Anda di halaman 1dari 4

AJARAN AKIDAH SUNAN BONANG

Oleh: Muhammad Isa Anshory

Dakwah Islam di Jawa mengalami perkembangan cukup pesat pada pergantian abad
15 ke 16 M. Pada periode ini, gerakan dakwah Islam bahkan telah memperlihatkan hasilnya
dengan berdirinya kerajaan Demak. Islam tidak hanya tersebar di daerah pantai, tetapi juga
telah masuk ke pedalaman Jawa. Semua ini tidak bisa dilepaskan dari jasa Wali Sanga.
Meskipun bukan pihak pertama yang membawa Islam ke Jawa, Wali Sanga ternyata lebih
sukses dalam berdakwah dibandingkan para dai sebelum mereka. Oleh karena itu, nama dan
kisah mereka selalu dikenang dalam ingatan orang Jawa.

Di antara para wali tersebut, Sunan Bonang adalah tokoh yang penting untuk dikaji.
Menurut Widji Saksono, hanya ajaran Sunan Bonang yang sampai sekarang dapat diketahui
secara lebih konsisten dan sahih. Sementara itu, ajaran dan wejangan wali yang lain masih
samar-samar. Ajaran Sunan Bonang juga merepresentasikan ajaran Wali Sanga lainnya.
Sunan Bonang secara resmi paling berkompeten di antara para wali itu untuk memberikan
wejangan keilmuan dan keagamaan. Ia adalah murid Sunan Ampel bersama-sama Sunan
Drajat, teman sealmamater Sunan Giri karena sama-sama berguru kepada Maulana Ishaq di
Pasai, juga guru pertama Sunan Kalijaga. Melalui ajaran Sunan Bonang, dapat dibayangkan
ajaran Sunan Ampel, Sunan Drajat, Sunan Giri dan Sunan Kalijaga. (Mengislamkan Tanah
Jawa, hlm. 157-158)

Pada 1597, armada Belanda menemukan sebuah naskah dalam persinggahan mereka
di Sedayu Gresik. Naskah itu kemudian dibawa pulang ke Belanda dan dipelihara oleh
Leidsche Universiteitsbibliotheek. Tiga abad lebih berikutnya, tepatnya pada 1916, naskah itu
menjadi bahan disertasi B.J.O. Schrieke di Universitas Leiden, kemudian diterbitkan dengan
judul Het Boek van Bonang. Schrieke meyakini bahwa naskah itu asli berisi ajaran Sunan
Bonang. Bahasa yang digunakan oleh naskah tersebut adalah bahasa Jawa Tengahan
(campuran Sansekerta-Jawa) yang memang menjadi bahasa yang sedang berlaku di Jawa
sekitar abad 16 M, yaitu masa hidupnya Sunan Bonang. Selain itu, naskah tersebut juga
diakhiri dengan kalimat, “Tammat carita cinitra kang pakerti Pangēran ing Benang.” (Het
Boek van Bonang, hlm. ix-xvii)

Het Boek van Bonang memuat ajaran akidah Sunan Bonang yang disampaikan dengan
metode bercerita antara Syekh Al-Bari dengan muridnya yang bernama Rijalullah. Ajaran
akidah Sunan Bonang tidak jauh berbeda dengan ajaran para ulama Ahlus Sunnah. Ajaran itu
diambil dari kitab Ihyâ’ ‘Ulumiddîn karya Imam Al-Ghazali dan At-Tamhîd fî Bayân At-
Tauhîd karya Abu Syakur As-Salimi. “Wedaling carita saking kitab Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn lan
saking Tamhîd”, demikianlah Sunan Bonang menulis.

