Anda di halaman 1dari 2

E.

Gobee (1928; 442,443), dalam bukunya berjudul Een Loinangsch Verhaal (cerita-cerita dari
suku Loinang), mengatakan bahwa “pada tahun sekitar 1417 persekutuan Loinang Timur
sudah terbentuk dan membentuk sebuah kerajaan dengan nama Tompotika, raja pertama
bernama La Logani, kedua adiknya perempuan ratu Mapaang, wilayah kerajaan ini meliputi
pegunungan yang meraka namakan Tompotika ” (Tumpu potinggi mianu kita = Tuhan
meninggikan derajat manusia). Keturunan raja La Logani disebut Miannu BALAYAN, yang
tersebar dari Pegunungan Tompotika, gunung pinuntunuan, gunung kau totolu, atau oleh
penulis barat di kenal dengan suku La Inang Barat. Sedangkan anak-anak La Logani,
Mangamben, Lakauta, menulusuri Pegunungan Tompotika mengembangkan kerajaan
Tompotika dan sampailah di desa Bulakan dan Lingketeng, serta Tambunan, Boloa, Pakohan,
Kintom, Mendono, Tangkain, Lontio. Anaknya Sula, Maiyaya dan Moitom mengembangkan
wilayah kekuasaan ke Balantak, Lamala, Masama dan Bualemo, sedangkan adiknya
Mapaang yang menikah di Lolantang mendapat anak Mangamben, menjadi pemimpim di
Keleke, Mangkin Piala, Luwok, dengan gelar mianu tutui (yang benar, yang nyata).
Lanjutnya Doermier (1945:20), Kerajaan Motindok merupakan ke-triesaan dengan Bola dan
Lowa, dikatakan ketiga bagian itu dikuasai oleh seorang raja Ali Asine, adik
perempuannyaAminah, dan adik laki-laki Lohat (kembali satu ikatan keluarga antar
kerajaan). Waktu pendiri kerajaan Banggai yang sekarang (Mumbu doi jawa) dalam
perjalanan penaklukannya tiba di Motindok, ia menikahi putri raja Ali Asine, Nuru Sapa
(dalam versi Banggai putri ini adalah istri Mumbu doi jawa berbangsa Ternate), serta
mengangkat putra dari saudara laki-laki Nuru Sapa,Sasong Baluwangi, menjadi basanyo
pertama atas Batui, putra ini bernama Ama, bahasa yang di pakai adalah Mbaha,
penyimpangan dari bahasa Saluan dan bahasa Wana (1525-1680).
Dari pernyataan Dormier yang menyadur pendapat Francois Falentijn, Prof.Weck, E.Gobee,
O.H.Goedhart, dan Albert C.Kruyt, bahwa kerajaan-kerajaan di Banggai darat dan Banggai
luat sudah terbentuk. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah, Liputomundo, Kadupang dan
Sisipan, serta Bongganan di wilayah Gapi (Peling), Dodung dan Tano Bonunungan,
Monsongan di wilayah pulau Banggai, Kemudian Tompotika dan Motindok di wilayah
Banggai darat. Kerajaan-kerajaan tersebut belum dikuasai sultan Ternate dan berbentuk
otonom.
Kerajaan-kerajaan di Banggai Laut dan Banggai darat yang di sebutkan diatas, pada Tahun
1465 s/d 1580 masing-masing di pimpin oleh Liputomundo raja Tahani, Kadupang raja
Gahani, Bongganan raja Bembengkan, Sisipan Adi Kalut Pokalut (selalu menggaruk-garuk
badan), raja Dodung Adi Moute (putih) di Banggai, raja Tano Bonunungan Adi Lambal-
Pololambai (Adi Ambar, batu ambar dari laut) di Banggai, raja La Logani Tompotika Bualemo
dan raja Ali Aseni Motindok, di Batoei, Banggai darat, ungkap Doermier (1945).
Albert C. Cruyt (1931), dalam bukunya De Vorsten van Banggai (raja-raja Banggai),
