Anda di halaman 1dari 4

Sebagai seorang ulama yang giat berdakwah, Sunan Ampel mempunyai ajaran yang terkenal

dngan sebutan molimo . Mo berarti tidak mau, sedangkan limo adalah 5 perkara. Jadi,
molimo adalah tidak mau melakukan 5 perkara yang terlarang. Kelima ajaran Sunan Ampel
itu adalah:
1. Emoh Main, artinya tidak mau main judi
2. Emoh Ngumbi, artinya tidak mau minum-minuman yang memabukka.
3. Emoh Madat, artinya tidak mau mengisap candu atau ganja.
4. Emoh Maling, artinya tidak mau mencuri atau Kolusi.
5. Emoh Madon, artinya tidak mau main perempuan yang bukan isterinya (zina).
Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh dikalangan istana Majapahit.
Kedekatan beliau tersebut membuat penyebaran Islam di Daerah kekuasaan Majapahit,
khususnya di pantai utara Pulau Jawa, tidak mendapat hambatan yang berarti, bahkan
mendapat izin dari penguasa kerajaan.
Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibu
Kota Bintoro, Demak. Beliaulah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama
Demak, yang di pandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam
di Nusantara. Disamping itu, beliau juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun
1479.

Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada
warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan
dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban. Sejak itu, gelar
pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga
keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan,
berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian,
Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat
terus melakukan dakwah. Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada
penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya
pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala)
sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel. Langgar ini kemudian
menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang --dan diberi nama Masjid Rahmat.
Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai
pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana

Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal
masyarakat Jawa.
Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah
dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ''salat'' diganti dengan
''sembahyang'' (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi
''langgar'', mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri --orang yang
tahu buku suci agama Hindu. Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada
Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada
penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang
netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ''Sunan
Ampel'' mulai populer.

Strategi yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
1. Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah merupakan kemampuan dan ketepatan dai
dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif
madu (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Kudus.
2. Al-Mauizha Al-Hasanah (nasihat yang baik) : memberi nasihat dengan kata-kata
yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan
dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang
lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluh hati yang
keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada
larangan dan ancaman. Inilah yang dilakukan oleh para wali.
3. Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah dengan jalan sebaikbaiknya) : tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak
melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan
dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya
saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada
kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran
tersebut. sebagaimana dakwah Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga kepada Bangsawan
Hindu.
Strategi-Strategi tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT :
serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih

mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl : 125).

DAKWAH SUNAN AMPEL Tipe pemimpin ideal ada di sini: muballigh ulung,
cendekiawan sejati, dan penuh perhitungan dalam setiap langkah menapaki terjalnya jalan
dakwah dan menghadapi tantangan masyarakat yang sebelumnya telah mempunyai
keyakinan yang membumi akan faham budhisme, hinduisme dan kepercayaan "isme-isme"
yang lain, jauh sebelum sunan Ampel datang menebarkan ajaran rahmatan lil alamin. Sebuah
langkah tepat beliau lakukan sebagai strategi awal dalam metodologi dakwahnya, yaitu
pembauran dengan masyarakat akar rumput yang merupakan titik sentral dari sasaran
dakwahnya. Saat itulah kecendekiaan dan intlektualitasnya benar-benar teruji. Tidak mudah
tentunya. Di tempat yang sangat asing, jumud dan kolot, seorang pendatang dari negeri
Campa berusaha untuk beradaptasi dengan kultur-sosial yang tidak pernah dikenal
sebelumnya. Dengan diplomasinya yang gemilang, Kanjeng Sunan Ampel berhasil
mensejajarkan kaum Muslimin kala itu dengan kalangan "elite" dalam kasta-kasta mesyarakat
dan pemerintahan Majapahit. Pemerintahan Majapahit pun sangat menghormati dan
menghargai hak-hak dan kewajiban orang Islam, bahkan tidak sedikit dari punggawa kerajaan
yang akhirnya memeluk agama Islam sebagai way of life-nya. Kalau metodologi dakwah
Sunan Ampel dengan masyarakat akar rumput dilakukan dengan cara pembauran dan
pendekatan, beda halnya dengan metode yang ditempuh ketika menghadapi orang-orang
cerdik-cendikia. Pendekatan intelektual dengan memberikan pemahaman logis adalah
alternatif yang beliau tempuh. Hal ini sebagaimana tercermin dalam dialognya dengan
seorang biksu Budha. Suatu ketika, seorang biksu datang menemui Sunan Ampel. Kemudian
terjadilah percakapan seputar akidah berikut:
Biksu: Setiap hari Tuan sembahyang menghadap ke arah kiblat. Apakah Tuhan Tuan ada di
sana?" Sunan Ampel: Setiap hari Anda memasukkan makanan ke dalam perut agar Anda bisa
bertahan hidup. Apakah hidup Anda ada di dalam perut?" Biksu itu diam tidak menjawab.
Tapi dia bertanya lagi, "Apa maksud tuan berkata begitu?" "Saya sembahyang menghadap
kiblat, tidak berarti Tuhan berada di sana. Saya tidak tahu Tuhan berada di mana. Sebab,
kalau manusia dapat mengetahui keberadaan tuhannya, lantas apa bedanya manusia dengan
Tuhan? Kalau demikian buat apa saya sembahyang?!" Cerita berakhir. Dan si biksu
kemudian masuk Islam karena ia gamang akan otentisitas ajaran agamanya. Satu ending yang
sangat memuaskan. Tidak hanya bagi si pelaku cerita, tapi juga untuk kita: sebuah pelajaran
tentang metedologi dakwah di hadapan orang yang tidak bertuhankan Tuhan. Sunan Ampel.:

etos dakwah di tanah Jawa di samping icon Sunan Kalijaga, di sisi yang lain. Beliau adalah
satu dari sekian banyak wali Allah yang menghabiskan hidupnya hanya untuk berdakwah di
jalan-Nya. Metodologi dakwahnya memang tidak sama dengan metodologi ala Sunan
Kalijaga atau Sunan Muria, yang menggunakan pendekatan seni-budaya Jawa sebagai media
dakwahnya. Sunan Ampel lebih menggunakan pendekatan intelektualdengan memberikan
pemahaman tentang Islam melalui wacana intelektual dan diskusi yang cerdas dan kritis serta
dapat dinalar oleh akal. Dengan dua metodologi yang dipakainya, beliau telah berhasil
menciptakan harmoni antara ulama dan umara, antara akar rumput dan kalangan
pemerintahan, walaupun masih berada dalam sekat tertentu, karena beliau--sebagai sosok dai
yang mempertaruhkan hidupnya untuk berdakwah dan mengayomi umat--tetap indipenden
dan konsisten dengan posisinya sebagai ulama. Beliau tidak pernah dan memang tidak sudi
menggunakan alat kekuasaan sebagai kendaraan dakwahnya. Maka tidak berlebihan jika
beliau mendapat prototype sebagai wali sejati, wali dalam pengertian "kekasih Allah" di
dunia, bukan wali dengan arti penguasa setempat sebagaimana mispersepsi sebagian
pemerhati sejarah (yang mungkin juga tidak mengakui adanya wali Allah yang lain

Anda mungkin juga menyukai