Mengenalkan Allah
Perkara pertama yang diajarkan oleh Sunan Bonang adalah mengenal Allah. Ia
menceritakan nasihat Syekh Al-Bari kepada Rijal, “Miwah kawruhana yan sira Pangēran
tunggal tan kakalih; saksēnana yan sira Pangēran asifat sadya suksma mahasuci tunggalira,
tan ana papadhanira, kang mahaluhur. Hê mitraningsun! Dēn sami amiarsaha, sampun sira
sak malih, dēn sami aneguhaken, sampun gingsir idhepira.” Artinya, “Ketahuilah bahwa
Tuhan itu itu Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Bersaksilah bahwa Tuhan itu mempunyai sifat
sedia (qidam), lembut, Mahasuci dalam keesaan-Nya, tiada tandingan-Nya, lagi Mahaluhur.
Wahai sahabatku! Ketahuilah dan jangan engkau ragu! Teguhkanlah dan jangan bimbang
pikiranmu!”

Mengenal Allah (ma‘rifatullâh) adalah kewajiban pertama bagi seorang hamba yang
baligh dan berakal (mukallaf). Oleh karena itu, para ulama senantiasa menyebutkan perkara
ini dalam kitab-kitab akidah karya mereka. Sebut saja misalnya Fiqh Al-Akbar karya Imam
Asy-Syafi‘i. Pada bagian awal kitab ringkas lagi padat ini, ia mengatakan, “Ketahuilah –
semoga Allah memberimu kebahagiaan– bahwa setiap mukallaf diperintahkan untuk
mengenal Allah.” (Al-Kawâkib Al-Azhar Syarh Fiqh Al-Akbar, hlm. 41)

Sunan Bonang mengikuti jalan yang ditempuh para ulama dalam menjelaskan akidah.
Dalam Het Boek van Bonang atau sering pula disebut Primbon Sunan Bonang, ia memberi
porsi terbesar pada pembahasan ma‘rifatullâh. Pembahasan lainnya bahkan hanya merupakan
turunan dari pembahasan ma‘rifatullâh.

Sunan Bonang menjelaskan bahwa ma‘rifatullâh itu mencakup tiga perkara, yaitu
ma‘rifatu dzâtillâh, ma‘rifatu shifâtillâh, ma‘rifatu af‘âlillâh. Lebih lanjut, ia menjelaskan,
“Tegesing ma‘rifatu dzâtillâh, kawruhana ananing Pangēran kang mahaluhur yan tunggal
tan kakalih sasifatira sadya langgeng kekel mahasuci tan bastu jisim tanpa arah tan misra
tan awor tan anuksma tan sinuksma, rēhing langgeng ananira mahasuci wonten ing iskinira
ing piambekira langgeng ing karatonira tan owah tan gingsir ing panglilanira.” Artinya,
“Arti ma‘rifatu dzâtillâh adalah ketahuilah bahwa dzat Allah Yang Mahaluhur itu tunggal
tiada sekutu bagi-Nya. Dia mempunyai sifat sedia, langgeng, kekal, Mahasuci, tidak berjisim,
tanpa arah, tidak bercampur, dan hadir tetapi tidak terlihat. Dzat-Nya langgeng dan Mahasuci
dalam cinta-Nya kepada diri-Nya. Dzat-Nya langgeng dalam kerajaan-Nya dan tidak berubah
dalam keindahan-Nya.”

Sementara itu, ma‘rifatu shifâtillâh dijelaskan, “Kawruhana kahananing Pangēran


asifat hayyun, urip langgeng tan kalawan nyawa, angawikani tan kalawan budi, kawasa tan
kalawan anggauta, aningali tan kalawan aksi, amiarsa tan kalawan karna, akarep tan
kalawan angen-angen, angandika tan kalawan lathi swara, langgeng kekel mahasuci tan
kadi ing dumadi kabēh.” Artinya, “Ketahuilah bahwa dzat Allah itu mempunyai sifat hayyun,
yaitu hidup abadi tanpa nyawa, mengetahui tanpa akal, berkuasa tanpa anggota, melihat tanpa
mata, mendengar tanpa telinga, berkehendak tanpa angan-angan, berkata tanpa bibir yang
bersuara, langgeng kekal Mahasuci tidak seperti apa pun di alam ini.”

