Anda di halaman 1dari 8

Sunan Ampel

Nama Tokoh : Sayyid Ali Rahmatullah (Raden Rahmat)

Lahir : Tahun 1401 Masehi

Nama Ayah : Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Nama Ibu : Dewi Chandrawulan

Meninggal : Tahun 1478 Masehi

1. Latar Belakang Sunan Ampel

Sunan Ampel dilahirkan di negeri Champa (Sepanjang pantai Vietnam). Negeri Champa
diketahui berdiri pada tahun 192 Masehi. Sampai sekarang masih ada komunitas masyarakat
Champa di Vietnam, Thailand, Kamboja, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Ayah Sunan
Ampel merupakan Sunan Gresik yaitu keturunan Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra atau
seorang Ahlussunnah bermazhab syafi’i. Syekh Jamalluddin merupakan ulama yang berasal
dari Samarqand, Uzbekistan. Samarqand merupakan daerah dilahirkannya Ulama-Ulama
besar. Salah satunya adalah Imam Bukhari yang dikenal sebagai pewaris hadist yang shahih.

2. Kisah Perjuangan Sunan Ampel

Pada suatu waktu, Kerajaan Majapahit digeluti oleh masa yang suram karena banyak adipati
dan bangsawan yang berpesta wanita dan berjudi. Prabu Brawijawa sebagai raja merasa sedih
mengetahui keadaan kerajaan kacau seperti itu. Lalu istri Prabu mengusulkan mendatangkan
seseorang yang mampu mengatasi masalah-masalah seperti itu, yaitu keponakannya sendiri
Sayyid Ali Rahmatullah. Akhirnya raja menyetujui mendatangkan keponakan istrinya tersebut.
Setelah Majapahit mengirim utusan untuk menjemput Sayyid Ali Rahmatullah, tibalah Sayyid
bersama ayah dan kakaknya di tanah Jawa. Namun mereka berpisah selama diperjalanan.
Ayah dan kakaknya berhenti di daerah Tuban untuk beristirahat dan berniat berdakwah
didaerah tersebut. Kemudian Sayyid tetap melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba di
Majapahit. Sambutan yang hangat dari Prabu Brawijaya menghampiri Sayyid. Setelah Sayyid
melepas lelah, Prabu menjelaskan sebab Sayyid dipanggil ke Majapahit. Kemudian Sayyid
memahami dan sanggup menjalankan tugas dari Prabu Brawijaya. Setelah menerima tugas dari
Prabu, Sayyid diberi sebuah tempat untuk mendidik bangsawan dan adipati. Kemudian Sayyid
dijodohkan dengan putri Prabu yaitu Dewi Condrowati. Sehingga Sayyid Ali menjadi pangeran
kerajaan Majapahit karena menjadi menantu Prabu Brawijaya. Karena dalam keluarga kerajaan
Majapahit menyebut pangeran dengan sebutan “Raden”, maka Sayyid Ali Rahmatullah dikenal
dengan Raden Rahmat.

Raden Rahmat segera mendidik dan menyadarkan para bangsawan dan adipati menuju ke
jalan yang benar. Setelah berbagai cara dilakukan, akhirnya Raden Rahmat berhasil dan
melanjutkan niatnya untuk berdakwah dalam masyarakat. Tentu Raden Rahmat diterima
masyarakat dengan baik karena telah menyadarkan Adipati dan bangsawan di kerajaan
Majapahit.
Saat melaksanakan dakwah di lingkup masyarakat, Raden bertemu dengan dua tokoh
masyarakat yang mau menjadi pengikut Raden Rahmat. Yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang
Kuning. Raden memanfaatkan keadaan ini untuk dakwah bersama dua tokoh ini. Sehingga
sangat mudah bagi Raden Rahmat untuk mengajarkan ilmu-ilmu Islam. Saat Raden Rahmat
berjalan menyusuri desa, Raden tiba di sebuah tempat yang kosong. Raden segera
membangun masjid untuk beribadah bagi masyarakat. Daerah tersebut dikenal dengan
Ampeldenta. Karena Raden Rahmat diberi kekuasaan di daerah tersebut, Raden Rahmat
akhirnya dikenal dengan Sunan Ampel.

3. Dakwah Sunan Ampel

Ulama adalah pewaris para nabi. Sebuah pengakuan sekaligus penegasan resmi
Rasulullah saw. tentang penerus perjuangan Islam untuk memimpin umat dan membimbing
mereka kepada jalan agama Allah swt serta mengarahkan mereka menuju kebaikan. Raden
Rahmatullah satu dari sekian banyak waratsatul anbiya’ yang dipercaya oleh Allah swt. untuk
meneruskan estafet perjuangan Rasulullah Saw. Beliau adalah sosok ulama teladan sekaligus
waliyyun min auliyaillah’. Sebuah langkah tepat beliau lakukan sebagai strategi awal dalam
metodologi dakwahnya, yaitu pembauran dengan masyarakat akar rumput yang merupakan
titik sentral dari sasaran dakwahnya. Saat itulah kecendekiaan dan intlektualitasnya benar-
benar teruji. Tidak mudah tentunya. Di tempat yang sangat asing, jumud dan kolot, seorang
pendatang dari negeri Campa berusaha untuk beradaptasi dengan kultur-sosial yang tidak
pernah dikenal sebelumnya.

Dengan diplomasinya yang gemilang, Kanjeng Sunan Ampel berhasil mensejajarkan kaum
Muslimin kala itu dengan kalangan “elite” dalam kasta-kasta mesyarakat dan pemerintahan
Majapahit. Pemerintahan Majapahit pun sangat menghormati dan menghargai hak-hak dan
kewajiban orang Islam, bahkan tidak sedikit dari punggawa kerajaan yang akhirnya memeluk
agama Islam. Kalau metodologi dakwah Sunan Ampel dengan masyarakat akar rumput
dilakukan dengan cara pembauran dan pendekatan, beda halnya dengan metode yang
ditempuh ketika menghadapi orang-orang cerdik-cendikia. Pendekatan intelektual dengan
memberikan pemahaman logis adalah alternatif yang beliau tempuh. Hal ini sebagaimana
tercermin dalam dialognya dengan seorang biksu Budha.

Suatu ketika, seorang biksu datang menemui Sunan Ampel. Kemudian terjadilah percakapan
seputar akidah berikut:

Biksu: Setiap hari Tuan sembahyang menghadap ke arah kiblat. Apakah Tuhan Tuan ada di
sana?”

Sunan Ampel: Setiap hari Anda memasukkan makanan ke dalam perut agar Anda bisa
bertahan hidup. Apakah hidup Anda ada di dalam perut?”

Biksu itu diam tidak menjawab. Tapi dia bertanya lagi, “Apa maksud tuan berkata begitu?”

“Saya sembahyang menghadap kiblat, tidak berarti Tuhan berada di sana. Saya tidak
tahu Tuhan berada di mana. Sebab, kalau manusia dapat mengetahui keberadaan
tuhannya, lantas apa bedanya manusia dengan Tuhan? Kalau demikian buat apa saya
sembahyang?!”

Cerita berakhir. Dan si biksu kemudian masuk Islam karena ia gamang akan otentisitas
ajaran agamanya. Satu ending yang sangat memuaskan. Tidak hanya bagi si pelaku cerita,
tapi juga untuk kita: sebuah pelajaran tentang metedologi dakwah di hadapan orang yang tidak
bertuhankan Tuhan.

Sunan Ampel.: etos dakwah di tanah Jawa di samping icon Sunan Kalijaga, di sisi yang lain.
Beliau adalah satu dari sekian banyak wali Allah yang menghabiskan hidupnya hanya untuk
berdakwah di jalan-Nya. Metodologi dakwahnya memang tidak sama dengan metodologi ala
Sunan Kalijaga atau Sunan Muria, yang menggunakan pendekatan seni-budaya Jawa sebagai
media dakwahnya. Sunan Ampel lebih menggunakan pendekatan intelektual—dengan
memberikan pemahaman tentang Islam melalui wacana intelektual dan diskusi yang cerdas dan
kritis serta dapat dinalar oleh akal. Cerita di atas adalah bukti sejarahnya. Dialog Sunan Ampel-
biksu telah mengingatkan kita kepada jawaban Nabi Ibrahim as. dilontarkan kepada raja
Namrudz ketika beliau dituduh menghancurkan tuhan-tuhan mereka, “Bahkan, Tuhan yang
paling besar inilah yang melakukannya”. Bedanya, Namrudz tidak pernah mau menerima
kebenaran itu meski dia mengetahuinya. Kemudian kita bertanya, mungkinkah orang sekelas
biksu dapat ditaklukkan hanya dengan melalui pendekatan budaya? Bisa jadi, tapi mungkin
sulit.

Urgensitas budaya sebagai media dakwah alternatif memang tak bisa dibantah. Sejarah juga
membuktikan bahwa pendekatan kultur-budaya yang dimainkan oleh Sunan Kalijaga berhasil
dengan sangat gemilang. Tapi, sejatinya, pendekatan kultur-budaya hanya relevan untuk
komunitas masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedang untuk obyek intelektual kelas atas
mungkin sangat pas bila menggunakan jalur seperti yang ditempuh Sunan Ampel. Dengan dua
metodologi yang dipakainya, beliau telah berhasil menciptakan harmoni antara ulama dan
umara, antara akar rumput dan kalangan pemerintahan, walaupun masih berada dalam sekat
tertentu, karena beliau–sebagai sosok da’i yang mempertaruhkan hidupnya untuk berdakwah
dan mengayomi umat–tetap indipenden dan konsisten dengan posisinya sebagai ulama. Beliau
tidak pernah dan memang tidak sudi menggunakan alat kekuasaan sebagai kendaraan
dakwahnya. Maka tidak berlebihan jika beliau mendapat prototype sebagai wali sejati, wali
dalam pengertian “kekasih Allah” di dunia, bukan wali dengan arti penguasa setempat
sebagaimana mispersepsi sebagian pemerhati sejarah (yang mungkin juga tidak mengakui
adanya wali Allah yang lain). Karena kalau kita merunut sejarah, maka akan menghasilkan
sebuah hipotesa sebagaimana di atas. Terbukti, beliau, sekali lagi, tidak mau menggunakan
kendaraan kekuasaan sebagai piranti memuluskan dakwahnya.

Ala kulli hal, metode dakwah Sunan Ampel melengkapi strategi dakwah walisongo secara
umum, untuk menjadi satu kesatuan yang nyaris sempurna guna memuluskan misi mulia yang
mereka emban: menyebarkan risalah Islam di tanah jawa. Dan, karena jasa-jasa mulianya
inilah, ribuan atau bahkan jutaan doa senantiasa mengalir, setiap saat, di setiap denyut doa
umat Islam, hingga dunia enggan meneruskan sejarahnya.

4. Cara Berdakwah Sunan Ampel

Cara yang ditempuh Sunan Ampel sangat singkat dan cepat, antara lain adalah dengan
dikenalnya falsafah Moh Limo. Falsafah tersebut yaitu :

1. Moh Main (tidak mau berjudi).


2. Moh Ngombe (tidak mau mabuk karena minum minuman arak).
3. Moh Maling (tidak mau mencuri).
4. Moh Madat (tidak mau merokok atau menggunakan narkotika)
5. Moh Madon ( tidak mau bermain dengan perempuan yang bukan istrinya)

5. Peninggalan-Peninggalan Sunan Ampel

1. Masjid Sunan Ampel


2. Pusaka-Pusaka Sunan Ampel
3. Keris Setan Kober

6. Makam Sunan Ampel

Sunan Ampel Wafat di Surabaya, tahun 1425 M. Makamnya terletak di daerah Ampel Denta,
Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
SYAMSUDDIN SUMATRANI
A. Biografi
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi
keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-
kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama
semisal Samsuddin Sumatrani. Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka
yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan
hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak
ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang
dapat dirujuk. Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah
mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa kesulitan dengan langkanya sumber-sumber
mengenai tokoh sufi yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret
Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun
tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data
historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan
kiprahnya berikut spektrum pemikirannya.

Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal
sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan
dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra
ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai.
Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai. Menurut para sejarawan,
penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua
kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan
demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia
tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya
ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana.

Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan


Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak
Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum
akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk
kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun
1524.

B. Peranan dan Pengaruhnya


Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah
menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak
disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang
paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa
terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan
disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan
Aceh Darussalam.

Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia
berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan
intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa
sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-
1630), Nuruddin Raniri (?-1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada
tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya
disinggung seperlunya.

Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A.


Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri.
Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang
merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis
Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan
Tongkol.

Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti.
Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh
kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti
Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya
yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka
para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa
dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun
demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya.

Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan
Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah
Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada
Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud.
Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan
demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di
Kerajaan Aceh Darussalam.

C. Karya-Karyanya
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang
dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau
disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis
itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya
yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:

1. Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang


paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini
menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan.
2. Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8
balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze
ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang
perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
3. Mir’at al-Mu'minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan
ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para
malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini
membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal
Jama'ah (tepatnya Asy'ariah-Sanusiah).
4. Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini
merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya
antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
5. Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini
merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya'ir Hamzah Fansuri yang
mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana' di dalam Allah.
6. Nur al-Daqa'iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu).
Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung
pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
7. Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung
penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, 'adam, haqq, bathil, wajib,
mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
8. Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini
berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
9. Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang
berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

D. Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham
wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah
wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu
Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham
wahdatul wujud. Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah
orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak
menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih
banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar
peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w.
728/1328). Ia adalah pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya.

Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah
Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak
paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la
ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat
tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami
dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah.

Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith),
kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang
dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-
muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali
Allah. Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman
wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (al-muwahhidin al-shiddiqin), dengan
paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak
itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni
tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau
majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat
prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud
Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan panteis ini,
segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi
wujud maupun dari segi penampakannya).

Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka
menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara
martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani
adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar. Bagi Syamsuddin
Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu
pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain
Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari
segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari
segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud).

Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini
diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh
martabatnya. Tulisnya:

I’lam, ketahui olehmu bahwa (se)sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat;
pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat
martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh
martabat alam insan.

Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah
itu bernama hakikat Muhammad, ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat)
insan dan Adam ‘alaihi al-Salam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka
alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa,
maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat)
segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala,
maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk.

Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan
ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya
adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut
martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk.

Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa
(kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang
dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama,
tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami
bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau
makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai