Disusun oleh:
Indri Khoerunnisa
Sunan Ampel atau biasa disebut Raden Rahmat lahir pada tahun 1401 M di Kerajaan
Champa, Kota Phan Thiết, Vietnam dan wafat pada tahun 1481 M. Dia merupakan salah satu
bagian diantara Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa.
Berdasarkan silsilahnya, Sunan Ampel merupakan putra dari Maulana Malik Ibrahim atau biasa
dikenal Sunan Gresik. Beliau terkenal sebagai salah satu tokoh Walisongo tertua yang
mengembangkan ajaran Islam di Pulau Jawa dan wilayah Nusantara lainnya. Sedangkan Ibu
Sunan Ampel adalah seorang putri dari Raja Champa. Beliau dikenal sebagai keponakan Raja
Majapahit dan sepupu Raden Patah. Untuk itu, Sunan Ampel termasuk ke dalam salah satu
keluarga bangsawan.
Sunan Ampel memiliki dua orang istri. Di antaranya adalah Dewi Condrowati atau Nyai
Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi dan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning.
Melalui pernikahannya dengan Dewi Condrowati, dia dikaruniai anak yang bernama Maulana
Mahdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Syarifuddi atau Raden Qasim atau Sunan Drajat, Siti
Syari’ah, Siti Muthmainnah, dan Siti Hafsah.
Sedangkan dengan Dewi Karimah, dia dikaruniai anak yang bernama Dewi Murtasiyah atau istri
dari Sunan Giri, Dewi Murtasimah, Raden Husamuddin, Raden Zainal Abidin, Pangeran
Tumapel, dan Raden Faqih.
Nama Sunan Ampel berasal saat beliau melakukan dakwa perdananya di daerah
Ampeldenta, Surabaya. Dimana awalnya dia datang ke Jawa dan kemudian menetap di daerah
Tuban pada tahun 1443 M. Menetap di Tuban bersama dengan saudaranya yaitu Ali Musada dan
saudara sepupunya, Raden Burereh. Tak lama mereka menemui bibinya, Dewi Sasmitraputri di
Kerajaan Majapahit. Pasalnya, kala itu Majapahit sudah mulai merasakan masa-masa suramnya
karena para adipati dan pembesar kerajaan meninggalkan dan melupakan tugasnya lantaran
hidup mewah. Situasi tersebut membuat kerajaan Majapahit menjadi berantakan sehingga Prabu
Brawijaya mengundang Sunan Ampel untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.
Lantaran diberi kepercayaan, Sunan Ampel kemudian membangun masjid sebagai tempat
beribadah dan dakwahnya. Selain itu, dia juga membangun pesantren di salah satu daerah yaitu
Ampeldenta. Itulah awal mula mengapa dirinya disebut sebagai Sunan Ampel.
Strategi Sunan Ampel dalam berdakwah terkenal menggunakan cara yang cerdas.
Pasalnya, dia mengubah nama Sungai Brantas menjadi Kali Emas dan Pelabuhan Jelangga
Manik menjadi Tanjung Perak. Lantaran penasaran, orang-orang pun berbondong-bondong
mendatangi lokasi. Tak tinggal diam, kemudian Sunan Ampel mulai memanfaatkannya untuk
berdakwah dan mengajarkan agama Islam.
Dari situlah Sunan Ampel mulai aktif berdakwah bahkan sampai ke pelosok-pelosok negeri.
Cara dakwah Sunan Ampel yang terkenal hingga kini adalah falsafah “Moh limo” yang artinya
tidak mau melakukan lima hal tercela, diantaranya:
1.Moh Mabok: tidak mau minum minuman keras, khamr dan sejenisnya.
2.Moh Main: tidak mau main judi, togel, taruhan dan sejenisnya.
3.Moh Madon: tidak mau berbuat zina, homoseks, lesbian dan sejenisnya.
4.Moh Madat: tidak mau memakai narkoba dan sejenisnya.
5.Moh Maling: tidak mau mencuri, korupsi, merampok dan sejenisnya.
Sunan Ampel meninggal sekitar tahun 1467 Masehi dan dimakamkan di barat Masjid Ampel
Surabaya. Sejak tahun 1972 Kawasan Masjid Agung Sunan Ampel ditetapkan menjadi tempat
wisata religi oleh Pemkot Surabaya dan hingga kini masih ramai didatangi oleh para peziarah.
2. Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah salah satu anggota Wali Songo yang berdakwah menyebarkan
agama Islam di Jawa pada abad ke-14 Masehi. Sunan Bonang memiliki nama asli Raden
Makdum Ibrahim yang tumbuh dalam asuhan keluarga ningrat yang agamis. Beliau lahir pada
tahun 1465 M di Surabaya.
Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang merupakan putra keempat Raden Rahmat atau
Sunan Ampel. Ibunya bernama Nyai Ageng Manila (Dewi Condrowati), yang merupakan putri
dari Bupati Tuban, Arya Teja. Sunan Ampel adalah pendiri Pesantren Ampeldenta, sehingga
pendidikan Islam diperoleh Sunan Bonang adalah ayahnya sendiri. Tak heran jika Sunan Ampel
sudah mempersiapkan Sunan Bonang untuk meneruskan kegiatan dakwahnya dalam
menyebarkan Agama Islam.
Gamelan menjadi salah satu media dakwah yang digunakan oleh Sunan Bonang. Berbeda dari
gamelan yang sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha, Sunan Bonang menambahkan rebab dan
bonang sebagai pelengkap dari gamelan Jawa. Dengan musik yang dilantunkan lewat gamelan
buatan Sunan Bonang, ajaran agama Islam pun lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat.
Selain lewat gamelan, Sunan Bonang juga menyampaikan dakwah Islam melalui lagu. Lagu
ciptaan Sunan Bonang yang bertajuk "Tombo Ati" berisi hukum-hukum serta kewajiban yang
perlu dilakukan oleh umat Muslim.
Cara lain yang dilakukan oleh Sunan Bonang dalam dakwahnya adalah lewat karya sastra, salah
satunya adalah Suluk Wujil, yang dipengaruhi oleh kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr.
Suluk Wujil adalah karya spiritual yang berisikan tasawuf sebagai media pengajaran agama
Islam.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 Masehi dan dimakamkan di desa Bonang, Tuban, Jawa
Timur.
3. Sunan Gresik (Syaikh Maulana Malik Ibrahim)
4. Sunan Drajad
Silsilah Sunan Muria Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah wali termuda yang lahir
pada sekitar tahun 1450. Sunan Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga dari pernikahannya
dengan Dewi Saroh, yang merupakan putri dari Syekh Maulana Ishaq. Namun ada pula yang
mengatakan bahwa Sunan Muria adalah putra Sunan Ngudung dari istrinya yang bernama Dewi
Sarifah. Pada sebuah catatan, Sunan Muria disebut menikah dengan Dewi Roro Noyorono, putri
dari Ki Ageng Ngerang. Kemudian pada catatan lain juga disebut bahwa istri Sunan Muria
bernama Dewi Sujinah, yaitu adik Sunan Kudus sekaligus putri Sunan Ngudung. Dengan begitu,
Sunan Muria diketahui sebagai Wali Songo termuda yang merupakan putra Sunan Kalijaga
sekaligus adik ipar Sunan Kudus. Selepas wafat, Sunan Muria dimakamkan di Bukit Muria yang
terletak di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah Wilayah
Dakwah Sunan Muria Sunan Muria memilih tempat yang twepwncil dan jauh dari kota sebagai
wilayah dakwahnya. Dalam perjalanannya, Sunan Muria memilih lokasi yaitu bukit di utara
Kudus yang sekarang dikenal dengan Gunung Muria. Gunung Muria berada di pantai utara Jawa
Tengah, atau di sebelah timur laut dari Kota Semarang. Wilayah Gunung Muria masuk ke dalam
wilayah di Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati.
Saat ini, wilayah dakwah Sunan Muria masuk dalam wilayah Desa Colo, Kecamatan
Gawe, Kudus, Jawa Tengah. Metode Dakwah Sunan Muria Sunan Muria yang lebih senang
tinggal di daerah terpencil memang senang bergaul dengan rakyat jelata. Metode dakwah yang
membuatnya mudah diterima adalah dengan mengajarkan berbagai keterampilan pada
masyarakat seperti bercocok tanam, kesenian, dan berdagang. Cara dakwah lewat kesenian yang
digunakan hampir serupa dengan sang ayah yaitu menggunakan gamelan, wayang, dan tembang
Kinanthi serta Sinom. Sunan Muria juga berdakwah dengan menggunakan tradisi setempat yang
diubah dengan memasukkan nilai-nilai Islam yang sampai saat ini masih dilakukan oleh
masyarakat setempat.
