Pada masa politik etis ini, muncullah seorang wanita muda dari Jepara. Kartini
namanya. Ia putri bupati Jepara. Menurut tradisi yang berlaku di kalangan priyayi Jawa
waktu itu, anak perempuan ketika memasuki usia gadis harus dipingit. Oleh karenanya, ia
tidak dapat melanjutkan sekolahnya saat berusia 12,5 tahun. Ia harus keluar dari sekolah dan
berdiam di balik tembok rumah selama 4 tahun dalam masa pingitan. Sedangkan saudara
laki-lakinya dapat terus melanjutkan sekolah.
Kartini hanya dapat membaca buku-buku dan surat kabar yang ada. Dengan bahasa
Belanda yang telah dikuasainya, Kartini menyalurkan gairah, energi, dan kekecewaannya
lewat surat-surat yang ditulisnya kepada teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella,
Ny. Ovink-Soer, dan lainnya). Gagasan-gagasan utama dalam tulisannya adalah
meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik rakyat jelata maupun golongan atas.
Kartini juga menolak poligami yang dianggap merendahkan derajat perempuan serta
memperjuangkan monogami.
Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal
dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa
Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki.
Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia
sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali
mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia
25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H.
Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan
semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah
Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di
Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang
tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan
feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa
Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal
ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam
hubungan laki-laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini.