Anda di halaman 1dari 21

BAB III

‘IDDAH DAN IHDÂD BAGI LAKI-LAKI PERSPEKTIF MUBÂDALAH

FAQIHUDDIN ABDUL KODIR

A. Biografi Faqihuddin Abdul Kodir

1. Latar Belakang Keluarga

Faqihuddin Abdul Kodir adalah seorang feminis asal Cirebon. Ia

lahir pada 13 Desember 1971 di Susukan, Cirebon. Ibunya bernama Hj.

Kuriyah yang berasal dari Desa Kedongdong, Susukan, dan ayahnya

bernama H. Abdul Kodir yang berasal dari Desa Gintung Lor, Susukan,

Cirebon. Orang tuanya adalah santri yang sering dipercaya untuk mengurus

mushola kampung. Ayahnya adalah lulusan Pesantren Kempek, Cirebon.

Pada awalnya, ayah Faqihuddin berprofesi sebagai buruh tani, kemudian ia

menjadi pegawai honorer di Kantor Urusan Agama. Setelah itu, ayah

Faqihuddin diangkat menjadi PNS pada tahun 1965.

Faqihuddin adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Saudara-

saudaranya yaitu; Muhaimin, Muslih, Munawir, Muhammad, Mustofa,

Zaenal Muttaqin, dan Zakiyah.1 Faqihuddin menikah dengan Albi Mimin

Mu’minah dan telah memiliki empat orang anak, yaitu; Hasif, Isyqie,

Ghiats, dan Majda.2

2. Riwayat Pendidikan dan Karir


1
Nur Khalik Ridwan, Faqihuddin Abdul Kodir, Tokoh Muda NU Penggerak Majlis Mubadalah
yang Mendunia, [online], https://bangkitmedia.com/faqihuddin-abdul-kodir-tokoh-muda-nu-
penggerak-majlis-mubadalah-yang-mendunia/ diakses pada Kamis 30 Maret 2023 pukul 17.10
WIB.
2
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubâdalah, (Yogyakarta: IRCISOD, 2019), hlm. 21.
Faqihuddin menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN

Kedongdong pada pagi hari, sedangkan pada siang hari ia bersekolah di MI

Wathoniyah Gintung Lor. Menjelang maghrib, Faqihuddin pergi ke tajug

(mushola kampung) untuk shalat, mengaji, serta bersosialisasi dengan

masyarakat melalui kegiatan-kegiatan tajug. Faqihuddin lulus dari MI

Wathoniyah pada tahun 1983.3 Pada tahun 1986-1989, ia bersekolah di

Aliyah Nusantara Arjawinangun4 dan menjadi santri di Pesantren Dar Al-

Tauhid Arjawinangun yang diasuh oleh KH. Ibnu Ubaidillah Syatori dan

KH. Husein Muhammad sejak tahun 1983-1989.5

Faqihuddin belajar S1 di Damaskus, Syiria, dengan mengambil

double degree6 di Fakultas Da’wah Abu Nur (1990-1995) dan Fakultas

Syari’ah Universitas Damasku. Di Damaskus, ia belajar kepada Syekh

Ramadhan Al-Buthi, Syekh Wahbah, Muhammad Zuhaili, dan hampir setiap

Jumat mengikuti zikir dan pengajian ulama Naqsabandiyah, Syekh Ahmad

Kaftaro.7 Selain itu Faqihuddin juga berguru kepada Musthafa Al-Khin,

Musthafa Dib Al-Bugha, Bashir Al-Bani, dan Muhammad Al-Habasy.8

Di Damaskus ia aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan

Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) orsat Damaskus. Setelah

3
Nur Khalik Ridwan, Faqihuddin Abdul Kodir, Tokoh Muda NU Penggerak Majlis Mubadalah
yang Mendunia, [online], https://bangkitmedia.com/faqihuddin-abdul-kodir-tokoh-muda-nu-
penggerak-majlis-mubadalah-yang-mendunia/ diakses pada Kamis 30 Maret 2023 pukul 17.10
WIB.
4
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubâdalah, hlm. 21.
5
Ibid., hlm. 613.
6
Pengambilan dua gelar akademik dalam satu masa studi.
7
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubâdalah, hlm. 613.
8
Nur Khalik Ridwan, Faqihuddin Abdul Kodir, Tokoh Muda NU Penggerak Majlis Mubadalah
yang Mendunia, [online], https://bangkitmedia.com/faqihuddin-abdul-kodir-tokoh-muda-nu-
penggerak-majlis-mubadalah-yang-mendunia/ diakses pada Kamis 30 Maret 2023 pukul 20.54
WIB.
menyelesaikan pendidikan S1, ia mempelajari fikih dan ushul fikih pada

jenjang master di Universitas Khortoum, cabang Damaskus, tetapi pindah ke

Malaysia sebelum ia sempat menulis tesis. Jenjang S2 secara resmi diambil

di International Islamic University Malaysia, Fakultas Islamic Revealed

Knowledge and Human Scinces, tepatnya pada bidang pengembangan fikih

zakat (1996-1999). Di Malaysia, Faqihuddin dipercaya sebagai Sekretaris

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) pertama, lalu

mendaftar dan dapat mengikuti Muktamar NU di Kediri pada 1999.

Pada tahun 2000, Faqihuddin Kembali ke Indonesia dan aktif

mengikuti kerja-kerja sosial keislaman untuk pengembangan masyarakat,

terutama untuk memberdayakan perempuan. Selain itu ia juga bergabung

dengan Rahima Jakarta dan Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Ciganjur,

Cirebon. Kemudian bersama dengan KH. Husein Muhammad, Kyai Affandi,

dan Marzuki Wahid, ia mendirikan Fahmina Institute. Di Fahmina Institute,

ia menjadi direktur eksekutif selama sepuluh tahun pertama (2000-2009). Di

samping tiga lembaga tersebut, ia juga bergabung dengan Lembaga

Kemaslahatan Keluarga (LKK NU) Pusat dan dipercaya sebagai Sekretaris

Nasional Alimat (Gerakan Nasional untuk Keadilan Keluarga dalam

Perspektif Islam).

Faqihuddin aktif mengajar di IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, program

sarjana dan pasca sarjana Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, dan

Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islami, Babakan, Ciwaringin. Selain itu,

ia menjabat sebagai Wakil Direktur Ma’had ‘Aly Kebon Jambu, di mana


Ma’had ‘Aly ini khusus membahas permasalahan seputar fikih dan ushul

fikih dengan perspektif keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Sejak tahun

2000, ia menulis rubrik “Dirasah Hadits” di Swara Rahima, majalah yang

diterbitkan Rahima Jakarta untuk isu-isu pendidikan dan hak-hak

perempuan dalam Islam. Dari 53 nomor yang terbit, terdapat 39 tulisan

Faqihuddin bertema pemberdayaan perempuan dalam Islam.9

Sebagai seorang akademisi, Faqihuddin memiliki pemikiran dan

gagasan kunci yang sampai sekarang dipakai sebagai nilai dari Gerakan

KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), yakni qirâ’ah mubâdalah.

Mubâdalah diinisiasi oleh Faqihuddin sekitar tahun 2008-2009. Gagasan itu

lahir saat ia sedang menjalani jeda selama dua semester ketika ia belajar di

Australian National University, Camberra, Australia.10 Pada tahun 2009,

Faqihuddin mendaftar S3 di Indonesian Consortium for Religion Studies,

UGM Yogyakarta, dan lulus pada 2015 dengan disertasi yang berjudul

“Interpretasi Abu Syuqqah terhadap Teks-Teks Hadits untuk Penguatan

Hak-Hak Perempuan dalam Islam.11

Sejak tahun 2016, ia dipercaya sebagai anggota tim, kontributor

konsep dan buku, instuktur dan fasilitator “Bimbingan Perkawinan” yang di

gagas oleh kementrian Agama Republik Indonesia. Program ini

memfokuskan pada penguatan kemampuan para calon pengantin untuk

mewujudkan keluarga sakinah yang bertumpu pada relasi kesalingan,

9
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubâdalah, hlm. 613-614.
10
Vevi Alfi Maghfirah, Faqihuddin Abdul Kodir, [online], https://kupipedia.id/index.php/
Faqihuddin_Abdul_Kodir di akses pada Kamis 30 Maret 2023 pukul 20.54 WIB.
11
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubâdalah, hlm. 613-614.
kemitraan, dan kerja sama. Pada tahun tersebut, Faqihuddin mulai membuat

blog untuk memuat tulisan-tulisan tentang hak-hak perempuan dalam Islam,

di alamat www.mubadalah.com dan www.mubadalahnews.com. Saat ini,

blog tersebut telah berkembang menjadi platform bersama bagi gerakan

penulis dan penyebaran narasi keislaman untuk perdamaian dan

kemanusiaan, terutama kesalingan relasi laki-laki dan perempuan.

3. Karya-Karya

Faqihuddin memiliki banyak karya, baik yang ditulis secara mandiri

maupun kolektif. Berikut karya-karyanya yang ditulis secara mandiri dan

telah diterbitkan menjadi buku; Shalawat Keadilan: Relasi Laki-laki dan

Perempuan dalam Teladan Nabi (Cirebon: Fahmina, 2003), Bangga

Menjadi Perempuan: Perbincangan dari Sisi Kodrat dalam Islam (Jakarta:

Gramedia, 2004), Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Qur’an dan

Hadis (Yogyakarta: LKIS, 2005), Bergerak Menuju Keadilan: Pembelaan

Nabi terhadap Perempuan (Jakarta: Rahima,2006), Hadith and Gender

Justice: Understanding the Prophetic Traditions (Cirebon: Fahmina, 2007),

Mamba’ Al-Sa’âdah fî Usûs Husn Al-Mu’âsyarah fî Hayât Al-Zaujiyyah

(Cirebon: ISIF, 2012), Nabiy Al-Rahmah (Cirebon: ISIF dan RMS, 2013),

Al-Sittîn Al-‘Adliyyah (Cirebon: RMS, 2013), 60 Hadis tentang Hak-Hak

Perempuan dalam Islam: Teks dan Interpretasi (Yogyakarta: Graha

Cendekia, 2017), Pertautan Teks dan Konteks dalam Fiqh Mu’âmalâh: Isu

Keluarga, Ekonomi, dan Sosial (Yogyakarta: Graha Cendekia, 2017),

Menguatkan Peran dan Eksistensi Ulama Perempuan Indonesia: Rencana


Strategi Gerakan Keulamaan Perempuan Pasca KUPI (Cirebon: Fahmina,

2018).

Buku-Buku Faqihuddin yang ditulis bersama penulis lain adalah

Reinterpretasi Penggunaan ZIS (Jakarta: Pirac, 2004), Bukan Kota Wali:

Relasi Rakyat dan Negara dalam Pemerintahan Kota (Cirebon: Fahmina,

2005), Daurah Fiqh Concerning Women: A Manual on Islam and Gender

(Cirebon: Fahmina, 2006), Referensi bagi Hakim Pengadilan Agama

Mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga (Jakarta: Komnas Perempuan,

2008), Fiqh HIV and AIDS: Pedulikah Kita (Jakarta: PKBI, 2009), Ragam

Kajian Mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga (Cirebon: ISIF, 2012),

Gender and Equality in Muslim Family Law: Justice and Ethics in the Islam

Legal Process (London: I.B Tuaris, 2013). Modul Lokakarya: Perspektif

Keadilan dalam Hukum Keluarga Islam bagi Penguatan Perempuan Kepala

Rumah Tangga (Jakarta: Pekka dan Alimat, 2015), Modul Bimbingan

Perkawinan untuk Calon Pengantin (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2016),

Pondasi Keluarga Sakinah (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2016),

Interfaith Dilogue in Indonesia and Beyond (Geneva: Globalethics, 2017),

Menggagas Fiqh Ikhtilaf: Potret dan Prakarsa Cirebon (Cirebon: ISIF dan

Fahmina, 2018).12

4. Penghargaan dan Prestasi

Faqihuddin sering mendapatkan beasiswa pelatihan, kursus, dan

menjadi narasumber baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain;

12
Ibid., hlm. 614-616.
a. Course Program on Pluralism for Religious Leaders (April-Mei 2004)

yang diselenggarakan oleh Universitas Ohio, Amerika Serikat.

