang akan kawin laki-laki dan perempuan. Dan kitab ini telah ditashhihkan dan

diakui oleh Mufti Kerajaan Johor dan pujian oleh Ketua Kadi-kadi Singapura

(Abdullah, 2006-b).

2.3.3.4 Haji Ismail bin Abdul Majid al-Kalantani

Nama lengkapnya ialah Ismail bin Haji Abdul Majid bin Haji Abdul Qadir

al-Kalantani. Lahir di Kampung Labok, Machang, Kelantan pada 1876 (1882) dan

wafat pada 1946 (1951).49 Pendidikan dasar diperoleh oleh Ismail di Kelantan. Ia

kemudian berangkat ke Mekah untuk belajar lebih lanjut. Di Mekah, Ismail

sempat mengikuti majlis pengajian Syeikh Ahmad al-Fathani, baik di rumah

maupun di Masjid al-Haram. Ada yang meriwayatkan bahwa Ismail Kelantan

pulang ke Kelantan sesudah haji pada 1325 H. / 1908 M., yaitu tahun wafatnya

49
Mengenai tahun lahir dan wafatnya masih perlu dikaji kembali. Pendapat awal menyebut
bahawa Ismail Kelantan lahir pada tahun 1293 H. / 1876 M.. Ismail Che' Daud menjelaskan
bahawa ulama tersebut lahir pada awal tahun 1300 H. / 1882 M. Demikian tentang wafatnya
bahawa pendapat awal menyebut tahun 1365 H. / 1946 M. Ismail Che' Daud menyebut
kemungkinan pada tahun 1370 H. / 1951 M. atau terkemudian lag i.
163

Syeikh Ahmad al-Fathani.50 Riwayat lain menyebut bahwa setelah Syeikh Ahmad

al-Fathani meninggal dunia, Ismail Kelantan meneruskan pengajiannya kepada

beberapa orang ulama besar Mekah, di antaranya Saiyid Abdullah al-Zawawi51,

Syaikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi dan beberapa lainnya.

Syeikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah at-Tarmasi berasal dari Termas (Jawa)

adalah seorang ulama besar Mazhab Syafi’i dan ahli dalam ilmu hadis (Abdullah,

2006-c).

Hubungan mesra antara Ismail Kelantan dengan Saiyid Abdullah al-

Zawawi telah terjalin sejak beliau belajar di Mekah, yang ketika itu Saiyid

Abdullah al-Zawawi adalah seorang Mufti Mazhab Syafi’i di Mekah. Ketika

pergolakan Wahhabi di Mekah, beberapa orang ulama tidak aman tinggal di sana,

termasuklah Saiyid Abdullah al-Zawawi. Haji Ismail Kelantan mengikut gurunya

Saiyid Abdullah al-Zawawi hijrah dari Mekah ke Riau dan selanjutnya ke

Pontianak. Pada saat Saiyid Abdullah al-Zawawi menjadi Mufti kerajaan

Pontianak, Ismail Kelantan terus bersama gurunya itu, belajar berbagai bidang

ilmu tiada henti-hentinya walau pun ilmu yang dikuasainya cukup banyak dan

memadai. Riwayat lain menyebut bahawa Ismail Kelantan pulang ke Kelantan

lebih awal (1325 H. / 1908 M.), dan selanjutnya pergi ke Kemboja.

Ismail Kelantan tidak sempat menamatkan ilmu falak yang dipelajarinya

dari Syeikh Ahmad al-Fathani. Oleh karena itu setelah Syeikh Ahmad al-Fathani

meninggal dunia, beliau meneruskan pendidikan khusus tentang ilmu falak dari

Syeikh Muhammad Nur bin Muhammad bin Ismail al-Fatani. Ketika mempelajari

50
Syeikh Ahmad al-Fathani wafat pada 11 Zulhijjah 1325 / 18 Januari 1908.
51
Al-Zawawi lahir 1266 H. / 1850 M.; wafat 1343 H. / 1924 M.
164

ilmu falak dari Syeikh Muhammad Nur al-Fatani, beliau bersama Syeikh Haji Abu

Bakar bin Haji Hasan Muar. Murid-murid Ismail al-Kalantani antara lain Ustadz

Syaikh Haji Abdul Rani Mahmud, seorang ulama terkemuka di kota Pontianak

dan pernah menjabat sebagai Ketua Majlis Ulama Kalimantan Barat). Mengenai

ketokohan Ismail Kelantan dalam ilmu falak dapat dibuktikan dalam karyanya

Pedoman Kesempurnaan Manusia. Menurut cerita Ustaz Abdur Rani Mahmud,

bahawa Ismail Kelantan adalah orang pertama yang menyebarluaskan ilmu falak

di Pontianak, khususnya atau Kalimantan Barat umumnya (Abdullah, 2006-c).

Di Pontianak, Ismail Kelantan mendapat perlindungan dari Syaikh

Muhamad Yasin, seorang ulama besar yang berasal dari Kedah tetapi sayang

beliau tidak lama di rumah Syaikh Yasin karena Syeikh Muhamad Yasin

meninggal dunia. Ismail Kelantan selanjutnya tinggal menumpang di rumah Nik

Wan, seorang ulama Tasawuf yang berasal dari Patani. Karena pengetahuan

agamanya yang mendalam, Ismail Abdul Majid atau Ismail Kelantan disambut di

mana-mana ia mengajar baik di Pontianak maupun di Sambas. Ismail Kelantan

diambil menjadi menantu oleh seorang hartawan Bugis di kampung Sungai Itik

Darat. Dari perkawinan tersebut ia meperoleh tiga orang anak perempuan. Sambil

mengajar ia mengubah khutbah Jumaat ke dalam bahasa Melayu yang selama ini

dilakukan dalam bahasa Arab. Kebijakannya ini mendapat reaksi dari masyarakat

setempat kemudian diadukan kepada Sultan Pontianak Syarif Muhamad bin Syarif

Yusuf Alkadri. Ismail Kelantan dapat mempertahankan alasan-alasannya akan

keharusan berkhutbah dalam bahasa Melayu bahkan kemudian ia dilantik menjadi

Mufti Kerajaan Pontianak (Ahmadi, 2007).


165

Berdasarkan sepucuk surat Ismail Kelantan kepada Syarif Muhammad bin

Syarif Yusuf Alkadri, Sultan Pontianak, tertanggal 28 Februari 1924, diketahui

bahwa mula-mula ia dilantik sebagai Naib Hakim di Rad Agama Pontianak mulai

12 Agustus 1920. Pada saat ia menulis surat tersebut, kedudukannya adalah

sebagai Mufti di Kerajaan Pontianak. Pada sekitar 1937 Ismail pulang ke

Kelantan. Di Kota Baru, Kelantan, ia menjadi guru di Jami’ Merbau, sebuah

lembaga pendidikan tinggi kala itu. Selain mengajar di Jami' Merbau, Ismail

Kelantan juga menjadi guru dan imam di Istana Sultan Kelantan.

Sewaktu Ismail Kelantan menjadi Mufti Pontianak, ada tiga orang ulama

yang bernama Ismail. Dua orang lagi ialah Ismail bin Abdul Lathif (lebih dikenali

dengan Ismail Jabal) dan Ismail bin Abdul Karim (lebih dikenali sebagai Ismail

Mundu). Ismail bin Abdul Lathif adalah Adviseur atau Penasihat Rad Agama

Kerajaan Pontianak. Ismail bin Abdul Karim adalah Mufti Kerajaan Kubu, sebuah

kerajaan kecil di bawah naungan Kerajaan Pontianak, sebagaimana telah

dijelaskan di atas.

Ada beberapa karya tulis Ismail al-Kalantani, yaitu:

a. Fatwa Daripada as-Saiyid Abdullah Ibnu Almarhum as-Saiyid Muhammad

Shalih az-Zawawi Jawab Soal Dari Tanah Jawa, diselesaikan pada 25 Syawal

1330 Hijrah. Isinya mengenai ayat-ayat al-Quran dalam piringan hitam. Diberi

penjelasan makna dalam bahasa Melayu dari karya asalnya yang ditulis dalam

bahasa Arab, Rajab 1326 H. Dicetak dengan kehendak as-Saiyid Ja'far bin

Pangeran Syarif Abdur Rahman Alkadri Pontianak. Dicetak di Mathba' Haji


166

Muhammad Sa'id bin al-Marhum Haji Arsyad, Singapura, pada 25 Syawal

1330 H.

b. Risalah Pada Bicara Jum'at dan Sembahyang Zhuhur Mu'adah, tanpa

dinyatakan waktu selesai penulisan. Salinannya bertanggal 3 Rabiul Awal 1345

H. Manuskrip disalin oleh Khathib Peniti Kecil. Isinya membicarakan

perbedaan pendapat atau khilafiah mengenai sembahyang Jumaat dan

sembahyang zuhur mu'adah.

c. Pedoman Kemuliaan Manusia, berisi berbagai macam ilmu, termasuk

falakiyah. Cetakan yang pertama Mathba'ah al-Ma'arif, Kota Bharu, Kelantan.

2.3.4 Lembaga-lembaga Pendidikan Islam

Dalam catatan Tarmi (dalam Abuddin, 2001: 204) di Kalimantan Barat,

terdapat beberapa lembaga pendidikan Islam (madrasah) yang berdiri pada masa

Hindia Belanda, yaitu Madrasah Al-Najah wal Falah52 (1918 M) di Sungai Bakau

Besar Mempawah, Madrasah Al-Sulthaniyah di Sambas (1922 M), Madrasah Al-

Raudhatul [Islamiah] di Pontianak (1936 M), dan Madrasah Normal Islam (1928

M) oleh H. Abdul Rasyid, lulusan Al-Azhar Kairo Mesir. Selain yang disebutkan

oleh Tarmi, sebenarnya di Kota Pontianak sejak tahun 1926 telah berdiri

Perguruan Islamiyah yang didirikan oleh H. Arif H. Ismail dan dibantu oleh

masyarakat di Kampung Bangka (Pasifikus, dkk., 1981: 39). Dari catatan sejarah

di atas, di Kota Pontianak sejak awal abad ke-20 telah berdiri lembaga pendidikan

52
Namanya yang benar adalah Madrasah Dar al-Falah wa al-Najah yang didirikan oleh Syaikh
Haji Muhammad Yusuf al-Manshury.
167

Islam, yaitu Perguruan Islamiyah (tahun 1926) dan Madrasah Al-Raudhatul

Islamiah (tahun 1936) yang sekarang bernama Peguruan Bawari53.

Surat Kabar Sinar Borneo yang terbit pada 1926 memberikan informasi

berharga tentang lembaga pendidikan Islam di kerajaan Pontianak. Dalam

terbitannya pada 10 Mei 1926, Sinar Borneo menuliskan berita berjudul

“Keraimajan Madrasah Arab (Arabie School di Pontianak)” sebagai berikut:

Pada hari Djema’at 30 April 1926 djam 5 sore lebih koerang 80 moerid-
moerid sekolah arab berbaris-baris berarak-arak dengan muziek teroes
menghadap keroemah p. t. Resident Pontianak goena memberi selamat
pada p. t. Resident dan Selamat lahirnya Prinses Juliana, Poetri seri Ratoe
H. M. Koningin Nederland. Sesampainja diroemah p. t. Resident maka S.
Joesoep Kepala Sekolah Arab mengoetjapkan oepatjara Selamat dan
moerid-moeridpoen tidak ketinggalan menarik lagoe Wilhilimus, dengan
diiringi poela dengan muziek (Sinar Borneo. 10 Mei 1926).

Dalam berita di atas, diketahui bahwa pada 1926 di Pontianak telah berdiri

Madrasah Arab yang dipimpin oleh Syaikh Haji Muhammad Yusuf al-Manshury

dengan jumlah murid cukup ramai. Namun tidak ada penjelasan di mana letak

madrasah tersebut dan bagaimana sistem pendidikannya. Pimpinan madrasah

tersebut Syaikh Haji Muhammad Yusuf al-Manshuri adalah juga tokoh ulama

yang mendirikan Madrasah Dar al-Falah wa al-Najah pada 1918 di Sungai Bakau

Besar dalam wilayah kerajaan Mempawah (+ 55 km arah utara Pontianak).

Madrasah ini masih eksis hingga saat ini.

Selain itu Madrasah Arab di atas, pada 1928 di daerah Kampung Kapur

Pontianak juga telah berdiri Sekolah Arab atau sekolah agama dengan gurunya

Abdoel Moetalib. Sekolah ini juga sudah memiliki murid yang cukup banyak

53
Tentang sejarah Madrasah Al-Raudhatul Islamiah dapat dilihat dalam laporan penelitian Zulkifli,
Sejarah Perkembangan Bawari (Badan Wakaf al-Raulatul Islamiyah) (1936-2009) (2009).
168

yaitu sekitar 100 siswa (40 laki-laki dewasa yang belajar sore hari dan 60 anak

laki-laki yang belajar pagi hari):

Di kampoeng Kapoer district Pontianak, pada beberapa hari jang laloe


soedah didirikan seboeah roemah sekolah Arab dan Igama jang
dikoenjoengi oleh koerang lebih 100 peladjar. Jang mana 40 laki-laki besar
bersekolah pada sore hari dan 60 moerid laki-laki ketjil bersekolah pada
pagi hari.
Jang mendjadi goeroe dalam sekolah itoe ialah toean Abdulmeotalib
datang dari Betawi. Ini ada satoe langkah jang menoendjoekan
kemadjoean anak Borneo dalam onderwijs, moedah-moedahan kekallah
kiranja sekolah serta moerid-moerid itoe soepaja makin tahoen makin
banjak moerid-moeridnja dan boekan saja moerid lelaki tetapi ada poela
hendaknja moerid perempoean seperti sekolah Arab di Kota Pontianak
(Oetoesan Borneo, 29 Agustus 1928).

Di daerah pedalaman Kalimantan Barat, tepatnya di Nanga Pinoh

(Kabupaten Melawi sekarang) berdiri Perguruan Tarbiyah Islamiyah pada 1 Juli

1938 yang didirikan oleh seorang guru bernama Pakanoeddin (lulusan Tarbiyah

Islamiyah Djaho Padang Panjang), berasal dari Pariaman Sumatera Barat.

Pakanoeddin selanjutnya digantikan oleh Djalaloedin Hatim yang berasal dari

Pariaman juga. Awalnya proses belajar menumpang di gedung volksschool (atas

izin Mr. Schuilwerve, Controleur van Melawi). Dalam perkembangan selanjutnya

yaitu pada 10 Mei 1939 Tarbiyatul Islamiyah pindah ke gedung baru yang

didirikan di tepi tebing sungai Melawi di atas munggu yang tertinggi. Murid-

muridnya selain dari Nanga Pinoh juga dari Kotabaru, Serawai dan sebagainya.

Pada Agustus 1940 muridnya lebih kurang 80 orang. Dengan adanya sekolah

Tarbiyah Islamiyah maka masjid Besar (Djoem’at) Nanga Pinoh ikut menjadi

ramai (Borneo Barat, nomor 99 Selasa 27 Agustus 1940).


169

Di wilayah kerajaan Mempawah atas usaha Ahmad Abdoerrahman pada

20 Desember 1939 (7 Zulkaidah 1358 H) telah dibuka sekolah agama bernama

Madrasatoel Ibtidaijah bertempat di kampung Parit Benteng di rumah Ahmad

Abdoerrahman sendiri. Karena belum mempunyai rumah tempat belajar sendiri,

maka digunakan rumah Ahmad sebagai tempat belajar. Sekarang (20 Januari

1940) telah mempunyai murid 44 orang. Waktu belajar dibagi menjadi dua, pagi

dan siang. Madrasah tersebut dipimpin oleh Hoesin H. Mustafa dari Kampung

Kamboja Pontianak. Pada mulanya Ahmad mendapat ejekan dari orang-orang

yang tak setuju dengan pendirian madrasah, tetapi ia jalan terus. (Borneo Barat,

20 Januari 1940).

Di wilayah selatan Kalimantan Barat, tepatnya di kerajaan Sukadana,

menurut laporan surat kabar Borneo Barat telah berdiri sebuah perhimpunan atau

yayasan yang bergerak di bidang onderwijs (pendidikan), yaitu “Madrasah Diniah

Soekadana” (MDS). Pengurusnya adalah Wan Amat Hindoean (Ketua), Tengkoe

Moehammad (juru surat atau sekretaris) dan Wan Idroes (Bendahara). Usaha ini

juga didukung oleh bestuurs (pemerintah) Boemipoetra seperti yang Mulia

Panembahan dan Tuan Soelaiman Sitoempoel (Asisten Demang) (Borneo Barat,

Sabtu 10 Agustus 1940).

Di Pontianak pada 1 Desember 1940 dibuka secara resmi

“Moehammadijah School” (setara HIS) bertempat di rumah Perhimpunan

Muhammadiyah di Palmenlaan No. 118 dengan jumlah siswa awal 20 orang laki-

laki dan perempuan. Sebelum sekolah ini di buka, Perguruan Muhammadiyah

juga telah memiliki Madrasah Muhammadiyah yang berlokasi di Kampung Dalam


170

(dekat istana Kadriyah Pontianak). Hadir dalam peresmian itu antara lain

Voorzitter (Ketua) perhimpunan Muhammadiyah M. Rasad, Voorzitter Afdeeling

Perguruan Syarif Zain Almutahar, dan Ketua Cabang Perguruan Muhammadiyah

Pangeran Kusuma Yuda. Salah satu pelajaran yang ditekankan dalam sekolah

Muhammadiyah ini adalah adanya pelajaran Bahasa Belanda (Borneo Barat, 3

Desember 1940).

2.3 Kerajaan Sambas

2.3.1 Kerajaan Sambas Lama

Kerajaan Sambas merupakan salah satu dari kerajaan bercorak Islam yang

berjaya di bagian utara Kalimantan Barat sejak abad ke-17 M. Kerajaan ini masih

dapat dilihat peninggalannya di Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat

saat ini. Kerajaan Sambas yang bercorak Islam yang didirikan oleh Raden

Sulaiman sebenarnya merupakan pelanjut dari sebuah kerajaan yang bercorak

Hindu. Kerajaan tersebut dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan Sambas Lama54

atau biasa disebut dengan Kerajaan Hindu Ratu Sepudak. Namun informasi

tentang kerajaan bercorak Hindu tersebut hanya bersumber dari cerita-cerita

rakyat. Bahkan sebelum hadirnya Kerajaan Sambas Lama, dikatakan telah tumbuh

kerajaan yang didirikan oleh Dinasti Samsu Abasiyah, yang diduga nama Sambas

berasal dari kata Samsu Abasiyah yang lama kelamaan berubah dan disingkat

54
Nama Kerajaan Sambas Lama sebenarnya diberikan oleh peneliti. Penamaan kata Lama di
belakang nama Kerajaan Sambas bertujuan untuk membedakannya dengan Kerajaan Sambas
yang bercorak Islam. Selain itu kata Lama juga dikaitkan dengan ibu kota kerajaan yang berada
di Kota Lama. Tidak ditemukan bukti sejarah tentang nama Kerajaan ini sebenarnya. Penulis
lain menyebutnya sebagai Kerajaan Sambas Tua.
171

menjadi Sambas. Selanjutnya menurut cerita rakyat, setelah Dinasti Samsu

Abasiyah berdirilah kerajaan yang bercorak Hindu yang berasal dari ekspedisi

Gajah Mada ke Sambas. Dari kerajaan Hindu ini yang dapat diketahui hanya

dinasti terakhir yang memerintah, yaitu Ratu Sepudak (Nurcahyani, Purba,

Umberan, & Zuhdi, 1995: 11-12). Hal ini didukung oleh ditemukannya salah satu

situs sejarah yaitu situs makam Ratu Sepudak yang berada di Kota Lama

Kecamatan Galing saat ini (Sopyan, 2007: 5).

Gambar 2.1 Peta Posisi Kerajaan Sambas di Kalbar

KERAJAAN SAMBAS

Sumber: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1116305.
Diakses tanggal 28 Oktober 2017. Pukul 08.15 WIB
172

Penjelasan Musa (2010: 2) sedikit menguak eksistensi kerajaan bercorak

Hindu tersebut yang menurutnya pada abad ke-14 Sambas diperintah oleh Raden

Janur55 yang berpusat di Paloh. Eksistensi kerajaan ini setidaknya diketahui

sampai datangnya pasukan Majapahit pada 1350-1364, mendarat di Pantai

Sambas bernama ”Jawi” dan sekarang disebut Jawai, yang kemudian mengambil

alih kekuasaan Raden Janur. Sejak saat itu berdirilah kerajaan Hindu Sambas.

Oleh karena itu, negeri Sambas sejak abad ke-14 dikenal sebagai negeri koloni

Majapahit. Pendapat Musa ini sejalan dengan apa yang ditulis dalam kakawin

Negarakretagama. Dalam pupuh 13 kakawin Desawarnana atau yang lebih

dikenal dengan nama Negarakretagama karya Mpu Prapanca, disebutkan Sambas

merupakan salah satu negeri yang merupakan negara taklukan Majapahit:

Lwas lawan Samudra mwang i Lamuri Batan Lampung mwang i Barus


Yekadhingyang watek bhumi Malayu satanah kapwamateh anut len tekang
nusa Tanjungnagara ri Kapuhas lawan ri Katingan Sampit mwang Kuta
Lingga mwang i Kuta Waringin Sambas mwang i Lawai

(Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung, dan juga Barus
itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk Negara-negara
di Pulau Tanjungnegara; Kapuas-Katingan Sampit, Kota Lingga. Kota
Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut) (Muljono, 1965: 49).

Kakawin Negarakretagama selesai ditulis pada bulan Aswina 1287 Saka

55
Dalam versi yang lain menyebutkan hal yang sebaliknya. Yudithia Ratih (2009: 60) menyatakan
asal-usul berdirinya pemerintahan di Paloh bermula dari kedatangan orang-orang Majapahit di
bawah pimpinan Raden Janur pada sekitar tahun 1364 M. Setelah beberapa saat berinteraksi
dengan warga lokal, mereka mendirikan pemerintahan baru dengan Raden Janur sebagai
rajanya. Pemerintahan di Paloh mengalami pergeseran kepemimpinan karena raja yang
memimpin bukan keturunan Majapahit. Hal itu karena Raden Janur tidak memiliki keturunan
dan mengangkat anak bernama Tang Nunggal. Raja Tang Nunggal, yang dikenal sebagai sosok
yang kejam, menimbulkan kegelisahan dari Majapahit selaku kerajaan yang membawahi Paloh.
Oleh karena itu, sepeninggal Tang Nunggal, kendali pemerintahan di Paloh diambil alih oleh
Majapahit.
173

atau sekitar 1365 M. Dengan tercantumnya nama Sambas dalam kakawin

Negarakretagama sebagai negara taklukan Majapahit, dapat dinyatakan jika pada

1365 M saat Negarakretagama selesai ditulis Kerajaan Sambas telah berdiri.

Kekuasaan Majapahit terus berlanjut di bawah pemerintahan keturunan

Wikramawardhana yang menjadikan Paloh sebagai pangkalan pendaratan pasukan

Majapahit pada masa-masa berikutnya. Pada 1484 M Kerajaan Sambas Lama

diperintah oleh Raja Gipang. Selanjutnya diteruskan oleh Ratu Sepudak pada

1550 M (Musa, 2010: 3). Pada saat Ratu Sepudak memerintah, pusat kerajaan

dipindahkan dari daerah Paloh ke Kota Lama yang berada di wilayah Kecamatan

Teluk Keramat sekitar 36 km dari kota Sambas saat ini (Nurcahyani, Purba,

Umberan, & Zuhdi, 1995: 13). Dalam sumber lokal naskah manuskrip Asal Raja-

Raja Sambas56 disebutkan sebagai berikut:

Bab ini surat pada menyatakan silsilah asal daripada raja-raja Sambas.
Syahdan maka adalah pada masa itu bernegeri di Kota Lama’, maka adalah
rajanya bernama Ratu Sepuda’ beranak dua orang perempuan pertama-
tama yang tua bernama Mas Ayu Anom dan yang bungsu bernama Mas
Ayu Bungsu dan saudaranya pun anaknya dua orang laki-laki yang
seorang bernama Pangeran Prabu Kencana dan yang seorang bernama
Pangeran Mangkurat. Maka Pangeran Prabu Kencana itu dikawinkan
dengan Mas Ayu Anom kemudian dijadikan raja dan digelarnya Ratu
Anom, maka ialah yang memegang perintah memerintahkan negeri
Sambas. Adapun Pangeran Mangkurat menjadi Patih yang memerintahkan
di bawahnya Pangeran Ratu Anom itu. Maka adalah Ratu Anom itu
berputera dua orang laki-laki yang tua bernama Raden Bakut dan yang
seorang bernama Mas Buang. Maka telah beberapa lamanya Ratu
memerintahkan negeri maka Ratu Sepuda’ itu pun kembalilah ke
rahmatullahi ta’ala. Maka tinggallah Ratu Anom Kesukma Yudha

56
Naskah ini adalah koleksi Perpustakaan Nasional yang diidentifikasi dengan judul Asal Raja-
raja Sambas. Belum diketahui identitasnya, baik mengenai asal muasalnya, judulnya,
penulisnya, maupun waktu dan tempat penulisannya. Ada indikasi bahwa naskah ini diperoleh
oleh Perpustakaan Nasional dari Sambas. Ditulis menggunakan aksara Jawi (Arab-Melayu),
tanpa ilmuninasi, kolofon, dan tanpa penanggalan. Diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-18
atau awal abad ke-19 berdasarkan watermark pada alas naskah yang kertasnya diproduksi
sekitar tahun 1795.
174

bersama-sama dengan Pangeran Mangkurat memerintahkan pekerjaan di


dalam negeri.

Sejak 1570 M. Kerajaan Sambas Lama atau Kerajaan Ratu Sepudak tidak

lagi menjadi koloni Majapahit, melainkan menjadi daerah yang dikuasai oleh

Kerajaan Tumasik atau Johor di Semenanjung Malaka. Ketundukan tersebut

dibuktikan dengan memberikan upeti setiap tahun kepada Kerajaan Johor (Risa,

2016: 19). Tidak jauh berbeda dengan yang tertulis dalam naskah Asal Raja-raja

Sambas dalam sumber lokal lainnya, yaitu naskah Asal Usul Raja-raja Sambas57

Ratu Sepudak ditulis dengan “Ratu Sepuh” memiliki saudara bernama Timbung

Paseban. Ratu Sepudak berasal dari keturunan Bantara Majapahit yang masih

menganut agama Hindu. Beliau mempunyai dua orang putri, yang tertua bernama

Raden Mas Ayu Anom yang dikawinkan dengan keponakannya sendiri (anak dari

Timbung Paseban) bernama Pangeran Prabu Kencana. Putri yang kedua bernama

Raden Mas Ayu Bungsu (Asal Usul Raja-raja Sambas, 1324 H).

Pada saat Ratu Sepudak memerintah ini datanglah Raja Tengah 58 yang

merupakan keturunan raja Brunei ke Sambas setelah melalui pelayaran dari

Kerajaan Sukadana. Sumber lokal naskah Salsilah59 memberikan keterangan

sebagaik berikut:

57
Asal Usul Raja-raja Sambas adalah manuskrip yang naskah aslinya berbahasa Arab-Melayu
yang ditulis oleh Datuk Kiyai Raja Wangsa Menteri Kerajaan Sambas pada 27 Jumadil Akhir
1314. Naskah ini diserahkan kepada Panglima Muda Sultan van Sambas Haji Alwi Bakran
pada tahun 1924, diteruskan kepada anak beliau Datuk Panglima H. Djuhardi H. Alwi
kemudian disampaikan oleh cucu beliau Alwindo H. Djuhardi pada tanggal 21 Februari 2010 di
rumah beliau di Kampung Dagang Timur. Ditugaskan menyalinnya ke huruf Latin pada
Mohammad Sabirin AG. BA.
58
Sering juga disebut dengan Sultan Tengah. Ia adalah putra sultan Brunei ke-9, yaitu Sultan
Muhammad Hasan yang menurut Awang Moh. Jamil (1995: 25) memerintah tahun 1582-1598.
59
Naskah Salsilah atau biasa dibaca Salasilah atau Salasalah adalah naskah beraksara Jawi
berbahasa Melayu yang “disurat” oleh Sri Paduka Sultan Mohamad Tsafioedin II, pada malam
Jumat 14 Ramadhan 1321 bersamaan 4 Desember 1903 (keterangan pada halaman pertama
175

…tiada berapa lamanya di laut, maka sampailah di Sungai Sambas


sekaliannya itu perahu empat puluh buah dengan berselamatan semuanya
tiada ada satu apa-apa mara bahayanya dan berhimpunlah berlabuh di Kota
Bangun berbuat dusun di situ, hatta beberapa lamanya Raja Tengah duduk
istirahat di situ maka anaknya yang bernama Raden Sulaiman pun
dipinangkan oleh ayahnda baginda itu kepada Mas Ayu Bungsu puteranya
Ratu Sepudak yang tinggal di Kota Lama jadi ipar oleh Ratu Kesuma
Yudha yang bernegeri di Kota Lama-maka setelah putuslah bicaranya
maka segeralah dikahwinkan oleh ayahnda baginda semufakat dengan Sri
Paduka Ratu Kesuma Yuda sebagaimana istiadat raja-raja berkahwin.

Naskah Salsilah di atas memberikan informasi bahwa kehadiran Raja

Tengah diterima dengan baik oleh Ratu Sepudak. Bahkan untuk menjalin

persaudaraan, Ratu Sepudak menikahkan anak bungsunya Mas Ayu Bungsu

dengan putera Raja Tengah bernama Raden Sulaiman. Pernikahan Mas Ayu

Bungsu dengan Raden Sulaiman dilakukan setelah Sultan Tengah menetap di

Sambas sekitar 10 tahun. Gelar Raden yang dilekatkan pada Sulaiman adalah

anugerah dari penguasa Sambas Lama karena telah menjadi bagian dari keluarga

kerajaan Ratu Sepudak (Rahmayani & Mirawati, 2015: 45).

Tak berapa lama Raja Tengah dan anaknya Raden Sulaiman berada di

Sambas, Ratu Sepudak wafat. Sebagai penggantinya diangkatlah Pangeran Prabu

Kencana (keponakan sekaligus menantu Ratu Sepudak) sebagai Raja dengan gelar

Ratu Anom Kesumayuda sedangkan saudaranya Pangeran Mangkurat diangkat

menjadi patih. Ratu Anom Kesumayuda memilki dua orang anak yaitu Raden

Bakut dan Mas Buang60. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan Ratu

naskah). Menurut Pabali Musa (2003, hal. 70-71), jika dilihat dari bahasa teksnya tampaknya
bukan ditulis sendiri oleh Sultan Tsafioedin II, tetapi didiktekan kepada seorang juru tulis.
Naskah ini telah dikaji oleh Musni Umberan dan Anita (1994) dan Pabali Musa (2003).
60
Naskah Asal Raja-raja Sambas, Salsilah Raja Sambas, Asal usul Raja-raja Sambas memberikan
informasi yang sama tentang anak dan keponakan Ratu Sepudak. Perbedaan hanya terletak
pada nama anak dari Ratu Anom Kesumayuda. Dalam Asal usul Raja-raja di Sambas dua anak
Ratu Anom Kesumayuda bernama Raden Bakul dan Amsar Buyung.
176

Anom Kesumayuda pindah dari Kota Lama ke Kota Balai Pinang (di hulu sungai

Selakau). Setelah Ratu Anom Kesumayuda meninggal dunia, pemerintahan

beralih ke tangan anaknya yang bernama Raden Bakut dengan gelar Panembahan

Kota Balai. Raja terkahir Kerajaan Sambas Lama adalah Raden Mas Dungun,

putra dari Raden Bakut.

2.4.2 Kerajaan Sambas Bercorak Islam

Peralihan Kerajaan Sambas kepada Islam dapat ditelusuri dari kedatangan

Raja Tengah dari Brunei. Raja Tengah adalah putra Sultan Brunei ke-9 yaitu

Sultan Muhammad Hasan yang berkuasa antara 1582-1602.61 Ia terkenal gagah

berani dan giat menyebarkan agama Islam. Sumber lokal naskah Salsilah

menyebutkan sepeninggal Sultan Muhammad Hasan kesultanan Brunei diperintah

oleh putranya Sultan Abdul Jalil Akbar, yang memiliki dua orang anak, Sultan

Abdul Jalil Jabbar dan Sultan Tengah. Setelah Sultan Abdul Jalil Akbar wafat

maka ia digantikan oleh Sultan Abdul Jalil Jabbar. Oleh Sultan Abdul Jalil Jabbar,

saudaranya Raja Tengah diberi kekuasaan untuk memerintah negeri Sarawak.

Dalam naskah Asal Raja-raja Sambas penyebutan nama Sultan Abdul Jalil

Akbar dan negeri Sarawak agak berbeda: ”Syahdah maka tersebut perkataan Raja

Tengah orang Brunei ia berpindah dari Brunei sebab berselisih dengan saudaranya

Raja Abdullah maka disuruhnya dia berdiam di Gelagak maka diamlah di sana

dua musim maka keluar pula dari Gelagak lalu masuk ke Sukadana”. Selanjutnya

61
Menurut Jamil (1995: 25) Sultan Muhammad Hasan memerintah tahun 1582-1598.
177

dalam naskah Salsilah62 (hal. 9) dinyatakan:

Adapun puteranya Sri Sultan Abdul Jalil Akbar yang bernama Raja Tengah
sangat gagah beraninya tiada berlawan serta dengan nakalnya barang
kerjaannya tiada berketahuan setelah dilihat oleh kakandanya itu yaitu
Sultan Abdul Jalil Jabbar maka baginda pun duka citalah karena tiada
siapa dapat berlawan dengan dia hatta maka dipanggil oleh kakanda
baginda Sri titah baginda hai saudaraku kakanda ini dengan rahmat Allah
ta’ala menjadi raja dalam negeri Brunei akan adinda pun hendak kakanda
rajakan juga maka hati kakanda baharulah suka karena kita ini sama juga
anak marhum maka sembah Raja Tengah adapun patik ini hamba bawah
duli mana titah patik junjung tiadalah ia tahu akan dirinya hendak
dikeluarkan di negeri Brunei setelah demikian titah patik junjung tiadalah
ia tahu akan dirinya hendak dikeluarkan di negeri Brunei setelah demikian
titah kakanda baginda baiklah adinda kanda rajakan di Sarawak.

Setelah tiba di Sarawak, selain membangun istana, Raja Tengah juga

mengangkat pembesar-pembesar kerajaan yang membantu menjalankan

pemerintahan. Beliau juga memberikan gelar kepada pengiring-pengiringnya yaitu

Datu Petinggi Seri Setia, Datu Syahbandar Indera Wangsa, Datu Amar Setia

Diraja dan Datu Temenggong Laila Wangsa. Pemberian gelar ini yang selanjutnya

diteruskan di Sarawak hingga Zaman James Brooke. Adat-istiadat pemberian

gelar ini mengikuti tradisi Diraja yang lazim dilakukan di Brunei. Setelah itu Raja

Tengah memasyhurkan diri dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah, Sultan

Sarawak yang pertama.63

Berbeda dengan penuturan naskah salsilah, naskah Silsilah Raja-raja

Berunai (Sweeney, 1968: 65-67) menjelaskan bahwa Raja Tengah adalah anak

Sultan Abdul Jalilul Akbar saudara kepada Sultan Muhammad Ali, jadi saudara

sepupu Sultan Muhiuddin yang menjadi penguasa di Brunei. Karena khawatir

62
Naskah ini ditulis oleh Sri Paduka Sultan Mohamad Tsafioedin II, Sultan Sambas ke-13 yang
berkuasa pada tahun 1866-1922. Naskah ini ditulis pada malam Jumat 14 Ramadan 1321 atau 4
Desember 1903.
63
Menurut Machrus Effendy, Raja Tengah terkenal juga dengan nama Sultan Abdul Jalil.
178

Sultan Tengah menjadi ancaman baginya, Sultan Muhiuddin kemudian

memerintahkan Sultan Tengah keluar dari Brunei dan menjadi raja di negeri

Serawak. Keberangkatan Sultan Tengah ke Sarawak diikuti seribu orang. Setelah

membangun istana, kota dan kampung, Sultan Tengah mengangkat seorang

pengikutnya menjadi Temenggong sebagai wakilnya di Serawak. Sultan Tengah

kemudian berangkat menuju negeri Johor dengan membawa lima ratus orang

pengikut. Karena terjadi perselisihan dengan Maharaja Johor, Sultan Tengah

kemudian hendak pulang ke Serawak. Sultan Tengah tidak langsung ke Serawak,

tetapi singgah di Negeri Matan. Di Matan Sultan Tengah diterima dengan penuh

kehormatan dan dimuliakan oleh Sultan Matan. Bahkan setelah beberapa lama,

Sultan Matan memberi isteri kepada Sultan Tengah. Dari isterinya tersebut, lahir

anak laki-laki yang oleh Sultan Matan diberi gelar Pengeran Mangkunegara.

Silsilah Raja-raja Berunai tidak menyebutkan nama sultan Matan yang

memerintah saat itu, namun naskah Silsilah dan Asal Raja-raja Sambas menyebut

nama sultan negeri Matan (orang juga menyebutnya negeri Sukadana) adalah

Sultan Muhammad Shafiyuddin. Berdasarkan naskah Salsilah, peristiwa ini

diperkirakan terjadi pada 1008 H. / 1599 M. yang menyebutkan bahwa kelahiran

putra pertama Raja Tengah yakni Raden Sulaiman pada 1009 H. / 1600 M.

Sedangkan Giri Mustika berkuasa pada 1622-1659. Oleh karena itu, lebih tepat

adalah Raja Tengah ke Sukadana pada masa ayah Giri Mustika, yaitu Giri

Kesuma, yang berkuasa pada 1550-1609, berlanjut ke masa isterinya Ratu Mas

Jaintan yang berkuasa pada 1609-1622.

Selama di Sukadana, Raja Tengah digambarkan sebagai orang yang sangat


179

baik budi pekertinya. Sultan Muhammad Shafiyuddin menikahkan saudarinya

Ratu Surya Kesuma dengan Raja Tengah. Dari pernikahan itu Raja Tengah dan

Ratu Surya memiliki 5 orang anak: tiga orang laki-laki yaitu Raden Sulaiman,

Raden Badaruddin, dan Raden Abdul Wahab serta dua orang anak perempuan

yakni Raden Rasmipuri dan Raden Rantawati/Ratnawati. Dalam naskah Silsilah

Raja-raja Berunai disebutkan bahwa tidak berapa lama menikah dengan putri

Matan, istri Raja Tengah tersebut melahirkan anak yang digelar oleh Sultan Matan

dengan Pangeran Mangkunegara (Sweeney, 1968: 67). Menurut naskah Salsilah

Pangeran Mangkunegara adalah gelar bagi Raden Badaruddin (anak kedua Raja

Tengah).

Setelah beberapa lama di Sukadana, Ratu Surya dan Raja Tengah pindah ke

Sambas bersama sejumlah orang dengan menggunakan 40 perahu dan senjata.

Tempat persinggahan pertama Raja Tengah di Sambas adalah di Kota Bangun. Di

sana Raja Tengah membangun perkampungan. Sedangkan pusat pemerintahan

Sambas ketika itu terletak di Kota Lama. Penguasanya adalah seorang ratu yang

bernama Ratu Sepudak yang beragama Hindu. Raja Tengah diterima dengan baik

oleh penguasa Sambas tersebut. Hubungan itu kemudian dipererat lagi dengan

pernikahan Raden Sulaiman dengan putri bungsu Ratu Sepudak yaitu Mas Ayu

Bungsu. Menurut Pabali (2008: 48) ada dua situasi yang melatarbelakangi Ratu

Sepudak menerima Raja Tengah dengan baik yaitu: pertama, Raja Tengah

merupakan anak Sultan Brunei sedangkan Sambas pada masa itu berada di bawah

pengaruhnya. Kedua, sejak Raja Gipang berkuasa (1484 M.) telah banyak rakyat

Sambas yang memeluk agama Islam.


180

Ketika Kerajaan Sambas Lama dipimpin oleh Ratu Anom Kesumayuda,

Raden Sulaiman diangkat menjadi wazir kedua dalam pemerintahan. Dengan

jabatannya sebagai wazir kedua, pengaruh dan kegiatan Raden Sulaiman dalam

mendakwahkan Islam semakin meningkat. Semakin banyak penduduk Kota Lama

yang masuk Islam. Adapun yang menjadi wazir pertama adalah Pengeran

Mangkurat, adik dari Ratu Anom Kesumayuda. Tidak lama setelah menikahkan

putranya Raden Sulaiman dengan Mas Ayu Bungsu, Raja Tengah kembali ke

Sarawak. Dalam perjalanan pulang ke Sarawak, Raja Tengah singgah di suatu

tempat yang bernama Batu Buaya, Santubong, karena hendak buang air. Pada saat

itulah Raja Tengah diserang oleh sakai (hulubalang)-nya yang gila. Beliau sempat

menikam sakainya itu dengan keris. Dalam keadaan terluka, Raja Tengah dibawa

ke istana, namun jiwanya tidak tertolong. Setelah Raja Tengah wafat, sang istri

Ratu Surya kembali ke negeri Matan dengan membawa keempat anaknya.

(Salsilah: 16-17).

Beberapa tahun kemudian setelah penobatan Ratu Anom Kesumayuda

menjadi raja, timbullah perselisihan di antara Pangeran Mangkurat dengan Raden

Sulaiman. Akibat dari perselisihan tersebut menyebabkan dibunuhnya seorang

menteri Raden Sulaiman yang bernama Kiyai Setia Bakti, karena dibunuh oleh

Pangeran Mangkurat. Untuk menghindari agar jangan sampai terjadi perang

saudara, Raden Sulaiman beserta keluarga dan sejumlah pengikut setianya

memutuskan untuk keluar dari Kota Lama. Sejumlah petinggi kerajaan mengikuti

kepergian Raden Sulaiman. Mereka adalah Kiyai Dipasari, Petinggi Nagur,

Petinggi Segerunding, dan Petinggi Bantilan. Pertama-tama mereka memilih Kota


181

Bangun, tempat ayahanya Sultan Tengah pertama kali singgah dari Sukadana.

Setelah itu Raden Sulaiman membangun pemukiman baru di Kota Bandir.64

Berita kepindahan Raden Sulaiman ke Kota Bandir segera tersebar.

Banyak penduduk Kota Lama menyusul kepindahan Raden Sulaiman tersebut.

Selain didorong oleh kesamaan agama dan keluhuran budi Raden Sulaiman,

kepindahan penduduk di Kota Lama juga dipengaruhi oleh sikap Raden

Mangkurat yang disebutkan dalam naskah Salsilah (hal. 34) terlalu keras lagi

aniaya. Setelah itu Raden Sulaiman pindah lagi ke simpang Sungai Teberau

tepatnya di Lubuk Madung. Dari Lubuk Madung, pusat kerajaan terakhir pindah

lagi ke Muare Ulakan, sebuah tempat pertemuan tiga buah anak sungai, yaitu

Sungai Sambas Kecil, Sungai Subah, dan Sungai Teberau. Sekarang daerah ini

terletak di tengah Kota Sambas. Perpindahan pusat kerajaan ke Muare Ulakan

dilakukan pada masa pemerintahan Raden Bima yang dinobatkan sebagai Sultan

Sambas yang kedua pada Sabtu, 11 Muharram 1080 H dengan gelar Sultan

Muhammad Tajudin. Di daerah ini kemudian didirikan keraton kerajaan dan

hingga kini masih berdiri megah.

Berdasarkan naskah Salsilah halaman 48, pada hari Senin, 10 Zulhijjah

1040 H. [10 Juli 1631 M.], Raden Sulaiman mendapat gelar Sulthan Muhammad

Syafiuddin. Artinya, pada saat itulah Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan

di Kerajaan Sambas Islam yang dibangunnya di Lubuk Madung. Sementara itu

64
Kota Bandir merupakan tempat persinggahan sementara Raden Sulaiman sebelum menemukan
sebuah tempat yang tepat untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Raden Sulaiman
bermukim di sini selama tiga tahun. Sekarang Kota Bandir terletak di Desa Mensemat
Kecamatan Sajad. Beberapa situs masih ditemukan di tempat ini seperti situs makam keramat
Bantilan dan perkuburan tua di daerah Suak Nibung Desa Segerunding Kecamatan Sajad
(Sopyan, Hermanto, & Fahmi, Mengenal Situs Sejarah Kerajaan Sambas Islam, 2007).
182

dua adik laki-lakinya bernama Raden Baharudin bergelar Pangeran Bendahara Sri

Maharaja dan Raden Abdul Wahab bergelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma,

masing-masing diangkat sebagai Wazir Utama yang pertama di Kerajaan Sambas

(Fahmi, 2004: 1; Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi, 1995: 20-21). Dengan

demikian, Kesultanan Sambas yang bercorak Islam berdiri di Lubuk Madung,

berdampingan dengan Kerajaan Sambas Lama yang bercorak Hindu yang

berpusat di Kota Lama.

Sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara kalangan penulis tentang

penentuan waktu yang pasti kapan Kerajaan Sambas Islam yang dibangun oleh

Raden Sulaiman berdiri. Dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa Raden

Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan Sambas yang pertama pada 10 Zulhijjah

tahun 1040 H. (Fahmi, 2004: 1) bertepatan 10 Juli 1631 M. (Sopyan, Hermanto, &

Fahmi, 2007: 3). Penulis yang meyakini penobatan Raden Sulaiman pada 10

Zulhijjah 1040 H. berdasarkan informasi dari naskah Salsilah (hal. 48).65

Tulisan lain menyebutkan Raden Sulaiman bertahta di kerajaan pada 10

Muharram tahun 1080 H. [10 Juni 1669 M.] (Achmad, Ikram, & Rivai, 1980).

Namun di dalam manuskrip berjudul Susunan Para Raja pada Masa Kerajaan

Sambas 1568-1933 setelah Pemerintahan Ratu Sepuda’ di Kota Lama66

disebutkan bahwa “Raden Sulaiman gelar Sultan Muhammad Safiuddin kawin

65
Pada halaman yang sama, Salsilah juga menyebutkan bahwa Raden Sulaiman lahir di Negeri
Sukadana pada hari Rabu waktu Zuhur kepada sepuluh hari bulan Syawal 1009, tahun seribu
sembilan kepada tahun Nun (‫)ن‬. Kemudian kembali ke rahmatullah Ta’ala kepada hari Jumat
pada lima hari bulan al-Muharram 1081, tahun seribu delapan puluh satu kepada tahun Nun
(‫)ن‬.
66
Naskah ini dikoleksi oleh oleh Mul`am Khusairi.
183

dengan anak Ratu Sepuda’ di Kota Lama. Dilantik tahun 156867 atau tanggal 14

Rajab tahun 987 H.”68 Sejumlah penulis saling silang pendapat ihwal

penanggalan masehi pendirian Kesultanan Sambas. Machrus Effeny, misalnya,

meyakini pada 1612 M, sedangkan Mawardi Rivai menyebut pada 1622 M.

Sejarawan Melayu asal Brunei, Awang Al-Sufri menyatakan pada 1631 M. (Musa,

2003: 35; Ratih, 2009). Mengenai tahun wafatnya Raden Sulaiman, pendiri

Kerajaan Sambas Islam, Pabali Musa menyebutnya pada 1669 M (Musa, 2003:

36). Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan sumber yang digunakan dan

perbedaan dalam menafsirkan data dalam sumber yang digunakan.

Setelah Raden Sulaiman meninggalkan Kerajaan Sambas Lama dan

mendirikan kerajaan sendiri yang berpusat di Lubuk Madung, pemerintahan

Kerajaan Sambas Tua yang berpusat di Kota Lama dipimpin oleh Ratu Anom

Kesuma Yuda dipindahkan ke hulu Sungai Selakau bernama Negeri atau Kota

Balai Pinang. Ratu Anom Kesumayuda kemudian wafat dan dimakamkan di Balai

Pinang. Ratu Anom Kesumayuda digantikan oleh putranya yang bernama Raden

Bekut dengan gelar Panembahan Kota Balai Pinang. Selanjutnya penerus tahta

Kerajaan Sambas Lama adalah Raden Mas Dungun yang menjadi Raja Terakhir,

karena tidak lama setelah dinobatkan sebagai raja Raden Mas Dungun

67
M. Zaini AR (Zaini, 1991) menyebutkan Raden Sulaiman dinobatkan sebagai raja tahun 1568.
Menurut Muhammad Gade (1985), Sultan Sambas ke-3 setelah Raden Sulaiman dan Sultan
Muhammad Tajuddin I yakni Sultan Umar Akamaddin I sudah mengadakan kontrak dengan
Belanda yang diwakili oleh Samuel Blomaert pada tahun 1609. Dalam beberapa tulisan lain
disebutkan pihak Sambas yang menandatangani perjanjian ini adalah Ratu Sepudak yang masih
Hindu. Jika data yang dikemukakan oleh Muhammad Gade ini dikaitkan dengan naskah
koleksi Mul’am, maka menurut peneliti sangat dimungkinkan Kerajaan Sambas Islam telah
wujud pada pertengahan abad ke-16 M, dan bukan pada awal abad ke-17 M.
68
Jika menggunakan Conversion of Hijri A.H. (Islamic) and A.D. Christian (Gregorian) dates
yang tersedia dalam ww.muslimphilosophy.com maka tanggal 14 Rajab 987 H. adalah 6
September 1579 M.
184

menyerahkan wilayahnya kepada Raden Sulaiman yang bertahta di Kota Bangun

(Ratih, 2009: 63). Sebenarnya, usulan agar dua keluarga yaitu Ratu Anom

Kesuma Yuda dan Raden Sulaiman bersatu sudah disampaikan oleh Petinggi

Segerunding, Nagur dan Bantilan kepada Ratu Anom. Namun usulan tersebut baru

terlaksana pada masa Raden Mas Dungun (Zaini, 1991: 25-26). Dengan

penyerahan wilayah tersebut, maka pemerintahan Kerajaan Sambas Lama

berakhir dan Kerajaan Sambas Islam semakin kuat.

Dalam perkembangan selanjutnya sejak didirikan oleh Raden Sulaiman

bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin, Kerajaan Sambas dipimpin oleh 15 orang

Sultan hingga tahun 1943. Daftar para sultan yang pernah memerintah di Kerajaan

Sambas adalah sebagai berikut (Pabali, 2003: 36-37):

1. Raden Sulaiman bin Raja Tengah, bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin

(1040-1080 H/1630-1669M) [987 H/1568 M]. 69

2. Raden Bima bin Raden Sulaiman, bergelar Sultan Muhammad Tajuddin

(1669-1702) [w. 1041 H].

3. Marhum Adil atau Raden Milia bin Raden Bima, bergelar Sultan Umar

Akamuddin (1702-1727) [w.1672 M].

4. Marhum Bungsu, bergelar Sulta Abubakar Kamaluddin (1727-1757) [w.1718

M].

5. Raden Jamak bin Marhum Bungsu, bergelar Sultan Umar Akamudddin II

(1757-1782).

69
Angka di dalam tanda kurung siku [] adalah menurut naskah koleksi Mul’am.
185

6. Marhum Tanjung atau Raden Gayung bin Raden Jamak, bergelar Raden

Muda Ahmad dan Sultan Ahmad Tajuddin (1782-1798).

7. Marhum Janggut atau Raden Mantri bin Raden Jamak, bergelar Sultan

Abubakar Tajuddin (1798-1813) [w.1815 M].70

8. Marhum Anom atau Raden Pasu bin Raden Jamak, bergelar Sultan

Muhammad Ali Syafiuddin (1813-1826) [w.1828 M].71

9. Marhum Usman atau Raden Timba bin Raden Jamak, bergelar Sultan Usman

Kamaluddin (1826-1829) [w. 1838 M].

10. Marhum Tengah atau Raden Semar bin Raden Jamak, bergelar Sultan Umar

Akamuddin III (1829-1848) [w.1845 M].

11. Marhum Tajuddin atau Raden Ishak Kalukuk bin Marhum Anom, bergelar

Pangeran Ratu Natakusuma, kemudian bergelar Sultan Abubakar Tajuddin II

(1848-1853).

12. Marhum Umar atau Raden Tokok bin Marhum Usman, bergelar Pangeran

Ratu Mangku Negara dan Sultan Umar Kamaluddin (1853-1866) [w. 1865

M].

70
Arsip Borneo West 226 berjudul Ini Peraturan Kerajaan Sambas dengan Cerita yang Pendek
menyebutkan bahwa Sultan Abu Bakar Tajudin lari ke hutan karena berperang melawan
Inggris. Sultan Abu Bakar Tajudin kemudian wafat di hutan dan dimakamkan di kaki gunung
Senjujuh.
71
Arsip Borneo West 226 menyebutkan bahwa Sultan Anom yang masih bernama Pangeran
Bendahara naik menjadi Sultan pada tahun 1811 M dan bergelar Sultan Muhammad Ali
Safiuddin. Pada tahun 1818, Sultan Anom bersengketa dengan Pangeran Bendahara yang
didukung oleh orang Cina Darat. Dalam sengketa tersebut Sultan Anom meminta bantuan dari
Governement Belanda di Batavia. Tahun 1819, Sultan Anom menandatangani kontrak dengan
pihak Belanda. Bulan April tahun 1828, Sultan Anom wafat dan kemudian digantikan oleh
Pangeran Bendahara yang bergelar Sultan Usman Kamaluddin. Sultan Usman Kamaludin
memiliki anak Pangeran Jaya.
186

13. Marhum Cianjur atau Raden Afifuddin atau Raden Afif bin Marhum

Tajuddin, bergelar Pangeran Adipati kemudian bergelar Sultan Mohamad

Tsafioedin II (1866-1922) [1865-1924].72

14. Marhum Muhammad Ali atau Raden Muhammad Aria Diningrat bin Marhum

Cianjur, bergelar Sultan Muhammad Ali Syafiuddin II (1922-1931) [1926].

15. Raden Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati Ahmad bin Marhum Cianjur,

disebut Sultan Mulia Ibrahim (1931-1943) [1931-1944].

Gambar 2.2. Sulthan Muhammad Tsafioeddin II


Sulthan Sambas Ke – 13

Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Sambas, 2010

72
Dalam Regeering Almanak voor Nederlandsch-Indie 1900 (hal. 284) disebutkan bahwa tanggal
konfirmasi pemerintah (datum van bevestiging door de reegering) adalah 6 Agustus 1866.
187

Dari lima belas orang sultan di atas, ada empat orang yang menjabat

sebagai wakil sultan karena sultan yang sesungguhnya (putra mahkota) masih

kecil. Mereka yang menjabat sebagai wakil sultan adalah sultan keenam, ketujuh,

kesembilan, dan kesepuluh. Puncak kejayaan Kerajaan Sambas dicapai pada masa

sultan ketigabelas, yaitu Sultan Mohamad Tsafioedin II. Pada masanya

kesejahteraan rakyat sangat diperhatikan dan agama Islam berkembang pesat

sehingga Sambas dikenal sebagai “Serambi Mekah”.

2.4.3 Sistem Pemerintahan, Wilayah dan Penduduk

Dalam naskah koleksi Perpustakaan Nasional dengan kode 84 CS 2/41 dan

naskah dengan kode 83 CS 2/43 tertulis istilah-istilah yang digunakan dalam

Kerajaan Sambas sebagai berikut:

Tabel 2.1: Perbandingan Istilah Jabatan Antara


Naskah 84 CS 2/41 dan 83 CS 2/43
Naskah 84 CS 2/41 Naskah 83 CS 2/43
- Sultan Muda Umar Kamaludin
- Pangeran Adipati - Pangeran Adipati
- Pangeran Ratu Nata Kusuma - Pangeran Ratu Nata Kusuma
- Pangeran Ratu Mangku Negara. - Pangeran Mangku Negara
- Pangeran Bendahara Sri Maharaja - Pangeran Bendahara Sri Maharaja
- Pangeran Temenggung Jaya Kusuma - Pangeran Temenggung Jaya
Kusuma
- Pangeran Paku Negara - Pangeran Ratu Paku Negara
- Pangeran Laksamana - Pangeran Laksamana
- Pangeran Suma Negara - Pangeran Suma Negara
188

- Pangeran Suma Dilaga - Pangeran Suma Dilaga


- Pangeran Jaya Kesuma - Pangeran Jaya Kusuma
- Pangeran Sura Dilaga - Pangeran Sura Dilaga
- Pangeran Cekra Negara - Pangeran Cakra Negara
- Pangeran Suma Jaya - Pangeran Suma Jaya
- Kyai Beraja wangsa - Kyai Braja Wangsa
- Kyai Nala Dipa Segerunding - Kyai Nala Dipa Segerunding
- Kyai Kerta Yuda Semberang - Kyai Kerta Yuda Semberang
- Kyai Cakra Jaya manggis - Kyai Cakra Jaya Manggis
- Ki Mas Temenggung - Ki mas Temenggung
- Orang Kaya Laksamana - Orang Kaya Laksamana
- Orang Kaya Ila Maharaja - Orang Kaya Ila Maharaja
- Orang Kaya Durma Setia - Orang Kaya Durma Setia
- Orang Kaya Setia Muda - Orang Kaya Setia Muda
- Maharaja Imam (de opperpriester) - Maharaja Imam
- Imam Tuha [Tua ?] - Imam Tua
- Imam Muda - Imam Muda

Sumber: Diolah dari Naskah 84 CS 2/41 dan 83 CS 2/43. Koleksi Cohen Stuart. Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI.

Data istilah-istilah yang tertulis dalam naskah di atas menunjukkan nama-

nama jabatan yang berlaku di Kerajaan Sambas. Naskah 84 CS 2/41 menyebutkan

nama Sultan Muda Umar Kamaluddin yang menunjukkan bahwa naskah ditulis

setidaknya pada masa pemerintahan Sultan Muda Umar Kamaluddin, yaitu pada

1853-1866 M. Demikian juga dengan istilah-istilah jabatan yang ditulis

menunjukkan bahwa jabatan tersebut berlaku pada masa tersebut. Sebagaimana

sistem di kerajaan lainnya, di Sambas kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan.

Dalam pelaksanaannya, sultan bersama keluarga kerajaan dan beberapa


189

pegawainya mengurus administrasi harian. Sultan bersama pegawainya

membentuk Dewan Negara beranggotakan 16 orang dengan sultan sebagai ketua.

Sultan tidak memiliki kekuatan untuk memutuskan sesuatu tanpa persetujuan

anggota lain (Ismail, 1985: 77-82).

Mary Somers Heidues menjelaskan bahwa di Kerajaan Sambas, para

pejabatnya terdiri dari seorang sultan, enam mantri raja atau pangeran yang

masing-masing disebut pangeran Bandahara, pangeran Pakunegara, pangeran

Temenggung, pangeran Sumadilaga, pangeran Sumadisastra, dan pangeran

Laksamana. Kemudian terdapat enam orang kiai (guru agama Islam), empat orang

kaya (bangsawan) dan seorang imam. Pangeran mahkota, jika ada, dapat

dipanggil Pangeran Ratu. Dalam Sejarah Kerajaan Sambas dijelaskan bahwa

sistem pemerintahan Kerajaan Sambas dilambangkan dengan tiang bendera yang

disangga oleh empat tiang-tiang pendek (Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi,

1995: 45). Ini melambangkan kekuasaan Sultan dalam pemerintahan dibantu oleh

para wasir yang empat orang, yaitu Pangeran Adipati, Pangeran Bendahara,

Pangeran Paku Negara, dan Laksamana. Tiap-tiap wasir dibantu oleh empat citra

yaitu: Pangeran Temenggung, Pangeran Amardiraja, Pangeran Kesumadiloyo dan

Pangeran Cakranegara.

Kerajaan Sambas menggunakan kitab Qanun sebagai undang-undang yang

berisikan adat-istiadat, kehidupan sehari-hari baik hukum sosial maupun hukum

perkawinan. Di bidang peradilan, baik pidana maupun perdata, kerajaan

mempunyai struktur sebagai berikut (Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi,

1995: 45-46):
190

 Balai Bidai, merupakan peradilan tingkat terendah dengan ketua Kepala

Kampung dan anggota pengerah-pengerah dan pemuka masyarakat.

Berwenang mengadili perkara hukuman 7 hari, tanah, pusaka, dan perkawinan.

 Balai Raja, merupakan peradilan di atas Balai Bidai dengan ketua Demang dan

anggota Mantri Polisi, petinggi-petinggi, dan lebai-lebai. Berwenang mengadili

perkara hukuman 3 bulan, tanah, pusaka, dan perkawinan.

 Balai Qanun, peradilan tertinggi dengan ketua Sultan dan anggota Wasir-wasir,

Imam, dan Khatib. Berwenang mengadili perkara hukuman tahunan, tanah,

pusaka, dan perkawinan. Naskah 83 CS 2/43 juga menyebut istilah “Jaksa”,

“Pengulu atau Penghulu” dan “Pembekal” tanpa diikuti nama-nama kampung.

Tidak ditemukan sumber yang secara pasti menyebutkan batas wilayah

kekuasaan Kerajaan Sambas. Dalam cerita yang berkembang di masyarakat,

pernah suatu ketika sultan ditanya tentang batas wilayah Kerajaan Sambas, dan

jawaban yang diberikan adalah sejauh masyarakat masih menggunakan bahasa

Sambas. Sedangkan menurut Silsilah Raja-raja Berunai Pasal 29 disebutkan:

Maka tatkala di Brunai, Pengeran Mangkunegara digalar oleh Sultan


Muhiuddin, bernama Sultan Anum namanya. Dan Radin Bilam pun
surohnya balek ke Sambas memerintahkan negeri Sambas, serta diberi
oleh Sultan Muhiuddin batasan tanah iaitu sempadan daripada antara
Tanjong Datu’ dengan Batu Belat, itulah perhinggaan Tanah Sambas;
lepas itu tanah kuasa negeri Matan (Sweeney, 1968: 68).
Dari naskah di atas, batas wilayah Kerajaan Sambas adalah antara Tanjung

Datu’ dengan Batu Belat. Batas yang lebih jelas disebutkan dalam Encyclopaedie

van Nederlandsch-Indie Jilid 2 yang menjelaskan bahwa wilayah Sambas menurut

kontrak 14 Agustus 1909, dibatasi oleh Laut Cina di sebelah Barat dan Barat Laut
191

mulai dari muara Sungai Duri hingga Tanjung Dato; Mempawah di sebelah

Selatan dan Tenggara. Sebagian daerah Sungai Duri merupakan batas antara

Landak dan Sanggau yang berada di sebelah timur dan timur laut. Batas Sambas

dengan Mempawah mulai Sungai Duri dan tanah di sebelah utara sungai

sepanjang pantai sampai pegunungan Batu Belat. Termasuk juga dalam wilayah

Sambas adalah pulau-pulau: Baru, Randayan, Lebukutan, Penatah Besar, Penatah

Kecil, Kabung, Saluar, Semesak, Keran, Tempurung, Burung, Pikak, dan Tuwa

dengan luas + 12.320 km2 (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 1917: 681).

Selain menyebutkan istilah-istilah jabatan di Kerajaan Sambas, naskah 84

CS 2/41 koleksi Perpusatakaan Nasional juga menyebutkan istilah Penggawa

Bugis. Berikutnya adalah istilah Kepala Kampung yang diikuti nama kampung.

Kepala Kampung yang disebutkan sebagai berikut:

- Kepala Kampung Nagur

- Kepala Kampung Jawa

- Kepala Kampung Keling

- Kepala Kampung Angus

- Kepala Kampung Durian

- Kepala Kampung Manggis

- Kepala Kampung Tumok

- Kepala Kampung Pasar Melayu

- Kepala Kampung Cina

- Kepala Kampung Pendawan

- Kepala Kampung Tanjung Rengas


192

- Kepala Kampung Lubok

- Kepala Kampung Tanjung Belanda

- Kepala Kampung Pedalaman

- Kepala Kampung Kaum

- Kepala Kampung Angus Ulu

- Kepala Kampung Dagang

- Kepala Kampung Putat Rambai

- Kepala Kampung Mentawak

- Kepala Kampung Rasau

- Kepala Kampung Keranji

- Kepala Kampung Sekajau

- Kepala Kampung Ansuhuk

- Kepala Kampung Semberang

- Kepala Kampung Selimban

- Kepala Kampung Ulap

- Kepala Kampung Tangguli

- Kepala Kampung Sajad

- Kepala Kampung Tembedak

- Kepala Kampung Segerunding

Ada juga istilah Pembekal Dayak dan Melayu yang diikuti nama kampung, yaitu:

- Pembekal Dayak Seluas dan Pengrah

- Pembekal Dayak Sanggau dan Pengrah

- Pembekal Dayak Sentangau dan Pengrah


193

- Pembekal Dayak Bentarah dan Pengrah

- Pembekal Dayak Lara dan Pengrah

- Pembekal Dayak Tumu dan Pengrah

- Pembekal Melayu Serambi.

Informasi dari naskah 84 CS 2/41 koleksi Perpusatakaan Nasional di atas

menjelaskan nama-nama kampung yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan

Sambas. Selain itu, informasi di atas juga menjelaskan kelompok masyarakat yang

mendiami wilayah Kerajaan Sambas selain Melayu Sambas juga ada suku Bugis

yang dikepalai oleh seorang Penggawa dan suku Dayak yang berdiam di beberapa

kampung dengan dikepalai oleh seorang pembekal. Suku Melayu sebagian besar

bermukim di perkampungan di daerah pesisir, sedangkan suku Dayak bermukim

di perkampungan di daerah pedalaman. Belakangan datang pula orang-orang dari

Cina yang didatangkan pihak kerajaan dengan tujuan untuk bekerja di lahan

pertambangan emas.

Pada sekitar 1760, Sultan mengijinkan adanya kolonisasi Cina untuk

penggalian emas di daerah Larah yang kemudian meluas ke Monterado, daerah

Samalantan Kabupaten Bengkayang sekarang. Orang-orang Cina yang melakukan

kegiatan penambangan emas tersebut kemudian membentuk kongsi-kongsi atau

perserikatan dengan tujuan memperkuat kedudukan dalam menghadapi pihak

kerajaan dan juga Belanda. Terdapat setidaknya dua kongsi besar yaitu Tai Kong

di Monterado dan Sin Ta Kiu di Sambas. Sering terjadi pertikaian dan peperangan

antara dua kongsi ini dan suatu ketika pihak Kerajaan Sambas memihak Sin Ta

Kiu. Meskipun Sin Ta Kiu menang karena dibantu pihak kerajaan, tetapi salah
194

seorang panglima kerajaan bernama Tengku Sambo tewas di tangan kongsi Tai

Kong (Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi, 1995: 50-53).

Berdasarkan arsip laporan umum mengenai keadaan dari Residensi

Sambas 1824-1850, terdapat catatan bahwa per 1 Januari 1824 jumlah penduduk

di Sambas seluruhnya berjumlah 36.641 jiwa dengan perincian sebagai berikut:

Eropa 4 jiwa, Arab 18 jiwa, Melayu 9.403 jiwa, Bugis 331 jiwa, Dayak 20.601

jiwa dan Cina 6.284 jiwa (Arsip Borneo West No. 3, ANRI). Selanjutnya pada

1848 catatan van Grave, Tobias, dan Francis menunjukkan angka sebagai berikut:

Tabel 2.2: Jumlah Penduduk Kerajaan Sambas

Perhitungan Melayu Cina Dayak Total

Van Grave 9.752 6.884 20.001 36.637

Tobias 30.000 13.000 84.000 127.000

Francis 9.734 16.284 20.001 46.619

Sumber: Veth (1854: 90)

Data di atas menunjukkan bahwa angka yang disebutkan Tobias berbeda jauh

dengan angka van Grave dan Francis. Dimungkinkan ini karena perbedaan

melihat Sambas sebagai wilayah afdeeling (menurut Tobias) dan Sambas sebagai

onderafdeeling (menurut van Grave dan Francis).

Berdasarkan catatan dalam Regering Almanak 1906 (hal. 11) penduduk

Sambas pada 1906 berjumlah 11.089 jiwa, dengan rincian: Eropa 16 jiwa, pribumi

10.037 jiwa, Cina 753 jiwa, Arab 244 jiwa, dan Timur Asing 39 jiwa. Angka ini

mengalami perubahan pada Regering Almanak 1911 (hal. 11) menjadi berjumlah
195

12.096 jiwa, dengan rincian: Eropa 20 jiwa, pribumi 11.080 jiwa, Cina 860 jiwa,

Arab 97 jiwa, dan timur asing 39 jiwa.73 Angka yang cukup berbeda ditunjukkan

oleh Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie yang menyatakan jumlah penduduk

Sambas pada 1915 berjumlah 123.600 jiwa, dengan rincian: Eropa 100 jiwa,

Dayak 26.000 jiwa, Melayu, Jawa dan Bugis 67.000 jiwa, Cina 30.000, dan Arab

dan lainnya 270 jiwa. Data yang ditampilkan dalam Encyclopaedie van

Nederlandsch-Indie adalah Sambas sebagai wilayah afdeling yang meliputi empat

onderafdeeling: Singkawang, Pemangkat, Bengkajang, dan Sambas. Sedangkan

data yang ditampilkan dalam Regering Almanak hanya secara khusus di wilayah

onderafdeeling Sambas saja.

2.4.4. Hubungan dengan Pemerintah Hindia Belanda

Jejak paling awal hubungan Kerajaan Sambas dengan kolonial Belanda

terdokumentasi dalam sebuah kontrak yang ditandatangani pada Oktober 1609

antara pihak VOC yang diwakili oleh Samuel Bloemaert dengan Saboa Tangan

Pengeran Ayde Pae (Pangeran Adipati?) Sambas (Arsip Borneo Westerafdeling

247 dan 248).74 Di dalam kontrak tersebut disebutkan bahwa perdagangan berlian,

yang saat itu banyak ditemukan di Sambas, hanya boleh dilakukan dengan pihak

Belanda, sedangkan akses pihak Sambas untuk negara-negara Eropa lainnya tidak

73
Dalam Regering Almanak tahun 1913 sampai tahun 1918 mencantumkan jumlah yang sama
dengan tahun 1911. Sementara itu Regering Almanak tahun 1920 dan 1921 khusus untuk
wilayah Westerafdeeling van Borneo hanya mencantumkan jumlah penduduk untuk
Singkawang, Pontianak, Ketapang, dan Sintang. Sejak tahun 1922 data yang ditampilkan
Regering Almanak hanya total jumlah penduduk untuk wilayah Westerafdeeling van Borneo.
Selanjutnya tahun 1938 sampai 1942 jumlah penduduk yang dicantumkan dalam Regering
Almanak lebih umum, yaitu mencantumkan jumlah penduduk Jawa-Madura dan luar Jawa-
Madura (Buitengesesten) dengan tanpa perincian lebih detail.
74
Ulasan tentang kontrak ini dapat dibaca dalam JHR. Mr. J. K. J. de Jonge (Jonge, MDCCCLXV:
302-304).
196

dibolehkan. Sebagai imbalannya, pihak VOC akan melindungi Pangeran Adipati

dari serangan musuh-musuhnya. Kontrak ini berakhir pada 1623.

Awal mula Belanda menancapkan pengaruhnya di Kerajaan Sambas dapat

dibaca dalam Arsip Borneo West nomor 226 berjudul Ini Peraturan Kerajaan

Sambas dengan Cerita yang Pendek. Dalam arsip tersebut disebutkan bahwa

Sultan Anom yang masih bernama Pangeran Bendahara naik menjadi Sultan pada

1811 M. dan bergelar Sultan Muhammad Ali Safiuddin. Sultan sebelum beliau

adalah Sultan Abu Bakar Tajudin yang lari ke hutan karena berperang melawan

Inggris. Sultan Abu Bakar Tajudin kemudian wafat di hutan dan dimakamkan di

kaki gunung Senjujuh. Pada 1818 Sultan Anom bersengketa dengan Pangeran

Bendahara yang didukung oleh orang Cina Darat. Dalam sengketa tersebut Sultan

Anom meminta bantuan dari Governement Belanda di Batavia. Pada 1819 Sultan

Anom menandatangani kontrak dengan pihak Belanda.

Pada April 1828, Sultan Anom wafat dan kemudian digantikan oleh

Pangeran Bendahara yang bergelar Sultan Usman Kamaluddin. Sultan Usman

Kamaludin memiliki anak Pangeran Jaya. Dengan naiknya Sultan Usman

Kamaluddin maka Pangeran Temenggung diangkat menjadi Pangeran Bendaraha

bernama Pangeran Bendahara Seri Magraja. Selanjutnya Pangeran Sumadilaga

diangkat menjadi Pangeran Temenggung. Setelah dua tahun menjadi Sultan,

Sultan Usman Kamaluddin mendapat sakit sehingga jalannya pemerintahan

menjadi terganggu. Atas kesepakatan Asisten Residen dan Residen, maka

Pangeran Bendahara Seri Magraja dibawa ke Batavia menghadap Gubernur

Jenderal Van den Bosjch. Oleh Gubernur Jenderal, Pangeran Bendahara


197

diperintahkan untuk menjadi Sultan, karena selama ini Belanda mengalami

kesulitan mengendalikan Sambas. Alasan selanjutnya adalah Sultan Usman

Kamaluddin yang sakit sehingga kerajaan menjadi terganggu. Jika Pangeran

Bendahara menolak, maka Van den Bosjch akan menjadikan orang lain dari

negeri lain menjadi Sultan. Akhirnya Pangeran Bendahara Seri Magraja menjadi

Sultan dengan nama Sultan Umar Akamudddin.

Pada 2 September 1818 wakil pemerintah Hindia Belanda, Mayor

Mutinghe dan van Boekholtz tiba di muara sungai Sambas. Secara resmi pada 6

September 1818 bendera Belanda berkibar menandakan mulainya pemerintah

Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya di Kerajaan Sambas. Selanjutnya

pada 23 September 1818 George Muller diangkat sebagai asisten residen.

Kesultanan sendiri mulai mengadakan perjanjian yang intensif dengan Hindia

Belanda yang diikuti dengan pendirian loji (kantor dagang) Belanda pada 3

Februari 1819.75 Selanjutnya pada 11 Mei 1823, J. M. Tobias (regeerings

commissaris untuk Borneo) datang untuk memperbaiki isi kontrak. Termasuk di

dalamnya adalah tentang uang pengganti kerugian dari hasil-hasil duane, candu

dan garam dari Gubernemen kepada Sultan.

75
Menurut Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi (1995: 54) kontrak dibuat antara Sultan
Muhammad Ali Tsafiuddin I dengan pemerintah Belanda di Sambas pada tanggal 25
September 1819, berisi tentang persahabatan dan pedagangan hasil bumi Sambas. Melalui
kontrak ini pemerintah Hindia Belanda dapat ikut campur dalam melaksanakan sistem
pemerintahan di kerajaan Sambas dan secara otomatis juga berhak mengatur masyarakat.
Meskipun sultan masih tetap diberi wewenang untuk mengatur kerajaannya, tanpa disadari
kekuasaan sultan sudah berkurang. Hal ini tejadi karena Belanda secara tidak langsung ikut
berperan dalam menentukan keputusan kerajaan dan dalam penobatan pegawai kerajaan. Untuk
memperlancar kekuasaannya, Belanda membentuk sistem pengaturan tersendiri di Sambas
yaitu dengan menempatkan seorang wedana berkedudukan di kota Sambas dan dapat
berhubungan langsung dengan rakyat.
198

Berdasarkan catatan dari Ketua Majelis Kerajaan atas nama Pemerintah

Swapraja Sambas, Pangeran Tumenggung Djaja Kusuma, terdapat serangkaian

kontrak antara Kerajaan Sambas dengan Belanda. Beberapa kontrak yang

ditandatangani berikutnya adalah bersifat perpanjangan kontrak disebabkan

terjadinya pergantian sultan. Sultan Oemar Akamoeddin memperbarui kontrak

pada 4 Mei 1831. Sultan Aboebakar Tadjoedin II memperpanjang kontrak dengan

Belanda pada 7 November 1848 dan disahkan pada 9 Januari 1849 oleh Gubernur

Jenderal Jan Jacob Rochussen. Selanjutnya Sultan Muhammad Tsafiuddin II

mengikat kontrak dengan Belanda pada 23 Agustus 1877 (Salim, et al., 2011:

160-161).

2.4.5 Islam dan Kehidupan Keagamaan

Informasi terawal Islam datang pertama kali ke Sambas pada awal abad ke-

15 dibawa oleh orang Cina. Menurut informasi itu pada 1407, di Sambas didirikan

Muslim Hanafi—sebuah komunitas Cina.76 Dalam buku Tuanku Rao

(Parlindungan, 2007: 656) disebutkan bahwa pada 1450-1475 setelah wafat

Laksamana Hadji Sam Po Bo, Hadji Bong Tak Keng, dan Hadji Gan Eng Tju,

maka: Bong Swie Hoo terpaksa mengambil inisiatif mengepalai deteriorating

Muslim/Hanafi Chinese communities di pulau Djawa, Kukang, dan Sambas.

76
Sayangnya tulisan ini tidak menyebutkan sumbernya dan bagaimana proses masuk serta
kelanjutan sejarah komunitas Cina ini. Memang sebelumnya telah ada komunitas Cina yang
singggah dan menetap di Kalimantan Barat yaitu di Kepulauan Karimata. Pada tahun 1292
ekspedisi pasukan Khubilai Khan dibawah pimpinan Ike Maso, Shih Pi dan Khau Sing dikirim
untuk menghukum Kertanegara, berpangkalan di kepulauan Karimata. Ekspedisi ini kalah dan
gagal mencapai tujuannya. Mungkin karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa
dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, sejumlah anggota pasukan ini melarikan diri
dan menetap di Kalimantan Barat (Wati, 1989: 41). Diperkirakan sejak saat inilah mulai adanya
orang Cina yang menetap di Kalimantan Barat. Apakah komunitas ini yang sebagiannya
membentuk Muslim Hanafi di Sambas atau ada kelompok lain, tidak dijelaskan.
199

Tanpa hubungan dengan Tiongkok. Kemudian pada 146377 Laksamana Cheng Ho

yang terkenal itu, atas perintah Kaisar Cheng Tsu atau Jung Lo (kaisar keempat

Dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi ke Nan Nyang. Beberapa

anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur

dengan masyarakat setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka

anut (http://students.ukdw.ac.id). Bagaimana proses pembauran yang dimaksud

serta bagaimana peranan anak buah Cheng Ho yang muslim di Kalimantan Barat

tidak terdapat keterangan yang pasti.

Sejak Raden Sulaiman dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar Sultan

Muhammad Syafiuddin I pada 1040 H. / 1631 M. agama Islam telah dijadikan

agama resmi kerajaan. Tidak ada informasi yang ditemukan menyangkut

perkembangan Islam pada masa sultan pertama ini. Baru pada masa sultan kedua,

Raden Bima bin Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad Tajuddin yang

memerintah pada 1669 – 1702 M. didirikan masjid sederhana di dalam kota dan di

surau di kampung-kampung yang senantiasa mengumandangkan azan tiap waktu

sembahyang tiba (Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi, 1995: 23-24).

Pada masa Sultan Muhammad Tajudin, masjid telah dijadikan pusat

pendidikan Islam. Kemudian pada masa sultan ketiga, Sultan Umar Akamuddin

(memerintah 1702-1727 M.) telah dibangun masjid baru yang diberi nama

Kamasallaita. Diperkirakan juga pada masa yang sama, datang seorang ulama

besar dari Patani, Thailand Selatan bernama Syaikh Abdul Jalil al-Fatani78 untuk

77
Pada tahun 1405 seorang Cina Muslim atas nama Laksamana Cheng Ho mengunjungi Brunei
dan dia mencatat bahwa Brunei pada tahun itu sudah diperintah oleh seorang Sultan Islam
pertama, Awang Alak Betatar (Harrisson, 1968: 180).
78
Wan Mohd. Shaghir Abdullah dalam tulisannya berjudul Syeikh Ali faqih al-Fathani Mufti
200

mengajar agama Islam di Sambas. Ulama ini meninggal dan dimakamkan di

daerah Lumbang. Karena otoritas keilmuan dan kharismanya yang tinggi,

makamnya kemudian dikenal dengan “Keramat Lumbang” (Rahman, Ahmad,

Anom, Muhadi, & Fahadi, 2001: 86-87). Selanjutnya pada masa Sultan kelima,

Sultan Umar Akamuddin II (memerintah 1757 – 1782 M.) kesultanan memiliki

pejabat kesultanan bernama Imam Ya’cub. Diperkirakan ia bertugas memberikan

bimbingan keagamaan kepada keluarga dan kerabat kesultanan di istana. Sejak

saat itu, istana menjadi salah satu tempat penyelenggaraan pendidikan, meskipun

sifatnya masih sangat terbatas.

Pada masa sultan kedelapan, Sultan Muhammad Ali Syafiuddin

(berkuasa 1813 – 1826 M.) penyelenggaraan pendidikan agama di istana

dilanjutkan dengan pengangkatan H. Nuruddin Mustafa sebagai imam kesultanan

Sambas. Selain memberi pelajaran agama di istana, imam juga bertugas

menangani berbagai hal yang terkait persoalan agama. Keluarga Nuruddin ini

kemudian melahirkan ulama-ulama besar Sambas pada abad ke-19 dan ke-20

seperti Muhammad Arif, Muhammad Imran, dan Muhammad Basioeni Imran

(Mahrus, Jamani, & Hadi, 2003: 8; 10). Tiga orang ulama yang disebut terakhir

dikenal sebagai pejabat maharaja imam, sebuah jabatan birokrasi dalam sistem

Kerajaan Mempawah (2007) (ww1.utusan.com.my, akses 10 Mei 2017 pukul 22.22 WIB)
menjelaskan sekitar tahun 1160 H/1747 M dua ulama tiba di Mempawah yaitu Syeikh Ali bin
Faqih al-Fathani (Keramat Pokok Sena) dan Syeikh Abdul Jalil al-Fathani (Keramat Lumbang)
dan menghadap Opu Daeng Manambon, Raja Mempawah saat itu. Keduanya berasal dari
Kampung Sena, Pattani. Keduanya mendapatkan pendidikan pondok di Pattani dan
melanjutkan pendidikan di Mekah, namun tidak ada catatan tentang guru-guru mereka. Syeikh
Ali al-Fathani berserta keluarga dan rombongan menetap di Kampung Tanjung Mempawah.
Sedangkan Syeikh Abdul Jalil al-Fathani melanjutkan perjalanan ke Sambas untuk
menyebarkan Islam di sana. Sejak kedatangan kedua ulama tersebut, mulai berkembang
Barzanji, Nazham dan Burdah dan sejenisnya yang dibaca setiap malam Jumat. Kehadiran
kedua ulama Patani tersebut dianggap sebagai perintis bagi kedatangan orang-orang Patani di
daerah lain di semanjung seperti Kedah dan Kelantan serta Kalimantan Barat.
201

pemerintahan Kerajaan Sambas. Masuknya maharaja imam dalam sistem birokrasi

kerajaan menunjukkan eksistensi Kerajaan Sambas sebagai kerajaan Islam.

Jabatan Maharaja Imam sebagai bagian dari birokrasi Kerajaan Sambas

menurut Effendi (1995: 20) dibentuk bersamaan dengan didirikannya masjid di

lingkungan istana oleh Sultan Mohamad Tsafioedin pada 1872. Saat itu

diangkatlah H. Muhammad Arif Nuruddin sebagai Maharaja Imam pertama untuk

Kerajaan Sambas. Selanjutnya Risa (2016: 88) dengan berdasar pada laporan

resmi pemerintah kolonial Belanda tahun 1869 menyimpulkan lembaga Maharaja

Imam berdiri pada 1869 M. Kesimpulan tersebut kurang tepat karena tidak berarti

lembaga Maharaja Imam dibentuk pada saat laporan dibuat. Lebih tepat jika

dikatakan bahwa saat laporan pada 1869 dibuat lembaga Maharaja Imam sudah

ada dan mungkin telah dibentuk sebelum laporan itu dibuat. Hal didukung oleh

penyebutan lembaga Maharaja Imam dalam naskah koleksi Perpustakaan

Nasional kode 84 CS 2/41 dan 83 CS 2/43 juga mencantumkan istilah “Maharaja

Imam”, “Imam Tua”, dan “Imam Muda”. Ketiga istilah ini adalah nama jabatan

yang mengurusi masalah agama Islam.

Sebagaimana disebutkan, dua naskah di atas diperkirakan ditulis pada

masa pemerintahan Sultan Umar Kamaluddin (1853-1866 M.), maka lembaga

atau jabatan Maharaja Imam, Imam Tua, dan Imam Muda ada pada masa

pemerintahan sultan tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, Sejarah

Kerajaan Sambas (Nurcahyani, Purba, Umberan, & Zuhdi, 1995: 70-71)

menyebutkan bahwa Sultan mengangkat dua orang imam (mufti) yang digelar

dengan Maharaja Imam dan Imam Maharaja dan empat orang khatib dengan
202

gelar: Maharaja Khatib, Khatib Maharaja, Sidana Khatib, dan Khatib Sidana.

Maharaja Imam berkedudukan sebagai kadi dan Imam Maharaja sebagai wakil

kadi, yang diberi tugas dan kewajiban untuk menjalankan hukum dan peraturan

agama Islam meliputi seluruh kerajaan. Selain itu Maharaja Imam juga bertindak

sebagai penasihat Sultan dalam urusan agama Islam dan dapat pula diangkat

menjadi hakim peradilan agama Islam, jika sultan berhalangan.

Struktur kelembagaan bidang keagamaan Islam ini disempurnakan

hingga memiliki struktur sampai ke tingkat kampung pada masa Maharaja Imam

dijabat oleh Basioeni Imran. Salim, et al. (2011: 79), menyatakan Basioeni Imran

melakukan penyempurnaan struktur organisasi lembaga keimaman dengan

susunan Maharaja Imam H. M. Basioeni Imran, Imam Maharaja H. Abdurrahman

Hamid, Imam H. Muhammad Djabir, Khatib H. Muhammad Djabir, H.

Muhammad Mursal, H. Muhammad Murtadha, H. Muhammad Siddiq, Penghulu

H. Ahmad Sharir (Singkawang), H. Muhammad Zahri (Teluk Keramat-Paloh), H.

Muhammad Zainuddin, H. Mi’radj Djabir (Bengkayang), dan H. Abdul Aziz.

Eksistensi Kerajaan Sambas sebagai kerajaan Islam semakin nyata

terlihat dari lahirnya tokoh-tokoh ulama bereputasi hingga di tingkat global.

Salah seorang ulama terkemuka dan bereputasi global dari Kerajaan Sambas

khususnya di bidang tarekat, adalah Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar al-

Sambasi, pendiri Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN). Khatib Sambas lahir

di Kampung Dagang, Sambas pada 1803 M. Pada usia kira-kira 4-5 tahun Khatib

Sambas diasuh dan dididik agama oleh pamannya, di samping oleh ayahnya
203

sendiri. Pada sekitar 1820 M., Khatib Sambas berangkat menuntut ilmu ke kota

Mekah.

Di tanah suci ia langsung bergabung dengan halaqah yang ada di

Masjidil Haram dan berguru dengan ulama-ulama Melayu yang sudah lama

bermukim di sana. Di antara guru-guru Khatib Sambas adalah Syaikh Dawud bin

Abd. Allah bin Idris al-Fatani79, Syaikh Abd al-Hafidz al-‘Ajami, Ahmad

Marzuqi80, dan Syaikh Shams al-Din (Mahrus, Jamani, & Hadi, 2003: 11; 13; 22-

23). Di bidang tasawuf, Khatib Sambas belajar dengan Syaikh Syams al-Din

sebagai satu-satunya guru. Tetapi Syams al-Din ini menurut Bruinessen (2012:

266-267) sedikit misterius karena tidak dijumpai namanya pada sumber lain

mengenai ulama di Mekah pada awal abad ke-19. Mungkin Syams al-Din bukan

nama sebenarnya, melainkan gelar saja.

Dalam abad ke-19, organisasi-organisasi tarekat di Indonesia

memperoleh semangat dan dukungan baru dari masyarakat. Hal ini disebabkan

oleh kedatangan para pengikut Khatib Sambas dan Sulaiman Effendi81 dari Mekah

(Dhofier, 2011: 219). Snouck Hurgronje menyebutkan Khatib Sambas adalah

seorang kyai yang terkenal dan dianggap oleh murid-muridnya sebagai seorang

79
Azyumardi Azra menyebut Syaikh Dawud bin Abd Allah bin Idris al-Fatani masuk dalam
jaringan ulama nusantara abad ke-18. Diperkirakan kemungkinan besar lahir pada 1153/1740
dan wafat di Tha’if 1265/1847. Dawud belajar langsung dengan Al-Sammani, Isa bin Ahmad
Al-Barrawi, Muhammad bin Ali Al-Syanwani, Muhammad As’ad, Ahmad al-Marzuqi, dan
Ibrahim al-Rais al-Zamzami al-Makki. Dawud al-Fatani menuis sedikitnya 57 karya yang
membahas hampir semua disiplin Islam. Penjelasan lebih lanjut tentang Dawud al-Fatani dapat
dibaca dalam Azyumardi Azra (2004: 323-335).
80
Kemungkinan yang dimaksud adalah Ahmad al-Marzuqi (al-Makki al-Maliki), seorang murid
dari al-Syanwani. Al-Marzuqi, juga guru dari Dawud al-Fatani, dikenal sebagai muhaddis yang
mengajar terutama di Mekah (Azra, 2004: 334).
81
Snouck Hurgronje (1931: 205-206) menyebutkan bahwa tarekat “Naqshibandi” mempunyai
sebuah markas besar yang terletak di kaki gunung Abu Qubes di pinggiran kota Mekah.
Markas ini didirikan oleh Sheikh Suleiman, yang menarik pengikut-pengikutnya kebanyakan
dari Turki dan wilayah-wilayah Hindia Belanda dan bekas jajahan Inggris di daerah Melayu.
204

‘alim yang menguasai berbagai cabang pengetahuan Islam; bahkan dianggap

melebihi kawan-kawannya yang berasal dari wilayah Hindia Belanda, karena

kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi Tarekat Qadiriyah yang berpusat di

Mekah. Berkat kedudukanya itulah, ia dapat menuntun dan membai’at orang-

orang yang berasal dari wilayah Hindia Belanda sebagai murid tarekat yang

sepulangnya di Indonesia mendirikan cabang Tarekat Qadiriyah (Hurgronje, 1931:

276). Hurgronje tidak menyebutkan bahwa Khatib Sambas telah menggabungkan

dua tarekat menjadi tarekat yang berdiri sendiri yang dikenal dengan Tarekat

Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN).

Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) bukan sekedar penggabungan

dua tarekat yang berbeda lalu diamalkan bersama-sama. Tarekat ini lebih

merupakan sebuah tarekat baru dan berdiri sendiri. Di dalamnya terdapat unsur-

unsur pilihan dari tarekat Qadiriyah dan juga Naqsabandiyah yang telah

dipadukan (Bruinessen, 2012: 264). Ajaran TQN terangkum dalam kitab singkat

berjudul Fath al-‘Arifin setebal sebelas halaman yang menguraikan tentang bai’at,

zikir, muraqabah, dan silsilah TQN.82 Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas

kemudian diturunkan oleh murid dan khalifahnya Muhammad Ismail bin Abd al-

Rahman al-Bali. Khatib Sambas wafat sekitar 1878 M. (1875 M. menurut Mahrus,

Jamani & Hadi, 2003), dan kedudukannya sebagai pimpinan tarekat digantikan

oleh khalifahnya, Syeikh Abdul Karim Banten (bermukim di Mekah) (Hurgronje,

1931: 276). Kharisma Abdul Karim menyebabkan TQN berkembang sangat pesat

terutama di daerah Banten dan daerah lain mulai dari Sumatera Selatan sampai
82
Ulasan tentang isi kitab ini dapat dibaca dalam buku karya Erwin Mahrus, Rosadi Jamani, dan
Edy Kusnan Hadi (Shaykh Ahmad Khatib Sambas (1803-1875) Sufi & Ulama Besar Dikenal
Dunia. 2003. 37-58).
205

Lombok. Selain Abdul Karim, Ahmad Khatib Sambas juga memberi ijazah

kepada dua orang khalifah lainnya, yaitu Syaikh Tholhah di Cirebon dan Kyai

Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura (menetap di Mekah).

Menjelang akhir abad ke-19, TQN berperan dalam beberapa

pemberontakan rakyat yang besar. Pemberontakan petani di Banten tahun 1888

M. dan pemberotakan orang Sasak di Lombok melawan kerajaan Bali yang

menguasai hampir seluruh pulau itu. Pemberontakan di Lombok dipimpin oleh

Guru Bangkol yang juga mengaku sebagai guru TQN dan memanfaatkan jaringan

tarekatnya untuk mengkoordinasikan gerakan anak buahnya (Bruinessen, 2012:

231). Terkait dengan pemberontakan petani di Banten, Kartodirdjo (1984: 231)

mengatakan bahwa propaganda TQN di berbagai daerah membawa efek

bangkitnya semangat yang sangat militan menentang penguasa asing. Keyakinan

umat Islam yang tak pernah padam mengenai Perang Sabil disuarakan tak henti-

hentinya. Pada permulaan kegiatannya, gerakan kebangkitan kembali yang

dipimpin oleh Abdul Karim memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal

keagamaan dan bernada puritan yang kuat. Setelah Abdul Karim meninggalkan

Banten, gerakan mulai berpaling dari kegiatan-kegiatan yang semata-mata

diarahkan kepada kebangunan Islam, dan suatu semangat anti-asing mulai

merembesi praktik-praktik tarekat itu. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru

tarekat yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran mistik sepenuhnya di

bawah tujuan politik.

Meskipun TQN dikembangkan oleh Ahmad Khatib yang merupakan

putra asli Sambas, tetapi perkembangannya di Sambas jauh tertinggal


206

dibandingkan di daerah lain khususnya di Jawa. Bruinessen (2012: 268) mencatat

bahwa pada sekitar 1970 terdapat empat pusat TQN yang penting di Jawa, yaitu

Rejoso (Jombang) dengan Kyai Musta’in Romly, 83 Mranggen (dekat Semarang)

dengan Kyai Muslikh, Suryalaya (Tasikmalaya) dengan Abah Anom, dan

Pagentongan (Bogor) dengan Kyai Tohir Falak84.

Berbeda dengan di Jawa, di Kalimantan Barat ajaran TQN tidak

berkembang pesat, meskipun keberadaannya hingga saat ini masih eksis. Di

Pontianak, ajaran Khatib Sambas disebarkan oleh muridnya Syaikh Mahmud bin

Muhammad yang diteruskan kepada Habib Ahmad bin Husin al-Qadri, diturunkan

kepada Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi, turun kepada Habib

Abdurrahman bin Muhammad al-Hinduan, dilanjutkan kepada Habib Alwi bin

Abdurrahman al-Hinduan. Agak belakangan dua orang khalifah yang berbeda

yaitu almarhum Sayyid Muhammad Ridho bin Yahya yang silsilahnya

menyambung ke Kyai Muslikh Mranggen dan Kyai H. Muhammad Nur Fattah

yang menerima ajaran TQN dari Abah Anom Suryalaya. Muhammad Nur Fattah

juga berguru kepada Kyai H. Abdul Rani Mahmud al-Yamani yang merupakan

wakil talqin (khalifah) Abah Anom di Pontianak. Sejak Abdul Rani Mahmud

wafat tahun 1991, maka Muhammad Nur Fattah diangkat sebagai khalifah untuk

wilayah Kalimantan Barat (Mahrus, Jamani, & Hadi, 2003: 71-72).

Di Sambas, kampung halaman Ahmad Khatib Sambas, TQN tidak

berkembang sepesat di Jawa antara lain disebabkan tidak adanya lembaga

83
Penjelasan lebih lanjut tentang TQN di Ponpes Rejoso ini dapat dibaca dalam buku tulisan
Mahmud Sujuthi (Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, 2001).
84
Mahrus, Jamani & Hadi (2003: 70)menambahkan Pesantren Tebuireng Jombang dengan Kyai
Syamsuri Badawi sebagai pesantren pengembang TQN.
207

pendidikan pesantren atau sejenisnya yang menjadi media utama penyebarluasan.

Seperti yang terlihat dari cara penyebarluasan TQN oleh dua orang murid Ahmad

Khatib di Sambas, keduanya hanya mengandalkan rumah pribadi dan surau

sebagai pusat pengajaran TQN. Di Sambas, TQN disebarluaskan oleh dua orang

murid Ahmad Khatib Sambas, yaitu Syaikh Muhammad Saad (1807-1922) dan

Syaikh Nuruddin (1835-1895). Muhammad Saad mengembangkan TQN di

rumahnya sendiri di Selakau hingga wafat pada 1922. Selanjutnya ajaran TQN

dikembangkan oleh murid-muridnya: H. Zainal (Selakau), M.S. Hasan

(Semparuk), Marzuki (Semparuk), dan Ja’far (Parit Bilal). Sementara itu,

sepulang dari Mekah Nuruddin mendirikan surau di Tekarang, Sambas sebagai

pusat pengembangan TQN dan mengajarkan ilmu-ilmu agama yang lain. Karena

Nuruddin menguasai berbagai disiplin ilmu agama, Sultan Sambas

mengangkatnya sebagai penasihat bidang keagamaan. Ajaran-ajaran Nuruddin

kemudian diterukan oleh murid-muridnya: Dato’Karang (Makrampai), H. Harun

(Makrampai), H. Daud (Makrampai), H. Bijarmi (Sempadian), dan Abul Hamid

Fauzi (Rantau Panjang) (Mahrus, Jamani, & Hadi, 2003: 73-80).

2.4.6 Islam dan Tradisi

Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) mewarnai kehidupan

keagamaan masyarakat pada periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di

Kerajaan Sambas. Tidaklah mengherankan jika di tengah masyarakat, berbagai

bentuk tradisi keagamaan seperti tahlil, haul, dan ziarah kubur sangat dikenal

masyarakat dan terus terpelihara. Dalam buku catatan harian tahun 1926, Basioeni
208

Imran menulis bahwa dirinya sering menghadiri acara tahlilan dan haul yang

diadakan masyarakat (Imran, 1926).

Dalam catatan harian hari Jumat, 1 Januari 1926, Basioeni Imran

menulis: “Jumat ini saya membaca Nashaihul ‘Ibad di masjid dan saya membaca

khutbah Jumat karena khatib Zabir ada uzur. Jadi Imam Jumat Imam Maharaja

Abdurrahman. Asar hari ini menujuh85 hari Nazhah binti Dato’ Kaya Haji Su’ud

orang-orang hadir tahlil ramai.” Tidak hanya sering menghadiri acara yang

dilakukan masyarakat, Basioeni Imran sendiri mengadakan tahlil dalam

memperingati haul untuk kedua orang tuanya serta kakeknya sebagaimana tertulis

dalam agenda hariannya. Hari Jumat, 8 Januari 1926 Basioeni Imran menulis:

“Lepas Jumat saya memanggil sanak saudara buat tahlil haul Bunda Sa’mi

(Shaleh) dan daripadanya Imam Maharaja, khatib-khatib, dan Datuk Kaya Su’ud.

Membuat 12 saprah nasi.” Pada hari Jumat, 9 April 1926, Basioeni mencatat:

“Tahlil haul almarhum ayahnda Muhammad Imran membuat ada lebih kurang 25

saprah. Belanja lebih 100 rupiah. Imam-imam dan khatib dan lain-lain penuh

seramainya di surau.” Demikian juga pada hari Jumat, 7 Mei 1926 Basioeni Imran

menulis: “Tahlil haul almarhum Maharaja Imam Muhammad Arif di rumah

ayahnda Imam Muhammad Jabir di rumahnya di Tanjung”.

Di samping mengadakan tradisi tahlil, ada juga tradisi sedekah kubur

yang dilakukan oleh Basioeni Imran. Tradisi sedekah kubur ini dilakukan di bulan

Sya’ban dengan menyediakan uang 30 rupiah (catatan harian 20 Januari 1926).

Tradisi lainnya adalah ziarah kubur yang menjadi tradisi kalangan istana

85
Acara selamatan atau pembacaan tahlil pada hari ketujuh setelah meninggalnya seseorang.
209

sebagaimana diungkapkan Basioeni Imran dalam catatan hariannya hari Minggu,

28 Februari 1926: “Ziarah kubur duli Sultan Muhammad Shafiyuddin, duli Sultan

tiada berangkat. Pangeran Bendahara hadir. Pangeran Laksamana hadir dan yang

lain-lain seperti biasa. Waktu zhuhur kami ziarah.”

Tradisi mengadakan selamatan yang didalamnya dibacakan tahlil juga

diungkapkan oleh surat kabar Oetoesan Borneo (18 April 1928) dengan judul

berita “Harap Diperhatikan”:

Telah menjadi tradisi atau kebiasaan di masyarakat Sambas untuk


menyediakan jamuan makan kepada para pelayat pada waktu “turun
tanah” yaitu hari pertama sebelum mayat dikuburkan. Persediaan nasi yang
disiapkan untuk para pelayat sekurang-kurangnya 30 saprah yaitu cukup
akan dimakan oleh 30 x 6 orang, dan membutuhkan biaya kira-kira f 90,-.
Selain itu, pihak ahli waris juga harus memberi sedekah kepada orang-
orang yang ikut shalat jenazah sekurang-kurangnya f 0,50,-, dan yang ikut
shalat biasanya tidak kurang dari 40 orang. Berturut-turut selama tujuh
malam di rumah yang meninggal juga dilaksanakan tahlil dengan
menyediakan “soda” kira-kira 15 saprah tiap malam. Selanjutnya pada
siang hari yang ke- 3, 7, 15, 25, 40 dan yang ke 100 hari dilakukan acara
selamatan dengan menyediakan nasi seperti pada hari turun tanah
(Oetoesan Borneo, 18 April 1928).

Selain tradisi selamatan dan tahlilan, ada juga tradisi di tengah masyarakat

terkait dengan pernikahan. Tradisi yang sekarang disebut “uang angus” adalah

pemberian dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon

mempelai perempuan. Tradisi yang disebut oleh surat kabar Oetoesan Borneo

sebagai “ongkos kawin” telah ada sejak dahulu di Kerajaan Sambas. Surat kabar

Oetoesan Borneo edisi Nomor 28 Tahoen ke-1, 11 April 1928 menurunkan berita

berjudul “Boentoetnja perkara membesarkan ongkos Kawin”:

Di Sambas ada adat jang patoet diobah, jaitoe membesarkan ongkos


kawin, jang paling ketjil f 1000,- (seriboe roepiah) boeat satoe anak. Kalau
anak perempoean lebih lagi ganda doea. Karena tradisi tersebut banyak
pemuda atau pemudi yang berencana menikah terpaksa ditunda bahkan
210

batal karena ketidakmampuan pihak laki-laki memberikan ongkos kawin


yang besar. Banyak orang tua pihak laki-laki yang tidak mampu memenuhi
permintaan ongkos kawin yang besar dari pihak perempuan karena dia
memiliki banyak anak. Orang tua memerlukan waktu yang lama untuk
mengumpulkan uang untuk menyediakan ongkos kawin bagi anaknya yang
berikutnya.
Ada pemoeda jang mintak beberapakali kepada orang toeanja, soepaja
disigrakan mengawinkannja. Dapat djawapan dari orang toeanja: “Sabar
doeloe, lagi beloem koempoel wang. Kita moesti menoeroet rasam orang,
berongkost besar orang, kita poen begitoe djoega”. Tinggal lagi si anak
kalau waktoe malam memeloek bantal panggah, dan menggeraman
kepadanja (Oetoesan Borneo, 11 April 1928).

Surat kabar Oetoesan Borneo melanjutkan beritanya bahwa salah satu dampak

dari tradisi ini adalah banyaknya pemuda yang mencari jalan pintas untuk

memenuhi nafsu birahinya dengan menemui wanita tunasusila yang di masyarakat

Kerajaan Sambas menyebutnya dengan istilah “soendal” atau “Konde Litjin” atau

”topi mering” yang berasal dari luar pulau Kalimantan (Borneo) (Oetoesan

Borneo, 10 Maret 1928).

2.4.7 Perkembangan Lembaga Pendidikan

Salah satu aspek yang berperan penting dalam membawa kemajuan

masyarakat Kerajaan Sambas, khususnya memasuki abad ke-20, adalah

didirikannya lembaga pendidikan yang pada awalnya berpusat di lingkungan

istana. Effendi (1995: 20) menyebutkan pada 1872, Sulthan Mohamad Tsafioedin

II mendirikan masjid di halaman depan istana di pinggir sungai Sambas. Dalam

waktu yang hampir bersamaan, dibangun pula sebuah sekolah Arab dengan nama

Madrasah al-Sulthaniyah yang teletak di sisi kiri istana. Muridnya terdiri dari

keluarga raja dan keluarga imam dan khatib.


211

Berbeda dengan pendapat Effendi, Mahrus, Jamani, & Hadi (2003: 10)

menyebutkan waktu yang lebih awal berdirinya Madrasah al-Sulthaniyah yaitu

pada 1868, dua tahun setelah Sultan Mohamad Tsafioedin II diangkat menjadi

Sultan. Belum ditemukan sumber yang dapat memperkuat dua pendapat tersebut,

termasuk penyebutan nama “madrasah” pada lembaga pendidikan yang berpusat

di istana itu. Naskah Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad

Basioeni Imran Maharadja Imam Sambas (1950) menuliskan bahwa Basioeni

Imran tamat mengaji Quran dan Sekolah Melayu di Sambas pada 1898.

Naskah juga menyebutkan mulai 1905 Basioeni Imran diangkat oleh

Sultan Muhammad Safiuddin menjadi Imam pembantu di Masjid Jami’ dan

memberikan pengajaran agam Islam di istana Sultan Sambas untuk puteri-puteri

dan ahli istana. Diduga kuat bahwa yang dimaksud dengan “Sekolah Melayu”

adalah lembaga pendidikan yang berpusat di istana yang diperuntukkan bagi

keluarga kerajaan dan keluarga imam dan khatib. Sebagai anak dari Maharaja

Imam Muhammad Imran dan sekaligus sebagai kerabat istana, maka Basioeni

Imran sangat dimungkinkan untuk belajar di “Sekolah Melayu” tersebut.

Berdasarkan data ini, dapatlah dinyatakan bahwa lembaga pendidikan yang

disebut sebagai “Madrasah al-Sulthaniyah” tidaklah dalam bentuk madrasah yang

formal sebagaimana dipahami pada umumnya. Disebut sebagai madrasah (tempat

belajar) karena kegiatan tersebut memang berisi proses belajar mengajar.

Sedangkan penggunaan kata “al-Sulthaniyah” karena proses belajar mengajar

tersebut diprakarsai oleh Sultan (Sultan Mohamad Tsafioedin II).


212

Penelitian Muis Ismail menyebutkan pada 28 Zulkaiddah 1328 H atau

1910 M. didirikan Sekolah Raja yang diasuh oleh Belanda. Sekolah Raja ini

menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Secara tersembunyi,

sekolah ini didirikan Belanda sebagai sarana untuk mencengkram keluarga istana

secara halus. Menyadari hal ini, pada 1914, Basioeni Imran mendirikan sekolah

Islam di rumahnya di Kampung Dagang Timur, di rumah peninggalan ayahnya

(Ismail, 1993: 25-26). Sekolah ini dalam perkembangannya diberi nama Madrasah

al-Sulthaniyah.

Berdasarkan beberapa sumber surat kabar, ditemukan data bahwa yang

mendirikan sekolah agama tersebut bukanlah Basioeni Imran, sebagaimana

disebutkan oleh Muis Ismail, tetapi saudaranya Fauzi Imran atas restu dan

kemurahan hati Sultan Mohamad Tsafioedin II. Surat kabar Borneo Barat

Bergerak yang terbit 1 Februari 1920 / 11 Djoemadilawal 1338. Nomor 9 Tahoen

1 menuliskan pada halaman 4 berita sebagai berikut:

Di beberapa negri soedahlah didirikan orang sekolah agama jang


sedemikian itoe, baik oentoek kanak-kanak baikpoen oentoek orang toea-
toea, akan tetapi adalah bilangannja baroe amat sedikit. Di Borneo Barat
ini baroelah satoe jang kedengaran jaitoe di Sambas. Sekolah agama itoe
chabarnja terdiri dengan limpah dan kemoerahan hati Sp. Jmm. Toeankoe
Soeltan Sambas jang berhati demawan kepada hamba ra’jatnja. Dan goet
[r]oenja, Ahmad Fauzi, seorang moeda jang berhati kaoem moeda lagi
terpeladjar ditanah Mesir dengan beberapa orang toean-toean hadji jang
berhati kaoe[m] moeda djoega. Moedah-moedahan negeri-negeri jang lain-
lain di-Borneo Barat ini akan memboeat djoega jang seperti di-Sambas iteo
(Borneo Barat Bergerak, 1 Februari 1920).

Berita yang ditulis pada 1920 di atas menyebutkan yang mendirikan sekolah

agama adalah Sultan Sambas dan peran Ahmad Fauzi adalah sebagai guru. Waktu

pendiriannya juga tidak disebutkan. Data yang lebih jelas didapatkan dari surat
213

kabar Oetoesan Borneo dalam dua edisi terbitan yaitu edisi nomor 16 tahun ke-1

(25 Februari 1928) dan nomor 79 tahun ke-1 (13 Oktober 1928). Oetoesan Borneo

nomor 16 menulis di halaman 4 sebagai berikut:

Di Sambas, ada satoe-satoenja sadja sekolah Arab, jang soedah beroemoer


9 tahoen sampai sekarang, jang didirikan oleh Almahoem s.p.j.m. Sulthan
Mohamad Safiudin. Tempo moela-moela diboeka itoe sekolah dikepalai
oleh almarhoem H. Ahmad Fauzi dan satoe pembantoenja H. Ahmad
Soeoed jang kedoeanja keloearan Egypt, dan ongkost sekolah ditoenjang
oleh almarhoem Sultan jang boediman itoe, dan anak moerid tidak
dipoengoeti bajaran, selaloelah toenjangan wang berlakoe, dan moerid
tidak membajar bajaran, hingga wafat Soelthan Mohamad Ali Safiudin
jang moeda. Sekarang itoe sekolah dikepalai oleh Imam H. Mohamad
Djabir, dan 4 orang pembantoenja berkaoem, melainkan satoe saja nama
Mohamad Siri; dan tonjangan tidak dapat lagi, karena Soelthan tidak dan
beloem diangkat (Oetoesan Borneo, 25 Februari 1928).

Berdasarkan kutipan Oetoesan Borneo di atas, sekolah Arab tersebut pada

1928 telah berusia 9 tahun yang berarti didirikan pada tahun 1919 oleh Sultan

Muhammad Safiuddin. Informasi dari Oetoesan Borneo edisi Nomor 42, 2 Juni

1928 menyebutkan bahwa sekolah agama telah berdiri lebih 10 tahun, yang berarti

didirikan sebelum 1918. Selanjutnya dalam Oetoesan Borneo nomor 79 halaman

2 terdapat berita tentang peran Ahmad Fauzi Imran dalam madrasah al-

Sulthaniyah sebagai berikut:

Dalam gewest ini hanja di Sambas moelai terdiri sekolah agama Islam jang
agak teratoer ialah atas andjoeran toean almarhoem A.F. Imran [Ahmad
Fauzi Imran] seorang jang menjintai kemadjoean dalam hal agama, beliau
seorang bekas student dari sekolah Islam tinggi di Cairo. Kemoedian kita
lihat sekolah jang seroepa itoe djoega di Mempawah, baroelah dalam
tahoen 1926 terdiri di Pontianak atas anjoeran toean Sech Joesoef…..di
sekolah moerid mendapat peladjaran bahasa Arab dan menoelis atau
membatja, sedangkan kepandaian ilmoe boemi, ilmoe alam, ilmoe
berhitoeng, d.l.l. diadjarkan djoega kepada moerid-moerid…..almarhoem
toean A.F. Imran dan kini diteroeskan oleh saudaranya toean Mohd.
Basioeni Imran cs. Sebagai sekolah agama Sambas jang paling menarik
hati kita ialah tentang goeroe jang mengadjar ada terdiri dari Indonesier
Sambas semoeanja, dan patoetlah orang sana berbesar hati akan
214

kemadjoean anak negerinja jang mempoenjai ilmoe kepandaian mengadjar


bahasa Arab disoeatoe sekolah, bahkan ada beberapa Indonesier Sambas
telah beladjar djadi Student di Cairo seperti Achmad Soeoed, Achmad
Fauzie Imran, Mohamad Taufiek, dan lain-lain toean kita tiada kenal
namanja (Oetoesan Borneo, 13 Oktober 1928).

Secara khusus beberapa penulis menyebutkan bahwa secara formal

lembaga pendidikan sekolah agama atau sekolah Arab yang bernama Madrasah

al-Sulthaniyah didirikan pada 1916 (Rahmatullah, 2003: 34; Mahrus, 2007: 22;

Maksum, 1999: 98; Fahmi, 2008: 41). Berdasarkan manuskrip yang ditulis

Basioeni Imran Al-Madrasah al-Sulthaniyah al-Islamiyah86 yang isinya tentang

sejarah berdiri dan berkembangnya Madrasah al-Sulthaniyah, diperoleh informasi

sebagai berikut: Sultan Muhammad Tsafioeddin II memiliki kehendak dan

diusahakan dan dipikirkan oleh Basioeni Imran bersama Raden Temenggung

(yang nanti menjadi Sultan Muhammad Ali Shafiuddin). Basioeni Imran

kemudian mengundang para tokoh Sambas untuk bermusyawarah di Rumah

Imam Hamid pada malam 11 Zulqaiddah 1332 (Oktober 1914).

Berawal dari pertemuan tersebut dilanjutkan berkali-kali petemuan untuk

mematangkan rencana pendirian madrasah yang dimotori oleh Basioeni Imran dan

Raden Temenggung. Pada saat itu Ahmad Fauzi Imran (adik kandung Basioeni

Imran) masih belajar di Mesir. Segala sesuatu telah dipersiapkan terutama dalam

hal pembiayaan yang diambil dari beras fitrah dan berbagai sumber lainnya.

Setelah Ahmad Fauzi Imran pulang dari Mesir, maka dibukalah madrasah tersebut

karena memang dialah yang ditunggu-tunggu untuk menjadi guru dan

mengelolanya. Selanjutnya Ahmad Fauzi-lah yang mengatur berbagai ketentuan

86
Manuskrip ini judulnya tidak ada, namun karena isinya berbicara tentang Madrasah al-
Sulhaniyah, peneliti memberinya judul tersebut.
215

mengenai keuangan, kurikulum, dan peraturan madrasah lainnya. Selain kehendak

sultan untuk membuka madrasah, gaji guru sepenuhnya juga ditanggung oleh

Sultan Moehammad Tsafioeddin II dan karenanya madrasah tersebut dinamai al-

Madrasah al-Sulthaniyah al-Islamiyah.

Selanjutnya Ahmad Fauzi Imran menjadi guru kepala (kepala madrasah)

dibantu oleh Haji Ahmad bin Datuk Kaya Laila Mahkota. Sedangkan Basioeni

Imran dalam kedudukannya sebagai Maharaja Imam menjadi pengawas madrasah

tersebut (Imran M. B., Al-Madrasah al-Sulthaniyah al-Islamiyah, tt.: 1-3).

Berdasarkan penjelasan dalam manuskrip ini, maka pendapat beberapa penulis

yang mengatakan Madrasah al-Sultaniyah didirikan tahun 1916 adalah yang

paling mendekati kebenaran.

Dalam perkembangan selanjutnya, salah seorang murid dari sekolah

agama Madrasah al-Sulthaniyah menyemarakkan pendidikan bagi masyarakat

Sambas dengan mendirikan sekolah sendiri di Kampung Manggis. Oetoesan

Borneo edisi nomor 84 tahun ke-1 yang terbit 31 Oktober 1928 menulis bahwa

berdasarkan kesepakatan para ahli Kampung Manggis yang dipimpin oleh

Ahmad, mantan kepala Kampung Manggis, maka berdirilah sekolah agama.

Umurnya kira-kira 7 bulan dan yang mengajar M. Joesoef alias H. Soelaiman.

Dulu ia adalah bekas murid agama School Sambas (Madrasah al-Sulthaniyah).

Sekolah telah mendapatkan izin dari Bestuurcommisie dengan besluit nomor 6, 1

Oktober 1928.

Untuk sementara, sekolah menumpang di sebuah rumah kosong milik

orang Kampung Manggis sendiri. Karena ramainya murid sekolah, terpaksa waktu
216

belajar dibagi dua, pagi dan sore. Pagi murid masuk pukul 07.30 sampai 11.30,

sore masuk pukul 13.00 sampai 15.00 sore. Malam hari para orang tua atau

dewasa juga ada yang belajar, seperti belajar burda, mengaji, membaca kitab,

menulis, dan lain-lain. Anak-anak dan para orang tua atau dewasa terlihat

bersungguh-sungguh. Sekarang (31 Oktober 1928) telah didirikan sebuah rumah

(gedung) sekolah baru “pisinan” atau potongan kawat sampai mau jadi, letaknya

berdekatan dengan rumah sekolah yang lama sebelah barat dari gang kampung,

jadi menghadap ke timur. Di samping anak-anak Kampung Manggis senang

sekolah agama, sekolah lain juga senang sekolah seperti Sekolah Kelas II, Sekolah

HIS, MULO. Melihat hal tersebut, anak-anak kampung Manggis berlomba-lomba

sekolah.

Gambar 2.3. Murid-murid dan Dewan Guru Madrasah Al-Sulthaniyah


di Depan Istana Sekitar Tahun 1930-an

Sumber: Koleksi Museum Warisan Melayu Sambas, 2010.


217

Berdasarkan berita Oetoesan Borneo, edisi nomor 42 tahun ke-1, 2 Juni

1928 halaman 1 disebutkan bahwa selain sekolah agama yang bernama Madrasah

al-Sulthaniyah di sambas juga terdapat HIS (Hollandsche Inlandsche School) dan

Sekolah Kelas 2 Negeri.

Di Sambas ada 3 boeah sekolah bagi Boemipoetranja 1. HIS; 2.


Governement 2 Klasse dan 3. Agama School. Ketiga sekolah itoe
berlomba-lomba tetapi sekarang kenjataan HIS lah jang soedah ambil
sistem kalah, karena moeridnja 7 klas coema didalam + 50 orang,
sedangkan di sekolah lainnja berlebih-lebihan. Kita ta’ toelis pandjang,
dan dalam-dalam mengetahoei hal ini tetapi jang perloe kita bentangkan di
sini ialah sekolah Agama. Boediman Soeltan Moehammad Sjafioeddin dan
kemoerahan hatinya t. Ahmat Fauzi (dua marhoem kedoea-doeanja)
berdirilah sekolah agama itoe di Sambas jang sekarang soedah lebih dari
10 th. Banjaklah moerid-moeridnja lelaki dan perempoean; boleh dikata
sama banjak. Terlebih lagi sekiranja, seboleh-bolehnja sekolah agama itoe
dipercjeraikan moerid laki-laki dengan moerid perempoean. Laki-laki
bersekolah di Agama School dan perempoean diberi pengadjaran sebagai
vroed vrouw school; lebih bagoes lagi kalau didirikan sekolah vroed
vrouw itoe di Sambas menilik banjaknya anak-anak perempoean dan
goeroenja poen perempoean poela jang achirnja ada membawa lebih
kebadjikan dari jang soedah-soedah bagi kaoem-kaoem iboe di Sambas
(Oetoesan Borneo, 2 Juni 1928).

Sekolah HIS yang disebut oleh surat kabar di atas dapat diduga adalah apa yang

disebut oleh Muis Ismail sebagai Sekolah Raja yang dibangun di lingkungan

istana dengan menggunakan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Pada bab

sebelumnya disebutkan bahwa HIS sebagai sekolah kelas 1 adalah sekolah yang

dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda bagi keluarga kalangan terkemuka

yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Untuk kalangan

masyarakat biasa, pemerintah Hindia Belanda juga membangun sekolah kelas 2

negeri yang di dalam Oetoesan Borneo di atas disebut Governement 2 Klasse.

Selanjutnya agama school yang dimaksud Oetoesan Borneo adalah sekolah

Madrasah al-Sulthaniyah.
218

Selain tiga sekolah di atas, berdasarkan berita yang ditulis dalam Oetoesan

Borneo nomor 39 taheon ke-1, 19 Mei 1928 terdapat satu sekolah swasta yang

dibina oleh orang Tionghoa.

Selanjutnya pada tanggal 1 Mei 1928 didirikan satu sekolah particulier


Bahasa Inggris. Sekolah tersebut menggunakan gedung Hindio Bioscop
dengan gurunya seorang Tionghoa bernama Tjong Ki Pai dengan
pembayaran f. 3,- sebulan. Mulai belajar jam 2 sampai jam 4 sore.
Muridnya berjumlah 27 orang, dan lebih 20 orang pemuda-pemuda dari
kampung Dagang (Oetoesan Borneo, 19 Mei 1928).

Dengan berdirinya sekolah swasta (particulier) Bahasa Inggris yang dibina oleh

orang-orang Tionghoa, dapat dikatakan di ibukota Kerajaan Sambas hingga 1928

telah berdiri lembaga pendidikan yang cukup representatif sifatnya. Ada sekolah

yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda baik untuk kalangan

bangsawan (HIS) maupun untuk kalangan masyarakat biasa (Kelas 2), sekolah

yang dibangun oleh dan untuk umat Islam (Madrasah al-Sulthaniyah), dan sekolah

swasta yang didirikan oleh orang-orang Tionghoa.

Peneliti tidak mendapatkan sumber-sumber lain yang memberikan

informasi kondisi pendidikan di Sambas sampai pada 1940-an. Surat kabar

Borneo Barat nomor 92 tahun ke-5, 10 Agustus 1940 halaman 2 menurunkan

berita Pekumpulan Muhammadiyah telah membentuk Majelis Pengajaran yang

programnya antara lain mengadakan madrasah dan internaat, membuka sekolah

untuk memajukan pengajaran, memperbanyak guru-guru Islam dan memajukan

perhubungan pendidikan sekolah dan pendidikan rumah (Borneo Barat, 1940).

Selanjutnya Borneo Barat nomor 46 tahun ke-6, 22 April 1941 menulis berita

bahwa Comite Pendirian Sekolah Muhammadijah (CPSM) akan membuka satu

sekolah pada Agustus 1941. Untuk maksud tersebut, CPSM telah mengumpulkan
219

uang sebanyak f 1000,- yang diperoleh dari anggota-anggota Muhammadiyah di

Sambas. Bahan-bahan bangunan untuk membangun gedung sekolah telah

disiapkan, tinggal menunggu waktu untuk didirikan (Borneo Barat, 1941).


220

BAB III

RIWAYAT HIDUP DAN GENEALOGI INTELEKTUAL

HAJI MOEHAMAD BASIOENI IMRAN

3.1 Latar Belakang Keluarga dan Sosok Pribadi

Berdasarkan hasil penelitian Ismail (1993: 11-12), silsilah Haji Moehamad

Basioeni Imran bersambung ke atas hingga Datuk Mustafa, yang memiliki

hubungan dengan Raja Gipang, penguasa kerajaan Hindu di daerah Sabung,

Paloh. Datuk Mustafa mempunyai anak bernama Nurdin (Nuruddin). Nuruddin

mempunyai tiga orang istri: Mas Nafsiah, Encik Sa’diah, dan seorang perempuan

asal Mekah yang tidak diketahui namanya. Pada masa pemerintahan Sultan

Muhammad Ali Syafiuddin (berkuasa 1813-1826 M), Nuruddin diangkat menjadi

imam kesultanan Sambas. Selanjutnya Nuruddin dikenal dengan sebutan Imam

Nuruddin. Dari pernikahan Imam Nuruddin dengan Mas Nafsiah lahir anak

bernama Muhammad Arif. Pada 1872 Sultan Mohamad Tsafioedin II mengangkat

Muhammad Arif sebagai maharaja imam pertama Kerajaan Sambas (Effendy,

1995: 20).

Maharaja Imam Muhammad Arif mempunyai dua orang istri: Wan Aisyah

dan Encik Biru. Dari perkawinannya dengan Wan Aisyah lahir enam orang anak

yaitu: Raba’ah, Nawyah (istri Sultan Mohamad Tsafioedin II), H. Imran, Halimah,

H. Abdullah Gamri (Imam Muda), dan H. Mustafa. Setelah Maharaja Imam

Muhammad Arif wafat, ia digantikan oleh anaknya H. Imran. Maharaja Imam H.

Imran mempunyai dua orang istri: Salehah atau biasa dipanggil Sa’mi dan

220
221

Badriyah. Dari rahim Sa’mi lahirlah empat orang anak yaitu: Muhammad

Basioeni, Ahmad Fauzi, Hamdah, dan Aisyah. Hamdah dan Aisyah meninggal

saat masih kecil. Saat anak-anaknya masih kecil, Sa’mi meninggal dunia.

Maharaja Imam H. Imran selanjutnya menikah dengan Badriyah. Dari istri

keduanya ini Maharaja Imam H. Imran memiliki anak yaitu: (1) Haji Maaz; (2)

Abdiyah; (3) Fathumah [Fathimah]; (4) Fachriyah; (5) Munzir; (6) Hifni [Gifni];

(7) Mahfuzhah; (8) Wajidiyah; dan (9) Haji Zuhdi (Ismail, 1993: 12-13).87

Dalam surat yang dikirimkannya kepada G. F. Pijper, 88 Basioeni Imran

menjelaskan riwayat singkat dirinya.

H. Muhammad Basioeni Imran, Maharaja Imam, adalah putra H. Imran


Maharaja Imam bin H. Muhammad Arif Maharaja Imam (Maharaja Imam
adalah gelar bagi orang yang menjadi Hakim dan Kepala urusan agama
Islam di Kerajaan Sambas) cucu H. Imam Nuruddin putra Imam Mustafa.
Lahir di Sambas pada hari Senin tanggal 25 Zulhijjah tahun 1302 Hijriyah
(16 Oktober 1885) (Pijper, 1985: 142).89

87
Badran dalam wawancaranya menyebutkan urutan yang berbeda dan hanya menyebut delapan
orang, yaitu: (1) H. Zuhdi; (2) H. Ma’adz; (3) H. Munzir; (4) Wajidiyah; (5) Mahfudzah; (6)
Gifni (berdasarkan prasasti makam, nama yang benar adalah Gifni, bukan Hifni seperti ditulis
oleh A. Muis Ismail); (7) Fahriyah; dan (8) Fathimah (Badran, wawancara, 8 September
2016).
88
G. F. Pijper pernah berkunjung ke Sambas pada tahun 1947 saat mengadakan perjalanan
keliling Kalimantan Barat. Setelah membaca tulisan Basioeni Imran tentang agama, Pijper tahu
bahwa ia murid Rasyid Ridha. Karena tertarik dengan sosok Basioeni Imran Pijper kemudian
memohon kepada Basioeni Imran agar menulis riwayat hidup dan pendidikannya di bidang
agama. Basioeni Imran kemudian menulis surat pada 2 Desember 1950 M (2 Safar 1370 H).
89
Tanggal kelahiran 25 Zulhijjah 1302 juga kemukakan oleh Harun Nawawi, sekretaris pribadi
Basioeni Imran (Ismail, 1993: 15; Badran, tt). Hal ini berbeda dengan yang ditulis oleh Effendy
(1995: 14) yang menulis tanggal lahirnya adalah 23 Zulhijjah 1300 H. (4 November 1883).
Sesuai dengan yang telah ditulis sendiri oleh Basioeni Imran serta didukung oleh Harun
Nawawi dan Badran maka dapat disimpulkan bahwa kelahiran Basioeni Imran tanggal 25
Zulhijjah 1302 H adalah lebih kuat dan dapat dipercaya. Dengan menggunakan program
Conversion of Hijri A.H. (Islamic) and A.D. Christian (Gregorian) yang tersedia pada website
www.muslimphilosophy.com ditemukan bahwa tanggal 12 Zulhijjah 1302 hasil konversinya
menunjukkan tanggal 5 Oktober 1885 M. Pada prasasti di makam Basioeni Imran tanggal
kelahirannya adalah 16 Oktober 1885, sesuai dengan yang disebutkan oleh G.F. Pijper.
222

Ibunya bernama Sa’mi, wafat pada saat Basioeni Imran dan ketiga adiknya

masih kecil, yaitu Ahmad Fauzi, Hamdah, dan Aisyah. Mereka kemudian diasuh

oleh ibu tirinya bernama Badriyah (Ardhi, 2001: 4). Badriyah adalah seorang yang

bijak dan mengerti tanggung jawabnya sebagai pengganti ibu kandung bagi

keempat anak tirinya. Badriyah sangat sayang kepada mereka bahkan

menganggap mereka sebagai anak kandungnya (Ismail, 1993: 18). Dari anak-anak

Maharaja Imam H. Imran tersebut, ada tiga orang yang menonjol dan akan

mewarisi keulamaannya, yaitu M. Basioeni, A. Fauzi, dan Zuhdi.

Pada 1906 Basioeni Imran pulang dari belajar di Mekah karena ayahnya

sakit. Dua tahun setelah pulang, pada 8 Rajab 1326 H (6 Agustus 1908) Basioeni

Imran menikah dengan Muznah, putri Imam Hamid dari Sambas. Muznah adalah

sepupu Basioeni Imran. Ibu Muznah (istri Imam Hamid) adalah adik kandung

ayah Basioeni, H. Muhammad Imran. Pada 22 Muharram 1328 (3 Februari 1910)

lahir putrinya yang bernama Wahhajah (Pijper, 1985: 143). Dari istrinya Muznah,

Basioeni Imran memiliki anak: (1) Wahhajah; (2) Hasibah; (3) Sabihah; (4)

Hanunah; (5) No’mah; dan (6) Muhammad Rasyid. Anak yang bungsu diberi

nama Muhammad Rasyid karena obsesi Basioeni Imran agar anaknya menjadi

seorang ulama layaknya Muhammad Rasyid Ridha, gurunya di Mesir. Namun

Muhammad Rasyid meninggal saat masih kecil karena fisiknya lemah dan sering

sakit-sakitan.

Basioeni Imran menyadari bahwa dia berasal dari leluhur dan keluarga

ulama. Oleh karena itu wajar jika dia berharap agar keulamaannya diteruskan oleh

anak-anaknya. Karena anak bungsunya, Muhammad Rasyid meninggal, Basioeni


223

Imran memutuskan menikah lagi dengan Mas Marhana binti Mas Zailani dari

kampung Gersik, Pemangkat. Dari perkawinannya yang kedua ini, ia memeroleh

sembilan orang anak: (1) Mu’anah; (2) Makinah; (3) Sahal; (4) Badran; (5)

Dauhah; (6) Taqiuddin; (7) Najimi; (8) Jamaluddin; dan (9) Mustafa (Salim, 1994:

28-29; Badran, Wawancara, 8 September 2016).90

Sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap istri dan anak-

anaknya, Basioeni Imran menafkahi keluarganya dari usaha pertanian khususnya

dari kebun kelapa dan karet yang dimilikinya. Basioeni Imran memiliki kebun

kelapa dan karet serta tanah ladang/sawah di beberapa tempat seperti di Kampung

Sarilaba, Kampung Nunuk, dan di Kampung Dagang. Basioeni Imran juga

memiliki ternak sapi di daerah Selimpai. Karena kesibukannya sebagai Maharaja

Imam, semua kebun yang dimiliki diserahkan kepada orang-orang yang dipercaya

untuk mengelolanya atau dikenal dengan istilah dipajakkan kepada orang lain,

tidak diolah sendiri. Basioeni Imran tidak menagih hasil kebunnya, tetapi orang

kepercayaannya yang menggaraplah yang datang menyetorkan hasil kebunnya.

Jika tidak disetorkan ia diam saja dan tidak menagihnya. Berikut pernyataan

Badran, salah seorang anak Basioeni Imran tentang sang ayah.

Kalau nafkah, beliau itu ndak ada gaji, tapi beliau itu kan penghulu, jadi
dapat dari biaya nikah, zakat, infaq, dan sebagainya. Itu juga untuk biaya
pendidikan kemajuan sekolah. Saat Sultan Tsafioedin II masih hidup
beliau yang membiayai sekolah. Tapi setelah beliau meninggal biaya
pendidikan itu dari zakat dan sebagainya.
Beliau itu punya kebun di Sarilaba, Nunuk, Kampung Dagang. Kebun
karet dan kelapa. Itulah untuk hidup beliau, menghidupi keluarga. Kalau

90
Menurut Abdul Muis Ismail (1993: 15), jumlah anak Basioeni Imran dari Mas Marhana ada
sepuluh orang, namun urutan dari anak ke-6 hingga ke-10 adalah sebagai berikut: Nazimi,
Taqiuddin, Riyat, Jamaluddin dan Mustafa.
224

kebun itu dipajakkan, orang lain menggarapnya, bagi persen, ndak


dikerjakan sendiri (Badran, Wawancara, 8 September 2016).
Jika dilihat dari kehidupan masyarakat Sambas saat itu, kehidupan keluarga

Basioeni Imran tergolong keluarga yang sangat terpandang, kaya, serta alim. Dari

penghasilan kebun yang dimilikinya, Basioeni Imran dapat mencukupi seluruh

kebutuhan keluarganya sehingga termasuk keluarga yang cukup berada. Di rumah

terdapat orang yang bertugas membantu tugas-tugas rumah tangga.

Meskipun menjadi salah seorang pejabat penting di Kerajaan Sambas,

Basieoni Imran tidak mendapatkan fasilitas rumah dinas dan gaji sebagaimana

pegawai pemerintah sekarang.91 Basioeni Imran sehari-hari berdiam di rumah

pribadinya baik di Kampung Dagang (istri pertama) maupun di Kampung Durian

(istri kedua). Sebagai Maharaja Imam dan Kadi, Basioeni Imran memang

mendapatkan pemasukan dari biaya pernikahan, talak, dan rujuk. Pemasukan yang

lain adalah infak dan sedekah dari masyarakat muslim yang masuk ke dalam

Baitul Mal yang dikelolanya. Semua pemasukan tersebut tidak digunakan untuk

kepentingan pribadi, tetapi digunakan untuk biaya operasional pekerjaannya

sebagai Maharaja Imam dan Kadi serta untuk membiayai operasional lembaga

pendidikan yang dikelolanya (Madrasah al-Sulthaniyah / Sekolah Tarbiyatoel

Islam). Biaya operasional pengelolaan lembaga pendidikan sejak wafatnya Sultan

Tsafioedin II tidak lagi mendapat bantuan dari pihak istana (sultan) dan oleh

karena itu pembiayaan dibebankan kepada Baitul Mal.

Menarik untuk diperhatikan bahwa Basioeni Imran juga aktif menjual

kitab-kitab yang ditulisnya. Dalam catatan harian tahun 1926 Basioeni Imran

91
Menurut A. Muis Ismail (1993: 50) Basioeni Imran mempunyai gaji.
225

menulis kalimat: “Minta jualkan kepada Syaikh Abdul Wahab: 5 naskah al-

Nushush wa al-Barahin = 0,50 rupiah,10 naskah Bidayat al-Tauhid = 0,75

rupiah.” Dalam beberapa lembaran buku tulis juga ditemukan catatan penyaluran

dan hasil penjualan kitab-kitabnya yang dijualkan oleh orang lain.

Dari tampilan fisik, Basioeni Imran berperawakan kecil dengan berat

badan lebih kurang 48-50 kg. dan tinggi badan 157-159 cm. Dalam pergaulan

sehari-hari ia sangat sederhana dan akrab bergaul dengan siapa saja, termasuk

dengan para penganut agama lain (Rahmatullah, 2003: 49). Basioeni Imran

pakaiannya senantiasa bersih dan tertata. Ia selalu berkopiah putih atau kopiah

haji dan hampir tidak pernah dilepas kecuali ketika berwudlu dan hendak tidur.

Saat keluar rumah, ia menggunakan kopiah Turki atau bersorban dan berbaju

panjang atau jubah dan menggunakan kain sarung (Ismail, 1993: 48).

Gambar 3.1: Haji Moehamad Basioeni Imran

Sumber: Koleksi Foto Badran bin H.M. Basioeni, Sambas, 9 Agustus 2016
226

Dalam hal makan, Basioeni Imran selalu disiplin makan tiga kali sehari.

Ketika makan, ia selalu menggunakan sendok (sudu’), garpu, dan pisau yang telah

disediakan di atas meja makan. Setelah makan nasi selalu makan buah-buahan.

Setiap pagi makan telur ayam kampung setengah matang, segelas susu, dan

beberapa sendok madu. Pada siang hari untuknya disiapkan teh manis-panas.

Salah satu jenis minuman favoritnya adalah laksamane mengamuk, yaitu buah

asam bacang atau kuini yang dicincang atau diiris halus kemudian dicampur

dengan air santan yang diberi gula merah (Ismail, 1993: 48). Basioeni Imran juga

sangat menyukai ikan kalli’ (ikan lele), bahkan jika diundang dalam sebuah acara

di kampung, beliau sering minta disiapkan menu khusus ikan kalli’.

Salah seorang anak Basioeni Imran, dalam beberapa kali wawancara

mengatakan bahwa ayahnya adalah sosok yang sederhana baik dalam penampilan

maupun dalam perilaku keseharian. Beliau itu sifatnya sederhana, makannya

sederhana, pergi ke kantor jalan kaki atau pakai sepeda. Dari sini (Kampung

Durian) ke kantornya di Kampung Jawa. Di sini, rumah ini istri muda, kalau yang

di Kampung Dagang itu istri tua. Begitu juga saat menjadi anggota Konstituante,

beliau tidak itu, tidak ini. Beliau itu akrab dengan Ovang Oeray, 92 sama-sama

anggota konstituante.

Kesehariannya beliau biasa-biasa saja, kitab tetap tidak lupa, membaca


buku agama tidak lupa. Buku beliau yang berbahasa Arab itu kan banyak,
kaji ulang, kaji ulang. Terkadang orang Sambas tidak kenal beliau, tapi
banyak orang luar kenal beliau. Ini yang menjadikan kita heran, seolah-
olah beliau itu dianggap haji biasa (Badran, Wawancara, 8 September
2016).

92
Tokoh masyarakat Dayak, nonmuslim, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Provinsi
Kalimantan Barat yang pertama.
227

Kebiasaan yang hampir tidak pernah ditinggalkan adalah sembahyang

malam pada dua pertiga malam. Aktivitas sembahyangnya hampir tidak bisa

dipisahkan dengan aktivitas membaca kitab-kitab untuk mengasah pemahaman

keilmuan. Membaca buku atau kitab tidak cukup sekali, tetapi berulang-ulang

setiap selesai sembahyang. Kegemaran membaca buku ini menjadi bahan bagi

Basioeni Imran untuk memberikan pengajaran kepada umat Islam Sambas dengan

berbagai ilmu agama Islam, seperti tafsir, hadis, fikih, ushul fikih, sejarah, dan

sebagainya. Di samping itu, kebiasaan membaca kitab-kitab menjadi pendorong

sekaligus bekal bagi dirinya untuk menulis berbagai kitab-kitab agama Islam.

Sebagian kitab-kitab milik Basioeni Imran masih tersimpan di bekas rumahnya di

Kampung Dagang Timur yang saat ini dijadikan Museum Tamadun Islam Nagri

Sambas dan di Pondok Pesantren Basieoni Imran Sambas. Kitab-kitab koleksi

Basioeni Imran yang masih tersimpan di kedua tempat tersebut antara lain:93

1. Nail al-Authar (Karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy [w.

1255 H.]).

2. Tafsir al-Thabari, aslinya berjudul Jami` al-Bayan fi Ta’wail Alquran karya

Imam Abu Ja’far Muhammmad bin Jarir al-Thabari (w. 110 H.).

3. Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’i wa al-Nihl (Karya Imam Abi Muhammad

Ali bin Ahmad bin Hazm [w. 456 H.]).

4. Majalah Al-Manar (Majalah yang diterbitkan di Kairo-Mesir oleh

93
Kitab-kitab ini hanya sebagian saja dari yang dimiliki oleh Basioeni Imran. Sebagian kitab-kitab
miliknya diambil dan disimpan oleh keluarga di rumah masing-masing. Jika dilihat kondisi
pengelolaan dan perawatan peninggalan Basioeni Imran di Museum Tamadun Islam Nagri
Sambas telihat jelas bahwa kitab-kitab tersebut tidak mendapatkan perawatan dan penjagaan
yang selayaknya. Beberapa koleksi kitab yang terdapat di lemari penyimpanan terlihat sudah
berkurang dari saat peneliti berkunjung pada Mei 2010 dengan kunjungan September 2016.
228

Muhammad Rasyid Ridha).

5. Tafsir al-Manar karya Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Muhammad

Rasyid Ridha.

6. Hasyiyah al-‘Alim al-‘Allamah al-Syaikh Sulaiman al-Jamal ‘ala Syarh al-

Minhaj li Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshariy

7. Al-Insan al-‘Uyun fi Sirah al-Amin al-Ma’mun yang lebih dikenal dengan al-

Sirah al-Halbiyyah

8. Al-Mughniy wa Yaliihi al-Syarh al-Kabir karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi

(w. 630 H).

9. Syarh Shahih al-Bukhariy karya al-Qasthalaniy.

10. Zaad al-Ma’ad fi Hadiy Khair al-Ibaad karya Al-Imam al-`Allamah Syams

al-Din Abi `Abdillah Muhammad Ibn Abi Bakr yang lebih terkenal dengan

Ibn Qayyim al Jauziyyah.

11. Tafsir al-Baidhawiy judul aslinya Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya

`Abd Allah bin Umar bin Muhammad bi ‘Aliy al-Baidhawi al-Syafi`I al-

Syirazi (w. 685 H / 1286 M.)

12. Al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Syaikh al-Imam al-`Allamah Saif al-

Din Abi al-Hasn `Ali bin Abi `Ali bin Muhammad al-Amadi.

13. Tafsir al-Naisaburiy, judul sebenarnya Gharaib al-Quran wa Raghaib al-

Furqan karya Nizhamuddin al-Hasan Muhammad al-Naisaburi (w. 728 H.).

14. Shahih al-Bukhariy

15. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid (Karya Imam Ibn Rusyd).

16. Al-Wahy al-Muhammadiy (Karya Sayyid Muhammad Rasyid Ridha).


229

Kegemaran atau hobby yang paling menonjol dari sosok Basioeni Imran

adalah memelihara burung perkutut. Badran mengatakan bahwa ayahnya sangat

suka memelihara burung perkutut (dalam bahasa setempat: burung ketitir) untuk

didengar suara merdunya. Ayahnya juga kadang ikut pertandingan adu merdu

kicauan burung perkutut. Badran sendiri diberi tugas untuk merawat burung-

burung perkutut milik ayahnya. Dalam buku catatan Basioeni Imran berjudul

Bahas Perkara Berbilang Istri atau Berkahwin Lebih Dari Satu (1937) pada

lembar akhir halaman buku terdapat salinan surat Basioeni Imran yang ditujukan

kepada Raden Zaini Asyikin (Bupati Singkawang) yang ditulis di Sambas pada

Agustus 1950.

Dalam suratnya, Basioeni Imran menyatakan permohonannya kepada

Bupati Singkawang agar dicarikan burung ketitir yang bagus dan memuaskan hati

di tanah Jawa. Dalam kunjungan ke Sambas, Bupati Singkawang yang juga suka

memelihara burung, pernah mengatakan bahwa burung ketitir dari Jawa lebih

bagus dan lebih merdu suaranya daripada yang ada di Sambas, Singkawang

maupun Pontianak. Asalkan harganya tidak terlalu mahal, Basioeni Imran

bersedia membeli burung yang dibawa dari tanah Jawa. Burung miliknya

ditempatkan di dua rumahnya, di Kampung Dagang Timur (istri pertama) dan di

Kampung Durian (istri kedua). Selain memelihara burung perkutut, Basioeni

Imran juga memelihara angsa, ayam dan bebek di halaman belakang rumahnya.

Kebiasaan Basioeni Imran lainnya adalah mengisi waktu-waktu luangnya

untuk memberikan pendidikan kepada anggota keluarganya, terutama anak-

anaknya. Kepada anak-anaknya Basioeni Imran selalu memberikan wejangan


230

pada waktu luang dengan menceritakan kisah tokoh-tokoh yang mengukir sejarah.

Mulai dari kisah Rasulullah, kisah para nabi dan rasul, para sahabat Rasulullah,

serta tokoh-tokoh muslim lainnya (seperti: Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi,

Nasa’i, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad Natsir, Hamka,

Hasan Bandung, serta tokoh pembaru Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh

dan Muhammad Rasyid Ridha). Basioeni Imran berharap agar sosok tokoh-tokoh

tersebut menjadi teladan bagi anak-anaknya bahkan bisa mengikuti jejak

keulamaan mereka. Oleh karena itu, dua orang anaknya bahkan diberi nama kedua

tokoh pembaru, yaitu Rasyid (anak dari istri pertama) dan Jamaluddin (anak dari

istri kedua).

Dalam hal pertemanan, Basioeni Imran bergaul dengan siapa saja,

termasuk dengan pastor yang tinggal tidak jauh dari rumahnya di Kampung

Durian. Keduanya sering berbincang akrab tentang berbagai hal. Sebagai dua

orang tokoh agama yang berbeda (Islam dan Katolik) serta latar belakang yang

berbeda (Melayu Sambas dan Belanda) mereka bertukar informasi dan

pengalaman. Basioeni Imran juga memiliki hubungan akrab dengan J. C. Oevang

Oeray, tokoh masyarakat Dayak dan gubernur Kalimantan Barat yang pertama.

Di samping menjabat sebagai Maharaja Imam, kadi, dan mufti di Kerajaan

Sambas, sejumlah jabatan lainya pernah diemban oleh Basioeni Imran, antara

lain:94

1) Anggota Plaatselijk Fonds Sambas pada 1920 (berdasarkan Besluit Residen

94 Point 1 s.d. 8 berdasarkan naskah ketikan berjudul “Daftar sedjarah perdjalanan hidup dari
HADJI MOHAMAD BASIOENI IMRAN Maharadja Imam Sambas” yang dibubuhi tanda
tangan Basioeni Imran tertanggal 13 Juni 1950.
231

Borneo Barat [K. A. James]).

2) President Mahkamah Raad Agama di Kerajaan Sambas sejak 30 Januari 1927

(berdasarkan Besluit Besturcommissie Kerajaan Sambas).

3) Pengawas bagi Sekolah Agama Islam di Sambas sejak 1918.

4) Anggota Rubbercommissie di Pontianak pada 1934-1939 (berdasarkan Besluit

Resident Borneo Barat).

5) Ketua Perkumpulan Tarbiatoel Islam Sambas pada 1936-1950.

6) Penghulu di lingkungan Land rechter untuk wilayah Sambas (berdasarkan

Besluit nomor 3 Assistent Resident Singkawang, 5 Februari 1946).

7) Adviseur dari Zelfbestuurs Commissie Sambas (berdasarkan Besluit nomor 57

Resident Borneo Barat, 20 Februari 1946).

8) Ridder in de Orde van Oranje Nassau (berdasarkan Besluit nomor 99 Ratu

Wilhelmina, 13 September 1946).

9) Diangkat sebagai Huku-Kaityo (Ketoea Moeda) dari “Dai Toa Kyokai” mulai

28 Sigatu 2605 [1945 M].95

10) Diangkat sebagai penghulu muda pada Kantor Urusan Agama Kabupaten

Sambas berdasarkan Keputusan Menteri Agama, 18 September 1952 (Sabirin,

2010: 14).

11) Anggota Konstituante RI wakil Partai Masyumi Kalimantan Barat hasil

Pemilu 1955.96

12) Diangkat sebagai Penata Hukum Tk. I atau Ketua Pengadilan Agama

95
Berdasarkan Zirei No. 237/SK. Tanggal 2 Gogatu 2605.
96
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Penetapan Terpilih dalam Pemelihan Anggota Konstituante
Tahun 1954 dari Panitia Pemilihan Indonesia Nomor: 56/Sp/1283/Pn/6 tertanggal 16 Juli 1956
dan Petikan Surat Keputusan Panitia Pemeriksaan No. 305/1956/K
232

Mahkamah Syariat Kalimantan Barat berdasarkan Keputusan Menteri

Agama, 4 Mei 1966. Jabatan ini diembannya hingga 1975 (Ardhi, 2001: 5;

Sabirin, 2010: 14).

Pada 1974, Basioeni Imran menderita penyakit darah tinggi selama dua

tahun dan sempat dirawat di Rumah Sakit Sungai Jawi Pontianak (saat ini berubah

menjadi Rumah Sakit St. Antonius). Pada hari Senin, 26 Juli 1976 Haji

Moehamad Basioeni Imran wafat di Pontianak dalam usia 93 tahun. Pada hari

yang sama jenazah Basioeni Imran dibawa ke Sambas dan dimakamkan di

Kampung Dagang Timur Sambas.

Gambar 3.2: Makam Moehamad Basioeni Imran


di Kampung Dagang Timur, Sambas

Sumber: Koleksi Peneliti, Sambas, 9 Agustus 2016


233

Uraian latar belakang keluarga di atas menunjukkan bahwa Basioeni Imran

berasal dari keluarga ulama terkemuka. Secara turun temurun, dari empat generasi

di atasnya adalah tokoh-tokoh yang mendapatkan kepercayaan dari pihak istana

untuk menjadi pemimpin keagamaan atau pejabat keagamaan Kerajaan Sambas.

Dimulai dari Mustafa yang menjabat sebagai Imam pertama di Kerajaan Sambas.

Setelah meninggal dunia, Imam Mustafa digantikan oleh anaknya Nuruddin

sebagai Imam Kerajaan Sambas. Setalah Imam Nuruddin meninggal dunia ia

digantikan oleh anaknya Haji Muhammad Arif dengan nama jabatan baru, yaitu

Maharaja Imam. Haji Muhammad Arif adalah kakek Basioeni Imran. Setelah Haji

Muhammad Arif (kakek Basioeni Imran) meninggal dunia, kedudukannya sebagai

Maharaja Imam digantikan oleh anaknya Haji Imran (bapak Basioeni Imran).

Fakta ini menunjukkan Baioeni Imran memiliki sumber otoritas karisma

yang diperoleh atau diterima (askriptif) yang diwariskan menurut garis keturunan.

Sebagaiman disebutkan Kartodirdjo (1982: 227), karisma ada dua jenis: karisma

murni dan karisma rutin. Karisma murni adalah yang dimiliki seseorang sebagai

hasil usahanya sendiri. Karisma rutin adalah karisma seorang pemimpin yang

diperoleh atau diterimanya dalam menduduki jabatan tertentu atau yang

diwariskan menurut garis keturunan. Dalam pespektif yang lain, fakta bahwa

Basioeni Imran adalah kerabat dekat Sultan dan keturunan kelima ulama pejabat

bergelar Imam atau Maharaja Imam kerajaan Sambas, menurut teori Weber,

Basioeni Imran memiliki otoritas tradisional. Dalam kehidupan sosial budaya

masyarakat paternalistik seperti di Kerajaan Sambas, ketundukan dan kepatuhan


234

kepada Sultan dan kerabatnya, apalagi ia adalah seorang ulama adalah suatu

keharusan.97

3.2 Latar Belakang Pendidikan dan Genealogi Intelektual

3.2.1 Pendidikan Awal di Sambas dan Mekah

Berdasarkan keterangan Badran (salah seorang anak Basioeni Imran), saat

berusia enam hingga tujuh tahun Basioeni Imran belajar Alquran dengan ayahnya

sendiri. Selanjutnya Basioeni Imran disekolahkan pada Sekolah Rakyat (SR), dan

sejak saat itu ia telah memahami ilmu nahwu dan sharaf (kaidah bahasa Arab).

Hal yang sama dikemukakan oleh Basioeni Imran dalam suratnya kepada Pijper:

“Pada waktu saya berumur 6 atau 7 tahun, ayah saya mengajar saya membaca

Quran dan menyekolahkan saya di Sekolah Rakyat (volksschool). Kemudian saya

diajari dasar-dasar nahwu dan sharaf, yaitu dari kitab al-Jurumiyah dan Kaylani”

(Pijper, 1985: 142). Selain belajar pada ayahnya, Basioeni Imran juga belajar

agama pada Haji Muhammad Djabir.98 Di Sekolah Rakyat Basioeni Imran hanya

sekolah selama dua tahun, selanjutnya masuk ke Madrasah al-Sulthaniyah dan

belajar di sana selama 10 tahun (Ardhi, 2001: 4). Di Madrasah al-Sulthaniyah,

Basioeni Imran belajar ilmu nahwu, sharaf, fikih, dan sebagainya.

Setelah tamat mengaji Alquran dan sekolah di sekolah Melayu (Madrasah

al-Sulthaniyah) di Sambas, pada 1898 Basioeni Imran melanjutkan pelajaran


97
Setiyono (2012: 50) menyebut bahwa contoh otoritas tradisional dalam perspektif teori Weber
adalah otoritas yang dimiliki pemipin adat, pemimpin agama, maupun pemimpin sekte tertentu.
98 Haji Muhammad Djabir adalah anak dari Maharaja Imam Haji Muhammad Arif atau paman
Basioeni Imran. Muhammad Djabir pernah berguru kepada Syekh Abu Bakri Syatha, Syekh
Muhammad bin Ismail Al-Fathani dan Syekh Ahmad Al-Fathani. Karyanya (yang baru
ditemukan) adalah Risalah al-Hajj (selesai ditulis 12 Rabiul Awwal 1331 H) (Salim, et al.,
2011:. 103).
235

agama Islamnya ke Mekah (Imran, 1950). Selain untuk menuntut ilmu agama

Islam, di Mekah Basioeni Imran juga melaksanakan ibadah rukun Islam yang

kelima, yaitu ibadah haji. Di Mekah, selama lima tahun Basioeni Imran belajar

kepada beberapa orang guru yaitu Tuan Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman

Serawak, Syaikh Achmad Khatib Minangkabau, dan Syaikh Ali Maliki (Arab).

Dari Tuan Guru Umar Sumbawa dan Tuang Guru Usman Serawak,

Basioeni Imran belajar ilmu Nahwu, Sharaf dan Fikih. Sementara dari Syaikh

Ahmad Khatib Minangkabau Basioeni Imran belajar ilmu fikih. Selanjutnya ilmu

bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Ma'ani, Badi', Bayan), ilmu mantiq dan beberapa

ilmu pengetahuan lain seperti ushul fikih, tafsir serta ilmu tauhid, Basioeni Imran

belajar dari Syaikh Ali Maliki (seorang Arab) (Pijper, 1985: 142-143). Ketika

belajar di Mekah, Basioeni Imran sudah sangat tahu tentang siapa dan bagaimana

kiprah tokoh-tokoh pembaru seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,

Muhammad Rasyid Ridha dan lain-lain yang berusaha menghilangkan kejumudan

berpikir umat Islam (Ismail, 1993: 17).

Untuk memahami pemikiran Basioeni Imran, harus dipahami siapa dan

bagaimana para gurunya. Dari empat orang guru yang disebutkan di atas, hanya

Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau yang dapat ditelusuri jejaknya cukup

lengkap. Sementara tiga lainnya tidak ditemukan informasi, kecuali Umar

Sumbawa yang disebutkan sangat singkat oleh Hurgronje sebagai orang yang

lebih muda dan tidak begitu ‘alim (jika dibanding dengan Zainuddin Sumbawa)

namun sangat baik dalam penguasaan bahasa Arab (Hurgronje, 1931: 286). Secara

khusus di bawah akan dijelaskan dengan singkat profil guru-guru Basioeni Imran.
236

3.2.2 Menuntut Ilmu di Mesir

Pada 1324 H (1906 M) Basioeni Imran disuruh pulang ke Sambas oleh

orang tuanya. Sejak pulang dari Mekah, Basioeni Imran secara rutin berlangganan

majalah al-Manar.99 Selain itu Basioeni Imran juga mempelajari berbagai kitab

berbahasa Arab dari Mesir (Badran, tt: 8-9). Basioeni Imran sendiri menjelaskan

hal ini dalam suratnya kepada Pijper sebagai berikut:

Pada tahun 1324 H (1906 M) saya kembali ke Sambas atas perintah


ayahku. Pada waktu saya masih di Sambas saya berlangganan majalah
“Al-Manar” dari almarhum Shaykh Muhammad Rashid Rida dan saya
menjadi pembaca yang tekun dan setia majalah tersebut, karena di
dalamnya saya menemukan pengetahuan yang murni tentang agama yang
didasarkan kepada Kitabullah dengan Sunah Rasulullah s.a.w. Majalah itu
juga memuat beberapa ilmu pengetahuan lainnya yang sangat bermanfaat.
Saya juga membaca bermacam-macam buku dari Mesir. Kepada Al-Manar
saya telah menanyakan beberapa persoalan sampai saya sendiri pergi ke
Mesir (Pijper, 1985: 143).

Setelah pulang dari Mekah (1906 M), Basioeni Imran diangkat oleh Sultan

Muhammad Tsafiuddin II menjadi Imam pembantu di Masjid Jami’ (masjid

Istana) Sambas dan memberikan pelajaran agama Islam di Istana Sultan Sambas

99 Pada bab terdahulu telah dijelaskan tentang peran majalah ini dalam transmisi ide-ide
pembaruan dari Mesir ke kawasan Hindia Belanda. Sebagai tambahan penjelasan, majalah ini
pertama kali terbit tahun 1898 dalam bentuk majalah mingguan, dan berikutnya menjadi
majalah bulanan hingga berhenti terbit tahun 1935. Azyumardi Azra menyatakan bahwa
majalah ini adalah karya pribadi Ridha dan memiliki pengaruh yang tidak dapat dipandang
remeh sebagai perangkat instrumental dalam penyebaran ide-ide kaum pembaharu atau
modernis di dunia Melayu-Indonesia. Meskipun Belanda berusaha mencegah al-Manar masuk
ke Nusantara, tetapi dalam kenyataannya al-Manar beredar dengan baik di kepulauan
Nusantara melalui cara: (1) penyelundupan, terutama melalui pelabuhan yang tidak diawasi
ketat seperti pelabuhan Tuban, Jawa Timur; (2) melalui para haji yang pulang dari Mekah ke
Indonesia; (3) melalui para mahasiswa yang baru pulang dari Cairo ataupun Madinah; dan (4)
melalui agen-agen yang ditunjuk secara resmi (Azra, 2002: 184-186). Penjelasan lebih lanjut
hubungan dan pengaruh majalah al-Manar dengan muslim di Asia Tenggara, khususnya di
Indonesia dapat dilihat dalam kajian yang dilakukan Mona Abaza (1998) dan Jutta E. Bluhm
(1983).
237

kepada putra-putri dan ahli istana. Selanjutnya pada 8 Rajab 1326 H (6 Agustus

1908) Basioeni Imran menikah dengan Muznah, putri Imam Hamid dari Sambas.

Pada 22 Muharram 1328 (3 Februari 1910) lahir putrinya yang bernama

Wahhajah. Setelah lebih kurang empat tahun mengabdi di Masjid Jami’ dan Istana

Sultan Sambas, pada Zulkaidah 1328 (November-Desember 1910 ) Basioeni

Imran berangkat ke Mesir ditemani oleh adiknyanya H. Achmad Fauzi Imran dan

temannya H. Achmad Sood. Tujuan keberangkatannya adalah untuk menuntut

ilmu. Mereka berangkat menumpang kapal Perancis dari Singapura menuju

terusan Suez (Pijper, 1985: 143).

Dalam suratnya kepada Pijper, Basioeni Imran menjelaskan perjalanannya

ke Mesir sebagai berikut:

Pada suatu malam kami turun dari kapal, pergi ke sebuah hotel di Suez dan
baru keesokan harinya kami menuju Mesir, Kairo, dengan kereta api. Pada
malam hari menjelang isya kami sampai di sebuah stasiun. Rupanya kami
dijemput oleh Sayyid Salih Ridha, saudara Tuan Sayyid Muhammad
Rashid Rida, yaitu redaktur Al-Manar. Kami dijemput karena kami
mengirim kawat dari Suez, mengabarkan kedatangan kami. Sayyid Salih
segera membawa kami ke rumah Sayyid Rashid Rida dan kami
ditempatkan di suatu kamar yang besar. Kami diterima dengan tangan
terbuka. Tiga atau empat hari kemudian, kami menyewa di dekat masjid
Al-Azhar dan kami pindah dari rumah tuan Sayyid Rashid Ridha.
Saya ditanya oleh Tuan Rashid Rida, apa saja yang telah saya pelajari.
Setelah saya menerangkan apa yang telah saya pelajari, dia berkata:
“Tentang pengetahuan nahu sudah cukup, tidak usah membaca lebih
banyak lagi. Rupanya surat-surat yang mengandung pertanyaan-
pertanyaan yang pernah saya kirimkan kepadanya dan ditulis dalam bahasa
Arab, dianggapnya sudah memadai (Pijper, 1985: 143).

Seperti yang telah direncanakannya sejak di Sambas, Basioeni Imran

kemudian bersama dengan adiknya Ahmad Fauzi Imran kemudian belajar di al-

Azhar. Selain di al-Azhar, mereka juga belajar di Madrasah Darudda’wah wal


238

Irsyad” yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha (Imran, 1950; Salim, et al.,

2011: 85). Di samping belajar secara formal di kedua lembaga pendidikan

tersebut, Basioeni Imran dan saudaranya bersama beberapa mahasiswa lainnya

juga belajar secara privat kepada seorang ulama terkemuka dari Al-Azhar, Sayyid

Ali Surur al-Zankaluni. Dari Muhammad Rasyid Ridha, Basioeni Imran banyak

belajar ilmu tafsir dan ilmu tauhid.

Muhammad Rasyid Ridha adalah guru yang paling berpengaruh terhadap

Basioeni Imran di banding guru-gurunya yang lain. Hal ini dapat dilihat dari

karya-karya Basioeni Imran yang selalu merujuk pendapat Rasyid Ridha.

Beberapa karya Rasyid Ridha juga diterjemahkan dan diberikan penjelasan oleh

Basioeni Imran. Bahkan hubungan dengan Rasyid Ridha terus berlanjut saat

Basioeni Imran kembali ke Sambas. Hubungan itu dijalin melalui surat-surat yang

dikirimkan oleh Basioeni Imran dari Sambas kepada Rasyid Ridha di Kairo.

Surat-surat itu dikirimkan kepada Rasyid Ridha sebagai shahib al-Manar yang

sebagian berisi permintaan fatwa serta pertanyaan-pertanyaan terkait dengan

masalah-masalah yang berkembang di masyarakat Sambas khususnya dan dunia

Melayu umumnya. Selanjutnya Rasyid Ridha membalas surat-surat tersebut

melalui fatwa atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan yang dimuat dalam

majalah al-Manar. Secara khusus pada bagian tersendiri di bawah akan dijelaskan

profil Rasyid Ridha sebagai guru yang paling berpengaruh terhadap Basioeni

Imran.

Menurut Badran (tt: 10-11), di Mesir Basioeni Imran banyak menulis di

majalah al-Manar dan surat kabar al-Ittihad. Al-Ittihad adalah sebuah majalah
239

yang diterbitkan oleh perkumpulan komunitas Jawi di Kairo bernama Jam’iyah

Setia Pelajar yang didirikan pada 1912 di bawah arahan ulama Syaikh Ismail

Abdul Muthalib dengan anggota inti sebanyak dua belas orang. Majalah al-Ittihad

yang terbit pertama kali pada 31 Oktober 1912, adalah majalah berbahasa Melayu

pertama yang pernah terbit di Timur Tengah. Editor al-Ittihad adalah Ahmad

Fauzi Imran dan Muhammad Fadlullah bin Muhammad Suhaimi dari Singapura.

Penulis majalah ini antara lain adalah Muhammad Basioeni Imran dan Abdul

Wahab Abdullah dari Tapanuli. Seperti yang dilaporkan oleh al-Munir pada 9

Januari 1913 (vol. 2, no. 21), al-Ittihad direncanakan untuk beredar di Mekah,

Melayu, dan Hindia Belanda, berharap bahwa hal itu akan memberikan manfaat

bagi semua masyarakat dari pihak kita di Jawa, Sumatera, maupun orang-orang

Melayu secara umum (Laffan, 2003: 139-140).

Pada Sya’ban 1331 H. / 1913 M. Basioeni Imran kembali ke Sambas

karena ayahnya sakit keras. Pada 22 Ramadhan 1331 H. / 25 Agustus 1913 M.

Maharaja Imam Haji Muhammad Imran, sang ayah meninggal dunia. Setelah

ayahnya wafat, maka jabatan Maharaja Imam mengalami kekosongan.

Selanjutnya dengan besluit Sultan Muhammad Tsafiuddin tertanggal 9 November

1913, Basioeni Imran diangkat menjadi Maharaja Imam, Kadi dan Mufti di

Kerajaan Sambas menggantikan ayahnya (Imran, 1950). Jabatan sebagai

Maharaja Imam ini diemban Basioeni Imran hingga masa kemerdekaan Indonesia,

saat Kerajaan Sambas secara otomatis tidak lagi berfungsi secara politis-

administratif.
240

Setelah pulang dari Mesir, Basioeni Imran tetap mendalami kitab-kitab

fikih maupun kitab lainnya terutama tafsir al-Manar dan majalah al-Manar.

Untuk meningkatkan kemampuannya, maka ia melatih diri dengan menulis

beberapa kitab dan / atau risalah dalam bahasa Arab. Di samping itu, ia juga

sering mengajukan pertanyaan tentang soal-soal agama melalui surat kepada

redaksi majalah al-Manar (Pijper, 1985: 145). Di antara pertanyaan yang diajukan

adalah tentang kemunduran umat Islam dan majunya kaum lain sebagaimana telah

disebutkan pada bagian pendahuluan. Semua itu telah memberikan arti dan

pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan keilmuan dan kegiatan

Basioeni Imran di kemudian hari.

3.2.3 Para Guru dan Murid Basioeni Imran

Dari uraian di atas terungkap bahwa selain orang tuannya sendiri, ada

beberapa guru yang turut andil memberikan pendidikan dan pengajaran kepada

Basioeni Imran. Saat di Mekah tercatat empat nama guru yang disebutkan sendiri

oleh Basioeni Imran, yaitu Tuan Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman

Serawak, Syaikh Achmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Ali Maliki (Arab).

Namun dari keempat orang tersebut, hanya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau

yang dapat diperoleh riwayat yang cukup lengkap. Selanjutnya di Mesir,

sebagaimana telah disebutkan di atas, Basioeni Imran menyebutkan ada dua orang

yang menjadi guru utamanya, yaitu Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan Sayyid

Ali Surur al-Zankaluni. Dari dua orang gurunya di Mesir, hanya Rasyid Ridha

yang memiliki riwayat lengkap dan direkam secara luas. Sedangkan al-Zankaluni
241

tidak ditemukan informasi yang berarti terkait profilnya. Oleh karena itu, pada

bagian berikut hanya akan menguraikan riwayat singkat dua orang guru Basioeni

Imran, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Muhammad Rasyid

Ridha.

3.2.3.1 Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau

Berikut diuraikan riwayat singkat Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau

berdasarkan otobiografi yang ditulis Ahmad Khatib empat bulan sebelum wafat

(selesai ditulis 3 Muharram 1334 H) (Al-Minangkabawi, 2016).100 Namanya

adalah Ahmad Khatib bin al-Marhum Syeikh Abdul Lathif bin Abdullah bin

Kalan. Digelari “khatib” karena bapaknya adalah seorang khatib di daerah Koto

Gadang. Ibunya bernama Aminah berasal dari Koto Tuo. Ahmad Khatib lahir di

Koto Tuo pada Senin, 6 Zulhijjah tahun 1276 H (26 Mei 1860 M) sebagai anak

tertua. Adik-adik Ahmad Khatib adalah Mahmud, Aisyah, Hafshah dan

Shafiyyah. Ahmad Khatib juga memiliki saudara tiri enam belas orang karena

bapaknya memiliki empat orang istri (Dariyan, Aminah, Maryam, Asiah).

