0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
247 tayangan24 halaman
Dokumen tersebut merangkum sejarah desa Tawangsari, termasuk asal usul nama desa, pendiri desa Kangjeng Kiai Abu Manshur, statusnya sebagai tanah perdikan, dan tradisi-tradisi yang dilestarikan dari Kesultanan Mataram.
Dokumen tersebut merangkum sejarah desa Tawangsari, termasuk asal usul nama desa, pendiri desa Kangjeng Kiai Abu Manshur, statusnya sebagai tanah perdikan, dan tradisi-tradisi yang dilestarikan dari Kesultanan Mataram.
Dokumen tersebut merangkum sejarah desa Tawangsari, termasuk asal usul nama desa, pendiri desa Kangjeng Kiai Abu Manshur, statusnya sebagai tanah perdikan, dan tradisi-tradisi yang dilestarikan dari Kesultanan Mataram.
tawang dan sari . Kata tawang yang artinya langit dan inti, jadi Tawangsari dapat dimaknai sebagai inti langit. Pemberian nama Tawangsari ini dimaksudkan agar Tawangsari seperti wilayah angkasa yang merupakan wilayah suci karena memang tokoh pendiri desa (Kangjeng Kiai Abu Manshur) ini bermaksud menjadikan Tawangsari sebagai padepokan atau pesantren yaitu tempat pembelajaran spiritual Islam. Sampai saat ini Tawangsari dikenal sebagai daerah santri yang agamis. Menurut pendapat lain, Tawangsari berasal dari kata "Tawang dan Nagasari" yang merupakan nama sejenis tanaman. Sebelum Tawangsari dibuka sebagai tempat tinggal dan masjid Kiai Abu Manshur menemukan sebuah pohon Tawang yang dilingkupi oleh pohon Nagasari. Akhirnya setelah pohon Tawang dan pohon Nagasari dapat ditebang maka jadilah desa yang dinamakan Tawangsari. Pohon tawang yang telah ditebang dibagi menjadi enam potongan untuk dijadikan bedug. Keenam potongan tersebut kemudian dibagi- bagikan kepada beberapa masjid yaitu : Masjid Tawangsari, masjid Winong, masjid Majan, masjid Agung Tulungagung, masjid Jemekan Botoran, dan masjid Sumber Bedug Ngadiluwih. Keistimewaan Tawangsari Sebagai Tanah Perdikan Status perdikan Tawangsari diperkirakan sudah semenjak pemerintahan Mataram Islam tepatnya pada masa Sultan Pakubuwana II. Pada mulanya Tawangsari merupakan wilayah hutan belantara yang diberikan kekuasaanya kepada Kangjeng Kiai Abu Manshur. Namun sebelum kedatangan Kangjeng Kiai sekitar tahun 1700 wilayah tersebut telah menjadi tempat tinggal sepasang suami istri yang bernama Ki Mardali. Pemberian status perdikan atas Tawangsari, dikukuhkan dengan pemberian layang kekancingan. Layang kekancingan pertama di berikan oleh Sultan Pakubuwana II dari Mataram Islam (Kartasura) pada tahun 1747 M. Pemberian status perdikan atas Tawangsari, karena Kangjeng Kyai merupakan saudara dari raja Mataram, yang turut membantu dalam pengembalian tahta Mataram dari kekuasaan pemberontak. Sehingga untuk memperkuat kedudukan beliau diberikanlah piagam kekancingan dari Sultan Mataram atas tanah yang sudah ditempati sebelumnya. Layang kekancingan kedua diberikan oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwana I. Di tanah Perdikan Tawangsari, Kangjeng Kiai Abu Manshur mendapatkan wewenang dari Mangkubumi untuk mengatur daerahnya. Wujud dari pemberian Mangkubumi tersebut berupa layang kekancingan untuk memperkuat status perdikannya pada tahun 1675 Saka / 1750 Masehi. Piagam ini tertanggal dengan candrasangkala Buta Ngerik Mangsa Jalmi, Buta = 5, Ngerik = 7. Mangsa= 6, dan jalmi = 1 sehingga terbentuk angka 1675 Saka atau tahun sekitar tahun 1750 /1753 M. Kata merdika dalam piagam ini disebut dua kali, Perdikan Tawangsari tidak pernah diharuskan membayar pajak (bulu bekti) kepada pihak keraton, seperti tanah tanah perdikan yang lain. Tawangsari juga dibebaskan dari peraturan untuk melaksanakan tanam paksa pemerintah Hindia Belanda.