b. Workshop on Right at Home di Lebanon yang diselenggarakan oleh ISIM

Netherlands (22 Juni - 10 Juli 2004).

c. Peserta di Commonwealth Kolokium Asia tentang “Gender, Budaya, dan

Hukum” di Dhaka, Bangladesh (30-31 Oktober 2007).

d. Beasiswa satu tahun program Partnership in Islamic Education

Scholarships for Postgraduate Research Fellowship, The Australian

National University Canberra-Australia (Juli 2008 - Juni 2009).

e. Presentasi tentang “Emerging Sexual and Reproductive Health and

Rights is Islam in Indonesian Context” di Asia Pacific Conference on

Reproductive and Sexual Health (5th APCRSH) Beijing China (18-20

Oktober 2009).

f.Beasiswa dari Henry Luce Foundation untuk Sandwich Program of

Dissertation Research, Duke University North Caroline, USA (25

Agustus - 15 Desember 2012).13

B. Teori Mubâdalah Faqihuddin Abdul Kodir

1. Definisi Mubâdalah

Terdapat tiga makna mubâdalah menurut pemaparan Faqihuddin

dalam bukunya Qirâ’ah Mubâdalah, yaitu makna mubâdalah secara bahasa,

makna sebagai sebuah perspektif, dan makna sebagai suatu metode

pembacaan terhadap teks sumber Islam. Secara bahasa, kata mubâdalah


13
Vevi Alfi Maghfirah, Faqihuddin Abdul Kodir, [online], https://kupipedia.id/index.php/
Faqihuddin_Abdul_Kodir di akses pada Kamis 30 Maret 2023 pukul 20.54 WIB.
berasal dari kata kerja ‫ بَ َد َل‬yang berarti mengubah dan mengganti.14 kata

mubâdalah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja ‫ يُبَ ِاد ُل‬- ‫بَ َاد َل‬

yang mengikuti wazan (pola kata) ِ ‫ ي َف‬- ‫فَاع ل‬, maknanya berfungsi untuk
‫اع ُل‬ ُ ََ
saling bekerja sama antar dua pihak (musyârakah baina itsnain).15 Oleh

karena itu, kata mubâdalah berarti saling mengganti, saling mengubah, dan

saling menukar satu sama lain sebagaimana yang tertera juga dalam Al-

Mu’jâm Al-Washîth.16 Kamus modern Al-Maurîd, mengartikan mubâdalah

dengan beberapa makna, seperti reciprocate (saling memberi), barter (saling

menukar), dan repay (membayar kembali).17 Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kata kesalingan digunakan untuk hal-hal yang menunjukkan

makna timbal balik.18

Dari makna-makna tersebut, Faqihuddin mengembangkan istilah

mubâdalah sebagai sebuah perspektif dan pemahaman dalam relasi tertentu

antara dua pihak yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja

sama, kesalingan, timbal balik, dan prinsip resiprokal. Baik relasi antar

individu dengan individu, atau antar masyarakat. Baik skala lokal maupun

global. Namun, ia lebih memfokuskan pada kemitraan antara laki-laki dan

perempuan di ruang domestik maupun publik. Faqihuddin juga

14
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), hlm. 65.
15
Muhammad Ma’sum Al-Kamil, Al-Amtsilah At-Tashrîfiyyah, (Surabaya: Maktabah Salim An-
Nabhan, t.th), hlm. 14-15.
16
Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyyah, Al-Mujam Al-Washîth, (Kairo: Maktabah Al-Syurûq Al-
Dauliyyah, 2004), hlm. 44.
17
Rohi Baalbaki, Al-Maurîd Qâmûs ‘Arabi-Inkilizi, (Beirut: Dâr Al-‘Ilm li Al-Malâyîn, 1995)
18
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, hlm. 856.
menggunakan istilah mubâdalah sebagai sebuah metode interpretasi

terhadap teks-teks sumber Islam yang meniscayakan laki-laki dan

perempuan sebagai subjek yang setara, yang mana keduanya sama-sama

disapa oleh teks dan harus tercakup dalam makna yang terkandung di dalam

teks.19

2. Latar Belakang Teori Mubâdalah

Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa turunnya wahyu telah

berakhir sejak nabi Muhammad l wafat, dan ini menunjukkan bahwa nash

syar’i (teks sumber Islam) itu terbatas jumlahnya. Akan tetapi permasalahan

manusia terus berkembang dan tidak ada batasnya (ghairu mutanâhiyah).

Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk menyelesaikan dan menjawab

permasalahan manusia dengan cara berijtihad.20 Hal ini sama dengan apa

yang dikatakan oleh Al-Syahrastani dalam kitabnya, Al-Milal wa An-Nihal

yang dikutip oleh Faqihuddin dalam buku Qirâ’ah Mubâdalah.21 Realita ini

lah yang menginspirasi Faqihuddin untuk melakukan interpretasi terhadap

Al-Qur’an dan hadits.

Selain realita tersebut, Faqihuddin juga menyebutkan dua faktor

yang melatari teori mubâdalah, yaitu faktor sosial dan bahasa. Faktor sosial

itu terkait dengan cara pandang masyarakat yang lebih banyak

menggunakan pengalaman laki-laki dalam memaknai agama. Menurutnya,

tafsir keagamaan mainstream lebih banyak disuarakan dengan cara pandang

19
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubâdalah, hlm. 59-60.
20
Muhammad Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut: Dâr Al-Fikr, 2005),
hlm. 160-161.
21
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubâdalah, hlm. 118-119.
laki-laki di kalangan masyarakat, sedangkan perempuan hanya dianggap

sebagai pelengkap bagi laki-laki.22 Artinya, Faqihuddin berpendapat bahwa

tafsir yang tersebar sekarang ini adalah tafsir yang banyak mengandung

ketimpangan gender karena lebih mengakui eksistensi laki-laki dan

mengesampingkan perempuan.

Sebagai bukti, Faqihuddin menghadirkan beberapa tafsir yang

dianggap sebagai tafsir keagamaan mainstream. Salah satu contohnya

adalah penafsiran bahwa kelak di surga laki-laki akan mendapatkan

bidadari-bidadari. Lantas apa yang diperoleh perempuan di surga? Biasanya

akan dijawab bahwa istri dari laki-laki tersebut akan bersama para bidadari

untuk melayani suaminya.23 Ia berpandangan bahwa pertanyaan mengenai

apa yang diperoleh perempuan di surga nanti, biasanya akan diajukan

kepada laki-laki sekaligus dijawab juga oleh laki-laki. Penafsiran mengenai

surga akhirnya diserap dari pengetahuan, perasaan, dan pengalaman laki-

laki. Hal tersebut lah yang menurutnya akan menimbulkan sikap dan

pernyataan keagamaan yang lebih banyak melayani kebutuhan, harapan, dan

cara pandang laki-laki.24

Faktor kedua adalah faktor bahasa. Sebagaimana telah diketahui,

bahasa Arab sebagai bahasa yang digunakan teks-teks sumber Islam adalah

bahasa yang membedakan redaksi untuk laki-laki dan perempuan pada

semua jenis kata. Perbedaan tersebut baik dalam kata benda, kata kerja,

bahkan kata ganti, dalam bentuk tunggal, dua, maupun plural. Dengan
22
Ibid., hlm. 104.
23
Ibid., hlm. 40-41.
24
Ibid., hlm. 105.
karakter bahasa Arab tersebut, Faqihuddin menyebut bahasa Arab sebagai

bahasa yang bias gender. Faqihuddin mengatakan bahwa kenyataannya,

hampir semua redaksi ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan redaksi laki-laki

(mudzakkar)25 dan melupakan peran-peran yang dilakukan perempuan. Hal

tersebut pada akhirnya akan menyumbangkan tafsir yang tidak adil gender. 26

Oleh karena itu, ia menggagas teori mubâdalah-nya tersebut, agar laki-laki

dan perempuan sama-sama menjadi subjek yang disapa oleh teks-teks

sumber Islam.