Pendidikan Ahmad Khatib diawali dengan belajar Alquran bersama

bapaknya hingga 1287 H, saat berusia sekitar sebelas tahun. Pada Rabiul Awal

1287 H, Ahmad Kathib berangkat ke Mekah melaksanakan ibadah haji mengikuti

bapak, kakek, dan pamannya Abdul Ghani (saudagar kopi dan orang kaya di

100
Naskah asli manuskrip otobiografi ini tersimpan di Perpustakaan Mekah. Selanjutnya foto copy
manuskrip ini salah satunya disimpan di Pondok Pesantren Syech Ahmad Chatib al-
Minangkabawi yang berada di Koto Tuo, Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat. Copy manuskrip otobiografi tersebut kemudian diterjemahkan dan
telah diterbitkan dengan judul: Dari Minangkabau untuk Dunia Islam “Otobiografi Syeikh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916 M) oleh Muhammad Husni, Zulhamdi Malin
Mudo, dan Afdhil Fadli.
242

Sumatera Tengah). Pamannya kemudian membeli dua buah rumah di Mekah

untuk selanjutnya diberikan kepada bapak Ahmad Khatib. Setelah selesai

melaksanakan ibadah haji, Ahmad Khatib dan bapaknya serta tiga orang

sepupunya tinggal di Mekah untuk menuntut ilmu. Ahmad Khatib belajar Alquran

di Maktab Syaikh Abdul Hadi (ulama asal Inggris). Selanjutnya Ahmad Khatib

belajar kitab Matan al-Jurumiah dan Sanusiah di Masjidil Haram kepada soerang

ulama terkemuka Said Umar Syatha. Ahmad Khatib juga menghadiri pengajian

dua orang saudara Said Umar, yaitu Said Ustman Syatha dan Ibnu Said

Muhammad Syatha. Sepulang dari Mekah dan meninggalkan bapaknya di sana,

Ahmad Khatib pergi ke kampung ibunya dan belajar kitab Matan Minhaj dan

Tafsir Jalalain kepada seorang ulama bergelar Tuanku Mudo (Syaikh al-Fata).

Suatu ketika Syaikh Ustman Syatha (guru dari Ahmad Khatib) berkunjung

ke kampung halaman Ahmad Khatib dan mengajak sang murid kembali ke Mekah

untuk menunutut ilmu. Ahmad Khatib kemudian berangkat ke Mekah untuk

kedua kalinya mengikuti gurunya. Di Mekah Ahmad Khatib tinggal di rumah

Ummu Shalihah (anak Ummu Shalihah bernama Maryam dinikahi oleh bapak

Ahmad Khatib saat berada di Mekah pada 1292 H). Ahmad Khatib menuntut ilmu

siang dan malam kepada Syaikh Ustman Syatha hingga wafatnya pada 1295 H.

Selanjutnya Ahmad Khatib belajar kepada Said Umar dan saudaranya Maulana

Said Bakri Syatha selama setahun beberapa bulan.

Pada 12 Rabiul Awwal 1296 H, Ahmad Khatib menikah dengan Khadijah,

putri dari Syaikh Muhammad Shalih bin Syaikh Faidhullah al-Kurdi. Syaikh

Shalih adalah orang terpandang di Mekah, penghafal Alquran dan memiliki


243

kekayaan. Setelah menikah, Ahmad Khatib tetap melanjutkan menuntut ilmu

kepada Syaikh Bakri Syatha. Pada 20 Zulhijjah 1301 H, isteri Ahmad Khatib

wafat saat melahirkan anak ketiganya. Selanjutnya pada 4 Rabiul Awwal 1302 H,

Ahmad Khatib menikah lagi dengan Fatimah, kakak dari istri pertamanya

Khadijah. Selain belajar dengan tiga ulama bersaudara: Umar Syatha, Utsman

Syatha, dan Bakri Syatha, Ahmad Khatib juga belajar kepada Syaikh Ahmad

Dahlan, mufti Mekah.

Mulai 1298 H, Ahmad Khatib mulai mengajar di bawah pengawasan pihak

Masjidil Haram. Saat mulai mengajar di Masjidil Haram, gaji Ahmad Khatib

adalah 500 qirsy, gaji tertinggi untuk guru Masjidil Haram. Namun kemudian

diturunkan menjadi 300 qirsy karena kepangkatannya tidak dimulai dari bawah,

tapi langsung yang tertinggi. Jadilah Ahmad Khatib di antara imam-imam mazhab

Syafiiyah yang mengawasi para khatib dan dia sendiri berkhutbah di mimbar

Masjidil Haram. Teman-teman Ahmad Khatib antara lain: Syaikh Abi Mufti

Malikiyah, Muhammad Al-Khayyath, Abdullah Badum, Abdul Hamid Qudus,

Darwi Ujaimi, Amin Mirdad dan Zainal Abidin Yamani.

Karya-karya Ahmad Khatib menurut penuturannya sendiri di dalam

otobiografinya sebanyak 45 buah kitab. Kitab-kitab tersebut meliputi ilmu ushul

fikih, fikih, hisab, tarekat, tafsir, ilmu bahasa Arab (Nahwu). Ada beberapa kitab

yang ditulis dalam dua versi yaitu berbahasa Arab dan bahasa Melayu. Sebagian

besar kitab yang ditulis adalah jawaban atas berbagai persoalan yang muncul di

tengah masyarakat di Minangkabau khususnya dan dunia Melayu umumnya.


244

3.2.3.2 Syaikh Muhammad Rasyid Ridha

Dalam The Encyclopaedia of Islam Vol. VIII (Bosworth, Donzel, Heirichs,

& Lecomte, 1995: 446) disebutkan nama lengkap Rasyid Ridha adalah

Muhammad Rashid b. Ali Rida b. Muhammad Shams al-Din b. Muhammad Baha

al-Din b. Munla (atau Mulla) Ali Khalifa. Rasyid Ridha lahir 27 Jumadil Awal

1282 H. atau 23 September 1865 M. di Kalamun, sebuah desa di dekat Tripoli, di

pantai Mediteranian sebelah utara Libanon. Peduduk Kalamun khususnya adalah

Muslim Sunni dan sebagian besar mengklaim sebagai keturunan Nabi

Muhammad. Keluarga Rasyid Ridha sendiri diduga dari garis keturunan Husain

bin Ali bin Abu Thalib.

Rasyid Ridha memeroleh pendidikan pertamanya di Kuttab di Kalamun

untuk selanjutnya melanjutkan sekolah di Tripoli pada Madrasah Wataniyya

Islamiah (sekolah Nasional Islam) yang didirikan pada 1879. Pimpinan

sekolahnya waktu itu adalah Syaikh Husain al-Jisr (1845-1909). Di madrasah ini

Rasyid Ridha mendapatkan suntikan mendasar bagi perkembangan intelektualnya.

Di sekolah ini, ia belajar bahasa Arab, bahasa Turki, dan bahasa Perancis juga

pengetahuan agama, dan pengetahuan-pengetahuan modern.

Menurut Harun Nasution (2011: 60) pimpinan Sekolah Nasional Islam

Tripoli, Syaikh Husain al-Jisr adalah seorang ulama yang telah dipengaruhi ide-

ide modern. Saat itu di Syria telah banyak sekolah-sekolah misi Kristen yang

menarik banyak minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sana. Untuk

menandingi sekolah misi itu, Syaikh Husein al-Jisr kemudian mendirikan

Madrasah Nasional Islam. karena mendapatkan tantangan dari pemerintah


245

Kerajaan Ottoman (Usmani) akhirnya sekolah itu tidak berumur panjang.

Selanjutnya Rasyid Ridha melanjutkan di madrasah lain di Tripoli, tetapi

hubungan dengan al-Jisr tetap terjalin dan menjadi pembimbing baginya di masa

muda.

Rasyid Ridha sendiri mengakui bahwa al-Jisr memiliki pandangan yang

luas tentang pengetahuan modern di samping sebagai penulis dan penyair modern.

Al-Jisr lah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan

pikiran Rasyid Ridha. Dia pula yang memberikan kesempatan bagi Rasyid Ridha

untuk menjadi penulis di beberapa surat kabar. Selain al-Jisr, tokoh yang banyak

mempengaruhi pemikiran Rasyid Ridha adalah Jamaluddin al-Afghani dan

Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wusqa (Muhaimin, 2000: 9).

Sebenarnya, sebelum tertarik pada ide-ide pembaruan al-Afghani dan

Abduh, Rasyid Ridha sempat bersentuhan dengan pemikiran sufisme al-Ghazali

melalui Ihya ‘Ulum al-Din-nya. Rasyid Ridha menemukan keseimbangan antara

kepatuhan eksternal terhadap hukum dan ketaatan ruhaniah yang bersifat pribadi

dalam sufisme al-Ghazali. Untuk itu, Rasyid Ridha memilih bergabung dalam

tarekat Naqsyabandiyyah dan selama beberapa waktu mengikuti ajaran-ajarannya,

menjalankan praktik-praktik asketik yang sangat keras. Namun, sedikit demi

sedikit ia menyadari akan bahaya-bahaya spiritual dari sistem-sistem mistik

tersebut, dan keragu-raguannya muncul ke permukaan dengan suatu cara dramatis

ketika ia menghadiri sebuah acara tarekat Maulawi, “Darwis Menari”.

Dalam sebuah ritual “Darwis Menari” itu, Rasyid Ridha menyaksikan di

saat anggota tarekat sedang melakukan tarian ritual ada prosesi di tengah tarian
246

mereka mencondongkan leher mereka dan bergantian lewat di depan syaikh

mereka dan menunduk kepadanya. Rasyid Ridha bertanya apa yang sedang

dilakukan oleh para darwis tersebut? Salah seorang menjawab bahwa itu adalah

ibadah ritual tarekat Maulawi yang diciptakan oleh Jalal al-Din al-Rumi,

pengarang Matsani. Mendengar penjelasan tersebut, Rasyid Ridha tiba-tiba berdiri

dan berteriak kepada semua yang hadir dan mengatakan bahwa itu adalah

perbuatan terlarang, yang tidak seorang pun punya hak untuk melihat atau berlalu

dengan diam, karena hal itu berarti menyetujuinya. Bagi mereka yang

melakukannya berlaku firman Allah: “Mereka telah membuat agama mereka

menjadi senda gurau dan permainan.” Rasyid Ridha langsung meninggalkan acara

ritual tersebut dan sejak itu ia meninggalkan tarekat dan menjauhi tasawuf. Sejak

saat itu, Rasyid Ridha tertarik kepada ajaran Ibn Taimiyah dan praktik-praktik

Wahhabiyah, namun ketertarikannya hanya bersumber dari karya-karya penentang

Wahhabiyah (Hourani, 2004: 360-361).

Setelah berkenalan dengan Wahhabiyah, Rasyid Ridha kemudian

berinteraksi pertama kalinya dengan dengan majalah al-Urwah al-Wusqa tahun

1884-1885, tetapi hanya mendengar beberapa artikel yang dibaca oleh orang lain.

Pada saat yang sama, ia juga bertemu dengan Abduh ketika berkunjung ke Tripoli.

Baru pada 1892-1893 Rasyid Ridha menemukan satu set lengkap al-Urwah al-

Wusqa dan pengaruhnya sungguh luar biasa. Terkait hal ini, Rasyid Ridha

mengatakan:

Saya menemukan beberapa buah jurnal tersebut di antara kertas-kertas


ayah saya, dan setiap nomor adalah seperti aliran listrik yang menyengat
saya, menyebabkan saya terguncang, atau menyebabkan jiwa saya
menyala-nyala, dan menyeret saya dari satu keadaan ke keadaan lain.
247

Pengalaman saya sendiri dan pengalaman orang-orang lain, dan sejarah,


telah mengajari saya bahwa tidak ada wacana berbahasa Arab di abad ini,
atau abad-abad yang mendahului, bisa melakukan seperti yang
dilakukannya dengan cara yang menyentuh ke dalam emosi di hati serta
memberi persuasi kepada pikiran (Hourani, 2004: 362).

Untuk beberapa saat, Rasyid Ridha berpikir untuk begabung dengan al-

Afghani di Konstantinopel (Istambul), tetapi rencana itu tidak pernah terwujud.

Pengaruh al-Afghani terhadap dirinya segera meredup oleh pengaruh Muhammad

Abduh. Pada 1894, Abduh kembali berkunjung ke Tripoli dan Rasyid Ridha

bertemu sekali lagi dengannya dan berbicara panjang dengannya. Dari saat itu

hingga akhir hayatnya, Rasyid Ridha menjadi pengikut setia Abduh: juru bicara

gagasan-gagasannya, pembela nama baiknya, dan ahli biografinya. Meskipun

demikian, doktrin Abduh mengalami suatu perubahan di tangan pengikutnya,

termasuk di tangan Rasyid Ridha.

Pada 1897, Rasyid Ridha pergi menuju Kairo, Mesir. Sehari setelah sampai

di Kairo, ia pergi menemui Muhammad Abduh dalam rangka menjelaskan

tujuannya hendak menerbitkan sebuah jurnal yang mengusung reformasi Islam.

Edisi perdana jurnal yang diberinya nama “al-Manar” 22 Syawal 1315/17 Maret

1898, sebuah majalah bulanan yang membahas falsafah agama dan urusan

masyarakat, yang terbit sekali tiap bulan menurut bulan Arab. Pada nomor

perdana majalah ini disebutkan bahwa tujuan penerbitannya adalah untuk

menghimpun berbagai hal menyangkut reformasi agama, sosial dan ekonomi (Al-

Manar, 1898).

Majalah ini menjadi media penting bagi Rasyid Ridha untuk mencurahkan

segala perenungannya tentang kehidupan spiritual, tentang doktrin agama, dan


248

polemik yang tiada akhir baik yang mendukung maupun yang menyerang dirinya.

Berbagai macam berita dan pertanyaan bermunculan dari berbagai belahan dunia

melalui korenspondensi, tak terkecuali dari Jawah, termasuk dari Sambas Borneo

Barat. Di dalamnya juga dimasukkan tafsir Alquran berdasarkan kuliah dan tulisan

Abduh yang telah dikumpulkan oleh murid Abduh, tetapi tafsir yang kemudian

terkenal dengan nama Tafsir al-Manar ini tidak sampai selesai oleh Abduh.

Berbagai aktivitas dijalani Rasyid Ridha, menulis artikel di al-Manar,

kemudian koleksi beberapa artikel dijadikan buku. Untuk mewujudkan gagasan

Abduh menciptakan pendidikan khusus bagi juru dakwah, Rasyid Ridha

mendirikan lembaga pendidikan tinggi Dar al-Da’wah wa al-Irsyad, yang semula

ingin didirikan di Konstantinopel tetapi gagal dan akhirnya didirikan di Kairo,

Mesir pada 1912. Lembaga pendidikan tinggi ini tidak bertahan lama karena

berhenti beraktivitas sampai masa awal Perang Dunia I 1914 (Hourani, 2004: 363-

364; Bosworth, Donzel, Heirichs, & Lecomte, 1995: 447).

Tujuan utama pendirian lembaga pendidikan tinggi Dar al-Da’wah wa al-

Irsyad ini adalah untuk melakukan improvisasi metode pendidikan Islam

sekaligus latihan keagamaan. Para generasi muda muslim yang berusia antara 20 -

25 tahun yang memenuhi syarat diterima sebagai murid. Mereka berasal dari

berbagai belahan dunia muslim seperti Cina, Malaysia, Afrika Barat, Afrika

Selatan, Turki, Turkistan, India, dan Jawa (Hindia Belanda). Kebutuhan

mahasiswa seperti uang sekolah, biaya penginapan serta kebutuhan finansial

lainnya disiapkan secara gratis, terutama bagi yang membutuhkannya.

Masa studinya selama tiga tahun untuk mendapatkan diploma yang


249

memiliki kompetensi sebagai “murshid’ atau “pembimbing” yang memiliki

kemampuan untuk berdakwah atau mengajar di sekolah maupun di masyarakat

muslim. Mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya memiliki kualifikasi

sebagai “da’i” atau “pendakwah”. Mereka harus siap dikirim ke mana saja

ditugaskan. Namun sayang, madrasah ini terpaksa berhenti saat pecahnya Perang

Dunia I (Adams, 1933: 197-198). Sebagaimana diakuinya sendiri, Basioeni Imran

sempat menuntut ilmu di lembaga pendidikan tinggi Dar al-Da’wah wa al-Irsyad

dan dibimbing langsung oleh Rasyid Ridha.

Selain melakukan gerakan pembaruan melalui penyebaran ide-ide melalui

majalah al-Manar dan mendirikan Dar al-Da’wah wa al-Irsyad, Rasyid Ridha

juga terlibat dalam kegiatan politik. Di dalam al-Manar, ia menulis dan memuat

karangan-karangan yang menentang pemerintahan absolut Kerajaan Usmani. Ia

juga menulis artikel yang menentang politik Inggris dan Perancis untuk membagi-

bagi dunia Arab. Untuk menggagalkan politik Inggris-Perancis, Rasyid Ridha

mengunjungi beberapa negara Arab guna menjelaskan bahaya politik kerjasama

Arab dengan Inggris dan Perancis dalam upaya mereka menjatuhkan kerajaan

Usmani.

Kegiatan politik Rasyid Ridha terutama dalam perjuangan politik Suriah,

sejak revolusi Turki Muda hingga akhir hayatnya; yakni dalam Partai

Desentralisasi (Party of Decentralization) sebelum 1914. Ia juga melakukan

negosiasi-negosiasi dengan Inggris pada masa perang, sebagai Presiden Kongres

Suriah 1920, sebagai anggota delegasi Suriah-Palestina di Jenewa pada 1921, dan

komite politik di Kairo selama Revolusi Suriah 1925-1926 (Hourani, 2004: 364;
250

Nasution, 2011: 63). Di masa tua, meskipun kesehatannya mulai terganggu,

Rasyid Ridha tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal

dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinya dari mengantar Pangeran Su’ud ke

kapal di Suez.

Pemikiran Pembaruan Rasyid Ridha. Dalam catatan Zayd (2006: 45-46),

Rasyid Ridha adalah murid yang merepresentasikan aspek salafi Muhammad

Abduh, sementara murid-murid Abduh yang lain seperti Qasim Amin, Ali Abd al-

Raziq, Thaha Husayn, Khalid Muhammad Khalid, Amin al-Khuli dana lainnya

lebih merepresentasikan aspek liberal dari Abduh. Rasyid Ridha berpern penting

dalam menerjemahkan pemikiran progresif Abduh, dan secara bertahap ia menjadi

salah seorang pendukung terbesar Wahhabisme, terutama setelah Wahhabi

menguasai Hijaz. Dalam pandangan Nasution (2011: 63) dan Hourani (2004:

364), pemikiran-pemikiran pembaruan Rasyid Ridha tidak berbeda banyak dengan

ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Fokus perhatian dimulai

dari pertanyaan mengapa negeri-negeri Muslim ketinggalan atau mundur dalam

semua aspek peradaban? Penyebabnya menurut Rasyid Ridha adalah umat Islam

telah kehilangan kebenaran sejati agamanya, atau dengan kata lain tidak lagi

menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Kondisi ini diperparah lagi oleh

penguasa-penguasa politik yang buruk.

Umat Islam mengalami kemunduran karena ajaran-ajaran sejatinya telah

ditinggalkan dan banyak terkontaminasi oleh bid’ah atau hal-hal baru yang tidak

ada contohnya dari Rasulullah. Di antara bid’ah itu menurut Ridha adalah

pendapat bahwa dalam Islam ada ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya
251

dapat memeroleh segala apa yang dikehendakinya, sedang kebahagiaan di akhirat

dan di dunia diperoleh melalui hukum alam yang diciptakan Tuhan. Bid’ah

lainnya yang sangat ditentangnya adalah ajaran syeikh-syeikh tarekat tentang

tidak pentingnya hidup duniawi, tentang tawakal, dan tentang pujaan dan

kepatuhan berlebih-lebihan pada syaikh dan wali.

Agar bisa keluar dari ketertinggalannya, umat Islam harus kembali kepada

ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah. Islam murni atau sejati

adalah Islam yang diajarkan Nabi dan orang-orang terdahulu (salaf; generasi

pertama yang bertemu Rasulullah Muhammad, dan menjadi satu-satunya ijma’

yang sah), yang sifatnya sederhana sekali, sederhana dalam ibadah dan sederhana

dalam muamalahnya. Ibadah terlihat berat dan ruwet karena dalam hal-hal yang

wajib dalam ibadah telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi

sebenarnya hanya Sunnah. Dalam soal muamalah, hanya dasar-dasar yang

diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan syura. Perincian dan

pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukannya.

Unsur Sunni dalam pemikiran Rasyid Ridha lebih menonjol jika

dibandingkan dengan Abduh, lebih-lebih jika di banding dengan al-Afghani.

Rasyid Ridha menginterpretasi Sunni sebagai doktrin Hanbali yang ketat, yang

tradisinya lebih hidup di Suriah, khususnya di Damaskus, daripada di Mesir.

Kendati ia berbeda dari Ibn Taimiyah dalam beberapa hal, dia mengambil ajaran-

ajarannya barangkali sama banyaknya dengan dari al-Ghazali dan melalui al-

Manar dia menyebarluaskan beberapa dari karya-karyanya.

Simpatinya kepada mazhab Hanbali mendorong Rasyid Ridha dalam


252

kehidupannya belakangan, memberikan dukungan antusias kepada kebangkitan

Wahhabiyah di Arabia Tengah berikut kebijakan pemimpinnya, Abd al-Aziz ibn

Sa’ud. Dia menyambut gembira penaklukan Wahhabi terhadap Hijaz dan kota-

kota suci dan membela mereka dari tuduhan bid’ah. Sama seperti Abduh, Rasyid

Ridha tidak menyukai perkembangan terakhir dari pemikiran dan praktik mistik

dalam Islam Sunni. Ia menarik sebuah perbedaan antara mistisisme yang benar

dan yang palsu. Kaum sufi bagi Rasyid Ridha merupakan kelemahan bagi

masyarakat sekaligus bahaya bagi agama. Mereka menolak kewajiban-kewajiban

mereka di dunia, dengan mempelajari hal-hal yang tak berguna, dan mereka

merusak umat dengan mengajarkan bahwa Islam adalah sebuah agama

penyerahan pasif bukan kekuatan dan aktivitas.

Meskipun titik berat Rasyid Ridha adalah pada sifat tidak berubah Islam,

itu tidak berarti bahwa pemikirannya bersifat kaku, karena seperti orang-orang

Hanbali, dia membedakan mana yang termasuk pada esensi Islam dan mana yang

bukan. Bahwa apa yang tertera di dalam Alquran dan hadis sahih adalah satu hal;

sedangkan akumulasi praktik-praktik dan tradisi-tradisi yang tumbuh di sekitarnya

adalah hal lain. Pembedaan ini terkait satu sama lain: antara tindakan ibadah dan

tindakan moralitas; antara tindakan berorientasi Tuhan dan kepada sesama

manusia.

Yang pertama telah ditentukan buat selama-lamanya dan secara lengkap di

dalam Alquran dan hadis; hal ini tidak dapat diubah, dan tidak tidak ada tambahan

yang boleh dilakukan terhadapnya; sejauh yang berkenaan dengan hal ini, ijmak

generasi pertama [sahabat] sifatnya mengikat. Begitu pula dalam masalah


253

kebiasaan-kebiasaan keagamaan pribadi, yang tidak terdapat dalam kewajiban

keagamaan baku dan tidak melibatkan hubungan dengan manusia lain, biasanya

lebih baik bagi orang muslim untuk mengikuti contoh dari kaum muslim awal

sebagaimana tertuang di dalam hadis. Tetapi hal ini sebaiknya dilakukan secara

bebas sebagai suatu tindakan kesadaran yang bersifat spontan, dan tidak seorang

pun boleh melakukan tekanan. Akan tetapi, keseluruhan struktur hubungan

manusia yang kompleks tidak pernah dan tidak akan bisa diatur dengan cara

seperti itu oleh teks-teks eksplisit.

Ketika terdapat teks semacam itu, yang menerangkan secara rinci,

eksplisit, tidak mengandung kekaburan, dan diakui keotentikannya, tidak ada

larangan, dan orang harus mematuhinya. Namun dalam persoalan ini harus segera

ditambahkan dua persyaratan lain. Pertama, ketika suatu perintah secara spesifik

bertolak belakang dengan perintah yang bersifat umum yang mengandung suatu

prinsip moral umum yang tidak boleh dilakukan pelanggaran terhadapnya (la

dhadrara wa la dhirar), atau bahwa situasi darurat melonggarkan sesuatu yang

tadinya dilarang (al-dharurat tubih al-mahzhurat); maka prinsip itu harus menjadi

acuan bagi perintah khusus tersebut. Kedua, ada banyak permasalahan yang

tentangnya tidak ada teks sama sekali, atau maknanya tidak tuntas atau

keotentikannya diragukan. Dalam masalah-masalah seperti ini, akal manusialah

yang memutuskan apa yang terbaik berdasarkan pada jiwa Islam. Dalam

memutuskannya, akal manusia harus dibimbing oleh prinsip kemaslahatan, yang

ditafsirkan berdasarkan prinsip-pinsip umum yang termaktub di dalam Alquran

dan hadis (Hourani, 2004: 372-373). Dengan demikian, maslahat bagi Rasyid
254

Ridha merupakan prinsip pengambilan keputusan positif menggantikan analogi

(qiyas).

Terkait dengan ijmak, bagi Rasyid Ridha ijmak tidak ada dan tidak

mungkin ada dalam hal moralitas sosial, termasuk ijmak dari generasi pertama.

Dengan kata lain, bahwa komunitas muslim sesungguhnya memiliki kekuasaan

legislatif. Pemimpin umat dengan demikian, selain memiliki kekuatan eksekutif

dan yudikatif, mereka juga memiliki kekuatan legislatif bagi kepentingan publik

sehingga dimungkinkan adanya sebuah badan hukum positif (qanun) yang bersifat

subordinat terhadap syariat. Jika tidak ada pertentangan maka syariat yang shahih,

tetapi jika ada pertentangan maka masing-masing independen dengan kekuatan

mengikat yang pada titik tertinggi berasal dari prinsip-prinsip umum Islam. Hal

ini karena kewajiban sebuah bangsa muslim menyediakan bagi dirinya sendiri

sebuah sistem hukum yang berkeadilan sesuai dengan situasi yang telah

ditempatkan oleh sejarah masa lalunya.

Meskipun negara memiliki kewajiban menyediakan sistem hukum, untuk

melaksanakan tugas tersebut, dibutuhkan suatu persekutuan antara dua tipe

otoritas: penguasa muslim yang adil dan taat dengan ulama sejati (mereka yang

memiliki persyaratan-persyaratan personal melakukan ijtihad). Pembuatan hukum

sebaiknya dilakukan dengan konsultasi atau syura di antara mereka. Dengan

demikian, setelah menolak konsepsi lama tentang ijmak Rasyid Ridha

memperkenalkan yang baru: yakni ijmak dari para ulama di setiap zaman, sebuah

prinsip yang lebih bersifat legislatif ketimbang yudikatif, yang bekerja semacam

proses parlementer. Rasyid Ridha meyakini bahwa hal tersebut merupakan


255

konsepsi legislasi orisinal dalam Islam (Hourani, 2004: 375).

Pemahaman hukum Islam seperti di atas seiring berjalannya waktu mulai

kabur baik karena ketakutan terhadap pemerintah atau karena kehilangan

pandangan tentang perbedaan antara mana yang esensial dan mana yang tidak.

Sedikit demi sedikit di masyarakat mulai merebak sebuah penyakit yang disebut

dengan kebekuan (jumud) dan kadang-kadang peniruan membabi buta (taklid).

Dalam aspek hukum sikap ini muncul dalam bentuk kepatuhan membabi buta

terhadap salah satu dari keempat mazhab yang diakui. Sebagai contoh Rasyid

Ridha menyebutkan bahwa Syaikh al-Islam –otoritas kehakiman tertinggi di

Imperium Usmani—menolak memberikan opini-opini hukum atau

memperbolehkan mufti-muftinya melakukan hal tersebut berkenaan dengan

undang-undang sipil baru, yakni Mecelle (atau Majalla).

Berbeda dengan gurunya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha hidup dalam

pemikiran Islam yang mandiri. Ia tidak memilki kekaguman terhadap peradaban

Eropa karena ia hanya sekali bepergian ke Eropa dan tidak memiliki kontak yang

intens dengan orang-orang Eropa, kecuali dengan Alfred Mitchell-Innes

(Sekretaris Rendah Urusan Keuangan). Rasyid Ridha tidak menyukai kehidupan

sosial orang-orang Eropa, dan acuan-acuannya terhadap Kristen biasanya bernada

permusuhan. Meskipun demikian, Rasyid Ridha mengakui tantangan dunia

modern dan berkeinginan agar Islam menerima peradaban baru tersebut, sejauh

hal itu esensial bagi pemulihan kekuatan Islam.

Dengan mendasarkan pada kaidah ushul fikih “‫ماال يتم الواجب االبه فهو واجب‬ ”

(sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan


256

keberadaannya, maka hukumnya wajib) Rasyid Ridha memandang mempelajari

ilmu pengetahuan dan cara-cara dunia modern menjadi wajib hukumnya dalam

konteks ia sebagai persyaratan kuatnya umat Islam dalam melaksanakan

kewajiban jihad. Ia juga menggemakan bahwa jika umat Islam menerima

peradaban Eropa itu hanyalah mengambil apa yang dulu sebenarnya milik Islam,

karena peradaban Eropa bersumber dari khazanah Islam di Spanyol dan Tanah

Suci.

Dalam konteks bermazhab, Rasyid Ridha membenarkan talfiq yang

dilakukan secara lebih sistematis, karena tidak bertentangan dengan akal dan

prinsip-prinsip Islam. Talfiq menjadi keliru jika digunakan secara tidak kritis. Jika

talfiq yang digunakan secara rasional maka ia menjadi semacam ijtihad dan ia sah

dalam dirinya sendiri. Untuk melihat secara jelas pandangan-pandangan modern

Rasyid Ridha dapat dilihat berbagai pandangannya dalam menjawab segala

persoalan yang ditanyakan oleh masyarakat muslim dari seluruh dunia di dalam

terbitan berkalanya majalah al-Manar. Termasuk pertanyaan-pertanyaan dari

Basioeni Imran dari negeri Sambas, Jawah.

Ada dua contoh pandangan Rasyid Ridha dapat diungkapkan di sini.

Contoh pertama masalah kemurtadan. Rasyid Ridha meninggalkan pandangan

tradisional yang mengharuskan orang yang murtad dihukum mati. Rasyid Ridha

membedakan antara orang murtad dan yang memberontak melawan Islam

sehingga membahayakan umat dengan mereka yang murtad secara individual dan

tanpa gembar-gembor. Bagi yang murtad dan memberontak maka berlaku

hukuman mati; sedangkan yang kedua tidak dihukum mati. Dalam konteks ini
257

Rasyid Ridha mendasarkan pandangannya pada tidak adanya teks ayat Alquran

yang mengatakan semua orang murtad harus dibunuh. Sebaliknya ada sebuah ayat

yang mengutuk semua bentuk pemaksaan agama. Contoh kedua, tentang

kewajiban jihad. Rasyid Ridha membedakan antara perang untuk

menyebarluaskan Islam dan perang karena mempertahankan Islam. Untuk yang

pertama hanya sah jika ibadah umat yang dilakukan secara damai dilarang atau

umat dilarang hidup sesuai dengan syariat. Sedangkan perang mempertahankan

Islam dibenarkan.

Dari berbagai pandangannya tentang hukum, dapat disimpulkan bahwa

Rasyid Ridha memandang perlunya menciptakan suatu sistem hukum yang benar-

benar dapat dipatuhi manusia pada zaman modern ini, menjadi hukum dalam arti

sebenarnya dan bersifat Islami dalam arti sebenarnya pula. Sebuah sistem hukum

yang mampu memadukan konsep hukum modern dengan nilai-nilai Islami.

Karena padangannya ini, terlihat bahwa Rasyid Ridha masuk dalam mazhab

Hanbaliyah, yang mengombinasikan ketentuan hukum dengan fleksibelitas yang

besar dalam penerapannya (Hourani, 2004: 382). Dalam masalah muamalah,

menurut Rasyid Ridha Islam hanya mengatur dasar-dasarnya saja seperti

berpegang pada prinsip keadilan, persamaan, dan pemerintahan syura. Perincian

dan pelaksanaannya diserahkan kepada umat untuk menentukannya. Hukum-

hukum fikih mengenai hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu didasarkan atas

Alquran dan hadis tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-

hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zaman ia timbul (Nasution,

2011: 64).
258

Rasyid Ridha menyatakan bahwa wahyu mendorong manusia

menggunakan akal dan melarang manusia bersikap taklid misalnya dalam Q.S. al-

al-Maidah/5: 104 dan al-Baqarah/2: 17:

              

          


Artinya: Apabila dikatakan kepada mereka, marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan
mengikuti Rasul, mereka menjawab, cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapatkan petunjuk (Q.S. al-
Maidah/5: 104)

             

   


Artinya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu
menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan
mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat (Q.S. al-Baqarah/2: 17)

Tercelanya sikap taklid menurut Rasyid Ridha didasarkan pada alasan: (1)

Karena terhentinya dinamika akal yang menghendaki pertumbuhan,

pengembangan, dan pembaruan; (2) Hilangnya keistimewaan manusia yang

memiliki kemampuan memilih yang baik dan yang buruk. Sedangkan sikap taklid

terhadap nenek moyang cenderung untuk menerima apa adanya sekalipun itu

buruk101. Karena tercelanya taklid yang menimbulkan kejumudan dalam

101
Rasyid Ridha menunjukkan tercelanya taklid dengan mengacu pada Q.S. al-A’raf/7:28 dan Q.S.
al-Zukhruf/43: 20-13):

               

        


Artinya: dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati
nenek moyang Kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh Kami
mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan)
perbuatan yang keji." mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
259

masyarakat, maka konsekuensinya Rasyid Ridha menghargai akal manusia.

Sebagaimana telah disinggung di atas, Rasyid Ridha menentang kondisi

jumud dan untuk menghilangkannya dibutuhkan ijtihad. Dalam proses ijtihad

maka posisi akal sebagai sarana berijtihad memiliki posisi yang penting.

Sekalipun tidak setinggi Abduh memosisikan akal, menurut Rasyid Ridha akal

dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tapi tidak

terhadap ibadah. Ijtihad dalam hal ibadah tidak diperlukan lagi.

Ijtihad hanya diperlukan dalam lapangan atau masalah kemasyarakatan

atau muamalah. Akal dapat digunakan terhadap ayat atau hadis yang tidak

mengandung arti tegas dan terhadap persoalan yang tidak disebutkan dalam

ketahui? (Q.S. al-A’raf/7: 28).

                

             

             

             

 
Artinya: (20) Dan mereka berkata: "Jikalau Allah yang Maha Pemurah menghendaki tentulah
Kami tidak menyembah mereka (malaikat)". mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun
tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. (21) Atau Adakah Kami
memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Quran, lalu mereka berpegang dengan
kitab itu ? (22) Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami
menganut suatu agama, dan Sesungguhnya Kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan (mengikuti) jejak mereka". (23) Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut
suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka" (Q.S. al-
Zukhruf/43: 20-23).
260

Alquran dan hadis. Sedangkan terhadap ayat Alquran dan hadis yang tegas, ijtihad

dengan menggunakan akal tidak dibutuhkan. Dalam hal-hal yang menyangkut

pokok-pokok ajaran agama seperti mengetahui Tuhan dan kewajiban terhadap

Tuhan, termasuk dalam hal mengetahui baik dan buruk maka posisi wahyulah

yang lebih tinggi. Oleh karena itu dalam hal teologi, kedudukan akal bagi Rasyid

Ridha sangat lemah. Dalam teologi cukuplah manusia mengikuti petunjuk dari

wahyu (Nasution, 2011: 65; Muhaimin, 2000: 26-27).

Dalam bidang politik, sebagaimana al-Afghani, Rasyid Ridha memandang

perlunya menghidupkan kembali kesatuan umat Islam. Salah satu sebab lain

kemunduran umat Islam menurutnya adalah perpecahan yang terjadi di internal

umat Islam sendiri. Kesatuan yang dimaksud bukanlah kesatuan yang didasarkan

atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan

yang sama. Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme yang

dipelopori oleh Mustafa Kemal di Mesir dan gerakan nasionalisme Turki yang

dipelopori Turki Muda. Rasyid Ridha menganggap nasionalisme bertentangan

dengan ajaran persaudaraan seluruh umat dalam Islam (ukhuwah al-Islamiah).

Persaudaraan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bahasa, tanah air, dan

perbedaan bangsa.

Rasyid Ridha berpandangan umat Islam harus bersatu di bawah satu

keyakinan, satu sistem moral dan satu sistem pendidikan dan tunduk pada satu

sistem hukum. Hukum dan undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa

kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, kesatuan umat perlu mengambil bentuk

negara, dan bentuk yang dianjurkan Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan.
261

Kepala negara ialah khalifah yang mempunyai kekuasaan legislatif dan karenanya

harus mempunyai sifat atau kualifikasi mujtahid. Namun khalifah tidak boleh

bersifat absolut. Oleh karena itu, khalifah ulama harus menjadi pembantu utama

khalifah. Khalifah berfungsi membuat hukum dan mengawasi pelaksanaannya.

Khalifah harus menjadi pelaksana tertinggi ijtihad, mujtahid besar. Hanya dengan

khalifah yang berkualifikasi demikian maka masyarakat Islam sejati bisa

terbentuk. Khalifah yang sekaligus mujtahid besar-lah yang mampu memulihkan

peradaban Islam, mampu menyerap ilmu dan teknologi modern, mengembalikan

kemurnian agama, menciptakan suatu kesatuan Islam yang mengatasi segala

mazhab dan golongan yang ada.

Selama paruh pertama karir Rasyid Ridha, imperium Usmani (Ottoman)

masih eksis dan sultan diklaim sebagai khalifah. Dalam konteks ini, Rasyid Ridha

berpandangan bahwa imperium dibutuhkan bagi orang Arab dan Muslim, karena

dengan imperium inilah mereka bisa memeroleh kekuatan yang dibutuhkan untuk

melidungi diri dari tekanan asing. Kekhalifahan Usmani menurutnya dapat

diterima sebagai “kekhalifahan darurat”, bukan sebagai kekhalifahan yang

sesungguhnya. Para sultan tidak memiliki kemampuan bahasa Arab sebagai

persyaratan utama sebagai mujtahid, padahal menurut Rasyid Ridha, seorang

khalifah yang ideal adalah yang juga sebagai mujtahid besar.

Dalam lapangan teologi, khususnya tentang sifat Tuhan, Rasyid Ridha

masih terikat dengan pandangan Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah, terutama dalam

berpegang teguh pada pemahaman ayat Alquran secara tekstual. Dalam

memahami sifat Tuhan, Rasyid Ridha sangat terikat dengan nash dan tidak
262

berkehendak sama sekali mempergunakan pemikiran rasional. Sifat-sifat Tuhan

selayaknya dipahami dengan mengembalikan pemahamannya kepada Allah dan

rasul-Nya. Terhadap ayat-ayat tajassum (antropomorfisme) ia tidak mau

menafsirkan dan tidak pula mau menakwilkannya. Rasyid Ridha berpandangan

sebagaimana pandangan kaum salaf, yaitu menerima adanya sifat-sifat Tuhan

seperti yang dinyatakan oleh nash, tanpa memberikan tafsir maupun takwil.102

Corak pandangannya yang bersifat tradisonal dan literal ini sangat berbeda

dengan pandangan gurunya Muhammad Abduh, yang dikenal rasional dan liberal.

Perbedaan antara keduanya juga terlihat dalam tafsir al-Manar, misalnya ketika

Rasyid Ridha mengomentari uraian gurunya tentang balasan di akhirat yang

disebut dalam Q.S. al-Baqarah/2: 25. Muhammad Abduh menekankan tafsiran

filosofis, tafsiran yang mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima

bersifat rohani. Sedangkan Rasyid Ridha dalam komentarnya lebih menekankan

balasan dalam bentuk jasmani, bukan dalam bentuk rohani. Terkait perbedaan

antara guru (Muhammad Abduh) dengan muridnya (Rasyid Ridha), Harun

Nasution menjelaskan:

Sungguhpun ide-ide yang dimajukan Rasyid Ridha banyak persamaannya


dengan ide-ide Muhammad Abduh, antara murid dan guru terdapat
perbedaan. Guru lebih liberal daripada murid. Guru tidak mau terikat pada
salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam. Ketika guru pernah
dituduh menganut aliran Muktazilah ia menentang tuduhan itu dengan
keras. Ia telah lepas dari aliran dan mazhab yang pernah dianutnya karena
ingin bebas dalam pemikiran. Pindah dari satu aliran ke aliran bukan
berarti kebebasan, tetapi berarti terikat pada ikatan-ikatan baru. Rasyid
Ridha sebaliknya masih memegang mazhab dan masih terikat pada
pendapat-pendapat Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah. Gerakan Muhammad bin
Abdul Wahab karena semazhab ia sokong dengan kuat (Nasution, 2011:
66-67).

102
Dalam doktrin teologi Al-Asy`ari pemahan tersebut dikenal dengan konsep bila kaifa
263

Perbedaan sikap ini, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, mungkin

timbul karena Muhammad Abduh mempunyai lebih banyak kontak dengan

peradaban Barat daripada Rasyid Ridha. Sang guru pernah tinggal di Paris

sedangkan murid hanya pernah mengunjungi Jenewa. Guru banyak membaca

buku-buku Barat karena menguasai bahasa Perancis, sedangkan murid sedikit

sekali atau mungkin tidak sama sekali. Guru mempunyai sahabat-sahabat di

kalangan orang-orang Eropa, sedangkan murid tidak.

Masih dalam lingkup teologi, khususnya dalam hal perbuatan manusia,

Rasyid Ridha berpendapat perbuatan manusia sudah dipolakan oleh suatu hukum

yang telah ditetapkan Tuhan yang disebut sunnatullah, yang tidak mengalami

perubahan.103 Dalam al-Wahy al-Muhammadiy sebagaimana dikutip Muhaimin

(2000: 40), Rasyid Ridha menjelaskan sunnatullah sebagai berikut:

Bahwa Allah SWT membuat aturan-aturan tentang penciptaan. Penciptaan-


penciptaan atau kejadian-kejadian yang memberikan petunjuk kepada
manusia sebagai hukum umum yang menjelaskan tentang sebab-sebab dan
musabab-musabab. Hal itu tidak terjadi perbedaan antara seorang dengan
lainnya.

Berdasarkan ayat Alquran:


        
Artinya: Jika Tuhan menghendaki pastilah akan beriman orang-orang yang ada di bumi
ini semuanya (Q.S. Yunus/10: 99).

Rasyid Ridha menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dan

memberinya keragaman potensi untuk menerima ajaran-ajaran-Nya sehingga


103
Sebagaimana firman Allah:

             
Artinya: Sebagai suatu sunnatullah yang telah Berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada
akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu (Q.S. Al-Fath/48: 23).
264

mereka beriman atau sebaliknya yaitu mereka kafir dengan segala akibat dari

padanya seperti menerima kebaikan atau mengikuti keburukan. Kalaupun manusia

memiliki kehendak dan daya, itupun merupakan pemberian Allah SWT. Dengan

demikian, apapun yang terjadi pada manusia tidak di luar dari ketentuan-Nya.

Berdasarkan penjelasannya di atas, Rasyid Ridha berpandangan manusia

dapat menentukan perbuatannya dan berkemampuan memilih keimanan atau

kekafiran. Manusia memiliki kebebasan berbuat, dalam arti bahwa manusia dapat

memilih untuk percaya kepada Tuhan atau sebaliknya. Manusia juga memiliki

kemampuan memilih perbuatan baik atau buruk untuk dirinya. Dengan demikian,

dalam hal perbuatan manusia Rasyid Ridha cenderung kepada paham Kadariah,

bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak dan kebebasan dalam berbuat

(free will and free act) (Muhaimin, 2000: 41-43).

Di atas telah dijelaskan bahwa Rasyid Ridha melihat keadaan umat Islam

saat itu berada dalam kemuduran, kelemahan, dan kehinaan. Penyebabnya adalah

umat Islam melalaikan Alquran dan Sunnah Nabi. Untuk mengatasi kondisi umat

tersebut, pendidikan bagi umat Islam harus diarahkan agar mereka memiliki

semangat jihad dan ijtihad serta mengembalikan mereka kepada ajaran-ajaran

yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah. Jihad tidak terbatas dalam bidang

politik saja, tetapi ia mengandung makna “dinamika”, yaitu berusaha keras

mewujudkan kebangkitan kembali Islam melawan segala penindasan dan

kebodohan.

Untuk itulah, Rasyid Ridha mengharapkan agar para pemuda dididik untuk

memiliki semangat baja dan tangguh dalam menegakkan serta menyebarluaskan


265

Islam. Ketangguhan seseorang yang telah terdidik dengan baik terlihat dari

ketekunan, keberanian, keimanan dan akhlak serta pola pikir yang mantap. Dalam

pendidikan sangat penting menanamkan dasar-dasar keagamaan yang mantap dan

kuat kepada setiap pelajar karena tanpa dasar tersebut generasi muda akan

terjerumus dalam kerendahan moral dan akan hilang kemuliaan dalam diri

mereka. Penanaman dasar keagamaan menurut Rasyid Ridha bukan bersifat

verbalistik dan statis, tidak sekedar pemberian pengetahuan tanpa memahami

hakikatnya dan bukan pula memahami tanpa pengamalan. Lebih lanjut diharapkan

agar peserta didik giat menyebarluaskan agama di tengah-tengah masyarakat.

(Muhaimin, 2000: 65-67).

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan di atas, Rasyid Ridha menghendaki

sistem pendidikan di dunia Islam diperbarui, meliputi kesempatan pendidikan bagi

kaum perempuan, struktur pendidikan, metode pendidikan dan pelaksanaan

pendidikan. Hingga abad ke-19 kaum perempuan Mesir masih mengalami

diskriminasi dalam memeroleh pendidikan. Oleh karena itu, Rasyid Ridha

menghendaki agar kaum perempuan juga mendapatkan hak yang sama dengan

laki-laki dalam memeroleh pendidikan. Meskipun menuntut adannya kesamaan

hak laki-laki dan perempuan dalam memeroleh pendidikan, Rasyid Ridha tidak

setuju dengan sistem koedukasi (mencampuradukkan laki-laki dan perempuan

dalam satu kelas saat belajar) dari Eropa.

Terkait struktur pendidikan, Rasyid Ridha memandang perlunya

penjenjangan atau tingkat pendidikan. Hal ini bertolak dari anggapannya bahwa

setiap individu umat harus mendapatkan pengajaran dasar (al-ta’lim al-ibtidai)


266

yang berisi pelajaran perindustrian, pertanian, dan perburuhan. Sedangkan

pengajaran tinggi (al-ta’lim al-aliy) harus diberikan kepada orang-orang tertentu

yaitu mereka yang bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar seperti guru-guru,

pengarang-pengarang, pemimpin-pemimpin, hakim-hakim, dokter-dokter,

direktur-direktur, dan tokoh-tokoh pedagang (Ridha, 1901: 566).

Dengan demikian, Rasyid Ridha memandang penting penjenjangan dalam

pendidikan, yaitu pendidikan dasar dan pendidikan khusus. Mengenai metode

pengajaran, Rasyid Ridha berpendapat bahwa para ulama berkewajiban untuk

mengetahui berbagai metode pengajaran. Metode itu dapat berbeda-beda sesuai

dengan perbedaan waktu dan tempat sebagaimana berbedanya metode atau cara

menyampaikan barang kiriman umpamanya. Manusia di setiap zaman

membutuhkan suatu jenis metode pengajaran yang tidak sama dengan metode

yang terdapat pada zaman lainnya, karena pada dasarnya telah berbeda metode

ilmu itu sendiri dengan perbedaan zaman, tempat, dan keadaan.

Di atas telah dijelaskan bahwa Rasyid Ridha mendirikan sendiri lembaga

pendidikan tinggi bernama Dar al-Da’wah wa al-Irsyad, meskipun usia lembaga

tersebut tidak lama. Hal ini dilakukannya karena tidak mau bekerja pada

pemerintah imperium Usmani (Ottoman Turki) ataupun bergabung pada lembaga

pendidikan milik pemerintah karena dia menganggap pemerintah Usmani tidak

lagi menjalankan misi Islam dan memerintah secara absolut. Lembaga pendidikan

formal milik pemerintah menurutnya juga telah mengikuti model Barat yang

kurang memperhatikan ilmu agama. Ia juga tidak mau bergabung dengan lembaga

pendidikan formal Islam yang ada, karena dianggap masih bersifat tradisional dan
267

tidak dapat diharapkan lulusannya mampu mengadakan pembaruan dalam Islam.

Oleh karena itu, Rasyid Ridha menyatakan: “Sesungguhnya saya telah sibuk

dengan pembangunan Dar al-Da’wah wa al-Irsyad, dan memikirkan segala apa

yang menjadi kebutuhan pembinaannya, baik material maupun spiritual dari

berbagai kebutuhan pria maupun wanita, bantuan alat-alat pengajaran, kitab-kitab,

pemilihan guru-guru, tenaga staf dan lain-lainnya” (Ridha, 1911-b: 332). Rasyid

Ridha menghendaki agar para pelaksana pendidikan adalah orang-orang yang

memiliki visi keilmuan dan rela berjuang untuk kemajuan umat Islam (Ridha,

1911-a: 573).

Usaha mencari ilmu yang dilakukan Basioeni Imran sebagaimana

dijelaskan di atas menunjukkan keragaman ilmu yang telah dipelajari dari

sejumlah guru. Berbekal ilmu-ilmu dasar seperti baca tulis Arab, bahasa Arab dan

dasar-dasar agama Islam yang dipelajarinya di Sambas, Basioeni Imran berkelana

ke Mekah, tempat berkumpulnya para ulama terkemuka dan pusat pembelajaran

ilmu-ilmu agama. Di Mekah, Basioeni Imran belajar dari seorang guru bermazhab

Syafi`iyah namun menentang tarekat bernama Syaikh Achmad Khatib

Minangkabau. Selanjutnya Basioeni Imran juga melanjutkan pengembaraan

menuntut ilmunya ke negeri yang sedang semarak dengan ide-ide pembaruan

Kairo, Mesir. Di Kairo, setelah belajar di sekolah menengah, Basioeni Imran

melanjutkan menuntut ilmu pada ulama pembaru Muhammad Rasyid Ridha.

Proses belajar kepada Rasyid Ridha tetap dijalani Basioeni Imran meskipun sudah

kembali ke Sambas, yaitu melalui majalah al-Manar.

Meskipun Basioeni Imran keturunan ulama terkemuka, tetapi dalam hal


268

penguasaan ilmu-ilmu agama, ia harus berusaha sendiri untuk memiliki dan

menguasainya. Sejak pulang dari merantau, Basioeni Imran telah diakui

kemampuan dan penguasaan ilmu agamanya, dan berbekal ilmunya tersebut ia

dipercaya untuk mengajar di lingkungan istana dan mengajar di Madrasah al-

Sulthaniyah. Pengakuan atas kualitas keilmuan (keulamaan) Basioeni Imran

mencapai puncaknya dengan pengangkatan dirinya sebagai Maharaja Imam pada

1913. Mengikuti konsep Kartodirdjo (1982: 227) tentang sumber otoritas karisma,

penguasaan Basioeni Imran terhadap ilmu-ilmu agama dapat dikategorikan

sebagai karisma murni. Karisma yang dimiliki atas usahanya sendiri, yaitu dengan

berkelana mencari ilmu ke Mekah dan Kairo. Dengan demikian, Basioeni Imran

memilki dua sumber otoritas karisma sekaligus, yaitu karisma murni (karena

penguasaan ilmunya) dan karisma rutin (sebagai keturunan ulama-ulama

terkemuka).

3.2.3.3 Murid Basioeni Imran

Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa Basioeni Imran hingga

wafatnya memegang beberapa jabatan penting baik pada masa Kerajaan Sambas

maupun pasa masa pemerintahan Republik Indonesia. Basioeni Imran juga

mendirikan dan membina lembaga pendidikan Madrasah Tarbiyatul Islamiyah

yang menyelenggarakan sistem pendidikan modern, tidak seperti lembaga

pendidikan tradisional seperti pondok pesantren. Kegiatan lainnya yang dilakukan

Basieoni Imran adalah memberikan pelajaran agama di Masjid Jami Sambas

(Masjid Keraton), serta di rumahnya sendiri. Dengan kegiatan seperti itu, maka
269

sistem pengajaran yang dilakukannya sulit untuk mendidik murid-murid yang

secara total menyerap berbagai ilmu dari dirinya. Kondisi ini berdampak pada

tidak adanya istilah “murid” yang dapat mewarisi ilmu dan keulamaan yang

dimiliki oleh Basioeni Imran.

Gambar 3. 3: Masjid Agung Jami` Sultan Moehammad Tsafioeddin II


Sambas (Masjid Istana) sebagai Tempat Basioeni Imran Memberi Pelajaran
Agama

Sumber: Koleksi Peneliti, Sambas, 3 Mei 2010

Berdasarkan keterangan dari berbagai pihak yang peneliti wawancarai,

semua mengatakan bahwa Basioeni Imran tidak memiliki murid khusus yang

diharapkan mampu meneruskan ilmu yang dimilikinya. Bahkan dari lingkungan

keluarganya pun tidak ada yang dianggap bisa mewarisi ilmu agama atau sosok

keulamaannya. Badran, sebagai salah seorang anak Basioeni Imran yang masih

hidup mengakui bahwa tidak satu pun saudara-saudaranya yang mengikuti jejak
270

bapaknya menjadi seorang ulama. Padahal, sebagaimana telah dijelaskan di atas,

Basioeni Imran sangat berharap anak-anaknya menjadi ulama terkemuka. Harapan

tersebut bisa dilihat dari pemberian nama anak-anak laki-lakinya dengan nama

para ulama terkemuka.

Meskipun tidak memiliki murid atau anak yang diharapkan mampu

menggantikan sosok keulamaan Basioeni Imran, tetapi harus dinyatakan bahwa

pada masanya menjabat sebagai Maharaja Imam, kehidupan keagamaan di

Kerajaan Sambas sangat terlihat semarak. Kondisi ini sangat ditunjang oleh

pembentukan struktur pejabat keagamaan yang disusun secara hirarkis mulai dari

tingkat tertinggi Maharaja Imam hingga lebai di setiap kampung, serta bilal dan

modim di setiap masjid.

3.3 Karya Tulis

Semasa hidupnya Basioeni Imran banyak menulis, baik yang telah dicetak

maupun yang masih hasil ketikan atau tulisan tangan di buku tulis atau lembaran-

lembaran. Namun sebagian dari karya tulis tersebut sudah tidak ditemukan lagi

dan hanya diketahui informasinya dari berbagai sumber. Berikut adalah beberapa

karya Basioeni Imran yang masih ada dan menjadi sumber-sumber penelitian ini:

1) ‫( نورالسراج في قصةاالسراء والمعراج‬Nur al-Siraj fi Qissat al-Isra’ wa al-Mi’raj /

Cahaya Pelita pada Ceritera Isra’ dan Mi’raj).

Kitab ini ditulis oleh Basioeni Imran pada Rajab 1334 H. / 1916 M. yang

selesai selama dua hari, kemudian selesai diperbaiki atau direvisi pada hari

Jumat, 23 Jumadil Akhir 1357 H / 19 Agustus 1938 M (Imran, 1938-c: 26).


271

Ditulis dengan huruf “Jawi” (Arab Melayu), seluruhnya berjumlah 26

halaman. Tujuan menulis kitab ini menurut Basioeni Imran adalah:

Maka supaya jadi ringkas dan pendek inilah saya tulis ceritera ini sahaja
mengambil riwayat yang shahih supaya senang dan tetap hati orang
yang membacanya berpegang dengan dia dan saya tiada salin lagi
lafadz-lafadz Arabnya melainkan ayat Quran atau hadis Rasulullah
SAW. Supaya mudah memahamnya bagi orang yang tiada tahu bahasa
Arab dan ilmunya (Imran, 1938-c, hal. 2).

Meskipun terkesan sederhana dan tidak dibagi menjadi bagian-bagian (seperti

bab atau pasal), harus diakui bahwa di dalam kitab ini terdapat beberapa

pemikiran yang disebutnya ”hikmah dari Allah”. Beberapa pemikiran Basieoni

Imran di dalam kitab ini adalah: Pertama, pendapatnya bahwa isra dan mikraj

dijalani oleh Rasulullah dengan jasad dan ruh serta dalam keadaan jaga bukan

mimpi. Kedua, pernyataan bahwa nabi-nabi yang ditemui Rasululah di setiap

tingkatan langit adalah ruh para nabi yang diserupakan dengan jasadnya.

Ketiga, pernyataan “Allah di langit atau di atas” dimaknai sebagai langit

kemuliaan dan ketinggian, tidak membatasi-Nya dengan tempat. Keempat,

keberanian Basioeni Imran dalam menyatakan bahwa dalam ilmu dan iradat

Allah sembahyang yang diwajibkan adalah lima kali sehari-semalam.

2) ‫بداية التوحيد في علم التوحيد‬ (Bidayah al-Tawhid fi al-Ilm al-Tawhid / Dasar-

dasar ke-Esa-an Allah dalam Ilmu Tawhid).

Kitab ini selesai ditulis pada Rabu 13 Jumadil Akhir 1336 H (27 Maret 1918),

terdiri dari 59 halaman. Dicetak oleh penerbitan al-Ahmadiyah Singapura

pada tahun yang sama. Kitab berbahasa Melayu ini mungkin merupakan

karya pertama Basioeni Imran yang dicetak. Kitab setebal 59 halaman ini
272

memuat enam bab yang ditambah dengan daftar ralat, pengantar penulis,

pendahuluan, dan penutup. Di dalam kata pengantarnya, Basioeni Imran

menjelaskan bahwa kitab ini merupakan nukilah atau salinan dari beberapa

kitab, yaitu kitab al-Jawahir al- Kalamiyya karya al-‘Allamah Syaikh Tahir

al-Jazairi, kitab Kalimat al- Tawhid karya al-‘Allamah Syaikh Husein Waaly

al-Mishry, dan sedikit dari kitab Kifayat al-‘Awam karya Syaikh Muhammad

al-Fudhali. Kitab ini ditulis tidak mengikuti aturan dan susunan asli kitab-

kitab tersebut. Kitab tersebut disalin disesuaikan dengan “perasaan” orang

Melayu serta tidak keluar dari maksud asalnya (Imran, 1918-a: 1).

Dalam kitab Bidayat al-Tawhid fi ‘Ilm al-Tawhid ini, Basioeni Imran

menegaskan bahwa mempelajari pokok-pokok agama (usuluddin) secara garis

besarnya adalah hukumnya wajib peorangan (fardhu ‘ain) bagi setiap ‘aqil

baligh (muslim dewasa) sedangkan mempelajarinya secara rinci hukumnya

wajib bagi orang banyak (fardhu kifayah) (Imran, 1918-a: 1-2). Kitab ini

terdiri dari enam bab sesuai dengan jumlah rukun iman di mana setiap bab

membahas satu rukun iman. Khusus bab iman kepada para nabi dan rasul

isinya cukup panjang, karena di dalamnya dibahas tentang Rasulullah

Muhammad SAW, keluarganya, khulafa al-rasyidin, dan perihal imamah.

3) ‫( جهيا سوله فد مندريكن جمعة كورغ درفد امفت فوله‬Cahaya Suluh Pada Mendirikan

Jumat Kurang dari pada Empat Puluh)

Kitab Cahaya Suluh, Pada Mendirikan Jumat Kurang Daripada Empat Puluh

adalah risalah pendek, yaitu hanya 17 halaman. Kitab tersebut selesai ditulis

pada waktu Maghrib malam Jumat 2 Safar 1339 H (14 Oktober 1920 M).
273

Dicetak pada tahun yang sama di percetakan al-Ikhwan, Singapura. Risalah

ini juga ditulis dalam edisi bahasa Arab dengan judul al-Nusus wa al-Baharin

‘ala Iqamat al-Jumu’ah bi mad al-‘Arba’in, (“Beberapa Nash dan

Argumentasi tentang Mendirikan Sembahyang Jumat yang Kurang dari 40

Orang”). Dicetak di percetakan al-Manar Kairo pada 1344 H / 1925 M.

Basioeni Imran menyebutkan bahwa risalah ini ditulis:

Karena permintaan saudara-saudara yang ikhlas yang baik sangkanya


kepada saya dan karena banyak pertanyaan orang-orang dari segenap
kampung dan desa dan mereka itu minta fatwa kepada saya dari hukum
mendirikan sembahyang Jumat dengan orang yang kurang dari pada
empat puluh dan hukum sembahyang zuhur mu’adah kemudian maka
saya jawab serta mengaku bahwa saya bukan ahli bagi yang demikian.
Menurut qaul (kata) Imam kita Syafi’i yang qadim (yang lama) sah
Jumat dengan orang yang empat daripada ahli Jumat dan itu qaul telah
di-rajih-kan oleh ulama atas qaul-nya yang jadid (yang baru) yang
mensyaratkan empat puluh (Imran, 1920: 1).

Tujuan penulisan risalah Cahaya Suluh juga dapat dilihat dari penjelasannya

kepada Pijper pada 1950. Basioeni Imran menjelaskan:

Di Kerajaan Sambas orang jarang shalat Jumat, bahkan Masjid Agung


di ibu kota saja hanya dikunjungi oleh kurang lebih 500 orang; dan ini
sangat sedikit bagi suatu kota besar. Inilah yang menyebabkan hatinya
tergugah untuk memperkenalkan qawl qadim Syafi’i yang mengizinkan
shalat Jumat dengan jama’ah kurang dari empat puluh orang, namun
demikian shalatnya tetap sah. Pendapat ini dilaksanakan di Kerajaan
Sambas dan tentang ini tidak pernah timbul pertentangan (Pijper, 1985:
147).”

Dalam pengantarnya Basioeni Imran juga menjelaskan bahwa naskah ini

ditulis karena banyak fatwa-fatwa liar tentang masalah sembahyang Jumat

yang kurang dari empat puluh orang yang simpang siur dan berkembang di
274

tengah-tengah masyarakat sehingga membingungkan mereka, bahkan kadang-

kadang menimbulkan pergaduhan dan perselisihan (Imran, 1920: 2).

4) ‫تذكير سبيل النجاه في تارك الصالة‬ (Tazkir, Sabil al-Najah fi tarik al-Shalat /

Peringatan, Jalan Kelepasan pada Mengingati Orang yang Meninggalkan

Sembahyang).

Kitab ini selesai ditulis di Sambas pada Rabu, 9 Rabiul Awwal 1349 H (3

September 1930 M). Kemudian dicetak oleh percetakan al-Ahmadiyah,

Singapura, pada 23 Sya’ban 1349 H (12 Januari 1931 M) (Imran, 1931: 29;

34). Pada sampul depan kitab ini, Basioeni Imran (pengarang)

memperkenalkan identitas dirinya sebagai Maharaja Imam, Adviseur Agama

Islam di Kerajaan Sambas Borneo Barat. Pemikiran Basioeni Imran dalam

kitab Tadzkir ini menarik untuk dilihat. Kata Tadzkir (memperingati,

mengingatkan, atau peringatan) di awal judul kitab ini merupakan tema pokok

keseluruhan isi kitab. Sasaran kitab ini adalah kepada tiga kelompok orang

Islam. Pertama, mengingatkan orang yang tidak mau sembahyang, dengan

menunjukkan betapa besarnya dosa orang yang tidak mau sembahyang.

Kedua, mengingatkan orang yang tidak tahu sembahyang, dengan

mengemukakan syarat, rukun serta tata cara sembahyang. Ketiga,

mengingatkan orang yang belum sempurna sembahyangnya, dengan

menjelaskan perlunya tertib, khusyu’ dan mengerti serta memahami bacaan

sembahyang.

Pada bagian awal kitab, Basioeni Imran menjelaskan landasan ayat Alquran

dan Hadis Rasulullah tentang kewajiban sembahyang, manfaat atau faedah


275

sembahyang, serta ancaman bagi orang yang meninggalkan sembahyang

(halaman 2-8). Bagian berikutnya penulis kitab menjelaskan perbedaan

pendapat di kalangan ulama menyangkut status orang yang meninggalkan

atau tidak mendirikan sembahyang. Dalam hal ini, ada tiga pendapat ulama,

yaitu (1) menjadi kafir-murtad; (2) tidak menjadi kafir tapi berdosa besar; dan

(3) kafir sebagaimana orang yang mengerjakan dosa besar lainnya seperti

zina, minum arak dan lainnya (halaman 8-12).

Bagian berikutnya dari kitab Tazkir adalah penjelasan tata cara sembahyang

(mulai dari thaharah, rukun dan sunnah dalam sembahyang, sembahyang

Sunnah rawatib, sembahyang sendiri dan berjamaah, sembahyang dalam

perjalanan, sembahyang Jumat, menjaga sembahyang dan zikir setelah

sembahyang) (halaman 12-29). Pada halaman 30-31 terdapat tambahan tanya

jawab yang diambil dari majalah al-Manar yang menyangkut masalah hukum

dan status orang yang meninggalkan sembahyang. Jawaban dari Syaikh

Muhammad Rasyid Ridha dalam al-Manar Juz pertama Nomor 31 disalin

ulang oleh Basioeni Imran sebagai pelengkap kitabnya. Tiga halaman terakhir

kitab Tazkir berisi penjelasan tambahan Basioeni Imran tentang melafalkan

niat sembahyang.

Beberapa kitab yang dijadikan rujukan resmi Basioeni Imran dalam menulis

karya ini adalah: Kitab al-Zawajir karangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitam,

kitab al-Azhar karangan Imam Nawawi, majalah al-Manar edisi 31, dan kitab

Muhazzab.

5) ‫( حسن الجواب عن اثبات االهلة بالحساب‬Husn al-Jawab ‘an Isbat al-Ahillah bi al-
276

Hisab / Molek Jawaban pada Mentsabitkan Awal Bulan dengan Kiraan).

Kitab ini peneliti temukan masih tersimpan di Museum Tamadun Islam Nagri

Sambas pada 9 Agustus 2016. Pada akhir kitabnya, yaitu pada halaman 28,

Basioeni Imran menulis sebagai berikut:

Maka pada pagi hari Arba’a ini berbetulan 21 Zulqaiddah tahun 1355
bersamaan 3 Februari 1937 selesai menulis ini risalah dengan sempurna
ialah memperbaiki dan membetulkan risalah yang telah saya tulis pada
6 hari bulan Ramadan tahun 1352 bersamaan 23 Desember 1933 ketika
saya baru sembuh daripada sakit keras (Imran, 1938-a: 28).

Dengan demikian, kitab ini sebenarnya telah selesai ditulis pada 6 Ramadan

1352 H/23 Desember 1933 M. Selanjutnya kitab tersebut selesai dikoreksi

dan diperbaiki pada 3 Februari 1937 / 21 Zulqaiddah 1355 H. Kitab ini

dicetak oleh Maktabah az-Zainiyah, Penang, 1938. Diberi Kata Pengantar

oleh Syeikh Tahir Jalaluddin Kuala Kangsar Perak.

Basioeni Imran menulis kitab Husn al-Jawab ini karena prihatin atas kondisi

umat Islam yang berselisih paham dan bertengkar bahkan mengarah pada

perpecahan umat. Salah satu perselisihan paham dan menjadi sumber

pertengkaran dan perpecahan adalah dalam metode menentukan awal bulan

Ramadhan (awal puasa) dan awal bulan Syawal (Idul Fitri). Ada yang

menggunakan metode rukyat (melihat hilal atau bulan muda dengan mata

kepala) dan ada pula yang menggunakan metode hisab (perhitungan dengan

ilmu hisab atau falakiyah).

Maka pertengkaran dan perselisihan itu hendaknya tidak bagus bagi kita
orang muslimin yang tahu agama. Maka bagaimana kiranya orang
agama lain nya memandang hal kita pada yang demikian? Akan tetapi
memang tabiat manusia suka bersalah-salahan dan berlain-lainan karena
bersalah-salahan akal dan dan paham masing-masing. Sungguhpun
demikian, maka agama kita (Islam) menyuruhkan kita muwafakat dan
277

bersatu teristimewa dalam perkara agama dan ia tegahkan kita daripada


bersalah-salahan. Apalagi yang membawa kepada berpecah belah sama
sendiri. Sekarang kita datangkan pertanyaan adakah harus kita puasa
dan hari raya dengan memakai perhitungan (hisab falakiyah) atau tiada,
yakni mesti memakai rukyah (melihat bulan) saja? Jawaban pertanyaan
ini akan datang di dalam bahas uraian yang akan datang dan ini risalah
saya namai: (‫( ) حسن الجواب عن اثبات االهلة بالحساب‬Imran, 1938-a: 1-2).

Setelah bagian pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang ditulisnya kitab

ini, Basioeni Imran memulai pembahasannya dengan menjelaskan makna

hilal, qamar, dan syahr (halaman 3-4). Pemahaman awal tentang makna

ketiga kata tersebut sangat penting untuk memahami seluruh pembahasan

kitab ini. Bagian kedua kitab membahas tentang “asal masalah

menyempurnakan bilangan” (halaman 4-12), yaitu penjelasan mengenai hadis

Bukhari-Muslim tentang menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi

tiga puluh hari jika bulan tidak terlihat karena terhalang remang (awan atau

kabut). Hadis ini menjadi pegangan bagi golongan yang menggunakan

metode melihat bulan. Hadis ini selanjutnya juga menjadi pangkal persoalan

ditolaknya metode perhitungan sehingga terjadi perselisihan di kalangan umat

Islam. Bagian ketiga adalah “hikmah syara’ menyerahkan waktu-waktu

ibadah dengan rukyat” (halaman 12-14). Bagian terakhir kitab adalah “bahas

beramal memakai hisab pada segala waktu ibadah” (halaman 14-28) menjadi

bagian utama pembahasan tentang penggunaan ilmu hisab dalam menentukan

waktu-waktu ibadah, tidak hanya untuk penentuan puasa.

Dalam catatanya di sebuah buku tulis, ditemukan bahwa kitab Husn al-Jawab

dihadiahkan sendiri oleh Basioeni Imran kepada sejumlah orang antara lain:

(1) Imam Muhammad Jabir Sambas;


278

(2) Imam Maharaja Abdurrahman;

(3) Khatib Muhammad Murtadha

(4) Daeng Muhammad Harun;

(5) H. Muhammad Shafir, penghulu landraad Singkawang;

(6) H. Ahmad Su’ud, penghulu agama Singkawang;

(7) H. Muhammad Barir, penghulu Pemangkat;

(8) H. Muhammad Arif, penghulu Sentebang;

(9) H. Muhammad Saning, penghulu Sungai Raya;

(10) H. Abdul Muin, penghulu Selakau;

(11) Ahmad Mi’raj, penghulu Bengkayang;

(12) Daeng Muhammad Fasani di Surabaya;

(13) H. Agus Salim di Betawi;

(14) Sri Paduka Tuan Sultan Pontianak;

(15) Sri Paduka Tuan Panembahan Mempawah;

(16) Guru Zaini;

(17) Manaf Padang;

(18) Haji Semberang, 1 buat hadiah kepadanya dan 5 buah buat jual;

(19) Haji Hadran (Imran, Salinan Surat Menyurat, 1939).

6) ‫االبانة واالنصاف في المسائل الدينية وازالة التفرق فيها واالختالف‬ (Al-Ibanatoe wal

inshafoe fil masaailiddiniah wa izalati attafarruqifiha wal ichtilaaf /

Menyatakan dan Menengahi [Mengadili] pada Masalah Agama dan

Menghilangkan Berpecah-belah dan Bersalah-salahan Padanya).104

104
Judul dalam huruf Latin dan terjemahnya mengikuti atau sesuai dengan yang ditulis oleh
279

Naskah ketikan menggunakan mesin tik ini penulis temukan di museum

bekas rumah Basioeni Imran di Kampung Dagang Timur. Naskah tulisan Haji

Moehamad Basioeni Imran ini tidak bersampul, dan karenanya kita tidak

dapat langsung mengetahui judul naskah. Naskah langsung pada halaman 1

(nomor halaman ditulis di tengah atas halaman) yang dimulai dengan tulisan

basmalah (beraksara Arab dan diikuti yang beraksara Latin) yang merupakan

“kata pengantar” naskah. Judul naskah baru disebutkan dalam rangkaian kata

pengantar pada halaman 5. Judul naskah yang tertulis dalam aksara Latin

adalah: Al-Ibanatoe wal Inshafoe masaailiddiniah wa izalat …(tulisan tidak

terbaca karena kertas dimakan rayap)…qi fiha wal ichtilaaf) Setelah judul

tersebut ditulis pula terjemahnya yaitu : “Menjatakan dan menengahi

(mengadili) pada masalah Agama dan menghilangkan berpetjah belah dan

bersalah-salahan padanya”. Kemudian pada pinggir naskah halaman 5 juga

ditulis judul naskah dengan menggunakan bahasa dan aksara Arab. Naskah

diketik dengan menggunakan aksara Latin dan berbahasa Melayu; kecuali

ayat Alquran dan Hadis Nabi ditulis dengan bahasa dan aksara Arab. Naskah

diketik pada kertas biasa tanpa cap kertas atau water mark berukuran 22,2 cm

x 16 cm diketik pada kedua sisi dengan jumlah halaman sebanyak 122

halaman.

Secara umum naskah dalam kondisi baik, kecuali sisi bawah naskah sudah

dimakan rayap sehingga ada beberapa tulisan di beberapa halaman yang

hilang. Sebagaimana disebutkan di atas, naskah ini tersimpan di Museum

Basioeni Imran di dalam naskahnya (Imran, 1933-a: 5-6).


280

Tamadun Islam Nagri Sambas di Kota Sambas. Bagian awal naskah adalah

“kata pengantar” (judul tersebut tidak ditulis) berjumlah enam halaman

(halaman 1-6). Bagian berikutnya adalah “Moeqadimah-Pendahoeloean”

sebanyak tujuh belas halaman (halaman 7-23). Selanjutnya naskah dibagi-

bagi menjadi dua puluh sembilan pasal (halaman 23-122) tanpa pasal atau

bagian penutup. Pada halaman akhir naskah tertulis nama penulis H. M.

Basioeni Imran yang diikuti dengan tanda tangan serta keterangan “Sambas,

13 Ramadlan 1352 bersamaan 30 Desember 1933”. Keterangan ini

menunjukan bahwa naskah tersebut selesai ditulis pada tanggal dimaksud.

Tujuan ditulisnya naskah ini adalah untuk menjelaskan kepada umat Islam

kondisi umat Islam di masa-masa awal sejarah terbentuknya hukum Islam.

Lebih khusus lagi adalah menjelaskan bagaimana para imam mujtahid

menggali hukum-hukum dari kitab suci Alquran dan Sunnah Rasul. Hal ini

penting disampaikan dan diketahui oleh umat Islam agar terhindar dari sikap

taklid a’ma dan kembali mencari petunjuk langsung kepada Alquran dan

Sunnah. Kelompok umat yang berpegang pada sikap taklid menganggap

ijtihad untuk mencari petunjuk dari Alquran dan Sunnah tidak bisa lagi

dilakukan karena beratnya persyaratan. Menurut Basioeni Imran untuk

mencari petunjuk dari Alquran dan Sunnah tidak harus dengan ijtihad,

sebagaimana dijalani oleh umat di masa lalu. Untuk menjelaskan hal inilah

maka Basioeni Imran menulis naskah Al-Ibanatoe wal inshafoe fil

masaailiddiniah wa izalati attafarruqifiha wal ichtilaaf (selanjutnya disebut

al-Ibanah).
281

Ditinjau dari isinya, naskah ini dapat dikatakan sebagai Tarikh Tasyri’ atau

sejarah pembentukan hukum Islam karena naskah atau risalah ini: “...pada

menerangkan hal ‘ilmoe agama atau ‘ilmoe fikih dan jang berfatwa padanja

dari masa Rasoeloellah s.a.w. hingga masa taklid jang semata-mata ialah

oentoek pengadjaran bagi jang tidak tahoe dan ingatan bagi jang lalai...”

(Imran, 1933-a: 5). Secara keseluruhan risalah al-Ibanah terdiri dari 29 fatsal

atau bab (ada yang memiliki judul bab namun ada juga yang tidak memiliki

judul bab).

Bagian isi Al-Ibanah dimulai dengan perkembangan hukum Islam pada masa

Rasulullah dan cara para sahabat menerima ilmu dari Rasulullah. Selanjutnya

dijelaskan tokoh-tokoh sahabat yang terkemuka dalam memberikan fatwa,

dilanjutkan penjelasan para tokoh kalangan tabi’in, tabi’ tabi’in, para imam

mazhab dan tata cara mereka berijtihad dan berfatwa hingga sampai pada

masa berkembangnya taklid di dunia Islam. Pembahasan berikutnya adalah

kondisi ulama, ilmu fikih, dan fatwa pada periode mutaakhkhirin.

Sebagaimana telah dijelaskan tentang tujuan Basioeni Imran menulis risalah

al-Ibanah, di bagian akhir dijelaskan bagaimana jalan menghilangkan

perselisihan pada agama dan bagian-bagian hukum.

7) ‫( ارشاد الغلمان الى اداب تالوة القران‬Irsyad al-Gilman ila Adab Tilawat al-Qur’an /

Petunjuk Praktis untuk Anak tentang Adab Membaca Alquran).

Kitab ini selesai ditulis Basioeni Imran pada 5 Syawal 1352 (21 Januari

1934). Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan al-Ahmadiyah

Singapura. Dalam kata pengantar bukunya, Basioeni Imran menjelaskan


282

bahwa dalam beribadah baik dalam sembahyang maupun di luarnya membaca

Alquran harus dibaca dengan betul dan ikhlas. Lebih baik lagi jika di samping

dibaca dengan betul ayat-ayat Alquran dipahami karena merupakan petunjuk

bagi manusia:

Dan Quran itu untuk beribadah dengan lafadz-lafadznya yakni dibaca


akan dia baik pun di dalam sembahyang atau di luar sembahyang dan
paham akan maknanya atau tiada maka semuanya itu diberi pahala
atasnya asal dengan betul dan ikhlas akan tetapi Quran itu diturunkan
ialah supaya dibaca akan dia dengan betul dan dipahamkan maknanya
dan maksudnya karena di dalamnya hidayah (petunjuk) kepada jalan
kebajikan dunia dan akhirat dan cahaya yang sangat terang bagi segala
hati dan akal maka orang yang membaca Quran tiada paham akan
maknanya dan maksudnya sedikitlah bahagian daripadanya (Imran,
1934: 2).

Sistematika pembahasan kitab ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama

membahas hukum menyentuh Mushaf dengan tiada berwudhu. Bagian kedua

membahas adab membaca Alquran antara lain meliputi: suci daripada najis

dan hadats (yakni tahir) dan suci batin dari sifat riya’ (keangkuhan) ‘ujub

(rasa angkuh) dan sum’ah namun sebaliknya harus ikhlas, khusyu’ (penuh

konsentrasi), tawaddu’ (rendah hati) dan khasyyah (takut kepada Allah ta’ala).

Dalam bagian adab membaca Alquran ini, Basioeni Imran membahas cukup

panjang persoalan hukum membaca Alquran dengan menggunakan lagu

(berlagu dengan Alquran). Panjangnya pembahasan tersebut karena ada

perbedaan pendapat mengenai hal ini (halaman 11-21).

Bagian ketiga membahas sunnah-sunnah yang berkaitan dengan membaca

Alquran, yaitu jangka waktu yang baik dalam menamatkan (mengkhatamkan)

membaca Alquran. Bagian keempat membahas tentang sujud tilawah, yaitu

makna dan tata cara sujud tilawah serta tempat-tempat di dalam Alquran
283

(ayat-ayat) untuk sujud tilawah. Kitab Irsyad al-Ghilman ini ditutup oleh

Basioeni Imran dengan teks doa khatam Alquran yang dikutip dari kitab ‫اعانة‬

‫( الطالبين‬I’anat al-Thalibin) dengan diringkas.

8) ‫( الجنا ئز‬al-Janaiz / Kitab Jenazah)

Kitab al-Jana’iz ditulis oleh Basioeni Imran di Sambas pada masa

pemerintahan Jepang. Selesai ditulis di Sambas pada 15 Rabiul Awwal 1362

H bersamaan 21 Sigitsu 2603 [kalender Jepang] (1943 M) dan dicetak oleh

percetakan Galunggung, Tasikmalaya. Dalam pembahasannya, Basioeni

Imran menggunakan tiga pola. Pertama, bersandar kepada keterangan

Alquran, Sunnah Rasulullah SAW, dan pendapat ulama terdahulu terutama

ulama mazhab Syafi’i. Kedua, merujuk kepada pemikiran-pemikiran

kontemporer pada masa itu terutama kepada pemikiran Muhammad Rasyid

Ridha. Ketiga, berijtihad sendiri setelah memperhatikan dan membandingkan

berbagai pendapat yang ada.

Kitab yang berjumlah 51 halaman ini terbagi menjadi 35 pembahasan,

dimulai dengan pembahasan mengenai ziarah dan melihat orang sakit hingga

ditutup dengan pembahasan larangan menyebut kejahatan orang-orang yang

telah meninggal. Basioeni Imran menyebutkan bahwa kitab yang berisi

hukum-hukum mengurus orang mati ini:

Saya buat untuk kaum muslimin umumnya dan untuk lebai-lebai yang
jadi pengurus hal itu di kampung-kampung di dalam Kerajaan Sambas
khususnya, ialah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama Islam di
dalam kitab-kitab fikih dan hadis yang saya kutip daripada ia (Imran,
1943: 1).

Basioeni Imran menjelaskan bahwa beberapa kitab yang menjadi rujukannya


284

dalam menulis kitab al-Janaiz ini antara lain: (1) Kitab al-Umm karya

Muhammad bin Idris al-Syafi’i (Imam Syafi’i); (2) Kitab al-Muhazzab karya

Imam Abi Ishaq al-Syairaziy; (3) Syarah al-Minhaj (al-Mahalliy); (4) Kitab

al-Mughni karya Imam Ibn Qudhamah (mazhab Hanbali); (5) Kitab Nail al-

Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar karya Imam Muhammad bin Ali al-

Syaukani; (6) Atsna al-Mathalib (Syarh al-Raudha) karya Syaikh al-Islam

Zakariya al-Anshariy al Syafi’i; dan lain-lain.

Kitab Janaiz ini cukup penting tidak hanya untuk masa ditulis pada tahun

1940-an, tetapi juga hingga saat ini. Separuh awal kitab ini mengulas hukum-

hukum fikih dan tata cara mengurus orang yang meninggal (mayat). Separuh

akhir kitab ini membahas beberapa persoalan yang menjadi perdebatan dan

perselisihan di kalangan umat Islam, seperti membaca talqin mayat, hadiah

pahala kepada orang mati, ta’ziyah, berkumpul di rumah duka dan memberi

makan mereka, meninggikan kuburan dan ziarah kubur.

9) ‫( خالصة السيرة المحمدية حقيقة سروان اسالم‬Khulashah al-Sirah al-Muhammadiyyah

/ Ringkasan Sejarah Hidup Muhammad)

Kitab ini adalah terjemahan dari kitab sejarah singkat Rasulullah SAW

karangan Muhammad Rasyid Ridha. Basioeni Imran menambahkan kata-kata

Hakikat Seruan Islam pada judul terjemahannya. Kitab yang peneliti

dapatkan adalah kitab cetakan pertama setebal 101 halaman dicetak oleh

percetakan al-Ahmadiyah, Singapura, 1351 H. / 1932 M. Sebenarnya

terjemahan kitab Khulasah Sirah Muhammadiyah hanya sampai pada

halaman 89 dan selesai ditulis setelah sembahyang Isya pada malam Ahad, 29
285

Sya’ban 1349 H / 18 Januari 1931 M. Selanjutnya mulai halaman 90 sampai

101 adalah terjemahan ringkas dari pendahuluan dari kitab Zikr al-Maulid al-

Nabawiy yang juga karya Muhammad Rasyid Ridha. Tambahan ini berisi

penjelasan hukum berkumpul membaca maulid Nabi Muhammad pada

malam atau siang hari tanggal 12 Rabiul Awwal atau pada lain waktu. Naskah

ketikan terjemahan Khulashah al-Sirah al-Muhammadiyah beraksara Latin

berbahasa Melayu juga ditemukan di museum bekas rumah Basioeni Imran,

namun beberapa halaman hilang. Naskah ketikan ini diyakini merupakan

salinan hasil terjemahan Basioeni Imran yang diberikan kepada percetakan al-

Ahmadiyah, Singapura.