Adapun ma‘rifatu af‘âlillâh, “Kawruhana sifat pakaryaning Pangēran, akarya tan


kalawan parbot, asung tan kalawan asta, amejahi tan kalawan karga.” Artinya, “Ketahuilah
sifat perbuatan Tuhan bahwa Dia berbuat tanpa ada yang memerintah, memberi tanpa
menggunakan tangan, dan mematikan tanpa menggunakan keris.”

Di bagian lain, Sunan Bonang menjelaskan bahwa Allah yang mempunyai sifat-sifat
tadi adalah Tuhan yang berhak disembah dan dipuji. Ia menulis, “Karana satuhunê ingsun
anaksēni, anging Allah Pangēran kang sabenerê kang anitah angrēh ing sembah puji kabēh
dadi syuh sirna paningalingsun ing jiwaraga iki, tuwi si ing sembah puji ika, anging kang
sadya mahasuci kêwala langgeng amuji pinuji ing pamujinira, tan owah tan gingsir, tan
asifat wali-wali sadya purba tanpa wiwitan tanpa wekasan.” Artinya, “Sesungguhnya saya
bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya, yang memerintahkan segala sembah
dan puji, sehingga sirnalah pandanganku terhadap jiwa raga ini. Demikian juga, Tuhan yang
disembah dan dipuji itu adalah Tuhan yang sedia, Mahasuci, senantiasa langgeng segala puja
dan puji kepada-Nya, yang tetap dan tidak berubah serta tidak mempunyai sifat berganti-
ganti, sedia tiada yang mendahului, tanpa permulaan dan tanpa penghabisan.”

Mengenalkan Rasulullah

Perkara kedua yang diajarkan Sunan Bonang melalui kisah dialog antara Syekh Al-
Bari dengan Rijalullah adalah ma‘rifatur Rasûl (mengenal Rasul). Seorang hamba tidak
mampu mengenal Allah jika tidak mengenal Rasul-Nya. Dengan mengikuti jalan yang
diajarkan oleh Rasul-Nya, seorang hamba akan sampai pada ma‘rifatullâh.

Mengenai hal ini, Sunan Bonang menulis, “Kalawan ingsun anaksēni yan baginda
Muhammad kawulaning Allah kang sinihan, ingutus agami Islam; iya iku ingkang tinut
dêning nabi wali mu’min kabēh.” Artinya, “Saya juga bersaksi bahwa baginda Muhammad
adalah hamba Allah pilihan. Dia diutus untuk menyampaikan agama Islam. Dia adalah
panutan bagi para nabi dan semua wali mukmin.”

Di bagian lain, Sunan Bonang menjelaskan bahwa seorang mukmin wajib mengikuti
syariat Rasulullah SAW, mencintai dan menghormatinya. Ia menulis, “Dēn sami sira
akecapa becik-becik kalawan lampahira zhâhir bâthin anuta kang sarengat, andika
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, asih-pramuleha sira ing Rasulullah ‘alaihis salâm,
marganira anampani sih nugrahaning Pangēran. Dêning kang sih andika Rasulullah ‘alaihis
salâm, sira iki awiyos kapit ing sih, karihin sihing Pangēran kalawan kang sih Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” Artinya, “Berkatalah yang baik-baik. Ikutilah syariat dalam
perbuatan lahir batinmu sesuai sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Cintai dan
hormatilah Rasulullah ‘alaihis salâm, niscaya ia menjadi jalan bagimu untuk mendapatkan
cinta dan anugerah Allah. Dengan mencintai Rasulullah ‘alaihis salâm, berarti engkau
dikuasai oleh cinta. Pertama adalah cinta Allah, berikutnya adalah cinta Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”

Ingatkan Penyimpangan Akidah


Selain mengajarkan ma‘rifatullâh dan ma‘rifatur Rasûl, Sunan Bonang juga
mengingatkan dari penyimpangan akidah. Ia menulis, “Aja sira kadi ujaring wong sasar.”
Artinya, “Janganlah engkau mengikuti perkataan orang sesat.”