3. Landasan Teori Mubâdalah

Faqihuddin membangun teori mubâdalah di atas beberapa landasan

sebagai berikut;

Pertama, Pendekatan Eksplisit (Tashrîh). Dalam bukunya Qirâ’ah

Mubâdalah, Faqihuddin mengemukakan beberapa landasan yang diambil

dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan laki-laki dan perempuan secara

eksplisit dalam redaksinya, di antaranya adalah QS. Al-Hujurat [49]: 13,

QS. At-Taubah [9]: 71, dan QS. Ali ‘Imran [3]: 195. Dalam ayat-ayat

tersebut terdapat kata-kata yang menggunakan bentuk kerja sama (sighat

musyârakah) seperti, kata ta’ârafû (saling mengenal) dalam QS. Al-Hujurat

[49]: 13, ba’dhuhum auliyâu ba’dh (sebagian mereka adalah penolong

sebagian yang lain) dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 195, dan ba’dhukum min

ba’dh dalam QS. At-Taubah [9]: 71. Ayat-ayat di atas menurut Faqihuddin,
25
Ibid., hlm. 111-112.
26
Faqihuddin Abdul Kodir, “Mafhum Mubadalah: Ikhtiar Memahami Qur’an dan Hadits untuk
Meneguhkan Keadilan Resiprokal Islam dalam Isu-Isu Gender”, Makalah Seminar Nasional
Mafhum Tabadul (Resiprokal) Al-Qur’an dan Hadits dalam Studi Gender, Yogyakarta, 16-17
Oktober 2015, hlm. 1.
memberikan inspirasi yang jelas mengenai pentingnya relasi kerja sama dan

kesalingan antar manusia.27

Selain dari Al-Qur’an, ia juga menyebutkan beberapa hadits yang

menurutnya menyebutkan laki-laki dan perempuan secara eksplisit, serta

mengajarkan kesalingan, kesetaraan, dan kerja sama antara keduanya. 28

Hadits-hadits tersebut antara lain yaitu;

ِّ ‫ِّساءُ َش َقاِئ ُق‬


.)‫الر َج ِال‬ ‫ِ َّ ِإمَّن‬ َّ َ ‫ قَ َال َر ُس ْو ُل اهلل‬:‫ت‬
َ ‫ ( َا الن‬:‫صلى اهلل َعلَْيه َو َسلم‬
‫ِئ‬
ْ َ‫َع ْن َعا َشةَ قَال‬

Diriwayatkan dari ‘Aisyah i ia berkata, Rasulullah g bersabda,


“Sesungguhnya perempuan itu saudara kandung (mitra sejajar) laki-laki.”
(HR. Abu Dawud no. 236)29

‫(رِح َم اهللُ َر ُجالً قَ َام‬ ِ


َ :‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّم‬
ِ ِ
َ ‫ قَ َال َر ُس ْو ُل اهلل‬:‫َع ْن َأيِب ْ ُهَرْي َرةَ َرض َي اهللُ َعْن هُ قَ َال‬

‫ت ِم َن‬ ِ
ْ ‫ َرح َم اهللُ ْام َرَأًة قَ َام‬،َ‫ض َح يِف َو ْج ِه َه ا امل اء‬ ْ َ‫ فَ ِإ ْن َأب‬،ُ‫ظ ْامَرَأتَ ه‬
َ َ‫ت ن‬ َ ‫ص لَّى َو َْأي َق‬
َ َ‫ِم َن اللَّْي ِل ف‬
َ

.)َ‫ت يِف َو ْج ِه ِه املاء‬ َ َ‫ فَِإ ْن َأىَب ن‬،‫ت َزْو َج َها‬


ْ ‫ض َح‬ ْ َّ‫صل‬
ْ َ‫ت َو َْأي َقظ‬ َ َ‫اللَّْي ِل ف‬

Dari Abu Hurairah h berkata, Rasulullah g bersabda, “Semoga Allah


menurunkan rahmat kepada seorang laki-laki yang bangun pada malam
hari kemudian shalat. Lalu ia membangunkan istrinya. Apabila istrinya
menolak bangun, ia akan memercikkan air ke wajah istrinya. Semoga Allah
juga menurunkan rahmat kepada seorang perempuan yang bangun pada
malam hari kemudian shalat. Lalu ia membangunkan suaminya. Apabila
suaminya menolak bangun, ia akan memercikkan air ke wajah suaminya.”
(HR. Abu Dawud no. 1308)30