mengatakan, “Kerajaan Banggai lahir dari kerajaan Bongganan,” fakta dan hipotesis Kruyt di
amini oleh J.J.Doermier (1945), dengan menambahkan pada saat kerajaan Bongganan di
serang raja Gowa, Ternate, rajanya lari ke pulau Banggai, dan menjadi raja disana dengan
nama Adi Kalut Pokalut, legenda mengatakan Bongganan dihancurkan oleh Goereezen,
Ternate dan Jawa, demikian Doermier dalam Albert C.Kruyt (Catatan Untuk Bangga-,Gapi,
op.cit.,511,516,679).
Francois Valentijn (1726:80), dalam buku berjudul, Oud en Nieuw Oost Indien (Hindia Timur
yang baru dan lama, jilid I-b,1726: 80), mengatakan “Banggai ini dan pulau-pulau lain di
sekitarnya, pada tahun 1580 berada di bawah pemerintahan raja Babu, di kuasai Ternate.”
Yang dimaksud raja Babu adalah Sultan Baab-ullah (1570-1583).
Albert C.Kruyt (1931), dalam bukunya De Vorsten van Banggai (Raja-raja Banggai, 1931:
518,521), mengatakan bahwa “ Mumbu doi Jawa memasukkan agama Islam ke Banggai,
menata sebuah pemerintahan, menaklukkan pulau Peling dan wilayah daratan Sulawesi
Timur, dari Balantak sampai Kendari,” demikian Kruyt.
Menarik disimak, kata Doermier, Franscois Valintejn, E.Gobbe, bahwa sebelum kerajaan
Banggai di satukan oleh Adi Cokro, raja-raja tersebut sudah Islam, dan telah membentuk
pemahaman agama mereka (Islam) yang sempurna, itu berlangsung di bawah tahun 1500,
dengan bukti kuburan Lipuadino dan Syekh Sa’ban di Lolantang.
Pengembangan ajaran Islam itu sudah ada di kerajaan Tompotika, Motindok, Sisipan,
Kadupang, Bongganan, Buuko, Monsongan, Doduung, Tano Bonunungan yang dibawah oleh
Lipuadino dan Syekh Sa’ban dari Lolantang, setelah kerajaan Banggai, penyebaran ajaran ini
dilakukan oleh murid-muridnya yang setia yang masih bergelar Imam-imam, ungkap
Doermier.
Setelah Sultan Ternate Babb Ullah (1570-1585) dan Adi Cokro menguasai kerajaan
Tompotika dan Motindok, maka terbentuklah KERAJAAN BANGGAI (1575) yang wilayahnya
dari Tg. Api, Tompotika, Motindok sampai Pulau Togon, serta wilayah Pulau Sonit La Bobo,
selanjutnya aras kesepakatan dan usulan para Adi di Banggai da para Tomundo di Peling,
Sultan Ternate Baab Ullah nelantik Adi Cokro sebagai raja Banggai partama (1575-1590).
Raja ke I kerajaan Banggai Adi Cokro menikah pertama dengan putri raja Motindok Ali
Aseni,Nuru Sapa melahirkan anak pertama Abu Kasim, kemudian Adi Cokro menikah kedua
dengan putri bangsawan (Kastela) Portugis di Ternate bernama Kastilia melahirkan anak
keduaMandapar, dan Adi Cokro menikah ketiga dengan putri Bokan melahirkan anak
perempuan ketiga Putri Saleh, ungkap Dormier.
Mohammad Yamin dalam bukunya Gajah Mada (1985), mengatakan “Adi Cokro (Adi Soko),
adalah bangsawan kerajaan Demak (Jawa Tengah) keponakan Dipati Yunus (1525), dengan
nama aslinya Raden Cokro, pernah bersama-sama pamanya Dipati Yunus menyerang Pati
Udara Madjapahit. Pamannya mengirim Raden Cokro ke Ternate untuk membantu Sultan
Ternate mengembangkan Islam serta memperkuat pasukan armada Kesultanan Ternate
(1530).”

Anda mungkin juga menyukai