Salah satu tradisi yang diubah oleh Sunan Muria adalah bancakan (selamatan) yang
diubah menjadi kenduri untuk mengirim doa kepada para leluhur melalui doa-doa Islam. Tak
hanya itu, cara dakwahnya juga dikenal memiliki nilai-nilai yang berhubungan dengan
kelestarian lingkungan. Salah satunya adalah tradisi Guyang Cekathak di dekat Sendang Rejoso
yang merupakan tradisi meminta hujan dengan mencuci (guyang) pelana kuda milik Sunan
Muria.
Sunan Gunung Jati mempunyai nama asli Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil.
Sunan Gunung Jati lahir di Mesir diperkirakan pada tahun 1402 M. Ayah Sunan Gunung Jati
adalah Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam. Sementara ibunya yaitu Nyai Rara
Santang. Sunan Gunung Jati terlahir bukan dari keluarga biasa. Ayah Sunan Gunung Jati
merupakan seorang pembesar Banisrail (Mesir-Palestina) pada masanya. Sedangkan, ibu dari
Sunan Gunung Jati merupakan, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Padjajaran. Ayah dan ibu Sunan Gunung Jati, bertemu pertama kali saat Dewi Rara Santang
melaksanakan ibadah haji di Mekah. Dari orangtuanya, Sunan Gunung Jati juga menjadi
keturunan ke 17 dari Nabi Muhammad SAW. Silsilah tersebut berasal dari garis keturunan sang
ayah. Sama seperti Wali Songo lainnya, Sunan Gunung Jati juga mempunyai metode dakwah
tersendiri. Sebagai seorang ulama sekaligus pemimpin, Sunan Gunung Jati berdakwah dengan
menggunakan pendekatan sosial budaya. Di samping itu, Sunan Gunung Jati juga memperkuat
kedudukan politik dan pengaruhnya di daerah Cirebon, Demak dan Banten. Untuk mendapatkan
kepercayaan masyarakat, Sunan Gunung Jati berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat.
Caranya adalah dengan membangun sarana dan prasarana ibadah di seluruh wilayah
kekuasaannya. Sunan Gunung Jati bahkan juga membangun jalur transportasi yang bakal
memudahkan masyarakat. Juga memudahkan dirinya dalam menyebarkan agama Islam.
Meninggal: 19 September 1568, Keraton Kasepuhan Cirebon, Cirebon
7. Sunan Giri
Sunan Giri hidup di abad ke-14. Sunan Giri lahir pada tahun 1442 M dengan nama lahir
nama Jaka Samudra. Selain dikenal sebagai Sunan Giri dan nama lahirnya yaitu Jaka Samudra,
beliau juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih, Raden 'Ainul Yaqin. Nama Sunan Giri sendiri didapatkan dari kisahnya membangun
sebuah pesantren Giri Kedaton di Gresik. Sunan Giri terlahir di keluarga ningrat. Ayah Sunan
Giri bernama Syekh Maulana Ishak. Beliau merupakan keturunan Rasulullah SAW melalui jalur
Husein, putra Sayyidah Fatimah. Sementara itu, ibu dari Sunan Giri bernama Dewi Sekardadu.
Sang ibu masih merupakan anak Raja Blambangan, Bhre Wirabhumi yang tak lain adalah
Maharaja Hayam Wuruk yang sempat memimpin Majapahit.
Wali songo umumnya dikenal karena metode dakwah mereka yang unik dan berusaha
mendekatkan diri dengan masyarakat. Sunan Giri sendiri melakukan berbagai macam metode
dalam dakwahnya. Metode dakwah Sunan Giri itu mencakup aspek pendidikan, budaya, bahkan
sampai ke politik. Pesantren Sunan Giri sudah terkenal di penjuru negeri membuat banyak santri
yang berasal dari berbagai daerah. Meski sudah mendatangkan banyak santri dari berbagai
daerah, Sunan Giri tetap tak segan untuk menjemput bola dan melakukan pengajaran secara
empat mata. Selain itu, Sunan Giri juga berusaha mendekati masyarakat. Misalnya dengan
mengumpulkan masyarakat di acara-acara slametan, upacara, dan lainnya. Lewat acara tersebut,
ajaran agama Islam disampaikan secara lembut dan mudah dipahami. Sunan Giri juga melakukan
dakwah dengan berkesenian. Sunan Giri kerap mamanfaatkan seni pertunjukan dalam
dakwahnya. Hal ini terbukti efektif menarik minat masyarakat. Dalam berkesenian, Sunan Giri
juga dikenal sebagai pencipta dari tembang-tembang Jawa seperti Asmaradhana dan Pucung,
kemudian Padang Bulan, Jor, Gula Ganti, dan permainan anak-anak Cublak-cublak Suweng.
