Anda di halaman 1dari 2

JAHILIYAH

Setiap kajian yang membahas tentang sejarah Islam atau sejarah perjalanan hidup
Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alayhi wa sallam biasanya dimulai dengan
pembicaraan mengenai masa jahiliyah atau masa pra-Islam. Hal ini adalah wajar dan
logis. Mengapa demikian? Pertama, memang harus dipelajari lingkungan tempat Islam
itu tumbuh. Islam di sini adalah Islam dalam arti khusus, yaitu agama yang Allah
turunkan kepada nabi terakhir (Nabi Muhammad) untuk seluruh umat manusia hingga
akhir zaman; bukan Islam dalam arti umum, yaitu agama yang Allah turunkan kepada
semua nabi dan rasul terdahulu yang berlaku secara terbatas untuk waktu dan tempat
tertentu. Kedua, harus dipelajari juga apa reaksi lingkungan tersebut terhadap
kemunculan Islam. Ketiga, harus dipahami pula apa perubahan besar yang dilakukan
Islam dalam lingkungan tersebut.
Umar bin Khatthab radhiyallâhu ‘anhu pernah berkata,

َ‫اهلِيَّة‬
ِ ‫ف اجْل‬
ِ
َ ‫ف اِْإل ْسالَ َم َم ْن مَلْ َي ْع ِر‬
ُ ‫الَ َي ْع ِر‬
Seseorang tidak bisa mengenal Islam apabila ia tidak mengenal jahiliyah.
Perkataan Umar ini benar, teliti, dan bijaksana serta berangkat dari pengalaman
dan pemikiran yang dalam. Umar berbicara mengenai pengalamannya pribadi untuk
menggambarkan betapa besarnya perubahan yang terjadi dalam dirinya dan dalam diri
orang-orang di sekitarnya ketika mereka berpindah dari jahiliyah ke Islam. Perkataan ini
berlaku untuk sejarah mana pun dan untuk manusia mana pun. Hakikat Islam tidak akan
jelas baginya sebelum jelas pula hakikat jahiliyah baginya.

Jahiliyah Belum Berakhir


Ada adagium dalam silabus sejarah yang dibuat oleh Margaret Dunlop Gibson
(1843-1920), seorang orientalis dari Skotlandia yang dikenal ahli dalam bahasa Semit,
yang berbunyi, “Orang-orang Arab pada masa jahiliyah suka menyembah patung dan
berhala, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, suka minum khamer (tuak) dan
main judi, suka merampok dan menodong. Lalu datang Islam untuk melarang semua itu.”
Ungkapan yang sangat halus ini sengaja dibuat dalam planning pendeta yang
datang ke Mesir pada masa pendudukan Inggris supaya dijadikan silabus pendidikan di
negeri Mesir yang Islam agar Mesir jauh dari hakikat Islam. Ungkapan ini tetap dipakai
pada masa-masa berikutnya, bahkan tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Maksud
yang terkandung di balik ungkapan tersebut adalah untuk menggambarkan bahwa misi
Islam telah selesai dan tidak ada lagi peranan yang bisa dilakukan Islam untuk kaum
Muslimin dan umat manusia lainnya.
Para pelajar Muslim ketika menoleh ke sekelilingnya tidak akan menemukan lagi
patung-patung sebagaimana yang disembah oleh orang Arab jahiliyah, sementara dalam
benaknya sudah tidak ada lagi bayangan mengenai penyembahan berhala ma‘nawi
(segala sesuatu yang berstatus berhala). Juga tidak terlintas lagi dalam benak mereka
peran apa yang bisa dimainkan Islam terhadap para penyembah berhala yang hakiki itu
sendiri, yang jumlahnya melebihi separuh jumlah manusia yang ada di dunia. Tidak akan
ditemukan lagi orang yang menguburkan anak perempuannya hidup-hidup, malah yang
ditemukan sebaliknya, anak-anak perempuan yang manja, lalai dan suka bermain. Jarang
lagi ditemukan serangan para perampok karena di setiap negeri sudah ada aparat
keamanan yang mencegah tindakan itu. Mengenai tuak dan judi, sudah tidak ada lagi
dalih untuk mengelak darinya karena agama telah mengharamkannya. Akan tetapi,
manusia masih banyak melanggar yang haram ini.
Demikianlah. Islam menurut mereka telah kehabisan misinya dan tidak mungkin
melakukan peran baru. Sementara itu, tanpa sadar di antara kita ada yang masih meniru
keinginan Dunlop sehingga mengantarkan umat ke tujuan orientalis ini. Oleh karena itu,
kita harus mengenal hakikat jahiliyah agar mengenal hakikat Islam dan apa perannya
dalam kehidupan manusia.

Hakikat Jahiliyah
Orang Arab menggunakan kata jahl dan pecahan-pecahannya untuk dua
pengertian. Pertama, jahl (bodoh) adalah lawan dari kata ‘ilm (mengetahui). Ini
menyangkut keadaan akal. Kedua, jahl adalah lawan dari kata hilm (sopan santun). Yang
ini menyangkut kejiwaan dan perilaku. Akan tetapi, mereka belum pernah menggunakan
kata jahiliyah dalam syair dan percakapan mereka. Kata ini baru dipergunakan pertama
kali dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan keadaan orang Arab sebelum Islam.
Menurut istilah Al-Qur’an, jahiliyah mempunyai dua makna. Pertama, tidak
mengenal hakikat Tuhan. Makna ini terdapat dalam QS Ali Imran: 154 dan Al-Fath: 26.
Kedua, tidak mengikuti aturan yang diturunkan Allah. Makna ini terdapat dalam QS Al-
Maidah: 50 dan Al-Ahzab: 33.
Jahiliyah bisa saja terulang kapan dan di mana pun apabila ada unsur dan sarana
pendukungnya. Menurut Ibnu Taimiyah, jahiliyah yang terjadi setelah diutusnya
Rasulullah disebut jahiliyah mutlak. Jahiliyah seperti ini mungkin terdapat di satu kota
dan tidak di kota lain, sebagaimana terjadi di negeri-negeri orang kafir. Mungkin ada
pada seseorang dan tidak pada yang lain, seperti seseorang sebelum ia masuk Islam. Ia ini
berada dalam keadaan jahiliyah walaupun berada di negeri Islam. Ada lagi yang disebut
jahiliyah muqayyad, yaitu jahiliyah yang terikat. Jahiliyah seperti ini mungkin terdapat di
sebagian negeri Islam dan pada kebanyakan kaum Muslim. (Disadur dari Perlukah
Menulis Ulang Sejarah Islam karya Muhammad Quthb, hlm. 51-59)

Anda mungkin juga menyukai