Dalam pengantar kitab Khulashah al-Sirah al-Muhammadiyya (Ringkasan

Sejarah Hidup Muhammad) ini, Basioeni Imran menyampaikan keterangan

tentang penulisan kitab ini:

Maka adalah di dalam beberapa tahun lalu saya menulis surat ke hadrat
al-‘allamah al-muslih al-sayyid Muhammad Rasyid Ridha Sahib al-
Mannar di Mesir mohon akan ditunjukkan kepada saya satu kitab atau
risalah yang patut dan bagus untuk menunjuki orang-orang muslimin
kepada jalan kebenaran dan kebagusan agama Islam untuk memanggil
akan orang-orang asing kepada agama yang mulia itu, dan saya berjanji
dengan dia apabila ada itu kitab atau risalah maka saya terjemahkan
risalahnya (Zikr al-Maulid al-Nabawi) ringkasan perjalanan dan ceritera
Nabi kita Muhammad SAW, maka saya pun terjemahkan mukhtasar-
nya di dalam bulan Ramadan tahun 1374 [sekitar 1928] karena hendak
mengambil pendeknya. Kemudian maka saya beritahu tuan Sayyid itu
dengan yang demikian, maka katanya jikalau diterjemahkan zikr al-
maulid itu maka terlebih baik.
Kemudian datang surat beliau (Muhammad Rasyid Rida) itu bertarikh
20 Jumadil Akhir 1349 bersamaan 11 Nopember 1930 jawab surat saya
di dalam perkara hendak menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa
Melayu maka katanya: “Tuan mulailah dengan menterjemahkan risalah
286

kami (Khulasah Sirah Muhammadiyah) yang ia pungut dari Zikr al-


Maulid serta tuan sayyid itu kirim satu naskah kepada saya.

Kandungan kitab ini memuat petunjuk bagi orang-orang Islam untuk tetap

berada pada jalan kebenaran dan kebaikan, mengajak orang lain untuk masuk

Islam. Di samping itu, dimuat juga tafsir Alquran. Kitab ini juga berbicara

masalah ushul (pokok-pokok akidah Islam).

10) ‫( بحث فركارا بربيلغ استري اتو بركاوين لبه دري ساتو‬Bahas Perkara Berbilang Istri atau

Berkawin Lebih dari Satu)

Tulisan singkat yang membahas tentang poligami ini adalah tulisan tangan

(manuskrip) Basioeni Imran yang ditulis di Sambas 27 Desember 1937 dan

belum terpublikasikan. Manuskrip yang ditulis di sebuah buku tulis sebanyak

empat belas halaman tersimpan di Museum Tamadun Islam atau bekas rumah

Basioeni Imran. Di dalam buku tulis yang memuat risalah tentang poligami

ini juga memuat beberapa tulisan lain seperti catatan tentang perkembangan

sekolah atau madrasah al-Sulthaniyah, risalah pendek “membelanjakan uang

pada jalan Allah ialah jalan kemajuan” dan “sangat menyedihkan hati hal

agama di Ankara (Turki)” serta salinan surat Basieoni Imran kepada Raden

Zaini Asyikin (Bupati Singkawang).

Meskipun tulisan tentang poligami singkat, tetapi di dalamnya dapat

diketahui pemikiran Basioeni Imran yang dapat dikatakan melampaui

pemikiran kebanyakan orang pada zamannya. Kajian Basioeni Imran tentang

poligami didasarkan pada pandangannya yang menyatakan bahwa ajaran

Islam menyamakan kedudukan perempuan dengan laki-laki, kecuali dalam

hal tertentu.
287

Lebih dahulu saya katakan bahwa Islam sangat meninggikan derajat


perempuan dan menyamakannya dengan derajat laki-laki melainkan
(kecuali, pen.) tentang perkara yang sudah ditentukan bagi laki-laki
seperti hak kekuasaan atas menjaga dan memelihara akan perempuan
karena kejadian (penciptaan, pen.) laki-laki berlainan dengan kejadian
perempuan seperti yang telah maklum kepada sekalian orang.
...............................................................................................................
Ialah perempuan itu dihormatkan dan dimuliakan seperti memuliakan
dan menghormatkan laki-laki jua karena derajat keduanya bersamaan,
melainkan tentang hak masing-masing daripada dua jenis itu yang telah
dipisahkan. (Imran, 1937: 2-3).
Pandangan kesamaan derajat perempuan dan laki-laki ini menjadi dasar

pandangan Basioeni Imran dalam persoalan poligami. Kesamaan derajat

tersebut dipadukan dengan persyaratan keadilan dalam berpoligami.

Pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini akan dibahas di bab yang

selanjutnya.

11) ‫“( تفسير ايات الصيام‬Tafsir Ayat al-Shiyam”)

Tulisan singkat tentang tafsir ayat-ayat puasa ini merupakan tulisan tangan

(manuskrip) di dalam sebuah buku tulis. Ditulis menggunakan media buku

tulis dengan jumlah delapan halaman. Pada sampul luar tertulis judul “ ‫تفسير‬

‫ “ ايات الصيام‬dan dibawah judul tersebut diberi keterangan dengan huruf Arab

Melayu (Jawi) “Tafsir Ayat Tentang Hukum Puasa ditulis oleh Muhamad

Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas 10 - 11 - 1936 = 17 Ramadhan

1357”. Dalam tafsir terhadap ayat-ayat puasa, yaitu Q.S. Al-Baqarah (2): 183-

185, Basioeni Imran menjelaskan bagaimana tata cara orang-orang terdahulu

(Yahudi, Nasrani,Watsani, Romawi) berpuasa. Dijelaskan juga makna takwa

yaitu “semoga kamu takut (bertakwa) kepada Allah”, yang mendidik orang

yang berpuasa dekat kepada Allah dan jauh dari perbuatan durhaka kepada
288

Allah dan perbuatan buruk kepada sesama manusia (Imran, 1936).

12) ‫( ترجمة االمام الشافعيي رضي هللا عنه‬Tarjamah al-Imam al-Syafi’i Radhiya Allah

‘Anh)

Naskah ‫ ترجمة االمام الشافعيي رضي هللا عنه‬adalah tulisan tangan (manuskrip)

beraksara Arab Melayu (huruf Jawi). Ditulis di atas kertas agak tipis tanpa

water mark dengan kertas yang agak lapuk di pojok kanan bawah, namun

tidak mengenai tulisan, sehingga tulisan masih utuh dan bisa dibaca. Naskah

seluruhnya berjumlah dua belas halaman (nomor halaman ditulis pada sisi

tengah atas) dan ditulisi hanya pada satu sisi. Naskah ditemukan tersimpan di

museum Tamadun Islam Negeri Sambas atau bekas rumah Basioeni Imran.

Dilihat dari judulnya “ ‫ ” ترجمة االمام الشافعيي رضي هللا عنه‬dan keterangan yang

ada di dalam naskah, sebenarnya tulisan ini adalah upaya Basioeni Imran

untuk menulis terjemahan kitab ‫( االم‬al-Um) karya Imam Syafi’i. Namun

dalam naskah ini, hanya ada bagian pengenalan (halaman 1), pengantar

(halaman 2-3), “muqaddimah-pendahuluan yang dicita-cita” (halaman 4-10)

dan “al-Thaharah: Bersuci (halaman 11-12). Berdasarkan penjelasan dalam

naskah diduga Basioeni Imran berusaha menerjemahkan kitab al-Um tetapi

tidak terselesaikan dan hanya bisa menyelesaikan bagian pengantar saja dan

subbab tentang bersuci dari kitab al-Um. Meskipun demikian, naskah ini

memiliki makna tersendiri karena di dalamnya menjelaskan pemikiran

Basioeni Imran terkait dengan hukum Islam, khususnya dalam masalah taklid

dan ijtihad.

Di dalam naskah ini Basioeni memberikan bantahan terhadap ulama-ulama


289

mutaakhirin yang mengharuskan taklid kepada kitab-kitab ulama. Dengan

berpegang pada Q.S. al-Nisa (4): 59 dan hadis terkait penugasan Muaz bin

Jabal ke Yaman Basieoni Imran memberikan argumen agar umat Islam

mempergunakan ra’yu (pemikiran) melalui jalan ijtihad atas masalah-masalah

yang tidak ditemukan jawabannya di dalam Alquran dan Sunnah. Umat Islam

tidak harus mengacu kepada kitab-kitab al-Rafi’i atau al-Nawawi atau kitab-

kitab lain di lingkungan mazhab Syafi’iyah. Tidak berarti bahwa jika tidak

mengacu pada kitab-kitab Syafi’iyah maka keluar dari mazhab Syafi’i.

Pemikiran Basioeni Imran seputar taklid dan ijtihad ini akan dibahas lebih

lanjut di bab berikutnya.

13) Risalah Shalat Bacaan dan Artinya

Naskah risalah ini tidak memiliki judul dan dilihat dari isinya maka disebut

sebagai naskah tentang Shalat dan Bacaannya. Naskah manuskrip beraksara

Arab Melayu dan berbahasa Melayu ini ditulis pada buku tulis bergaris

dengan 24 halaman buku, namun yang ditulisi hanya 12 halaman. Separuh

dari lembaran buku tulis dibiarkan kosong tanpa ditulisi apa-apa. Lembaran

yang berisi tulisan tidak diberi nomor halaman dan tidak ditemukan catatan

waktu ditulisnya naskah ini. Pada bagian akhir “kata pengantar” terdapat

tulisan: “Ditulis oleh al-Haj Moehamad Basioeni Imran Maharaja Imam

Mufti dan Hakim Agama di Kerajaan Sambas”.

Pada halaman awal, terdapat “kata pengantar” yang menjelaskan isi naskah

dan tujuan penulisannya. Basioeni Imran menulis sebagai berikut:

Maka inilah sebuah risalah yang kecil besar artinya dan faedahnya,
yaitu mengandung akan makna dan arti /tafsir al-Fatihah dan surah-
290

surah daripada Alquran dan zikir-zikir, tasbih dan doa yang dibaca di
dalam sembahyang dan di luar sembahyang dengan Bahasa Melayu
(Indonesia) yang rendah dan mudah supaya orang yang membacanya
mengerti akan maksudnya (Imran, tt: 1).

Risalah yang singkat ini berisi tata cara istinja, wudhu, azan, iqamat,

sembahyang, dan zikir-doa setelah sembahyang. Semua bacaan dan doa-doa

yang berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Dalam

risalahnya ini, Basioeni Imran tidak memasukkan melafalkan niat

sembahyang dalam tata urutan sembahyang. Basioeni Imran menulis bahwa

membaca doa qunut adalah hukumnya sunnat baik pada setiap sembahyang

subuh, seluruh sembahyang wajib ketika turun bala’ (musibah atau

malapetaka) dan akhir sembahyang witir setengah akhir bulan Ramadhan.

14) Naskah tentang Tafsir Tujuh Surah Pendek.

Naskah tafsir tujuh surah pendek ini merupakan manuskrip tanpa judul dan

tanpa keterangan waktu penulisannya. Ditulis di atas kertas bergaris ukuran

22,5 cm. x 17 cm. (kertas folio bergaris yang dipotong menjadi dua bagian)

terdiri dari 24 halaman, namun halaman 19-22 hilang. Dalam risalah singkat

ini Basioeni Imran menulis tafsir terhadap surah-surah: al-Fatihah, al-‘Ashr,

al-Kautsar, al-Kafirun, al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas. Khusus surah Al-

Fatihah, tafsirnya cukup panjang dibanding dengan enam surah lainnya.

Risalah ini ditulis oleh Basioeni Imran karena sebagian besar umat Islam

senantiasa membaca ketujuh surah tersebut dalam sembahyang, baik yang

wajib maupun sunnah, serta di luar sembahyang. Karena sering dibaca, maka

selayaknya umat Islam memahami isinya, tidak hanya sekedar dibaca (Imran,

tt: 2).
291

Gambar 3.4 : Beberapa Sampul Kitab Karya Basioeni Imran


(sebagian hanya ditemukan foto copy kitab saja)
292

Sumber: Koleksi Peneliti, 2017

Dalam salinan surat kepada Pijper yang ditulis di Sambas pada 21 Oktober

1950 (Imran, 1939; Pijper, 1985: 146) Basioeni Imran menjelaskan bahwa ia telah

menulis sebelas buah kitab, yaitu:

(1) Cahaya Suluh pada Menyatakan Sah Jumat Kurang daripada Empat Puluh

dengan bahasa Melayu;

(2) Al-Nushush wa al-Barahin fi Iqamah al-Jumat Bima Duna al-Arbain

dengan bahasa Arab;

(3) Bidayah al-Tauhid dengan bahasa Melayu;

(4) Sabil al-Najah fi Hukm Tarik al-Shalah dengan bahasa Melayu;

(5) Tarjamah Khulashah al-Sirah al-Muhammadiyah karangan Sayyid

Muhammad Rasyid Ridha dengan bahasa Melayu;

(6) Durus al-Tauhid dengan bahasa Melayu;


293

(7) Irsyad al-Ghilman fi Adab Tilawah Alquran dengan bahasa Melayu;

(8) Nur al-Siraj fi Qishshah al-Isra’ wa al-Mi’raj dengan bahasa Melayu;

(9) Dhau’ al-Mishbah fi Faskh al-Nikah dengan bahasa Arab;

(10) Kitab al-Janaiz dengan bahasa Melayu;

(11) Molek Jawaban pada Menyatakan Awal Bulan dengan Kiraan.

Berdasarkan keterangan Basioeni Imran di dalam suratnya kepada G. F.

Pijper di atas, maka ada kitab yang tidak ditemukan lagi hingga saat ini, yaitu:

Pertama, Al-Nusus wa al-Barahin ‘ala Iqamat al-Jum’ah bima al-Arba’in

(Beberapa nash dan Argumentasi dalam Melaksanakan Sembahyang Jumat yang

Kurang dari Empat Puluh Orang). Karya ini merupakan edisi bahasa Arab dari

risalah Cahaya Suluh. Pijper (1985: 146) menyatakan kitab ini dicetak oleh

percetakan al-Manar Kairo tahun 1344 H / 1925 M.

Kedua, Daw’ al-Misbah fi Faskh al-Nikah (Cahaya Lampu dalam

Membatalkan Nikah). Kitab ini dicetak di Penang pada 1938 M. Kandungan kitab

ini membahas suatu persoalan yang timbul dalam kehidupan beragama yaitu faskh

nikah. Menurut Pijper (1985: 147), Basioeni Imran memberikan keterangan

padanya bahwa kebiasaan “ta’liq”, yaitu talaq yang dikenakan persyaratan dan

diucapkan pada waktu upacara pernikahan dilangsungkan tidak dikenal di daerah

Sambas. Pembatalan pernikahan biasanya dilaksanakan dengan jalan fasakh

(menyatakan tidak berlaku lagi). Tentu saja harus ada alasan yang kuat untuk

mengajukan faskh dan ini harus diajukan kepada Maharaja Imam, Basioeni

Imranlah yang menangani semua urusan yang berhubungan dengan faskh di

seluruh Kerajaan Sambas.


294

Dalam pengantar kitab Cahaya Suluh, Basioeni Imran (1920: 2-3) juga

menyebutkan dua buah kitab yang pernah ditulis. Pertama, ‫منهل الراغبين في اقامة‬

‫( الجمعة بدون االربعين‬Manhal al-Gharibin fi Iqamat al-Jumu’ah bi dun al-‘Arba’in /

Pendapat Orang yang Asing tentang Melaksanakan Sembahyang Jumat Kurang

dari Empat Puluh Orang). Risalah ini ditulis pada 14 Ramadan 1332 H / 1914 M.

Kitab ini tidak diterbitkan karena menurut Basioeni Imran risalah ini ada

lanjutannya serta banyak pembahasannya yang tidak dipahami oleh orang-orang

awam dan hanya orang-orang yang terpelajar dan berpengetahuan yang dapat

memahaminya. Kedua, ‫( التذ كرة البد يعه في احكام الجمعة‬Al-Tazkirat al-Badi’ah fi

Ahkam al-Jum’ah/Peringatan terhadap Bid’ah-bid’ah dalam Hukum Sembahyang

Jumat). Kitab yang ditulis dengan bahasa Arab ini selesai ditulis pada Muharram

1339 H. Risalah ini ada lanjutannya dan diharapakan dapat memuaskan dahaga

orang-orang yang suka membahasnya.

Selain yang telah disebutkan di atas, penelitian Salim, dkk, (2011: 115-

116) menyebutkan dua kitab karya Basioeni Imran lainnya, yaitu Tarjamah Durus

al-Tarikh Syariat dan Durus al-Tawhid. Penelusuran sumber yang telah peneliti

lakukan belum mampu menemukan dua kitab tersebut. Berikut penjelasan tentang

dua kitab dimaksud sebagaimana dikutip dari hasil penelitian Salim, dkk.

Pertama, Tarjamah Durus al-Tarikh Syariat (Terjemah Pelajaran Sejarah

Hukum Islam). Kitab ini masih merupakan manuskrip terjemahan ringkas kitab

Durus al-Tarikh karangan Syaikh Muhyiddin al-Khayyath, seorang ulama Beirut-

Lebanon. Karya setebal 56 halaman ini tidak dicetak dan mungkin satu-satunya

buku utuh dan ditulisnya ketika masih berada di Mesir. Dalam pendahuluan kitab
295

Tarjamah Durus al-Tarikh al-Syari’ah misalnya, Basioeni Imran menyebut latar

belakang penulisan kitab ini. Ia menjelaskan:

Kemudian daripada itu maka adalah daripada [sebesar-besar] sebaik-baik


amal yaitu amal yang kembali manfaatnya dan faedahnya kepada kaumnya
dan anak-anak, agamanya dan bahasanya. Oleh karena itu kepinginlah saya
akan amal yang seperti itu maka jika tiada dapat sekaliannya jangan
ditinggalkan sekaliannya padahal bukanlah saya daripada ahli yang
demikian dan bukanlah ini masa bagi yang demikian itu karena adalah
saya sekarang sedang menuntut ilmu akan tetapi oleh ka[re]na yang
tersebut itu tiadalah menegahkan oleh besar pekerjaan itu.
Apakala adalah ilmu tarikh itu daripada segala ilmu-ilmu yang besar
faedahnya bagi tiap manusia tetapi ialah ilmu yang wajib atasnya ia
ketahui akan dia istimewanya tarikh Nabi kita sallallahu alaihi wasallam
dan tiada saya dapat sebuah kitab dengan bahasa Melayu pada tarikh Nabi
kita (saw) yang patut bagi anak-anak bangsa kita Melayu memilihlah saya
akan menterjemahkan kitab Durus al-Tarikh bagi yang alim Syekh
Muhyiddin al-Khayyath, daripada ahli Beirut ke bahasa Melayu. Adapun
ini kitab empat bahagian yang pertama pada tarikh Nabi (saw). Yang kedua
pada tarikh al-Khulafaurrasyidin. Yang ketiga pada tarikh daulah
Amawiyah, dan yang keempat pada tarikh daulah Abbasiyah.
Dan kata pengarangnya itu dua bahagian lagi akan ia keluarkan. Maka
sesungguhnya pengarangnya itu telah izinkan kepada saya
menterjemahkan sekalian bahagian-bahagian kitab itu. Insya Allah akan
saya terjemahkan akan bahagian pertama itu melainkan di dalam waktu
yang picik dan menyambar daripada waktu bersenang. (Salim, dkk, 2011:
115-116).

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa motivasi yang mendorong

Basioeni Imran menerjemahkan kitab Durs al-Tarikh adalah: Pertama, adanya

keinginan untuk beramal jariyah. Kedua, menurutnya ilmu sejarah merupakan

ilmu yang wajib dipelajari, terutama sejarah Rasulullah SAW. Ketiga, kesadaran

akan kurangnya kitab-kitab sejarah Rasulullah SAW yang ditulis dalam bahasa

Melayu. Menurut Mahrus (2007: 76), manuskrip kitab ini disimpan di istana

Kerajaan Sambas. Namun peneliti tidak menemukan manuskrip tersebut saat

melakukan penelusuran sumber di istana Kerajaan Sambas. Selain kitab tersebut,


296

ada juga kitab Khutbah Jumat, Hari Raya Aidilfitri, Hari Raya Aidil Adha, dan

Gerhana. Membicarakan khutbah Jumat dan kedua-dua hari raya semuanya

ditulis dalam bahasa arab dan khutbah gerhana ditulis dalam bahasa Melayu

dicetak oleh Mathba'ah al-Ahmadiah, Singapura tanpa menyebutkan tahun

(Abdullah, 2006).

Kedua, Durus al-Tawhid (Pelajaran-Pelajaran tentang Tawhid). Kitab ini

selesai ditulis Basioeni Imran pada 20 Rajab tahun 1354 (18 Oktober 1935).

Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan al-Ahmadiyah Singapura.

Menurut keterangan Basioeni Imran, karya ini merupakan terjemahan dari kuliah-

kuliah Muhammad Rasyid Ridha. Dalam pengantar kitab Durus al-Tawhid ini

Basioeni Imran menjelaskan bahwa karya ini merupakan terjemahan dari kuliah-

kuliah Muhammad Rasyid Ridha.

(‘Amma ba’du) adapun kemudian daripada itu, maka adalah kira-kira


dalam tahun 1329 atau 1330 (tahun Hijjrah) saya belajar di Madrasah Dar
al-Dakwah wa al-Irsyad di Mesir yang telah didirikan oleh Sayyid M.
Rasyid Rida Sahib al-Mannar. Dan adalah beliau itu mengajarkan Alquran
dan pelajaran Tauhid (ushuluddin) daripada barang yang dituliskan sendiri,
maka setengah daripada murid-murid madrasah (sekolah itu) ada menyalin
pelajaran atau pengajian tauhid itu dan saya dapat satu naskah
daripadanya. Maka saya pandang bahwa pelajaran tauhid yang diajarkan
oleh tuan guru itu kepada kami sangat perlunya disiarkan di antara orang
muslimin sekalipun ia pendek karena ialah akidah atau i’tiqad yang
bersetuju dengan kitabullah (Alquran) dan Sunnah Rasul-Nya Muhammad
SAW lagipun terlalu mudah memahamkannya.
Dan diadakan Madrasah Dar al-Dakwah wa al-Irsyad maksudnya ialah
akan mengeluarkan murid-murid yang cakap menunjukkan orang-orang
muslimin kepada agama Islam yang betul lagi bersih daripada khurafat dan
bid’ah-bid’ah maka sekalian pelajarannya demikian. Dari dan karena itu
saya terjemahkan akan dia dengan bahasa Melayu supaya dicapai
faedahnya oleh anak-anak negeri saya (Sambas Borneo Barat) dan
saudara-saudara Islam di mana-mana negeri yang mengerti Bahasa
Melayu. Bertambah-tambah kuat kehendak saya akan menterjemahkannya
ialah bahwa saya dapat kabar bahwa tuan guru kami itu Sayyid Muhammd
297

Rasyid Ridha telah wafat (kembali ke rahmat Allah Ta’ala) di Mesir hari
Kamis, 23 Jumadil Awwal tahun 1354 ia dapat sakit keras terus meninggal
di dalam otomobil. Ketika ia kembali dari Negeri Swiss mengantarkan
Amir Sa’ud bin Imam Abdul Aziz raja Hijaz dan Nejd hendak berlayar
pulang ke Makkah musyarrafah ialah tiada putus pahala amalnya itu
Dan pelajaran ini teratur atas soal dan jawab, maka saya tulis S artinya soal
– pertanyaan – dan saya tulis J artinya jawab. Dan saya namai akan ini
risalah “Durus al-Tawhid al-Sayyid Muhammad Rasyid” dan ada jua saya
tambah-tambah di hasyiyah itu supaya terang. Maka saya harap akan Allah
Ta’ala beri manfaat dengan dia akan orang-orang yang membacanya dan
mempelajarinya dengan ikhlas dan bersih hati “sesungguhnya Dia maha
mendengar doa”.

Dari penjelasannya tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi yang

mendorong Basioeni Imran menerjemahkan kitab ini adalah pertama, menurutnya

ilmu tauhid merupakan ilmu yang wajib dipelajari, karena merupakan akidah yang

bersumber dari Alquran dan hadis. Kedua, kesadaran akan kurangnya kitab-kitab

tauhid yang ditulis dalam bahasa Melayu. Ketiga, adanya keinginan untuk

beramal jariyah di bidang ilmu, agar ilmu dari gurunya tidak terputus.

3.4 Aktivitas Keagamaan, Sosial dan Politik

3.4.1 Maharaja Imam

Istilah jabatan Maharaja Imam disebutkan setidaknya dalam tiga

manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional, yaitu:

(1) Koleksi Cohen Stuart, Nomor Peti 84, nomor urut B.II.41 (Kode: 84 CS 2/40;

Rol 752.39). Nama penulis dan tahun tidak ditemukan. Dalam manuskrip ini

Maharaja Imam disebut dalam bahasa Belanda dengan de opperpriester

(Paus). Di bawah nama jabatan Maharaja Imam dituliskan juga jabatan Imam

Tua dan Imam Muda.

(2) Koleksi Cohen Stuart, Nomor Peti 84, nomor urut B.II.42 (Kode: 84 CS 2/42;
298

Rol 753.01). Naskah ditulis oleh Asisten Residen (nama tidak terbaca) pada

30 Januari 1861. Pada manuskrip ini disebutkan di bawah nama jabatan

Maharaja Imam jabatan Imam Setia Maharaja, Imam Muda, Chatib, Mudin,

dan Lebai.

(3) Koleksi Cohen Stuart, Nomor Peti 84, nomor urut B.II.43 (Kode: 84 CS 2/43)

Nama penulis dan tahun penulisan tidak ditemukan. Di bawah nama jabatan

Maharaja Imam dituliskan juga jabatan Imam Tua dan Imam Muda.

Berdasarkan sumber manuskrip tersebut, khususnya manuskrip 84 CS 2/42

diduga kuat bahwa jabatan Maharaja Imam setidaknya telah ada pada tahun 1861.

Pada manuskrip 84 CS 2/41. Pada ketiga manuskrip selain jabatan maharaja imam

terdapat juga sebutan Imam Tua dan Imam Muda. Sebagaimana telah disebutkan

di atas, jabatan Maharaja Imam telah dijabat secara turun temurun dari kakek

Basioeni Imran bernama Haji Muhammad Arif kemudian digantikan oleh anaknya

bernama Haji Muhammad Imran. Setelah Haji Muhammad Imran wafat maka

jabatan Maharaja Imam diduduki oleh Basioeni Imran hingga wafat dan tidak ada

lagi penggantinya. Sebelum Haji Muhammad Arif, jabatan keagamaan Islam di

kerjaan Sambas adalah Imam. Jabatan Imam di Kerajaan Sambas pertama kali

dijabat oleh Mustafa dan dilanjutkan oleh anaknya Haji Nuruddin (bapak dari H.

Muhammad Arif).

Pada masa sultan ke-8 Muhammad Ali Syafiuddin I diangkat secara resmi

Haji Nurudin Mustafa sebagai imam kerajaan. Tugasnya kala itu adalah mendidik

atau membimbing kerabat kerajaan di bidang keagamaan serta mengurus soal-soal

keagamaan masyarakat di kerajaan. Posisi imam secara konkret adalah sebagai


299

salah satu anggota dewan kerajaan yang membantu sultan dalam menjalankan

pemerintahan di tingkat pusat. Selanjutnya pada masa Haji Muhammad Arif

jabatan tertinggi urusan keagamaan berubah menjadi Maharaja Imam dengan

ruang lingkup tugas di lembaga pengadilan dan sebagai penasihat sultan. Tugas

selanjutnya adalah mengelola masjid dan membina kehidupan keagamaan

masyarakat.

Pada masa ini belum ada struktur hirarkis pejabat keagamaan di bawah

Maharaja Imam secara baku dengan pembagian tugasnya masing-masing.

Selanjutnya pada masa Haji Muhammad Imran sebagai Maharaja Imam, tugasnya

antara lain di lembaga pengadilan, pengawas sekolah yang didirikan sultan,

penasihat sultan dan memberikan legitimasi keagamaan pada masyarakat. Bahkan

kadang-kadang juga merangkap tugas-tugas di daerah yang belum ada pejabatnya

(Risa, 2016, hal. 89-92). Baru pada masa Basioeni Imran menjabat Maharaja

Imam terdapat uraian tugas yang jelas serta disusunnya struktur hirarkis pejabat

keagamaan di bawah kendali Maharaja Imam.

Berdasarkan dokumen Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji

Mohamad Basioeni Imran (1950), pada 1905 Basioeni Imran diangkat oleh Sri

Paduka Sultan Muhammad Tsafiuddin [II] sebagai imam pembantu di Masjid

Jami’ Sambas (masjid Kerajaan) dan memberikan pengajaran agama Islam di

istana sultan Sambas. Baru setelah Maharaja Imam Haji Muhammad Imran wafat,

Basioeni Imran diangkat oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin menggantikan

bapaknya pada 9 November 1913 sebagai Maharaja Imam, kadi dan mufti di
300

Kerajaan Sambas. Dengan demikian pada diri Basioeni Imran melekat tiga jabatan

atau peran sekaligus yaitu sebagai: (1) Maharaja Imam; (2) kadi; dan (3) mufti.

Peran pertama, sebagai Maharaja Imam. Uraian tugas dan kewenangan

atau kekuasaan Maharaja Imam dapat dilihat dari surat Sultan Muhammad

Safiuddin II kepada Basioeni Imran bertanggal 25 Syawal tahun 1333 H. / 6

September 1915 M. Isi surat tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut:

Kita Sri Paduka Sultan Muhammad Shafiuddin yang bersemayam di atas


tahta Kerajaan di dalam derah negeri Sambas.
Mangeruniakan ini surat kepada Maharaja Imam (Adviseur) Agama di
Sambas. Akta Jadi Tanda keterangannya bahwa kita telah kuasakan
padanya memeriksa siapa2 yang akan diangkat jadi imam, khatib,
penghulu, lebai fardhu kifayah, dan guru mengaji Quran dan lainnya
daripada perkara agama—maka yang Maharaja Imam periksa sama ada
dari anak buah Kerajaan Sambas atau lainnya—
Apabila telah telah diterima dan disahkan oleh Maharaja Imam bahwa
yang ia periksa itu patut diangkat jadi Imam, atau khatib atau penghulu
atau lebai atau guru mengaji Quran dan lainnya maka baharulah kita
angkat akan dia itu.
Demikian juga apabila hendak melepas yang diangkat dari jabatannya
hendaklah diberitahu Maharaja Imam akan segala sebab2 yang patut
dengan dia bahwa ia dilepas. Maka segala hal itu mesti terangkan adalah
Maharaja Saif (kepala) oleh sekalian orang2 yang menjabat perkara agama
maka dari karenanya itu wajib atas mereka itu taat dan menurut akan
kepalanya. Demikianlah titah perintah kita adanya.
301

Gambar 3.5: Surat Uraian Tugas Basioeni Imran sebagai Maharaja Imam

Sumber: Dokumen milik pribadi Badran bin Basioeni Imran, Sambas.

Berdasarkan isi surat di atas, Sultan memberikan kuasa atau kewenangan

kepada Basieoni Imran dalam kapasitasnya sebagai Maharaja Imam atau adviseur

(penasihat) agama di Sambas untuk: Pertama, memeriksa persyaratan dan

kualifikasi orang-orang yang akan diangkat menjadi imam, khatib, penghulu, lebai

fardhu kifayah, dan guru mengaji Alquran dan lainnya. Tugas dan kewenangan ini

dibebankan kepada Maharaja Imam sebagai anak buah atau pegawai Kerajaan

Sambas. Tugas Maharaja Imam ibarat tim seleksi yang melakukan fit and proper
302

test terhadap calon-calon pejabat keagamaan di Kerajaan Sambas. Setelah calon-

calon pejabat keagamaan tersebut lolos dari pemeriksaan Maharaja Imam, baru

selanjutnya mereka diangkat dan disahkan oleh Sultan. Dengan demikian, para

pejabat keagamaan mulai dari Maharaja Imam, imam, khatib, penghulu, lebai,

guru mengaji dan lainnya merupakan bagian dari birokrasi kerajaan yang

menangani urusan umat dan agama Islam.

Kedua, Maharaja Imam juga diberi kuasa atau kewenangan untuk

mengetahui dan memeriksa para pejabat agama yang berkehendak melepas

jabatannya. Tidak boleh para pejabat yang sudah diangkat oleh Sultan melepaskan

jabatannya tanpa memberitahukannya kepada Maharaja Imam. Jika menurut

Maharaja Imam yang bersangkutan patut untuk melepas jabatannya, barulah pihak

kerajaan merestui pengunduran diri tersebut. Salah satu contoh pelaksanaan

tugasnya sebagai Maharaja Imam, Basioeni Imran menulis di dalam buku

hariannya catatan sebagai berikut:

22 Muharram 1337 buat 3 lembar surat besluit buat melepas lebai Haji
Ismail dan lebai Haji Imran Sekuduk distrik Kota, dan lebai Haji Takif
kampung Sebetuan distrik Kota. Satu surat ke bawah duli Sultan memohon
dicap surat-surat itu dan menyatakan sebab mereka itu patut dilepas
daripada jawatannya (Imran, Catatan Harian, 1918-b: 1).

Selain tugas pokok di atas, Maharaja Imam dalam kesehariannya juga bertugas

sebagai imam tetap di Masjid Jami’ (masjid istana). Jauh sebelum diangkat

sebagai Maharaja Imam, Basioeni Imran juga diberi tugas memberikan pengajaran

agama Islam kepada kerabat sultan di lingkungan istana.

Di dalam surat uraian tugas di atas perlu juga diperhatikan bahwa setelah

istilah Maharaja Imam diikuti kata atau istilah “[adviseur] agama”. Meskipun
303

dalam uraian tugas tidak dijelaskan tugas sebagai penasihat agama, tetapi secara

implisit di dalam jabatan Maharaja Imam terdapat tugas memberikan nasihat-

nasihat keagamaan kepada pihak kerajaan. Dalam berbagai sidang pengambilan

kebijakan di istana, Maharaja Imam senantiasa diikutsertakan karena nasihat-

nasihat keagamaannya dibutuhkan dalam pengambilan kebijakan kerajaan.

Terlebih Kerajaan Sambas yang bercorak Islam, maka eksistensi Maharaja Imam

sangat penting dalam pengambilan kebijakan menyangkut rakyat banyak. Atas

dasar hal ini, maka terkadang Basioeni Imran menulis identitasnya sebagai

adviseur atau adviseur agama Kerajaan Sambas di samping sebagai Maharaja

Imam. Dengan demikian, jabatan sebagai Maharaja Imam melekat padanya fungsi

sebagai adviseur atau penasihat agama bagi Kerajaan Sambas.

Peran kedua, sebagai kadi. Di samping sebagai Maharaja Imam, Basioeni

Imran juga diangkat sebagai kadi. Jabatan kadi terkait erat dengan pengambilan

keputusan menyangkut masalah-masalah hukum Islam. Sebagai seorang kadi,

Basioeni Imran yang memiliki tugas mengadili masalah-masalah agama menurut

hukum Islam. Sebagian besar persoalan yang ditangani oleh Basioeni Imran dalam

kapasitasnya sebagai kadi adalah mengadili dan memutuskan masalah perceraian

dan pembagian harta warisan. Dalam beberapa catatan manuskrip yang ditulis

oleh Basioeni Imran sendiri, ditemukan sejumlah informasi ia menangani masalah

perceraian dan sengketa masalah warisan. Dalam menjalankan tugasnya, Basioeni

Imran sering memanggil para pihak yang berperkara maupun saksi-saksi, baik

melalui pesan kepada seseorang maupun dengan menulis surat panggilan. Dalam
304

buku agenda kegiatan tahun 1926, Basioeni Imran dalam kedudukannya sebagai

kadi menulis tentang kegiatannya memutuskan perkara warisan:

Pagi hari ini saya pergi Kartiasa berhenti di rumah Haji Ismail karena
hendak mengurus perkara tarkah (harta peninggalan) Haji Abdul Razak
(Rajab) sebelum di antara waris-warisnya ialah dua anaknya laki-laki Haji
Mahmud dan Haji Ahmad dan dua perempuan umak dan Khadijah (waris-
warisnya). Dua laki-laki itu mau ambil semua kebun dan ada perempuan
hendak diberi maka dua-dua perempuan tiada mau dari sebab itu belum
habis (Kamis, 27 Mei).
........................................................................................................................
Urus perkara Mahmus Durian sama menantu perempuannya bernama
Jariah dalam perkara tanah di Sarilaba. Maka sudah putus dengan damai.
Dibagi dua, 1 (satu) buat Mahmus laki bini dan 1 (satu) buat Jariyah dan
anaknya perempuan. Tetapi anaknya dapat 2 bagian dan umaknya Jariyah
satu bagian (Sabtu, 24 Juni 1926) (Imran, 1926).

Catatan di atas menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugasnya sebagai kadi,

Basioeni Imran terkadang harus melakukan “jemput bola”, mendatangi kampung

masyarakat yang menghadapi masalah hukum. Selain menyelesaikan masalah

warisan, kunjungan ke kampung-kampung juga sering dilakukan Basioeni Imran

dalam kapasitasnya sebagai penghulu, yaitu mengakad-nikahkan pasangan yang

hendak menikah. Informasi ini diperoleh dari beberapa catatan yang ditulis sendiri

oleh Basioeni Imran.

Peran ketiga, sebagai mufti. Dalam kapasitasnya sebagai mufti, Basioeni

Imran bertugas atau berperan memberikan fatwa atau menjelaskan berbagai

persoalan keagamaan yang muncul dan dihadapi oleh masyarakat dalam

kehidupan sehari-hari. Dalam catatan hariannya, Basioeni Imran menulis: “23 al-

Muharram 37 [1337 H / 1918 M] buat surat fatwa pada Jumat yang kurang

daripada 40 laki-laki dan tiada wajib i`adah zuhur kemudiannya” dan “ 23

Sya’ban 1337 tulis fatwa pada i`adah zuhur kemudian daripada Jumat yang
305

kurang daripada empat puluh maka adakah akan dia wajib atau sunnah atau

bagaimana” (Imran, 1918-b: 2; 56).

Dalam berbagai karya tulisnya, selain menyebutkan dirinya sebagai

Maharaja Imam, Basioeni Imran juga menggunakan sebutan lain seperti hakim

agama (Imran, 1943: 2), adviseur, kadi (Imran, 1918-a), adviseur agama (Imran,

1934; Imran, 1932-b), adviseur agama Islam (Imran, 1931), mufti dan hakim

agama (Imran, 1933-a: 6). Meskipun berbeda-beda sebutan, namun pada dasarnya

meliputi tiga jabatan sebagaimana disebutkan di atas, yaitu Maharaja Imam, kadi,

dan mufti. Sebutan sebagai adviseur adalah tugasnya sebagai Maharaja Imam

yang memberikan nasihat kepada kerajaan serta tugasnya sebagai penasihat dari

Zelfbestuurscommissie (sejak 20 Februari 1946) dalam urusan agama di wilayah

Sambas.

Maharaja Imam adalah sebuah jabatan tertinggi urusan agama Islam

(semacam “menteri agama”) di Kerajaan Sambas, yang secara hirarkis memiliki

struktur hingga ke kampung-kampung. Dalam salah satu manuskrip koleksi

Cohen Stuart di atas, disebutkan struktur hirarkis pejabat keagamaan yang terdiri

dari Maharaja Imam, Imam Setia Maharaja, Imam Muda, Chatib, Mudin, dan

Lebai. Sedangkan dua manuskrip lainnya hanya menyebut Imam Tua dan Imam

Muda di bawah Maharaja Imam. Hasil penelitian Salim, dkk (2011: 73-74)

menyebutkan bahwa di kota Sambas sebagai pusat Kerajaan Sambas, terdapat

beberapa pegawai agama Islam yang masing-masing bergelar: (1) Maharaja

Imam, yaitu kadi dan mufti di Kerajaan Sambas dan kepala bagi seluruh pegawai

agama; (2) Imam muda atau imam maharaja; (3) Maharaja khatib; (4) Khatib
306

Maharaja; (5) Sidana Khatib. Sementara itu di luar kota Sambas seperti

Singkawang, Pemangkat dan lainnya terdapat pegawai agama yang bergelar

penghulu. Kemudian di setiap kampung juga dilengkapi dengan lebai dan tiap-tiap

masjid terdapat bilal dan modim.

Pada masa Basioeni Imran lembaga keagamaan semakin mapan. Berikut

nama para pejabat keagamaan yang dihimpun dari beberapa sumber (Imran, 1939;

Imran, 1926; Salim, et al., 2011: 79).

 Maharaja Imam : Haji Moehamad Basioeni Imran

 Imam Maharaja : Haji Abdurrahman

 Imam : Haji Muhammad Jabir

 Khatib : Haji Muhammad Zabir

 Khatib : Haji Muhammad Murtadho

 Khatib : Muhammad Mursal

 Khatib : Muhammad Shiddiq

 Penghulu Landraad Singkawang : Haji Muhammad Shaghir

 Penghulu Agama Singkawang : H. Ahmad Su’ud

 Penghulu Pemangkat : Haji Muhammad Barir.

 Penghulu Sentebang : Haji Muhammad Arif.

 Penghulu Sungai Raya : Haji Muhammad Saning

 Penghulu Selakau : Haji. Abdul Muin.

 Penghulu Bengkayang : Haji Ahmad Mi’raj.

 Penghulu Tebas : Haji Ma’az

 Penghulu Teluk Keramat : Haji Muhammad Zahri


307

 Penghulu Paloh : Haji Zainuddin

Gambar 3.6: Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafioeddin bersama Para


Ulama Kerajaan Sambas (Basioeni Imran Depan Berbaju H itam) Setelah
Acara Pelantikan Khatib Aziz di Istana Alwatzikhoebillah

Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Sambas, 2010

Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Sambas, Sambas, 2010

Tugas imam adalah menjadi imam sembahyang, baik sembahyang lima

waktu, sembahyang Jumat maupun sembahyang sunnah seperti Idul Fitri dan Idul

Adha. Tugas khatib adalah memberikan khutbah pada setiap sembahyang Jumat

dan Idul Fitri dan Idul Adha. Tugas penghulu yang utama adalah mengurus

perkawinan, perceraian, talak dan rujuk. Selain itu penghulu bertugas menerima

laporan pengelolaan zakat dari para lebai untuk selanjutnya diserahkan ke

Maharaja Imam. Tugas lebai antara lain memungut zakat padi di kampungnya

masing-masing. Lebai menjadi tokoh agama yang menjadi panutan dan tempat
308

bertanya dan berkonsultasi masalah agama di setiap kampung. Bagi Basioeni

Imran, lebai-lebai menjadi ujung tombak membina umat Islam dan menjadi orang

kepercayaannya di setiap kampung. Karena itu, para lebai selalu dikirimi kitab-

kitab tulisan Basioeni Imran. Di bawah ini terdapat daftar nama lebai yang

menerima (membeli) kitab Nur al-Siraj berdasarkan catatan Basioeni Imran

sendiri.

Selanjutnya tugas bilal adalah mengumandangkan azan dan iqamat serta

membaca ma’asyiaral pada setiap khatib hendak naik mimbar membaca khutbah.

Sedangkan tugas modim adalah mengurus segala sesuatu bagi kebersihan dan

kelengkapan masjid seperti menyapu masjid dan menghamparkan tikar untuk

sembahyang. Dalam rancangan undang-undang baitul mal yang ditulis oleh

Basioeni Imran, disebutkan bahwa menurut adat di dalam Kerajaan Sambas dari

zaman dahulu dengan perintah raja atau sultan, untuk menyokong atau menolong

para pegawai agama seperti imam, khatib, penghulu, lebai, bilal dan modim ialah

dari padi zakat dan beras fitrah sekali setahun serta dari uang nikah, cerai dan

rujuk (Imran, 1944: 13).

Tabel 3.1: Nama Lebai di Sambas Tahun 1939

No Nama Lebai Kampung Distrik

1 Haji Muhammad Segarau Kota

2 Haji Bujang Sayang Kota

3 Haji Mahmud Karti Teluk Keramat

4 Haji Ahmad Tanjung Rasau Teluk Keramat


309

5 Haji Muhammad Pendawan Teluk Keramat

6 Lebai Sarimin Tanjung Awan Teluk Keramat

7 Haji Jalal Senjujuh Kota

8 Lebai Fauzi Keraian Kota

9 Haji Yahya Senujuh Malih Kota

10 Lebai Sahmut Semayong Teluk Keramat

11 Lebai Jainal Kayu Sebangun Teluk Keramat

12 Haji Muhammad Nur Pimpinan Teluk Keramat

13 Haji Umar Tebing Tinggi Pimpinan Teluk Keramat

14 Haji Abdul Majid Sungai Mangka Teluk Keramat

15 Lebai Narlif Pimpinan Parik Teluk Keramat

16 Haji Bakri Sebelum Teluk Keramat

17 Haji Imuh Sungai Baru Teluk Keramat

18 Haji Munin Tebangun Teluk Keramat

19 Haji Dulah Sebataan Tanjung Teluk Keramat


Bakau
20 Haji Zaini Sangi Duyung Teluk Keramat

21 Haji Basri Sangi Entabat Teluk Keramat

22 Haji Muhsin Tebih Roboh Kota

23 Lebai Rais Sentabah Kota

24 Haji Jamat Sebatu’ Kota

25 Haji Mahmud Sekumpung Teluk Keramat

26 Haji Daula Piantus Kota

27 Haji Muhyi Pancur Teluk Keramat

28 Haji Bujang Arung Madang Teluk Keramat

29 Haji Husin Penjulung Teluk Keramat

30 Haji Dulah Rantau Panjang Kota


310

31 Haji Hasan Pedada Teluk Keramat

32 Haji Akib Sarang Sebasung Teluk Keramat

33 Haji Usman Sepandan Teluk Keramat

34 Haji Muhammad Nur Teluk Keramat Teluk Keramat

35 Haji Yahya Pengaran Semata Teluk Keramat

36 Haji Manaf Pengaran Semata Teluk Keramat

37 Haji Ahmad Siung Teluk Keramat

38 Lebai Muhammad Kartiasa Kota

39 Haji Abdurrahman Mensemat Kota

40 Haji Suni Semparuk Pemangkat

41 Haji Mukhtar Semparuk Pemangkat

42 Haji Muhammad Sebataan Satu Kota

43 Haji Saat Sebawi Kota

44 Haji Mat Sin Perasak Kota

45 Haji Shaleh Sekuduk Kota

46 Hajin Bakrin Semangau Kota

47 Haji Suni Tempapan Hulu Kota

48 Lebai Marhaban Kota Bangun Kota

49 Haji Sait Kubung Teluk Keramat

50 Haji Budung Arung Parak Teluk Keramat

51 Haji Anding Arung Parak Teluk Keramat

52 Haji Dulah Sendoyan Bungur Teluk Keramat

53 Haji Sulaiman Merabuan

54 Lebai Abdurrahman Dagang

55 Lebai Tayyib Jambu

56 Kutun Jambu
311

57 Lebai Shaleh Bekut

58 Lebai Haji Sulaiman Bangang

Sumber: Imran M. B., Salinan Surat Menyurat, 1939

Selain sebagai Maharaja Imam, kadi dan mufti, dokumen Daftar Sedjarah

Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni Imran (1950) juga

menyebutkan pada tahun 1918, Basioeni Imran diangkat menjadi pengawas bagi

sekolah agama Islam di Sambas. Kemudian pada 30 Januari 1927 berdasarkan

besluit Bestuurcommissie Kerajaan Sambas Basioeni Imran diangkat menjadi

President Mahkamah Raad Agama di Kerajaan Sambas. Berdasarkan Besluit

Resident Borneo Barat Nomor 3 tanggal 5 Februari 1946 Basieoni Imran diangkat

sebagai Penghulu Landgerecht. Selanjutnya berdasarkan Besluit Resident Borneo

Barat Nomor 57 tanggal 20 Februari 1946 Basioeni Imran diangkat menjadi

adviseur dari Zelfbestuur Commissie. Terakhir, berdasarkan Besluit Ratu

Wilhelmina Nomor 99 tanggal 13 September 1946 Basioeni Imran diangkat

menjadi Ridder in de Orde van Oranje Nassau. Berbagai jabatan ini merupakan

bagian dari sistem administrasi pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian,

pada diri Basioeni Imran melekat jabatan yang dipercayakan oleh penguasa lokal-

tradisional yaitu dari Sultan Sambas dan dari penguasa asing-kolonial Belanda.

Berdasarkan berbagai jabatannya di atas, baik yang diberikan oleh

Kerajaan Sambas maupun pemerintah kolonial Belanda, Basioeni Imran memiliki

sumber legitimasi yang kuat dari sisi legal authority atas otoritas yang

dimilikinya. Kasus Basioeni Imran yang mendapatkan legal authority dari dua
312

pihak pemegang kekuasaan (Kerajaan Sambas dan Hindia Belanda) agak berbeda

jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di daerah lain, khususnya di Jawa.

Dalam konteks berbagai jabatan yang dipegangnya, Basioeni Imran dapat

dikategorikan sebagai ulama pejabat atau pejabat agama (biasa disebut penghulu

di Jawa) tidak saja sebagai ulama yang menjadi pejabat dari sistem administrasi

dan birokrasi Kerajaan Sambas tetapi juga ulama yang menjadi pejabat dalam

pemerintahan Hindia Belanda. Pada bab pendahuluan telah disebutkan bahwa

Pijper (1985:72-84) menyebutkan ada lima tugas ulama pejabat yang di jawab

disebut penghulu yaitu sebagai kadi, mufti, mengepalai masjid, mengurus dan

mencatat pernikahan, perceraian, dan rujuk serta sebagai pengawas pendidikan

agama. Seluruh fungsi tersebut dijalankan oleh Basioeni Imran dalam

kapasitasnya sebagai Maharaja Imam.

Dengan posisi yang demikian, maka pembedaan bahkan perseteruan antara

ulama bebas yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan dengan ulama

pejabat atau pejabat agama yang bergerak di jalur hukum dan pengadilan tidak

terjadi. Pada diri Basieoni Imran berkumpul dua model ulama yaitu ulama bebas

sekaligus ulama pejabat, yang di Jawa dan beberapa daerah lain terpisah dan

dijabat oleh sosok ulama yang berbeda. Ulama bebas umumnya dekat dan

didukung oleh masyarakat; sedangkan ulama pejabat karena merupakan bagian

dari sistem pemerintahan kolonial sering berseberangan dan ditolak oleh

masyarakat.

Data yang telah dipaparkan di atas menyebutkan Basioeni Imran menjabat

sebagai Maharaja Imam sekaligus sebagai kadi dan mufti sejak 1913. Selanjutnya
313

diangkat sebagai Presiden Mahkamah Raad Agama pada 1927, kemudian

menyusul diangkat sebagai penghulu land rechter dan adviseur Zelfbestuur

Commissie pada 1946. Berdasarkan data ini dapat dikatakan bahwa kebijakan

Sultan Muhammad Tsafioeddin II memberikan tiga kewenangan (Maharaja Imam,

kadi, dan mufti) merupakan kebijakan cerdas untuk menjaga kesatuan masyarakat.

Masyarakat tidak dihadapkan pada dua model ulama sebagaimana terjadi

di Jawa dan beberapa tempat lainnya. Meskipun Basioeni Imran berkedudukan

sebagai ulama pejabat (sebagai kadi dan mufti), namun pada dirinya juga melekat

kedudukan sebagai ulama bebas (sebagai Maharaja Imam dan kegiatannya

berdakwah dan memberikan tabligh kepada masyarakat pada umumnya).

Beberapa jabatan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada

Basioeni Imran sebenarnya tidak begitu berarti untuk menjadikan dirinya identik

dengan bagian dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang “kafir”. Beberapa

jabatan sebagai bagian dari sistem birokrasi pemerintah Hindia Belanda tersebut

diberikan pada masa-masa akhir cengkraman kekuasaan kolonial.105

Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, maka secara sukarela Kerajaan

Sambas otomatis bergabung dan meleburkan diri dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia dalam masalah politik dan pemerintahan. Eksistensi Kerajaan

Sambas, sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, lebih terfokus pada

pengembangan budaya. Dengan demikian, sejak kemerdekaan eksistensi lembaga-

lembaga atau institusi di bawah Kerajaan Sambas semestinya bubar dan melebur

dalam sistem kenegaraan NKRI. Namun, tidak demikian dengan institusi


105
Meskipun Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun
pemerintah Belanda baru benar-benar mengakui kedaulatan Indoneisia pada tanggal 27
Desember 1949.
314

Maharaja Imam. Sebutan jabatan Maharaja Imam terus melekat pada diri Basioeni

Imran hingga ia wafat pada 1976. Masyarakat Sambas tetap menghormatinya dan

memanggilnya sebagai Maharaja Imam Sambas. Basioeni Imran sendiri juga tetap

memakai nama jabatan itu dalam kesehariannya, termasuk dalam surat

menyuratnya. Hal ini dibuktikan dengan masih digunakannya nama jabatan

Maharaja Imam dalam sepucuk surat yang dikirimkannya kepada Awang bin Haji

Musa Hanafi di Brunei Darussalam yang ditulis pada 18 Oktober 1951.

Gambar 3.7: Surat Basioeni Imran kepada Awang di Brunei


315

Sumber: Koleksi Museum Tamadun Islam Nagri Sambas

Di masa kemerdekaan, selain tetap sebagai Maharaja Imam, Basioeni

Imran mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk tetap berkiprah melayani

masyarakat. Pada 1 Juli 1951-1952 Basioeni Imran dipekerjakan pada Kantor

Urusan Agama Kabupaten Sambas jabatan bagian hukum, berdasarkan SP Kepala

Kantor Urusan Agama Provinsi Kalimantan (di Banjarmasin) tertanggal 15 Mei

1951. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama, 18 September 1952 Basioeni

Imran diangkat sebagai Penghulu Muda pada Kantor Urusan Agama Kabupaten

Sambas. Selanjutnya pada 1 Februari 1961 diangkat sebagai Penasihat / Ketua

Seksi Hukum Badan Kerjasama Ulama / Militer Dawasti II Sambas. Berikutnya

berdasarkan SP Departemen Agama, 4 Mei 1966 diangkat menjadi Penata Hukum

Agama Tingkat I selaku Ketua Pengadilan Agama Mahkamah Syariat Kabupaten

Sambas dan pensiun pada 13 September 1975 (Badran, tt, hal. 15-16; Sabirin,

2010, hal. 14).

Maharaja Imam Basioeni Imran memiliki peran dan posisi yang spesifik

dan berbeda dengan tipologi ulama di daerah lain, khususnya di Jawa. Selain

dipercaya sebagai pejabat baik oleh pihak penguasa lokal (Sultan kerajaan

Sambas) maupun penguasa asing (Hindia Belanda), kondisi sosial keagamaan


316

Sambas juga berkontribusi memperkuat posisi dan legitimasi Basioeni Imran. Di

wilayah kerajaan Sambas khususnya dan Kalimantan Barat umumnya pada awal

abad ke-20 tidak memiliki lembaga pendidikan pondok pesantren sebagaimana di

Jawa. Pondok pesantren di Jawa menjadi pusat kegiatan keagamaan dan tempat

rujukan masyarakat dalam berbagai hal. Para ulama atau kyai yang memiliki atau

memimpin pondok pesantren dengan demikian juga menjadi sosok pemimpin dan

panutan yang senantiasa menjadi rujukan masyarakat. Pesantren dan ulama atau

kyai di Jawa juga memiliki jaringan dengan pesantren dan ulama atau kyai

lainnya. Semakin banyak dan kuat jaringan tersebut, maka semakin tinggi otoritas

suatu pesantren atau seorang ulama / kyai. Sistem atau tradisi pesantren (dalam

bahasa Dhofier) ini selanjutnya melahirkan tokoh-tokoh ulama yang memiliki

otoritas tinggi dan pengaruh luas di tengah masyarakat. Tipologi ulama seperti ini

tidak ditemukan di wilayah kerajaan Sambas khususnya dan Kalimantan Barat

umumnya karena lembaga pondok pesantren tidak ada.

Di berbagai daerah dalam wilayah kerajaan Sambas memang hadir sosok-

sosok ulama. Namun sebagian besar ulama tersebut bukan lahir dari pondok

pesantren sehingga tidak memiliki jaringan keulamaan dengan ulama lain yang

kental dengan tradisi pesantren. Para ulama Sambas adalah para ulumni Madrasah

al-Sulthaniyah yang melanjutkan menuntut ilmu ke Mekah atau Kairo. Jaringan

keulamaan yang ada di kalangan ulama Sambas adalah jaringan dengan sesama

alumni Mekah atau Kairo. Karena tidak memiliki tradisi pesantren, maka jaringan

keulamaan mereka tidak sekuat jaringan ulama di Jawa. Dalam konteks ini,

Basioeni Imran menjadi tokoh sentral di antara para ulama Sambas alumni Mekah
317

maupun Kairo karena dirinya adalah generasi awal dan sekaligus memiliki

otoritas legal formal sebagai pejabat Maharaja Imam. Hampir semua ulama

alumni Mekah dan Kairo selanjutnya direkrut oleh Basioeni Imran dalam sistem

birokrasi keagamaan dengan Maharaja Imam sebagai pemimpin tertingginya.

Dalam posisi yang demikian, hampir tidak ada ulama yang beroposisi atau

menjadi kritikus terhadap pemikiran dan kebijakan Basioeni Imran. Inilah yang

menjadikan Basioeni Imran sebagai Maharaja Imam berbeda tipologi dengan para

ulama di daerah lain, khususnya di Jawa.

Dalam konteks teori Weber tentang otoritas, posisi Basoeni Imran sebagai

Maharaja Imam menjadi sumber legitimasi otoritas yang bersifat karismatik.

Setiyono (2012: 50) menjelaskan bahwa otoritas karismatik adalah yang bertumpu

pada keyakinan terhadap pengabdian, kepahlawanan, jasa dan kemampuan luar

biasa dari seseorang. Dalam otoritas ini, seseorang taat dan patuh kepada orang

lain, dalam hal ini adalah Basioeni Imran, karena ia dipercaya memiliki kelebihan-

kelebihan khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain, atau karena ia memiliki

hasil karya dan aktivitas yang memberikan manfaat atau pertolongan kepada

orang lain. Pada bagian lain dijelaskan bahwa Basioeni Imran dalam posisinya

sebagai Maharaja Imam telah banyak melakukan aktivitas yang memberi manfaat

yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Ia juga memiliki kelebihan-kelebihan

khusus dalam penguasaan ilmu-ilmu agama dan dengan kelebihan itu ia

menghasilkan berbagai karya tulis yang bisa gunakan dan dirasakan manfaatnya

oleh masyarakat.
318

3.4.2 Korespondensi dengan Majalah Al-Manar

Bruinessen (1998, hal. 26) menyebut Basioeni Imran sebagai reformis dan

murid Rasyid Ridha yang paling menonjol dan setia di Nusantara. Sebagai murid

setia, Basioeni Imran aktif berkirim surat kepada gurunya Muhammad Rasyid

Ridha di Mesir, khususnya mengirimkan pertanyaan yang berkaitan dengan

persoalan agama Islam. Berbagai pertanyaan dikirimkan melalui surat yang

selanjutnya pertanyaan tersebut dijawab dan dimuat dalam terbitan berkala

majalah al-Manar. Pertanyaan-pertanyaan Basioeni Imran yang telah dimuat

dalam majalah al-Manar adalah sebagai berikut.

1) Dalam Al-Manar volume 29 nomor 4, terbit 18 Juni 1928, Basioeni Imran

mengajukan tiga pokok pertanyaan. Pertama, apakah boleh atau tidak

berinteraksi dengan tafsir Muhammad Ali al-Hindi yang menafsirkan Alquran

dengan bahasa Inggris. Kedua, bagaimana perihal beristeri lebih dari empat

orang. Ketiga, tentang imam sembahyang Jumat dan syaratnya menurut

Syafi’iyah (Al-Manar, 1928: 268-271).

2) Dalam Al-Manar volume 29 nomor 9 terbit 10 Februari 1928, Basioeni Imran

mengajukan dua pokok pertanyaan. Pertama, perihal beriman kepada

malaikat maut tanpa dengan nama Izrail. Hal ini terkait dengan pendapat

Muhammad Taufiq Sidqi bahwa nama Izrail tidak memiliki sumber yang kuat

baik dari Alquran maupun hadis sahih. Nama itu masyhur di kalangan orang

Yahudi dan mereka menamai manusia dengan nama Izrail. Kedua, perihal

hukum belajar bahasa Arab bagi muslim ajami (non-Arab) serta masalah

menerjemahkan dan menafsirkan Alquran dengan bahasa Melayu (Al-Manar,


319

1928: 659-664).

3) Dalam Al-Manar volume 30 nomor 9 terbit 29 April 1930, Basioeni Imran

mengajukan pertanyaan mengenai menulis dengan huruf Latin bagi muslim di

Jawa (Hindia Belanda). Dalam suratnya, Basioeni Imran menjelaskan bahwa

di Pulau Jawa, Sumatera, dan Borneo karena di bawah kekuasaan Hindia

Belanda huruf Latin lebih banyak digunakan dibanding huruf Arab Melayu

(aksara Jawi). Dan karena itu pula, tidak ditemukan koran-koran dan majalah-

majalah yang ditulis menggunakan huruf Arab-Melayu. Memang huruf Latin

berguna dalam konteks komunikasi dengan orang luar (Belanda, Inggris,

dsb.), tetapi dengan semakin ditinggalkannya penggunaan huruf Arab-Melayu

maka bedampak pada orang Melayu. Semua kitab-kitab keagamaan, etika dan

yang berkaitan dengan Islam ditulis dengan huruf Arab-Melayu. Jika

dibiarkan, orang Melayu lama-kelamaan akan jauh dari agama Islam (Al-

Manar, 1930: 718-720).

4) Dalam Al-Manar volume 31 nomor 5 terbit 20 Desember 1930, Basioeni

Imran bertanya tentang berbagai hal. Pertama, hukum membaca talqin mayat

yang baru dikuburkan. Kedua, hukum melafalkan niat sembahyang. Ketiga,

kebolehan sembahyang hajat karena mengamalkan hadis Abdullah bin Abi

Aufa. Keempat, apakah sekolah SMA di Mesir serupa dengan SMA di Eropa

dalam cabang ilmunya serta bahasa yang diajarkan selain bahasa Arab dan

pelajaran agama Islam. Kelima, apakah pegawai di Mesir belajar di salah satu

SMA di Eropa. Keenam, benarkan pendapat bahwa lulusan Aliyah di Mesir

tidak ada gunanya dibanding lulusan sekolah serupa di Eropa (Al-Manar,


320

1930: 347-349). Terpisah dengan enam pertanyaan tersebut, Basioeni Imran

juga bertanya hal yang sangat penting pada Al-Manar volume 31 nomor 5 ini.

Pertanyaan itu secara ringkas adalah sebagai berikut: (1) Apa yang menjadi

sebab kaum muslimin dalam keadaan lemah dan mundur—terutama kaum

Muslimin Indonesia dan Malaysia—baik tentang urusan keduniaannya

maupun urusan keagamaannya? (2) Apa yang menjadi sebab timbulnya

kemajuan bagi bangsa-bangsa Eropa, Amerika dan Jepang, dengan suatu

kemajuan yang mengagumkan? Adakah mungkin bagi kaum Muslim

memeroleh kemajuan sebagai yang telah dicapai oleh mereka itu, jika

sekiranya kaum Muslim telah mengikuti sebab-sebab yang telah dikerjakan

mereka, yang tidak dilanggar batas-batas agamanya (Islam) ataukah tidak

(Al-Manar, 1930: 353-354).

Gambar 3.8: Majalah Al-Manar volume 31 nomor 5 terbit 20 Desember 1930


yang Memuat Pertanyaan Basioeni Imran Tentang Kemunduran Umat Islam

Sumber: https://archive.org, 27 Februari 2017


321

5) Dalam Al-Manar volume 31 nomor 7 yang terbit 18 Februari 1931, Basioeni

Imran bertanya perihal Nabi Adam AS. terkait pendapat Syaikh Muhammad

bin Abdul Wahab yang menyatakan nabi pertama adalah Nuh AS, bukan

Adam AS. (Al-Manar, 1931: 518-519).

6) Dalam Al-Manar volume 32 nomor 9 yang terbit Oktober 1932, Basioeni

Imran mengajukan pertanyaan tentang kelahiran Isa ibn Maryam yang tanpa

bapak apakah telah menjadi kesepakatan ulama atau tidak serta dalil

tentangnya (Al-Manar, 1932: 671-672).

7) Dalam Al-Manar volume 34 nomor 6 yang terbit 7 Desember 1934, Basioeni

Imran bertanya tentang (1) Bagaimana hukum mengundi nasib atau lotre

kemudian hasilnya untuk membangun rumah sakit atau untuk menolong

orang yang terkena musibah atau untuk kemashlahatan umat lainnya; (2)

Bagaimana hukum memelihara hewan ternak (seperti burung) di dalam

sangkar atau kandang dengan memenuhi makan minumnya karena ingin

bersenang-senang dengan hewan tersebut (Al-Manar, 1934: 447).

Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa Majalah Al-Manar telah

berperan penting menjadi salah satu faktor yang mendorong transmisi ide-ide

pembaruan dari dunia luar ke kawasan Hindia Belanda, tak terkecuali di Kerajaan

Sambas. Jika dibaca secara seksama isi Al-Manar, maka akan terlihat bahwa

orang dari wilayah Hindia Belanda yang meminta fatwa (mustafti) atau

mengajukan pertanyaan kepada Rasyid Ridha melalui majalah Al-Manar tidak

banyak. Tidak ada mustafi dari Hindia Belanda selain Basioeni Imran yang rajin

mengirim surat dan pertanyaannya dimuat dalam Al-Manar. Dalam hal ini
322

Basioeni Imran dapat dikatakan sejajar dengan para ulama lain dari berbagai

belahan dunia. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Basioeni Imran selain

menunjukkan kualitas pemikiran Basioeni Imran, juga menggambarkan persoalan-

persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya di Sambas.

3.4.3. Membimbing dan Mengabdi Kepada Umat

Sebagai seorang ulama yang memiliki ilmu yang mendalam dalam bidang

agama Islam, Basioeni Imran menjadi tumpuan masyarakat dalam belajar ilmu

agama bahkan pihak keluarga Kerajaan Sambas. Seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, sejak 1905 Basioeni Imran diangkat oleh Sultan Muhammad

Tsafiuddin II sebagai Imam pembantu di Masjid Jami’ Sambas dan memberikan

pengajaran agama Islam di istana sultan Sambas untuk puteri-puteri dan ahli

istana (Imran, 1950). Tidak ditemukan sumber-sumber yang dapat menjelaskan

dan memberikan informasi bagaimana sistem pembelajaran yang dilakukan oleh

Basioeni Imran di kalangan istana. Informasi lebih banyak ditemukan terkait

pembelajaran agama yang diberikan di Masjid Jami’ dan rumahnya di Kampung

Dagang Timur.

Berdasarkan berbagai sumber lisan dan manuskrip, ditemukan data bahwa

masjid Jami’ dan rumah di Kampung Dagang Timur, adalah dua tempat yang

menjadi pusat pembelajaran agama bagi masyarakat yang dibimbing langsung

oleh Basioeni Imran. Pembelajaran di Masjid Jami’ dimulai sekitar pukul 11 pagi

hingga menjelang sembahyang Jumat. Secara rutin setiap hari Jumat, Basioeni

Imran memberikan pelajaran agama dengan cara membaca kitab-kitab di depan


323

jamaah masjid yang semuanya laki-laki. Setelah membaca kitab sekali-kali dibuka

kesempatan kepada para jamaah untuk bertanya. Kitab yang dibaca juga

bermacam-macam, seperti kitab tafsir, fikih, hadis, dan sebagainya. Berdasarkan

catatan beberapa manuskrip, kitab-kitab yang dibaca dalam pelajaran agama di

masjid Jami’ antara lain: kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh-Rasyid

Ridha, kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani, Ikhtilaf al-

‘Ibadah karya Ibnu Taimiyah, Zikri al-Mulid al-Nabi karya Rasyid Ridha, Al-Um

karya Imam Syafi’i, dan lain-lain.

Tempat kedua yang menjadi pusat pembelajaran agama adalah di rumah

kediaman Basioeni Imran di kampung Dagang Timur. Kegiatan pengajaran agama

di rumahnya ini juga dilaksanakan pada hari Jumat, tetapi pada sore hari dan

khusus untuk kaum perempuan. Kitab-kitab dan materi yang disampaikan juga

tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan di masjid Jami’.

Jika Basioeni Imran berkunjung ke daerah atau suatu kampung maka ia

selalu menyempatkan diri untuk membaca kitab atau memberikan pelajaran

agama kepada masyarakat di kampung tersebut. Berikut tulisan Basioeni Imran

dalam buku catatan harian 1926:

Jumat, 11 Juni 1926: Malam ini saya baca kitab di warung Haji
Abdurrahim di Sekura dan hadir + 20 orang. Haji Taufiq Mahmud ada
juga. Dan tidur di situ. Hari ini membaca kitab jua di surau dan
sembahyang Jumat.
Kamis, 24 Juni Juni 1926: Saya pergi menikahkan orang Sebatu’ Rantau
Panjang bersama-sama Khatib Zabir, maka sore baru balik. Di taruf [tenda
khusus yang didirikan saat ada acara pesta perkawinan] saya ada
berkhutbah pada perkara masjid baru dan memberi nasihat-nasihat.
Kamis, 24 September 1926: Sembahyang Jumat di Masjid Selakau.
Sebelum sembahyang saya membaca kitab perkara sembahyang berimam
dan hukumnya sembahyang (Imran, 1926).
324

Kehadirannya dalam acara pesta perkawinan atau acara-acara lainnya yang

diadakan oleh masyarakat selalu digunakan oleh Basioeni Imran untuk

memberikan pengajaran agama Islam kepada masyarakat. Materi yang

disampaikan biasanya menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan masyarakat.

Aktivitas penting lainnya yang dilakukan oleh Basioeni Imran adalah

terlibat langsung dalam memajukan lembaga pendidikan di Kerajaan Sambas.

Bermula saat diminta memberikan pelajaran agama di kalangan istana pada 1905,

Basioeni Imran kemudian terlibat dalam memajukan Madrasah al-Sultaniyah yang

didirikan oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II dan dimotori oleh saudaranya

Ahmad Fauzi Imran. Sejak 1918, Basioeni Imran diangkat menjadi pengawas bagi

Sekolah Agama Islam di Sambas yang dijabatnya hingga 1950 (Imran, 1950).

Dalam catatan harian tahun 1337 H ada catatan yang ditulis Basioeni

Imran bahwa ia menulis surat kepada para lebai di beberapa kampung dan ingin

menyampaikan bahwa ia akan berkunjung ke kampung mereka:

26 al-Muharram 1337: Tulis surat kepada lebai-lebai kasih tahu saya pergi
kepada kampung mereka itu buat mengetahui hal mereka itu pada agama
dan hendak mengajarnya perkara agama sedikit-sedikit dan mau minta
pertolongan buat sekolah agama… (Imran, 1918-b).

Dari catatan tersebut, dan juga di beberapa catatan lainnya, terlihat Basioeni Imran

memanfaatkan posisinya sebagai Maharaja Imam untuk menghimpun berbagai

pihak untuk membantu mengembangkan lembaga pendidikan Islam di Kerajaan

Sambas. Menghimpun bantuan dari berbagai pihak menjadi penting mengingat

setelah wafatnya Sultan Muhammad Tsafiuddin II, pembiayaan Madrasah al-

Sultaniyah tidak lagi ditanggung oleh pihak istana. Oleh karena itu, Basioeni
325

Imran harus pandai-pandai mencari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak

untuk menunjang keberlangsungan lembaga pendidikan Madrasah al-Sultaniyah.

Setelah Ahmad Fauzi Imran wafat, maka Basioeni Imran diangkat menjadi

pimpinan Madrasah al-Sultaniyah mulai tahun 1919 hingga 1936 oleh Sultan

(Erwin, 2002: 71). Dalam buku catatan hariannya, Basioeni Imran menulis bahwa

Jumat sore, 22 Oktober 1926 ada pertemuan membicarakan upaya memajukan

sekolah agama di Sambas:

Asar ini berkumpul di rumah Pangeran Laksamana Muhammad ianya, dan


maharaja Imam, Imam Maharaja Abdurrahman, Imam Haji Muhammad
Jabir, Datuk Kaya Haji Sood dan Khatib Muhammad Mursal karena
hendak menghidupkan dan memajukan sekolah agama di Sambas. Hari
ahad akan kumpul (Imran, 1926).

Berdasarkan catatan di atas, usaha memajukan sekolah agama atau Madrasah al-

Sultaniyah melibatkan para pembesar istana dan tokoh-tokoh agama Kerajaan

Sambas. Lembaga pendidikan tersebut menjadi tumpuan harapan Kerajaan

Sambas dalam melahirkan ulama-ulama karena saat itu tidak ada lembaga

pendidikan agama yang lain seperti pondok pesantren atau lainnya. Regenerasi

ulama di Sambas memang sangat tergantung pada Madrasah al-Sultaniyah yang

kemudian ditransformasi menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam.106 Sekolah yang

disebutkan terakhir ini adalah lembaga pendidikan Islam modern yang didirikan

oleh Basioeni Imran pada 1936 sebagai pelanjut Madrasah al-Sulthaniyah. Ia

kemudian diangkat dan ditetapkan sebagai pengawas sekolah yang didirikannya

hingga tahun 1950 (Erwin, 2002: 72). Pada saat yang sama Basioeni Imran juga

menjadi ketua dari Perkumpulan Tarbiatoel Islam Sambas (Imran, 1950), lembaga

106
Bahkan hingga hari ini di kota Sambas baru ada satu pondok pesantren, yaitu Pesantren
Basiuni Imran.
326

sejenis yayasan yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Sekolah

Tarbiatoel Islam.

Sekolah Tarbiatoel Islam merupakan wujud baru dari Madrasah al-

Sultaniyah. Ide memodernisasi Madrasah al-Sultaniyah menjadi Sekolah

Tarbiatoel Islam didorong oleh situasi ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda

berencana akan membubarkan HIS menyusul krisis ekonomi di Sambas pada

1933. Sedangkan antusiasme putera puteri Sambas untuk belajar bahasa Belanda

dan pengetahuan umum cukup besar. Satu-satunya sekolah umum yang ada pada

waktu itu hanyalah sekolah misi milik Katolik.

Gambar 3.9 : Gedung Sekolah Tarbiatooel Islam Sekarang

Sumber: Koleksi Peneliti, 9 Agustus 2016

Berdirinya sekolah misi di Sambas ini mendorong Basioeni Imran

bergerak cepat karena sadar dengan adanya sekolah umum yang menarik anak-

anak dari lapisan masyarakat atas dan menengah, akan berdampak merugikan
327

pendidikan Islam yang sudah ada waktu itu. Untuk menyikapi kondisi ini,

Basioeni Imran mengadakan pertemuan dengan beberapa tokoh di Sambas seperti

dr. Syahrial dan Ali Imran (seorang guru HIS). Dalam pertemuan itu diputuskan

Madrasah al-Sultaniyah akan dijadikan schakelschool (Sekolah Rakyat), dengan

pola pembelajaran seperti sekolah umum Belanda, namun tetap mempertahankan

ciri pendidikan Islam (Salim, et al., 2011: 89; Imran M. B., Al-Madrasah al-

Sulthaniyah al-Islamiyah, tt).

Untuk mengelola Madrasah al-Sultaniyah yang berbentuk schakelschool

itu secara profesional, maka dibentuklah perkumpulan Tarbiatoel Islam pada

1936. Perkumpulan ini memiliki motto: “Nusa dan bangsa tidak akan lekas

majunya jika tidak memiliki perguruan bangsanya sendiri”. Schakelschool itu

kemudian diberi nama Sekolah Tarbiatoel Islam. Sekolah ini pada awalnya

menggunakan bahasa Melayu lama sebagai bahasa pengantar dan aksara Arab

Melayu (huruf Jawi). Dalam perkembangan selanjutnya diadakan perubahan:

kelas 1 sampai 3 tetap menggunakan bahasa Melayu, sedangkan kelas 4 sampai 7

diharuskan menguasai bahasa Belanda (Salim, et al., 2011: 90).

Aktivitas Basioeni Imran di bidang pendidikan terus berlanjut hingga masa

setelah kemerdekaan. Sebuah yayasan yang didirikan oleh Murtaba M. Chan

bernama Yayasan Pendidikan Islam (YASPI) Sambas menyelenggarakan

pendidikan semi-akademi Kulliyat al-Muballighin (pendidikan untuk muballigh)

dan Basioeni Imran diangkat sebagai pimpinannya pada 1967. Kulliyat al-

Muballighin merupakan batu loncatan untuk mendirikan Fakultas Ushuluddin di

Sambas. YASPI Sambas didirikan pada 20 April 1967 dan bergerak khusus di
328

bidang pendidikan. Karena jasa besar Basioeni Imran dalam melakukan

pembaruan dan memajukan pendidikan di Sambas, ia diangkat menjadi Ketua

Kehormatan Yayasan (Erwin, 2002: 73).

Sebagai bagian dari masyarakat biasa dan juga tokoh agama, Basioeni

Imran tak lepas dari aktivitas sosial di lingkungan masyarakatnya. Salah satu

aktivitas sosial keagamaan yang dilakukan Basioeni Imran adalah menjadi ketua

komite pembangunan masjid baru di Sambas pada 1926. Menurut catatan

Basioeni Imran (1926), pembentukan komite terlebih dahulu disampaikan kepada

para jamaah masjid Jami setelah sembahyang Jumat. Bersama Raden Muhsin

Panji Anom, salah seorang anggota komite, Basioeni Imran pada Senin 25 Januari

1926 menghadap Controleur Sambas untuk menyampaikan rencana pendirian

masjid baru dan controleur membenarkan atau mengijinkan pembangunan masjid.

Dalam kesempatan tersebut, controleur juga disodorkan sebuah kuitansi

untuk biaya pembangunan masjid dan menerima selembar dengan nilai 10 rupiah.

Pada 27 Januari 1926 para anggota komite berkumpul di kantor Basioeni Imran di

Kampung Pedalaman untuk merencanakan rapat besar di istana yang

direncanakan pada Ahad 7 Februari 1926 dengan agenda utama meminta

menyampaikan maksud pendirian masjid baru sekaligus meminta derma atau

wakaf kepada para dermawan. Sesuai rencana, pada Ahad 7 Februari 1926 para

anggota komite pembangunan masjid baru berkumpul di Istana. Hadir dalam

kesempatan tersebut Sri Sultan, Pangeran Laksamana, imam-imam, khatib-khatib,

datuk-datuk kaya, penghulu-penghulu dan petinggi-petinggi lainnya. Dalam

pertemuan berbicara Raden Muhsin Panji Anom dan Basioeni Imran sendiri di
329

bagian akhir pertemuan. Dalam kesempatan tersebut Basioeni Imran

menyampaikan bahwa ia hendak memberi wakaf 150 rupiah dan sudah

dibayarkan kepada komite sebesar 50 rupiah atas nama istrinya.

Dalam catatan hariannya, Basioeni Imran juga menuliskan usahanya untuk

mengajak masyarakat di kampungnya agar ikut berperan aktif memberikan derma

untuk membangun masjid baru. Namun saat diundang ke rumahnya, orang-orang

Kampung Dagang Hulu tidak mau datang. Namun pada kesempatan berikutnya,

setelah diminta datang akhirnya masyarakat Kampung Dagang Hulu datang juga.

Jam 2 Zuhur ahli kampung Dagang Hulu banyak hadir di rumah saya
karena saya suruh sebab hendak minta wakaf masjid baru, sesudah hadir
mereka itu, saya pun berpidato menerangkan kewajiban saya menyeru
mereka dan menerangkan seruan dahulu yang mereka itu tidak datang.
Maka masing-masing memberi derma (wakaf) barang yang menyenangkan
hati saya karena patuh dengan kadarnya masing-masing (Imran, 1926).

Mengenai hasil kerja komite pendirian masjid baru tersebut, surat kabar

Oetosan Borneo memuat berita sebagai berikut:

Pada tanggal 11 November ’25 telah terdiri comite M. B. [Masjid Baru]


dikota Sambas, dan dipresideni oleh t. M. Basioeni Mahradja Imam
Sambas. Comite itoe beroesaha seboleh-bolehnja akan mentjari wang
banjaknja f. 100.000 seratoes riboe roepiah jang diperoleh dengan derma
dari pendoedoek Sambas d.l.l. Oleh toean jang dermawan Datoe Kaja Lela
Mahkota Hadji M. Soe’oed telah berikrar dan mengakoe apabila belandja
masdjid itu f. 100.000 ia akan memberi wakaf f 10.000 sepoeloeh riboe
roepiah atas nama Masoedi. Comite akan beroesaha akan tjari f 90.000
lagi. Dan comite ini berdjandji beroesaha di dalam 3 tahoen lamanja
moelai 11 Nov. ’25 sampai 11 Nov. ’28, djadi sekarang tanggal 9 boelan
temponja perdjandjian.
Pada hari Djoemahat 3 Febr. ’28 di masdjid vice-president (M. Haroen)
dari itoe comite telah membatjakan soerat pemberi tahoean dari comite
bahwa comite M. B., baroe mendapat wang derma f 3161,93 dus baroe
1/29-nja dari jang dimaksoed.
Soengguh poen begitoe comite tidak poetoes asa akan berichtiar dengan
sedapat-dapatnja seperti jang dimaksoed (Oetoesan Borneo, 22 Februari
1928).
330

Berita yang dilansir oleh Oetoesan Borneo di atas menunjukkan kerja komite atau

panitia pembangunan masjid baru yang dipimpin oleh Basioeni Imran tidak

bekerja maksimal. Target pengumpulan biaya pembangunan masjid yang dipatok

seratus ribu rupiah ternyata dalam waktu tiga tahun hanya terkumpul hampir

sepertiganya saja. Dalam terbitan beberapa waktu berikutnya, Oetoesan Borneo

kembali menurunkan berita terkait kinerja panitia pembangunan masjid. Dalam

ulasannya disebutkan bahwa menilik ramainya penduduk Sambas, banyaknya

orang kaya karena penghasilan karetnya, serta banyaknya orang alim yang tahu

pahala memberikan sumbangan pembangunan masjid, maka target

mengumpulkan seratus ribu rupiah dalam tiga tahun seharusnya tercapai.

Suara miring terhadap Maharaja Imam Muhammad Basioeni Imran

beberapa kali dimuat dalam surat kabar Ooetoesan Borneo. Salah satunya yang

ditulis oleh koresponden dari Sambas bernama Parker Pen pada 21 Maret 1928.

Ada dua judul tulisan yang bernada miring terhadap Basioeni Imran, pertama

berjudul “Boeroeng ketitir (perkoetoet)” dan kedua “Hoedjan naik ke Langit”.

Dalam tulisan yang pertama diceritakan bahwa suatu ketika ada seorang bernama

H. M. S. datang ke rumah Maharaja Imam di kampung Dagang hendak bertanya

perihal hukum memisahkan burung ketitir antara betinanya selama dikurung di

dalam sangkar. Ada orang yang mengatakan bahwa hal tersebut haram.

Maharaja Imam yang juga menjabat sebagai adviseur agama, menurut

Parker Pen semestinya memberikan jawaban atas semua pertanyaan masyarakat

bahkan wajib memberikan penerangan perihal agama kepada semua masyarakat.