Luas Wilayah Perdikan Tawangsari
Pada mulanya sebagai daerah perdikan luas wilayah Tawangsari hampir meliputi seluruh kota Tulungagung. Pada tahun 1905 Tawangsari dterpecah menjadi 3 desa perdikan yaitu: Tawangsari, Winongsari dan Majanjati. Dua desa yang terakhir lebih dikenal dengan nama Winong dan Majan. Pengaturan Roda Pemerintahan Perdikan Tawangsari Dalam menjalankan roda pemerintahan desa perdikan Tawangsari, baik yang menyangkut persoalan pranata pemerintahan, hukum, sosial, ekonomi dan agama dibawah pimpinan seorang Kangjeng Kiai. Hak kepemilikan tanah atas desa perdikan hanya dimiliki oleh Kangjeng Kiai. Warga tidak memiliki hak atas tanah dan hanya diperbolehkan menumpang dan dikenal dengan sebutan magersari. Para magersari diperbolehkan menggarap tanah pertanian yang ada di Tawangsari, tetapi tidak berhak memilikinya. Sejak semula daerah perdikan Tawangsari adalah daerah yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam, sehingga pola kehidupan warganya pun dadasarkan pada ajaran Islam. Penduduk yang diizinkan tinggal di Tawangsari juga dibatasi oleh aturan-aturan tertentu antara lain: 1. Penduduk bersuku Jawa dan harus beragama Islam. etnis lain seperti Cina dan orang asing diluar ketentuan tersebut dilarang untuk tinggal di tanah perdikan Tawangsari. 2. Penduduk yang menetap di Tawangsari harus melaksanakan sholat Jumat, apabila ada yang tidak melaksanakannya maka akan diberi sanksi dengan mengambil pasir. Desa perdikan Tawangsari juga berhak mengatur urusan perkawinan dan perceraian. Pemberian kewenangan untuk melakukan hukum nikah ini diperkuat dengan layang kekancingan atas nama Sunan, Bupati Kiai Ngabehi Mangundirono (Bupati Ngrowo berkuasa saat itu) kepada Kiai Haji Hasan Mimbar (Kerabat Kangjeng Kiai Abu Manshur, penghulu di Tawangsari) pada tahun 1652 Saka (1727 M). Piagam kekancingan ini berupa tulisan tangan dengan huruf arab pego/ pegon, berstempel bentuk bligen warna merah dengan tulisan Arab tak terbaca di sebelah kanan atas.
