Anda di halaman 1dari 2

FEMINISME DI INDONESIA

Sebagaimana negeri-negeri Muslim seperti Mesir, Maroko, dan Pakistan, pengaruh


feminisme juga menyebar di Indonesia. Sejarah awal masuknya paham ini pun juga tidak
lepas dari penetrasi pengaruh Barat melalui politik kolonialnya terhadap negeri ini.
Memasuki abad 20, Belanda berhasil menaklukkan semua perlawanan bersenjata di
berbagai penjuru Indonesia. Masa ini kemudian dipandang sebagai zaman keemasan
penjajahan Belanda di Indonesia. Sebagai penakluk, Belanda menganggap bangsa mereka
sebagai guru bagi penduduk negeri jajahan mereka. Sementara itu, penduduk pribumi
dipandang sebagai orang yang belum beradab sehingga membutuhkan pengajaran bangsa
Barat. Dari sinilah kemudian muncul politik etis. Salah satu programnya adalah edukasi.

Kartini Sang Pahlawan Feminisme?

Pada masa politik etis ini, muncullah seorang wanita muda dari Jepara. Kartini
namanya. Ia putri bupati Jepara. Menurut tradisi yang berlaku di kalangan priyayi Jawa
waktu itu, anak perempuan ketika memasuki usia gadis harus dipingit. Oleh karenanya, ia
tidak dapat melanjutkan sekolahnya saat berusia 12,5 tahun. Ia harus keluar dari sekolah dan
berdiam di balik tembok rumah selama 4 tahun dalam masa pingitan. Sedangkan saudara
laki-lakinya dapat terus melanjutkan sekolah.

Kartini hanya dapat membaca buku-buku dan surat kabar yang ada. Dengan bahasa
Belanda yang telah dikuasainya, Kartini menyalurkan gairah, energi, dan kekecewaannya
lewat surat-surat yang ditulisnya kepada teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella,
Ny. Ovink-Soer, dan lainnya). Gagasan-gagasan utama dalam tulisannya adalah
meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik rakyat jelata maupun golongan atas.
Kartini juga menolak poligami yang dianggap merendahkan derajat perempuan serta
memperjuangkan monogami.

Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang,


walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini
rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya
anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan
pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat
“diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan
oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam
diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-
betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.

Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal
dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa
Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki.
Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia
sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali
mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia
25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H.
Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan
semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah
Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di
Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang
tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan
feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa
Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal
ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam
hubungan laki-laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini.

Masuknya Istilah Feminisme


Pada masa politik etis tadi, organisasi pergerakan wanita mulai muncul di negeri ini,
seperti Aisiyah (1920), Persatoean Perempuan Indonesea (1928) yang kemudian berganti
nama menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia, dan Organisasi Istri Sedar (1930).
Setelah Indonesia merdeka, Istri Sedar berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani). Pada 1955 muncul Organisasi Perempuan Islam dan Nasionalis, serta berbagai
kegiatan yang terikat pada partai politik dan gerakan keagamaan dalam bentuk Balai-balai
Perempuan, Bank-bank Perempuan, Surau Perempuan, Organisasi Perempuan serta Majalah
Perempuan. Selain itu, tahun 1954 lahir pula organisasi PERWARI (Persatuan Wanita
Republik Indonesia). Meskipun demikian, istilah feminisme belum dikenal di kalangan
organisasi-organisasi tadi.
Sebagai istilah baru, di Indonesia feminisme sudah dikenal sejak awal 1970-an,
terutama sejak tulisan-tulisan ilmiah tentang feminisme muncul di jurnal maupun surat kabar.
Akan tetapi sampai akhir tahun 1980-an, orang masih takut untuk mendengar istilah
feminisme. Baru di tahun 1990-an istilah feminisme –dan selanjutnya kaitan Islam dan
feminisme– mulai diterima banyak orang, khususnya sejak diterbitkannya beberapa buku
terjemahan terutama dari Riffat Hasan, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan Asghar Ali
Enginer. Wallahu a‘lam.

Anda mungkin juga menyukai