Namun saat ditanya perihal pemisahan burung tersebut, Maharaja Imam


331

menjawab si penanya dengan tidak sabar, dan di mukanya ada tanda amarah,

seolah-olah pertanyaan tersebut merupakan sindiran yang halus terhadap diri

Maharaja Imam. Karena Maharaja Imam Basioeni Imran memang gemar

memelihara burung ketitir (Imran, 1937).

Mungkin karena persangkaan tersebut Maharaja Imam menjawab: “Siapa

bilang haram, dan toendjoekkan mana kitab jang mengatakan haram? Kalau ada

nanti saja periksa, kalau ada nasnja saja akan bertobat dihadapan orang itoe”.

Parker Pen kemudian menyatakan kelakuan M.I. (Maharaja Imam) yang begitu

sangat penulis sesali dan herani. Dan tidak habis-habisnya menggelengkan kepala

karena kelakuannya begitu. Cuma didapat pada siahmaq, lagi pula menjadikan

hati publik jadi liar, takut dan jera, hingga publik dalam kegelapan. Mudah-

mudahan kelakuan begitu tidak kekal melekat padanya lagi (Oetoesan Borneo, 21

Maret 1928).

Terkait dengan kegemarannya memelihara burung ketitir dan adanya

pertanyaan masyarakat sebagaimana ditulis dalam Oetoesan Borneo di atas,

Basioeni Imran mengajukan pertanyaan kepada Rasyid Ridha yang selanjutnya

dimuat dalam majalah Al-Manar Volume 34 nomor 6 yang terbit 7 Desember

1934. Pertanyaan tersebut seperti yang telah disinggung di atas adalah sebagai

berikut:

Apakah boleh memelihara burung atau lainnya dari jenis binatang ternak
di dalam sangkar (kandang, reban dll.) baik sendiri atau disandingkan
dengan lawan jenisnya serta terpenuhi makan, minum dan lainnya,
pekerjaan seperti ini dilakukan untuk memeroleh kesenangan dengan
bentuk hewan peliharaan itu atau karena suaranya. Apakah pekerjaan ini
dihitung perbuatan zalim terhadap binatang atau tidak? Dan telah
memberikan fatwa seseorang bahwa sesungguhnya menahan burung di
332

dalam sangkar adalah kezaliman bagi burung walau makan dan minumnya
terpenuhi dengan baik.

Artikel berjudul “Hoejan Naik ke Langit” yang juga ditulis oleh Parker

Pen dalam Oetoesan Borneo juga menunjukkan nada miring terhadap Maharaja

Imam Basioeni Imran. Artikel ini membandingkan kondisi dulu dan sekarang

(tahun 1928) antara Kampung Jawa dan Kampung Lorong dengan Simpang

Kampung Dagang (tempat domisili Basioeni Imran). Dahulu Kampung Jawa dan

Kampung Lorong dipandang miring oleh masyarakat karena di sana kata orang

Sambas sarang judi, arak, dan sundal (PSK). Sebaliknya Simpang Kampung

Dagang dihormati masyarakat karena di sana ada tokoh Marhoem Ahmad Fauzi

(saudara Basioeni Imran) dan ayahnya sendiri Maharaja Imam H. Moehamad

Imran. Sekarang, menurut Parker Pen, kondisi terbalik.

Semoea soedah berubah: jang didapat disitoe [kampung Jawa dan


Kampung Lorong], ahli taat dan ibadat dan saleh-saleh. Boektinja tiap-tiap
kampoeng itoe, ada mempoenjai Langgar [masjid], jang kampoeng-
kampoeng lain di Kota Sambas tidak poenja, jang didirikan sembahjang 5
waktoe, didalamnja diadjarkan mengadji Qora’an dan kitab peroekoenan,
hingga boenji lebah deroem soeara boedak-beodak [anak-anak] mengadji
tiap-tiap waktoe…. Di sitoe (Kp. Dagang) tempat sarangnja tai djoedi d.l.l.
Boektinja hampir tiap-tiap tahoen kampoeng Dagang mengadalah “Kelah”
sama-sama perempoean, jang di Kp. lain tidak terdjadi, lebih-lebih Kp.
Djawa dan Kp. Parit Lorong, seperti kata penoelis “Waris” dalem O. B.
No. 15…. Kampoeng Dagang, tempat kedoedoekan Imam-imam dan
Chatib-chatib, malah tempat kedoedoekan MAHA – RADJA IMAM
adviseur Agama (katanja). Semoeanja itoe kemoendoeran, disebabkan
teledornja Pegawai-pegawai Agama jang disitoe (Kp. Dagang)
bersematjem dengan bangga, dan tjongkak, sombong, tamai’, d.l.l. serta
amarahnja, hingga hati publiek (pendoedoek) liar, takoet, isin, bentji, dan
takoet hendak bertanja apa lagi hendak beladjar tetap (Oetoesan Borneo,
21 Maret 1928).

Sebagai pejabat dan tokoh keagamaan Basioeni Imran sering diajak atau

diundang dalam berbagai kegiatan di Istana atau kegiatan keluarga kerajaan.


333

Sebagaimana disebutkan dalam catatan hariannya, pada hari Ahad tanggal 13 Juni

1926 Basioeni Imran diajak oleh Sultan berwisata ke Danau Sebedang.

Pagi-pagi berangkat dengan motor Ahmad ke Sebedang bermakan-makan


di sana yaitu Saya Maharaja Imam, Raden Demang Tamhid adik
beradiknya dan Raja. Jumlah + 20 orang. Menyembelih 1 kambing dan
dibawa Raden Abu Bakar Putra Duli Sulthan ia akan berangkat pergi ke
Betawi sekolah. Pukul 3 ½ berangkat pulang dengan suka hati (Imran,
1926).

Acara berwisata ke Danau Sebedang sepertinya telah menjadi acara rutin

keluarga kerajaan untuk menghibur diri. Hal ini terbukti, pada Ahad 26 Maret

1941 rombongan Sultan Sambas pergi berwisata ke Danau Sebedang seperti

diberitakan dalam Borneo Barat:

Demikianlah pada hari Rebo ddo. 16-3-’41, kira2 djam 8.30 berangkatlah
kami dgn seboeah auto-bus menoedjoe Soebedang dg maksoed akan
meloeaskan pemandangan dan bermakan2 di sana. Kira2 djam 9 sampailah
kami ketempat jg ditoedjoe.
Disana kami berhenti diseboeah roemah kepoenjaan Toeankoe Sulthan
Sambas. Sekalian jg pergi tampak bergembira semoeanja apalagi disitoe
hadir poela Toeankoe Sulthan Sambas jg datang kemoedian sedikit dari
kami. Lain dari pada itoe sebagai jg mengepalai pemergian kami dan jg
ikoet serta adalah toean2: Maharadja Imam H. M. Basioeni Imran, Imam
H. M. Djabir, Imam Maharadja H. Abdoerrachman, D. H. Hadran, R.
Mohsin P. A., R. Aboe Bakar, P. A. H. Abd. Malik voorz. Moehammadijah
Tjabang Sambas, dan banjak lagi orang2 jg terkemoeka dalam masjarakat
Sambas (Borneo Barat, 5 April 1941).

Untuk mendukung rutinitas kunjungan, di Danau Sebedang terdapat sebuah rumah

milik keluarga Sultan. Keikutsertaan Basioeni Imran dalam berbagai kegiatan

Sultan, termasuk berwisata ke Danau Sebedang, menunjukkan bahwa hubungan

dirinya dengan pihak istana sangat dekat.

3.4.4 Aktivitas Politik

Mencermati aktivitas Basioeni Imran sejak ia mulai diangkat menjadi


334

Maharaja Imam Kerajaan Sambas, melekat pada dirinya adalah sosok ulama dan

pendidik dan jauh dari aktivitas politik. Pada masa awal kemerdekaan di kota

Sambas berdiri organisasi perjuangan bernama Persatuan Bangsa Indonesia

Sambas (PERBIS) sebagai wadah perjuangan menyambut kemerdekaan. Karena

kedudukan dan ketokohannya, para pengurus PERBIS meminta Basioeni Imran

sebagai penasihat PERBIS (Ismail, 1993: 40).

Bersamaan dengan berdirinya PERBIS, masuk pula secara besar-besaran

tentara sekutu di kota Sambas dengan diboncengi oleh Nederlandsch Indie Civil

Administratie (NICA) di bawah pimpinan Kapten van der Schoor. Saat Schoor

mengajak PERBIS ikut membantu NICA dalam menjalankan pemerintahan di

kota Sambas dan sekitarnya yang akan disusun nanti, pimpinan PERBIS menolak

dengan tegas dan menyatakan bahwa Sambas adalah termasuk wilayah negara

Republik Indonesia yang telah merdeka, berdaulat penuh dan tidak membutuhkan

bantuan NICA. Sikap tegas ini melahirkan sikap keras NICA terhadap para tokoh

PERBIS (Pemerintah Daerah Tk . I Kalimantan Barat, 1989: 214-215).

Sebagai penasihat, Basioeni Imran berperan memompakan semangat juang

anggota PERBIS dengan nilai-nilai kejuangan Islam atau jihad. Ia memberikan

hujjah agar para pemuda memberikan apa yang ada (jasmani, rohani, dan harta

benda) untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Dalam sebuah pertemuan

di gedung bioskop Sambas, Basioeni Imran memberikan spirit dengan

menyampaikan dalil-dalil tentang jihad melawan penjajah. Spirit yang diberikan

mampu membangkitkan semangat juang pemuda yang selanjutnya berupaya

mengibarkan bendera merah putih di halaman istana. Namun usaha tersebut


335

dihadang oleh tentara NICA dan dalam peristiwa itu jatuh korban jiwa yaitu H.

Sirad Sood (Pemerintah Daerah Tk . I Kalimantan Barat, 1989: 215; Ismail, 1993:

40).

Terkait dengan politik kebangsaan di awal kemerdekaan, ditemukan

dokumen berupa surat dari Badan Perdjoeang Maloekoe Borneo Celebes

(BPMBC)107 di Mekah Saoedi Arabia (Hedjas) tertanggal 17-5-46 yang ditujukan

kepada Basioeni Imran.108 Tidak ada informasi terkait latar belakang mengapa

surat tersebut dikirimkan kepada Basioeni Imran dan apa hubungannya dengan

organisasi BPMBC di Mekah. Dapat diduga surat tersebut dikirim kepada

Basioeni Imran sebagai tokoh Islam penting di Sambas yang pernah belajar di

Mekah. Isi surat tersebut antara lain menjelaskan bahwa berita kemerdekaan

107
Menurut Anggaran Dasar BPMBC: Badan ini didirikan sesudah terjadinya penyerahan pass-
pass kepada wakil pemerintah Belanda di Hijaz, dan dinamakan BPMBC singkatan dari Badan
Pembelaan Maluku Borneo Celebes, di Mekah al-Mukarramah (Pasal 1). Badan ini bertujuan:
1) Badan ini berusaha akan menolong anak dari Borneo Celebes Maluku yang telah
menyerahkan pasnya kepada wakil pemerintah Belanda di sini (Hijaz), dengan berupa uang
atau pekerjaan dan apa jua yang dianggap pertolongan di kala mereka berhajat; 2) Merapatkan
tali silaturrahim sesama putra dan putri kepulauan tersebut dan seluruh rakyat Indonesia
umumnya; 3) Menyatukan perasaan kebangsaan, dengan membutuhkan pendirian yang
menunjukkan kesimpasian [simpati] terhadap pemerintah RI; 4) Memperkuat putra dan putri
kepulauan Sulawesi, Kalimantan dan Maluku, dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Negara Republik Indonesia, di samping persatuan Indonesia yang lainnya; 5)
BPMBC bekerja bersama-sama dengan apa jua perkumpulan Indonesia maupun di tanah Hijaz
atau di luar tanah Hijaz dan tetap menerima pergabungan dengan perkumpulan yang lain kalau
ada dorongan yang membikin perlu, dan tak ada undang-undang di perkumpulan itu menentang
atau bertentangan dengan undang-undang BPMBC; 6) BPMBC tidak bermaksud akan
mengasingkan diri dari persatuan bangsa Indonesia yang lainnya; 7) BPMBC tidak bisa
menerima pergabungan dengan apa jua perkumpulan kalau ada undang-undang di situ yang
bertentangan dengan undang-undang BPMBC; 8) BPMBC bekerja dengan ikhlas karena Allah
dan agama serta nusa dan bangsa dan RI; 9) Badan ini sendirinya akan terbubar dikala hajat
untuk meneruskan dan sebab-sebabnya telah hilang dan tanggal (Pasal 2).
108
Dari Meseum Tamadun Islam Nagri Sambas juga ditemukan dokumen berupa surat BPMBC
yang ditujukan kepada Idris bin Noeroeddin Poetat di Sambas tertanggal 19-5-46. Isinya
hampir sama dengan surat diditujukan kepada Basioeni Imran. Selain dua surat tersebut,
BPMCB juga mengirimkan “Perselag ringkas dari Rapat Perajaan jang Diadakan oleh BPMBC
oentoek memperingari hari kelahiran Jang Moelia Pemimpin Besar kita Toean Dr. Ir. Soekarno
dan Pergaboengan antara BPMBC dan COPINDO” serta Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga BPMBC.
336

Indonesia telah sampai ke para pemuda yang sedang belajar atau menuntut ilmu di

Mekah. Mereka menunjukkan simpati dan ikut berjuang mengambil bagian dan

bersama-sama mempertahankan kemerdekaan RI dengan berbagai macam cara.

Para pemuda dari Maluku, Borneo (Kalimantan), dan Celebes (Sulawesi)

yang sedang menuntut ilmu di Mekah menolak terhadap cacian musuh (Belanda)

kepada RI melalui surat kabar dan selebaran yang diterbitkan. Disampaikan juga

berita bahwa karena sikap para putra Indonesia menolak mengakui pemerintah

Belanda sebagai pemerintahan yang sah di Indonesia, maka Belanda memutuskan

bantuan kepada mereka dan karenanya juga mereka keluar dari “kerakjatan”

(kewarganegaraan) Belanda dan menjadi rakyat Indonesia. Simpati dengan

perjuangan bangsa Indonesia di Jawa, maka putra Borneo, Celebes, dan Maluku

memutuskan hubungan dengan wakil pemerintah Belanda di Mekah (Surat

BPMBC kepada Basioeni Imran, 1946, Museum Tamadun Islam Nagri Sambas).

Surat BPMBC selanjutnya menyampaikan bahwa mereka mendengar

hebatnya perjuangan putra Indonesia di Jawa melalui RRI dari Bandung. Namun

mereka heran mengapa tidak terdengar perjuangan dari Kalimantan, Sulawesi, dan

Maluku:

...kami heran seriboe heran mengapakah kami tak ada mendengar


perdjoeangan jg. memoeaskan jg. diberikan oleh poetra Kalimantan
Soelawesi dan Maloekoe, sedangkan menoeroet soerat jg. datang dari
Borneo semoeanja memakai peranko NICA (Hindia Belanda) apakah
mereka tidak mengetahoei akan berdirinja R.I. ataukan mereka tidak maoe
hidoep merdeka masih maoe djoega mengabdi kepada kapir?
So’al merdeka atau tidaknja poelau Kalimantan adalah tergantoeng keatas
rakjatnja sendiri, akan tetapi disamping itoe adalah pemimpin jg. No. I
bertanggoeng djawab atas itoe. Bertanggoeng djawab atas rakjat dan tanah
air boekanlah ketjil artinja dimasa Indonesia Merdeka ini (Surat BPMBC
kepada Basioeni Imran, 1946, Museum Tamadun Islam Nagri Sambas).
337

Surat yang dikirim oleh pengurus BPMBC, yaitu Moh. Hasjim Moechtar -

Abd. Hadi Badjoeri (Bagian Luar Negri) dan Abd. Raak Salih – Siradj Salman

(Bagian Penerangan), selanjutnya meminta agar berjuang, memberontak melawan

musuh (Belanda) dan jangan suka di bawah kungkungan orang kafir dan kaum

penjajah. Mereka meminta agar menolong perjuangan di Jawa, jangan takut dan

gentar karena ini adalah perang jihad yang wajib untuk meninggikan agama Islam

dan mempertahankan kemerdekaan pemerintahan negara RI.

Selain surat kepada Basioeni Imran, terdapat juga surat tertanggal 19-5-46

yang isinya hampir sama yang ditujukan kepada Idris bin Noeroeddin Poetat di

Sambas. Selain dua surat tersebut, BPMCB juga mengirimkan Perselag ringkas

dari Rapat Perajaan jang Diadakan oleh BPMBC oentoek memperingari hari

kelahiran Jang Moelia Pemimpin Besar kita Toean Dr. Ir. Soekarno dan

Pergaboengan antara BPMBC dan COPINDO serta Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga BPMBC.

Di masa tuanya, Basioeni Imran terjun ke dunia politik dengan ikut dalam

pemilihan umum 1955 mewakili Partai Masyumi. 109 Ia berhasil terpilih menjadi

anggota Konstituante dari daerah pemilihan Sambas mewakili Partai Masyumi.

Secara nasional pada Pemilu tersebut, Partai Masyumi menempati posisi kedua

dengan perolehan suaran 20,59 % dengan jumlah kursi 112 orang (Puspoyo,

109
Masyumi dibentuk dalam Muktamar Islam Indonesia di gedung Madrasah Mua`allimin
Muhammadiyah, Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945. Pembentukan Masyumi sebagai
sambutan tokoh-tokoh Islam terhadap terbitnya Maklumat Pemerintah Nomor X tanggal 3
November 1945 tentang anjuran membentuk partai-partai politik. Dalam muktamar itu
diputuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, dan
Masyumi-lah yang akan memperjuangkan nasib politik umat Islam Indonesia (Thaba, 1996:
158-159). Menurut Kahin (1952: 157) dalam Masyumi terdapat dua kelompok utama yang
sering berselisih pendapat, yaitu “kaum sosialis keagamaan” yang banyak mengambil inspirasi
dari ajaran Muhammad Abduh dan “pemimpin agama angkatan tua yang konservatif” yang
berpangkalan pada Nahdlatul Ulama dan unsur-unsur Muhammadiyah yang lebih konservatif.
338

2012). Basioeni Imran mewakili daerah pemilihan Sambas dan ditetapkan sebagai

anggota Konstituante berdasarkan Surat Keputusan Panitia Pemeriksa Nomor

305/1956/K yang ditandatangani oleh ketua Panitia Pemeriksa Prawoto

Mangkusasmito.

Tidak ditemukan data-data yang memadai terkait keterlibatan Basioeni

Imran di bidang politik sehingga terpilih sebagai anggota Konstituante. Diduga

kuat posisinya sebagai Maharaja Imam dan ketokohan Basioeni Imran yang

mengakar di masyarakat menjadi daya tarik bagi partai Masyumi untuk mengajak

Basioeni Imran terjun ke dunia politik. Di samping itu, pemikiran-pemikiran

Basioeni Imran juga sejalan dengan garis politik Partai Masyumi. 110 Sebagaimana

dijelaskan oleh Boland (1971: 48-49), sebagian anggota dan pemimpin Masyumi

adalah kaum muslim modern yang memandang Islam secara sungguh-sungguh

sebagai satu kesatuan politik-agama dan sosial. Cita-cita negara Islam ataupun

terwujudnya asas-asas Islam dalam politik jelas tumbuh subur dalam lingkungan

ini. Secara sosiologis pengikut Masyumi adalah para pedagang kota, dan di antara

pekerja bebas serta kaum intelektual yang berasal dari kalangan mereka ini.

Mereka berasal dari lingkungan kelas menengah tempat bersumbernya tanggapan

pertama terhadap pikiran-pikiran pembaruan yang muncul di Mesir (Muhammad

Abduh dan Rasyid Ridha). Di sinilah mungkin bertemunya antara garis politik

Masyumi dengan pemikiran dan gerakan keagamaan Basioeni Imran.

Sebagai anggota Konstituante, Basioeni Imran kemudian berkenalan dan

110
Berdasarkan Anggaran Dasar yang mulai berlaku Agustus 1952, Partai Masyumi berasaskan
Islam dan bertujuan “untuk mewujudkan ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan pribadi,
dalam masyarakat dan dalam Republik Indonesia sebagai sebuah negara, menuju keridhaan
Allah
339

bergaul erat dengan tokoh-tokoh seperti Haji Agus Salim, Mr. Soekiman dan

Muhammad Natsir. Ia juga kemudian akrab dengan Dr. Haji Abdul Karim

Amrullah (HAMKA) dan Dr. Abdul Kahar Muzakkir. Mereka menawarkan agar

Basioeni Imran menetap di Jakarta untuk lebih mengembangkan agama Islam

(Effendy, 1995: 168). Namun, tawaran tersebut ditolak secara halus karena

Basioeni Imran tetap ingin mengabdi dan mengembangkan agama Islam di

daerahnya sendiri Sambas. Sebagai anggota Konstituante, tentu Basioeni Imran

terlibat dalam perdebatan panjang tentang bentuk dan dasar negara yang terjadi di

dalam lembaga yang khusus dibentuk untuk menyusun konstitusi baru pengganti

UUDS 1950.111 Namun sangat disayangkan, peneliti belum menemukan sumber-

sumber terkait keterlibatan Basioeni Imran dalam Konstituante.

Pada Pemilihan Umum pertama masa Orde Baru 1971, Basioeni Imran

ikut terlibat dalam memenangkan Golongan Karya (Golkar). Atas usaha dan jerih

payahnya ikut memenangkan Golkar, maka Sekber Golkar Kalimantan Barat

memberikan surat penghargaan kepada Basioeni Imran (Badran, tt: 16).

111
Penjelasan lengkap tentang perdebatan panjang dalam lembaga Konstituante dapat dilihat
dalam Boland (1971: 90-99); Nasution (1992).
340

BAB IV

PEMIKIRAN KEAGAMAAN HAJI MOEHAMAD BASIOENI IMRAN

4.1 Pemikiran Teologi

Teologi dari segi bahasa bermakna ilmu tentang Tuhan atau ilmu

Ketuhanan (Hanafi, 1987: 11). Teologi, sebagaimana diketahui membahas ajaran-

ajaran dasar dari suatu agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang

keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat. Dalam istilah

Arab, ajaran-ajaran dasar itu disebut ushul al-din atau ‘aqa’id. Teologi dalam

Islam disebut juga ‘ilm al-tauhid atau ‘ilm al-kalam. Disebut ‘ilm al-tauhid

karena membahas keesaan Allah sebagai sifat terpenting Tuhan. Disebut ‘ilmu al-

kalam (kalam berarti kata-kata) dalam teologi Islam karena persoalan kalam Allah

sempat menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Dalam pembahasan teologi

Islam, para teolog Islam beradu argumentasi dengan kata-kata dalam

mempertahankan pendapatnya masing-masing (Nasution H., 2013: ix).

Dinamakan ‘ilmu al-kalam juga karena cara pembuktian kepercayaan-

kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam

soal-soal agama dinamai ‘ilmu al-kalam untuk membedakannya dengan logika

dalam filsafat (Hanafi, 1990: 5). Secara sederhana teologi Islam atau ilmu kalam

membahas tentang rukun iman serta keyakinan-keyakinan lain yang mendasar

dalam ajaran Islam seperti keyakinan adanya surga-neraka, perhitungan pahala-

dosa dan balasannya, sirath al-mustaqim serta mahsyar yang akan dijalani

manusia setelah hari kiamat.

340
341

4.1.1 Rukun Iman

Di antara karya-karya Basioeni Imran yang secara khusus membicarakan

persoalan teologi adalah kitab Bidayah al-Tauhid fi `Ilm al-Tauhid (selanjutnya

disebut Bidayah al-Tauhid) yang terbit tahun 1336 H / 1918 M. Kitab ini

membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan rukun iman. Sebelum memulai

pembahasan tentang rukun iman, pada bagian pendahuluan kitabnya, Basioeni

Imran mengatakan bahwa mengetahui ushul al-din (segala pangkal agama)

hukumnya fardu ‘ain, yaitu wajib atas tiap-tiap orang mukallaf (akil baligh).

Perkataan ini sangat erat kaitannya dan bahkan bisa dikatakan sebagai

konsekuensi logis dari yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali dalam al-Risalah al-

Laduniah yang dikutip oleh Hanafi: “Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia,

paling penting dan paling sempurna. Ilmu ini wajib dicari oleh setiap orang yang

berakal, sebagaimana diperintahkan oleh Nabi, ‘Mencari ilmu menjadi kewajiban

setiap muslim’ ” (Hanafi, 1987: 119).

Selanjutnya dijelaskan beberapa definisi singkat dari istilah akidah, Islam,

iman, dan tashdiq.

Akidah Islam yaitu segala perkara yang di-i`tikad-kan akan dia oleh ahli
Islam, yakni mereka itu jazam dan putus dengan sahnya. Makna dan arti
Islam menurut syarak adalah inqiyad (tunduk) bagi barang yang datang
dengan dia Nabi SAW. dan daripada yang demikian bertutur dengan dua
kalimat syahadat. Makna iman pada syarak yaitu tashdiq (membenarkan)
dengan barang yang datang dengan dia oleh Nabi SAW. dan ia ketahui
daripada dalil-dalil agama, dan makna tashdiq itu iz’an dan qabul
(mengaku dan menerima) (Imran M. B., 1918: 2-3).

Setelah menjelaskan definisi singkat di atas, Basioeni Imran menjelaskan secara

singkat rukun Islam dan rukun iman. Di bagian akhir pendahuluannya ditulis tiga

hukum akal yang digunakan dalam ilmu tauhid (wajib, mustahil dan jaiz). Setelah
342

menjelaskan tiga hukum akal, barulah masuk bab pertama, yaitu pembahasan

iman kepada Allah SWT.

Basioeni Imran mengawali pembahasan beriman kepada Allah dengan

menjelaskan makna beriman kepada Allah:

Bermula iman (percaya) dengan Allah SWT dengan ijmal yaitu kita
‘itiqad-kan bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan segala sifat
kesempurnaannya dan Mahasuci dari pada segala sifat kekurangan.
Adapun iman dengan Allah SWT dengan tafshil maka yaitu: kita ‘itiqad-
kan bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan wujud, qidam, baqa, mukhalafatuh
lilhawadisi, qiyamihi bi nafsih, wahdaniyah, hayah, ‘ilm, qudrah, iradah,
sam’a, bashr, kalam, hayy, ‘alimun, qadirun, maridun, sami’un, bashirun,
mutakallimun. Jumlah dua puluh sifat dan semuanya itu wajib bagi Allah
Ta’ala dan lawannya dua puluh juga maka semuanya mustahil atas Allah
Ta’ala (Imran M. B., 1918, hal. 5).

Setiap sifat wajib yang berjumlah dua puluh dijelaskan secara singkat

disertai dengan dalil-dalil aqli atau logika. Hanya beberapa sifat yang dijelaskan

dengan dalil naqli atau ayat Alquran. Dua puluh sifat Allah oleh Basioeni Imran

dibagi menjadi empat kelompok, yaitu sifat nafsiyah, salbiyah, ma’aniy dan

ma’nawiyah. Satu sifat yaitu wujud (ada) termasuk sifat nafsiyah. Sifat qidam

(sedia), baqa’ (kekal), mukhalafatuh lilhawadits (menyalahi Ia bagi segala yang

baharu), qiyamuh bi nafsih (Ia berdiri dengan sendirinya) dan wahdaniyah (esa

atau satu) termasuk dalam sifat salbiyah. Tujuh sifat berikutnya yaitu hayah

(hidup), ‘ilm (mengetahui), iradah (berkehendak / menentukan), qudrah (kuasa),

kalam (berkata-kata), sami’ (mendengar) dan bashr (mendengar) termasuk dalam

kelompok sifat ma’aniy. Selanjutnya tujuh sifat masuk dalam kelompok sifat

ma’nawiyah adalah kaunuhu hayyan (keadaannya yang hidup), kaunuhu ‘aliman

(keadaannya yang mengetahui), kaunuhu qadiran (keadaannya yang kuasa),

kaunuhu muridan (keadaannya yang berkehendak, yang menentukan), kaunuhu


343

sami’an (keadaannya yang mendengar), kaunuhu bashiran (keadaannya yang

melihat) dan kaunuhu mutakalliman (keadaannya yang berkata-kata). Di bagian

akhir bab pertama ini Basioeni Imran menyebutkan sifat-sifat yang mustahil bagi

Allah dan sifat jaiz bagi Allah.

Konsep beriman kepada Allah dengan konsep sifat duapuluh serta

pembagiannya ke dalam empat kelompok sifat nafsiyah, salbiyah, ma’aniy dan

ma’nawiyah adalah ciri khas teologi ahl al-sunnah wa al-jama`ah112 khususnya

aliran Asy`ariyah113. Pembicaraan tentang sifat Tuhan diawali oleh pandangan al-

112
Secara sederhana Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah berarti golongan yang berpegang pada sunnah
dan merupakan mayoritas. Terminologi ini banyak digunakan setelah timbulnya aliran al-
Asy`ariyah dan al-Maturidiyah (Nasution H. , 2013: 65). Al-Imam al-Hafiz al-Zabidi (w. 1205
H.) dalam kitab Ithaf al-Sadah al-Muttaqin (II/6) menyatakan: “Bila Ahl al Sunnah wa al-
Jama`ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut mazhab al-Asy`ari dan al-
Maturidi”. Abu al-Fadhl bin Abdussyakur dalam kitab al-Kawakib al-Lumma`ah mengatakan:
“Yang disebut Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada
sunnah Nabi SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal
lahiriyah serta akhlak hati (Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2016: ix; 15). Dalam
perkembangannya, Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah tidak lagi dipahami sebagai aliran tapi
merupakan manhaj al-fikr atau metode berpikir. Hal ini dapat dilihat dari definisi yang
diberikan oleh Siradj: “Ahlussunnah wal Jama`ah adalah orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-
dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran” (Siradj, 2008: 8).
113
Aliran ini dinisbatkan kepada Abu al-Hasan `Ali Ibn Isma`il al-Asy`ari lahir di Basrah tahun
260 H. / 873 M. dan wafat di Bagdad pada tahun 324 H. / 935 M., keturunan dari Abu Musa al-
Asy`ari (seorang perantara atau juru runding dalam tahkim mengakhiri perang Shiffin antara
Ali bin Abu Thalib vs. Mu`awiyah bin Abu Sufyan). Di masa mudanya ia belajar pada tokoh
Mu`tazilah yang terkenal, al-Jubbai, mempelajari dan mendalami serta mengikuti ajaran-ajaran
Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun. Saat berusia 40 tahun ia menyendiri di rumahnya sendiri
selama 15 hari. Ia kemudian pergi ke masjid Basrah dan di depan orang ramai ia menyatakan
bahwa ia mula-mula mengatakan Alquran itu makhluk; Tuhan tidak dapat dilihat mata kepala;
perbuatan buruk manusia sendiri yang memperbuatnya (semua adalah pendapat aliran
Mu`tazilah). Kemudian ia mengatakan: “Saya tidak lagi memagangi pendapat-pendapat
tersebut, saya harus menolak faham-faham orang Mu`tazilah dan menunjukkan keburukan-
keburukan dan kelemahan-kelemahannya.” Sikap itu diambilnya karena khawatir atas
perpecahan umat Islam antara kaum rasionalis dan tekstualis. Karena itu al-Asy`ari mengambil
jalan tengan antara keduanya. Karyanya yang terkenal ada tiga: (1) Maqalat al-Islamiyyin
(Pendapat-pendapat Golongan-golongan Islam); (2) al-Ibanah `an Ushul al-Diniyah
(Keterangan Tentang Dasar-dasar Agama); dan (3) al-Luma (Sorotan) (Hanafi, 1990: 58-60;
Nasution H. , 2013: 66-69; Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2016: 26-30). Tentang
doktrin akidah al-Asy`ari dapat dibaca lebih lanjut dalam: Kamal. (1995). “Kekuatan dan
Kelemahan Paham Asy`ari Sebagai Doktrin Akidah” dalam Rachman (ed.), Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah:131-146; Madjid. (1992) . Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah
Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan: 269-285.
344

Asy`ari yang berada di tengah antara aliran Mu`tazilah di satu pihak dengan aliran

Hasywiah dan Mujassimah di pihak lain. Mu`tazilah tidak mengakui sifat-sifat

Tuhan, sedangkan Hasywiyah dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan

dengan sifat-sifat makhluk. Dalam pandangan al-Asy`ari: Tuhan mempunyai sifat

melihat, mendengar, berbicara, mempunyai wajah dan sebagainya, seperti yang

disebutkan dalam Alquran, tetapi dengan tidak diketahui bagaimana bentuknya

(bila kaifa). Sifat Tuhan bukan esensi Tuhan itu sendiri, sifat Tuhan dan zat Tuhan

adalah berbeda (Permono, 2000: 49; Hanafi, 1987: 108-109).

Al-Asy’ari memperkenalkan konsep bila kaifa (tanpa modalitas), yang

menganjurkan kepada setiap orang untuk menerima ungkapan-ungkapan

antropomorfis dalam Alquran tanpa mencari atau mengupayakan penjelasan

tertentu (Hitti, 2002: 544). Konsep bila kaifa ini juga digunakan oleh Basioeni

Imran saat menjelaskan sifat sama` dan bashar.

Sama` artinya mendengar, dan i`tiqad dengan sama` itu kita i`tiqad-kan
bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan sama` dan Ia mendengar akan tiap-tiap
sesuatu sama ada perlahan atau nyaring, tetapai sama`-Nya (Ia
Mendengar) bukan seperti kita mendengar, karena kita mendengar dengan
wasithah telinga dan sama` Allah (Ia Mendengar) bukan dengan wasithah
sesuatu.
………………………………………………………………………………
tetapi bashar-nya (Allah Ta`ala Melihat) bukanlah seperti bashar-nya kita
karena bashar kita yakni kita melihat dengan wasithah mata dan bashar
Allah SWT bukan dengan wasithah sesuatu (Imran M. B., 1918-a: 13).

Basioeni Imran tidak memberikan penjelasan lebih lanjut perihal “bagaimana”

Tuhan mendengar dan melihat selain hanya menyatakan berbeda dengan

mendengar dan melihatnya manusia dengan menggunakan (perantaraan) alat

Selanjutnya penjelasan lebih lengkap tentang para guru al-Asy`ari, proses peralihannya dari
seorang Mu`tazilah menjadi mendirikan aliran sendiri dan ulasan kitab-kitabnya dapat dibaca
dalam: Asep Saifuddin Chalim. (2012). Membumikan Aswaja, Pegangan Para Guru NU: 80-
95.
345

(telinga dan mata) karena Tuhan mendengar dan melihat tidak dengan

menggunakan (perantaraan) sesuatu. Ini menunjukkan bahwa Basioeni Imran

mengikuti pendapat al-Asy`ari dan dengan demikian bisa dikatakan ia termasuk

dalam atau menganut aliran Asy`ariyah.114

Pandangan al-Asy`ari tentang sifat Tuhan selanjutnya dikembangkan lebih

lanjut oleh para tokoh ulama pengikutnya.115 Al-Juwaini116 dalam kitab al-Irsyad

membagi sifat Tuhan kepada sifat nafsiyah dan ma`nawiyah. Sifat nafsiyah adalah

sifat itsbat (positif) bagi Zat yang selalu ada sepanjang Zat ada, tanpa dikarenakan

sesuatu yang ada pada Zat. Sifat nafsiyah ialah qidam, berdiri sendiri (qiyamuh bi

nafsih), berbeda dengan makhluk, ke-esa-an (wahdaniyah), dan tidak mempunyai

ukuran. Sifat ma`nawiyah adalah yang timbul (ada) karena sesuatu illat yang ada

pada Zat, seperti sifat berkuasa (qadirun) (Hanafi, 1987: 112-113).

Konsep sifat Tuhan dikembangkan lebih lanjut oleh al-Sanusi,117 yang

114
Dalam memahami sifat Tuhan, diduga kuat Basioeni Imran juga mengikuti pendapat gurunya
Rasyid Ridha (yang terikat dengan pandangan Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah) yang berpegang
teguh pada pemahaman Alquran secara tekstual dan tidak berkehendak sama sekali
menggunakan akal rasional. Sifat-sifat Tuhan selayaknya dikembalikan pemahamannya kepada
Allah dan Rasulnya. Terhadap ayat-ayat tajassum Rasyid Ridha tidak mau menafsirkan atau
menakwilkannya. Dengan demikian, Rasyid Ridha juga mengikuti konsep bila kaifa-nya Al-
Asy`ari.
115
Tokoh-tokoh ulama aliran Asy`Ariyah antara lain: (1) Al-Baqillani (w. 403 H.); (2) Ibn Faurak
(406 H.); (3) Ibn Ishaqal-Isfaraini (w. 418 H.); (4) Abdul Kahir al-Bagdadi (w. 429 H.); (5)
Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H.); (6) Abdul Muzaffar al-Isfaraini (w. 478 H.); (7)
Imam al-Ghazali (w. 505 H.); (8) Ibn Tumart (w. 524 H.); (9) As-Syihristani (w. 548 H.); (10)
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H.); (11) Al-`Iji (w. 756 H.); dan (12) Al-Sanusi (w. 895 H.)
(Hanafi, 1987: 110).
116
Al-Juwaini, namanya Abu al-Ma`ali bin Abdillah, lahir di Naisabur (Iran) dan kemudian
tinggal di Bagdad. Ia ahli bidang Ushul Fikih dan Theologi Islam. Ia menjunjung tinggi
kekuasaan akal pikiran mengikuti jejak al-Baqillani dan al-Asy`ari, dan karena hal tersebut
menimbulkan kemarahan ahli hadis. Akhirnya ia meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan
bertempat tinggal di Mekah dan kemudian di Madinah untuk mengajar di sana. Karena
kegiatannya di Mekah dan Madinah maka ia digelari dengan “Imam al-Haramain”. Setelah
Madrasah Nizamiyah didirikan di Naisabur, al-Juwaini kemudian diminta kembali ke
negerinya dan mengajar di sana (Hanafi, 1987: 112; 1990: 64).
117
Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf, kelahiran Tilimsan, Aljazair. Mula-
mula ia belajar kepada ayahnya sendiri dan ulama-ulama terkemuka di negerinya, kemudian
346

merumuskan secara praktis menjadi 20 sifat wajib bagi Allah (Tim Aswaja NU

Center PWNU Jawa Timur, 2016: 131-132). Salah satu kitab al-Sanusi yang

terkenal adalah Ummu al-Barahin disebut juga Aqidah al-Tauhid kecil atau lebih

dikenal dengan nama al-Risalah al-Sanusiyah. Di dalam kitab kecil ini sifat-sifat

Tuhan dan Rasul-Nya diformulasi dan dikategorisasi lebih jelas. Sifat-sifat Tuhan

dan Rasul-Nya dibagi menjadi sifat wajib, mustahil dan jaiz. Sifat wajib ada 20

sifat, yaitu 6 sifat nafsiyah, 7 sifat ma`ani, dan 7 sifat ma`nawiyah. Sifat mustahil

ada 20 juga, yaitu kebalikan dari sifat-sifat wajib. Sifat jaiz ada satu, yaitu bahwa

segala pekerjaan Tuhan bersifat Jaiz. Al-Sanusi juga merinci sifat Rasul menjadi

empat, yaitu siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan

tugas risalahnya) dan fathanah (cerdas, pandai). Sifat mustahil bagi Rasul-Nya

juga empat yaitu kebalikan dari sifat wajib. Sedangkan sifat jaiz bagi Rasul ada

satu, yaitu mempunyai sifat kemanusiaan yang tidak mengurangi martabat mereka

sebagai Rasul (Hanafi, 1987: 121-122).

Dalam menjelaskan sifat-sifat Allah, Basioeni Imran tidak terlalu panjang

dan mendetil atau dengan kajian yang lebih mendalam. Hal ini, sebagaimana telah

disebutnya pada bagian pendahuluan, karena disesuaikan dengan perasaan

Melayu. Penjelasannya disesuaikan dengan kadar kemampuan pemahaman

masyarakat yang menjadi sasaran atau pembaca kitab Bidayah al-Tauhid. Basioeni

Imran tidak berupaya memberi takwil apalagi tafsir yang filosofis agar tidak

melanjutkan pelajarannya di kota Aljazai pada seorang ulama bernama Abdur Rahman
Attsa`alibi. Para ulama Maghribi (negara-negara Afrika Utara) menganggapnya sebagai
pembangun Islam karena jasa dan karyanya dalam lapangan keagamaan dan ketauhidan. Di
antara karyanya adalah: (1) `Adidah Ahl al-Tauhid (disebut juga Aqidah al-Tauhid besar) dan
ulasannya yang berjudul Umdah Ahl al-Tauhid wa al-Tasdid; (2) Umm al-Barahin (disebut
juga Aqidah al-Tauhid kecil).
347

membingungkan pembaca kitabnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, upaya

untuk tidak menjelaskan secara detil sifat-sifat Tuhan tersebut adalah mengikuti

konsep bila kaifa-nya al-Asy`ari. Sebagai contoh, dalam menjelaskan kewajiban

beriman kepada sifat kalam Allah, Basioeni Imran menulis sebagai berikut:

Kalam artinya berkata-kata dan i’tiqad dengan kalam itu kita i’tiqad-kan
bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan kalam dan kalam-Nya (perkataan-Nya)
tiada menyerupai akan kalam (perkataan) kita. Karena, perkataan kita
makhluk (yang dijadikan) pada kita, lagi dengan wasithah alat daripada
mulut dan lidah dan dua bibir, dan kalam Allah SWT bukan demikian, dan
kalam Allah itu Mahasuci daripada huruf dan suara. Allah Ta’ala
mutakallim (berkata-kata) dan mustahil atasnya lawanan kalam yaitu
bakam (kelu dan bisu) (Imran M. B., 1918: 12).

Hal yang sama juga dilakukan Basioeni Imran saat menjelaskan sifat sama` dan

bashar (Imran M. B., 1918: 13).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa Basioeni Imran berpendapat

Tuhan mempunyai sifat. Meskipun demikian, sifat Tuhan tidaklah sama dengan

sifat yang ada pada manusia. Dari pandangannya yang demikian, dapat dikatakan

Basioeni Imran menganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Harun Nasution

(2013: 136-137) menjelaskan baik kaum Asy’ariah maupun kaum Maturidiah

(khususnya golongan Bukhara) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat.

Pada bab kedua kitab Bidayah al-Tauhid, Basioeni Imran membahas

secara singkat perihal beriman kepada malaikat. Baisoeni Imran mendefinisikan:

“Malaikat ialah hamba Allah Ta’ala yang semata-mata taat akan Allah dan tiada

sekali-kali mereka itu mendurhakai akan Dia” (Imran M. B., 1918: 15). Karena

malaikat adalah makhluk Allah yang ghaib, maka tidak ada yang mengetahui

hakikatnya melainkan Allah. Manusia tidak dapat melihat rupa jism malaikat

karena ia jism yang halus. Berbeda dengan para nabi yang dimungkinkan melihat
348

malaikat karena itu bersifat khushushiyah supaya para nabi menerima segala

perkara agama dan hukum-hukum dari malaikat itu. Manusia tidak wajib

mengetahui hakikat malaikat. Bagi Basioeni Imran:

Memadai iman dengan malaikat itu dengan ijmal dan yang wajib
mengetahuinya dengan tafshil (uraian satu-satu) yaitu Jibril, Mikail, Israfil,
‘Izrail, Ridwan, Malik, Raqib, ‘Atid. Maka jadi kafir orang yang ingkar
akan satu dari pada yang tersebut itu tidak akan yang lain, demikian kata
mereka itu (Imran M. B., 1918, hal. 16).

Penjelasan Basioeni Imran tentang iman kepada malaikat ini sama dengan doktrin

Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah dalam masalah kauniyyat (kosmos) yang salah

satunya adalah wajib percaya kepada adanya malaikat, yaitu makhluk halus yang

diciptakan Allah dari cahaya. Jumlah mereka banyak sekali, tetapi yang wajib

dipercayai secara terperinci adalah 10, yaitu: Jibril, Mikalil, Israfil, Izrail, Munkar

dan Nakir, Raqib dan Atid, Malik dan Ridwan (Chalim, 2012: 75-76).

Perbedaannya hanya pada malaikat Munkar dan Nakir yang tidak disebutkan oleh

Basioeni Imran, karena ia dibahas saat membicarakan alam kubur.

Pembahasan berikutnya di dalam kitab Bidayah al-Tauhid adalah bab

ketiga tentang iman dengan kitab-kitab Allah. Basioeni Imran memulai

pembahasannya tentang iman kepada kitab-kitab dengan menyatakan:

Kita i’tiqad-kan bahwasanya Allah Ta’ala telah menurunkan beberapa


kitab atas nabi-nabi dan Ia nyatakan di dalamnya akan perintah-Nya dan
tegah-Nya dan wa’ad-Nya (janji-Nya dengan baik) dan wa’id-Nya
(ancaman-Nya dengan siksa) dan kitab-kitab itu ialah kalam Allah Ta’ala
pada hakikat yang zhahir daripadanya dengan tiada ada kaifiyat perkataan
(Imran M. B., 1918: 17).

Disebutkan oleh Basioeni Imran jumlah kitab-kitab itu sebanyak seratus

empat, terdiri dari shuhuf-shuhuf dan kitab-kitab. Shuhuf Syis sebanyak 60,

shuhuf Ibrahim 30, shuhuf Musa (sebelum Taurat) 10 dan ditambah empat kitab
349

(Taurat Nabi Musa, Zabur Nabi Daud, Injil Nabi Isa dan Alquran Nabi

Muhammad). Selanjutnya bagi umat Islam sudah cukup memadai beriman atau

percaya bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab dengan ijmal melainkan

empat yang wajib diketahui dengan tafshili (terperinci). Penjelasan Basioeni

Imran ini sama dengan keyakinan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah seperti yang

dijelaskan oleh Chalim (2012: 75) bahwa kaum muslimin wajib mempercayai

adanya kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah kepada para rasul-Nya untuk

disampaikan kepada umatnya. Kitab suci yang diturunkan Allah banyak sekali,

tetapi yang wajib diketahui secara terperinci ada empat, yaitu Taurat, Zabur, Injil

dan Alquran.

Selanjutnya dijelaskan makna beriman kepada kitab Taurat, Zabur, Injil

dan Alquran. Khusus terhadap Injil, yang wajib diimani adalah kitab yang

diturunkan Allah kepad Nabi Isa al-Masih, bukan kepada kitab-kitab yang dibaca

oleh orang-orang sekarang. Menurut Basioeni Imran, kitab yang dibaca orang

sekarang ada empat naskah yang dikarang oleh empat orang yang sebagian

mereka tidak melihat Isa AS. sama sekali. Keempat kitab tersebut saling

menyalahi (bertentangan). Sebenarnya masih ada kitab-kitab lain yang dikarang

sekitar dua ratus tahun setelah nabi Isa diangkat ke langit. Tetapi saat ini hanya

empat kitab yang dibaca, yaitu: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes (Imran M.

B., 1918-a: 17-20).

Bab keempat kitab Bidayah al-Tauhid membahas tentang iman kepada

Rasul-rasul. Dijelaskan bahwa beriman kepada Rasul bermakna meyakini bahwa

Allah mengirim beberapa orang menyampaikan perintah Allah untuk berbuat baik
350

dan melarang berbuat buruk untuk semua manusia. Allah kuatkan kerasulan

mereka dengan tanda-tanda yang zhahir dan mukjizat. Nabi adalah manusia yang

diturunkan kepadanya wahyu dengan syarak tetapi tidak diperintahkan

menyampaikannya kepada manusia. Sedangkan Rasul adalah manusia yang

diturunkan kepadanya wahyu dengan syarak dan diperintahkan kepadanya

menyampaikannya kepada semua manusia. Jumlah nabi tidak diketahui dengan

pasti, namun yang disebutkan di dalam Alquran ada 25 orang mulai dari Nabi

Adam AS. sampai Muhammad SAW. Menurut sebagian ulama jumlah Rasul ada

313 orang dan Nabi 124.000 orang, sebagian lagi mengatakan setengahnya.

Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan riwayat dari Rasulullah SAW

(Imran M. B., 1918-a: 20-22).

Terkait mukjizat yang menyertai para nabi atau rasul, Basioeni Imran

mendefinsikannya:

Mukjizat ialah perkara yang ‘mencarik’ (menyalahi) adat zhahir atas


tangan orang yang mendakwah nubuwwah (kenabian) berbetulan bagi
dakwahnya atas jalan yang melemahkan orang-orang yang ingkar daripada
mendatangkan akan seumpamanya (Imran M. B., 1918-a: 22)..

Hikmah atau manfaat mukjizat adalah menunjukkan kebenaran apa yang

didakwahkan oleh para Rasul karena setiap dakwah yang tiada disertai dalil

(keterangan) maka ia tak akan didengar. Mukjizat juga untuk membedakan

mereka dengan orang yang mendakwahkan nubuwah dengan dusta (nabi / rasul

palsu). Berbeda dengan mukjizat, sihir adalah suatu perkara yang menyalahi adat

pada mula-mula dilihat yang dapat didatangkan yang seumpamanya karena ia

terjadi karena beberapa sebab. Jika Mukjizat terbit dari nafsu yang bersih

(melahirkan kebaikan dan petunjuk), sedangkan sihir terbit dari nafsu yang jahat
351

(melahirkan fasad atau kerusakan). Mukjizat juga berbeda dengan karomah, di

mana karomah adalah perkara yang menyalahi adat yang ada pada waliy

sedangkan mukjizat pada diri nabi.

Basioeni Imran juga menjelaskan di dalam bab tentang beriman kepada

nabi tentang sifat-sifat wajib bagi para nabi (shidq = benar; amanah =

kepercayaan; tabligh = menyampaikan; dan fathanah = cerdik bijaksana), sifat-

sifat yang mustahil (kazib = dusta; khiyanat = mendurhaka; kitman =

menyembunyikan; dan ghaflah = lali), sifat-sifat jaiz (segala yang melekat pada

manusia seperti makan, minum, tidur dengan mata, dsb.). Basioeni Imran

menjelaskan hikmah datangnya penyakit pada para nabi / rasul, antara lain:

menambah besar pahala, kesabaran dan ketabahan para nabi / rasul; supaya orang

lain tahu dunia ini tempat bala’ dan cobaan; agar tidak menuhankan para nabi /

rasul saat melihat mukjizat mereka; agar orang lain tetap menganggap para nabi /

rasul itu hamba Allah yang lemah untuk menolak ketentuan Allah. Harus juga

dipahami bahwa adanya perbedaan-perbedaan kecil dalam hal hukum yang

dibawa para rasul karena adanya perbedaan umat yang dihadapi, masa, tempat, hal

dan tabiat (Imran M. B., 1918-a: 26-31). Seperti yang telah dinyatakan di atas, al-

Sanusi, salah seorang tokoh aliran Asy`ariyah merupakan ulama yang

menjelaskan bahwa Rasul-Nya memiliki empat sifat wajib dan empat sifat

mustahil serta satu sifat jaiz sama seperti yang dijelaskan oleh Basioeni Imran

dalam kitabnya ini. Oleh karena itu, jelas bahwa pemahaman tentang iman kepada

Nabi ini mengikuti pandangan al-Sanusi dan dengan demikian termasuk dalam

aliran Asy`ariyah. Demikian juga dengan keyakinan adanya mukjizat bagi Rasul
352

juga merupakan salah satu dari ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah (Hanafi,

1987: 128; Chalim, 2012: 74).

Setelah membahas perihal nabi / rasul secara umum, pada bagian

berikutnya Basioeni Imran menjelaskan perihal Nabi Muhammad SAW.

Penjelasannya dimulai dengan penjelasan singkat perbedaan Nabi Muhammad

dengan para nabi terdahulu. Ada tiga perbedaan antara Nabi Muhammad dengan

para nabi dan rasul yang lain, yaitu: pertama, ia seafdal-afdal nabi dan rasul dan

seafdal-afdal sekalian makhluk; kedua, ia disuruh dan dikirim kepada sekalian

manusia dan jin; ketiga, bahwa ia kesudahan nabi-nabi maka tiada ada lagi nabi

kemudiannya. Syariat Islam itu bersetuju [bersesuaian] dengan segala umat pada

segala masa dan hal, dan karenanya tidak diperlukan lagi nabi setelahnya karena

kesempurnaan syariatnya itu (Imran M. B., 1918-a: 31-32). Basioeni Imran

menjelaskan mukjizat Nabi Muhammad banyak, tetapi setengah dari semua itu

adalah Alquran. Kemukjizatan Alquran karena di dalamnya [ayat-ayatnya]

melemahkan akal dan pikiran ahli akal dan pikiran. Mukjizat lainnya adalah

keluar air dari celah-celah jari pada saat musafir (saat bepergian) serta

memperbanyak makanan yang sedikit.

Pada bagian berikutnya, Basioeni Imran menjelaskan cukup panjang

tentang sirah (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Sirah nabi diawali dengan

penjelasan singkat kemuliaan sifat dan perilaku Rasulullah Muhammad SAW. Ada

hal menarik yang disampaikan Basioeni Imran: “Daripada kesempurnaan iman

dan Islam yaitu mengetahui nasab (bangsa) nabi kita SAW. maka yang demikian

wajib seperti kata setengah ulama kalam” (Imran M. B., 1918-a: 35). Atas dasar
353

pandangannya inilah maka ia selanjutnya memaparkan cukup panjang sejarah dan

nasab Nabi Muhammad. Basioeni Imran (1918-a: 36) mengemukakan ayahnda

Nabi Muhammad, yaitu Abdullah wafat saat ia berusia dua tahun, hal yang

berbeda dari kebanyakan pendapat sejarawan (yang mengatakan Abdullah wafat

saat Muhammad baru berusia dua bulan di dalam rahim ibunya Aminah). Dalam

sirah Nabi ini, dijelaskan tentang peristiwa-peristiwa peperangan selama periode

Madinah, wafat dan anak-anak Nabi Muhammad, para khulafa al- rasyidin.

Di bagian akhir bab tentang iman kepada Nabi, Basioeni Imran membahas

tentang persoalan imamah setelah pembahasan khulafa al-rasyidin. Basioeni

Imran mengatakan:

Wajib atas orang-orang Islam mendirikan imam (raja) yang meluluskan


akan segala hukum Allah dan mendirikan had-had dan menutup jalan
seteru dan membangkitkan bala tentara dan lain-lain maslahat yang
diperintahkan oleh Kitab dan Sunnah. Dan segayanya bahwa imam itu
daripada Quraisy jika ada pada mereka itu orang-orang yang patut karena
hadis “ ‫ ” االئمة من قريش‬bermula imam-imam itu daripada Quraisy.
Disyaratkan keadaannya muslim, merdeka, laki-laki, akil baligh, pandai
siasat (selidik) dan kuasa memperbuat mashlahat.
………………………………………………………………………………
Dan harus bagi imam itu menentukan akan seorang untuk gantinya
kemudian seperti yang diperbuat oleh Abu Bakar dengan Umar (Imran M.
B., 1918-a: 42-43).

Pembahasan iman akan adanya hari kemudian dibahas oleh Basioeni

Imran dalam bab kelima kitabnya Bidayah al-Tauhid. Iman kepada hari kemudian

bermakna: “Membenarkan bahwa tiada boleh tiada akan datang dan zhahir

padanya sekalian barang yang warad (datang) di dalam Quran dan Hadis pada hal

keadaannya” (Imran M. B., 1918-a: 43). Hari akhir sendiri dimaknai oleh Basioeni

Imran sebagai hari yang besar susahnya, manusia dibangunkan dari alam

kuburnya kemudian mereka berhimpun di suatu tempat untuk dihitung segala


354

amalnya untuk selanjutnya dibalas dengan nikmat atau siksa, ialah hari kiamat

atau hari akhir, akhir dari seluruh hari. Tercakup di dalam keyakinan kepada hari

akhir adalah keyakinan adanya:

1) Soal [pertanyaan] kubur berserta nikmat atau siksanya;

2) Dihimpunnya seluruh tubuh ke mahsyar;

3) Kembalinya seluruh makhluk sebagaimana mulanya.

4) Hisab dan mizan (timbangan);

5) Diberikannya surat [catatan amal] di sebelah kanan atau kiri;

6) Shirat (titian);

7) Masuknya orang-orang beriman ke surga tempat nikmat dan masuknya orang-

orang kafir ke neraka tempat siksa yang amat pedih.

Basioeni Imran menyatakan harus diyakini bahwa mayat setelah diantar ke

kubur maka ruhnya akan dikembalikan ke jasadnya dengan kadar ia paham

perkataan dan menjawab pertanyaan. Akan datang dua malaikat menghampiri,

Munkar dan Nakir, yang akan mengajukan pertanyaan tentang Tuhan, Nabi,

agama, seluruh kewajiban yang telah diperintahkan Allah. Jika mayat itu orang

beriman yang beramal saleh, maka ia akan mampu menjawab pertanyaan malaikat

tersebut dengan taufik atau petunjuk Allah dengan jawaban yang benar tanpa

gentar dan takut kepada kedua malaikat. Setelah itu Allah akan membukakan

pandangan orang tersebut dan dibukakan pintu surga. Selanjutnya dikatakan

kepadanya inilah balasan bagi orang yang selama di dunia berada di jalan yang

lurus. Jika mayat tersebut termasuk orang kafir atau munafik, maka ia akan heran

dan tidak tahu apa yang hendak dijawabkan kepada kedua malaikat Munkar dan
355

Nakir. Kedua malaikat itu akan menyiksanya dan dibukakan pandangannya dan

pintu neraka serta bermacam-macam siksa untuknya. Kedua malaikat itu berkata

kepada mayat bahwa itulah balasan orang yang kafir kepada Tuhan dan mengikuti

hawa nafsunya (Imran M. B., 1918-a: 44-45).

Keyakinan berikutnya adalah bahwa semua manusia yang telah wafat akan

dijadikan Allah seperti kejadiannya seperti semula untuk selanjutnya dikumpulkan

di suatu tempat yang bernama mauquf (mahsyar). Di tempat tersebut juga akan

berkumpul semua jin, malaikat dan binatang. Setelah semuanya berkumpul, maka

Allah akan menghisab setiap orang atas apa yang diperbuatnya (baik dan jahat).

Kepada manusia akan diperlihatkan segala perbuatan baik atau jahatnya sekecil

apa pun perbuatan itu. Selanjutnya harus diyakini bahwa setelah dilakukan hisab,

setiap orang akan ditimbang perbuatan baik dan jahatnya. Jika perbuatan baiknya

lebih berat daripada perbuatan jahatnya, maka akan diberikan kepadanya kitab

atau surat dengan tangan kanan dan ia memperoleh keuntungan yang besar.

Sebaliknya jika kejahatannya lebih berat dari kebajikannya maka diberikan

kitabnya dengan tangan kiri dan ia merugi dengan kerugian yang nyata (Imran M.

B., 1918-a: 45-47).

Shirat adalah titian yang dibentangkan atas belakang neraka jahanam

supaya dilewati semua manusia menuju surga. Sebagian orang beriman

melewatinya bagaikan secepat kilat atau secepat kuda atau yang berjalan lambat di

atasnya. Orang-orang kafir dan mukmin yang berbuat maksiat (durhaka) mereka

akan jatuh ke dalam api neraka. Kita juga harus meyakini bahwa Rasulullah

Muhammad SAW memiliki syafa`at yang diberikan kepada sebagian orang-orang


356

mukmin yang maksiat (durhaka). Sedangkan orang kafir tidak akan mendapatkan

syafa`at. Basioeni Imran juga menulis bahwa di dalam surga ada sungai bernama

al-Kausar yang akan dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad (Imran M.

B., 1918-a: 37-38).

Di akhir bab kelima kitab Bidayah al-Tauhid dibahas tentang surga dan

neraka. Mukmin yang taat akan masuk surga dan kekal di dalamnya. Orang kafir

atau munafik akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Sedangkan mukmin

yang maksiat jika Allah ampunkan maka akan masuk surga dari mula-mula dan

kekal selamanya. Namun jika tidak diampunkan Allah maka ia akan masuk neraka

sesuai kadar dosanya kemudian dikeluarkan dari neraka untuk selanjutnya

dimasukkan ke dalam surga untuk selanjutnya kekal di dalamnya (Imran M. B.,

1918-a: 49).

Memperhatikan pembahasan Basioeni Imran dalam hal iman kepada

adanya hari kemudian yang meliputi pertanyaan di alam kubur, berkumpulnya

manusia di mahsyar, adanya timbangan, shirath, dan syafa`at, surga dan neraka

semuanya adalah bagian dari doktrin aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah

(Hanafi, 1987: 128). Chalim (2012: 77-78) menjelaskan bahwa di antara

keyakinan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah dalam hal ghaibiyyat (perkara ghaib)

adalah setiap orang muslim wajib mempercayai adanya hari akhirat. Permulaan

hari akhirat bagi setiap orang adalah sesudah mati, dengan melalui proses dan

tahapan sebagai berikut. Setiap orang akan mati apabila jangka usianya sudah

habis. Setelah mati ia akan dikubur. Dalam kubur ia akan ditanya oleh malaikat

Munkar dan malaikat Nakir tentang siapa Tuhanmu, siapa nabimu, siapa imammu,
357

dan pertanyaan-pertanyaan lain. Orang yang jahat akan disiksa di dalam kubur.

Kemudian pada saatnya nanti terompet akan dibunyikan sehingga seluruh orang

yang mati akan bangun kembali dan berkumpul di padang Mahsyar. Setelah itu

akan ada hisab, yaitu perhitungan pahala dan dosa manusia. Di padang Mahsyar

akan ada syafa`at (pertolongan) dari Nabi Muhammad SAW dengan izin Allah

SWT. Lalu akan ada timbangan untuk menimbang pahala dan dosa. Akan ada

jembatan shirath al-mustaqim, yang dibentangkan di atas neraka yang akan dilalui

oleh semua manusia. Akan ada telaga Kautsar di dalam surga, dimana orang-orang

beriman akan dapat minum di sana. Orang yang lulus ujian dengan meniti

jembatan tersebut akan selamat dan masuk surga Jannatun Na`im, sedangkan

orang kafir akan jatuh ke neraka. Orang yang baik akan langsung masuk surga dan

kekal selama-lamanya. Orang kafir akan masuk neraka selama-lamanya. Orang

mukmin yang berdosa dan mati sebelum bertaubat akan masuk ke dalam neraka

buat sementara, dan sesudah dihukum akan dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam

surga untuk selama-lamanya. Orang mukmin yang baik akan diberi nikmat apa

saja yang ia sukai di dalam surga, dan akan diberi nikmat tambahan yang paling

besar dan paling lezat, yaitu melihat Allah SWT. Dengan demikian, jelas bahwa

doktrin keimanan kepada hari akhir yang disajikan Basioeni Imran dalam bab

kelima kitab Bidayah al-Tauhid adalah doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.

Bab terakhir atau bab keenam dari kitab Bidayah al-Tauhid menjadi

pembahasan yang cukup penting, karena terkait dengan pemikiran Basioeni Imran

tentang qadha dan qadar. Beriman kepada qadha dan qadar menurut Basioeni

Imran adalah:
358

Kita i’tiqad-kan bahwa sekalian perbuatan hamba sama ada yang ikhtiar
seperti berdiri dan duduk, makan dan minum, atau yang darurat seperti
gugur (jatuh) yaitu adalah ia dengan iradat Allah Ta’ala dan takdir-Nya
pada azali dan dengan ilmu-Nya (pengetahuan-Nya) dengan dia sebelum
waktunya (Imran M. B., 1918: 50).

Dengan definisi tersebut terkesan bahwa manusia tidak memiliki kuasa apa pun

dalam mewujudkan perbuatannya. Terkait hal ini, Basioeni Imran mengatakan

manusia tetap memiliki kuasa atas perbuatannya dengan mengatakan bahwa

hamba memiliki juzu’ (suku-suku) iradat yang dengan iradat itu ia kuasa

memalingkan perbuatannya kepada kebajikan atau kejahatan. Selain itu, hamba

juga memiliki akal yang mampu bedakan antara kebajikan atau kejahatan. Jika

hamba memalingkan iradatnya kepada kejahatan maka lahirlah kebajikan itu atas

tangannya sebagaimana yang ia kehendaki dan karenanya diberi pahala atas

wujudnya perbuatan kebajikan itu. Demikian pula sebaliknya, jika hamba

memalingkan kepada kejahatan maka lahirlah kejatahan dan ia disiksa karena

lahirnya perbuatan itu atas tangannya. Perbuatan manusia dapat dilihat dari dua

sudut pandang. Pertama perbuatan dengan ikhtiar dan iradat dirinya seperti ia

makan dan minum. Kedua, perbuatan yang bukan dengan ikhtiarnya seperti gugur

(terjatuh). Untuk perbuatan yang dengan ikhtiar dan iradat dirinya, maka hamba

tersebut akan mendapatkan pahala atau dosa. Sedangkan perbuatan hamba yang

darurat maka ia tidak mendapat pahala atau dosa (Imran M. B., 1918-a: 50-51).

Berkaitan dengan masalah takdir, Basioeni Imran mengatakan Sunnah

Allah itu adalah mengikuti hukum sebab akibat. Sebagai contoh, saat menjelaskan

kemajuan yang diperoleh oleh bangsa-bangsa asing (nonmuslim) sesungguhnya

mengikuti sunnah Allah.


359

Bahkan boleh dikatakan bahwa mereka itoe hamba2 Allah jang Shalih
tentang mereka itoe menoeroet soennah Allah dan djalannja pada
machloeknja karena Allah Ta’ala mendjadikan segala sesoeatoe dengan
sebabnja, mitsalnja kekajaan sebabnja oesaha seperti berkeboen,
bertoekang, berniaga, dan lainnja maka barang siapa mendjalani sebab-
sebabnja nistjaja dapatlah ia kekajaan atau kesenangan baik poen ia
Moeslim atau kafir, dan barang siapa meninggalkan sebab-sebab kekajaan
atau kesenangan hanja memangkoe tangan atau berselimoet dengan
selimoet kemalasan, bersenang diri atau berharapkan barang jang di dalam
tangan orang nistjaja djadilah ia papa dan tidak menaroeh apa2 maka
djadilah ia miskin dan faqir dan hina sama ada ia Moeslim atau kafir.
Maka barang siapa jang memperbaikkan perdjalanan doenianja dan
achiratnja nistjaja djadilah ia baik dan shalih di dalam kedoeanja dan inilah
haloean Agama Islam jang diseroe sekalian manoesia kepadanja. Dan ialah
soennah Allah pada machloeknja maka firmannja:

           


“Bahwa sanja Allah tiada mengoebahkan akan barang jang ada dengan
satoe kaoem hingga mereka itoe mengoebahkan barang2 jang ada dengan
diri2 mereka itoe” (Imran M. B., 1933-a: 3-4).

Setelah menjelaskan makna enam rukun iman, Basieoni Imran

menjelaskan berbagai hal lain yang terkait dengan keimanan dalam bentuk tanya

jawab (Imran M. B., 1918-a: 52-59). Berikut ini beberapa intisari dari tanya jawab

seputar keimanan menurut pendapat Basioeni Imran. Akal manusia terbatas untuk

mengetahui hakikat zat Allah, dan apa pun yang terlintas di pikiran tentang Allah,

maka semua itu tidak sama dengan Allah. Cara mengatahui Allah adalah dengan

mengetahui segala sifat-sifatnya. Mengatahui Allah tidak mesti dengan mata

kepala, cukup dengan memperhatikan makhluk ciptaan-Nya yang sempurna,

indah dan menakjubkan akal manusia. Ibarat melihat satu kitab, maka pastilah ada

yang menulis kitab tersebut, meskipun penulisnya tidak bisa dilihat atau didengar

beritanya. Demikian juga Allah, bisa diketahui ada-Nya dengan melihat segala

ciptaannya yang sempurna. Memahami wujud Allah yang tidak dapat dilihat

dengan mata kepala ibarat mengetahui wujudnya ruh (nyawa). Ruh diketahui
360

wujudnya dari bekas ruh itu. Keyakinan terhadap kesempurnaan Allah didasarkan

pada melihat kesempurnaan ciptaan-Nya. Manusia tidak harus mengetahui hakikat

ruh, karena keterbatasan akal. Membahas hakikat ruh hanya menghabiskan waktu,

karena akal manusia tidak akan sampai pada memahami hakikatnya. Melihat

Allah dengan penglihatan yaitu mungkin (boleh) pada akal jatuh di dalam syirik

bagi orang-orang mukmin. Manusia melihat Allah dengan penglihatan dengan

tanpa kaifiyat pada hari kiamat. Sedangkan bagi orang-orang kafir, maka akan

didinding (dihalangi) untuk melihat Allah.

Seafdal-afdal (seutama-utama) umat adalah umat Nabi Muhammad SAW.

dibanding dengan umat nabi-nabi lain, dan seafdal-afdal umat Muhammad adalah

para sahabat yang berhimpun dengan Nabi dan beriman kepadanya. Dari para

sahabat tersebut maka yang paling afdal adalah khalifah yang empat (Abu Bakar,

Umar, Usman, Ali).

Di bagian akhir kitab tersebut, Basieoni Imran juga menyinggung tentang

hadiah pahala dari orang yang hidup kepada orang yang telah meninggal:

“Sedekah adalah barang yang diingini dan doa dan tadharru’ kepada Allah itu

dituntut kedua-duanya memberi manfaat bagi orang yang hidup dan orang mati”

(Imran M. B., 1918-a: 56). Berkaitan dengan wujud surga dan neraka, Basioeni

Imran mengatakan bahwa surga melengkapi atas dua nikmat ruhani dan jasmani

demikian juga neraka melengkapi atas azab jasmani dan azab ruhani. Surga dan

neraka besifat kekal dan keduanya telah ada wujudnya sekarang. Berkenaan

dengan perbedaan pendapat para mujtahid, Basioeni Imran menyebutkan bahwa

para ulama memilih taklid kepada empat imam mazhab (Abu Hanifah al-Nu’man
361

ibn Tsabit, Malik bin Anas, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i dan Ahmad bin

Hanbal). Para mujtahid tidak berbeda pendapat pada persoalan ushul agama dan

ibu-ibu furu’nya karena penetapannya dengan dalil yang qath’i. Para mujtahid

berbeda pendapat hanya pada sebagian masalah furu’ [cabang] karena tiada

penetapannya dengan dalil yang qath’i. Karena para mujtahid telah mengerahkan

seluruh kemampuannya dalam penetapan hukum tersebut, mereka akan

mendapatkan dua pahala jika hasil ijtihadnya benar dan mendapatkan satu pahala

jika hasil ijtihadnya keliru.

4.1.2 Isra Mikraj

Isra Mikraj merupakan sebuah peristiwa luar biasa yang dialami oleh

Rasulullah Muhammad SAW. Peristiwa Isra Mikraj sangat terkait dengan masalah

keimanan, karena peristiwanya sulit diterima oleh akal dan logika manusia. Isra

Mikraj hanya bisa diterima kebenaran beritanya oleh orang-orang yang memiliki

keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasulnya. Oleh karena itu, pendapat

Basioeni Imran tentang hal ini dimasukkan dalam aspek pemikiran teologis.

Secara khusus Basioeni Imran menjelaskan peristiwa Isra Mikraj dalam sebuah

kitab berjudul Nur al-Siraj fi Qishshat al-Isra wa al-Mi'raj (1938) (selanjutnya

ditulis Nur al-Siraj).

Pada bagian awal kitab Nur al-Siraj Basioeni Imran menjelaskan latar

belakangnya menulis kitab tersebut. Disebutkan bahwa telah menjadi tradisi di

kalangan umat Islam pada setiap malam tanggal 27 Rajab diadakan acara

pembacaan kisah Isra Mikraj dan bahkan ditambah dengan cerita-cerita Rasulullah
362

yang lainnya. Karena masyarakat sering mendengar cerita yang panjang, maka

untuk membantu masyarakat agar lebih mudah memahami peristiwa Isra Mikraj

disusunlah kitab ini.

Di bagian awal kitab Nur al-Siraj, Basioeni Imran menjelaskan makna Isra

dan Mikraj:

Artinya Isra ialah berjalan malam yakni Nabi SAW berjalan atau pergi
pada satu malam dari Mekah al Musyarrafah ke Baitul Maqdis di negeri
Syam. Adapun arti Mikraj maka ialah naik, yakni Nabi SAW pada malam
itu jua naik ke langit atau ke alam yang di atas. Dan ceritera Isra itu
tersebut di dalam Alquran seperti yang akan datang tafsir ayat:
    
Hingga akhirnya. Dan adapun Mikraj maka tiada disebut di dalam Quran
hanya ia disebut di dalam hadis-hadis Nabi SAW dan yang paling shahih
riwayatnya ialah yang diriwayatkan oleh dua syaikh al-Bukhari dan al-
Muslim (Imran M. B., 1938-c: 4).

Menarik untuk diperhatikan bahwa yang maksud naik ke langit juga diberi

tambahan penjelasan atau naik ke alam yang di atas. Basioeni Imran berupaya

menjelaskan bahwa naik yang dimaksud tidak bermakna tunggal ke langit dalam

pengertian umum, tetapi menuju suatu alam yang berada di atas atau alam yang

lebih tinggi dari alam dunia ini.

Dalam berbagai penjelasannya di kitab Nur al-Siraj, Basioeni Imran

berupaya mengemukakan berbagai pendapat para ulama yang berbeda-beda agar

para pembaca tidak terpaku pada satu pendapat saja. Berikut ini beberapa contoh

perbedaan pendapat ulama yang dikemukakan Basioeni Imran. Mengenai waktu

terjadinya Isra Mikraj, jumhur (kebanyakan ulama) menyatakan Isra dan Mikraj

terjadi pada satu malam. Banyak yang mengatakan terjadi di dalam bulan Rabiul

Awal setahun sebelum hijrah. Pendapat al-Zuhriy menyatakan terjadi pada bulan
363

Rajab tahun kelima kenabian dan pendapat ini dikuatkan oleh al-Qurthubiy dan al-

Nawawi.

Berkaitan dengan persoalan apakah Rasulullah Isra dan Mikraj jasad dan

ruhnya atau ruhnya saja atau hanya dalam mimpi, Basieoni Imran juga

menjelaskan adanya dua perbedaan pendapat. Satu kelompok mengatakan

Rasulullah naik dengan ruh dan badannya; satu kelompok lagi menyatakan naik

dengan ruhnya saja dan tiada lenyap (tanpa dengan) badannya, namun bukan

dalam keadaan mimpi. Dalam mimpi, malaikat mimpi mendatangkan kepada

manusia berbagai hal agar dapat dilihat dalam mimpi. Basieoni Imran sendiri

cenderung kepada pendapat yang dikatakannya sahih yang menyatakan Rasulullah

Isra dan Mikraj dengan badan dan ruhnya berdasarkan pada pendapat Ibnu Ishaq

yang mengutip riwayat dari Aisyah dan Muawiyah yang mengatakan: adalah Isra

dengan ruhnya dan tiadalah lenyap jasadnya yakni ruhnya saja yang pergi dan

tubuhnya tinggal. Riwayat ini juga dikutip oleh Hasan al-Bashriy (Imran M. B.,

1938-c: 4-5). Pendapat Basioeni Imran bahwa Rasulullah Isra dan Mikraj dengan

jasad dan ruhnya jelas mengikuti keyakinan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah

(Chalim, 2012: 72).

Selain apakah Isra Mikraj dijalani Rasulullah dengan ruh dan jasad,

persoalan berikutnya yang juga diperdebatkan adalah apakah Isra Mikraj dijalani

dalam keadaan jaga atau mimpi. Basioeni Imran menyatakan bahwa Isra dan

Mikraj dijalani Rasulullah dalam keadaan jaga. Pendapat Basioeni Imran

didasarkan pada tafsir Ibnu Abbas terhadap Q.S. Al-Isra’ (17): 60:

...        ...


364

Ibnu Abbas menafsirkan bahwa kata “‫ ”الرء يا‬dalam potongan ayat tersebut adalah

‫( رؤ ياعين‬penglihatan mata) yang telah diperlihatkan kepada Rasulullah SAW pada

malam Isra ke Bait al-Maqdis. Penggunaan kata “penglihatan mata” untuk

membedakan dengan ‫( رؤ يا القلب‬penglihatan hati; penglihatan di dalam mimpi).

Atas dasar tafsir Ibnu Abbas ini, Basieoni Imran menyatakan bahwa Rasulullah

dalam keadaan jaga bukan dalam keadaan mimpi saat menjalani Isra dan Mikraj.

Alasan berikutnya adalah adanya penolakan yang kuat dari orang-orang Quraisy.

Jika dijalani dalam keadaan mimpi tidak mungkin mendapatkan penolakan yang

kuat dari orang-orang Quraisy (Imran M. B., 1938-c: 22-23).

Basioeni Imran mengutip kisah sebelum berangkat Isra Rasulullah dibelah

dadanya, hatinya dibasuh dan disucikan untuk selanjutnya diisi dengan iman dan

hikmah oleh malaikat dengan tanpa memberikan penjelasan atau penafsiran.

Basioeni Imran hanya menyebutkan bahwa al-Qadhi’iyadh menolak adanya

kejadian pembelahan dada menjelang Isra dan kejadian itu hanya sekali yaitu saat

Rasulullah masih kecil dan dalam pengasuhan Bani Sa’ad. Sesampai di Masjid al-

Aqsha sebelum Mikraj, Rasulullah mengimami sembahyang dan ruh para rasul

menjadi makmumnya. Kisah Mikraj yang ditulis selanjutnya oleh Basioeni Imran

tidak berbeda jauh dengan yang telah umum diketahui. Ditemani malaikat Jibril

dan dengan mengendari buraq Rasulullah Muhammad SAW. mulai naik ke langit

pertama hingga langit ketujuh. Pada setiap langit Rasulullah bertemu para nabi,

yaitu: Adam AS. (langit pertama), Yahya AS. dan Isa AS. (langit kedua), Yusuf

AS. (langit ketiga), Idris AS. (langit keempat), Harun AS. (langit kelima), Musa

AS. (langit keenam) dan Ibrahim AS. (langit ketujuh). Terkait dengan bertemunya
365

Rasulullah SAW. dengan para nabi tersebut, Basioeni Imran menulis:

Musykil (pelik) bahwa melihat akan nabi-nabi di langit padahal segala


jasad (tubuh) mereka itu tetap di dalam kubur mereka di bumi. Maka
dijawab bahwa ruh-ruh mereka dirupakan dengan rupa jasad (tubuh-tubuh)
mereka (wallahu a’lam bi al-ghaib) (Imran M. B., 1938-c: 16).

Dengan demikian, menurut Basioeni Imran, para nabi yang ditemui oleh

Rasulullah di setiap tingkatan langit itu adalah ruh mereka saja, tidak disertai

dengan jasadnya. Setelah sampai ke langit ketujuh, Rasulullah SAW melanjutkan

perjalannya ke Sidrah al-Muntaha ( ‫) سدرة المنتهى‬. Sidarah al-Muntaha

digambarkan oleh Basieoni Imran sebagai suatu pohon yang buahnya seperti

gerabah-gerabah tempat air dipagari hajara dan daun-daunnya seperti telinga

gajah. Selanjutnya Rasulullah naik lagi ke Bait al-Ma’mur ( ‫( ) بيت المعمور‬Imran

M. B., 1938-c: 11-17).

Bagian berikutnya dari kitab Nur al-Siraj adalah penjelasan Basioeni

Imran tentang diwajibkannya sembahyang (shalat). Berdasarkan hadis dari Anas

bin Malik, Rasulullah menyebutkan bahwa Allah mewajibkan atas umatnya lima

puluh sembahyang (sehari semalam). Bagaimana proses penyampaian perintah

sembahyang tersebut, apakah Rasulullah bertemu dengan Allah atau bagaimana,

tidak dijelaskan oleh Basioeni Imran. Dimungkinkan hal ini dilakukan oleh

Basioeni Imran untuk menghindari lahirnya perbedaan pendapat dan perdebatan

perihal bertemu atau melihat Allah oleh Rasulullah.

Basioeni Imran kemudian menjelaskan bahwa setelah mendapatkan

perintah sembahyang lima puluh kali sehari semalam, Rasulullah kemudian turun

dan bertemu dengan nabi Musa. Nabi Musa bertanya perintah apa yang diberikan
366

Allah kepada Rasulullah, dan dijawab bahwa Allah memerintahkan umatnya

sembahyang lima puluh kali sehari semalam. Nabi Musa kemudian berkata bahwa

umat Nabi Muhammad tidak akan kuasa (mampu) melaksanakannya. Rasulullah

disuruh oleh Nabi Musa untuk kembali menghadap Allah dan meminta

diringankan perintah sembahyangnya. Rasulullah SAW. kemudian kembali

kepada Allah dan minta dikurangi kewajiban sembahyangnya. Allah kemudian

menguranginya sebanyak sepuluh sehingga sisa empat puluh. Nabi Muhammad

kemudian bertemu lagi dengan Nabi Musa dan Nabi Musa meminta agar Nabi

Muhammad kembali kepada Allah untuk minta diringankan lagi. Kembalilah

Rasulullah berikutnya sebanyak empat kali dan setiap kembali kepada Allah

dikurangi sepuluh dan yang terakhir dikurangi lima sehingga tinggallah lima kali

kewajiban sembahyang sehari semalam. Kembali berulang Rasulullah bertemu

Nabi Musa dan menyampaikan saran yang sama bahwa umat Nabi Muhammad

tidak akan mampu melaksanakan sembahyang lima kali sehari semalam. Namun

permintaan terakhir Nabi Musa ditolak oleh Rasulullah dengan alasan malu

kepada Allah. Rasulullah menerima dan rida dengan kewajiban sembahyang lima

kali sehari semalam. Terkait dengan jumlah sembahyang wajib yang lima sehari

semalam, Basieoni Imran mengatakan bahwa di dalam ilmu dan iradat Allah

memang sembahyang itu lima yang Ia tetapkan dan fardukan kepada Nabi

Muhammad dan umatnya. Ilmu dan iradat Allah itu tetap dan tidak bergerak dan

berubah lagi (Imran M. B., 1938-c: 18-20).

Terkait dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah naik ke langit

ketujuh untuk bertemu Allah, Basieoni Imran memberikan catatan singkat sebagai
367

berikut:

Janganlah disangka dan salah pengertian bahwa Allah SWT memfardukan


sembahyang ketika nabi SAW di langit yang ketujuh yaitu menunjukkan
bahwa Allah SWT bertempat di langit itu, maka yang demikian mustahil
karena Allah ta’ala Maha Suci daripada segala sifat baharu dan tiada harus
disamakan dengan yang baharu. Hanya kalau ada perkataan: Allah ta’ala di
langit atau di atas maka ialah di langit kemuliaan dan ketinggian, tidak
sekali-kali membataskan bagi tempatnya (Imran M. B., 1938-c: 21-22).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Basioeni Imran berupaya memberikan

pemahaman yang benar tentang wujud Tuhan kepada masyarakat agar tidak

terjebak pada pemahaman yang menyimpang. Penjelasan singkat Basioeni Imran

ini menunjukkan keengganannya untuk menjelaskan secara rinci bagaimana

Rasulullah bertemu Allah dan Allah bertempat di langit. Ada dugaan hal ini

dilakukannya karena menggunakan konsep bila kaifa-nya al-Asy`ari seperti yang

telah dijelaskan di atas. Basioeni Imran sangat menjaga agar paham ketauhidan

masyarakat tidak menyimpang dari konsep yang menurutnya benar.

Kisah Isra Mikraj yang ditulis Basioeni Imran dalam kitab Nur al-Siraj

ditutup dengan riwayat singkat Rasulullah menyampaikan pengalaman

spiritualnya menjalani Isra dan Mikraj kepada orang-orang Quraisy dan tanggapan

mereka. Pada waktu subuh setelah kembali dari Isra Mikraj, Nabi Muhammad

mendatangi tempat orang-orang Quraisy berkumpul. Di sana Nabi Muhammad

menceritakan pengalamannya spiritualnya di depan Abu Jahal dan orang-orang

Quraisy lainnya. Mendengar cerita Nabi Muhammad, orang-orang Quraisy itu ada

yang ingkar dan murtad, terutama orang yang lemah iman dan hatinya. Saat

beberapa orang Quraisy tersebut menyampaikan cerita Rasulullah kepada Abu

Bakar, maka ia pun membenarkan cerita tersebut. Bahkan jika ada cerita yang
368

bersumber dari Rasulullah yang melebihi cerita Isra Mikraj maka ia akan

membenarkannya.118 Orang-orang kafir Quraisy kemudian menguji Rasulullah

dengan menanyakan ciri-ciri Bait al-Maqdis. Maka Allah bukakan atau nyatakan

Bait al-Maqdis kepada Rasulullah dan dengan demikian beliau dapat menjelaskan

bagaimana keadaan atau ciri-ciri Bait al-Maqdis. Bukannya menyakini kebenaran

cerita Isra Mikraj, sebaliknya orang-orang kafir Quraisy semakin kufur dan

mengatakan apa yang disampaikan Rasulullah adalah sihir yang nyata (Imran M.

B., 1938-c: 23-25).

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pemikiran

teologi Basioeni Imran sangat kental dengan doktrin-doktrin Ahl al-Sunnah wa al-

Jama`ah atau Aswaja atau lebih sering disebut Sunni. Hampir semua uraiannya

tentang rukun iman dan peristiwa Isra Mikraj mengikuti pandangan-pandangan

Asy`ariyah. Dengan demikian, pemikiran teologi Basioeni Imran adalah sama

dengan masyarakat di Kerajaan Sambas pada umumnya, kecuali dalam beberapa

persoalan khusus ia sedikit berbeda dengan pandangan umum masyarakat.

4.2 Pemikiran Hukum Islam

Di antara sekian banyak karya dan pemikiran Basioeni Imran, pemikiran di

bidang hukum ini merupakan yang dominan. Pemikiran hukum yang dimaksud di

sini adalah menyangkut hukum Islam, khususnya dalam bentuk hukum fikih dan

metode istinbath (mengeluarkan) hukum yang dipegangi oleh Basioeni Imran.

Dominannya karya-karya Basioeni Imran di bidang hukum fikih didasarkan pada

118
Karena sikap tersebut maka Abu Bakar digelari dengan ‫( الصديق‬al-Shiddiq).
369

pandangannya bahwa mempelajarinya hukumnya adalah fardu `ain.

Bermoela meneontoet ilmoe itoe fardloe atas tiap-tiap Moeslim ja`ni laki2
dan perempoean. Adapoen `ilmoe jang fardloe dan moesti ditoentoet dan
diketahoei oleh tiap2 Moeslim ialah `ilmoe `Aqa`idoel Islam dan
hoekoem2 `ibadat seperti sembahjang poeasa dan lainnja dan hoekoem2
halal dan haram. Karena dengan ilmoe itoe tertjapai segala kebaikan dan
terloepoet segala kedjahatan (Imran M. B., 1933-a: 2).

Tidak hanya dominan dalam karya-karyanya, aspek hukum fikih menjadi fokus

utama Basioeni Imran dalam memberikan pembelajaran kepada seluruh

masyarakat Sambas.

Sebelum membahas lebih jauh pemikiran hukum Basioeni Imran, terlebih

dahulu dijelaskan secara singkat makna hukum Islam dan beberapa istilah yang

terkait dengannya.

4.2.1. Makna Hukum Islam

Hukum memiliki banyak segi dan demikian luas cakupannya, sehingga

definisi hukum dari para ahli berlainan. Dalam pengertianya yang luas, hukum

terdiri atas peraturan-peraturan tingkah laku atau kaidah-kaidah, jadi atas

peraturan-peraturan perbuatan manusia, suruhan dan larangan (Apeldoorn, 2001:

1; 18). Hukum Islam, adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari

agama Islam. Sebagai sistem hukum, ia mempunyai beberapa istilah kunci yang

perlu dijelaskan terlebih dahulu. Beberapa istilah tersebut adalah (1) hukum, (2)

hukm dan ahkām, (3) syari`ah atau syari`at, (4) fiqih atau fiqh. Hukum dalam

konsepsi Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur

kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Sedangkan dalam

konsepsi Islam, kerangka hukum ditetapkan oleh Allah yang mengatur relasi,
370

tidak hanya manusia dengan manusia lain, tetapi juga dengan makhluk lainnya.

Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan itu diatur oleh ukuran tingkah

laku yang di dalam bahasa Arab disebut hukm (‫ )حكم‬jamaknya ahkām (‫)احكام‬. Hukm

(‫ )حكم‬dalam bahasa Arab bermakna norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur,

patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan

manusia dan benda. Dalam sistem hukum Islam, tolok ukur itu disebut al-ahkam

al-khamsah (‫ )االحكام الخمسة‬atau penggolongan hukum yang lima, terdiri dari (1)

Jaiz atau mubah atau ibahah, (2) sunnah, (3) makruh, (4) wajib, dan (5) haram.

Penggolongan yang lima disebut juga hukum taklifi. Selain hukum taklifi juga ada

yang disebut dengan hukum wadh`i (‫ )وضع‬yang meliputi sebab, syarat, dan

halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum (Ali, 2004: 42-45).

Selain istilah hukm, dalam pembahasan hukum Islam juga dikenal istilah

syari`at atau syari`ah (‫)شريعة‬. Dari segi bahasa syari`ah adalah jalan ke sumber

(mata air). Secara sederhana syari`ah diartikan sebagai ketetapan-ketetapan Allah

dan ketentuan Rasululullah baik yang berupa perintah maupun larangan, meliputi

seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia (Ali, 2004: 46). Mahmud Syaltout

mendefinisikan syari`ah sebagai berikut:

Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas


dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia
baik dalam hubungan dengan Allah, dengan umat manusia lainnya, orang
Islam dengan non-muslim, dengan alam, maupun dalam menata kehidupan
ini (Rosyada, 1996: 3-4).

Dengan definisi tersebut, Syaltout mengaskan bahwa ketentuan-ketentuan Allah

tentang aspek keyakinan atau akidah tidak termasuk dalam pembahasan syari`ah.

Definisi tersebut juga mengakomodir tidak hanya ketentuan-ketentuan atau norma


371

yang dibuat oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga hasil kajian para ulama dengan

akalnya melalui berbagai metode mengeluarkan (istinbath) hukum. Ketentuan-

ketentuan atau norma-norma yang merupakan hasil pemahaman para ulama itulah

selanjutnya dikenal dengan istilah fiqh (dalam kaidah bahasa Indonesia ditulis

fikih). Fikih dengan demikian telah menjadi sebuah disiplin ilmu.

Basioeni Imran mendefinisikan fikih sebagai berikut:

Fikih itu pada lughah (bahasa) faham dan ilmu pengetahuan, maka
dikatakan “fulan yufaqqih al-khair al-syar” artinya si anu faham atau tahu
akan kebaikan dan kejahatan. Adapun maknanya pada syara` yaitu
mengetahui hukum-hukum syar`i yang tsabit bagi segala perbuatan orang-
orang mukallifin (akil baliqh) ialah seperti wajib, haram, mubah (harus)
mandhub atau sunnah, makruh119 keadaan akad itu shahih atau bathal dan
keadaan ibadah itu qadha atau adaan (tunai). Orang yang tahu ilmu fiqh itu
dinamakan faqih dan jama’nya fuqaha, seperti ulama jama’nya ‘alim
(Imran M. B., 1933-b: 6).

Fiqh dari segi bahasa bermakna “paham” atau “pengertian”. Ilmu fikih

dapat didefinisikan sebagai: “Ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan

norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Alquran dan ketentuan-

ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-

kitab hadis” (Ali, 2004: 48). Hasil pemahaman para ulama tersebut disusun secara

sistematis dalam kitab-kitab fikih yang disebut dengan hukum fikih. Ketentuan-

ketetentuan dasar yang ada di dalam Alquran dan Sunnah diistilahkan dengan

syari`ah ilahi sedangkan ketentuan-ketentuan hukum hasil pemahaman para

ulama atau hukum fikih diistilahkan dengan syari`ah wadh`i.

119
Wajib itu ialah barang yang diberi pahala atas mengerjakannya dan disiksa atas
meninggalkannya. Haram atau mahzhur ialah barang yang diberi pahala atas meninggalkannya
dan disiksa atas mengerjakannya. Mubah barang yang tiada diberi pahala atas mengerjakannya
dan tiada disiksa atas meninggalkannya. Mandhub ialah yang yang diberi pahala atas
mengerjakannya dan tiada disiksa meninggalkannya. Makruh ialah barang yang diberi pahala
atas meninggalkannya dan tiada disiksa atas mengerjakannya (Imran M. B., 1933-b: 6).
372

Berbagai ketentuan yang mengatur kehidupan manusia dalam

hubungannya dengan makhluk lain baik di dalam Alquran maupun di dalam

Sunnah pada umumnya masih bersifat umum dan karena itu perlu dirinci. Hal ini

terkait dengan berkembangnya situasi dan kondisi yang dihadapi manusia,

sehingga ketentuan-ketentuan umum di dalam Alquran dan Sunnah perlu

dipahami agar dapat menjawab berbagai persoalan baru yang muncul. Dari sinilah

para ulama dituntut untuk menggunakan akal atau pemikirannya dalam menggali

hukum-hukum dari sumber utamanya: Alquran dan Sunnah. Penggunaan daya

kemampuan akal dalam menggali ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya

(Alquran dan Sunnah) dengan menggunakan berbagai metode dikenal dengan

istilah ijtihad.

Secara kebahasaan ijtihad )‫ )اجتهاد‬berasal dari kata juhd (‫ )جهد‬bermakna

“bersungguh-sungguh melakukan suatu tindakan apapun”. Kata ini semula

digunakan dalam bidang jurisprudensi (fikih) untuk menyatakan salah satu kaidah

yang diterapkan oleh mazhab-mazhab fikih sunni, menyusul pembentukannya.

Kaidah ini menyatakan bahwa “Manakala seorang faqih ingin mendapatkan

sebuah hukum syariat dan dia tidak menjumpai suatu teks (nash) pun yang

mengacu kepadanya di dalam Alquran dan Sunnah, maka dia harus meminta

bantuan pada ijtihad sebagai ganti teks semisal itu”. Di sini ijtihad berarti

“pemikiran individual”. Jadi, seorang faqih yang tidak menemukan satu teks

sahih pun akan menggunakan pemikiran individual khasnya atau ilham Ilahi dan

memijakkan hukum-hukum syariat atas dasar pemikirannya. Proses ini juga

diungkapkan dengan istilah ra’y [‫( ]رأي‬pendapat) (ash-Shadr & Mutahhari, 1993:
373

44-45).

4.2.2 Sembahyang

Dalam karya-karyanya, Basioeni Imran lebih senang menggunakan istilah

sembahyang daripada shalat karena istilah sembahyang lebih umum digunakan

oleh masyarakat.120 Dalam Kerajaan Sambas masih dijumpai orang-orang Islam

yang terkadang meninggalkan sembahyang lima waktu meskipun tanpa alasan

yang dibenarkan (uzur). Prihatin dengan kondisi ini, Basioeni Imran kemudian

menulis sebuah kitab berjudul ‫( تذكير سبيل النجاه في تارك الصالة‬1931) yang ditujukan

untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang meninggalkan sembahyang.

Dalam kitab ini Basioeni Imran menjelaskan beberapa pendapat ulama tentang

status orang yang meninggalkan sembahyang karena malas atau karena alasan

sibuk bekerja. Sebagian sahabat Rasulullah dan tabi’in menyatakan orang yang

meninggalkan sembahyang sebagai kafir murtad. Kaum Khawarij berpendapat

sama dengan sebagian sahabat, yaitu kafir orang yang meninggalkan sembahyang.

Imam Syafi’i dan kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah menyatakan tidak

sampai pada kafir murtad, tetapi berdosa besar, selama yang bersangkutan tidak

mengingkari wajibnya sembahyang. Namun, jika yang bersangkutan tidak mau

bertaubat dan tetap meninggalkan sembahyang maka ia boleh dibunuh. Bagi kaum

Mu’tazilah orang yang meninggalkan sembahyang tanpa uzur maka ia tidak

mukmin namun juga tidak kafir dan mereka kekal di dalam api neraka (Imran M.

120
Di dalam keseluruhan tulisan ini juga digunakan kata sembahyang karena alasan tersebut.
374

B., 1931: 10-11).121

Setelah mengemukakan perbedaan pendapat ulama tentang status orang

yang meninggalkan sembahyang tanpa uzur, maka Basioeni Imran menyatakan

kecenderungannya pada pendapat Imam Syafi’i dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.

Oleh karena yang demikian hendaklah orang muslim yang beriman dengan
Allah dan hari yang kemudian takut hendak meninggalkan sembahyang
dengan sebab malas atau banyak pekerjaan karena yang demikian tidak
menguzurkannya daripada sembahyang meskipun ia tiada jadi kafir
menurut qaul (perkataan) di nomor 2 [pendapat Imam Syafi’i dan Ahl al-
Sunnah wa al-Jamaah], akan tetapi berkurang ia dosa besar hingga harus
dibunuh dan tumpahkan akan darahnya, maka alangkah besar salahnya dan
dosanya kepada Allah Ta’ala yang menjadikan akan dia (Imran M. B.,
1931: 11).

Basioeni Imran berharap, dengan mengemukakan ancaman menjadi kafir atau

berdosa besar atau kekal dalam siksa neraka bagi orang yang meninggalkan

sembahyang berdasarkan pendapat para ulama, masyarakat muslim di Kerajaan

Sambas lebih taat dalam menjalankan ibadah sembahyang fardu. Agar masyarakat

lebih baik lagi dalam menjalankan ibadah sembahyang, Basioeni Imran juga

menjelaskan secara singkat tuntunan tata cara sembahyang. Secara umum

tuntunan tersebut mengikuti mazhab Syafi’i. Hanya dalam hal-hal tertentu saja

Basioeni Imran memberikan perspektif lain, salah satunya adalah dalam hal niat

sembahyang, cukup di dalam hati tanpa harus dilafalkan di lisan.

121
Ibn Rusyd menjelaskan bahwa orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan
keengganannya bukan karena menentang kewajiban sembahyang, maka sebagian fuqaha
menetapkan untuk orang tersebut dengan hukuman mati. Sedangkan fuqaha yang lain
mengatakan bahwa orang tersebut dikenakan hukum takzir dan penjara. Beberapa fuqaha
mengatakan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan itu untuk menghukum kekafirannya. Itu
adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Mubarak. Tetapi ada pula yang menilai sebagai
hukuman pidana. Ini adalah pendapat Malik, Syafi`i, dan Abu Hanifah termasuk para
pengikutnya. Sedangkan fuqaha ahli Zhahir adalah fuqaha yang menetapkan hukuman takzir
bagi orang yang meninggalkan sembahyang secara sengaja sampai orang itu sanggup
melakukan sembahyang lagi (Rusyd, 2002:195).
375

Basioeni Imran menyatakan: “Dan maklum tempat niat itu hati” (Imran M.

B., 1931: 13). Meskipun demikian, dijelaskan juga perbedaan pendapat para

ulama dalam masalah niat ini.

Adapun melafalkan atau membaca niat ushalli hingga akhir seperti yang
tersebut maka kata ulama itu sunnat saja dan yang dimaksud itu di hati.
Dan jikalau dilafalkan dengan lidah saja dan tiada di hati niscaya tiada sah.
Dan setengah ulama mengatakan bahwa melafalkan niat itu makruh karena
tiada di-warad pada syarak (Imran M. B., 1931: 14).

Mungkin karena persoalan ini menjadi salah satu perbedaan pendapat para ulama

yang sering diperselisihkan dan diperdebatkan masyarakat, Basioeni Imran harus

menambahkan penjelasannya lebih panjang (sebanyak dua halaman, yaitu

halaman 32-33) dengan menempatkan tambahan tersebut di bagian akhir kitab.

Dalam tambahan penjelasannya, Basioeni kembali mengemukakan bahwa makna

dan arti niat itu qasad (kehendak) dan tempatnya di hati. Basioeni mengutip ulama

Syafi’iyah yang mengatakan bahwa niat itu meng-qashad sesuatu beserta dengan

memperbuatnya. Al-Baidhawi juga dikutip perkataannya yang artinya: Niat itu

gerak hati kepada barang yang ia lihat akan dia bersetuju bagi maksud daripada

menarik manfaat atau menolak mudarat ketika itu jua atau kemudian, dan syarak

itu menentukan akan dia dengan iradat (kehendak) yang berhadap kepada

perbuatan karena menuntut keridaan Allah dan menjunjung hukum-Nya.

Selanjutnya Basioeni Imran mengemukakan pendapat ulama yang

mengatakan sunnah melafalkan niat. Ulama yang mengatakan sunnah bukan

ulama Syafi`iyah yang mutaakhkhirin saja, tetapi juga ulama mazhab-mazhab

lainnya. Meskipun mengatakan sunnah melafalkan niat sembahyang, tetapi para

ulama tersebut mengakui tidak ada dalil Alquran maupun Sunnah Rasul yang
376

menjadi dasarnya. Sementara dalam kitab-kitab ulama Syafi’iyah yang lain

menyatakan tempat niat itu di hati, namun jika niat cuma di hati dan tidak

dilafalkan dengan lidah maka itu sudah memadai. Jika ada yang berniat di hati dan

juga dilafalkan dengan lidah itu juga tidak apa-apa. Di akhir penjelasannya,

Basioeni Imran menyatakan bahwa ulama yang sangat berpegang dengan Alquran

dan Sunnah Rasul serta mengikuti jalan Salaf serta takut bid`ad berpendapat

bahwa melafalkan niat itu bid`ah yang tiada diizinkan Allah dan Rasul-Nya. Hal

ini didasarkan pada hadis Rasulullah yang memerintahkan kita sembahyang

sebagaimana kita melihat Rasulullah sembahyang, sementara tidak ada satu

riwayat pun yang menyatakan bahwa Rasulullah melafalkan niat sembahyangnya

(Imran M. B., 1931: 32-33).

Penjelasan Basioeni Imran yang menampilkan ragam pendapat ulama

tentang melafalkan niat sembahyang menunjukkan pemahamannya yang luas

tentang hukum fikih. Tentu saja pandangan demikian didasarkan pada keragaman

kitab-kitab yang menjadi sumber bacaannya. Caranya menampilkan beragam

pendapat, baik yang mengatakan niat cukup dihati, sunnah dilafalkan dan yang

lebih keras mengatakan bid`ah melafalkan niat menunjukkan sikap

keterbukaannya dalam menghadapi perbedaan pendapat para ulama. Tentu saja

yang terlebih penting dari semua itu adalah keinginannya untuk menyampaikan

kepada masyarakat bahwa dalam hukum fikih perbedaan pendapat itu sebuah

realitas yang harus diterima secara bijaksana. Dengan mengemukakan perbedaan

pendapat para ulama, Basioeni Imran ingin mengajak pembaca atau masyarakat

membuka cakarawala berpikir dan tidak terjebak untuk saling berbantah-bantahan


377

apalagi berpecah belah. Meskipun pada akhir penjelasannya dapat diduga kuat

bahwa ia sendiri cenderung pada pendapat terakhir yang mengatakan bid`ah

melafalkan niat sembahyang, karena tidak ada dasar dalil, baik Alquran maupun

Sunnah Rasulullah. Jika dugaan ini benar, maka khusus masalah melafalkan niat

sembahyang Basioeni Imran berbeda pendapat dengan ulama-ulama Syafi`iyah.

Ulama Syafi`iyah menganjurkan supaya hati dan lisan selaras membaca niat (Tim

Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2016: 250).

Selain masalah melafalkan niat, masalah lain di dalam sembahyang yang

juga terkadang diperselisihkan oleh para fuqaha adalah membaca doa qunut.

Imam Malik berpendapat bahwa qunut untuk sembahyang subuh adalah sunat.

Imam Syafi`i berpendapat hukumnya sunat. Imam Abu Hanifah berpendirian

bahwa qunut dalam sembahyang subuh dilarang, sedangkan tempat qunut hanya

pada sembahyang witir. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa qunut itu untuk

semua sembahyang. Ulama lain lagi berpendapat bahwa qunut hanyalah untuk

sembahyang pada bulan Ramadan. Fuqaha lainnya lagi ada yang berpendapat

bahwa qunut hanyalah dilakukan pada tengah bulan pertama di bulan Ramadan

(Rusyd, 2002: 293).

Dalam manuskrip risalah singkat tentang sembahyang Basioeni Imran

menulis: “Dan sunnah doa qunut di dalam i`tidal akhir sembahyang subuh dan

i`tidal akhir sekalian sembahyang ketika turun bala’ dan akhir witir setengah

bulan Ramadan” (Imran M. B., Risalah Sembahyang Bacaan dan Artinya, tt: 8).

Penjelasan yang lebih lengkap ditulis Basioeni Imran di dalam kitabnya Tazkir

sebagai berikut:
378

Sunnah-sunnah yang dituntut di dalam sembahyang itu dua macam:


ab`adh, dan setengah daripadanya qunut dan tasyahud (tahiyat) awal pada
sembahyang fardu. Dan hai’at setengah daripadanya tasbih-tasbih ruku
yakni membaca subhana rabbiya al-`azhim padanya dan tasbih-tasbih
sujud yaitu membaca subhana rabbiya al-a`la wa bihamdih padanya dan
takbir-takbir berpindah daripada satu-satu pekerjaan seperti ia hendak
ruku` ia katakan Allahu Akbar dan menyaringkan bacaan dan
memperlahankan pada tempat keduanya dan lain daripada yang demikian
(Imran M. B., 1931: 18).

Penjelasan Basioeni Imran di atas menunjukkan bahwa ia berpendapat membaca

qunut hukumnya sunnah ab`adh yang jika ditinggalkan baik karena sengaja

maupun lupa maka sunnah sujud sahwi dua kali sebelum salam. Pendapat

Basioeni Imran ini sama dengan (mengikuti) mazhab Syafi`i yang menyatakan

hukumnya sunnah ab`adh dan jika ditinggalkan maka dianjurkan untuk sujud

sahwi dua kali (Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2016: 251-252).122

4.2.3 Seputar Sembahyang Jumat

Sembahyang Jumat menjadi salah satu persoalan yang cukup penting dan

menjadi perhatian serius Basioeni Imran. Pada masa tahun 1920-an, banyak

pertanyaan dan permintaan fatwa dari berbagai tempat dan desa kepada Basioeni

Imran mengenai hukum sembahyang Jumat kurang dari empat puluh orang.

Masalah berikutnya adalah hukum melaksanakan sembahyang zuhur mu’adah

(mengulang) sembahyang Jumat yang kurang dari empat puluh orang. Untuk

membahas persoalan ini Basioeni Imran menulis kitab berbahasa Melayu berjudul

Cahaya Suluh: Pada Mendirikan Jumat Kurang Daripada Empat Puluh (‫امفت فوله‬

‫)جهيا سوله فد مندريكن جمعة كورغ درفد‬. Kitab ini juga ditulis oleh Basioeni Imran dalam

122
Dalil-dalil hadis tentang qunut dapat dibaca dalam : Mustamar. 2016. Dalil-dalil Praktis
Amaliah Nahdliyah: 111-114).
379

versi bahasa Arab berjudul: Al-Nusus wa al-Barahin ‘ala Iqamat al-Jum’ah bima

al-Arba’in (Beberapa Dalil dan Argumentasi dalam Melaksanakan Sembahyang

Jumat yang Kurang dari Empat Puluh Orang). Selain kitab dua versi bahasa

tersebut, Basioeni Imran juga menulis kitab ‫منهل الغاربين في اقامة الجمعة بدون االربعين‬

(Manhal al-Gharibin fi Iqamat al-Jumu’ah bi dun al-‘Arba’in / Pendapat Orang

yang Asing Tentang Melaksanakan Sembahyang Jumat Kurang dari Empat Puluh

Orang). Kitab ini tidak diterbitkan karena banyak pembahasannya yang tidak

dipahami oleh orang-orang awam. Satu lagi kitab yang ditulis juga membahas

persoalan sembahyang Jumat, yaitu ‫التذكرة البديعة في احكام الجمعة‬ (Al-Tazkirat

Badi’ah fi Ahkam al-Jum’ah / Peringatan Bagi yang Mengada-ada dalam Hukum

Sembahyang Jumat). Risalah yang merupakan kelanjutan risalah Manhal, ditulis

dalam bahasa Arab. Dari keempat kitab tersebut, hanya satu kitab yang ditemukan

dan masih bisa dibaca saat ini, yaitu kitab Cahaya Suluh. Berikut ini akan

diuraikan secara singkat pemikiran Basioeni Imran tentang persoalan sembahyang

Jumat berdasarkan kitab Cahaya Suluh.

Basioeni Imran memulai isi kitab Cahaya Suluh dengan membahas

berbagai ketentuan fikih sembahyang Jumat sebelum secara khusus membahas

hukum sembahyang Jumat kurang dari empat puluh orang. Dijelaskan tentang

orang yang wajib sembahyang Jumat, syarat sah sembahyang Jumat, fardu dan

sunnah sembahyang Jumat.

Pada masa-masa awal menjabat Maharaja Imam, Basioeni Imran banyak

mendapati desa atau kampung di wilayah Kerajaan Sambas yang tidak

melaksanakan sembahyang Jumat karena jamaahnya kurang dari empat puluh


380

orang. Orang-orang juga banyak meminta pendapatnya mengenai hal tersebut.

Oleh karena itu ia mengkaji dan menemukan jawabannya bahwa menurut qaul

qadim (pendapat lama) Imam al-Syafi`i menyatakan sah sembahyang Jumat

meskipun jumlah jamaahnya kurang dari empat puluh orang:

Menurut bunyi sekalian yang tersebut nyatalah bagi pembaca-pembaca


bahwa Jumat itu sah dikerjakan dengan orang yang kurang daripada empat
puluh, maka atas qaul Imam Syafi`i yang qadim sah Jumat dengan orang
empat…. Jadi jikalau didapat pada satu desa orangnya tiada sampai empat
puluh dan mereka itu tiada dapat sama sekali hendak pergi kepada Jumat
yang sempurna empat puluh, karena terlalu jauh umpamanya, maka
wajiblah atas mereka itu mendirikan Jumat di tempat (desa) mereka itu
(Imran M. B., 1920: 7-8).

Dengan demikian jelas, bahwa Basioeni Imran menggunakan qaul qadim

(pendapat lama) Imam al-Syafi`i yang menyatakan sah sembahyang Jumat

meskipun jamaahnya kurang dari empat puluh orang. Namun jika masih

memungkinkan pergi ke tempat yang jamaah Jumatnya sempurna empat puluh

orang atau lebih, maka itu lebih baik.

Dengan pandangannya ini, Basioeni Imran menunjukkan sikapnya dalam

bermazhab tidak semata bermazhab secara qauli, tetapi ia meningkat pada

bermazhab secara manhaji. Bermazhab secara qauli adalah mengikuti mazhab

sebagai aqwal (ucapan-ucapan, pendapat-pendapat) hasil pemikiran / istinbath /

ijtihad dengan menggunakan suatu manhaj. Bermazhab secara manhaji adalah

mengikuti mazhab sebagai metode berpikir / ber-istinbath / berijtihad untuk

menemukan pendapat / hukum. Bermazhab secara manhaji hanya dapat dilakukan

oleh mereka yang sudah memenuhi persyaratan untuk ber-istinbath / berijtihad

sendiri meskipun belum mencapai tingkat mujtahid muthlaq mustaqil (mujtahid

bebas mandiri, pembangun mazhab) (Muzadi, 1994: 60-61).


381

Dari perspektif sosio-kultural hukum Islam, Basioeni Imran memahami

betul prinsip transformasi hukum Islam dan menerapkannya dalam masalah

sembahyang Jumat ini. Dalam transformasi hukum Islam, Ibn al-Qayyim al-Jauzy

memperkenalkan sebuah prinsip: “Perubahan dan perbedaan fatwa hukum dapat

terjadi karena perubahan dan perbedaan waktu, ruang, kondisi, niat, dan manfaat”.

Sebuah prinsip yang menjadikan hukum Islam lebih elastis (Rahmatullah, 2003:

100-101). Dengan menerapkan prinsip tersebut, maka hukum Islam dapat

memenuhi hajat masa dan mayarakat. Inilah yang dilakukan Basioeni Imran

dengan keputusannya memilih pendapat lama Imam al-Syafi`i. Elastisitas sikap

Basioeni Imran dalam hukum Islam, khususnya dalam masalah sembahyang

Jumat, tetap dalam konsep bermazhab, yaitu dalam koridor mazhab Syafi`iyah.

Konsekuensi dari pendapat bahwa sembahyang Jumat tidak sah jika

jamaahnya kurang dari empat puluh orang adalah berkembangnya pemahaman di

masyarakat bahwa wajib melakukan zuhur mu’adah atau zuhur mengulang

sembahyang Jumat. Basioeni Imran tidak mengatakan bahwa sembahyang zuhur

mengulang sembahyang Jumat itu haram. Ia menolak perbuatan atau perkataan

orang yang mendatangkan syubhat dan kesamaran kepada orang-orang awam

dengan mengatakan bahwa sembahyang zuhur mengulang sembahyang Jumat itu

wajib atau sebagai syarat sah atau penyempurna sembahyang Jumat (Imran M. B.,

1920: 12).

Berdasarkan tulisan Badran tentang ayahnya Basioeni Imran, disebutkan

bahwa pada masa ayahnya menjadi Maharaja Imam, masih banyak didengar

bahwa umat Islam di pedesaan tidak mendirikan sembahyang Jumat jika kurang
382

dari empat puluh orang (Badran, tt: 14). Diduga kuat karena ada permintaan fatwa

dari kampung Sungai Garam Singkawang, maka Basioeni Imran membuat surat

fatwa yang dikirim ke sana. Dalam catatan hariannya Basioeni Imran menulis:

“Pada 23 Muharram 1337 H. buat surat fatwa pada Jumat yang kurang dari 40

laki-laki dan tiada wajib i’adah zuhur kemudian, diberikan pada Wan Said Sungai

Garam” (Imran M. B., Catatan Harian, 1918-b: 2). Melalui suratnya tersebut

Basioeni Imran memberikan fatwa bahwa boleh sembahyang Jumat meskipun

jumlah jamaahnya kurang dari empat puluh orang. Karena sembahyang Jumatnya

sah, maka tidak wajib melaksanakan sembahyang zuhur lagi setelah sembahyang

Jumat.

Persoalan sembahyang Jumat yang terjadi di Sambas pada pada 1918 M.

ternyata terjadi juga di Brunei pada 1951. Hal ini diketahui berdasarkan surat yang

dikirim oleh Awang bin Haji Musa Hanafi dari Brunei kepada Basioeni Imran.

Ditemukan ada dua surat yang dikirim Awang bin Haji Musa Hanafi dari Brunei

kepada Basioeni Imran, yaitu surat tertanggal 6 September 1951 dan 4 Oktober

1951.123 Surat-surat tersebut berisi antara lain permintaan fatwa terhadap berbagai

masalah agama yang muncul di Brunei. Pada surat 6 September 1951 Awang

menceritakan bahwa di Kuala Jelai ada kadi yang diangkat oleh Sultan Brunei

bernama Muhammad Suhaili bin Haji Muhammad Ya`qub Kelantan. Biasanya di

Kuala Jelai sembahyang Jumatnya berkembar (diikuti) dengan sembahyang zuhur,

namun setelah Muhammad Suhaili menjadi kadi ia kemudian menyatakan tidak

perlu melaksanakan sembahyang zuhur lagi jika sudah sembahyang Jumat. Jika

123
Menurut salinan surat Basioeni Imran kepada Awang bin Haji Musa Hanafi bertanggal 18
Oktober 1951, surat Awang ada tiga, satu lagi adalah surat bertanggal 27 September 1951.
383

dikembar antara Jumat dan Zuhur, itu berarti sembahyang menjadi 6 kali dalam

sehari, padahal Allah mewajibkan 5 kali. Atas persoalan ini, Awang bertanya

kepada Basioeni benar atau salah pendapat kadi Muhammad Sahli tersebut (Surat

Awang Brunei Kepada Basioeni Imran 6 September 1951, Museum Tamadun

Islam Nagri Sambas). Selain masalah sembahyang Jumat yang dikembar dengan

sembahyang zuhur, pertanyaan berikutnya yang ditanyakan Awang kepada

Basioeni Imran adalah masalah fidyah puasa dan fidyah sembahyang atas orang

yang telah meninggal yang semasa hidupnya tidak melaksanakan puasa dan

sembahyang (Surat Awang Brunei Kepada Basioeni Imran 4 Oktober 1951,

Museum Tamadun Islam Nagri Sambas).

Dalam salinan surat balasannya, Basioeni Imran menjelaskan memang ada

tersebut di dalam kitab-kitab fikih yang dibaca oleh orang-orang tua kita di mana-

mana negeri bahwa sembahyang Jumat yang berbilang-bilang di dalam satu negeri

atau kurang dari 40 dari ahli Jumat mereka sembahyang Zuhur karenanya.

Demikian juga dengan orang-orang mati yang meninggalkan puasa dan

sembahyang dibayar fidyahnya dengan uang kepada imam, khatib atau ahli

agama. Kalau memperhatikan dalil-dalil agama baik hadis maupun Alquran betul

bahwa perbuatan itu tidak sesuai dengan agama Allah karena beberapa sebab.

Pertama, kalau sembahyang Jumat telah dikerjakan adalah jamaah kaum


muslimin dan mereka sendiri telah yakin bahwa Jumat itu telah sah,
mengapa pula sembahyang zuhur lagi? Dan jika mereka sembahyang
Jumat dengan syak [ragu-ragu] adakah sah Jumat itu atau tiada maka
sembahyang Jumat tidak sah dan mereka berdosa pula karena mereka
sembahyang dengan sembahyang yang tidak sah pada itikad dan
kepercayaan mereka sendiri, maka perbuatan itu bermaksud dengan ibadah
kepada Allah yang demikian itu haram.
Kedua, sembahyang lima waktu difardukan Allah di atas tiap-tiap mukallaf
(orang yang aqil baligh) laki-laki dan perempuan mesti dikerjakan di
384

dalam waktunya masing-masing seperti yang maklum. Dan berdosa siapa-


siapa yang tidak sembahyang di dalam waktunya sekalipun dibayar (di-
qadha’) dalam waktu yang lain. Dan sebagian ulama yang mengatakan
tidak sah atau tidak harus di-qadha’ sembahyang bagi orang yang sengaja
meninggalkan sembayang, katanya: Kecuali orang yang tidur atau lupa,
maka bagaimana pula harus sembahyang itu dibayar dengan uang atau
emas perak? Kalau harus demikian itu, niscaya senang betul orang-orang
kaya. Tentu mereka tidak mau sembahyang karena mereka mampu
membayar dengan uang atau emas perak.
Ketiga, puasa Ramadan memang diwajibkan Allah di atas tiap-tiap
mukallaf, dan barang siapa mati ada meninggalkan puasa yang wajib ia
bayar—saya ingat ada tersebut dalam hadis dibayar oleh warisnya, seperti
anaknya, yakni ia puasa darinya si mati itu. Atau dibayar dengan tarkah-
nya –harta peninggalannya—disedekahkan kepada miskin untuk sehari
satu mud lebih sekati beras (Surat Basioeni Imran kepada Awang Brunei,
1951, Museum Tamadun Islam Nagri Sambas).

Pendapat hukum atau fatwa yang diberikan Basioeni Imran kepada Awang

di Brunei melalui surat ini menunjukkan bahwa fatwanya telah menjangkau

negara lain di luar Indonesia. Belum ditemukan data daerah mana saja yang telah

dijangkau oleh fatwanya selain di wilayah Kerajaan Sambas (sekarang meliputi

wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang) dan

Brunei Darussalam. Dari surat tersebut juga menunjukkan bahwa dalam

memberikan fatwa Basioeni Imran menghindari memberikan penjelasan yang

panjang dan bertele-tele. Bahkan dalil-dalil ayat Alquran maupun hadis tidak

dicantumkan, sebagaimana juga dilakukannya saat menulis risalah ringkas tentang

sembahyang dan bacaan-bacaan di dalamnya. Diduga hal ini dilakukan sebagai

upaya mempermudah masyarakat memahami fatwa-fatwa yang disampaikannya.

Oleh karena itu, seperti yang di sampaikannya di dalam surat di atas, Basioeni

Imran lebih memilih memberikan dalil-dalil logika sederhana agar lebih mudah

dipahami.
385

4.2.4 Penetapan Awal Bulan

Hingga saat ini umat Islam di Indonesia sering berbeda pendapat dalam

menetapkan awal bulan Ramadan atau awal berpuasa dan awal bulan Syawal atau

hari raya Idul Fitri. Organisasi Muhammadiyah secara konsisten menggunakan

sistem perhitungan atau hisab dengan menggunakan ilmu falak, sedangkan

Nahdlatul Ulama lebih kuat berpegang pada hasil melihat bulan baru (rukyat al-

hilal). Kondisi perbedaan pendapat ini, berdasarkan tulisan Basioeni Imran dalam

kitab Husn al-Jawab 'an Itsbat al-Ahillat bi al-Hisab (Molek Jawaban Pada

Menstabitkan Awal Bulan dengan Kiraan) (1938) (selanjutnya ditulis Husn al-

Jawab), ternyata telah terjadi di tengah masyarakat kerajaan Sambas pada era

1930-an. Di awal kitabnya, Basoeni Imran menyatakan bahwa senantiasa

terdengar ada perselisihan dan pertengkaran di berbagai daerah baik dalam proses

penetapan awal bulan Ramadan (puasa) maupun ketika penetapan awal bulan

Syawal (Idul Fitri). Perselisihan dan pertengkaran muncul akibat adanya dua

kelompok umat: kelompok yang memakai hisab dan kelompok yang memakai

rukyat (melihat bulan). Bagi Basieoni Imran perselisihan tidaklah baik bagi orang

Islam yang tahu agama. Memang perbedaan pendapat dan paham tidak dapat

dihindari, namun agama mengajarkan pentingnya persatuan dan perlunya

menghindari perpecahan.

Kitab Husn al-Jawab ditulis dengan tujuan menjawab pertanyaan utama:

“Adakah harus kita puasa dan hari raya dengan memakai perhitungan (hisab

falakiyah) atau tiada, yakni mesti memakai rukyat (melihat bulan) saja?” (Imran

M. B., 1938-a: 1). Sebelum sampai pada pembahasan dan menjawab pertanyaan
386

tersebut, terlebih dahulu Basioeni Imran mengurai secara singkat arti dan

perbedaan istilah hilal (‫)هالل‬, qamar (‫)قمر‬dan syahr (‫)شهر‬.

Pangkal atau awal mula persoalan adalah pemahaman terhadap hadis

Rasulullah dari Abu Hurairah di dalam kitab Shahihain dan kitab lainnya yang

berbunyi:

‫صوموا لرؤ يته افطروا لرؤيته فان غم – وللبخاري غبي – عليكم فاكملوا شعبان ثالثين‬

Artinya: Puasalah kamu karena melihatnya (hilal bulan Ramadan) dan berbukalah

kamu karena melihatnya (hilal bulan Syawal), dan jika ada remang di atas kamu

maka hendaklah kamu sempurnakan bilangan Sya`ban tiga puluh (hari). Ini adalah

lafal atau redaksi dari Bukhari, sedangkan Muslim dan jumhur ulama mengatakan

tidak ada kata Syakban. Sebagian ulama mengatakan tambahan Syakban itu tafsir

dari Bukhari dan bukan marfu`. Berdasarkan hadis ini para ulama sepakat bahwa

dalam kondisi cuaca cerah dan tidak terhalang remang maka terlihat atau tidaknya

hilal menjadi penentu awal Ramadan. Persoalan muncul dan melahirkan

perbedaan pendapat saat hilal tidak terlihat karena ada remang.

Basioeni Imran menjelaskan cukup panjang berbagai pandangan dan

penafsiran dari para ulama terutama terkait dengan penetapan awal bulan

Ramadan manakala pada saat melihat hilal di akhir Syakban ternyata terhalang

oleh remang (kabut karena awan atau lainnya). Ketika pandangan terhalang oleh

remang apakah besok dihitung tanggl 30 Syakban (mencukupkan bulan Syakban

menjadi 30 hari) ataukah besoknya telah memasuki tangal 1 Ramadan dan dengan

demikian wajib berpuasa. Sebagian ulama mengatakan jika pandangan terhalang

oleh remang maka besoknya dinyatakan 1 Ramadan dan karenanya harus


387

berpuasa dengan dasar ihtiyadh atau kehati-hatian. Sebaliknya ada juga ulama

yang mengatakan jika pandangan terhalang oleh remang sehingga hilal tidak

terlihat, maka bulan Syakban dicukupkan menjadi tiga puluh hari.

Basioeni Imran mengutip Ibn al-Jauzi di dalam al-Tahqiq terkait perbedaan

pendapat para ulama dalam hal ini:

Adalah kepada Ahmad pada ini masalah –yaitu apabila ada remang—debu
atau kabus di tempat naik bulan (mathla’ul hilal) pada malam 30 Syakban
yaitu 3 qaul: Pertama, wajib puasa bahwa ia daripada Ramadan. Kedua,
tiada harus puasa baikpun fardu atau nafal –Sunnah—tetapi harus qadha
dan kafarat dan nazar dan nafal yang berkebetulan dengan adat dan dengan
dia berkata Syafi’i. dan berkata Malik dan Abu Hanifah tiada harus puasa
daripada Ramadan, dan harus daripada yang lain daripada yang demikian.
Yang ketiga, tempat kembali kepada ra’yu (tilikan dan timbangan) imam
(raja) pada puasa dan berbuka (Imran M. B., 1938-a: 10).

Dari tiga pendapat di atas, menurut Basioeni Imran yang paling kuat adalah

pendapat kedua dan yang lemah adalah yang pertama. Dengan demikian, Basieoni

cenderung memilih pendapat Syafi`i, Malik dan Abu Hanifah.

Ada hikmah yang mendalam dari menetapkan waktu-waktu ibadah dengan

cara rukyat. Pertama, menujukkan bahwa agama Islam adalah agama yang berlaku

umum atau demokratis, di mana penetapan waktu ibadah tidak didasarkan pada

pendapat seorang tokoh atau kepala agama. Di mana pun orang berada, baik di

desa maupun di kota, di seluruh belahan bumi dapat menggunakan cara ini (rukyat

al-hilal). Cukup dengan kesaksian orang-orang biasa yang telah diangkat

sumpahnya saat memberikan kesaksian atas penglihatannya terhadap hilal maka

hal itu sudah memadai. Kedua, penentuan waktu ibadah dengan rukyat dapat

dilakukan sekalipun oleh orang atau masyarakat yang ummi (tidak tahu membaca

dan menulis). Ini menunjukkan kemudahan dalam beribadah. Ketiga,


388

menunjukkan adanya sepakatan untuk bersatu dan tidak melahirkan perbedaan

waktu ibadah, kecuali karena perbedaan wilayah tempat tinggal (Imran M. B.,

1938-a: 13-14).

Setelah membahas perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan

awal bulan melalui metode melihat bulan baru (ru’yah al-hilal) kitab Husn al-

Jawab selanjutnya membahas ibadah dengan menggunakan hisab atau ilmu falak

dalam menentukan waktu-waktu ibadah.

Kembali pada hadis yang menjadi pangkal timbulnya perbedaan pendapat

di atas, sebenarnya ketika hilal tidak nampak lantaran terhalang oleh remang dan

karenanya lahir perbedaan pendapat, maka masalah tersebut dapat diatasi dengan

menggunakan hisab dengan ilmu falak. Tetapi sebagian ulama, salah satunya al-

Hafidz (Ibn Hajar) tidak setuju dengan penggunaan hisab karena itu sama saja

menggunakan ilmu nujum, dan itu jelas dilarang. Sebuah persangkaan atau

perkiraan sama saja dengan dugaan yang tidak kuat.

Bagi ulama yang setuju menggunakan hisab dalam menetapkan awal bulan

berdasar pada pemahamannya terhadap QS. Yunus (10): 5.

           

 
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).

Jika ayat di atas dikaitakan dengan hadis: ‫” فإن غم عليكم فاقدرواله‬maka jika ada

remang di atas kamu maka takdirkanlah (tetapkanlah) baginya”. Dan yang

dimaksud dengan “faqduru lahu” adalah dengan hisab manazil. Inilah yang
389

dikatakan oleh al-Abbas ibn Suraij (Syafi’iyah), Muthraf bin Abdullah (tabi’in)

dan Quthaibah (muhaddisin). Demikian penjelasan al-Hafidz yang dikutip oleh

Basioeni Imran. Lebih lanjut Basioeni menulis:

Ia [al-Hafidz] sebut bahwa Ibnu Abdul Bar tiada hiraukan perkataan


mereka itu (kemudian ia berkata) dan me-naqal ibnu al-Arabi daripada
Ibnu Suraij bahwa sabdanya (Nabi SAW) (faqduruu lahu) maka kamu
takdirkan baginya yaitu khitab kepada orang yang telah ditentukan Allah
akan dia dengan ini ilmu, dan sabdanya: faakmaluu iddata, maka kamu
sempurnakanlah akan bilangan itu, yaitu khitab kepada orang umum
(orang ramai) maka jadilah wajib Ramadan kepadanya bersalah-salahan
atau berlainan hal wajib atas satu kaum dengan hisab matahari dan bulan
dan wajib atas orang yang lain dengan hisab bilangan (Imran M. B., 1938-
a: 18-19).

Basioeni Imran berpendapat saat rukyat al-hilal terhalang oleh adanya remang

maka jika memang terdapat ahli hisab pendapatnya bisa digunakan karena ia

menyakini ilmunya. Namun jika tidak ada ahli hisab, menjadi sebuah keniscayaan

bulan Syakban harus disempurnakan menjadi 30 hari.

Perbedaan pendapat dalam penggunaan cara hisab tidak hanya terjadi antar

mazhab yang berbeda, di kalangan ulama Syafi’iyah sendiri terdapat beragam

pendapat. Kembali Basioeni Imran mengutip penjelasan al-Hafidz dalam kitabnya

Al-Fath:

Sesungguhnya telah bersalah-salahan ulama al-Syafi’iyah tentang beramal


dengan hisab atas berapa perkataan (1) harus dan tiada memadai pada
fardu (2) Harus dan memadai (3) harus bagi tukang hisab dan memadai
akan dia, tidak harus bagi menujum—tukang nujum (4) harus bagi
keduanya dan bagi lain daripada keduanya bertaklid kepada tukang hisab
tidak kepada tukang nujum (5) harus bagi keduanya dan bagi yang lain
daripada keduanya (Imran M. B., 1938-a: 19).

Perbedaan pendapat di atas sangat wajar mengingat hisab atau perhitungan

falakiyah tidak ada ijmak atasnya pada masa salaf. Oleh karena itu, menurut

Basioeni Imran, hasil perhitungan (hisab) dari ilmu falakiyah tetap dapat
390

digunakan, tetapi hanya sebatas pada memprediksi posisi hilal di akhir bulan

Syakban atau pada menjelang malam ke-30 Syakban. Adapun untuk menetapkan

awal bulan Ramadan tetap harus menggunakan rukyat al-hilal atau melihat bulan

baru, tidak dengan hisab. Basioeni Imran mengatakan: “Jadi tiadalah men-tsabit-

kan wajib puasa itu perkataan ahli falak yang menghitung (hisab) itu tetapi dengan

ada bulan (hilal) dan hanya ahli falak itu menyatakan kepada sekalian orang

bilamana waktu bulan itu boleh dilihat” (Imran M. B., 1938-a: 21).

Basioeni Imran memberikan catatan lima hal yang perlu diperhatikan

terkait dengan perlunya hisab dengan ilmu falak. Secara ringkas lima hal tersebut

adalah sebagai berikut:

1) Penetapan awal bulan (Ramadan dan Syawal) sebenarnya sama dengan

penetapan waktu sembahyang yang lima kali. Jangan terjebak pada tata cara

penetapannya, tetapi yang terpenting adalah kehendak yang memiliki syariat

(Allah) tentang waktu-waktu ibadah itu adalah mengetahui akan Dia. Perintah

melihat bulan adalah karena kondisi masa Rasulullah yang sebagian

masyarakatnya adalah ummi (tidak tahu baca dan tulis), padahal misi

Rasulullah adalah mengeluarkan mereka dari kondisi ke-ummi-an tersebut.

Oleh karena itu, hisab dengan ilmu falak adalah bagian dari melaksanakan misi

pembebasan dari ke-ummi-an itu.

2) Allah berkehendak agar umat bersepakat dalam hal ibadah sepanjang masih

bisa sepakat, baik dalam hal washilah (perantara) maupun pada maksud ibadah

itu. Sungguh di masa awal, para sahabat sepakat dalam memaknai zhahir nash

dan perbuatan Rasulullah dalam penetapan waktu-waktu ibadah (puasa,


391

sembahyang, haji), yaitu dengan melihat matahari dan bulan. Namun jika tidak

dapat dilihat maka boleh dengan ditakdirkan (ditetapkan dengan hisab) atau

melihat tanda-tanda ketika tidak mungkin atau tidak dapat dilihat.

3) Tidak boleh beramal atas dasar zhan (prasangka). Saat ini ilmu falak yang

digunakan dalam hisab awal bulan masuk dalam kategori ilmu qath`i (ilmu

pasti)124 dan hasil hisabnya tidak masuk zhan, karena itu para pemimpin

negara-negara muslim dapat menggunakannya dalam penetapan hukum, dan

hal tersebut dapat dijadikan hujjah oleh orang-orang Islam.

4) Hisab dengan ilmu falak memperkuat perkataan Imam Ahmad yang

mewajibkan kembali kepada ra’yu (pandangan) Imam (Sultan yang kuasa atas

hukum syarak) dalam menetapkan puasa atau tidak, ketika ada remang saat

akan melihat bulan baru.

5) Jika para pemegang otoritas hukum konsisten menggunakan taqwim atau

almanak falakiyah dalam menetapkan bulan puasa (Ramadan) dan haji

(Zulhijjah) sebagaimana penggunaannya pada penetapan waktu sembahyang,

niscaya berhentilah perpecahan dan saling menyalahkan di kalangan umat

Islam di berbagai tempat yang memiliki kesamaan mathla` (tempat terbit

bulan). Jika berpegang pada tekstual nash [hadis yang telah disebutkan di atas]

maka sama maknanya seorang muazzin harus melihat terbitnya fajar baru dia

azan subuh atau telah melihat matahari terbenam baru ia azan maghrib.

124
Tengok keadaan gerhana bulan yang dinyatakan oleh mereka itu di dalam almanak akan
masanya pada negeri yang ditentukan oleh mereka itu dengan jam dan menit apabila intai dan
diperhatikan kemudian daripada telah dibetulkan jam pada waktu gelincir matahari niscaya
didapati betul bagaimana kenyataan mereka itu (ini catatan kaki yang diberikan oleh Basioeni
Imran dalam kitabnya Husn al-Jawab 'an Itsbat al-Ahillat bi al-Hisab [Molek Jawaban Pada
Menstabitkan Awal Bulan dengan Kiraan]), 1938: 25.
392

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika diedarkan takwim atau almanak yang

umum di mana di dalamnya dijelaskan hasil hisab terkait waktu-waktu awal

bulan (terutama Ramadan, Syawal dan Zulhijjah). Berbekal informasi awal dari

hasil hisab ini rukyat al-hilal dilakukan untuk memperkuatnya (Imran M. B.,

1938-a: 22-27).

Di akhir kitabnya Husn al-Jawab 'an Itsbat al-Ahillat bi al-Hisab Basioeni

Imran menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

Telah nyata daripada bahsun-bahsun yang tersebut bahwa tiada syak lagi
harusnya memakai hisab (perhitungan falakiyah) tentang menetapkan awal
bulan Ramadan dan lainnya, istimewa seperti negeri-negeri kita di Borneo
Barat: Sambas, Mempawah, Pontianak dan lainnya banyak hujan maka
berkehendak betul kepada hisab itu ialah seperti hisab (perhitungan) al-
Alim al-Falakiy al-Syahir al-Syaikh Muhammad Thahir Jalaluddin
Hafizhallah Taala. Maka beliau itu telah mengeluarkan sebuah takwim
(‫ )نتيجة العمر‬untuk mengenal awal tiap-tiap bulan Arab dan Masehi dari
mula Hijrah nabi kita Muhammad SAW. dan Milad memperanakkan al-
Masih Isa AS sampai hari kiamat, maka natijah ini patut benar disimpan
dan diketahui isinya oleh tiap-tiap orang yang suka akan ilmu dan hendak
mengetahui akan segala waktu sembahyang atau segala waktu ibadah
(Imran M. B., 1938-a: 28).

Berdasarkan ungkapannya di atas, jelas bahwa Basioeni Imran setuju

pengunaan hisab dengan mengunakan ilmu falak, baik dalam penetapan awal

bulan Ramadan (untuk menentukan awal berpuasa), bulan Syawal (untuk

menetukan hari raya Idul Fitri) dan bulan Zulhijjah (untuk menentukan hari raya

Idul Adha) serta menentukan waktu-waktu sembahyang setiap hari. Pertimbangan

utamanya adalah kondisi alam Sambas dan sekitarnya yang merupakan daerah

tropis yang sering hujan atau banyaknya kabut atau awan yang dapat menghalangi

visibilitas saat melaksanakan rukyat al-hilal. Pertimbangan berikutnya adalah

perkembangan ilmu falakiyah pada masa itu (tahun 1937, selesai ditulisnya kitab
393

Husn al-Jawab) telah dianggap oleh Basioeni Imran sebagai salah satu ilmu qath`i

atau ilmu pasti. Hal tersebut dibuktikan dengan ketepatannya dalam menghitung

atau memperkirakan waktu terjadinya gerhana. Jika ditinjau dari kondisi masa itu,

jelas sikap atau pendapat Basioeni Imran yang membolehkan menggunakan hisab

dengan ilmu falak adalah sikap yang tidak populer. Tetapi sebagaimana yang

dinyatakannya bahwa misi Rasulullah salah satunya adalah membebaskan

masyarakat dari kondisi ummi atau tidak bisa baca dan tulis. Dengan kata lain,

penggunaan ilmu falak dalam urusan ibadah menjadi salah satu cara Basioeni

Imran mengajak masyarakat untuk menghargai perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam karyanya yang lain Basioeni Imran mengatakan bahwa kemajuan umat

Islam di masa lalu salah satunya adalah kemampuannya mengembangkan ilmu

agama dan ilmu keduniaan. Umat Islam mundur salah satunya disebabkan telah

meninggalkan kedua ilmu tersebut (Imran M. B., 1933-a: 2).

4.2.5 Poligami

Dalam sebuah manuskripnya, Basioeni Imran secara khusus

membicarakan tentang poligami. Manuskrip tersebut berjudul Bahas Perkara

Berbilang Istri atau Berkawin Lebih dari Satu. Di dalamnya Basioeni Imran

menyatakan bahwa Alquran mengharuskan [membolehkan] menikah lebih dari

satu atau berpoligami hingga empat perempuan bagi seorang laki-laki adalah

untuk memperbaiki, bukan hendak merusak. Alquran mengharuskan poligami

bukan dengan sesuka hati tetapi dengan beberapa syarat. Setengah syaratnya

adalah berlaku adil di antara para istri dan jika tidak adil dan tidak cukup syarat,
394

maka Alquran lebih keras melarang berpoligami. Basioeni Imran juga menyatakan

tidak harus dan tidak boleh orang yang tidak setuju dengan poligami kemudian

mencela Alquran atau Islam yang mengharuskan [membolehkan] poligami.

Semestinya celaan diberikan kepada laki-laki yang berpoligami namun tidak

mencukupi syarat-syarat yang diterangkan oleh Alquran (Imran M. B., 1937: 1-2).

Sebelum menjelaskan mengapa Alquran mengharuskan [membolehkan]

poligami, Basioeni Imran terlebih dahulu menjelaskan bahwa Islam sangat

meninggikan derajat perempuan dan menyamakannya dengan derajat laki-laki,

kecuali tentang yang telah ditentukan bagi laki-laki seperti hak dan kekuasaan

menjaga dan memelihara perempuan karena dari aspek penciptaannya laki-laki

berbeda dengan perempuan. Islam yang menjadi rahmat bagi sekalian alam

menyuruh mengangkat derajat perempuan dan membuang kezaliman darinya.

Perempuan dihormati dan dimuliakan seperti laki-laki, karena derajat keduanya

adalah sama (Imran M. B., 1937: 2).

Pendapat atau pemikiran Basioeni Imran di atas layak diapresiasi. Dilihat

dari masanya membahas masalah ini, yaitu pada 1937, pemikiran Basioeni Imran

tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan serta sikapnya terhadap poligami

dapat dikatakan pemikiran yang jauh melampaui masanya. Kritik-kritik para

ulama dan intelektual, khususnya di Indonesia, tentang ketimpangan relasi laki-

laki dan perempuan baru mulai menggejala pada dua dekade akhir abad ke-20.

Memasuki abad ke-21 pembicaraan tentang jender mulai marak dan menjadi

bahan diskusi di berbagai tempat, tidak hanya di kampus-kampus tetapi juga di

kalangan tradisional pondok pesantren. Pemikiran Basioeni Imran yang


395

menyatakan bahwa Islam datang untuk meninggikan derajat perempuan sehingga

setara dengan laki-laki dan yang membedakannya hanya karena aspek

kejadiannya adalah pemikiran yang jelas sangat maju pada masanya. Hampir

sebagian besar ulama tafsir, ulama hadis dan fuqaha di masa itu masih

berpandangan bahwa perempuan tidak memiliki kesetaraan dengan laki-laki.

Pendapat Basioeni Imran tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan selaras

dengan yang ditulis oleh Nasaruddin Umar dan Amany Lubis pada 2002 berikut

ini. Islam cenderung membedakan fungsi antara laki-laki dan perempuan namun

tidak mengandung diskriminasi. Perbedaan itu didasari oleh kondisi fisik biologis

yang ditakdirkan, terutama organ seksual. Perbedaan itu tidak berarti keunggulan

satu atas yang lainnya. Yang pasti, Islam telah berperan besar dalam mengangkat

harkat dan martabat kaum perempuan. Semua ayat dan hadis yang menyatakan

keutamaan derajat manusia selalu tidak membedakan antara laki-laki dan

perempuan (Umar & Lubis, 2002: 26-27). Terkait dengan keadilan sebagai

persyaratan dalam poligami sebagaimana disebutkan oleh Basioeni Imran di atas,

Mulia menyatakan keadilan menjadi dasar dalam perkawinan, termasuk dalam

poligami:

Kedua ayat tersebut [Q.S. al-Nisa (4): 3; 129] secara tegas menyatakan
bahwa keadilan merupakan prinsip mendasar yang diajarkan Alquran
untuk dipakai dalam seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam
kehidupan perkawinan. Kedua ayat itu bukan melegitimasi poligami
sebagaimana dipahami banyak orang. Poligami hanyalah solusi sementara
bagi umat Islam pada masa-masa awal, sehingga mereka terbebas dari
perkawinan tak terbatas yang dikutuk karena sarat dengan ketidakadilan,
menuju perkawinan monogami yang menjamin keadilan (Mulia, 2004: 18).

Menurut Basioeni Imran, poligami bukanlah bagi bangsa Arab dan Islam

saja, karena hal itu juga ada pada bangsa-bangsa lain. Poligami sejarahnya
396

bersumber dari praktik perbudakan perempuan oleh orang kaya dan kuat

[penguasa]. Ada juga negeri-negeri yang panas yang penduduknya kuat syahwat.

Di Yunani banyak memperjual-belikan perempuan [budak] di pasar dan mereka

berpoligami tanpa batas. Demikian juga praktik tersebut terjadi di Jerman dan

Perancis. Di masa sekarang [1937 M], orang Eropa melarang poligami, tetapi

mereka mempraktikkan prostitusi baik melalui pergaulan bebas maupun yang

bersifat komersial dengan mendirikan rumah-rumah sundal tempat zina yang

terang di berbagai negara-negara besar. Padahal agama Islam sangat melarang hal

tersebut dengan diberlakukannya hukum rajam atau pukul seratus kali bagi pelaku

zina. Basioeni Imran juga mengutip Herbert Spencer, seorang filosof Inggris, yang

menuturkan kondisi di Inggris para istri dijual dan adanya undang-undang yang

mengharuskan bagi suami meminjamkan istrinya kepada laki-laki lain (Imran M.

B., 1937: 2-3).

Menarik mencermati argumentasi dan keluasan wawasan Basioeni Imran

seperti disebutkan di atas. Basioeni membandingkan praktik perbudakan dan

poligami di berbagai wilayah serta praktik pelarangan poligami di Eropa namun

prostitusi dibiarkan marak di tengah masyarakat. Basioeni Imran tidak pernah

bepergian ke Eropa dan karena itu pengetahuannya tentang praktik prostitusi di

Eropa diperoleh dari dari bahan bacaan yang dimilikinya. Selain berlangganan

majalah al-Manar, sebuah majalah seperti jurnal ilmiah saat sekarang, ditemukan

beberapa majalah terbitan Eropa berbahasa Inggris di sela-sela kitab-kitab milik

Basioeni Imran di Museum Tamadun Islam Nagri Sambas (bekas rumah Basioeni

Imran). Ada kemungkinan pengetahuannya tentang kehidupan protitusi di Eropa


397

bersumber dari sumber bacaan tersebut. Dengan perbandingan tersebut, Basioeni

Imran ingin menyampaikan bahwa kebolehan berpoligami dalam Islam, meskipun

dengan persyaratan yang ketat, adalah untuk menghindari pelecehan terhadap

perempuan sebagaimana terjadi dalam praktik poligami di masa lalu maupun

larangan berpoligami namun membiarkan prostitusi di masa ia menulis risalah

(tahun 1930-an). Baginya, kebolehan berpoligami harus dilihat dalam bingkai

penghormatan dan menjaga harkat dan martabat perempuan. Lebih lanjut Basioeni

Imran menulis:

Apakala Allah SWT mengirim akan Muhammad jadi Rasul kepada orang
Arab dan lainnya dan dibatalkan oleh syariat-Nya akan zina dan tiap-tiap
barang yang berarti serupa zina daripada nikah-nikah yang tidak sah
demikian dibatalkan barang yang menghitungkan bahwa perempuan
dipandang seperti satu benda atau hayawan (binatang) yang dimiliki.
Sungguhpun demikian, Islam tiada juga haramkan terus akan berbilang-
bilang istri atau lebih dari satu dan tiada Ia biarkan segala laki-laki di atas
hal keadaan mereka yang berlimpawan [berlimpahan] pada berbilang-
bilang istri dengan tidak berbatas dan pada menzhalimi akan mereka, akan
tetapi Islam haruskan yang demikian dengan bilangan yang bersetuju
dengan maslahat dan hal berhimpunnya manusia dan persediaan segala
laki-laki baginya ialah tiada boleh melebih daripada 4 orang perempuan
bagi seorang laki-laki yang merdeka dengan syarat kuasa atas memberi
nafkah yang cukup serta adil di antara dua orang istri atau lebih karena
menegahkan menzalimi akan segala perempuan dengan sedapat-dapatnya
ialah supaya menarik akan orang yang beragama Islam kepada berpendek
dan berpada dengan seorang istri saja melainkan karena darurat atau
terpaksa (Imran M. B., 1937: 4-5).

Basioeni Imran mengatakan bahwa Allah menurunkan syariat yang

membatalkan zina dan bentuk-bentuk pernikahan serupa zina yang menganggap

perempuan ibarat benda atau hewan. Meskipun demikian, Islam tidak

mengharamkan poligami namun juga tidak membiarkan laki-laki berpoligami

tanpa batas yang nantinya akan menjadikan mereka berlaku zalim terhadap para

istrinya. Islam membatasi poligami hanya sampai empat orang istri untuk
398

kemaslahatan, dengan syarat kuasa atau mampu memberi nafkah yang cukup serta

adil di antara para istri. Hal ini ditetapkan oleh Islam untuk mencegah perilaku

zalim terhadap perempuan. Sedapat-dapatnya orang Islam cukup beristri satu

orang saja, kecuali karena darurat atau terpaksa barulah dibolehkan berpoligami.

Berdasarkan Q.S. An-Nisa [4]: 4 dan 129, Basioeni Imran mengatakan ada

tiga masalah yang tidak ada perselisihan padanya, yaitu: Pertama, bahwa Islam

tidak mewajibkan poligami dan tidak pula ia sunnahkan. Islam hanya menyebut

bahwa hanya sedikit orang berpoligami yang lepas dari berbuat zalim yang

diharamkan. Oleh karena itu hendaklah berhati-hati dan menghitung diri atas

keinginan dan cita-cita jika ingin berpoligami agar bisa berbuat keadilan yang

wajib. Kedua, Poligami tidak diharamkan karena secara alamiah setiap laki-laki

berhasrat terhadap hadirnya anak, tetapi boleh jadi istri mandul. Atau mungkin

karena akibat perang jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Tidak

dipungkiri juga bahwa ada laki-laki yang kuat dan kaya serta kuasa memelihara

dua orang perempuan (istri) atau lebih. Ketiga, Islam mengharuskan

[membolehkan] poligami maksimal empat orang dengan syarat tidak

menimbulkan mudarat dan mendatangkan manfaat bagi perempuan (Imran M. B.,

1937: 21-22).

Lebih lanjut Basioeni Imran mengatakan dalam naskahnya Bahas Perkara

Berbilang Istri atau Berkawin Lebih dari Satu sebagai berikut:

Daripada yang tersebut nyata benar bahwa Islam mengharuskan berkawin


lebih dari satu hingga empat bagi orang yang merdeka dengan cukup
syarat yaitu karena memperbaiki hal manusia bukan karena hendak
memuaskan hawa nafsu dengan bersepah-sepah dengan perempuan. Maka
Islam senantiasa memandang kepada perempuan seperti memandang
kepada laki-laki. Hanya ia haruskan bagi beristri lebih dari satu karena
399

darurat atau terpaksa, itupun dengan syarat adil di antara keduanya. Dan
bahwa berkawin satu ialah yang setinggi-tinggi hidup laki istri dan ialah
yang sebaik-baiknya hendaknya….Telah diketahui bahwa Islam tidak ada
mewajibkan berkawin lebih dari satu hingga empat melainkan ia haruskan
yang demikian bagi orang yang adil dan mampu akan nafkah dan berdiri
dengan syarat-syarat perkawinan dan hidup laki istri maka barangsiapa
yang tiada mencukupi akan syarat-syarat dan tiada akan adil maka Islam
tiada haruskan baginya berkawin lebih dari satu. Dan siapa-siapa yang
berkawin lebih daripada satu dengan tidak mendirikan keadilan dan tidak
cukup syaratnya maka bukanlah perkawinannya menurut Islam dan Quran
(Imran M. B., 1937: 10-11).

Sebagai seorang murid yang setia mengikuti perkembangan pemikiran

gurunya Rasyid Ridha, dimungkinkan pemikiran atau pendapat Basioeni Imran

tentang poligami terinspirasi dari sang guru. Rasyid Ridha sebagaimana gurunya

Muhammad Abduh,125 menganggap bahwa idealnya perkawinan adalah

monogami. Poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat. Akan tetapi,

meskipun dalam keadaan darurat poligami diperbolehkan, jaminan untuk tidak

akan muncul kejahatan dan kezaliman harus dipenuhi terlebih dahulu. Mengacu

pada Q.S. al-Nisa (4): 3 dan 129, Rasyid Ridha menjelaskan tiga masalah pokok

yang perlu diperhatikan:

Pertama, Islam tidak menganjurkan, apalagi mewajibkan poligami, tetapi


menunjukkan bahwa sedikit sekali pelaku poligami yang bisa berbuat adil.
Bahkan dapat dikatakan, hampir tidak ada yang bisa membagi rasa cinta
terhadap semua istrinya, sehingga mereka sulit sekali membebaskan dari
penganiayaan dan kezaliman yang diharamkan. Jadi, ayat ini mengandung

125
Dengan mengaitkan ayat ke-3 dan ayat sebelumnya, ayat ke-2 surah al-Nisa, Muhammad
Abduh mengatakan dalam Tafsir al-Manar (IV: 349): “Dari dua ayat di atas, diketahui bahwa
kebolehan jumlah berbilangnya istri dalam Islam adalah persoalan kesempitan atau darurat
yang sangat, yang dibolehkan bagi yang melakukannya dengan syarat bisa berbuat adil dan
aman dari ketercelaan”. Meskipun mentolerir praktik poligami di awal-awal Islam, Muhammad
Abduh sangat menentang poligami yang dipraktikkan dalam masyarakat, karena ia
menganggap poligami sebagai biang keladi kerusakan masyarakat yang terjadi di Mesir.
Bahkan ia mengatakan dengan menggunakan kaidah dar`u al-mafasid muqaddamu `ala jalbi
al-mashalih maka inna ta`adduda az-zaujati muharramun qath`an `inda al-khaufi min `adami
al-adli. Dalam hal ini, poligami diharamkan apabila tidak mungkin terciptanya keadilan di
antara para istri (Ismail, 2003: 222-223).
400

hikmah bahwa jika seorang laki-laki akan berpoligami hendaknya


mempertimbangkan dengan matang soal tujuan, kemauan, dan melihat
lebih jauh ke depan tentang kemanfaatan dan kemudaratannya.
Kedua, Islam tidak mengharamkan poligami secara mutlak, tetapi juga
tidak terlalu longgar. Hal ini mengingat watak kebiasaan laki-laki yang
tiak puas dengan satu istri; karena adanya tuntutan mencari keturunan;
karena jumlah perempuan yang terlalu banyak; dan karena banyak janda
atau perempuan yang tidak memiliki suami atau pelindung untuk
memberikan nafkah akibat sebuah peperangan yang memakan banyak
korban di pihak laki-laki. Sementara itu, di pihak lain ada laki-laki yang
cukup kaya dan mampu menghidupi lebih dari satu istri.
Ketiga, Islam memberikan “hukum mubah” atau boleh atas poligami
dengan syarat ketat dan berbagai sebab seperti di atas, di samping harus
mempertimbangkan dampak buruknya (Ridha, 1996: 55-56).

Mencermati tulisan Rasyid Ridha di atas, terlihat bahwa yang disampaikan

Basioeni memiliki kemiripan dengan tulisan sang guru. Ini menunjukkan bahwa

pengaruh tulisan-tulisan Rasyid Ridha terhadap pemikiran Basioeni Imran tak

dapat dipungkiri. Seperti telah dijelaskan di bagian terdahulu, meskipun tidak lagi

berhubungan langsung sebagai murid dan guru, Basioeni Imran tetap memelihara

hubungan baik dengan Rasyid Ridha melalui konrespondensi. Ide-ide Rasyid

Ridah secara rutin dibaca oleh Basioeni Imran melalui majalah al-Manar yang

dilanggannya. Sikap Basioeni Imran untuk mengikuti pendapat Rasyid Ridha

dalam hal poligami tentu saja bukan persoalan sederhana, karena lingkungan

masyarakat yang dihadapinya, yaitu masyarakat Kerajaan Sambas tahun 1930-an

masih sulit menerima pemikiran yang progresif.

Berkaitan dengan peran pemerintah atau penguasa menyangkut poligami,

Basoeni Imran menyarankan agar di tiap-tiap negeri didirikan mahkamah syariat

Islamiyah yang dikepalai oleh orang yang alim dan mengetahui dan faham syariat

Islamiyah. Mahkamah ini bertugas menilik orang yang hendak berpoligami,

apakah yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat untuk berpoligami atau tidak.


401

Pemerintah melalui mahkamah syariat harus mencegah jika yang ingin

berpoligami tidak memenuhi syarat, sesuai dengan kaidah ushul fikih “menolak

kerusakan didahulukan atas mengambil maslahat atau faedah” [ ‫درء المفاسد مقدم علي‬

‫]جلب المصالح‬.

4.2.6 Talkin Mayat dan yang Terkait dengan Orang Meninggal

Salah satu persoalan hukum yang sering diperselisihkan oleh umat Islam

adalah hukum talkin126 terhadap mayat. Bahkan menurut Basioeni Imran talkin

mayat sejak dahulu kala telah menjadi perselisihan di antara para ulama

mutaqaddimin dan mutaakhirin. Persoalan perbedaan pendapat tentang hukum

talkin mayat menjadi lebih memprihatinkan jika dilihat dari sisi dampaknya.

Dalam hal ini, Basieoni Imran menulis:

Maka mereka tidak cukup dengan menyatakan mana yang benar dan mana
yang salah saja, tetapi mereka jadikan talkin itu tempat celaan dan kata
nista. Oleh karena itu timbul perbantahan dan berpecah belah sesama
sendiri dan perseteruan yang hebat yang sesangat dilarang Allah yang
terlebih besar mudaratnya daripada mudarat talkin, jika dikatakan bahwa
talkin itu mudarat (Imran M. B., 1943: 31).

Dampak perpecahan dan pertikaian yang ditimbulkan dari saling menyalahkan

antara yang mempraktikkan talkin mayat dengan yang tidak jauh lebih besar

mudaratnya daripada mudarat mempraktikkan talkin itu sendiri (jika

126
Asal perkataan talkin dari “laqqanahu al-kalam” : ”fahhamahu iyyahu”. Artinya, ia talkinkan
kepadanya akan perkataan, yakni pahamkan kepadanya akan dia, atau ia ajar akan dia ( (Imran
M. B., 1943: 30). Dalam praktiknya, mentalkinkan mayat adalah: setelah mayat dikuburkan
dan tanah kuburan sudah diratakan dan dirapikan serta dipasang batu nisan, maka salah seorang
tokoh agama membaca sebuah pesan yang isinya “mengajarkan” kepada orang yang baru
dikuburkan bahwa ia telah masuk ke alam kubur dan segera setelah para pengantar jenazah
pulang maka akan datang malaikat Munkar dan Nakir bertanya kepadanya. Pertanyaan itu
antara lain: Siapa Tuhanmu? Siapa Nabimu? Apakah agamamu? Apa kiblatmu? Siapa
pemimpinmu? Dan Siapa saudaramu?. Maka jawablah: Allah Tuhanku, Muhammad Nabiku,
Islam agamaku, Ka’bah kiblatku, Alquran imamku, dan Muslim-Muslimat saudaraku. Saat ini
teks bacaan talkin sudah tersedia di dalam buku majmu` syarif.
402

mempraktikkan talkin adalah mudarat). Dengan demikian, bagi Basioeni Imran,

terlebih penting menjaga kerukunan dan kesatuan umat Islam daripada

mempermasalahkan hukum talkin yang masing-masing (antara yang setuju dan

yang tidak setuju) memiliki argumentasi.

Di dalam kitabnya al-Janaiz, Basioeni Imran berupaya mengemukakan

argumentasi baik kelompok yang mempraktikkan talkin maupun yang tidak.

Basioeni Imran menunjukkan bahwa kelompok yang mempraktikkan talkin

memiliki sandaran (rujukan) dari pendapat para ulama, demikian juga sebaliknya.

Berdasarkan penelitian Basioeni Imran, tidak ditemukan pembicaraan Imam

Syafi’i tentang talkin di dalam kitabnya al-Um (‫)االم‬. Meskipun demikian,

kelompok yang mempraktikkan talkin didasarkan pada beberapa pendapat ulama

Syafi’iyah. Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshariy al Syafi’i dalam kitabnya Atsna

al-Mathalib Syarh al-Raudha mengatakan hendaklah ditalkin mayat itu sesudah

ditanam dengan yang ma’tsur. Selanjutnya, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Minhaj

disebutkan bahwa talkin mandhub yaitu sunnah atas orang yang ditanya di dalam

kuburnya, sekalipun adalah ia bid’ah (tidak ada sunnah yang sahih). Imam

Muhammad al-Syaukani dalam Nail al-Authar menyebutkan bahwa talkin sunnat

hukumnya. Selanjutnya Ibnu Taimiyah di dalam kitab Fatwa-nya cenderung netral

dengan mengemukakan bahwa Imam Ahmad membolehkan, sunnat menurut

ulama Syafi’iyah, makruh menurut ulama Malikiyah.

Berdasarkan penelusurannya terhadap pendapat para ulama, Basioeni

Imran sangat menyayangkan orang-orang yang menyatakan jahil dan bodoh serta

mencaci maki orang yang membacakan talkin kepada mayat.


403

Bukanlah perbuatan mereka semata-mata jahil dan bodoh tetapi yang


mereka ikut dan turut ialah ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Dari
sebab itu tidak pantas dan tidak harus bagi siapa-siapa yang
mengingkarkan [menolak] talkin hendak mencaci akan orang yang
memakai akan dia sekalipun dalilnya dhaif dan lemah. Tetapi harus
baginya menyatakan haq [kebenaran] dengan adab dan dengan perkataan
yang baik (Imran M. B., 1943: 35).

Praktik membacakan talkin bagi mayat setidaknya bukanlah perbuatan yang

dilakukan dengan tanpa dasar pendapat para ulama. Oleh karena itu, meskipun ada

kelompok yang tidak setuju dengan alasan talkin mayat adalah perbuatan bid’ah

yang buruk, haruslah menyampaikan ketidaksetujuan dengan cara-cara yang

beradab. Bukan dengan cara caci maki dan menistakan. Menyampaikan sebuah

kebenaran harus dengan cara yang benar pula.

Berdasarkan penjelasan di atas, Basioeni Imran berupaya bersikap netral

terhadap kelompok yang mempraktikkan dan yang menolak talkin mayat.

Pendapat ini didasarkan pada adanya dalil yang mendasari sikap kedua kelompok

tersebut. Yang menjadi keprihatinan Basioeni Imran adalah dampak perbedaan

pendapat yang menimbulkan saling menyalahkan dan menista antara yang

mempraktikkan dan yang menolak talkin mayat.

Basioeni Imran menyatakan masalah talkin mayat ini sebenarnya telah ia

pertanyakan kepada gurunya Rasyid Ridha dan pertanyaan tersebut beserta

jawabannya dimuat dalam Al-Manar volume 31 nomor 5 terbit 20 Desember 1930

(Imran M. B., 1943: 35). Pertanyaan Basioeni Imran adalah sebagai berikut:

Apakah boleh bagi seseorang untuk mentalkin mayat setelah dikebumikan


sebagaimana diriwayatkan dalam Abi Umamah, apakah haram? Apakah
itu termasuk bid’ah dhalalah? Dan saya telah membaca ulasan Anda
dalam jilid 6 halaman 18 dari al-Manar yang mengatakan: Dan
kesimpulan dari pendapat tentang talkin mayit adalah bahwa ia tidak
ditemukan dalam Alquran dan Hadis Rasul. Dan tidak ada satu pendapat
404

pun dari para muhaqqiq yang mengatakan ia sunnah, bahkan sebagian


ulama fiqih berpendapat bahwa kesunnahannya adalah karena terlalu
menggampangkan menggunakan hadis dhaif. Dan Imam Barmawi
bukanlah seorang yang bisa diikuti. Dan betapa banyak kitab-kitab seperti
miliknya dan yang lebih tahu darinya berisi banyak bid’ah. Maka tidak
pantas bagi seseorang untuk mempercayai kecuali apa yang sudah
dijelaskan oleh para muhaqqiq dan benar-benar telah dinukil dari Nabi,
mayoritas salaf.
Apakah boleh bagi seorang untuk mengikuti sebagian ulama yang
mengatakan bahwa talkin sunnah dengan bersandar pada hadis dhaif itu?
(Al-Manar Volume 31 Nomor 5. 1930: 347. Lihat juga: Imran M. B..
1943: 35-36).
Jawaban Rasyid Ridha di dalam al-Manar edisi yang sama adalah sebagai berikut:

…Maka kami melihat, bahwa kesunnahan talkin ini dinisbatkan kepada


segolongan dari golongan ulama Syafi`iyah dan di dalamnya tidak
disebutkan sandaran dari hadis kecuali yang diriwayatkan oleh Abi
Umamah yang kami sebutkan pada jilid ke tujuh. Dan dinukil dari Ibnu
Sholah, dia berkata bahwa: “Sanad hadis ini tidak kokoh, tetapi hanya
diperkuat oleh penyaksian amal dan pekerjaan penduduk Syam”.
Kemudian Imam Nawawi berkata: “Diriwayatkan oleh Abul Qasim at-
Thabari dalam kitab Mu’jam-nya dengan sanad dhaif, kemudian berkata
(Thabari) setelah meriwayatkan hadis itu: ‘Aku berpendapat bahwa hadis
ini walau dhaif namun bisa diamalkan’. Dan ulama ahli hadis lainnya
bersepakat bahwa menggunakan hadis keutamaan pekerjaan, anjuran dan
ancaman dapat ditolerir.”
Dan saya [Rasyid Ridha] berkata: Bahwa hadis dhaif tidak bisa dijadikan
sebagai penetapan hukum syariat. Adapun yang dimaksud dengan
ditoleransi dalam penggunaannya oleh sebagian ulama dalam masalah
keutamaan amal, anjuran dan ancaman – dalam hal ini tidak ada unsur
penguatan terhadap perkara yang disyariatkan selain hanya mensyariatkan
sesuatu yang baru terhadap apa yang tidak disyariatkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
………………………………………………………………………………
Dan adapun mereka yang mengingkari talkin ini adalah mayoritas Imam,
Ulama mujtahid yang diikuti bagi sekian madzhab. Dan sebagian dari
ulama itu adalah ulama Syafi’iyah sebagaimana diketahui dalam
argumentasi Imam Nawawi. Apabila tidak ditemukan kesepakatan ulama
dalam masalah ini, maka talkin adalah sebuah perkara bid’ah, dan segala
bid’ah dalam agama adalah kesesatan (Al-Manar Volume 31 Nomor 5.
1930: 349-350; Lihat juga: Imran M. B.. 1943: 36-38).

Demikian pertanyaan Basieoni Imran dan jawaban dari Rasyid Ridha

tentang masalah talkin mayat. Jawaban Rasyid Ridha jelas menyatakan bahwa
405

talkin mayat termasuk bid’ah karena tidak ada dalil yang kuat sebagai dasar

hukumnya. Hadis dha`if yang dijadikan dasar oleh ulama yang membolehkan

talkin menurut Rasyid Ridha tidak bisa digunakan sebagai dalil kebolehan talkin

mayat. Setelah mengemukakan pertanyaan dirinya dan jawaban Rasyid Ridha,

maka di akhir pembahasan tentang talkin mayat dalam kitab Al-Janaiz, Basioeni

Imran mengemukakan secara tegas pendiriannya: “Saya berkata: telah nyata

daripada ini putus bahwa talkin itu bid`ah dhalalah karena tak ada alasan atau

dalil yang sahih daripada Kitab atau Sunnah untuk menguatkan tilikan itu” (Imran

M. B., 1943: 38). Dengan pernyataannya ini, jelas bahwa Basioeni Imran

mengikuti pendapat gurunya Rasyid Ridha.

Hampir sama dengan masalah talkin di atas, dalam hal pahala bacaan

Alquran dan bacaan lainnya yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah

meninggal Basioeni Imran menyetujui pendapat dari gurunya Rasyid Ridha dan

Muhammad Abduh. Persoalan menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan lainnya

kepada orang yang telah meninggal dibahas Basioeni Imran dalam kitab Al-Janaiz

(hal. 38-41). Di awal pembahasannya dikemukakan berbagai pendapat ulama dan

dalil-dalil (hadis) serta kualitasnya. Di akhir pembahasan Basioeni Imran

mengutip Tafsir Al-Manar terkait masalah tersebut. Ringkasnya, Tafsir Al-Manar

menyebutkan bahwa tidak berpindah pahala dari orang yang berdoa kepada yang

didoakan. Pahala orang yang beribadah adalah untuk dirinya sendiri. Kecuali do`a

seorang terhadap orang yang telah meninggal dan doa tersebut dikabulkan Allah,

maka itu bermanfaat bagi yang didoakan. Khusus anak, maka baik doa maupun

amalnya, jika dikabulkan Allah maka itu bermanfaat bagi orang tua yang telah
406

meninggal (Imran M. B.. 1943: 40-41).

Masih terkait dengan masalah orang yang meninggal, Basioeni Imran

menulis dalam al-Janaiz:

Daripada yang tersebut yaitu bahwa adat yang telah berlaku dari hari turun
tanah, tiga hari, tujuh hari, lima belas hari, dua puluh hari, empat puluh
hari, dan seratus hari berkumpul di rumah orang mati dan memberi makan
yaitu daripada niyahah (merumpi) [menangisi mayat] yang menyalahi
syariat (Imran M. B.. 1943: 43).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Basioeni Imran menyatakan tidak

sesuai syariat kegiatan atau acara selamatan atau (orang Sambas menyebutnya

beruah) yang mengiringi kematian seseorang. Terkait keluarga orang yang

meninggal memberi makan orang-orang yang bertakziah, maka hal tersebut

hukumnya makruh. Basioeni Imran mengutip pendapat Imam Syafi`i di dalam

kitab al-Um yang memakruhkan menangisi orang mati, demikian juga berkumpul

di rumah orang yang mati juga makruh. Demikian juga pendapat Ibnu Qudamah

dalam kitab al-Mughni (mazhab Hambali) bahwa berkumpul dan makan di rumah

orang yang meninggal hukumnya makruh, kecuali bagi keluarga yang berasal dari

tempat yang jauh dan harus menginap itu tidak mengapa (Imran M. B.. 1943: 42-

43).

Di dalam kitab al-Janaiz-nya Basioeni juga membahas tentang perlakuan

terhadap kuburan. Setelah mengutip beberapa hadis dan pendapat beberapa ulama,

Basioeni Imran menyatakan:

Daripada hadis-hadis yang tersebut, telah nyata bahwa ditegahkan oleh


Nabi SAW: (1) Meninggikan kuburan daripada mesti [semestinya]; (2)
Menyemennya; (3) Membina [membuat bangunan] di atasnya dan
membuat kubah; (4) Menulis di atasnya seperti ditulisi di kayu-kayu nisan;
dan (5) Ditunjuk akan dia dan diduduki atasnya (Imran M. B.. 1943: 45).
407

Basioeni Imran juga menyatakan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid

dan memasang api padanya berdasarkan beberapa hadis yang dikutipnya (Imran

M. B.. 1943: 47-48). Dalam hal ziarah kubur, dikatakannya bahwa disukai akan

ziarah kubur bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Ada perbedaan pendapat

ulama tentang kebolehan perempuan ziarah kubur karena ada hadis yang saling

bertentangan. Karena itu, dibenarkan perempuan ziarah kubur jika tidak

mendatangkan fitnah atau menangis serta merumpi di kubur maka itu dilarang

(haram) (Imran M. B.. 1943: 48-50).

Membaca berbagai masalah yang disampaikan oleh Basioeni Imran di

dalam kitab al-Janaiz-nya, nyata bahwa sebagian besar pendapatnya mengikuti

pendapat Rasyid Ridha. Pendapat-pendapat yang berupaya mengubah tradisi atau

kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam kaitannya dengan orang yang telah

meninggal dunia. Jika dilihat praktik yang dijalani oleh Basioeni Imran khususnya

pada era 1920-an (seperti yang diuraikan pada bagian terdahulu), maka terjadi

perubahan sikap padai dirinya. Berdasarkan catatan harian tahun 1926, banyak

catatan di mana ia sering menghadiri acara tahlilan warga masyarakat Sambas.

Bahkan Basioeni Imran sendiri mengadakan tahlilan untuk ibunya di rumahnya.

Uraian tentang pemikiran hukum di atas memberi gambaran Basioeni

Imran adalah sosok yang lentur atau tidak kaku. Saat menyampaikan pendapatnya

tentang hukum orang yang meninggalkan sembahyang ia terlihat keras dan tanpa

kompromi dan cenderung tekstualis. Sikapnya kemudian menjadi transformatif

saat mengambil qaul qadim-nya Imam al-Syafi`i yang menyatakan sah

sembahyang Jumat meskipun jamaahnya kurang dari empat puluh orang. Di saat
408

ia setuju dengan penggunaan hisab melalui ilmu falak, Basioeni Imran

menampilkan sosok dirinya sebagai ulama yang modern dan lebih

menggutamakan akal. Ia kemudian tampil sebagai ulama yang moderat saat

menyatakan poligami hingga empat orang istri dibolehkan dalam keadaan darurat

dan memenuhi persyaratan. Berikutnya Basioeni Imran menampilkan sikap

puritan saat menyatakan talkin mayat hukumnya bid’ah dan beberapa tradisi yang

dipraktikkan masyarakat saat ada orang meninggal dunia.

Aneka sikap yang ditunjukkan oleh Basioeni Imran dalam pemikiran

hukumnya sebenarnya bukan tanpa dasar yang kuat. Sebagaimana akan dilihat

pada pembahasan berikutnya, Basioeni Imran sangat prihatin dengan kemunduran

umat Islam yang dicirikan dengan terjadinya perselisihan dan perpecahan, baik di

kalangan ulama apalagi di kalangan masyarakat awam. Di sisi yang lainnya, ia

telah belajar banyak tentang ide-ide modern dari belajar dengan Rasyid Ridha dan

dari konsistennya membaca majalah al-Manar. Basioeni Imran ingin mengajak

masyarakat untuk keluar dari kondisi keterbelakangan menuju kehidupan yang

lebih maju dan modern. Bersamaan dengan itu, ia juga tidak ingin masyarakat

semakin larut dalam perselisihan dan tercerabut dari nilai-nilai dan ajaran Islam

yang benar. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk senantiasa

menyesuaikan diri (lentur dan tidak kaku) dengan kondisi dan situasi saat

menentukan sikap di bidang hukum.

Dari sisi metode penetapan hukum, pada semua tulisannya Basioeni Imran

senantiasa memulai pembahasannya dengan mengemukakan dalil-dalil ayat

Alquran baru kemudian hadis-hadis nabi. Setelah itu ia menampilkan berbagai


409

pendapat para ulama, baik pendapat para imam mazhab yang empat maupun

ulama-ulama yang terikat dengan mazhab tertentu. Tidak ketinggalan juga

menampilkan pendapat-pendapat gurunya Rasyid Ridha. Baru setelah itu ia

memilih pada salah satu pendapat dan memperkuatnya atau ia berpendapat sendiri

dengan menampilkan argumentasinya. Meskipun terkadang ada sedikit pendapat

hukumnya tidak mengikuti mazhab Imam Syafi`i, namun secara umum Basioeni

Imran adalah pengikut setia mazhab Syafi`i. Ia sering menyebut dalam tulisannya

Imam kita al-Syafi`i sebagai bentuk pengakuannya sebagai pengikut Imam Syafi’i.

4.3 Pemikiran Tafsir

Hasil penelusuran sumber-sumber menunjukkan bahwa Basioeni Imran

lebih banyak berkonsentrasi menulis dalam bidang hukum Islam atau fikih. Tidak

ada karya lengkap apalagi yang telah diterbitkan dalam bidang tafsir Alquran.

Hanya ada dua manuskrip singkat yang isinya tidak utuh yang Basioeni Imran

sendiri menyebutnya sebagai tafsir. Pertama, Tafsir Ayat al-Shiyam (1936) yang

ditulis pada 10 November 1936 M. atau 17 Ramadan 1357 H. Naskah manuskrip

ini hanya terdiri dari delapan halaman buku tulis. Berisi tafsir Q.S. al-Baqarah (2):

183-185. Kedua, Tafsir Tujuh Surah Pendek, manuskrip yang tidak ada informasi

waktu penulisannya dan tanpa diberi judul. Naskah ini berisi penafsiran Basioeni

Imran terhadap surah-surah: al-Fatihah, al-‘Ashr, al-Kautsar, al-Kafirun, al-

Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas. Seluruh naskah ditulis dari halaman 1 s.d. 24, tetapi

lembaran halaman 19, 20, 21 dan 22 hilang. Selain dua naskah singkat tersebut,

ada satu kitab yang telah dicetak berjudul Irsyad al-Ghilman Ila Adab Tilawah
410

Alquran (1934). Meskipun kitab Irsyad al-Ghilman ini bukan termasuk tafsir,

tetapi peneliti masukkan dalam pembahasan pemikiran tafsir karena ini kitab ini

membicarakan bagaimana seharusnya sikap umat Islam terhadap kitab sucinya,

Alquran.

4.3.1 Seputar Alquran

Kitab Irsyad al-Ghilman ila Adab Tilawat Alquran (selanjutnya ditulis

Irsyad al-Ghilman) ini diawali oleh penulisnya Basioeni Imran dengan kata

pendahuluan yang isinya menjelaskan definisi Alquran dan alasannya menulis

kitab ini.

Quran yang mulia itu ialah Kalam Allah (firman-Nya) yang diturunkan-
Nya di atas nabi-Nya yang ummi (yang tidak tahu membaca dan menulis)
Sayyidina Muhammad SAW. dan ialah kitab yang melemahkan segala jin
dan manusia hendak mendatangkan satu surah yang seumpamanya dari
mula turunnya sampai ini hari, tetapi sampai hari kiamat maka tak ada
suatu daripada ilmu (pengetahuan) melainkan ada padanya, dan tak adalah
satu kitab daripada kitab-kitab Allah Ta’ala yang terpelihara daripada
berubah atau hilang atau lenyap suatu daripadanya (Imran M. B., 1934: 1).

Dengan definisi di atas Basioeni Imran menekankan beberapa hal.

Pertama, Alquran adalah kalam atau firman Allah, bukan perkataan Muhammad

atau lainnya; Kedua, Rasulullah Muhammad yang diberi amanah untuk menerima

kalam Allah adalah manusia yang ummi, yang tidak bisa membaca dan menulis.

Dengan demikian, lebih menegaskan bahwa tidak mungkin manusia yang tidak

bisa membaca dan menulis mampu membuat ayat-ayat yang begitu baik dan indah

susunan kata-katanya. Ketiga, Alquran adalah mukjizat yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad SAW. Di antara kemukjizatannya adalah ketidakmampuan jin

dan manusia untuk membuat satu surah saja yang serupa Alquran. Keempat,
411

Alquran merangkum seluruh ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia

bahkan sampai kapanpun. Kelima, Alquran adalah kitab suci yang terpelihara dari

perubahan ataupun penghilangan sekecil apapun darinya.

Alquran adalah untuk beribadah, yaitu dengan membaca ayat-ayatnya baik

di dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, apakah yang membacanya

paham atau tidak paham maknanya, semua akan diberi pahala oleh Allah. Agar

membaca Alquran berpahala maka membacanya haruslah dengan betul dan ikhlas.

Alquran diturunkan adalah untuk dibaca karena di dalamnya terdapat petunjuk

bagi manusia, dan karenanya haruslah membacanya disertai dengan pemahaman

atas maknanya. Kalau membaca Alquran tidak tahu maknanya, maka yang

membacanya tetap berpahala tetapi hanya sedikit manfaat yang didapatnya.

Karena membaca Alquran harus betul dan dipahami maknanya maka Basioeni

Imran menyusun kitab Irsyad al-Ghilman agar menjadi petunjuk setiap orang

yang ingin membaca dan memahami Alquran.

Pada bagian awal pembahasannya, Basioeni Imran mengemukakan

hukum menyentuh mushaf (Quran yang ditulis atau dicap dijadikan sebagai buku

atau kitab) dengan tanpa berwudhu. Dijelaskan bahwa jumhur ulama dan imam

mazhab yang empat menyatakan haram hukumnya, sedangkan sebagian ulama

mengatakan tidak haram. Basioeni Imran menyatakan mengikuti dan memakai

perkataan jumhur dengan memberikan argumentasi hal itu sebagai ihtiyath

(kehati-hatian) dan adab terhadap Alquran (Imran M. B., 1934: 5). Basioeni Imran

juga mengikuti pendapat jumhur ulama dan empat imam mazhab dalam hal

keharusan berwudhu saat membaca Alquran serta keharaman membaca Alquran


412

bagi orang yang sedang junub dan perempuan yang sedang haid. Adab dalam

membaca Alquran harus suci dari najis dan hadas serta batin yang suci dari riya’

dan ujub. Membaca Alquran harus dengan ikhlas, khusyuk, tawaduk, dan

khasyiyah (takut kepada Allah) serta tartil (bagus dan sempurna tajwidnya) (Imran

M. B., 1934: 5; 8).

Kitab Irsyad al-Ghilman cukup panjang membahas tentang hukum

membaca Alquran dengan menggunakan irama tertentu atau dalam kitab ini

disebut membaca Alquran dengan gaya atau lagu-lagu. Sebagian ulama

mengatakan boleh saja membaca Alquran dengan lagu yang secara naluriah,

bukan lagu yang perlu diperlajari dengan susah payah. Karena pada dasarnya

manusia memiliki potensi seni untuk membaca Alquran dengan cara yang indah,

bukan yang dipelajari secara khusus. Sementara itu ada ulama yang menyatakan

makruh hukumnya jika membaca Alquran berlagu atau bergaya jika lagu yang

digunakan diperoleh atau dipelajari dengan bersusah payah. Basioeni Imran

menyatakan:

Hendaklah engkau baca dengan tajwid dan tartil dan tadabbur


(memikirkan maknanya dan maksudnya jikalau engkau paham akan dia).
Maka janganlah engkau berbimbang dengan lagu dan gaya dan lali
daripada yang demikian, teristimewa dengan bersusah payah dengan tinggi
suara hingga mengurangkan adab dan hormat kepada Kalam
Allah …sebagai orang bernyanyi dengan syair-syair dan pantun-pantun
jikalau diperbuat demikian maka tak syak lagi bahwa ia haram dan wajib
dilarang orang yang memperbuatnya (Imran M. B., 1934: 20).

Membaca Alquran berlagu yang dibolehkan atau disunnahkan ialah tidak dengan

besusah payah dan tidak mencederai bacaan, cukup dengan tajwid, tartil, tidak

lupa mempelajari atau memahami isinya. Membaca Alquran harus dengan adab

dan khusyuk dan menjauhi `ujub atau riya’ dan tidak bermegah-megah tetapi
413

harus dengan ikhlas. Khusus untuk perempuan, terutama para gadis, agar tidak

membaca Alquran dengan suara nyaring, apalagi dengan berlagu sementara yang

mendengar bukanlah muhrimnya, karena dikhawatirkan akan timbul fitnah (Imran

M. B., 1934: 20-21).

Kitab Irsyad al-Ghilman, sesuai dengan judulnya, adalah kitab yang ditulis

untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi anak-anak agar membaca Alquran

sesuai dengan adab atau tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para

ulama. Isi kitab sederhana dan ringan serta mudah membacanya, dalam arti tidak

dengan pembahasan dalil-dalil yang mendalam.

4.3.2 Tafsir Ayat-ayat Puasa

Salah satu manuskrip Basioeni Imran yang berbicara tentang tafsir adalah

naskah tafsir ayat-ayat puasa, yaitu Q.S. al-Baqarah (2): 183-185. Tulisan diawali

rangkaian ayat 183, 184 dan 185 Surah al-Baqarah. Pembahasan dimulai dengan

definisi shiyam yang dari arti bahasanya adalah imsak, yaitu menahan dari segala

sesuatu. Menurut hukum syarak yaitu: “menahan dari makan, minum dan campur

(jima’) dengan perempuan dari waktu fajar hingga maghrib (masuk matahari)

dengan niat puasa karena menuntut keridaan Allah menjunjung perintah-Nya

maka pada bahasa Melayu ialah puasa.”

Melalui ayat 183 Surah al-Baqarah Allah memberi tahu kepada kita bahwa

Dia telah memfardukan puasa atas umat Islam seperti yang difardukan atas orang-

orang dahulu. Maksud pemberitahuan ini menurut Basioeni Imran adalah untuk

menyatakan adanya kesatuan agama Islam dan agama-agama sebelumnya dari


414

aspek ushul dan maksud atau tujuan agama. Selain itu juga untuk meneguhkan

keyakinan tentang kefarduan (kewajiban) puasa. Meskipun Allah tidak

menjelaskan siapa yang dimaksud dengan “orang-orang terdahulu”, tetapi

manusia mengetahui bahwa berbagai agama bahkan sampai agama watsani

(pagan, penyembah berhala) juga memiliki tradisi puasa (Imran M. B., 1936: 2).

Orang-orang Mesir yang beragama watsani, orang Yunani dan Romawi

memiliki tradisi berpuasa. Demikian juga orang-orang India sejak dulu hingga

sekarang memiliki tradisi puasa. Dahulu Nabi Musa puasa 40 hari, orang-orang

Yahudi puasa seminggu untuk memperingari kerusakan Yerussalem. Bagi orang-

orang Nasrani kitab Injil tidak menyebutkan adanya perintah kewajiban berpuasa,

namun ada anjuran berpuasa sebagai ibadah untuk mencegah riya’. Puasa bagi

orang Nasrani tidak baik ditampakkan kepada orang lain, karena itu disuruh agar

yang berpuasa membasahkan rambut dan membasuh muka. Karena tidak ada dalil

dari kitab Injil, maka aturan berpuasa dibuat oleh para kepala gereja dengan aturan

yang berbeda-beda antar mazhab mereka. Ada yang berpuasa makan daging, ada

yang puasa makan ikan, dan ada pula yang puasa makan telur dan minum susu.

Awalnya tata cara puasa mereka sama dengan orang Yahudi yaitu sehari semalam

makan sekali saja. Cara tersebut diubah menjadi berpuasa mulai tengah malam

hingga tengah hari (Imran, 1936: 3-4).

Kalimat di ujung ayat 183 Surah al-Baqarah la`allakum tattaqun

menunjukkan bahwa hikmah puasa adalah mudah-mudahan kamu takut kepada

Allah. Hikmah puasa ini berbeda dengan puasa yang dilakukan oleh orang-orang

watsani yaitu untuk memadamkan kemurkaan tuhan-tuhan mereka atau untuk


415

mencari perkenan tuhan mereka. Dalam pandangan kaum watsani untuk

memperoleh perkenan tuhan caranya adalah dengan menyiksa diri dan membunuh

bagian tubuh. Keyakinan seperti ini menyebar hingga kepada para ahli kitab.

Keyakinan ini kemudian diperbaiki oleh ajaran Islam dengan menyatakan bahwa

puasa dan juga ibadah lain diwajibkan adalah untuk kebaikan manusia dengan

takwa kepada Allah, dan Allah sangat kasih kepada manusia. Oleh karena itu,

puasa diwajibkan adalah untuk memberi manfaat kepada manusia (Imran, 1936:

4-5). Dengan kata lain dalam perspektif agama watsani puasa berorientasi untuk

tuhan (teosentris) diubah oleh Islam menjadi berorientasi untuk manusia

(antroposentris).

Basioeni Imran menjelaskan lebih lanjut bahwa puasa menjadikan manusia

takwa kepada Allah melalui beberapa jalan atau cara. Di kala seseorang berpuasa,

maka tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah. Puasa adalah sir atau rahasia

antara hamba dengan Tuhannya dan tak ada yang memperhatikannya selain Allah.

Orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan kelezatannya selama berpuasa

semata-mata karena menjunjung perintah Tuhan dan tunduk atas ketentuan agama

selama satu bulan (di bulan Ramadan). Di saat berpuasa berbagai hidangan yang

lezat dan godaan syahwat yang sangat diinginkan harus dihindari karena yang

memerintahkan dan meyakini Allah yang melihat mengawasi. Jika hal ini berhasil

dilakukan, maka tak diragukan lagi ia akan berhasil melatih untuk selalu

muraqabah atau ingat kepada Allah. Ia akan malu kepada Allah yang senantiasa

melihatnya untuk melanggar larangan Allah. Muraqabah (pemantauan) dan

penjagaan Allah merupakan bagian penting bagi kesempurnaan iman, yang


416

manfaatnya tidak hanya di akhirat nanti tetapi juga di dunia. Orang yang telah

muraqabah dan meyakini penjagaan Allah pasti tidak akan makan harta dengan

cara batil, tidak akan memperdaya orang lain, tidak akan menghindar dari zakat.

Orang yang selalu ingat kepada Allah maka ia tak akan berani mengerjakan

maksiat dan apabila ia lupa kemudian berbuat maksiat, maka ia segera ingat dan

segera kembali kepada Allah seperti firman Allah di dalam Q.S. al-A`raf (7): 201

yang artinya: Bahwa orang-orang yang takut kepada Allah apabila telah

menyentuh akan mereka oleh yang berkeliling daripada syaithan itu lantas mereka

ingat maka tiba-tiba mereka lihat (awas) (Imran, 1936: 5-6).

Hal terakhir yang dijelaskan oleh Basioeni Imran menyangkut puasa

adalah perihal orang yang tidak berpuasa. Dijelaskan bahwa orang-orang yang

berbuka (tidak berpuasa) di dalam bulan Ramadan dengan sengaja; atau orang

yang hanya malu kepada manusia sedangkan kepada Allah tidak malu dengan

pura-pura puasa; atau yang lebih jahat dari mereka yaitu yang berbuka di depan

orang lain yang sedang berpuasa tanpa uzur, maka orang-orang tersebut beribadah

tanpa ruh. Bagi mereka berpuasa adalah sebuah siksaan sebagaimana disangka

oleh orang-orang watsani dahulu dan sekarang (Imran, 1936: 8).

Demikian saja tafsir ayat-ayat puasa yang ditulis Basioeni Imran. Diduga

kuat tafsir ini belum selesai, karena hanya ayat 183 Surah al-Baqarah saja yang

ditafsirkan. Ayat 184 dan 185 Surah al-Baqarah belum ditafsirkan. Meskipun

sangat singkat, tafsir yang dilakukan oleh Basioeni Imran cenderung

menggunakan model tafsir bi al-ma`tsur. Tafsir bi al-ma`tsur adalah penafsiran

ayat-ayat Alquran dengan berdasarkan pada ayat-ayat itu sendiri, penafsiran ayat
417

Alquran dengan hadis Nabi SAW atau penafiran ayat Alquran dengan keterangan

yang berumber dari para sahabat (Quthan, 1995: 188; Sayadi, 2011: 77).

4.3.3. Tafsir Tujuh Surah Pendek

Naskah tafsir yang ditulis Basioeni Imran yang berikutnya adalah masih

berbentuk manuskrip yang seluruhnya berjumlah 24 halaman, namun saat

ditemukan ada 4 halaman yang hilang. Naskah ini berisi tafsir singkat atas tujuh

surah yang sering dibaca, baik di dalam maupun di luar sembahyang, yaitu surah

al-Fatihah, al-`Ashr, al-Kautsar, al-Kafirun, al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas.

Naskah di mulai dengan kutipan Q.S. Ali `Imran (3): 138:

     


Basioeni Imran mengawali tafsirnya dengan menyatakan wajib bagi tiap orang

beriman yang percaya kepada Alquran untuk memahami bahwa Alquran adalah

keterangan mengenai agama, petunjuk agar tidak sesat dan pengajaran agar tidak

cepat lupa kepada Allah. Jika tiga fungsi Alquran itu mengenai dirinya maka ia

termasuk orang yang bertaqwa dan tempat yang dijanjikan baginya adalah surga.

Besar atau kecilnya manfaat Alquran bagi setiap orang sangat tergantung pada

pemahaman dan pembelajarannya terhadap ayat-ayat Alquran yang dibacanya,

baik di dalam maupun di luar sembahyang (Imran M. B., Tafsir Tujuh Surah

Pendek, tt: 1).

Di awal pembahasan tafsirnya, ada hal menarik yang dikatakan Basioeni

Imran:

Dan mudah atas tiap-tiap perempuan dan laki-laki daripada awam (orang
keramaian) mehafadzkan dia supaya ia baca kemudian daripada al-Fatihah
418

akan satu surah daripadanya, maka meniupkan oleh tadabbur akan dia
pada ruh orang yang sembahyang akan ruh sembahyang yang adalah ia
tiang agama dan sebesar-besar rukunnya yang adalah dengan dia
menegahkan daripada fahsya (barang yang sangat keji) dan munkar dan
dengan dia ia ketahui daripada dirinya akan arti keadaan sembahyang itu,
tauladan bagi perangai sabar pada minta pertolongan dengan dia atas
sebesar-besar pekerjaan dan segala kesengsaraan hidup pada firmannya
(Q.S al-Baqarah [2]: 45): was ta’inu bis shabri was shalah wa innaha
lakabiratun illa ’alal khasyi’in. Dan minta pertolongan kamu dengan sabar
dan sembahyang dan bahwa ianya sangat besar (berat) melainkan atasnya
orang-orang yang khusyu’ (Imran M. B., Tafsir Tujuh Surah Pendek, tt: 2).

Hal menarik dari kutipan di atas adalah istilah ruh sembahyang. Orang yang

membaca ayat Alquran disertai dengan tadabbur maka tadabbur itu akan

meniupkan ruh sembahyang ke dalam ruh orang yang membaca ayat Alquran tadi.

Peneliti menduga bahwa yang dimaksud dengan ruh sembahyang adalah spirit

yang mendorong seseorang untuk tidak sekedar sembahyang yang tanpa makna.

Melalui tadabbur-nya, maka ketika membaca ayat-ayat Alquran maknanya akan

meresap dan bertransformasi menjadi sebuah kekuatan atau spirit yang

mendorong orang yang bersangkutan menerapkan nilai-nilai dari bacaan dan

seluruh totalitas ritual sembahyang dalam kehidupan nyata. Kekuatan atau spirit

yang mendorong untuk menghindari segala perbuatan keji dan munkar. Itulah

yang dinamakan ruh sembahyang.

Dengan ruh sembahyang seseorang mengetahui arti sembahyang sebagai

teladan bagi perilaku sabar dan meminta pertolongan dengan sembahyang atas

segala masalah dan kesengsaraan hidup seperti firman Allah: Dan minta

pertolongan kamu dengan sabar dan sembahyang dan bahwa sembahyang sangat

besar (berat) kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (Q.S. al-Baqarah [2]: 45).

Orang yang sembahyang juga akan terhindar dari berkeluh kesah saat sudah dan
419

sifat kikir saat mendapat nikmat seperti firman Allah: Sesungguhnya manusia

diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia

berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-

orang yang mengerjakan shalat (Q.S. al-Ma`arij [70]: 19-22).

Setelah pengantar umum seperti yang dijelaskan di atas, Basioeni Imran

memberikan pengantar tafsir atas surah al-Fatihah sebelum memaparkan tasirnya

yang panjang. Pada bagian awal pengantar tafsir al-Fatihah Basioeni Imran

menyatakan tafsir yang panjang atas surah ini dikutipnya dari Tafsir al-Manar

karya Muhammad Abduh [dan Rasyid Ridha] cetakan keenam. Tafsir yang

panjang tersebut kemudian diringkas dan Basioeni Imran hanya menambah pada

beberapa bagian saja. Uraian panjang tafsir surah al-Fatihah diletakkan pada

halaman 12 dan seterusnya, setelah menafsirkan secara singkat enam surah

pendek yang telah disebutkan.

Tafsir Surah al-`Ashr. Tafsir atas ayat ini ada yang panjang, yaitu tafsir

yang diberikan oleh Muhammad Abduh yang disampaikannya dalam muhadharah

atau pengajian para ulama di al-Jazairi pada tahun 1903 yang ditulis dengan

tangan. Menyangkut tafsir surah al-`Ashr ini imam al-Syafi`i pernah

berkata: ”Jikalau sekiranya tidak turun melainkan ini surah saja niscaya memadai

akan segala manusia. Dan pada satu riwayat: Jikalau orang-orang tadbir

(pahamkan betul-betul) akan ini surah niscaya memadai akan mereka itu.”

Basioeni Imran menafsirkan surah al-`Ashr secara singkat sekedar untuk

menjadi bahan tadabbur (pemahaman) saat melaksanakan sembahyang. Di dalam

sembahyang saat membaca surah al-`Ashr hendaknya dimaknai sebagai berikut.


420

Dan ringkasnya bahwa manusia itu (insan) dengan sepanjang tabiatnya dan
pergaulannya yaitu di dalam kerugian (khusrin) yang tak sejahtera
seseorang daripada semacam daripadanya dan yang sejahat-jahatnya
kerugian dirinya yang mencelakakan akan dia melainkan orang-orang
mukminin yang percaya dengan Allah dan hari yang kemudian dan
percaya dengan barang yang ada padanya daripada jaza’ balasan atas amal
perbuatan dan amal yang shaleh. Yang jadi baik dengan dia segala amal
perbuatan mereka itu dan pekerjaan mereka itu setengahnya dengan
setengahnya mereka beringat-ingatan (berwasiat) dengan haq (yang benar)
yang wajib atas mereka itu bagi Tuhan mereka itu dan bagi diri dan umat
mereka itu dan mereka itu berwasiat dengan sabar dan menahan akan
segala musyaqah pada jalan hak itu dan masuk padanya menyuruh dengan
kebajikan dan menegah daripada yang munkar (Imran, Tafsir Tujuh Surah
Pendek, tt: 5-6).

Pada dasarnya manusia berada dalam kerugian, tidak sejahtera dan

mencelakakan diri sendiri, kecuali orang yang beriman. Yang dimaksud adalah

percaya kepada Allah dan hari akhir serta pecaya akan adanya balasan atas

perbuatan manusia, termasuk amal saleh. Di antara yang dimaksud amal saleh

adalah saling mengingatkan atau berwasiat tentang kebenaran dan bersabar,

termasuk menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran.

Tafsir surah al-Kautsar. Surah ini adalah surah yang paling pendek, di

dalamnya mengandung beberapa hal yaitu dalil-dalil tentang mukjizat dan kabar

tentang yang gaib yang menjadi ujian keimanan. Allah telah memberikan kepada

Rasulullah nikmat yang bayak baik di dunia maupun nanti di akhirat yang dengan

pemberian itu telah meninggikan sebutannya, mengekalkan sejarahnya, dan

menghapus sebutan orang-orang yang benci kepadanya (Imran, Tafsir Tujuh Surah

Pendek, tt: 6).

Tafsir surah al-Kafirun. Di dalam surah ini terdapat penjelasan yang

membedakan antara ibadah tauhid dan ibadah syirik-bid`ah. Ibadah tauhid adalah

sesuai dengan apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Sedangkan ibadah syirik
421

dan bid`ah adalah mengikuti ajaran para nabi terdahulu sebelum Rasulullah.

Rasulullah dan orang-orang yang mengikutinya tidak akan menyembah apa yang

disembah oleh orang-orang musyrik atau yang serupa yang mereka sembah.

Rasulullah juga memutuskan dan memastikan bahwa ia tidak akan memenuhi

harapan musyrikin. Serta membedakan dengan sebenarnya antara agama orang

musyrik yang dibuat-buat dengan yang memang diturunkan oleh Allah (yang

dibawa oleh Rasulullah (Imran, Tafsir Tujuh Surah Pendek, tt: 7).

Tafsir surah al-Ikhlas. Inilah surah tauhid yang ikhas, yang

menyempurnakan segala makna surah al-Kafirun. Surah ini menafikan kaum

watsaniyah (penyembah berhala) dan meneguhkan terhadap iman hanifiyah

(agama yang lurus) dengan menyatakaan keesaan Allah, dependensi segala

sesuatu kepada Allah serta membatalkan segala hal yang dibuat-buat oleh kaum

watsaniyah di masa lalu. Surah ini juga membatalkan pemahaman agama terakhir

sebelum Islam (Nasrani) yang menyatakan Allah memiliki anak, termasuk

kejahatan yang menyatakan adanya ibu tuhan atau menyerupakan dan mengambil

bandingan bagi Allah. Termasuk paham-paham yang dibatalkan atau tidak sesuai

dengan kandungan makna surah al-Ikhlas adalah:

Yang mereka ibadatkan –sembah—seperti mengibadatkan dia dengan doa


memanggil mereka itu hingga di dalam hal-hal yang sangat susah, dan
bernazar bagi mereka itu, dan berqurban dengan segala sembelihan. Dan
menamai orang-orang yang kemudian (mutaakhkhirin) daripada
pengibadah-pengibadah mereka itu akan mereka itu dengan nama aulia
dan syufa’a’ (tukang-tukang syafaat) yang berkuasa pada kaun (’alim) dan
menamai ibadah mereka itu baginya dengan nama tawasul dan istisyfa’
dan makna ahad dan shamad itu membatalkan akan ini sekaliannya
(Imran, Tafsir Tujuh Surah Pendek, tt: 8).

Jelas terlihat dalam kutipan di atas Basioeni Imran menyatakan bahwa menyebut
422

nama-nama orang alim dalam berdoa yang disebut dengan istilah tawasul127 dan

istisyfa` seperti yang dilakukan oleh para aulia dan syufa`a merupakan bagian dari

yang dibatalkan atau tidak sesuai dengan makna Allah yang ahad dan Allah yang

shamad.

Tafsir surah al-Falaq. Mushaf Alquran diakhiri dengan ma`uzatain (dua

perlindungan) yaitu surah al-Falaq dan al-Nas. Ada hikmah yang besar

dibaliknya, bahwa tidak sempurna keberagamaan seseorang jika ia tidak mengenal

atau mengetahui akan Tuhannya dan mentauhidkan-Nya. Bertauhid haruslah

dengan berlepas diri dari paham-paham agama pagan (watsaniyah) dan orang-

orang kafir lainnya. Surah al-Ikhlas merangkum rukun-rukun tauhid dan

meruntuhkan berbagai macam syirik. Selanjutnya dua surah isti`azah (al-Falaq

dan al-Nas) adalah meminta perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan

yang merintangi kebaikan manusia. Pada surah al-Falaq manusia meminta

penjagaan kepada Allah dari berbagai hal di alam dari kejahatannya, baik di waktu

siang maupun malam (Imran, Tafsir Tujuh Surah Pendek, tt: 9-10).

Tafsir Surah al-Nas. Surah ini diturunkan untuk mengingatkan kepada

manusia bahwa ada kejahatan yang lebih besar dibandingkan yang bersumber dari

makluk lainnya, yaitu kejahatan yang tersembunyi dalam diri sendiri, yaitu

kejahatan yang bisa merusak akidah dan pikiran, menebarkan fitnah kepada

masyarakat, serta permusuhan yang diberikan oleh syaitan manusia dan jin pada

setiap diri, yaitu was-was yang tersembunyi. Atas semua jenis kejahatan itu,

manusia harus meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah. Berulang-


127
Tawasul adalah memohon datangnya manfaat atau terhindarnya bahaya kepada Allah, dengan
menyebut nama seorang nabi atau wali karena memuliakan terhadap keduanya (Chalim, 2012:
206).
423

ulangnya penyebutan kata al-nas dalam surah ini adalah untuk menegaskan bahwa

sumber kejahatan itu sesunguhnya berasal dari dalam diri manusia itu sendiri

(Imran, Tafsir Tujuh Surah Pendek, tt: 11-12).

Tafsir Surah al-Fatihah. Nama lain dari surah ini adalah Umm al-Kitab

dan al-Sab`ul Mastaniy. Berdasarkan riwayat Ali r.a., Muhammad Abduh

berpendapat surah al-Fatihah adalah surah yang pertama kali turun. Namun

menurut jumhur ulama, yang pertama kali turun adalah awal surah al-`Alaq.

Muhammad Abduh juga menafsirkan bahwa al-Fatihah adalah surah yang

pertama kali turun secara lengkap. Barulah setelah itu surah al-Alaq diturunkan

hingga lengkap. Penempatan al-Fatihah di awal Alquran adalah atas perintah

Rasulullah dan ini telah menjadi ijmak ulama (Imran, Tafsir Tujuh Surah Pendek,

tt:14-15).

Basioeni Imran kembali mengutip tafsir Muhammad Abduh yang

menyatakan Alquran itu diturunkan karena lima hal. Pertama, tauhid yaitu untuk

mengatasi agama berhala. Kedua, janji, yaitu janji pahala menyenangkan (wa’ad)

bagi yang berbuat baik dan janji berupa ancaman (wa`id) bagi yang berpaling dari

perintah Allah. Ketiga, ibadah yaitu menghidupkan tauhid. Keempat, menyatakan

jalan kebaikan (sa`adah) dan cara menjalaninya. Kelima, kisah-kisah orang yang

taat dan yang ingkar. Kelima hal tersebut telah dirangkum di dalam surah al-

Fatihah (Imran, Tafsir Tujuh Surah Pendek, tt: 15-16).

Pesan tauhid adalah di dalam ayat kedua alhamdulillahi rabbil `alamin.

Segala nikmat itu datangnya dari Allah, maka segala pujian harus untuk-Nya. Rab

tidak hanya bermakna malik (yang memiliki) dan sayyid (tuan) saja, tetapi ada
424

padanya makna tarbiyah (mendidik) dan inba’ (mengembangkan dan menambah).

Pesan tauhid kemudian dilanjutkan dengan ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka

nasta’in yang berhak disembah dan dimintai pertolongan hanya Allah. Ini untuk

melawan agama berhala yang meminta pertolongana kepada kekuatan gaib.

Adapun wa’ad (janji dengan baik) dan wa’id (ancaman dengan kejahatan)

maka yang pertama daripada keduanya yaitu berhimpun pada

Bismillahirrahmanirrahim. Ayat maliki yaumiddin yang memiliki hari balasan

juga mengandung akan wa’ad dan wa’id. Al-din dapat berarti khudu’ yaitu

tunduk artinya segala yang ada di alam ini adalah tunduk kepada Allah. Al-din

juga berarti jaza’ (balasan) dan ialah pahala bagi orang yang membuat baik atau

siksa bagi orang yang membuat kejahatan dan yang demikian itu wa’ad dan

wa’id. Dan tambah lagi atas yang demikian, bahwa ia telah sebut kemudian (al-

shirath al-mustaqim) jalan yang lurus yaitu orang yang telah memasuki atau

menjalani akan dia. Beruntunglah ia dan barang siapa menjauhi akan dia niscaya

binasalah ia dan yang demikian itu adalah wa’ad dan wa’id.

Masalah ibadah termaktub di dalam ayat iyyaka na’budu wa iyyaka

nasta’in. Ayat ini menerangkan akan maknanya yang menjelaskan dan

menyatakan perintah yang keempat yang melengkapi akan ibadah itu dan

melengkapi akan hukum-hukum mu’amalat (seperti jual beli dan lainnya) dan

menyiasati umat dengan zamannya. Ihdinash shirathal mustaqim yaitu jalan yang

menunjukkan bagaimana hidup yang bahagia, yaitu dengan istiqamah mengikuti

aturan-aturan Allah. Perintah agar memulai segala pekerjaan dengan

Bismillahirrahmanirrahim bermakna bahwa aku bekerja karena perintah-Nya atau


425

karena-Nya, bukan bagi diri sendiri.

Dua naskah tafsir yang ditulis Basioeni Imran sebagaimana dijelaskan di

atas bisa dikatakan cukup sederhana. Keduanya ditulis tidak tuntas dan sebagian

mengutip tafsir Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar. Peneliti menduga

bahwa Basioeni Imran tidak begitu berminat dalam menulis tafsir. Ini mungkin

karena kebutuhan dan minat masyarakat Sambas terhadap kajian tafsir tidak

begitu tinggi. Cukuplah bagi Basioeni Imran menggunakan kitab-kitab tafsir yang

dimilikinya. Kedua naskah yang ditulisnya ini diduga adalah sebagai bahan

pembelajarannya kepada masyarakat. Persoalan puasa dan membaca surah-surah

pendek di dalam setiap sembahyang adalah kebutuhan yang memang mengemuka

saat itu. Jadi, dua naskah tafsir tersebut ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan

nyata masyarakat saat itu. Naskah tafsirnya yang tidak selesai dan singkat belum

bisa menggambarkan pemikiran Basioeni Imran. Namun cara menafsirkannya

dapat dikategorikan masuk dalam tafsir bi al-ma’tsur, tafsir ayat Alquran dengan

ayat Alquran atau dengan Sunnah Rasulullah.

4.4 Pemikiran Pendidikan

Dari berbagai karya tulisnya, tidak ada satu pun Basioeni Imran menulis

khusus tentang pendidikan. Oleh karena itu agak sulit menemukan benang merah

pemikirannya tentang pendidikan, kecuali dengan menelusuri isi setiap karya

tulisnya secara cermat satu per satu. Meskipun demikian, tidak berarti pemikiran

pendidikannya tidak bisa dilacak. Kebijakan-kebijakannya dalam mengelola

Madrasah al-Sultaniyah kemudian mengubah bentuknya menjadi Sekolah


426

Tarbiatoel Islam serta perubahan-pertubahan fundamental yang mengikutinya

mencerminkan bagaimana sebenarnya pemikiran pendidikan Basioeni Imran.

Pemikiran Basioeni Imran di bidang pendidikan ini penting diungkap,

meskipun tidak ada karya tulisnya yang khusus tentang ini, karena kebijakan-

kebijakannya mentransformasi Madrasah al-Sulthaniyah menjadi Sekolah

Tarbiatoel Islam merupakan tonggak penting pembaruan Islam di bidang

pendidikan. Seperti yang terjadi di belahan dunia Islam lainnya (Turki dan Mesir,

misalnya), reformasi lembaga pendidikan menjadi bagian penting proyek

pembaruan Islam. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha juga berupaya melakukan

pembaruan terhadap kurikulum pendidikan di Mesir, khususnya di Universitas al-

Azhar. Keduanya berupaya memasukkan mata pelajaran umum ke dalam

kurikulum al-Azhar. Sebaliknya pada lembaga pendidikan umum dimasukkan

mata pelajaran agama.

Sebelum membahas perihal transformasi Madrasah al-Sulthaniyah menjadi

Sekolah Tarbiatoel Islam berikut beberapa petikan tulisan Basioeni Imran tentang

pendidikan yang diambil dari berbagai tulisannya. Sebagaimana telah dijelaskan

di bab sebelumnya, Basioeni Imran secara rutin memberikan pelajaran agama

kepada masyarakat umum di Masjid Jami (masjid keraton Sambas) dan di

rumahnya sendiri serta di berbagai tempat lainnya. Saat ditanya oleh seorang

pegawai kantor Adviseur voor Inland Zaken te Batavia apakah ia ada mengajar di

Sambas, Basioeni Imran menjawab: “Ada mengajar di masjid dan di rumah

[khusus untuk] orang-orang perempuan, saya baca tafsir dan hadis dan hukum-

hukum agama yang fardu diketahui oleh tiap-tiap muslim” (Imran M. B., 1933-
427

c:5). Ini menunjukkan bahwa alasan utama rutinitas Basioeni Imran mengajar

agama di masjid dan di rumah adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk

memahami seluk belum agamanya, baik itu Alquran, hadis, hukum-hukum (fikih)

maupun ilmu-ilmu lainnya. Demikian juga dengan ilmu ushul al-din (segala

pangkal agama) hukumnya wajib atau fardu `ain yaitu wajib bagi tiap-tiap orang

yang telah mukallaf (akil baligh) mengetahuinya atau mempelajarinya (Imran M.

B., 1918-a: 1). Artinya, dasar utama mengajar dan belajar ilmu-ilmu agama adalah

kewajiban yang bersumber dari ajaran agama, yaitu beradasarkan hadis Rasulullah

SAW. “ ‫ “ طلب العلم فريضة علي كل مسلم ومسلمة‬Menuntut ilmu itu fardu atas tiap orang

Islam laki-laki dan orang Islam perempuan. Ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu:

“`Aqa’idoel Islam dan hukum-hukum ibadat seperti sembahyang, puasa dan

lainnya hukum-hukum halal dan haram. Karena dengan ilmu itu tercapai segala

kebaikan dan berluputan segala kejahatan” (Imran M. B., 1933-a: 2).

Dalam pandangan Basioeni Imran, kemajuan umat Islam di bidang

keduniaan maupun keagamaan pada masa lalu adalah karena mereka menguasai

ilmu pengetahuan.

Dahoeloe oemat Islam madjoe kepada setinggi-tinggi kemadjoean dalam


perkara kedoeniaan mereka itoe apalagi di dalam perkara agama mereka
itoe ialah dengan ‘ilmoe (pengetahoean) jang berdasar kitab Allah (al-
Qoeran) dan soennah rasoelNja s.a.w. Maka apakala oemmat Islam telah
meninggalkan `ilmoe jang berdasarkan kedoeanja itoe kepada Ilmoe taqlid
a’ma (tiroe boeta teoli) bagi ‘oelama mereka itoe di dalam perkara agama
lantas moendoerlah mereka itoe ke boentoet kemoendoeran dan tertjeboer
ke dalam telaga kerendahan di dalam perkara agama dan doenia bersama-
sama. Pada hal bangsa asing sedang melansoet keatas langit kemadjoean
dan ketinggian hingga mereka itoe poesakai akan boemi Allah dan
berkoeasa padanja… (Imran M. B., 1933-a: 2).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa umat Islam di masa lalu mengalami masa
428

kejayaan yang ditandai dengan dicapainya kemajuan dalam kehidupan dunia,

terlebih lagi dalam kehidupan keagamaan. Semua kemajuan itu dicapai karena

berkembangnya ilmu yang berdasar pada Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.

Dalam perspektif Basioeni Imran, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dengan

dasar-dasar dari Alquran dan sunnah Rasulullah. Alquran menurutnya memuat

seluruh ilmu pengetahuan: “...tak ada suatu daripada ilmu (pengetahuan)

melainkan ada padanya [Alquran]... (Imran M. B., 1934: 1).

Kemajuan umat Islam adalah karena ilmunya, demikian juga dengan

kemajuan orang-orang Barat. Berikut pernyataan Basioeni Imran tentang hal ini:

Tjobalah perhatikan hal orang2 Europa, Amerika dan Djepang mareka


telah sampai kepada setinggi-tinggi deradjat kemoeliaan di dalam doenia
ini baik di dalam perkara pertoekangan dan perboeatan dan perobatan
(dokter) atau segala perkara kehakiman dan pemerintahan dan lainnja
maka tidakkah itoe dengan `ilmoe pengetahoean? Djawabnja tentoe
dengan `ilmoe—ialah mereka dengan idjtihad dan bersoenggoeh-
soenggoeh mempergoenakan tenaga, faham dan `aqal2 mereka pada
mendapatkan jang demikian maka ta’ ada oebahnja dan ta’ ada lainnja
antara kita orang Moeslimin dengan mereka, mereka manoesia kita poen
manoesia djoega sama ada `aqal dan faham (Imran M. B., 1933-a: 79).

Jelas bahwa kemajuan yang telah dicapai negara-negara Barat dan Jepang

menurut Basioeni Imran dicapai dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan

dapat dikembangkan dengan menggunakan akal pikiran yang semua manusia

memilikinya, baik dia muslim maupun nonmuslim. Oleh karena itu, umat Islam

dapat mencapai kemajuan seperti dahulu jika mampu mendayagunakan

kemampuan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Sejak awal menjabat sebagai Maharaja Imam, Basioeni Imran terlibat

secara langsung dalam mencerdaskan masyarakat di Kerajaan Sambas, terutama

yang bermukim di ibukota kerajaan, kota Sambas. Hal ini tercatat dalam
429

keterlibatannya merintis dan mempersiapkan berdirinya Madrasah al-Sulthaniyah

sejak tahun 1914 hingga berdiri tahun 1916. Guru kepala (kepala sekolah)

Madrasah al-Sulthaniyah diserahkan kepada adiknya Ahmad Fauzi Imran yang

baru saja pulang dari belajar di Mesir. Basioeni Imran bertugas sebagai pengawas

atas keberlangsungan madrasah. Namun karena Ahmad Fauzi Imran meninggal

tidak berapa lama setelah memimpin madrasah al-Sulthaniyah, pimpinan

madrasah diserahkan kepada Imam Haji Muhammad Jabir.

Setelah Sultan Moehammad Tsafioeddin II mundur dari tahtanya pada

tahun 1922 (wafat tahun 1924) maka naiklah Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II

menggantikan sebagai sultan. Karena sejak awal sultan yang terakhir ini terlibat

langsung dalam proses pendirian Madrasah al-Sulthaniyah, maka perhatian

terhadap madrasah tidak berkurang. Namun kondisi gedung madrasah sudah harus

diperbaiki. Oleh karena itu dibentuklah sebuah komite yang diberi nama

Golongan Pengetahuan dengan ketua Maharaja Imam Basioeni Imran. Kebijakan

baru diberlakukan kepada para murid, yaitu adanya iuran yang harus dibayar oleh

tiap murid. Kebijakan berikutnya adalah meminta izin kepada sultan untuk

menggunakan uang nikah, cerai, fitrah dan zakat untuk membantu pembangunan

gedung madrasah. Permohonan itu dikabulkan, karena kebijakan tersebut

sebenarnya telah dijalankan sejak sultan Moehammad Tsafioeddin II. Dalam

perkembangan berikutnya, Imam Muhammad Jabir mengundurkan diri sebagai

kepala madrasah karena merasa sudah tua dan sebagai gantinya Basioeni Imran

diangkat sebagai kepala madrasah. Belum setahun menjabat, komite Golongan

Pengetahuan berencana mendirikan gedung madrasah sendiri, dan usaha itu pun
430

dimulai. Gedung madrasah yang baru ditempati pada tanggal 8 Syawal 1348 H/9

Maret 1930 M. (Imran M. B., Al-Madrasah al-Sulthaniyah al-Islamiyah, tt, hal. 4-

9). Gedung madrasah dibangun di darat Kampung Angus, Kota Sambas di atas

tanah wakaf yang diberikan oleh Raden Muhammad Yusuf Perbukusuma dan Mas

Hasan bin Mas Tatut pada 30 Jumadil Akhir 1347 H. / 13 Desember 1928 (Surat

Wakaf, 13 Desember 1928, Sambas).

Sebagai kepala Madrasah al-Sulthaniyah, Basioeni Imran mulai melakukan

pembaruan dengan menjadikan madrasah tersebut sebagai lembaga pendidikan

berciri modern. Madrasah yang semula hanya untuk kalangan terbatas mulai

dibuka untuk masyarakat luas sehingga semua golongan dapat memasukkan

anaknya ke madrasah. Di samping itu, pelajaran baca tulis huruf latin juga mulai

dimasukkan dalam pelajaran madrasah (Erwin, 2002: 103). Penggunaan huruf

Latin dalam tradisi tulis menulis di dunia Melayu telah ditanyakan oleh Basoeni

Imran kepada gurunya Rasyid Ridha melalui surat bertanggal 13 Februari 1930

dan kemudian dimuat dalam majalah Al-Manar volume 30 nomor 9 terbit 29

April 1930. Di dalam suratnya Basieoni Imran menyatakan bahwa di bawah

kekuasaan Belanda, penggunaan huruf Latin menjadi umum di Jawa, Sumatera

dan Kalimantan, padahal dulunya huruf Arab-Melayu. Huruf Latin bermanfaat

dalam memperlancar urusan-urusan administrasi, perdagangan dan lainnya. Koran

dan majalah sangat sedikit yang menggunakan huruf Arab-Melayu dibanding yang

menggunakan huruf Latin. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh

Belanda mengajarkan huruf Latin saja sedangkan Arab-Melayu tidak. Ini cukup

mengkhawatirkan karena semua khazanah ilmu agama Islam ditulis menggunakan


431

huruf Arab-Melayu. Jika dibiarkan, maka hal ini akan menjadi kerugian besar bagi

masyarakat Melayu karena mereka akan kehilangan khazanah ilmu-ilmu agama

Islam. Lebih lanjut Basioeni Imran menulis:

Demikian, dan saya berpendapat bahwa seyogyanya bagi kami masyarakat


Melayu untuk mengetahui dan menggunakan huruf Latin demi kebutuhan
kita sebagaimana kita menggunakan huruf Arab asli dan Melayu, tapi hal
ini tidak baik bahkan tidak boleh sampai meninggalkan bahasa Arab
(Melayu) dan menggantikannya dengan bahasa Latin, sebagaimana tidak
baik pula bagi kita untuk menggunakan huruf Melayu saja dan
meninggalkan huruf Latin, karena huruf Latin tidak terelakkan bagi
urusan-urusan keduniaan yang menjadi penopang terhadap urusan
keagamaan kita. Dan baiknya adalah, kita mengambil apa yang baik dari
bangsa Eropa atau lainnya selama bermanfaat bagi kita dalam urusan
agama dan keduniaan serta meninggalkan segala sesuatu yang bisa
memberikan mudarat bagi kita dalam urusan agama dan dunia kita (Al-
Manar, Vol. 30 [9], 1930: 719-720).128

Pernyataan dalam kutipan ini menunjukkan sikap Basioeni Imran bahwa khawatir

terhadap mulai terpinggirkannya penggunaan huruf Arab Melayu dan digantikan

oleh huruf Latin. Ini akan berdampak pada pemahaman agama pada masyarakat.

Meskipun demikian, ia juga tidak bisa menghindarkan diri dari pentingnya

menggunakan huruf Latin, karena ia digunakan untuk sebagian besar urusan-

urusan keduniaan karena ia akan menjadi penopang terhadap kehidupan

keagamaan. Apa yang baik yang berasal dari Eropa, seperti penggunaan huruf

Latin, selama ia bermanfaat maka harus diambil. Pandangannya inilah yang

kemudian diimplementasikan dalam proses pembelajaran di Madrasah al-

Sulthaniyah dengan mengajarkan tulis baca huruf Latin di samping huruf Arab-

Melayu.

Selain bertanya tentang penggunaan huruf Latin, Basioen Imran juga

128
Telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dari teks aslinya di dalam majalah al-Manar yang
berbahasa Arab.
432

mempertanyakan perihal perbandingan pendidikan di Mesir dengan di Eropa.

Dalam majalah al-Manar volume 31 Nomor 5 yang terbit 20 Desember 1930

dimuat enam pertanyaan Basioeni Imran yang tiga di antaranya adalah sebagai

berikut:

Apakah sekolah SMA di Mesir serupa dengan SMA di Eropa, England


Perancis, Jerman, Swiss dan Belanda dalam cabang-cabang ilmunya serta
bahasa-bahasa yang diajarkan di sana selain bahasa Arab dan pelajaran
agama Islam?
Apakah di Mesir, pegawai negeri yang sudah naik pangkat sebagai
pegawai kementerian belajar di madrasah Mesir saja atau juga belajar di
salah satu sekolah SMA di Eropa dan menjadi alumni dari sana?
Apakah bisa disahkan pendapat seseorang: “tidak ada gunanya ilmunya
orang yang lulusan Aliyyah mesir--yakni lulusan ilmu-ilmu Barat modern
dan bahasanya--berbanding dengan lulusan salah satu sekolah Eropa.
Karena sekolah Aliyyah di Mesir kurang penggunaan bahasa Eropa dan
lainnya dari disiplin ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah Eropa?
(Al-Manar, Vol 31 [5], 1930: 348).

Menjawab pertanyaan tersebut, Rasyid Ridha menyatakan bahwa

seandainya sekolah-sekolah di Mesir mengikuti sistem sekolah Eropa, maka tidak

perlu orang Mesir dan pegawainya mengirim anak-anaknya ke Eropa. Tetapi,

sebagian orang yang belajar di Mesir, itu lebih tinggi kualitas ilmunya dari pada

sebagian mereka yang belajar di Eropa. Sebagian pegawai di Mesir adalah lulusan

Mesir dan sebagiannya adalah lulusan Eropa. Untuk belajar bahasa asing memang

lebih baik hasilnya kalau belajar langsung di luar negeri, tetapi belajar di Mesir

juga bisa baik jika berinteraksi langsung dengan orang asing penutur bahasa yang

dipelajari (Al-Manar, Vol 31 [5], 1930: 351-352).

Selain bertanya langsung perihal perkembangan dunia pendidikan di

berbagai belahan dunia, Basioeni Imran juga aktif membaca majalah al-Manar
433

yang sangat banyak menginspirasinya untuk melakukan perubahan-perubahan

mendasar pada Madrasah al-Sulthaniyah. Setelah lima tahun madrasah tersebut

menempati gedung barunya, maka timbullah keinginan untuk mengatur pelajaran

sekolah itu supaya sesuai dengan pelajaran standard school dan vervolg school.

Pada 12 Januari 1936 M. / 17 Syawal 1354 H. diadakan musyawarah di Madrasah

al-Sulthaniyah atas undangan Basioeni Imran (Imran M. B., Al-Madrasah al-

Sulthaniyah al-Islamiyah, tt: 9-10). Dalam rapat tersebut Basioeni Imran

membuka rapat dan menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Beliau minta supaya ini sekolah ditunjang oleh penduduk Sambas dan
daerahnya.
2. Beliau menyatakan: menurut sepanjang berita bahwa sekolah HIS akan
tutup bilamana bilangan murid-muridnya tidak mencukupi sebagaimana
mestinya.
3. Beliau bertanya: Apa kita tinggal diam sajakah apabila kita kehilangan
sekolah tersebut?
4. Beliau menerangkan bahwa: Jikalau sekolah tersebut diambil oleh
orang-orang agama lain seperti Kristen, tentu sekali orang-orang takut
akan memasukinya, atau pun ia masukkan anaknya tetapi dikhawatiri
agamanya kalau ia tidak jaga dan didik dengan pelajaran agama Islam.
5. Beliau minta bagaimanakah supaya murid-murid sekolah itu boleh
sampai menurut pelajaran HIS?
6. Beliau bertanya; Bagaimana kita ikhtiarkan supaya rumah sekolah
bekas HIS dapat kita mencapainya? (Imran M. B., Al-Madrasah al-
Sulthaniyah al-Islamiyah, tt: 10-11).

Permintaan agar penduduk Sambas mendukung sekolah Madrasah al-

Sulthaniyah adalah sesuatu yang sangat penting, karena sejak awal berdiri biaya

operasionalnya sebagian diambil dari masyarakat melalui fitrah, zakat, uang nikah

dan cerai dan sumbangan lainnya. Menyangkut kondisi sekoah HIS, murid

sekolah tersebut memang mengalami kekurangan murid sejak 1928 sebagaimana

diberitakan dalam surat kabar Oetoesan Borneo, 2 Juni 1928 Nomor 42 tahun ke-

1. Hal. 1. Disebutkan bahwa di Sambas ada 3 buah sekolah untuk penduduk


434

bumiputra, yaitu HIS, sekolah kelas II milik pemerintah dan sekolah agama

(Madrasah al-Sulthaniyah). Di antara ketiganya, HIS hanya memiliki murid

sekitar 50 orang untuk tujuh kelas. Mengantisipasi ditutupnya HIS dan agar tidak

diambil alih oleh misi Katolik, maka menurut Basioeni Imran Madrasah al-

Sulthaniyah harus mengambil langkah-langkah antisipatif. Selain mempersiapkan

agar Madrasah al-Sulthaniyah siap menerima limpahan murid dari HIS jika

ditutup, madrasah juga harus siap dengan sistem pembelajarannya yang bisa

mengintrodusir sistem yang telah dijalankan di HIS. Jika nanti masyarakat yang

berharap memasukkan anaknya ke HIS karena tertarik dengan sistem dan

kurikulumnya, mereka bisa mengalihkan pilihannya ke Madrasah al-Sulthaniyah

yang sistem dan kurikulumnya juga sudah sama dengan HIS atau bahkan lebih

baik.

Untuk merealisasikan ide-ide tersebut perlu dibentuk sebuah perkumpulan

atau organisasi. Namun sebelum perkumpulan terbentuk, dalam forum rapat

tersebut disepakati untuk membentuk sebuah komite yang bertugas menyiapkan

pembentukan perkumpulan. Komite sementara itu terdiri dari:

1) Tuan Maharaja Imam

2) Raden Husein Panji Anom

3) Raden Abu Bakar Panji Anom

4) Daeng Encik Muhammad Harun

5) Haji Abdul Razak Su’ud

6) Guru Ariyani

7) Uray Qadri
435

8) Raden Abdul Muthalib

9) Tuan Imam Maharaja

10) Daeng Haji Hadran

Uraian Basioeni Imran dalam manuskripnya Al-Madrasah al-Sulthaniyah al-

Islamiyah hanya sampai pada pembentukan komite sementara terdiri dari sepuluh

orang yang bertugas menyiapkan pembentukan perkumpulan yang nanti akan

mengurusi perubahan Madrasah al-Sulthaniyah. Dalam Daftar Sedjarah

Perjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni Imran (1950) disebutkan mulai

1936 sampai 1950 (Februari) Basioeni Imran menjadi ketua dari Perkumpulan

Tarbiatoel Islam Sambas yang hingga kini masih mempunyai sekolah di Sambas.

Dengan demikian, tugas komite sementara yang telah dibentuk dan beranggotakan

sepuluh orang tersebut di atas melanjutkan tugasnya dengan membentuk

Perkoempoelan Tarbiatoel Islam Sambas pada 1 Juli 1936 dengan motto “Nusa

dan bangsa tidak akan maju tanpa memiliki perguruan bangsa sendiri” dan dipilih

sebagai ketua adalah Basioeni Imran (Erwin, 2002: 105; Salim, et al., 2011: 90;

Kurniawan & Mahrus, 2011: 268).

Dalam statuten Tarbiatoel Islam disebutkan bahwa tujuan perkumpulan

adalah: “Memajukan dan menggembirakan (menggemarkan) pengajaran dan

pelajaran agama Islam dalam Kerajaan Sambas serta memajukan cara kehidupan

sepanjang kemauan agama Islam kepada anggota-anggotanya (lid-lidnya)”

(Erwin, 2002: 105-106). Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan

tersebut adalah:
436

a. Mendirikan dan memelihara atau membantu sekolah-sekolah yang


diberi pelajaran hal permulaan ajaran agama Islam dan ilmu-ilmu yang
biasa diajarkan di sekolah seperti HIS dan sebangsanya.
b. Mengikhtiarkan, supaya segala anggota dan segala orang berhak
mendapat tempat yang sebagus-bagusnya dalam masyarakat hidup.
c. Mengadakan kesempatan buat pendidikan muballigh (mubashir) yang
menyebarkan (mengembangkan dan menaburkan) agama Islam ke
segala sudut di Kerajaan Sambas.
d. Mengadakan perkumpulan anggota-anggotanya dan orang-orang yang
suka datang; di situlah dibicarakan perkara-perkara agama Islam
(tabligh-tabligh) (Erwin, 2002: 106).

Untuk merealisasikan maksud perkumpulan mentrasformasi Madrasah al-

Sulthaniyah sesuai dengan tujuan di atas, maka dimulaikan merekrut tenaga

pendidik yang ahli dan memiliki ijazah. Salah seorang di antaranya adalah

Mursyid Idris. Perkumpulan juga mendatangkan tenaga-tenaga pendidik dari

Sumatera Barat terutama Perguruan al-Tawalib129 dan Perguruan Syafi`i di Kayu

Tanam130 (Ahok, 1983). Perkembangan selanjutnya tenaga pendidik Sekolah

Tarbiatoel Islam sebagian besar adalah lulusan HIK (Hollandsche Indische

Kweekschool, Sekolah Pendidikan Calon Guru) Bandung131 maupun Yogyakarta

dan sebagian lagi dari Madrasah al-Junayd Singapura (Erwin, 2002: 112). Selain

karena ingin mencari para pendidik yang ahli di bidangnya, usaha mengimpor

para pendidik dari luar adalah untuk memasukkan ide-ide dan upaya pembaruan

yang dibawa oleh guru-guru tersebut. Hal ini dapat dilihat dari daerah asal

mereka, yaitu dari daerah sekolah beraliran modern dan masyarakatnya telah

mengalami pembaruan dan dengan demikian sistem pendidikannya juga sudah

129
Perguruan ini dalam proses pembelajarannya banyak menggunakan kitab-kitab Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha, terutama Tafsir al-Manar, karena itu sangat sesuai dengan pemikiran
Basioeni Imran. Lihat penjelasan lebih lanjut tentang Thawalib dalam (Noer, 1996: 54-59).
130
Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah di zaman kolonial yang mendidik anak-anak dalam
bidang pengetahuan umum, kesenian dan kerajinan tangan di samping pemupukan kepercayaan
terhadap diri (Noer, 1996: 200; khususnya catatan kaki no. 90).
131
Tentang HIK Bandung dapat dibaca lebih lanjut dalam (Lubis, et.al., 2013: 16-22).
437

maju.

Setelah terjadi transformasi dari Madrasah al-Suthaniyah menjadi Sekolah

Tarbiatoel Islam maka perlu diambil langkah-langkah perubahan. Pembelajaran

menggunakan sistem klasikal yang telah diterapkan oleh Madrasah al-Sulthaniyah

tetap dipertahankan. Perubahan terjadi pada jumlah tingkatan dan lamanya belajar.

Sistem tingkatan dari kelas 1 s.d. 5 yang berarti lama belajar lima tahun diubah

menjadi kelas 1 s.d. kelas 7 dengan lama belajar tujuh tahun. Hal ini dilakukan

untuk menyesuaikan dengan sistem volkschool pemerintah Hindia Belanda.

Proses pembelajaran sudah menggunakan ruang kelas secara terpisah sesuai

dengan tingkatan kelasnya. Dengan demikian, murid-murid dikelompokkan

menjadi kelas 1 s.d. 7 sesuai dengan muatan ilmu atau pelajaran yang diberikan

dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan murid. Sistem ko-edukasi sederhana

juga sudah diterapkan oleh Basioeni Imran, di mana murid laki-laki dan

perempuan belajar di ruang kelas yang sama. Dalam hal ko-edukasi, Sekolah

Tarbiatoel Islam lebih maju dibandingkan sekolah Katolik di Sambas yang saat itu

masih memisahkan antara murid laki-laki dan murid perempuan pada sekolah

yang terpisah. Madrasah Tarbiatoel Islam juga telah mengadopsi sistem

administrasi modern seperti absensi kelas, evaluasi, daftar nilai (raport) serta

ijazah sebagai tanda tamat belajar (Erwin, 2002: 107-108).

Pada masa awal berdirinya, kurikulum Madrasah al-Sulthaniyah hanya

terbatas pada mata pelajaran yang bersifat keagamaan. Namun beberapa

pembaruan mulai dilakukan seiring kembalinya para pemuda Sambas dari belajar

di Mekah dan Mesir dan mulai mengajar di madrasah tersebut. Pemuda tersebut
438

antara lain Basioeni Imran dan sudaranya Ahmad Fauzi Imran dan Haji

Abdurahman Hamid. Kitab-kitab yang menjadi rujukan utama pembelajaran

antara lain Fath al-Qarib (Muhammd Ibn Qasim), Syari`ah wa Aqidah (Mahmud

Syaltout), Jawahir al-Kalamiyah (Husayn al-Jisr), Husun al-Hamidiyah (Husayn

Affandy), Qawaid Lughah `Arabiyah (Hafny Bayk) dan Kalimat al-Tauhid

(Husayn Waliy). Setelah para pemuda tersebut masuk, maka mulai dimasukkan

beberapa pelajaran umum seperti berhitung dan baca-tulis huruf Latin (Erwin,

2002: 108-109).

Tabel 4. 1: Mata Pelajaran Madrasah al-Sulthaniyah

No. Mata Pelajaran Kitab Rujukan Guru

1. Tawhid 1. Al-Islam: Aqidah wa Haji Moehamad


Syari`ah Basioeni Imran
2. Al-Jawahir al-Kalamiyah
2. Hadis 1. Sahih Bukhari Haji Muhammad
2. Sahih Muslim Djabir
3. Majalis al-Sunniyah
3. Fikih 1. Fath al-Qarib Haji Abdurrahman
2. Husn al-Hamidiyah Hamid

4. Bahasa Arab I 1. Qawaid Lughah `Arabiyah Muhammad Sirri


Bahasa Arab II 2. Al-Nahw al-Wadih H. Muhammad Arif

5. Tarikh 1. Tarikh al-Islam Abdullah Ali


2. Al-Khayyat (1-5)
6. Berhitung Abdullah Ali

7. Baca-tulis Latin Raden Abdul


Muthalib

Sumber: Data diolah dari H. Murad Kasim 2002, dalam: Erwin, 2002: 109-110.
439

Berdasarkan laporan Erwin (2002: 111) setelah bertransformasi menjadi

Sekolah Tabiatoel Islam, bahasa pengantar yang semula menggunakan bahasa

Melayu kuno dan aksara Arab-Melayu mulai diperbarui. Khusus untuk murid

kelas 1 s.d. 3 masih menggunakan bahasa Melayu, sedangkan murid kelas 4 s.d. 7

menggunakan bahasa Belanda. Pembaruan yang sangat penting terjadi pada

dimasukkannya beberapa mata pelajaran umum di samping tetap mempertahankan

mata pelajaran agama yang lama. Beberapa mata pelajaran umum yang masukkan

pada tahun 1936 adalah ilmu sejarah, berhitung, ilmu alam, ilmu tumbuhan, ilmu

hewan, ilmu manusia, Bahasa Belanda, Bahasa Indonesia. Seperti yang telah

disebutkan di atas, menurut Basioeni Imran, apa-apa ilmu pengetahuan yang

berasal dari Barat yang baik maka harus diambil untuk kemajuan umat Islam.

Meskipun demikian, umat Islam tidak boleh tercerabut dari basis agama Islamnya,

oleh karena itu, pelajaran agama harus tetap dipertahankan.

Tabel 4.2: Daftar Mata Pelajaran Sekolah Tarbiatoel Islam 1936

No. Mata Pelajaran Guru

1. Sejarah (Geschiedenis) Murshid Idris

2. Berhitung (Rekenen kunde) Murshid Idris

3. Ilmu Alam (Natuure kunde) Murshid Idris

4. Ilmu Tumbuhan (Plant kunde) Murshid Idris

5. Ilmu Hewan (Dier kunde) Murshid Idris

6. Ilmu Manusia (Mans kunde) Sofyan Ahmad

7. Bahasa Belanda (Nederlandsch Taal) Sofyan Ahmad

8. Bahasa Indonesia (Melayu) Ariyani Hardi Galuh


440

9. Menyanyi (Singen) Raden Abdul Muthalib

10. Bahasa Arab H. Abd. Rahman Hamid

11. Tauhid H. Abd. Rahman Hamid

12. Fikih H. Abd. Rahman Hamid

Sumber: Data dioleh dari H. Murad Kasim, 2002 dalam Erwin, 2002: 114.

Melihat daftar mata pelajaran Tarbiatoel Islam di atas, nampak jelas bahwa

sekolah ini telah mengadopsi kurikulum HIS. Sekolah HIS adalah perubahan dari

Sekolah Kelas I dengan kurikulum meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu

bumi, ilmu alam, sejarah dan menggambar (Kartodirdjo, Poesponegoro, &

Notosusanto, 1976: 43). Perbedaannya selain tidak mengajarkan mata pelajaran

agama, HIS juga tidak memasukkan pelajaran bahasa Melayu.

Setelah melakukan transformasi, berbagai perkembangan dialami oleh

Sekolah Tarbiatoel Islam. Dalam tulisannya di sebuah manuskrip

(Membelanjakan Uang pada Jalan Allah Ialah Jalan Kemajuan) tahun 1938,

Basioeni Imran menulis:

Seperti kami di Sambas telah berdiri sekolah Tarbiatoel Islamiyah yang


telah ada muridnya 202 laki-laki dan 109 perempuan, jumlah 311 orang.
Dan diajarkan padanya ilmu agama dan ilmu Barat dan bermacam-macam
ilmu yang lain. Dan diajarkan pula bahasa Melayu, Arab dan Belanda.
Maka sekolah itu dipimpin oleh perkumpulan Tarbiatoel Islamiyah maka
belum ada orang yang memberikan uangnya untuk menyokong sekolah itu
dengan kadar yang patut menurut keadaannya (Imran M. B., 1938-b).

Dari kutipan tersebut diketahui bahwa perbandingan jumlah murid laki-laki dan

perempuan adalah lebih kurang 2:1, dengan jumlah rata-rata satu kelas berkisar

40-50 murid. Salah satu kendala yang dihadapi oleh sekolah tersebut adalah masih

minimnya dukungan keuangan dari masyarakat. Sumber keuangan masih


441

mengandalkan dari zakat, fitrah, uang nikah dan cerai yang dikumpulkan dengan

memanfaatkan posisi Basioeni Imran sebagai Maharaja Imam.

Pembaruan yang dilakukan pada Sekolah Tarbiatoel Islam menunjukkan

hasil yang dapat disaksikan oleh masyarakat luas. Salah satunya adalah

kemampuan para muridnya mengadakan pertunjukan tonil berjudul “Sawitri”

dibawakan oleh murid kelas 3 dan 4 dengan menggunakan bahasa Belanda pada

Sabtu, 5 Juli 1940. Saat itu Kepala Tarbiatoel Islam adalah Moersid [Murshid

Idris] dan salah seorang gurunya bernama Soefian [Sofyan Ahmad]. Borneo Barat

menyebut Tarbiatoel Islam sebagai Schakel School atau sekolah rakyat (Borneo

Barat, 13 Juli 1940).

Sebagai satu-satunya lembaga pendidikan Islam di Sambas, Sekolah

Tarbiatoel Islam tidak hanya melakukan kegiatan rutin belajar-mengajar untuk

para muridnya. Sekolah tersebut juga secara rutin melakukan pembinaan

keagamaan kepada masyarakat umum melalui kegiatan tabligh. Tabligh diadakan

setiap malam Rabu bertempat di gedung sekolah dan diikuti baik laki-laki maupun

perempuan, tua dan muda. Dalam kegiatan tabliqh antara laki-laki dan perempuan

ditempatkan secara terpisah (Borneo Barat. 5 April 1941).

Perjalanan dan perkembangan Sekolah Tarbiatoel Islam tidaklah mulus

tanpa hambatan. Berdasarkan berita dalam Borneo Barat edisi 22 dan 24 Juli

1941 yang berjudul Sekolah Tarbiatoel Islam Patoet Mendapat Sokongan

Oemoem terungkap beberapa masalah yang dihadapi oleh sekolah tersebut.

Berdasarkan penuturan gurunya, persoalan yang dihadapi antara lain:


442

1) Terjadinya krisis guru. Beberapa kali ada guru yang minta berhenti sebelum

tahun pelajaran berakhir. Terpaksa harus dicari guru pengganti dari tanah Jawa,

yang tentu hal ini memiliki kesulitan sendiri.

2) Kekurangan leermiddelen (alat-alat bantu pembelajaran). Murid-murid

terpaksa menggunakan satu buku untuk dua atau tiga orang. Untuk membeli

tidak memiliki uang, karena uang operasional sekolah semata-mata berharap

hanya dari uang nikah dan cerai dari landschap Sambas. Uang tersebut tentu

tidak memadai karena juga digunakan untuk biaya guru dan alat-alat

sekolah.132

3) Masalah keuangan. Selain dari uang nikah dan cerai, pihak sekolah juga

memperoleh sumber keuangan dari kontribusi anggota yang dijalankan. Namun

ketika uang kontribusi dinaikkan, maka banyak anggota yang minta berhenti

sehingga jumlah anggota yang tadinya ada 500 orang lebih berkurang tinggal

beberapa ratus. Uang kontribusi dari anggota yang ada masuknya juga tidak

tetap.

4) Kesalahpahaman masyarakat tentang adanya tooneel opvoering (pertunjukan

tonil) dari sekolah Tarbiatoel Islam. Ada yang beranggapan bahwa tujuan

sekolah ini telah menyimpang dari yang semestinya. Misalnya adanya

pelajaran bahasa Belanda, ada yang tidak setuju dan mengatakan kalau mau

belajar bahasa Belanda cukup sekolah pada Pastur.

132
Ketika masih sebagai Madrasah al-Sulthaniyah gaji para guru ditanggung oleh Sultan (baik
Sultan Moehammad Tsafioeddin II maupun Sultan Muhammad Ali Shafiuddin). Namun sejak
berubah menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam, yang bertanggung jawab adalah Perkumpulan
Tarbiatoel Islam. Hal ini wajar, mengingat namanya tidak lagi al-Sulthaniyah yang
diidentikkan dengan milik kesultanan.
443

Selain itu ada juga hal-hal yang menggembirakan dari sekolah Tarbiatoel Islam.

Pada tahun ini (1941), ada empat orang lulusan sekolah Tarbiatoel Islam yang

menempuh ujian staats examen (ujian negara) untuk voorklas MULO dan 2 orang

di antaranya lulus (Borneo Barat. 22 dan 24 Juli 1941).

Selanjutnya berdasarkan rencana pelajaran 1953, terdapat beberapa

perubahan mata pelajaran, namun secara umum Sekolah Tarbiatoel Islam masih

memadukan mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum. Pada masa itu

Kepala Sekolah Tarbiatoel Islam adalah Haji Abdurrahman Hamid, sedangkan

ketua perkumpulan masih dipegang oleh Basioeni Imran (Yunus, 1979: 344).

Tabel 4.3: Daftar Mata Pelajaran Sekolah Tarbiatoel Islam 1953

No. Mata Pelajaran Agama Mata Pelajaran Umum

1. Nahwu Berhitung

2. Sharaf Ilmu Bumi

3. Bahasa Arab Ilmu Alam

4. Tafsir Ilmu Tumbuh-tumbuhan

5. Hadis Kesehatan

6. Fikih Ilmu Ukur

7. Ushul [Ushul Fikih] Gerak Badan

8. Tarikh

9. Akhlak

10. Alquran

11. Terjemah

Sumber: Dioleh dari: Mahmud Yunus. 1979. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: 344.
444

Memperhatikan berbagai aktivitas dan kebijakan dalam mengembangkan

lembaga pendidikan Madrasah al-Sulthaniyah menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam

dan segala hal yang terkait dengannya, dapatlah ditarik beberapa hal penting

menyangkut pemikiran pendidikan Basioeni Imran. Pertama, bagi umat Islam

menuntut ilmu adalah kewajiban personal tanpa memandang latar belakang

seseorang sebagaimana telah digariskan oleh Rasulullah SAW melalui hadis yang

telah disebutkan. Ilmu pengetahuan menjadi pondasi dan sumber kemajuan umat

Islam baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Ilmu pengetahuan

harus tetap berpijak pada ajaran dan nilai-nilai agama. Mengembangkan ilmu

pengetahuan berarti pula mendayagunakan akal dan pikiran yang dimiliki oleh

setiap manusia. Kedua, ilmu pengetahuan jika ia dapat menunjang kemajuan

agama dan kehidupan manusia maka dari mana pun sumbernya boleh diambil,

termasuk yang berasal dari dunia Barat. Ilmu pengetahuan yang diperoleh dari

Barat harus dipadukan dengan ilmu pengetahuan keagamaan Islam. Ketiga,

lembaga pendidikan bertugas tidak hanya menyiapkan manusia agar selamat di

akhirat melalui ilmu-ilmu agamanya. Lembaga pendidikan juga harus menyiapkan

manusia (peserta didik) agar siap dan sukses hidup di dunia ini. Untuk itu, kepada

peserta didik harus dibekali pula dengan ilmu dan keterampilan yang

menuntunnya sukses hidup di dunia sebagai bekal hidup selamat di akhirat.

4.5 Kemunduran dan Perbedaan Pendapat Umat Islam

Sejak pulang dari belajar di Mekah dan Kairo kemudian menduduki

jabatan sebagai Maharaja Imam Kerajaan Sambas hingga akhir hayatnya,


445

Basioeni Imran telah menulis beberapa kitab dan naskah dengan berbagai tema.

Sebagian besar karya tulisnya di bidang hukum Islam dan sedikit di bidang tauhid,

tafsir dan sejarah. Jika dicermati tema-tema dan terutama latar belakang ia

menulis suatu tema maka akan terungkap bahwa tulisan-tulisannya dapat

dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, tulisan-tulisan yang ditujukan untuk

membimbing masyarakat agar dapat memahami ajaran-ajaran Islam dengan lebih

baik. Latar belakang penulisannya adalah untuk menyampaikan ajaran-ajaran

Islam kepada umat karena kurangnya pemahaman mereka terhadap ajaran Islam.

Tulisan yang masuk dalam kategori ini adalah yang ditulis sebelum 1930. Kedua,

tulisan-tulisan yang ditujukan kepada masyarakat tentang berbagai perbedaan

pendapat dalam ajaran Islam serta menyampaikan perspektif baru dalam

memahami ajaran Islam. Isi tulisan dalam kategori ini adalah selain memaparkan

berbagai perbedaan pendapat dan latar belakangnya juga pernyataan dan

keberpihakan Basioeni Imran atas perbedaan pendapat yang ada. Latar belakang

penulisannya adalah keprihatinan atas perselisihan dan perpecahan di kalangan

umat Islam. Tulisan yang masuk dalam kategori ini adalah yang ditulis mulai

1930 dan seterusnya.

Kategorisasi tulisan-tulisan tersebut sekaligus menunjukkan bagaimana

perkembangan pemikiran Basioeni Imran dalam mencermati, memahami dan

merespon Islam dan umat Islam baik di Sambas, kawasan dunia Melayu maupun

dunia Islam secara umum. Pada masa sebelum 1930 Basioeni Imran masih dalam

masa menyerap dan memahami berbagai persoalan yang ada di tengah umat Islam

sambil memberikan jawaban langsung atas persoalan-persoalan spesifik yang


446

dihadapi masyarakat. Dalam masa ini Basioeni Imran berupaya membangun

pondasi kokoh bagi keberislaman masyarakat, khususnya di Kerajaan Sambas.

Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya tulisan Tarjamah Durus al-Tarikh al-Syari'ah

(1916), Bidayah al-Tauhid fi 'Ilm al-Tauhid (1918), Cahaya Suluh pada

Mendirikan Jumat Kurang Dari Pada Empat Puluh (1920), dan bisa juga

dimasukkan dalam kategori ini kitab Tazkir Sabil al-Najah fi Tarik al-Shalat

(1931). Setelah 1930, Basieoni Imran sudah memahami dan menyadari kondisi

umat Islam, khususnya di Kerajaan Sambas dan dunia Melayu umumnya, umat

jauh tertinggal dan terkebelakang. Faktor utama ketertinggalan itu adalah

perbedaan pendapat yang berubah menjadi perselisihan dan perpecahan umat.

Termasuk penyebab perpecahan itu adalah sikap taklid dan anggapan bahwa pintu

ijtihad yang sudah tertutup. Karena tidak ada lagi ijtihad maka kondisi umat

menjadi jumud atau beku. Perselisihan dan perpecahan umat ini salah satunya

disebabkan oleh terjadinya perbedaan pendapat antara “kaum tua” dengan “kaum

muda”. Kaum tua diwakili oleh antara lain Nahdlatul Ulama, dan kaum muda

diwakili antara lain oleh Muhammadiyah dan al-Irsyad. Dalam upaya mengurai

penyebab perpecahan dan menghentikan pertikaian karena perbedaan pendapat,

Basioeni Imran menulis Al-Ibanatoe wal inshafoe fil masaailiddiniah wa izalati

attafarruqi fiha wal ichtilaaf (1933), Terjemah al-Imam al-Syafi'i (1933), Husn al-

Jawab 'an Itsbat al-Ahillat bi al-Hisab (Molek Jawaban Pada Menstabitkan Awal

Bulan dengan Kiraan) (1938) dan Kitab al-Janaiz (1943).

Sebagai orang yang pernah belajar di pusat dan tempat awal lahirnya Islam

(Mekah) dan perguruan tinggi tertua di dunia (al-Azhar, Kairo) Basioeni Imran
447

jelas memiliki wawasan dan pandangan yang cukup luas menyangkut kehidupan

masyarakat muslim dunia. Terlebih lagi secara rutin ia menjadi pelanggan dan

pembaca setia majalah al-Manar, yang berisi berita-berita dari seluruh dunia, baik

dunia Islam maupun dunia Barat. Ia memahami bahwa negeri-negeri muslim

hampir semuanya berada di bawah dominasi bangsa Barat. Kekuatan kolonialis

Barat menguasai berbagai kerajaan dan kesultanan Islam hampir di semua belahan

dunia. Padahal dahulu orang-orang Islam mampu menjadi umat yang maju dan

mendominasi dunia. Pencermatannya inilah yang kemudian mendorong dirinya

mempertanyakan penyebab kemunduran umat Islam dan penyebab umat selain

Islam maju kepada gurunya Rasyid Ridha 133 seperti yang telah disinggung pada

awal bab pertama.

Kegelisihan Basioeni Imran melihat kondisi umat Islam di Kerajaan

Sambas khususnya dan dunia Melayu umumnya mendorong dirinya pada 1930

mempertanyakan sebab-sebab kemunduran umat Islam dan sebab-sebab

kemajauan umat lain (khususnya Eropa). Bermula dari hal tersebut, Basioeni

Imran semakin tercerahkan dengan serangkaian penjelasan Syakib Arsalan yang

menjelaskan sangat panjang jawaban atas pertanyaannya tersebut.