Pelestarian Tradisi Mataram Di
Perdikan Tawangsari Diriwayatkan, Pakubuwana II sewaktu menjadi Raja Mataram pernah meninjau wilayah Tawangsari, daerah yang dipilih oleh Kangjeng Kiai Abu Manshur sebagai tempat tinggalnya. Raja merasa khwatir daerah tersebut akan mudah dilanda Banjir mengingat letaknya yang dikelilingi oleh sungai Ngrowo. Namun Kangjeng Kiai berpendapat bahwa Tawangsari merupakan daerah yang memenuhi syarat untuk dijadikan tanah pertanian dan pesantren. Raja mataram memberikan Pusaka keraton yang bernama Kiai Banteng Wulung kepada Kangjeng Kiai Abu Manshur untuk menjaga keselamatan daerahnya. Pusaka ini harus dikembalikan ke Mataram pada generasi ke IV keturunan Kangjeng Kiai Abu Manshur. Pada zaman penjajahan Jepang, pusaka Kiai Banteng Wulung dikembalikan ke Kraton Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dan diterima oleh Hamengku Buwana IX. Utusan dari Tawangsari untuk adalah R. Ronggo dari desa Maesan Mojo Kediri yang masih berkerabat dengan keturunan Kiai Hasan Mimbar Majan. Konon ketika pusaka ini masih berada di Tulungagung, wilayah ini tidak pernah dilanda banjir. Namun setelah dikembalikan ke keraton Wilayah Tulungagung senantiasa dilanda banjir. Sebagai bagian dari Mataram, yang mempunyai hak istimewa, Tawangsari melestarikan tradisi Kesultanan Mataram. Tradisi tersebut antara lain: 1. Tradisi seni pedalangan gaya Yogyakarta. 2. Tari Royong gaya prajuritan, Srimpi, Bedoyo Watangan yaitu sejenis tari Lawung dan ada beberapa jenis tarian lainnya 3. Tradisi memandikan pusaka pada bulan Sura 4. Tradisi Grebeg Maulud juga dilakukan di wilayah perdikan Tawangsari yang dilaksanakan dengan pembagian tumpeng- tumpeng kecil kepada rakyat setelah dibacakan ayat-ayat al-Quran. 5. Tradisi peringatan hari jadi perdikan Tawangsari yang dilaksanakan setiap bulan Sapar dengan membuat gunungan berupa tumpeng, lengkap dengan perangkat makanan dan ditambahi peragaan hasil bumi. Tumpeng ini di arak keliling desa dengan barisan prajurit Mataram. Selanjutnya tumpeng dibawa ke Masjid Agung Tawangsari kemudian dibacakan doa dan layang Kekancingan secara macapat. Setelah upacara di Masjid selesai, Tumpeng dan Gunungan di bawa ke halaman Balai Desa Tawangsari (Pendopo Tawangsari) untuk disantap bersama. Tradisi-tradisi yang ada di Tawangsari tersebut menyerupai tradisi yang berlaku di Kesultanan Mataram Islam terutama Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat. (Majalah Dewi no 167, 1981)
KANGJENG KIAI HAJI ABU MANSHUR PENDIRI
TANAH PERDIKAN TAWANGSARI Kangjeng Kiai Abu Manshur mempunyai nama asli RM. Tala (versi Surakarta) atau RM. Kala (versi Yogyakarta) adalah putra dari Raja Kasultanan Mataram, Prabu Amangkurat IV (Amangkurat Jawi/RM Suryaputra), dari selir Mas Ayu Rangawita (Raden Ayu Bandandari, putri Pangeran Cendana Kudus). Beliau mempunyai nama kecil RM. Qosim, beliau dianugerahi gelar Diponegoro oleh Pakubuwana II, sehingga namanya menjadi RM. Tala /RM Kala Diponegoro. Perlu diketahui Dipanegara adalah sebuah gelar kepangeranan yang disandang oleh para putra raja zaman kerajaan Mataram dulu, baik itu Mataram Yogyakarta ataupun Mataram Surakarta..
MASA MUDA KENGJENG KIAI ABU
MANSHUR Masa muda RM Tala (Kangjeng Kiai) dihadapkan pada keadaan politik istana Mataram yang bergejolak, RM. Tala (Kangjeng Kiai) memilih untuk meninggalkan kehidupan istana dan memperdalam ilmu agama di pesantren Kiai Ageng Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Selama tinggal di pesantren RM Tala tidak memakai identitas yang sebenarnya. Beliau menyamar sebagai rakyat biasa supaya diperlakukan selayaknya murid biasa pula dengan sebutan R. Qosim yang merupakan nama kecilnya. Tetapi sang guru Kiai Ageng Hasan Besari menyadari bahwa R. Qosim ini berbeda dari murid lainnya, beliau dikenal sebagai santri yang cerdas, cepat menguasai ilmu yang diajarkan dan tampak menonjol diantara santri-santri lainnya. Hal ini membuat Kiai Ageng Hasan Besari menaruh simpati kepadanya. Apabila dilihat dari sikap dan prilakunya Kiai Ageng Hasan Besari menduga bahwa R. Qosim ini bukan dari kalangan rakyat biasa melainkan keturunan bangsawan. Setelah masa pendidikannya di pesantren selesai, R. Qosim tidak kembali ke Kartasura, tetapi lebih memilih untuk mengembangkan dakwah Islam. Sebagai keturunan Mataram Qasim juga tidak berminat untuk terlibat dalam kancah politik istana, atau menjadi penguasa di suatu daerah. Hal ini dilakukannya karena ada alasan tettentu. Campur tangan VOC atas politik dalam istana hanya akan menjadkan penguasa daerah sebagai alat pemeras bagi rakyat. Oleh karena itu pemilihannya sebagai seorang pendakwah Islam atau guru ngaji dan daerah yang ditempatinya menjadi tanah perdikan merupakan salah satu jalan untuk menghindari politik VOC tersebut. Daerah perdikan yang semacam ini VOC tidak akan pernah berani turut campur.
