Oleh : H.A.Maddukelleng Sosok Basuki Tjahya Purnama biasa disapa Ahok gubernur DKI Jakarta merupakan sosok pemimpin fenomental di era reformasi saat ini. Ocehannya yang kadang tidak terkendali, membuat banyak lawan-lawan politiknya merah dikuping. Sisi lain perangai tempramental yang diperankankan ternyata banyak disenangi banyak rakyatnya karena ketegasannya, hasil survei pada awal tahun 2016 masih terlalu jauh dari calon kandidat Gubernur lain yang berniat bertarung bersamanya yakni tingkat popularitasnya masih mencapai 62 %. Persiapan Gubernur DKI melalui jalur independen bisa mengumpulkan dukungan KTP melalui teman Ahok melebihi targer yakni 1 juta lebih KTP, Ini membuktikan jika Ahok masih terlalu tangguh untuk dilawan di Pilgub DKI tahun 2017 mendatang. Terlepas dari unsur siapa dia, nampaknya memang sangat sulit membendungnya. Pergulatan politik terus digulirkan, mulai dari penggusuran permukiman penduduk sampai reklamasi pantai, RS Sumber Waras silih berganti dimunculkan, hingga akhirnya harus mererevisi UU pilkada untuk menghentikan laju pergerakan seorang Ahok ke Pilgub DKI Jakarta 2017 melalui jalur perseorangan. Itupun sepertinya sia-sia, persyaratan dukungan KPT 10-15 % jalur perseorangan telah melampaui ketentuan untuk bisa lolos dijalur perseorang, karena itu tidak heran jika parpol besar seperti Golkat, Nasdem dan Hanura tetap mendukung beliau senjadi calon Gubernur DKI Jakarta 2017-2021 apakah itu jalur perseorangan maupun jalur Parpol. Ahok, membawa satu titik awal perubahan dan pergerakan politik yang sangat fundamental, walaupun banyak merugikan calon kandidat yang ingin melalui jalur indevenden atau perseorangan akibat dari revisi UU No. 8 tahun 2015 ttg pilkada. Upaya menghalangi seorang Ahok melalui revisi UU Pilkada untuk melenggang ke kursi Nomor 1 DKI Jakarta yang kedua nampaknya akan gagal. Konsekwensi pergerakan politik akibat revisi itu membawa banyak komposisi struktur perpolitikan yang bergerak kearah ketidakseimbangan. Peran politisi untuk memainkan peran di Pilkada terus dilakukan dengan harapan tidak seorangpun calon
kandidat di Pilkada mendatang yang bisa lolos melalui jalur
perseorangan. Artinya jalur partai politik menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Jika Partai Politik menjadi satu-satunya penentu menuju pesta demokrasi, maka dimasa datang, dapat dibayangkan bahwa system perpolitikan kita di Indonesia akan mengalami politik transaksional. Kata Buya Syafii Maarif, politik uang bukan hanya sekadar penyimpangan, lebih jauh, itu adalah daki peradaban dalam kekumuhan budaya politik kita dewasa ini. Ia adalah parasit demokrasi yang mengoyak tatanan moral dan konstitusi, yang seharusnya menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Dan bila penyimpangan itu dibiarkan menjadi mentalitas bangsa ini, proses demokratisasi lambat laun akan tersungkur, meruntuhkan tatanan kebangsaan yang lebih luas. Menurut penulis, cara-cara seperti itu,
dampaknya akan berada pada pusaran korupsi yang semakin tidak
terkendali, karena calon-calon kandidat Gubernur, Bupati, dan Walikota pasti bertaruh memperebutkan Parpol dan konsekwensinya pasti mahar partai. Siklus ini berputar, kandidat ke Parpol, kandidat jika menang berupaya mengembalikan biaya, sumber dananya dari biaya pembangunan dengan cara-cara abnormal dstnya, dan itu sangat berbahaya. Itulah gambaran singkat dampak politis fenomena Ahok, sebenarnya mengebiri proses demokrasi yang sedang mekar, menghalangi hak yang sama warga negara dalam pemerintahan (UUD). Tapi apa boleh buat fenemona ini akan menjadi alasan untuk menggugurkan para calon kandidat indevenden lainnya di masa datang, karena yang bisa bertarung tentu adalah mereka yang memiliki modal besar untuk membiayai proses yang semakin panjang dan semakin terjal itu. Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, Syamsuddin Harris mengungkapkan, Fenomena yang terjadi sekarang adalah fenomena Ahok yang unik. Ketika dia meninggalkan parpol dan maju lewat jalur independen, maka parpol bukan semata bingung tetapi panik, karena parpol saat ini tidak memiliki kader yang dianggap layak untuk bertarung melawah Ahok. Bahkan syamsuddin menilai tidak ada yang layak bahkan tidak memiliki nilai jual untuk melawan Ahok, satu-satunya cara parpol membuka pendaftaran calon. Ini tanda sebuah kepanikan yang dimainkan parpol, padahal hasil akan sangat sulit ditemukan yang bisa sebanding dengan Ahok.
Akankan banyak ahok-ahok berikutnya yang menjadi
pemimpin yang bisa menjadikan bangsa ini jauh lebih maju, tegas dan dapat bersaing dengan negara-negara lainnya, atau adakah ibu Risma (Red. walikota Surabaya) pemimpin-pemimpin yang berkarakter seperti beliau, semoga saja masih banyak kader mudah yang akan tampil dengan semangat kepemimpinan yang jauh melebihi fenomena Ahok dan ibu Risma. Mari generasi mudah tampil dieramu, jika ada kemauan pasti ada jalan, dan melebih kedua contoh pemimpin-pemimpin yang sangat disenangi rakyatnya. ***