Terkait dengan kondisi umat Islam pada masanya, Basioeni Imran menulis:

Dahoeloe oemat Islam madjoe kepada setinggi-tinggi kemadjoean dalam


perkara kedoeniaan mereka itoe apalagi didalam perkara agama
merekaitoe ialah dengan `ilmoe (pengetahoean) jang berdasar kitab Allah
(al-Qoeran) dan soennah rasoelNja s.a.w. Maka apakala oemat Islam telah
meninggalkan Ilmoe jang berdasarkan kedoeanja itoe kepada ilmoe taklid
a`ma (tiroe boeta toeli) bagi `oelama mereka itoe didalam perkara agama
lantas moendoerlah mereka itoe keboentoet kemoendoeran dan tertjeboer

133
Yang dimuat dalam majalah al-Manar Volume 31 Nomor 5 (29 Rajab 1349 H. / 20 Desember
1930 M.).
448

kedalam telaga kerendahan didalam perkara Agama dan doenia bersama-


sama. Padahal bangsa asing sedang melansoet ke atas langit kemadjoean
dan ketinggian hingga mereka itoe poesakai akan boemi Allah dan
berkoeasa padanja (Imran M. B., 1933-a: 2).

Kunci kemajuan umat Islam di masa lalu adalah ilmu pengatahuan. Dahulu umat

Islam berupaya menggali dan mengembangkan berbagai jenis ilmu pengetahuan

baik yang dikategorikan sebagai ilmu agama maupun ilmu umum. Semua jenis

ilmu dikembangkan karena mengikuti petunjuk Alquran yang menganjurkan

manusia berilmu pengetahuan. Kemajuan yang dicapai dunia Barat ternyata juga

memiliki kunci yang sama yaitu ilmu pengetahuan. Umat Islam mundur

disebabkan merebaknya paham taklid, mengikuti dan mengekor saja kepada

pendapat para ulama dan cerdik pandai terdahulu. Kondisi taklid ini kemudian

diperparah oleh terjadinya perselisihan dan berbantah-bantahan.

Pada Jumat 2 Desember 1932 Basioeni Imran berangkat dari Sambas

menuju pulau Jawa mengantarkan anak dan menantunya ke Surabaya. Selama

lebih kurang sebulan di pulau Jawa, Basioeni Imran mengunjungi Betawi,

Surabaya, dan Yogyakarta. Banyak hal yang dilihatnya dan juga bertemu dengan

beberapa tokoh seperti G.F. Pijper, Syaikh Ahmad Sorkati, 134 serta tokoh-tokoh

Al-Irsyad (Syaikh Abu Bakar Basyarahil dan Sayyid Umar al-Habsyi di Surabaya)

dan Muhammadiyah (H. Hasyim dan H. Mukhtar, Ketua dan Sekretaris

Muhammadiyah). Perjalanannya selama lebih kurang sebulan itu memberikan

banyak pengalaman dan pengetahuan bagaimana kehidupan bangsa Indonesia dan

umat Islam khususnya di Jawa. Di setiap tempat yang dikunjungi Basioeni Imran

134
Sorkati adalah pendiri dan tokoh utama organisasi Al-Irsyad yang membawa ide-ide
pembaruan. (Lihat kembali penjelasan pada bab 2 khususnya pada bagian “Kaum Tua” vs
“Kaum Muda” dan lihat penjelasan lebih lanjut tentang sosok Sorkati dalam: Pijper, 1985:
114-126).
449

selalu menyempatkan diri berdiskusi dan melihat secara langsung lembaga

pendidikan milik organisasi al-Irsyad. Orang-orang al-Irsyad senang bertemu

Basioeni Imran karena dia dianggap bersetuju dengan mazhab al-Irsyad. Di

Surabaya ia menghadiri vergadering (rapat umum) Persatuan Syarekat Islam

Indonesia (PSII), Partai Syarikat Islam (PSI) dan Indonesia Muda (tokohnya Dr.

Sutomo Muhammad Yamin) yang menggelorakan semangat perjuangan melawan

kolonialisme (Imran M. B., 1933-c: 4-17). Saat masih di Surabaya, ia juga

berkunjung ke Bangkalan-Madura bertemu seorang konsul Muhammadiyah di

sana bernama Noto Amid Ramu. Noto menceritakan bagaimana sulitnya ia

memajukan Islam menurut aturan Muhammadiyah. Ia mendapatkan banyak

rintangan dari kaumnya yang masih di dalam kejahilan, bertambah-tambah

disokong oleh ulama mereka yang kolot-kolot (Imran M. B., 1933-c:18).

Pengalaman perjalanannya ke Jawa pada peralihan tahun 1932-1933 itu

memberi kesan tersendiri pada diri Basioeni Imran seperti tulisannya berikut ini:

(Amma ba’du) Adapun kemudian daripada itu maka apakala saya tiba di
negeri saya (Sambas) di dalam Bulan Ramadan tahun 1351 H daripada
pelayaran saya di tanah Jawa (Betawi, Yogyakarta, dan Surabaya)
memperhatikan pergerakan agama Islam di sana dari segala pelajarannya
(sekolah-sekolahnya) dan hal ihwal ahlinya baik pun tentang perkara
keagamaan atau keduniaan maka mendapatlah saya ibrah dan tauladan dan
bertambahlah ingatan saya bahwa sebaik-baik pekerjaan seseorang
memberi manfaat akan dirinya sendiri kemudian ahlinya dan kaum
kerabatnya kemudian akan umatnya dengan kadar kuasanya. Dan manfaat-
manfaat itu bermacam-macam jenisnya baik pun untuk dunia semata-mata,
atau akhirat semata-mata, atau dunia dan akhirat bersama-sama dan
teruslah saya menulis (Imran M. B., 1933-b: 2).

Setelah pulang ke Sambas, Basioeni Imran menulis hasil pencermatannya

terhadap kondisi di Indonesia dan di tanah Melayu khususnya dengan

pernyataannya sebagai berikut:


450

Sekarang kaoem kita Moeslimin di Indonesia dan di tanah Melajoe sedang


berselisih dan berbantah-bantah di dalam perkara Agama dari matjam2
masalah tentang `amalan dan i`tiqad maka orang2 `awam atau djahil2 poen
toeroet tjampoer pada jang demikian karena mengikoet `oelama mereka
itoe. Maka sebahagian (satoe party) hendak meninggalkan taklid a`ma
(tiroe boeta toeli) kepada kitab2 `oelama Moetaachchirin dan hendak
ihtida’ (berpetoendjoek) dengan kitab Allah (Qoeran dan soennah Rasoel
Nja s.a.w.) dan mendahoeloekan kedoeanja di atas perkataan siapa djoega.
Dan party jang lain tidak soeka hanja soeka taklid semata-mata kepada
perkataan dan kitab2 `oelama Moetaachchirin dan ialah jang
dimoe`tamadkan, kata mereka itoe (Imran, 1933-a: 4-5).

Perselisihan dan saling bantah membantah terjadi baik dalam hal amalan maupun

dalam masalah keyakinan. Karena perselisihan terjadi di antara para ulama, maka

ia merembet dan diikuti kalangan bawah, masyarakat biasa. Perselisihan tersebut

terjadi antara dua kelompok. Kelompok pertama ingin meninggalkan taklid buta

terhadap kitab-kitab ulama mutaakhkhirin dan ingin kembali kepada Alquran dan

Sunnah Rasulullah. Kelompok kedua tidak senang dengan kelompok pertama dan

tetap taklid kepada kitab-kitab ulama mutaakhkhirin yang telah diakui. Kelompok

pertama sering disebut “kaum muda” sedangkan kelompok kedua disebut “kaum

tua”.135

Salah satu perbedaan pendapat yang berlanjut menjadi pertengkaran dan

perselisihan adalah dalam penetapan awal bulan Ramadan (puasa) dan awal bulan

Syawal. Dalam hal ini, Basioeni Imran menulis:

Adapun kemudian daripada itu maka senantiasa kita dengar perselisihan


dan pertengkaran di mana-mana negeri tentang menetapkan awal bulan
Ramadan, karena hendak puasa, dan awal bulan Syawal karena hendak
hari raya. Maka setengah orang memakai hisab (hitungan) taqwim
almanak, atau hitungan dirinya sendiri walaupun ia tidak tahu ilmu hisab
falakiyah, dan yang banyaknya memakai rukyat (melihat bulan) karena
ialah asal menurut hadis: “Shumu lirukyatihi”, puasalah kamu karena
melihatnya (awal bulan Ramadan) hingga akhirnya.

135
Lihat kembali penjelasan kedua kelompok ini pada bab 2.
451

Maka pertengkaran dan perselisihan itu hendaknya tidak bagus bagi kita
orang muslimin yang tahu agama. Maka bagaimana kiranya orang agama
lain nya memandang hal kita pada yang demikian? (Imran M. B., 1938-a:
1)

Selain masalah penetapan awal bulan sebagaimana disebutkannya di atas,

perbedaan pendapat dalam masalah talkin juga marak pada masa itu. Hal ini

selanjutnya berakibat saling menyalahkan dan berpecah belah di antara para

ulama. Bahkan di tengah masyarakat terjadi saling menyalahkan antara yang

setuju dengan yang tidak setuju (Imran M. B., 1943: 30-31). Karena maraknya

perselisihan di tengah masyakat, Basioeni Imran berkirim surat dan meminta

fatwa kepada Rasyid Ridha mengenai hukum talkin mayat. Dalam kata pengantar

sebelum sampai pada pertanyaan, Basioeni Imran menyampaikan

keprihatinannya:

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.


Amma ba’du. Saya berharap Anda memberikan jawaban atas beberapa
pertanyaan saya berikut ini dengan secepatnya karena telah terjadi gejolak
di tempat kami—Melayu hari ini—dan banyak sekali pertentangan serta
pertikaian di sana antara ahli taklid yang jumud dan mereka yang pecinta
pembaharuan yang reformis. Dan saya melihat bahwa akibat dari hal itu
tidaklah baik, karena mudaratnya lebih besar dari manfaatnya (Al-Manar
Vol. 31 [5], 1930: 347).

Rasyid Ridha kemudian memberi komentar terhadap pernyataan Basioeni Imran

tersebut dengan mengatakan berselisih paham karena masalah-masalah ijtihadiyah

(hal-hal yang tidak ada kesepakatan ulama tentangnya) akan berdampak terjadinya

kerusakan dan dosa besar. Oleh karena itu, mengerjakan atau meninggalkan

masalah yang diperselisihkan masih lebih baik daripada bermusuhan karenanya.

Hal ini disebabkan karena masing-masing memiliki dasar dalil nash.

Salah satu penyebab kemunduran umat Islam dalam pandangan Basioeni


452

Imran adalah meluasnya sikap taklid. Taqlid adalah istilah yang muncul dan

banyak dibahas dalam ilmu ushul fikih dan tarikh tasyri` (sejarah pembentukan

hukum Islam). Taqlid (bahasa Indonesia: taklid) secara kebahasaan berarti

mengenakan kalungan di leher sebagai petunjuk jalan. Kemudian kata taklid

dipergunakan untuk suatu pengertian “Mengambil pendapat orang lain untuk

diikuti tanpa mengetahui dalil-dalilnya” (Rosyada, 1996: 126). Imam Syafi’i

menganggap bahwa pendapat para sahabat Nabi adalah sumber hukum Islam dan

mengikuti praktik-praktik mereka sebagai taklid (Hasan, 1984: 49). Basioeni

Imran sendiri mendefinisikan taklid sebagai “menerima perkataan seseorang

dengan tidak berdalil atau keterangan atau semata-mata meniru” (Imran M. B.,

1933-b: 5). Pada bagian lain, Basioeni menulis:

Adapooen taqlid maka artinja ialah menerima perkataan dengan ta’


berhoedjdjah dan berdalil (tidak berketerangan) atau ialah meniroe atau
toeroet-toeroetan. Maka taqlid itoe boekan dari pada djalan2 `ilmoe
pengetahoean baik poen pada Oeshoel (perkara2 i`tiqad) atau foeroe`
(hoekoem2 sjari`ijjah) tetapi bahwa zhan (sangka) itoe memadai pada
foeroe` dan ta` memadai pada Oeshoel oleh sebab itoe diharoeskan taqlid
pada foeroe` dan tidak pada Oeshoel ja’ni bagi jang lemah atau `awam
wadjib atasnja minta fatwa kepada oelama’ dan mengikoet mereka itoe
pada hoekoem Allah (Imran,1933-a: 81).

Berdasarkan uraian di atas, taklid adalah menerima begitu saja perkataan atau

pendapat para ulama terdahulu dengan tanpa mengetahui dalil-dalil atau dasar

argumentasinya. Khusus dalam masalah furu` Basioeni Imran masih

membenarkan bertaklid, khususnya bagi orang awam. Meskipun membenarkan

taklid bagi orang awam pada masalah furu`, berbagai ayat Alquran sangat

mencelanya.

Sikap taklid sesungguhnya tidak muncul pada zaman modern saja. Dalam
453

naskah Al-Ibanah-nya, Basioeni Imran menjelaskan secara panjang lebar

perkembangan pembentukan hukum Islam mulai dari masa Rasulullah hingga

munculnya sikap taklid setelah abad keempat hijriyah. Dalam pembahasan sejarah

pembentukan hukum Islam (tarikh tasyri`) taklid bukan sekedar sikap, tetapi nama

bagi suatu periode pembentukan hukum Islam. Khallaf misalnya membagi

perkembangan hukum Islam menjadi periode nabi, periode sahabat, periode

pembukuan dan periode taklid (Khallaf, 2000). Periodesasi yang sama juga

disampaikan oleh Sopyan dengan menyebut periode keempat dengan periode

taklid / jumud serta tambahan periode tiga kerajaan besar, periode kebangkitan

dan periode modern (Sopyan, 2010: 14-17).136 Sebagai nama sebuah periode,

maka sikap taklid menjadi sikap umum para ulama dan umat Islam di periode

tersebut. Prestasi cemerlang para ulama di bidang fikih pada periode pembukuan

(awal abad kedua hijriyah sampai pertengahan abad keempat hijriyah) dengan

hadirnya para imam mazhab diikuti dengan periode melemah dan mandegnya

semangat ijtihad mutlak, sehingga menjamur sikap taklid dan anggapan bahwa

pintu ijtihad telah tertutup. Para ulama pada periode ini cukup puas hanya dengan

melakukan tiga hal: (1) mentarjih berbagai pendapat dalam mazhab; (2) membela

mazhab; dan (3) merumuskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah ushul fikih (Sirry,

1995: 134-137). Faktor-faktor penting yang menyebabkan terhentinya ijtihad dan

maraknya sikap taklid adalah: (1) Terpecahnya daulah Islamiyah ke dalam

sejumlah kerajaan yang saling bermusuhan. Hal ini berdampak pada melemahnya

136
Mun`im A. Sirry membuat periodesasi yang sedikit berbeda dalam penamaan periode, namun
substansinya sama. Sirry membagi perkembangan hukum Islam menjadi enam periode: (1) Era
kenabian; (2) Era Khulafaur-Rasyidin; (3) Era Sighar Sahabat dan Tabi`ien; (4) Era Keemasan;
(5) Era Keterpakuan Tekstual (Jumud dan Stagnasi); dan (6) Era Kebangkitan Kembali (Sirry,
1995: 20-21)
454

semangat ilmiah pengembangan ilmu. (2) Para imam mujtahid yang hadir pada

periode pembukuan diikuti oleh orang-orang yang mulai membentuk mazhab.

Masing-masing kelompok mazhab mulai mengklaim kebenaran dan membela

mazhabnya. Lahirlah sikap fanatik (ta`ashub) atas mazhab masing-masing. (3)

Mulai disusun kaidah-kaidah yang mengekang ijtihad seperti adanya persyaratan

yang ketat bagi seseorang yang disebut mujtahid. (4) Tersebarnya penyakit moral

di kalangan para ulama yang menghalangi mereka dari ketinggian derajat ijtihad

(Khallaf, 2000: 102-105).

Dalam berbagai tulisannya, Basioeni Imran juga sering menyebutkan

fanatisme atau ta`assub ikut memperparah kondisi umat Islam. Baioeni Imran

menjelaskan bagaimana sikap ta`assub telah menyebabkan terjadinya taklid.

Tetapi orang2 jang ta`assoeb (mendegil) jang menoeloeng bagi mazhab2


itoe enggan hendak mendjadikan ichtilaf itoe rahmat dan telah
mengeraskan oleh tiap2 dari pada mereka pada mewadjibkan mentaqlid
akan mazhabnja dan tiada mengharoeskan bagi orang2 jang berbangsa
kepadanja (seperti orang2 mazhab Sjafi`i) pada mentaqlid akan lainnja
walau poen karena hadjat atau terpaksa dan adalah dari pada moenazharah
(perlawanan mereka iteo) pada jang demikian dari pada mentjela oleh
setengah mereka akan setengah, barang soedah ma’lum didalam kitab2
Tarich dan tardjamah2 dan lainnja seperti kitab Al-Ihja’ bagi Imam Gazali
dan djadilah setengah orang2 Moeslim apabila ada ia di dalam negeri jang
ahlinja ta`assoeb bagi satoe mazhab jang boekan mazhabnja seperti seekor
oenta atau kambing jang koerap di antara mereka (Imran, 1933-a).

Demikianlah, bermazhab yang diikuti dengan sikap fanatik meniscayakan lahirnya

sikap taklid. Akibat lanjutan dari fanatik terhadap mazhab masing-masing adalah

upaya membela mazhab sendiri seraya menyalahkan mazhab lain sehingga

lahirlah suasana pertengkaran di tengah masyarakat. Padahal di antara para imam

mujtahid, yang kepadanya dinisbatkan nama mazhab, terjalin hubungan erat guru-
455

murid137 yang saling menghormati dan tidak saling mengklaim dirinya yang

paling benar.

Dari penelusurannya mengkaji sejarah perkembangan hukum Islam,

khususnya di lingkungan mazhab Syafi`iyah, Basioeni Imran menemukan terdapat

sikap fanatik yang berlebihan yang memang diciptakan oleh paran pengikut Imam

Syafi’i. Para ulama Syafi`iyah mutaakhkhirin berupaya membuat tingkatan

kualitas kitab-kitab karya para ulama di lingkungan Syafi`iyah. Pemeringkatan

kualitas kitab-kitab tersebut meniscayakan kitab yang tingkatannya di bawah tidak

boleh menyalahi kitab yang berada di atasnya. Pemeringkatan kitab-kitab oleh

ulama mutaakhkhirin ini tidaklah benar, karena tidak didasarkan pada kitabullah

dan Sunnah Rasulullah. Padahal jelas Allah memerintahkan untuk kembali kepada

Alquran dan Sunnah jika terdapat perselisihan (Q.S. al-Nisa [4]: 59). Selanjutnya

jika tidak ditemukan pada keduanya, maka bisa langsung menggunakan ijtihad

seperti diisyaratkan dalam hadis Rasulullah tentang pengiriman Muaz bin Jabal

sebagai Gubernur di Yaman. Bahkan Imam al-Syafi`i pernah berkata: “Apabila

kamu dapati di dalam buku menyalahi Sunnah Rasulullah SAW. maka kamu

perkenankan dengan Sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan perkataanku.”

(Imran M. B., 1933-b: 6-8).

Taklid dan fanatisme yang membuat masyarakat jumud (beku) yang terjadi

di Indonesia dan dunia Melayu bertolak belakang dengan yang terjadi di Eropa,

Amerika maupun Jepang. Di sana mereka maju dengan ilmu pengetahuannya.

137
Imam Malik bin Anas (93 – 173 H.) adalah guru dari Imam al-Syafi`i (150 – 204 H.) dan Imam
al-Syafi`i adalah guru dari Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H.). Riwayat hidup para imam
mazhab dapat dibaca dalam asy-Syarqawi. 2000. Riwayat Sembilan Imam Fiqih. Bandung:
Pustaka Hidayah.
456

Kemajuan ilmu pengetahuan mereka berpangkal pada kesungguhan dalam

mempergunakan tenaga, paham dan akal. Sesungguhnya umat Islam juga

memiliki tenaga, paham dan akal dan karenanya umat Islam bisa maju. Oleh

karena itu, Basioeni Imran mengatakan:

Maksoed saja dengan ini (1) menjatakan bahwa idjtihad itoe tidak Allah
Ta`ala toetoep akan pintoenja bagi siapa2 jang ia boekakan baginja dari
pada segala hambatannja. (2) Soepaja djangan disangka oleh orang2 djahil
bahwa idjtihad itoe haram dan tidak haroes lagi hingga hari qijamat. (3)
Soepaja berniat orang2 jang hendak menoentoet ilmoe agama akan
menoeroet perdjalanan Imam2 menoentoet ilmu jang berdalil dan
beralasan itoe sekalipoen kita tidak akan mendapat jang demikian karena
soedah loepoet waktoenja. (4) Boekanlah maksoed dengan idjtihad itoe
hendak menjalahi perkataan2 atau mazhab2 Imam soepaja baharoe shah
idjtihad itoe, tetapi haroes idjtihad seseorang berbetoelan dengan idjtihad
salah satoe dari pada mereka dan haroes joea bersalah-salahan sebab
menoeroet dalil dan keterangan. Dan haroes dan patoet memakai dan
menggoenakan kitab2 dan faham2 mereka dan kitab2 oelama jang
Moehaqqiqin oentoek menolong memfahamkan kitab Allah dan soennah
Rasoelnja s.a.w. sebagai faham jang betoel dan akan diterangkan perkara
ini (Imran M. B., 1933-a: 79).

Demikianlah pendapat Basioeni Imran, bahwa untuk keluar dari kebekuan pikiran,

mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa Barat, maka kuncinya adalah

keberanian untuk melakukan ijtihad. Dengan ijtihad maka akan berkembang ilmu

pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum. Berijtihad tidak berarti

menghadirkan pendapat yang berbeda dengan pendapat mazhab-mazhab yang

telah ada. Hasil ijtihad bisa saja sama atau berbeda dengan pendapat mazhab yang

telah mapan, semuanya sangat tergantung pada dalil dan argumentasi yang

digunakan. Tidak berarti pula berijtihad adalah meninggalkan kitab-kitab yang

digunakan oleh mazhab-mazhab yang telah ada. Kitab-kitas tersebut tetap bisa

digunakan untuk membantu memahami Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.

Ijtihad adalah: “Menghabiskan oleh faqih (orang jang `alim) akan


457

kekoeatannja dan daja oepajanja pada menghasilkan zhan dan sangka dengan

hoekoem sjar`i” (Imran M. B., 1933-a: 75). Syarat mujtahid atau orang yang

berijtihad dalam pandangan Basioeni Imran hanya dua, yaitu: Pertama, mengenal

Allah dan sifat-sifat-Nya dan membenarkan Nabi SAW. dengan segala

mukjizatnya dan hal yang terkait dengannya ilmu dan iman dengan dalil-dalil

ijmaliah meskipun ia tidak termasuk ulama kalam. Kedua, mengetahui sumber

atau tempat pengambilan hukum (madarik al-ahkam), yaitu Alquran dan Sunnah

Rasulullah, ijmak, kias (Imran, 1933-a: 75). Jika seorang mujtahid hendak

mengeluarkan (meng-istinbath-kan) hukum, maka ia harus memiliki empat ilmu,

yaitu: (1) Tahu mendirikan [mempergunakan] dalil dan syaratnya yang jadi dalil;

(2) Mengetahui bahasa Arab dan nahwu, termasuk ilmu balaghah (ma’ani, bayan

dan badi`) yang dengan itu ia mudah memahami khitab serta adat penggunaan

bahasa Arab. Setidaknya dengan memahami bahasa Arab ia bisa membedakan:

perkataan (kalam) sharih, zhahir, mujmal, haqiqi, majazi, `am, khash, muhkam,

mutasyabih, muthlaq, muqayyad, nash, fahwa, lahn dan mafhum. (3) Mengetahui

nasikh dan mansukh baik pada Alquran maupun Sunnah Rasulullah. (4)

Mengetahui riwayat dan membedakan sunnah yang sahih dengan yang fasid, yang

diterima dan yang ditolak (Imran, 1933-a: 76). Syarat-syarat seorang mujtahid dan

syarat yang harus dimiliki jika ingin meng-istinbath-kan hukum yang diajukan

Basioeni Imran tidak seketat yang dibuat oleh ulama-ulama mutaakhkhirin.

Diduga ini dimaksudkan sebagai upaya agar para ulama bergairah kembali

melakukan ijtihad karena syarat-syaratnya lebih mudah.

Dari uraian di atas dapat dilihat Basioeni Imran sangat prihatin dengan
458

kondisi umat Islam yang terpuruk dalam sikap saling menyalahkan dan berbantah-

bantahan sebagai dampak terjadinya perbedaan pendapat. Sejatinya perbedaan

pendapat adalah rahmat bagi umat Islam. Hal ini disebabkan oleh merebaknya

sikap taklid buta dan fanatisme yang ditumbuhsuburkan sendiri oleh para ulama,

khususnya ulama mutaakhkhirin. Taklid buta melahirkan pandangan bahwa ijtihad

telah tertutup. Mungkin juga hal yang sebaliknya terjadi, karena anggapan pintu

ijtihad sudah tertutup maka para ulama mencukupkan dirinya bahkan

menganjurkan orang awam untuk bertaqlid kepada pendapat para ulama

terdahulu. Bersamaan dengan lahirnya sikap taklid muncul pula sikap fanatik atau

ta`assub yang berlebihan. Membangga-banggakan dan memuji mazhab atau

pendapat ulama tertentu yang dianutnya seraya mencela dan menyalahkan mazhab

atau ulama lain yang ia tidak sependapat denganya. Karena ulama dan masyarakat

tenggelam dalam perdebatan dan saling menyalahkan, upaya mengembangkan

ilmu pengetahuan terlupakan. Terjadilah kondisi masyarakat yang statis atau beku

(jumud).

Jalan keluar dari masalah tersebut adalah membuka cakrawala berpikir

umat bahwa perbedaan pendapat adalah sebuah fakta tak terbantahkan terjadi

sejak masa Rasulullah (yaitu antar para sahabat) hingga pada masa lahirnya para

ulama mujtahid atau para imam mazhab. Untuk membuka cakrawala berpikir

inilah maka Basioeni Imran menulis risalah Al-Ibanatoe wal Inshafoe fil

Masaailiddiniah wa Izalati Attafarruqifiha wal Ichtilaaf (Menyatakan dan

Menengahi [Mengadili] pada Masalah Agama dan Menghilangkan Berpecah-

belah dan Bersalah-salahan Padanya). Di dalam risalah ini, dijelaskan secara


459

panjang lebar perbedaan pendapat pada masa-masa sebelum abad keempat

hijriyah tidak mengakibatkan perpecahan, karena sikap kritis dan ijtihad masih

terus berjalan. Sikap fanatik juga tidak berkembang. Karena itu, perbedaan

pendapat tidak melahirkan perpecahan, perbantahan dan pertengkaran. Jika

cakrawala berpikir ulama dan umat terbuka menerima perbedaan pendapat dan

mengembalikannya sebagai sebuah rahmat, maka selanjutnya adalah membuka

kembali peluang setiap orang yang memenuhi persyaratan untuk berijtihad.

Dengan demikian akan terjadi dinamika dalam masyarakat, ilmu pengetahuan pun

akan berkembang sebagaimana terjadi pada masa-masa keemasan Islam di masa

lalu.

Berdasarkan tinjauan ini, terdapat sedikit perbedan sudut pandang antara

Basioeni Imran dengan gurunya Rasyid Ridha dalam melihat penyebab

kemunduran umat dan jalan keluarnya. Rasyid Ridha, sebagaimana telah

dijelaskan di bab sebelumnya, menyatakan penyebab kemunduran umat Islam

adalah tercampurnya ajaran Islam yang murni dengan anasir-anasir baru yang

disebut dengan bid`ah dan khurafat. Oleh karena itu, jalan keluarnya menurut

Rasyid Ridha adalah kembali kepada Alquran dan Sunnah.

Uraian pemikiran Basioeni Imran dari berbagai bidang yang telah

paparkan di atas setidaknya telah memberikan gambaran kecenderungan umum

pemikiran keagamaannya. Secara umum Basioeni Imran berpegang dan menganut

paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah baik di bidang teologi maupun di bidang

hukum atau fikih. Dalam bidang teologi sangat jelas Basioeni Imran menganut

teologi Asy’ariyah. Pemahamannya terhadap aspek keimanan (rukun iman)


460

hampir semua mencerminkan pandangan teologi Asy’ariyah. Pemahamannya

terhadap peristiwa Isra dan Mikraj juga mengikuti keyakinan Ahl al-Sunnah wa

al-Jamaah. Salah satu penjelasannya yang cukup menarik dari peristiwa Isra dan

Mikraj adalah upayanya membersihkan pemahaman tentang Tuhan agar

masyarakat tidak terjebak dalam paham antropomorfisme. Basioeni Imran

berupaya menjelaskan makna Rasulullah bertemu Allah dan Allah bertempat di

langit dengan menggunakan konsep bila kaifa al-Asyari dengan bahasa yang lebih

mudah dicerna masyarakat.

Pemikiran atau pendapat Basioeni Imran di bidang hukum fikih bisa

dikatakan masih di dalam koridor bermazhab yaitu dalam lingkungan empat

mazhab yang diakui sebagai Ahl Sunnah wal al-Jamaah, khususnya lagi mazhab

Syafi’iyah. Dalam beberapa hal, Basioeni Imran menunjukkan kebebasannya

berpendapat meskipun berbeda dengan ulama Syafi’iyah, seperti melafalkan niat

sembahyang hukumnya bid’ah. Pilihannya ini sebagaimana dipahami dari

tulisannya adalah mengikuti pandangan gurunya Rasyid Ridha. Basieoni Imran

juga berupaya keluar dari mainstream yang berlaku di masyarakat dengan

bermazhab secara manhaji, terutama dalam keputusannya mengikuti pendapat

lama Imam al-Syafi`i yang menyatakan sah sembahyang Jumat dengan jamaah

kurang dari empat puluh orang. Terkait dengan masalah sembahyang Jumat,

Basioeni Imran juga menyatakan tidak harusnya melaksanakan sembahyang

Zuhur mu’adah, Zuhur yang mengiringi sembahyang Jumat (karena menganggap

sembahyang Jumat tidak sah jika jamaahnya kurang dari empat puluh orang).

Basioeni Imran juga berani menunjukkan kebebasan berpendapatnya ketika


461

menyatakan sah dan perlunya metode hisab menggunakan ilmu falak dalam

penetapan awal bulan dan kebutuhan ibadah lainnya. Demikian juga dalam hal

poligami, Basioeni Imran memberi perspektif baru yang berbeda dengan

pemahaman umum. Ia menyatakan poligami hanya dibenarkan dalam keadaan

darurat dan jika memenuhi persyaratan berlaku adil. Pendapatnya tentang

poligami ini menjadi bukti berikutnya bahwa Basioeni Imran banyak mengikuti

pendapat gurunya Rasyid Ridha.

Pemikiran Basioeni Imran di dalam bidang tafsir belum menunjukkan

pemikirannya yang utuh, karena karya tulisnya di bidang ini sangat minim.

Namun sekilas dapat dilihat bahwa Basioeni Imran menggunakan metode tafsir

bil al-ma’tsur. Di bidang pendidikan, pemikiran Basioeni Imran tidak begitu

mudah ditelusuri kecuali dari kebijakannya dalam melakukan transformasi

Madrasah al-Sulthaniyah menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam. Berbagai rangkaian

kebijakan dalam transformasi lembaga pendidikan ini menunjukkan pemikiran

Basioeni Imran yang melihat lembaga pendidikan sebagai lembaga yang

bertanggung jawab bagi kesejahteraan peserta didik di dunia dan akhirat. Oleh

karena itu, kurikulum sekolah harus mengakomodir pembelajaran ilmu-ilmu

agama bersamaan dengan ilmu-ilmu umum. Berbagai pemikiran yang dapat

membawa kemajuan bagi agama dan umat harus diadopsi tanpa harus melihat

sumbernya. Transformasi Madrasah al-Sultaniyah menjadi Sekolah Tarbiatoel

Islam dan kebijakan-kebijakan yang mengiringinya menunjukkan upaya Basioeni

Imran mengikuti hal yang serupa di Mesir dan beberapa negeri muslim lainnya.

Transformasi lembaga pendidikan sebagaimana disebutkan di atas


462

merupakan salah satu langkah nyata Basioeni Imran mengiplementasikan

kesadarannya untuk memperbaiki kondisi umat Islam yang mundur dan

terkebelangan. Berbeda dengan Rasyid Ridha, Basioeni Imran melihat

kemunduran umat Islam disebabkan merebaknya taklid buta dan fanatisme

terhadap mazhab yang menjadikan pintu ijtihad tertutup dan umat mengalami

kejumudan (kebekuan). Maraknya perselisihan dan saling berbantahan bahkan

perpecahan di masyarakat, menurut Basioeni Imran sumbernya adalah

berkembangya taklid dan fanatisme. Oleh karena itu jalan keluarnya adalah

membuka kembali pintu ijtihad. Tertutupnya pintu ijtihad sejak abad keempat

hijriyah salah satu sebabnya adalah ketatnya persyaratan menjadi seorang

mujtahid dan mengeluarkan (meng-istinbath-kan) hukum. Karena itu Basioeni

Imran membuat persyaratan yang lebih ringan untuk seorang mujtahid dan juga

untuk meng-istinbath-kan hukum.


463

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Transmisi keilmuan dan ide-ide pembaruan dari pusat Islam Arab Saudi

(khususnya Mekah) semakin menguat seiring meningkatnya kuantitas muslim

Hindia Belanda yang menunaikan ibadah haji ke Mekah pada pada akhir abad ke-

19 dan awal abad ke-20. Sebagian jamaah haji tidak langsung pulang setelah

menjalankan ibadah haji. Mereka tinggal di sana untuk menuntut ilmu dalam

jangka waktu tertentu. Pada awal abad ke-20, pesona dan geliat pembaruan Islam

di Mesir juga telah menarik perhatian banyak muslim dari Hindia Belanda untuk

menimba ilmu di sana, tak terkecuali para pemuda dari Kerajaan Sambas. Pada

masa ini, transmisi ide-ide pembaruan dari Mesir ke Hindia Belanda semakin

deras karena didukung oleh hadirnya majalah ilmiah al-Manar yang memiliki

semangat dan mengemban misi pembaruan Islam.

Salah seorang yang beruntung memiliki kesempatan menuntut ilmu di dua

pusat keilmuan Islam dunia itu adalah Haji Moehamad Basioeni Imran. Ia anak

dari Haji Muhammad Imran, seorang pejabat Maharaja Imam di Kerajaan

Sambas, Kalimantan Barat. Setelah pulang dari belajar di Mekah-Arab Saudi dan

Kairo-Mesir, Basioeni Imran diangkat oleh Sultan Moehammad Tsafioeddin II

sebagai Maharaja Imam pada tahun 1913, menggantikan bapaknya yang

meninggal dunia. Dari silsilah keluarganya, jelas terlihat bahwa Basioeni Imran

berasal dari keluarga ulama, karena empat generasi di atasnya adalah ulama yang

463
464

menjabat sebagai Imam atau Majaraja Imam di Kerajaan Sambas. Selain itu,

Basioeni Imran sendiri adalah termasuk kerabat dekat Sultan Moehammad

Tsafieoddin II, karena istri sultan adalah saudara dari bapaknya Muhammad

Imran. Berdasarkan dua fakta ini, Basioeni Imran memiliki sumber otoritas

tradisional (traditional authority).

Seperti yang telah diuraikan, selain sebagai Maharaja Imam, Basioeni

Imran juga berkedudukan sebagai kadi dan mufti kerajaan yang secara resmi

diberikan oleh pihak kerajaan. Pemerintah kolonial Belanda juga mengangkatnya

dalam beberapa jabatan, seperti sebagai Presiden Mahkamah Raad Agama,

Penghulu Land Rechter dan Adviseur dari Zelfbestuur Commissie. Semua jabatan

yang dimilikinya menjadi sumber otoritas yang bersifat legal (legal authority). Di

sisi lain, Basioeni Imran juga memiliki sumber otoritas yang besifat karismatik

(charismatic authority) karena ia seorang ulama pemimpin agama dengan

kedudukan sebagai Maharaja Imam. Di tengah masyarakat Sambas yang

paternalistik maka secara tradisional Maharaja Imam senantiasa dipatuhi dan

dijadikan panutan. Dalam perspektif yang lain, mengikuti pendapat Kartodirdjo

(1982: 227), Basioeni Imran memperoleh dua sumber karisma sekaligus, yaitu

karisma murni dan karisma rutin. Karisma murni diperolehnya melalui proses

pendidikannya di Mekah dan Kairo sehingga kualitas penguasaan ilmu agamanya

diakui oleh semua kalangan. Karisma rutin diperoleh Basioeni Imran karena ia

adalah keturunan kelima ulama yang menjabat sebagai Imam atau Maharaja Imam

kerajaan Sambas.

Berbeda dengan di Jawa khususnya, di Kerajaan Sambas pada awal abad


465

ke-20 tidak terdapat lembaga pondok pesantren di mana di dalamnya hidup ulama

panutan dan pembimbing masyarakat. Sejak pertengahan abad ke-19, jabatan

Imam kemudian diubah menjadi Maharaja Imam telah dibentuk di Kerajaan

Sambas sebagai pemegang otoritas keagamaan. Para Imam atau Maharaja Imam

membentuk struktur jabatan keagamaan di bawahnya hingga ke kampung-

kampung. Pejabat keagamaan seperti Imam Maharaja, Khatib, Bilal, Lebai dan

Modim inilah yang kemudian memerankan diri sebagai tokoh ulama pembimbing

dan panutan masyarakat. Kategorisasi ulama menjadi ulama bebas yang bergerak

di wilayah tabligh yang membimbing umat dan pejabat agama atau ulama

pejabat yang memegang otoritas hukum (sebagai kadi dan mufti) seperti di Jawa

ternyata tidak tepat untuk diterapkan di wilayah Kerajaan Sambas khususnya. Di

tengah masyarakat memang terdapat beberapa tokoh ulama khususnya para

pembimbing Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, tetapi pengaruh mereka tidak

begitu besar di tengah masyarakat. Dengan demikian, Basioeni Imran

mengumpulkan dua model ulama di dalam dirinya: berperan sebagai pejabat

agama atau ulama pejabat (karena ia adalah kadi dan mufti yang memegang

otoritas hukum) dan sebagai ulama bebas (karena ia adalah Maharaja Imam, yang

terlibat langsung membina masyarakat bersama para pejabat keagamaan di

bawahnya). Peran Basioeni Imran di tengah masyarakat tidak sekedar sebagai

cultural broker, tetapi lebih dari itu adalah sebagai katalisator budaya (cultural

catalyst) yang ikut ambil bagian bahkan memimpin sendiri perubahan itu. Peran

sebagai katalisator budaya dalam bahasa Horikoshi disebut dengan agent of

change. Salah satu contohnya adalah melakukan transformasi lembaga pendidikan


466

Madrasah al-Sulthaniyah menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam.

Dengan mengumpulkan dua model ulama di dalam dirinya, kebijakan-

kebijakan dan juga pemikiran-pemikiran keagamaannya relatif bisa diterima

masyarakat tanpa ada penentangan. Di samping karena ia memiliki ketiga sumber

otoritas, hampir tidak ada tokoh ulama yang memiliki pengaruh cukup besar yang

bisa mempengaruhi masyarakat untuk menolak atau menentangnya. Berbagai

pemikiran dan kebijakan pembaruan yang disampaikan Basioeni Imran lebih

mudah direalisasikan dan diterima masyarakat. Kalau pun ada yang tidak setuju

bahkan menolak, perwujudannya tidak sampai menimbulkan perlawanan yang

berarti.

Sebagai seorang ulama yang pernah belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib

Minangkabau dan Muhammad Rasyid Ridha, pemikiran keagamaan Basioeni

Imran masih berada dalam kerangka bermazhab meskipun ada sisi-sisi yang

mencerminkan ide-ide pembaruan. Dalam bidang teologi, Basioeni Imran sangat

kental dengan paham-paham al-Asy’ariyah. Di bidang hukum fikih, Basioeni

Imran juga masih dalam kerangka mazhab Syafi’iyah, meskipun sebagian

mengikuti ide-ide pemurnian dari Rasyid Ridha. Ide-ide pembaruan Basioeni

Imran lebih terlihat realisasinya dalam bidang pendidikan, terutama dalam

melakukan transformasi Madrasah al-Sulthaniyah menjadi Sekolah Tarbiatoel

Islam dan berbagai kebijakan yang mengiringinya.

Dalam menyampaikan paham-paham keagamaan yang baru ke tengah

masyarakat, Basioeni Imran menggunakan cara yang santun dan lemah lembut.

Demikian juga jika ia menemukan pemahaman atau praktik keagamaan yang


467

menurutnya menyimpang dari ajaran agama, maka Basioeni Imran akan

mencegah atau menghentikannya dengan cara lemah lembut dan perlahan-lahan.

Salah satu pertimbangan utamanya adalah upayanya untuk tidak menimbulkan

perselisihan, perbantahan dan perpecahan di tengah masyarakat.

Perbedaan pendapat, perbantahan dan pertengkaran yang mengarah pada

perpecahan umat adalah kondisi masyarakat yang dihadapi oleh Basioeni Imran.

Semua kondisi tersebut menjadikan umat Islam mundur dan terkebelakang

dibanding dengan bangsa-bangsa di Eropa. Penyebabnya menurut Basioeni Imran

adalah merebaknya taklid dan fanatisme terhadap mazhab. Solusi atas persoalan

umat adalah membuka kembali pintu ijtihad.

Sebagai seorang ulama yang memegang berbagai jabatan, baik yang

dipercayakan oleh Kerajaan Sambas maupun Pemerintah Hindia Belanda,

Basioeni Imran terlibat langsung bahkan memimpin proses pembaruan atau

reformasi terhadap masyarakatnya. Reformasi yang dilakukannya adalah

reformasi yang lembut (soft reformation). Reformasi yang harus dilakukan untuk

memajukan masyarakat dengan tidak menimbulkan perselisihan, perbantahan dan

gejolak yang kontra produktif bagi proyek pembaruannya itu sendiri.

Berdasarkan seluruh kajian tentang latar sosial budaya, perannya di

masyarakat dan pemikiran keagamaannya terungkap bahwa Maharaja Imam Haji

Moehamad Basioeni Imran adalah seorang pembaru yang lebih cenderung pada

model pemurnian (purifikasi). Ia memiliki tiga sumber otoritas sekaligus dan

tampil sebagai ulama pejabat sekaligus ulama bebas. Atas dasar dua hal tersebut,

Basioeni Imran berhasil berperan sebagai katalisator budaya (cultural catalyst)


468

dalam melakukan soft reformation.

5.2 Saran

Dalam konteks kekinian, soft reformation yang dijalankan Basioeni Imran

sangat penting untuk dijadikan model dalam melakukan dakwah. Berdakwah atau

mengajak masyarakat melakukan perubahan tidak harus dengan cara saling

menyalahkan. Apalagi saling mengkafirkan antar satu kelompok terhadap

kelompok lain hanya karena perbedaan pandangan. Ketidaksetujuan terhadap

suatu hal jangan sampai menimbulkan sikap saling menegasi satu pihak terhadap

pihak lainnya. Basioeni Imran memberikan contoh teladan sangat baik bagaimana

bersikap yang bijak terhadap sesuatu yang tidak disetujuinya. Demikian juga

dalam dakwah untuk mengubah sebuah tradisi harus dengan cara yang lembut,

bukan dengan cara saling menyalahkan, mengkafirkan atau menegasikan.

Melakukan perubahan harus tetap menjaga keharmonisan masyarakat dan

menghindari perselisihan dan perpecahan.

Untuk melahirkan tokoh-tokoh yang mampu melakukan perubahan tidak

bisa dengan cara-cara yang biasa. Tokoh ulama pembaru seperti Basioeni Imran

yang telah mengukirkan prestasi di Kerajaan Sambas juga didahului dengan usaha

yang tidak biasa. Ia harus dua kali berangkat mencari ilmu ke jantung Islam di

Timur Tengah. Sebuah usaha yang tidak mudah pada masa negeri ini masih dalam

cengkraman kolonial Belanda. Perjalanan Basioeni Imran menuntut ilmu ke

Mekah tahun 1898 dan ke Kairo tahun 1908 pada masa lalu harus menjadi

pelajaran berharga bagi masyarakat pada masa kini. Masyarakat sekarang juga
469

harus melakukan hal yang luar biasa, khususnya di bidang pendidikan, untuk

melahirkan para pembaru yang dapat membawa perubahan bagi masyarakat.

Saat melakukan penelusuran sumber atau heuristik, peneliti menemukan

realitas betapa masyarakat masih rendah kesadaran sejarahnya. Berbagai sumber

sejarah dalam bentuk tertulis masih sulit ditemukan, karena masyarakat belum

menyadari betapa pentingnya menyimpan dan memelihara benda-benda yang

merekam data sejarah. Salah satu contohnya adalah tidak adanya perhatian dalam

memelihara rumah peninggalan Basioeni Imran yang sekarang dijadikan Museum

Tamadun Islam Nagri Sambas. Karena tidak ada pengelolaan yang memadai,

sebagian kitab-kitab dan benda-benda peninggalan Basioeni Imran hilang dari

tempat penyimpanannya atau semakin rusak dimakan usia. Demikian juga dengan

situs-situs sejarah lainnya di Sambas, masih jauh dari perlakuan yang layak. Oleh

karena itu, sangat diharapkan masyarakat bersama pemerintah memberikan

perlakuan yang seharusnya terhadap benda-benda sumber sejarah serta situs-situs

sejarah yang masih ada.

Penelitian yang telah dilakukan dalam disertasi ini masih meninggalkan

beberapa masalah yang membutuhkan penelitian lanjutan antara lain sebagai

berikut. Pertama, dalam konteks lokal Kerajaan Sambas, eksistensi jabatan

Maharaja Imam dan struktur birokrasinya yang sampai ke tingkat desa atau

kampung perlu diteliti lebih lanjut. Birokrasi keagamaan ini sangat penting

sebagai penjaga moralitas dan keberagamaan masyarakat Kerajaan Sambas,

hingga masyarakat menyebut Sambas sebagai serambi Mekah. Penelitian ini

semakin penting karena lembaga pendidikan seperti pondok pesantren dengan


470

para kyai-nya dan sejenisnya tidak ada di Kerajaan Sambas. Kedua, sejarah

persebaran dan peran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Sambas.

Meskipun mursyid TQN Syaikh Ahmad Khatib Sambas berasal dari Sambas, tapi

hingga hari ini masyarakat Sambas masih asing dengan TQN dan sosok Khatib

Sambas. Ketiga, dalam konteks yang lebih luas, di Kalimantan Barat terdapat

belasan kerajaan Islam yang sebagian besar memiliki lembaga keagamaan seperti

Maharaja Imam. Peran para pejabat keagamaan di berbagai kerajaan tersebut perlu

dikaji lebih lanjut untuk melihat bagaimana perannya dalam membina moralitas

dan keberagamaan masyarakat.


471

DAFTAR SUMBER

A. Buku

Abaza, M. (1998). Southeast Asia and the Middle East: Al-Manar and Islamic
Modernity. Dalam C. Guillot (Ed.), From the Mediterranian to the China
Sea: miscellaneous notes (hal. 93-111). Wiesbaden: Harrassowitz.

Abdillah, Zulkifli. (2010). Kepingan-kepingan Sejarah Umat Islam. Pontianak:


STAIN Pontianak Press.

Abdullah, T. (1996). Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta:


LP3ES.

Abdurahman, D. (2007). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media.

Abuddin Nata (Ed.) (2001) Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-


lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo.

Achmad, J., Ikram, A. M., & Rivai, M. (1980). Silsilah Raja Sambas. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Adams, C. C. (1933). Islam and Modernism in Egypt. New York: Russell &
Russell.

Ahok, P. (1983). Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Barat. Pontianak:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat.

Ali, M. (1996). Nilai-nilai Islam dalam Budaya Daya. Dalam: Aswab Mahasin,
dkk., (Ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya Nusantara,
Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.

Ali, F., & Effendy, B. (1992). Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.

Ali, M. D. (2004). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukun dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Al-Minangkabawi, S. A. (2016). Dari Minangkabau untuk Dunia Islam:


"Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi" (1860-1916 M).
(M. Husni, Z. M. Mudo, & A. Fadli, Penerj.) Yogyakarta: Gre Publishing.

471
472

Amin, H. A. (2000). Al-Mi'ah al-A'zham fi Tarikh al-Islam (Seratus Tokoh dalam


Sejarah Islam). (C. Cuanda, Penerj.) Bandung: Remaja Rosdakarya.

Andress, G. (2002). Islam an historical introduction (2nd ed.). (C. Hillenbrand,


Penerj.) Edinburgh: Edinburgh University Press.

Anrooij, F. v. (2014). De koloniale staat (Negara Kolonial) 1854-1942 (Revisi


ed.). (N. W. Santoso, & S. Moeimam, Penerj.) Leiden: Nationaal Archief.

Anwar, R., & Malik, A. B. (Ed.). (2003). Ulama dalam Penyebaran Pendidikan
dan Khazanah Keagamaan. Jakarta: Balitbang Diklat Depag RI.

Apeldoorn, L. J. (2001). Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de studie van het
Nederlandse recht). (O. Sadino, Penerj.) Jakarta: Pradnya Paramita.

Ardhi, G. M. (2001). Muhammad Basioeni Imran 1883-1976 Maharaja Imam


Kerajaan Sambas Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan dan Politik
Kenegaraan. Kertas Kerja yang disampaikan dalam pertemuan sastrawan
nusantara XI-Brunei Darussalam, Bandar Sri Begawan.

Arsalan, A.-A. S. (1954). Mengapa Kaum Muslimin Mundur. (M. Chalil, Penerj.)
Jakarta: Bulan Bintang.

ash-Shadr, M. B., & Mutahhari, M. (1993). Pengantar Ushul Fiqh & Ushul Fiqh
Perbandingan. (S. Pinandito, & A. Muhammad, Penerj.) Jakarta: Pustaka
Hidayah.

Aslan, R. (2009). Modern Renewal and Reform Movements. Dalam J. E. Campo


(Ed.), Encyclopedia of Islam (hal. 586-592). New York: Facts on File.

asy-Syarqawi, A. (2000). Riwayat Sembilan Imam Fiqih. (H. a.-H. al-Husaini,


Penerj.) Bandung: Pustaka Hidayah.

Atjeh, A. (1966). Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia. Dalam L.


Stoddard, Dunia Baru Islam (The New World of Islam) (Tudjimah,
IsmailJacub, & S. Gazalba, Penerj., hal. 295-332). Jakarta.

-------. (1970). Salaf Muhji Atsaris Salaf Gerakan Slafijah di Indonesia. Jakarta:
Permata.

Azra, A. (1999). Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

-------. (2000). Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana & Kekuasaan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
473

-------. (2002). Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan.

Badran. (tt). Mengenal: H.M. Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas. Makalah
koleksi pribadi, Sambas.

Barakat, H. (2012). Dunia Arab: Masyarakat, Budaya dan Negara. (I. M, &
Zakkie, Penerj.) Bandung: Nusa Media.

Benda, H. J. (1985). Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Berg, L. W. (1989). Hadralmaut dan Koloni Arab di Nusantara. (R. Hidayat,


Penerj.) Jakarta: INIS.

Boland, B. J. (1971). The Struggle of Islam in Modern Islam. Leiden: Springer-


Science+Business Media.

Bosworth, C., Donzel, E. v., Heirichs, W., & Lecomte, G. (Ed.). (1995). The
Encyclopaedia of Islam (New Edition ed., Vol. VIII). Leiden: E. J. Brill.

Bruinessen, M. v. (1994). NU: Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.


Yogyakarta: LKiS.

-------. (2012). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Edisi Revisi ed.).
Yogyakarta: Gading Publishing.

Burhanuddin, J. (2012). Ulama & Kekuasaan Pergumulan Elit Muslim dalam


Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika.

Campo, J. E. (2009). Encyclopedia of Islam. New York: Facts On File, Inc.

Chalim, A. S. (2012). Membumikan Aswaja Pegangan Para Guru NU. Surabaya:


Khalista.

Coomans, M. (1987). Manusia Daya; Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Jakarta:


Gramedia.

Daliman, A. (2012). Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia (Edisi Revisi ed.). Jakarta: LP3ES.

Dirdjosanjoto, P. (1999). Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di


Jawa. Yogyakarta: LKiS.

Effendy, M. (1995). Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas.


474

Jakarta: Dian Kemilau.

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (Vol. II). (1917). Leiden: E. J. Brill.

Esposito, J. L. (Ed.). (2002). EnsiklopediOxford Dunia Islam Modern (Vol. 6). (E.
Y.N, Penerj.) Bandung: Mizan.

Fahmi, U. R. (2004). Kajian Silsilah Keturunan Raja-raja Sambas. Sambas:


Istana Alwatzikoebillah .

-------. (2008). Selayang Pandang Kerajaan Islam Sambas. Sambas: Istana


Alwatzikhoebillah.

Fajar, M. (1999). Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia.

Fealy, G. (1997). Wahab Chasbullah, Tradisionalisme dan Perkembangan Politik


NU. Dalam G. Fealy, & G. Barton (Ed.), Tradisionalisme Radikal
Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (hal. 1-34). Yogyakarta: LKiS.

Federspiel, H. M. (2001). Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State:


The Persatuan Islam (PESIS) 1923 to 1957. Leiden: Brill.

-------. (2007). Sultans, Shamans & Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia.
Honolulu: University of Hawai'i Press.

Furchan, A., & Maimun, A. (2005). Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai
Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Furnivall, J. S. (1948). Colonial Policy and Practice. Cambridge: Cambridge at


the University Press.

Gesink, I. F. (2010). Islamic Refomr and Conservatism: Al-Azhar and the


Evolution of Modern Sunni Islam. London: Tauris Academic Studies.

Gibb, H. A. (1947). Modern Trends in Islam. Chicago: The University of Chicago


Press.

-------. (1996). Aliran-aliran Modern dalam Islam. (M. Husein, Penerj.) Jakarta:
RajaGrafindo Persada.

Gottschalk, L. (Mengerti Sejarah). 2008. (N. Notosusanto, Penerj.) Jakarta: UI


Press.

Hanafi, A. (1987). Pengantar Theology Islam (ke-4 ed.). Jakarta: Pustaka Al-
Husna.
475

-------. (1990). Theology Islam (Ilmu Kalam) (ke-8 ed.). Jakarta: Bulan Bintang.

Hasan, A. (1984). Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. (A. Garnadi, Penerj.) Bandung:
Pustaka.

Hefner, R. W. (2011). Introduction: Muslims and modernity: culture and society in


an age of contest and plurality. Dalam R. W. Hefner (Ed.), The New
Cambridge History of Islam (Vol. 6, hal. 1- 35). Cambridge: Cambridge
University Press.

Heidhues, M. S. (2008). Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di "Distrik


Tionghoa" Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil.

Herlina, N. (2008). Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika.

Hernawan, W. (2014). Seabad Persatuan Ummat Islam (1911-2011). Bandung:


YMSI Cabang Jawa Barat dan PUI Jawa Barat.

Hisyam, M. (2001). Cauht Between Three Fires: The Javanese Pangulu under the
Dutch Colonial Administration 1882-1942. Jakarta: INIS.

Hitti, P. K. (2002). History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Horikoshi, H. (1976). Kyai dan Perubahan Sosial. (U. Basalim, & A. M.


Sunrawa, Penerj.) Jakarta: P3M.

Hourani, A. (2004). Pemikiran Liberal di Dunia Arab. (Suparno, D. Setiawan, &


I. Hilmi, Penerj.) Bandung: Mizan.

Hsubky, B. (1995). Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman. Jakarta: Gema


Insani Press.

Huda, N. (2007). Islam Nusantara. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Hurgronje, C. S. (1915). Nederland en de Islam. Leiden: E. J. Brill.

-------, C. S. (1931). Mekka in The Latter Part of The 19th Century: Daily Life,
customs adn learning the moslims of the East Indian Archipelago. (J. H.
Monahan, Penerj.) Leyden: Late E. J. Brill Ltd.

Ibrahim, Sutini. (1996). Senganan: Akulturasi Islam dengan Budaya Dayak, dalam
Aswab Mahasin, dkk., (ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Aneka
Budaya Nusantara, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.

Imran, M. B. (1916). Tarjamah Durus al-Tarikh al-Syari'ah.


476

-------. (1918-a). Bidayah al-Tauhid fi 'Ilm al-Tauhid. Singapura: Mathba'ah al-


Ahmadiyah.

-------. (1918-b). Catatan Harian. Sambas.

-------. (1920). Cahaya Suluh pada Mendirikan Jumat Kurang Dari Pada Empat
Puluh. Singapura: Mathba'ah al-Ikhwan.

-------. (1926). Zak-Almanak 1926. Sambas.

-------. (1931). Tazkir Sabil al-Najah fi Tarik al-Shalat. Sangapura: Mathba'ah al-
Ahmadiyah.

-------. (1932-a). Khulashah al-Sirah al-Muhammadiyah, Hakikat Seruan Islam.


Singapura: al-Mathba'ah al-Ahmadiyah.

-------. (1932-b). Terjemah Choelashah Sirah Moehammadiah dan Muqaddimah


Zikra Maulid Nabawi. Sambas.

-------. (1933-a). Al-Ibanatoe wal inshafoe fil masaailiddiniah wa izalati


attafarruqi fiha wal ichtilaaf. Sambas.

-------. (1933-b). Terjemah al-Imam al-Syafi'i. Sambas.

-------. (1933-c). Pelayaran ke Tanah Jawa. Sambas.

-------. (1934). Irsyad al-Ghilman Ila Adab Tilawat al-Quran. Singapura:


Mathba'ah al-Ahmadiyah.

-------. (1936). Tafsir Ayat al-Shiyam. Sambas.

-------. Bahas perkara berbilang istri atau berkawin lebih dari satu. Sambas.

-------. (1937). Bahas Perkara Berbilang Istri atau Berkawin Lebih dari Satu.
Sambas.

-------. (1938-a). Husn al-Jawab 'an Itsbat al-Ahillat bi al-Hisab (Molek Jawaban
Pada Menstabitkan Awal Bulan dengan Kiraan). Penang: Maktabah al-
Zainiyah.

-------. (1938-b). Membelanjakan Uang pada Jalan Allah Ialah Jalan Kemajuan.
Sambas.

-------. (1938-c). Nur al-Siraj fi Qishshat al-Isra wa al-Mi'raj. Singapura:


Mathba'ah Al-Ahmadiyah.
477

-------. (1939). Salinan Surat Menyurat.

-------. (1943). Kitab al-Janaiz. Tasikmalaya: Galunggung.

-------. (1944). Aturan (Undang-undang) Baitul Mal di Kerajaan Sambas.


Sambas.

-------. (1950). Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni
Imran. Naskah Ketikan, Sambas.

-------. (tt). Al-Madrasah al-Sulthaniyah al-Islamiyah. Sambas.

-------. (tt). Risalah Sembahyang Bacaan dan Artinya. Sambas.

-------. (tt). Tafsir Tujuh Surah Pendek. Sambas.

Isma'il, I. Q. (1997). Kiai Penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial. Jakarta:


Gema Insani Press.

Ismail, M. G. (1985). Politik Perdagangan Melayu di Kesultanan Sambas


Kalimantan Barat: Masa Akhir Kesultanan (1808-1818). Jakarta:
Universitas Indonesia.

Ismail, N. (2003). Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran.


Yogyakarta: LKiS.

Lontaan, J.U. (1975). Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat,
Pontianak: Pemda Tk. I Kalbar.

London: The Sambas Ecploration Company. (1890). Gold in Borneo. London:


Cornhill.

Kahin, G. M. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. New York:


Cornell University Press.

Kamal, Z. (1995). Kekuatan dan Kelemahan Paham Asy`ari Sebagai Doktrin


Akidah. Dalam B. Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah (hal. 131-146). Jakarta: Paramadina.

Kartodirdjo, S. (Ed.). (1981). Elit dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Yayasan


Obor.

-------. (1982). Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu


Alternatif. Jakarta: Gramedia.

-------. (1984). Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta : Pustaka Jaya.


478

-------. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:


Gramedia.

-------. (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional


Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Vol. 2). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Kartodirdjo, S., Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (Ed.). (1976). Sejarah


Nasional Indonesia (ke-2 ed., Vol. II). Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

-------. (1976). Sejarah Nasional Indonesia (Ke-2 ed., Vol. V). Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Khallaf, A. W. (2000). Perkembangan Sejarah Hukum Islam. (A. Aminudin,


Penerj.) Bandung: Pustaka Setia.

Klerck, E. S. (1905). De Java-Oorlog van 1825-30. Batavia: Landdrukkerij's


Hage M. Nijhoff.

Kuntowijoyo. (2001). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang


Budaya.

-------. (2003). Metodologi Sejarah (ke-2 ed.). Yogyakarta: Tiara Wacana.

-------. (2008). Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogayakrta: Tiara


Wacana.

Kurniawan, S., & Mahrus, E. (2011). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Laffan, M. F. (2003). Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma


below the winds. London: Routledge Curzon.

Lapidus, I. M. (2002). A History of Islamic Societies (2nd ed.). Cabridge:


Cambridge University Press.

Latif, Y. (2005). Intelegensia Muslim dan Kuasa Geneologi Intelegensia Muslim


Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan.

Lev, D. S. (1980). Peradilan Agama Islam di Indonesia. Jakarta: Intermasa.

Lewis, B. (1994). Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah (The Arabs in History).
(S. Jamhuri, Penerj.) Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
479

Lewis, B., Pellat, C., & Schacht, J. (Ed.). (1991). The Encyclopaedia of Islam
(Vol. II). Leiden: E. J. Brill.

Lubis, N. H. (2008). Historiografi Barat. Bandung: Satya Historika.

Lubis, N. H., Djubiantono, T., Wildan, D., Dyanti, E. S., Dienaputra, R., Sofianto,
K., et al. (2013). Sejarah Provinsi Jawa Barat (Vol. 2). Bandung: Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.

Madjid, N. (1992). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta:
Paramadina.

Mahrus, E. (2007). Falsafah dan Gerakan Pendidikan Islam Maharaja Imam


Sambas Muhammad Basiuni Imran 1885-1976. Pontianak: STAIN
Pontianak Press.

Mahrus, E., Jamani, R., & Hadi, E. K. (2003). Shaykh Ahmad Khatib Sambas
(1803-1875) Sufi & Ulama Besar Dikenal Dunia. Pontianak: Untan Press.

Maksum. (1999). Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos


Wacana Ilmu.

Martin, R. C. (Ed.). (2004). Encyclopedia of Islam and the Muslim World (Vol. I).
New York: McMillan Reference USA.

Muchsin, M. A. (2002). Filsafat Sejarah dalam Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press.

Muhaimin. (2000). Pembaharuan Islam: Refleksi Pemikiran Rasyid Rida dan


Tokoh-tokoh Muhammadiyah. Cirebon: Pustaka Dinamika.

Mulia, S. M. (2004). Musliman Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan.


Bandung: Mizan.

Muljono, S. (1965). Menudju Puntjak Kemegahan (Sedjarah Keradjaan


Madjapahit). Jakarta: P.N. Balai Pustaka.

Musa, P. H. (2003). Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat: Kajian


Naskah Asal Raja-raja dan Salsilah Raja Sambas. Pontianak: STAIN
Pontianak Press.

Mustamar, M. (2016). Dalil-dalil Praktis Amaliah Nahdliyah. Surabaya: Muara


Progresif.

Muzadi, A. M. (1994). NU dan Fiqih Kontekstual. Yogyakarta: LKPSM NU DIY.


480

Nasution, A. B. (1992). The Aspiration for Constitutional Government in


Indonesia: a Social Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-
1959. Jakarta: Sinar Harapan.

Nasution, H. (1992). Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.

-------. (2002). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press.

-------. (2011). Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (14nd
ed.). Jakarta: Bulan Bintang.

-------. (2013). Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (ke-5


ed.). Jakarta: UI Press.

Noer, D. (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Pustaka


LP3ES Indonesia.

Nurcahyani, L., Purba, J., Umberan, M., & Zuhdi, S. (1995). Sejarah Kerajaan
Sambas. Pontianak: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Nurcahyani, Lisyawati. (1999-2000). Pendataan Sejarah Kerajaan Tanjungpura-


Matan di Kabupaten Ketapang, Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Pontianak,.

Padmo, S. (2007). Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia dari Masa ke Masa.


Jurnal Humaniora, 19(2), 151-160.

Parlindungan, M. O. (2007). Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao.


Yogyakarta: LKiS.

Pasti, F. Alkap. (2003). Dayak Islam di Kalimantan Barat. Dalam: Budi Susanto,
Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius. Hal.
113-116.

Pemerintah Daerah Tk . I Kalimantan Barat. (1989). Naskah Sejarah Perjuangan


Rakyat Kalimantan Barat 1908-1950. Pontianak: Pemerintah Daerah Tk. I
Kalimantan Barat.

Permono, S. H. (2000). Aswaja: Aqidah dan Syari`ah. Dalam I. Baehaqi (Ed.),


Kontroversi Aswaja Aula Perdebatan dan Reinterpretasi (hal. 45-58).
Yogyakarta: LKiS.

Pijper, G. F. (1985). Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-


1950. Jakarta: UI-Press.
481

Puspoyo, W. (2012). Dari Soekarno Hingga Yudhoyono: Pemilu Indonesia 1955-


2009. Solo: Era Adicitra Intermedia.

Quthan, M. (1995). Pembahasan Ilmu Al-Quran (Vol. 2). (Halimuddin, Penerj.)


Jakarta: Rineka Cipta.

Raffles, T. S. (1817). The History of Java. London: John Murray, Albemarle-


Street.

Rachman, Ansar, dkk. 1970. Tandjungpura Berdjuang Sedjarah Kodam


XII/Tandjungpura Kalimantan-Barat. Tt: Semdam XII/Tandjungpura.

Rahman, A., Ahmad, Y., Anom, R. F., Muhadi, & Fahadi. (2001). Kabupaten
Sambas Sejarah Kesultanan dan Pemerintahan Daerah. Sambas: Dinas
Pariwisata Pemda Kabupaten Sambas.

Rahman, F. (1985). Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Tengah Tantangan


Dewasa Ini. Dalam H. Nasution, & A. Azra (Ed.), Perkembangan Modern
dalam Islam (hal. 19-44). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

-------. (1992). Islam. (S. Saleh, Penerj.) Jakarta: Bumi Aksara.

Rahmatullah, M. (2003). Pemikiran Fikih Maharaja Imam Kerajaan Sambas


Muhammad Basiuni Imran (1885-1976). Pontianak: Bulan Sabit Press.

Rahmayani, A., & Mirawati, I. (2015). Aktivitas Perdagangan di Pelabuhan


Sambas 1883-1930. Yogyakarta: Kepel Press.

Ratih, Y. (2009). Kesultanan Sambas. Dalam M. Hidayat, R. P. Harimurti,


Hasrani, A. R. Faturrahman, T. Wibowo, K. Rahmadhani, et al. (Ed.),
Istana-istana di Kalimantan Barat (hal. 62-74). Pontianak: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.

Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia since c. 1200 (3rd ed.).


Hampshire: Palgrave.

Ridha, M. R. (1901). Al-Madrasah al-Kuliyah al-Amrikaniyah fii Beirut. Al-


Manar, Volume IV Nomor 15.

-------. (1911-a). Al-Khutbah al-Raisiyah. Al-Manar, Volume XV Nomor 5.

-------. (1911-b). At-Tarbiyah. Al-Manar, Volume XV Nomor 8.

-------. (1932). Khulashah al-Shirat al-Muhammadiyah. (M. R. Ridha, Penerj.)


Singapura: Al-Mathba'ah Al-Ahmadiyah.
482

-------. (1996). Panggilan Islam Terhadap Wanita. Bandung: Pustaka.

Risa. (2016). Perkembangan Islam di Kesultanan Sambas. Yogyakarta: Ombak.

Riyadhi, B. (2011). Guru Haji Ismail Mundu: Ulama Legendaris dari Kerajaan
Kubu. Pontianak: Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten
Kubu Raya.

Rosyada, D. (1996). Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: RajaGrafindo


Persada.

Rusli, R. (2013). Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam. Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

Rusyd, A.-F. A. (2002). Bidayatul Mujtahid wa Nihayatl Muqtashid (Vol. I). (I. G.
Said, & A. Zaidun, Penerj.) Jakarta: Pustaka Amani.

Sabirin, M. (2010). Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Sambas. Sambas.

Salim, M. H., Hermansyah, Yapandi, Erwin, Hendry, E., Zulkifli, et al. (2011).
Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. Jakarta: Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan Balitbangdiklat Kementerian Agama RI.

Sani, A. (1998). Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam


Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sayadi, W. (2011). Metodologi Tafsir Alquran. Pontianak: STAIN Pontianak


Press.

Setiyono, B. (2012). Birokrasi dalam Perspektif Politik & Administrasi. Edisi


Ketiga. Bandung: Nuansa.

Shihab, M. Q. (1992). Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.

Singarimbun, M. (1996). Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Singhi, N. K. (1974). Bureaucracy: Position and Persons (Role Strctures,


Interactions adn Value-Orientastions of Bureaucrats in Rajasthan. New
Delhi: Abhinav Publications.

Siradj, S. A. (2008). Ahlussunnah wal Jamaah Sebuah Kritik Historis. Jakarta:


Pustaka Cendekiamuda.

Sirry, M. A. (1995). Sejarah Fiqih Islam Suatu Pengantar. Surabaya: Risalah


Gusti.
483

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sopyan, U. E., Hermanto, & Fahmi, U. R. (2007). Mengenal Situs Sejarah


Kerajaan Sambas Islam. Sambas: Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas.

Sopyan, Y. (2010). Tarikh Tasyri` Sejarah Pemebentukan Hukum Islam. Depok:


Gramata Publishing.

Steenbrink, K. A. (1984). Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-


19. Jakarta: Bulan Bintang.

-------. (1986). Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun


Moderen. Jakarta: LP3ES.

-------. (1988). Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia. Yogyakarta: Sunan


Kalijaga Press.

-------. (1995). Kawan dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda dan Islam di
Indonesia (1596-1942). Bandung: Mizan.

Stoddard, L. (1922). The New World of Islam. London: Chapman and Hall, Ltd.

Sujuthi, M. (2001). Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang.


Yogyakarta: Galang Press.

Suminto, H. A. (1985). Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.

Supriyadi, dkk. 1999. Inventaris Arsip Kalimantan Barat. Jakarta: Arsip Nasional
Republik Indonesia.

Sweeney, P. L. (1968). Silsilah Raja-raja Berunai. Journal of the Malaysian


Branch fo the Royal Asiatic Society, 41(2 (214)), 1-82.

Syahzaman; Hasanuddin. (2003). Sintang dalam Lintasan Sejarah, Pontianak:


Romeo Grafika,.

Thaba, A. A. (1996). Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema
Insani Press.

Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. (2016). Khazanah Aswaja:


Memahami, Mengamalkan dan Mendakwahkan Ahlussunnah wal
Jama`ah. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1990).


Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
484

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.

Turmudi, E. (2003). Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: ELKiS.

Umar, N., & Lubis, A. (2002). Hawa Sebagai Simbol Ketergantungan: Relasi
Gender dalam Kitab Tafsir. Dalam A. Munhanif (Ed.), Mutiara
Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (hal. 1-43). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Usman, S. (2011). Sambas Merajut Kisah Menenun Sejarah. Pontianak.

Usman, S, dkk. (1996). Setetes Embun Penyejuk Jagat, Biografi H. Ahmad


Mawardi Dja’far, Pontianak: Universitas Tanjungpura.

Usman, S. (2000). Landak di Balik Nukilan Sejarah, Pontianak: Romeo Grafika,.

Vickers, A. (2005). A History of Modern Indonesia . (A. Maftuhin, Penerj.)


Cambridge: Cambridge University Press.

Vlekke, B. H. (2010). Nusantara Sejarah Indonesia. (S. Berlian, Penerj.) Jakarta:


Kepustakaan Populer Gramedia.

Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. (A. M.


Henderson, & T. Parsons, Penerj.) Illinois: The Free Press & The Falcon's
Wing Press.

Yunus, M. (1979). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara.

Zaini, M. (1991). Kesah Nagri Sambas 1568-1944. Singkawang.

Zayd, N. A. (2006). Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical


Analysis. Amsterdam: Amsterdam University Press.

B. Disertasi, Tesis, Jurnal Ilmiah dan Laporan Penelitian

Abushouk, A. I. (2007). Al-Manar and the Hadhrami Elite in the Malay-


Indonesian World: Challenge and Response. The Royal Siatic Society,
17(3), 301-322.

Bluhm, J. E. (1983). A preliminary Statement on the dialogue established between


the reform magazine al-Manar and the Malayo-Indonesian world.
Indonesia Circle, 32, 35-42.

Bruinessen, M. v. (1998). Biographies of Southeast Asia Ulama. Dalam M.


485

Gaborieau, P. L. Nivole Grandin, & A. Popovic (Ed.), Dictionnaire


biographique des savants es grandes figures du monde musulman
peripherique, du XIXe siecle a nos jours (hal. 26-28). Paris: CNRS-
EHESS.

Burhanuddin, J. (2005). Aspiring for Islamic Reform: Southeast Asian Requests


for Fatwa in al-Manar. Islamic Law and Society, 12 (1), 9-26.

Erwin. (2002). Gagasan Pendidikan Islam Maharaja Imam Kesultanan Sambas,


Kalimantan Barat Muhammad Basiuni Imran (1885-1976). Tesis.
Semarang: Porgram Pascasarjana IAIN Walisongo.

Fauzia, A. (2003). Antara Hitam dan Putih: Pengulu pada Masa Kolonial Belanda.
Studia Islamika, 10(2), 175-198.

Geertz, C. (1960). The Javanese Kijaji: The Changing Roles of a Cultural Broker.
Comparative Studies in Society and History., 2. 228-249.

Ismail, A. M. (1993). Prihidup Muhammad Basiuni Imran Maharaja Imam


Sambas. Laporan Penelitian. Pontianak: FISIP Universitas Tanjungpura.

Musa, P. (1999). Muhammad Basiuni Imran (1883-1976): Rekonstruksi Pemikiran


Maharaja Imam Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. Disertasi. Jakarta:
IAIN Syarif Hidayatullah.

Negara, S. E. K. Paku. (1940). Sedjarah Keradjaan Melajoe di-Borneo-Barat


Dalam: Surat Kabar Borneo Barat. Nomor 148 Tahun ke-5. 24 Desember
1940. Pontianak.

Siregar, H. (2013). Dynamics of Local Islam: Fatwa of Muhammad Basiuni


Imran, the Grand Imam of Sambas, on the Friday Prayer Attended by
Fewer than Forty People. Al-Albab-Borneo Journal of Religious Studies
(BJRS). 2 (2). 187-201.

Sjamsuddin, Helius. 2008. Kerajaan Islam Sintang. Jurnal Historia, Vol. IX, No.
2.

Vandenbosch, A. (1943). The Netherlands Indies. The Annals of the American


Academy of Political and Social Sciense, 226(1), 86-96.

Wolf, E. (1956, December 6). Aspects of Group Relations in a Complex Society.


American Anthropologist, 88(6), 1065-1078.

Yusriadi, Dayak-Melayu di Kalimantan Barat, makalah dalam seminar “Profil


Etnis di Kalimantan Barat” di STAIN Pontianak, 16 April 2005.
486

Zulkifli. 2009. Sejarah Perkembangan Bawari (Badan Wakaf al-Raulatul


Islamiyah) (1936-2009). Laporan Penelitian. Pontianak: STAIN Pontianak.

C. Arsip dan Sumber Resmi Tercetak

Asisten Residentie II Sambas Kalimantan. 1861 Koleksi Cohen Stuart. No. 84


CS– 2/42. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Inie Peratoran Keradjaan Sambas dengan Tjerieta Jang Pendiek. 1845. Koleksi
Arsip Borneo West Nomor 226. Jakarta: Arsip Nasional RI.

Laporan Umum Mengenai Residensi Sambas 1824-1850. Arsip Borneo West


Nomor 3. Jakarta: Arsip Nasional RI.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:


PER/62/M.PAN/6/2006 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka
Kreditnya.

Regeering Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1900. Tweede Gedeelte: Kalender


en Personalia. Batavia: Landsdrukkerij.

Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie. 1901. Vol. Eerste Gedeelte.


Batavia: Landsdrukkerij.

Regeering Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1906. Eerste Gedeelte:


Grondgebied en Bevolking, Enrichting van het Bestuur van Nederlandsch-
Indie en Bijlagen. Batavia: Landsdrukkerij.

Regeering Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1911. Eerste Gedeelte:


Grondgebied en Bevolking, Enrichting van het Bestuur van Nederlandsch-
Indie en Bijlagen. Batavia: Landsdrukkerij.

Regeering Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1913. Eerste Gedeelte:


Grondgebied en Bevolking, Enrichting van het Bestuur van Nederlandsch-
Indie en Bijlagen. Batavia: Landsdrukkerij.

Regeering Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1913-1942. Eerste Gedeelte:


Grondgebied en Bevolking, Enrichting van het Bestuur van Nederlandsch-
Indie en Bijlagen. Batavia: Landsdrukkerij.

Surat Awang Brunei Kepada Basioeni Imran 6 September 1951. Sambas: Museum
Tamadun Islam Nagri Sambas.

Surat Awang Brunei Kepada Basioeni Imran 4 Oktober 1951. Sambas: Museum
Tamadun Islam Nagri Sambas.
487

Surat Basioeni Imran kepada Awang Brunei 18 Oktober 1951. Sambas: Museum
Tamadun Islam Nagri Sambas.

Surat Wakaf Raden Muhammad Yusuf Perbukusuma dan Mas Hasan bin Mas
Tatut, 30 Jumadil Akhir 1347 H. / 13 Desember 1928. Sambas: Yayasan
Pendidikan Tarbiatoel Islam.

Staatblad van Nederlandsch-Indie. 1882 (2) . No. 152. Jakarta: Arsip Nasional RI.

Staatblad van Nederlandsch-Indie. 1904. No. 380. Jakarta: Arsip Nasional RI.

Staatblad van Nederlandsch-Indie. 1907. No. 406. Jakarta: Arsip Nasional RI.

Staatblad van Nederlandsch-Indie. 1911 No. 467 dan 480. Jakarta: Arsip Nasional
RI.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1931 No. 31. Jakarta: Arsip Nasional RI.

D. Terbitan Berkala

Al-Manar. Maret 1898. Volume 1 Nomor 1. Hal. 1. Kairo.

Al-Manar. 18 Juni 1928. Volume 29 Nomor 4. Hal. 268-271. Kairo.

Al-Manar. 10 Februari 1928. Volume 29 Nomor 9. Hal. 659-664. Kairo.

Al-Manar. 29 April 1929. Volume 30 Nomor 9. Hal 718-720. Kairo.

Al-Manar. 20 Desember 1930. Volume 31 Nomor 5. Hal. 347-3479; 353-354


Kairo.

Al-Manar. 18 Februari 1931. Volume 31 Nomor 7. Hal. 518-519. Kairo.

Al-Manar. Oktober 1932. Volume 32 Nomor 9. Hal. 671-672. Kairo.

Al-Manar. 7 Desemerb 1934. Volume 34 Nomor 6. Hal. 447. Kairo.

Borneo Barat Bergerak., 1 Februari 1920. Nomor 9 Tahoen 1. Hal 4. Pontianak.

Borneo Barat, 20 Januari 1940. Nomor … Tahun ke-5. hal. 2.

Borneo Barat, 10 Agustus 1940. Nomor 92 Tahun ke-5. hal. 2.


488

Borneo Barat, 27 Agustus 1940. Nomor 99 Tahun ke-5. hal. 2.

Borneo Barat, 3 Desember 1940. Nomor 139 Tahun ke-5. Hal. 2-3.

Borneo Barat. 22 April 1941. Nomor 46 Tahun ke-6. hal. 2.

Oetoesan Borneo. 25 Februari 1928. Nomor 16 Tahun ke-1. Hal. 4. Pontianak

Oetoesan Borneo. 10 Maret 1928. Nomor 20 Tahun ke-1. Hal. 3. Pontianak.

Oetoesan Borneo. 18 April 1928. Nomor 30 Tahoenke-1. Hal. 2. Pontianak.

Oetoesan Borneo. 11 April 1928. Nomor 28 Tahoen ke-1. Hal. 2. Pontianak.

Oetoesan Borneo. 29 Agustus 1928. Nomor 27 Tahun ke-1. Hal. 2. Pontianak.

Oetoesan Borneo. 13 Oktober 1928. Nomor 79 Tahun ke-1. Hal. 2. Pontianak.

Sinar Borneo. 10 Mei 1926. Proefnummer (No. 1) Tahoen ke-1. Hal. 2.


Pontianak.

E. Internet

Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. 2006-a. Basiyuni Imran Maharaja Imam Sambas
dalam http://ulama-nusantara.blogspot.com Diakses tanggal 25
Sepetember 2013, pukul 13.42 WIB.

-------. 2006-b. Haji Ismail Mundu Mufti Kerajaan Kubu. Dalam http://ulama-
nusantara-baru.blogspot.com/2006/11/haji-ismail-mundu-mufti-kerajaan-
kubu.html, Diakses 12 Desember, pukul 10. 20 WIB.

-------. 2006-c. Ismail al-Kalantani Mufti Kerajaan Pontianak. Dalam


http://www.geocities.com/ludorb/index89.html. Diakses 12 Desember
2007, pukul 10.42 WIB.

-------. 2006-d. Muhammad Yasin Ulama Kedah Berhijrah. Dalam: http://ulama-


nusantara.blogspot.com/2006/11/muhammad-yasin-ulama-kedah-
berhijrah.html. Diakses 12 Desember 2007 Pukul 11.01 WIB.

-------. 2006-e. Abdul Rahman Al-Kalantani: Mufti Terakhir Kerajaan


Mempawah. Dalam: http://dangau-desa.blogspot.com/2007/11/warisan-
ulama-ulama-nusantara.html, Diakses tanggal 12 Desember 2007 Pukul
10.33 WIB.

-------. 2006-f. Gusti Jamiril Tokoh Ulama, Raja dan Pejuang. dalam http://ulama-
489

nusantara-baru.blogspot.com/2006/11/gusti-jamiril-tokoh-ulama-raja-
dan.html. Diakses 12 Desember 2007, pukul 10.13 WIB.

-------. 2007. Syeikh Ali Faqih al-Fathani Mufti Kerajaan Mempawah. Dalam:
http://www.utusan.com.my/utusan/content.asp?y=2007&dt=0910&pub=Ut
usan_Malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm. Diakses: 10 Mei
2017, pukul 22.22 WIB.

-------. 2013. Muhammaad Basioeni Imran dalam http://mabmonline.org. Diakses


tanggal 10 September 2013, pukul 10.25 WIB.

Ahmadi, A. R. al-. 2007. Penyebaran Islam oleh Para Ulama Kelanta-Patani di


Kalimantan. Dalam:
http://faizn.blogs.friendster.com/far_easts_lair/2007/09/penyebaran_isla.ht
ml. Diakses: 12 Desember 2007 pukul 12.30 WIB.

https://archive.org. (search engine).

www.muslimphilosophy.com. Conversion of Hijri A.H. (Islamic) and A.D.


Christian (Gregorian) dates.

F. Wawancara

Azan. 70 tahun. Masyarakat Kampung Dagang Timur. Tanggal 9 Agustus 2016.

Imran, Badran Basioeni. 72 tahun. Anak Haji Moehammad Basioeni Imran.


Tanggal 3 Mei 2010 dan 9 Agustus 2016.

Munziri. 70 tahun. Mantan Guru dan Ketua Yayasan Tarbiatoel Islam. Tanggal 9
Agustus 2016.

Rasyidi. 76 tahun. Tokoh Agama / Mantan Imam Masjid Jami Sultan Moehammad
Tsafieoddin Sambas. Tanggal 9 Agustus 2016.

Anda mungkin juga menyukai