Sunan Giri wafat pada tahun 1506 M dan dimakamkan di atas bukit di daerah Dusun Giri Gajah,
Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Gresik, Jawa Timur.
8. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir sekitar tahun 1400-an dari keluarga bangsawan Tuban, yakni dari
seorang bupati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta dan istrinya yang bernama Dewi
Nawangrum. Kala itu, nama kecil Beliau adalah Raden Sahid (dalam beberapa literatur, dieja
sebagai Raden Said). Berhubung Beliau ini adalah keturunan bangsawan, maka Beliau memiliki
sejumlah nama, sebut saja ada Lokajaya, Syaikh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Dalang Sida
Brangti, dan Raden Abdurrahman. Terkait akan asal-usul Beliau, ternyata terdapat dua pendapat
yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab dan
Jawa asli. Sementara pendapat lain yang didasarkan pada Babad Tanah Jawi, mengungkapkan
bahwa Sunan Kalijaga adalah orang Arab. Bahkan jika dirunut akan silsilah dari kakeknya,
Sunan Kalijaga masih memiliki silsilah dengan Abbad bin Abdul Muthalib, paman dari Nabi
Rasulullah SAW.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun, yakni sekitar
pertengahan abad ke-15 sampai akhir abad 16. Dengan demikian, Beliau juga telah mengalami
masa akhir dari kekuasaan Kerajaan Majapahit tepatnya pada 1478. Bahkan Beliau juga ikut
dalam upaya merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Sunan
Kalijaga kemudian wafat sekitar tahun 1680 pada usia 131 tahun. Beliau dimakamkan di Desa
Kadilangu yang terletak di Demak. Pada saat itu, masyarakat Indonesia ini masih memiliki
kepercayaan dinamisme, animisme, dan Budha. Sehingga strategi utama dalam proses
menyebarkan dakwah agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah berupa
menggunakan pertunjukan wayang. Kala itu, pertunjukan wayang sangat digemari oleh
masyarakat yang masih menganut kepercayaan agama lama. Mengingat ajaran Islam yang
hendak disampaikan kepada masyarakat memang harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga
mereka akan mudah dalam mengamalkan ajaran agama Islam.
Strategi dakwahnya diawali dengan mengajari masyarakat membaca kalimat syahadat
terlebih dahulu dengan hati ikhlas supaya mereka dapat masuk Islam secara agama. Kemudian
selama berdakwah, Sunan Kalijaga mengenalkan agama Islam kepada masyarakat melalui
pertunjukan wayang. Dengan kemampuannya menjadi berlakon wayang, Sunan Kalijaga
berdakwah menggunakan nama samaran, salah satunya adalah Ki Dalang Bengkok di daerah
Tegal. Meninggal: 1513, Kadilangu.
9. Sunan Kudus
Wafat
Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M. Beliau meninggal dalam keadaan yang sangat
diinginkan oleh setiap umat muslim. Sunan Kudus meninggal dunia dalam posisi sujud ketika
menjadi imam sholat subuh di masjid, tepatnya Masjid Menara Kudus. Beliau di makamkan di
area Masjid Menara Kudus. Sampai saat ini, banyak orang yang selalu datang untuk berziarah ke
makam beliau.
Sifat beliau yang penuh dengan kesabaran dan kebesaran hatinya terlihat dalam upaya beliau
dalam menyampaikan dakwah, sifat tersebut juga perlu dilestarikan untuk Umat Muslim. Hingga
saat ini, beliau adalah tokoh penting Islam yang merupakan panutan yang sangat dikenang
sampai detik ini oleh banyak orang.
Melalui kisah perjuangan Sunan Kudus dalam berdakwah menyebarkan agama Islam, terdapat
banyak sekali pelajaran yang dapat diambil hikmahnya dan dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari. Toleransi sesama umat beragama adalah hal yang sangat penting hingga detik ini untuk
menciptakan kehidupan masyarakat yang saling menghormati.