Ia kemudian menyebutkan beberapa nama orang dan kelompok sesat, seperti Abdul
Wahid ibni Makkiyah, Arabiyah (Ibnul Arabi), Batiniyah, Karramiyah, Mu‘tazilah dan kaum
Wujudiyyah. Abdul Wahid, misalnya, dinyatakan sesat karena mengajarkan bahwa Allah itu
hampa (liwung), Allah adalah ketiadaan (ma‘dûm binafsihi), Allah tidak menciptakan apa
pun sebelum menciptakan Rasulullah (kalawan sira Pangēran dēn arani durung andadēken
ing Rasulullah, durung andadēken ing sawiji-wiji), dan semua makhluk dianggap sebagai
penampakan Allah (sakathahing dumadi dēnarani tuduhing Allah).

Agar tidak tertular orang sesat tadi, Sunan Bonang melarang untuk berteman dengan
mereka. Ia menulis, “Aja wata asta sira aja wong kang mongkono iku, karana mesum in
dunya akhêrat amitraha sira sampun.” Artinya, “Janganlah berteman dekat dengan orang
seperti itu. Sebab, berteman dengannya akan menyebabkanmu bermalas-malasan dalam
urusan dunia dan akhirat.”

Tumbuhkan Perilaku yang Baik

Setelah memaparkan beberapa penyimpangan akidah, Sunan Bonang menceritakan


nasihat Syekh Al-Bari kepada Rijalullah agar menumbuhkan perilaku yang baik. Perilaku
yang baik adalah buah dan tanda dari akidah yang baik. Sunan Bonang menulis, “Hê
mitraningsun! Dēn abecik-becik lampahira, dēn ikhlash¸ sampun kapriksakaken sarira,
kalawan ing kawruh sampun kadi wong sasar kang pinasthi sinasaraken.” Artinya, “Wahai
sahabatku! Perbaikilah langkah perbuatanmu. Lakukanlah dengan ikhlas. Jangan
menonjolkan diri karena ilmumu. Jangan jadi orang sesat yang pasti menyesatkan orang
lain.”

Sunan Bonang juga menulis, “Hê mitraningsun! Dēn sami awas sira ing
Pangēranira, dēn sami angēstokena, kalawan sira anglaranana sarira, tegesê sing anglarani
sarira iku aja sira suka-suka awakira, kalawan ta aja mamaēsi panganira panganggēnira
turunira ing dunya. Atinira aja madhep ing lyan; balikan sira asukan-sukanana akalangena
lan Pangēran.” Artinya, “Wahai sahabatku! Perhatikanlah Tuhanmu, patuhilah perintah-Nya,
dan janganlah menyakiti diri sendiri! Maksud menyakiti diri adalah jangan menuruti
keinginan dirimu. Jangan berlebihan makanmu, pakaianmu, dan tidurmu di dunia. Jangan
hadapkan hatimu kepada selain Allah. Carilah kebahagiaan dan kesenanganmu kepada-Nya.”

Het Boek van Bonang menunjukkan tidak ada perbedaan subtansial antara ajaran
Sunan Bonang sebagai ulama Nusantara dengan ajaran ulama dari dunia Islam lainnya. Sunan
Bonang termasuk ulama yang mula-mula mengenalkan figur Imam Al-Ghazali dan ajarannya
kepada umat Islam di Nusantara. Di tengah keterpurukan kondisi umat Islam di negeri ini,
alangkah baiknya jika kajian terhadap ajaran Imam Al-Ghazali maupun ajaran Sunan Bonang
digiatkan. Wallâhu a‘lam bish shawâb.

Anda mungkin juga menyukai