Anda di halaman 1dari 4

Kepercayaan Toriolong

Abu Hamid mengemukakan bahwa Kepercayaan Pra - Islam di Sulawesi Selatan pada
dasarnya dapat dilihat ke dalam tiga aspek yaitu:
1. Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang,
2. Kepercayaan terhadap dewa - dewa patuntung,
3. Kepercayaan terhadap pesona - pesona jahat.

Perlu diketahui sebelum datangnya Islam di Sulawesi Selatan, terlebih dahulu telah
diperkenalkan agama Nasrani atau Kristen melalui ekspedisi Portugis (Pada tahun
1538 M dan 1543 M). Rakyat di masa itu, umumnya masih menganut kepercayaan
Attoriolong (Orang Terdahulu) kepada kekuatan gaib dan roh leluhur nenek moyang.

Dalam hal kepercayaan, penduduk Sulawesi Selatan telah percaya kepada satu Dewa
yang tunggal, Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah "Dewata SeuwaE".
Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan istilah "PatotoE" atau Dewa yang
Menentukan Nasib, orang Makassar sering menyebutnya dengan "Turi Ara'na" atau
Kehendak yang Tinggi, orang Mandar mengistilahkan dengan "Puang Mase" atau
Yang Maha Kehendak dan orang Toraja menyebutnya "Puang Matoa" atau Tuhan
yang Maha Mulia. 

Selain kepercayaan dalam konteks budaya dan tradisi lokal, sejak dahulu masyarakat
Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata hidup. Aturan tata hidup tersebut
berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem
kepercayaan. Orang Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut dengan istilah
"Pangaderreng", orang Makassar menyebutnya "Pangadakkang", orang Luwu
menyebutnya "Pangadarang", dan orang Toraja menyebutnya "Aluk Todolo".
Sampai saat ini, sisa - sisa kepercayaan yang mirip dengan kepercayaan "Aluk
Todolo" masyarakat Toraja masih terdapat diberbagai tempat di daerah Sulawesi
Selatan. Salah satunya, dapat kita lihat dalam komunitas adat Tana Toa Kajang,
Kabupaten Bulukumba.

Masyarakat Suku Kajang

Kepercayaan mereka dikenal oleh masyarakat luar dengan agama "Patuntung".


Agama Patuntung mempercayai adanya sesuatu yang Maha Kuasa, Maha Tunggal dan
berbagai nama. Ada yang menamakannya dengan "Turia Ara'na" atau yang
Berkehendak dan sebagainya.

Selain kepercayaan Aluk Todolo dan Suku Kajang, masih terdapat kepercayaan yang
dianut oleh sebagian masyarakat di Sulawesi Selatan sampai saat ini yaitu agama
Towani Tolotang. Agama Towani Tolotang dianut oleh beberapa bagian masyarakat
di Sidenreng Rappang, agama tersebut merupakan suatu kepercayaan yang
mempercayai adanya kekuasaan alam yang tinggi yang mereka namai "To PalanroE"
atau Orang yang Mencipta.

Adat Tolotang

Dewa SeuwaE atau Dewa Tunggal, dalam perurutan nama - nama yang mengandung
aspek - aspek kedewaan terdapat nama Batara Guru, Sawerigading, Galigo, dan
sebagainya. Sejalan dengan pandangan diatas, Mattulada mengatakan bahwa sebelum
kedatangan Islam sebagai masyarakat Sulawesi Selatan sudah mempunyai kepercayaa
asli. 
Prof. Dr. Mattulada

Religi orang Bugis-Makassar pada masa Pra-Islam seperti tergambar dalam Epik I La
Galigo sebenarnya sudah mengandung kepercayaan Tuhan yang Tunggal yang disebut
dengan beberapa nama seperti PatotoE  (yang Menentukan Nasib), Dewata Seuwae
(Dewa yang Tunggal) dan Turi Ara'na (Kehendak yang Tinggi).

Selain mengacu pada cerita I La Galigo, kepercayaan masyarakat Bugis Pra - Islam
juga dapat ditelusuri melalui keberadaan komunitas Bissu di istana kerajaan Bugis,
termasuk di kerajaan Bone. Alasannya, karena umumnya para ahli menyakini bahwa
"Bissu" adalah semacam pendeta agama pada masa itu. Gilbert Albert Hamonik
misalnya menyatakan bahwa di zaman kuno, kepercayaan di Sulawesi Selatan sangat
kaya, jauh lebih kaya dari pada kepercayaan yang disebut dengan salah sebagai
"Animisme" saja.

Setelah proses Islamisasi sistem kepercayaan tersebut kemudian beralih kepada Islam.
Namun, kepercayaan lama yang dianut oleh masyarakat tidak serta merta hilang
begitu saja. Fase pengislaman di Sulawesi Selatan secara politis dan militer dapat
dianggap selesai setelah tanah Bone menerima Islam sebagai agama resmi pada tahun
1611 M. 

Fase berikutnya adalah tahapan pengembangan ajaran Islam dan pemantapannya


dalam pelaksanaan politik pada  tiap - tiap kerajaan. Menurut Mattulada walau ajaran
Islam berkembang namun kebiasaan - kebiasaan (tradisi) yang menyangkut lapangan
kehidupan yang penting, tetap dilakukan seperti memberi sesajen pada saukangg pada
waktu hajatan tetap berlanjut.

Pada tahap awal, ajaran Islam belum diarahkan untuk pemberantasan hal - hal yang
dipandang berlawanan dengan syariat Islam, bahkan Nurhayati Djamas menegaskan
bahwa kedatangan agama Islam tidak serta merta menumbangkan adat-istiadat dan
tradisi lokal yang perwujudannya nampak dilandasi oleh kepercayaan asli nenek
moyang. 
Pendapat para ahli diatas menunjukkan bahwa sebelum Islam masuk, masyarakat
Sulawesi Selatan telah memiliki kepercayaan dan budaya yang telah berjalan lama,
kehadiran Islam tidak serta merta meruntuhkan hal tersebut Secara total. 

Para penyiar Islam saat itu tidak menitikberatkan pada perombakan pranata - pranata
sosial yang ada. Akan tetapi, pengisian batin dan usaha merubah perbuatan dan
tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan Islam. Bilamana terdapat tradisi dan
lembaga sosial yang bertentangan dengan Islam tidak serta merta dirubahnya. Akan
tetapi,  dengan bijaksana dicari gantinya dan dengan cara bertahap dimasukkan dalam
lembaga atau pranata sosial yang telah ada sebelumnya

Anda mungkin juga menyukai