ASAL MULA GELAR ABU MANSHUR
Ketika sudah sampai masanya dan dirasa telah mempunyai bekal ilmu yang cukup, disertai dengan jiwa kemandiriannya R. Qosim bermaksud mencari sebuah daerah yang akan dijadikan sebagai tempat berdakwah untuk mengembangkan agama Islam. Atas saran sang guru Kiai Ageng Hasan Besari, R. Qosim memilih daerah sebelah timur Ponorogo tepatnya di wilayah Ngrowo yang kemudian daerah tersebut diberi nama Tawangsari. Dari sinilah tonggak penyebaran agama Islam di Tulungagung berawal. Seiring dengan berkembangnya Tawangsari sebagai pusat penyebaran agama Islam, R. Qosim mendapat gelar Abu Manshur dari sang guru Kiai Ageng Hasan Besari Tegalsari.
NYAI LIDAH ITEM
R. Qosim (Abu manshur muda) kemudian dijodohkan dengan RA. Fatimah atau yang lebih terkenal dengan julukan Nyai Lidah Item, putri dari Kiai Bagus Harun Basyariah Sewulan Madiun. Kiai Bagus Harun Basyariah adalah ulama yang tersohor di wilayah Madiun dan juga merupakan murid dari Kiai Ageng Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Antara R. Qosim (RM. Tala dengan Nyai Lidah Item ternyata masih satu garis keturunan dari Panembahan Senopati, karena Kiai Bagus Harun Basyariah adalah putra dari R. Nolojoyo (Ki Ageng Prongkot) yang merupakan keturunan Panembahan Senopati. Nyai Lidah Item adalah seorang putri yang memiliki kesaktian mandraguna, beliau mempunyai kemben yang dapat mengeluarkan panas hingga dapat mematangkan bulir beras. Julukan Nyai Lidah item ini sebenarnya datang dari para Kompeni Belanda. Hal ini karena ucapan beliau yang selalu bertuah (mujarab) sehingga para Kompeni kesulitan untuk menghadapi sepak terjang Nyai Lidah Item. Bersama Istrinya inilah R. Qosim berdakwah menyebarkan agama Islam dengan memperkuat mental spiritual yang berlandaskan syariat Islam.
RADEN AYU PUTRI ALAP-ALAP
Raden Putri Ayu alap-alap adalah seorang putri dari Keraton Mataram. Beberapa cerita yang lain menyebutkan bahwa beliau adalah putri hadiah dari Mataram. Menurut sumber dari keluarga mengatakan bahwa Raden Ayu Putri Alap-alap sebernarnya bernama RAy. Sulastri. Sedangkan julukan Alap-alap yang disandangnya diperkirakan karena putri ini dikenal sebagai pendekar yang gesit seperti alap-alap (burung Rajawali). Raden Ayu Putri Alap-alap diperkirakan wafat pada masa Kiai Yusuf Martontanu (Kangjeng Kiai Abu manshur II) . Pada nisan pusaranya tertera tulisan dalam huruf Jawa yang berbunyi : Pasarehan Bandoro Rahaden Hayu Hageng Hingkang Heyang Kanjeng Sampeyan Dalem Tulungagung Hingkang Sapisan. (Pasareyan Raden Ayu Ingkang Eyang Kanjeng Sampeyan Dalem Tulungagung Ingkang Kapisan). Merujuk dari kata Tulungagung ingkang Kapisan yang tertera pada nisan makamnya, maka Raden Ayu Alap-alap diperkirakan meninggal pada waktu Kabupaten Ngrowo telah berubah nama menjadi Kabupaten Tulungagung.
PERAN KANGJENG KIAI ABU MANSHUR
DALAM PEMBANGUNAN TULUNGAGUNG Sejarah menyebutkan, sebelum menjadi Kabupaten, Ngrowo adalah daerah-daerah yang dikuasai oleh para Tumenggung di bawah perlindungan kerajaan Mataram. Kemudian daerah-daerah ketemenggungan digabungkan menjadi satu untuk dibentuk suatu Kabupaten baru. Setelah Kabupaten baru terbentuk maka Kota Ngrowo membutuhkan tempat kediaman Bupati dan alun-alun. Semula daerah Kalangbret yang ditunjuk untuk menjadi kota Kabupaten, setelah beberapa tahun berjalan, kemudian pindah ke Ringinpitu. Tetapi karena tidak adanya kesatuan pendapat dari para Tumenggung, maka penetapan untuk menjadi kota kabupaten di kedua tempat itu mengalami kegagalan sehingga pembangunan urung dilaksanakan. Guna mengatasi permasalahan ini, Bupati meminta nasehat ke Mataram. Petunjuk dari Kraton menyebutkan, bahwa apabila ingin membangun kota untuk Kabupaten yang nantinya akan dapat langsung berdiri dan menjadi tempat yang ramai dan daerahnya menjadi subur, supaya memilih suatu tempat di sebelah utara Beji. Akan tetapi daerah yang dimaksud tersebut terdapat sumber air besar yang disebut Telungagung, Telengagung atau Tulungagung. Oleh karenanya sumber air besar ini harus disumbat dan ditanami pohon beringin dari Mataram. Sesuai dengan petunjuk Kraton, agar dalam melaksanakan penyumbatan sumber air ini meminta pertolongan dari seorang Kiai mumpuni yang tinggal di tanah perdikan Tawangsari bernama Kangjeng Kiai Abu Manshur. Usaha penyumbatan sumber air yang besar itu bukanlah perkara yang mudah tetapi Kangjeng Kiai menyanggupinya. Tindakan pertama yang diambilnya ialah : dengan membongkar tujuh batang pohon beringin yang ditanam di desa Ringinpitu. Selanjutnya Kangjeng Kiai mencari kerbau bule (kerbau yang putih warna bulunya) untuk dipergunakan sebagai sasrahan. Bantuan secara mistik juga dilaksanakan, ialah dengan dibantu Jigangjoyo dan Clunthangjoyo untuk menyumbat mata air tersebut. Setelah segala perlengkapan sudah siap, ijuk yang telah didapatkan dari gunung Ngliman disumbatkan pada sumber mata air, dengan cara diinjak-injak tanpa istirahat oleh kerbau bule. Sehingga karena kelelahan dan kehabisan tenaga, kerbau bule akhirnya mati dan ditanam tepat di mana sumber air itu keluar sebagai sasrahan untuk dijadikan sebagai tumbalnya. Untuk mengalirkan air dibuatkan urung- urung dan saluran lewat Kali Jenes menuju sungai Ngrowo. Ketika air sudah tidak memancar lagi, maka biibit pohon beringin yang berasal dari Mataram ditanam, yang kemudian menjadi sebuah pohon yang rindang. Oleh masyarakat setempat pohon yang tumbuh di tengah alun- alun itu diberi nama Ringin Kurung, karena di sekelilingnya diberi pagar tembok. Beringin itu tumbang, akibat angin besar sesudah jaman Jepang ialah pada tahun 1942. Menurut cerita akibat robohnya beringin tersebut, Tulungagung sering dilanda banjir. Sejak disumbatnya sumber air besar itu, maka lambat laun rawa-rawa menjadi kering. Pengeringan rawa-rawa itu berarti pula suatu pertolongan besar bagi masyarakat setempat, termasuk kota Tulungagung yang telah menjadi ramai seperti sekarang ini. Pada masa pemerintahan Bupati Ngrowo KRT Pringgodiningrat (1824-1830) pembangunan pusat pemerintahan Kabupaten dan alun-alun dimulai. Sebagai tanda pembangunan tersebut adalah Candrasengkala Memet yang terdapat pada sepasang Arca Dwarapala yang berada di empat penjuru batas kota Tulungagung. Candra Sengkala tersebut berbunyi Dwi Rasekso Sinabdo Ratu yang menunjuk angka tahun 1752 Saka/1824 Masehi. Selanjutnya tempat baru ini dijadikan pusat pemerintahan atau ibu kota Kabupaten Ngrowo. Nama Kabupaten Ngrowo berubah menjadi Kabupaten Toeloengagoeng pada masa pemerintahan bupati Ngrowo ke 11: RT Partowijoyo yang memerintah pada tahun 1896 hingga tahun 1901. Perubahan Nama tersebut disertai dengan Besluit Gubernur Hindia Belanda Nomor : 8 tanggal 14 Januari 1901. Sumbangsih Kangjeng Kiai Abu Mansur terhadap kadipaten Ngrowo/ Tulungagung dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Beliau telah berdakwah di Kadipaten Ngrowo, khususnya Desa Tawangsari, Winong dan Majan. Ke tiga desa tersebut sejak dahulu hingga sekarang lebih dikenal sebagai daerah santri. Benda- benda purbakala peninggalan beliau baik yang berupa bangunan masjid Tawangsari, Winong dan Majan sampai saat ini masih bisa disaksikan walaupun sudah mengalami beberapa kali renovasi. 2. Beliau telah membekali ilmu kanuragan kepada masyarakat ketiga desa untuk melawan penjajah Belanda. Di tahun enam puluhan, ke-tiga desa tersebut terkenal akan para pendekar dan pencak silatnya. Setiap ada pertandingan pencak silat, pemuda- pemuda ke- tiga desa tersebut selalu ambil bagian. Bahkan banyak pondok pesantren yang ada di pelosok desa se- Tulungagung banyak yang mendatangkan guru bela diri/ pencak silat dari ke-tiga desa tersebut. 3. Di dalam buku Babad dan Sejarah Tulungagung disebutkan bahwa ketika Kabupaten Ngrowo hendak membuat Kota Kabupaten dan alun-alun, Kangjeng Kiai Abu Mansur ikut andil dalam pembangunan dengan menyumbat sumber air yang terus mengeluarkan air dan sulit dibendung. Atas jasa Kangjeng Kiai Abu Mansur, sumber air yang besar tersebut dapat dihentikan hingga menjadi seperti alun- alun seperti yang sekarang ini. 4. KH. Abu Mansur telah berhasil menanamkan jiwa nasionalisme yang kuat pada rakyat Tawangsari. Sehingga rakyat Tawangsari antipasti terhadap penjajah Belanda maupun Jepang. Rasa nasionalisme yang ditanamkan oleh Kangjeng Kiai Abu Mansur kepada rakyat Ngrowo dilandasi dengan syriat ajaran Agama Islam. Demikianlah perjalan hidup Kangjeng Kiai Abu Manshur yang dapat terekam dalam sejarah tokoh-tokoh penyebar Islam di Kabupaten Tulungagung. Keberadaan Kangjeng Kiai Abu Manshur telah menorehkan sejarah tersendiri bagi masyarakat Tulungagung. Untuk itu sudah selayaknya untuk berbangga dan berterimakasih atas jasa-jasa beliau. SILSILAH KANGJENG KIAI ABU MANSHUR
Kanjeng Panembahan Senopati /
Kangjeng RadenDanang Raden DanangSutawijaya Sutawijaya