27
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirâ’ah Mubâdalah, hlm. 60-65.
28
Ibid., hlm. 90.
29
Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2015), hlm. 51.
30
Ibid., hlm. 214.
Ayat dan hadits yang dalam redaksinya menyebutkan laki-laki dan

perempuan secara eksplisit sangat banyak jumlahnya. 31 Eksplisitas dalam

ayat-ayat dan hadits-hadits ini lah yang kemudian dijadikan Faqihuddin

sebagai kaidah umum, bahwa laki-laki dan perempuan harus inklud dalam

semua ayat sebagai subjek yang diajak bicara oleh ayat.32 Menurutnya,

dengan struktur bahasa Arab yang membedakan laki-laki dan perempuan,

dan lebih banyak menggunakan struktur maskulin (mudzakkar), menjadi

sangat penting untuk memasukkan perempuan secara eksplisit dalam teks-

teks sumber Islam yang semuanya menggunakan bahasa Arab. Pendekatan

yang menyebutkan laki-laki dan perempuan secara eksplisit inilah yang ia

sebut dengan pendekatan Tashrîh (eksplisit) atau pendekatan eksplisit

gender.33

Kedua, Pendekatan Implisit (Taghlîb). Sebagaimana yang telah

disebutkan, Faqihuddin mengatakan bahwa hampir semua kata dan kalimat

dalam teks-teks sumber Islam menggunakan bentuk maskulin. Dalam

bentuk maskulin tersebut, sebenarnya secara implisit telah mencakup

perempuan di dalamnya. Artinya, ayat dan hadits tersebut bermakna umum.

Seperti pada pendekatan eksplisit, Faqihuddin menggunakan keumuman ini

untuk dijadikan kaidah umum dan akan ia terapkan pada seluruh teks-teks

sumber Islam. Ia Mengatakan bahwa bahwa teks-teks Islam yang

menggunakan redaksi laki-laki harus dibaca dengan kesadaran penuh,

31
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirâ’ah Mubâdalah, hlm. 89.
32
Ibid., hlm. 95.
33
Ibid., hlm. 81.
bahwa perempuan juga menjadi subjek.34 Pendekatan yang secara implisit

menyebutkan perempuan dalam teks-teks sumber Islam inilah yang ia sebut

sebagai pendekatan implisit atau taghlîb.35

Sebagai contoh, Faqihuddin menyebutkan beberapa ayat dan hadits

yang menganjurkan untuk saling menolong dan bekerja sama, serta

menggunakan redaksi umum yang secara implisit menyebutkan perempuan.

Dari Al-Qur’an ia menyebutkan di antaranya QS. Al-Maidah [5]: 2 dan QS.

Al-Anfal [8]: 72.36 Adapun landasan dari hadits, di antaranya yaitu,

ُّ ِ‫يه َم ا حُي‬
‫ب‬ ِ ‫َأِلخ‬
ِ ‫ب‬ َّ ِ‫ َحىَّت حُي‬،‫َأح ُد ُك ْم‬ ِ ِ
َ ‫ (الَ يُ ْؤ م ُن‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم قَ َال‬ ٍ َ‫َع ْن َأن‬
َ ِّ ‫س َع ِن النَّيِب‬

َ‫ (ال‬:‫ ويِف ِرَوايَ ِة َأمْح َ د‬،)‫ب لَِن ْف ِس ِه‬


ُّ ِ‫ َم ا حُي‬- ‫ جِلَ ا ِرِه‬:‫(َأو قَ َال‬ ِ ِ ِِ ِ
ْ :‫ ويِف ِرَوايَ ة ُم ْس ل ِم ِزيَ َادة‬،)‫لَن ْفس ه‬

.)‫ب لَِن ْف ِس ِه‬ ِ ‫ب لِلن‬


ُّ ِ‫َّاس َما حُي‬ َّ ِ‫ َحىَّت حُي‬،‫َأح ُد ُك ْم‬ ِ
َ ‫يُْؤ م ُن‬

Diriwayatkan dari Anas h, dari nabi g bersabda, “Tidaklah sempurna


iman seseorang di antara kamu, sehingga mencintai sesuatu untuk
saudaranya sebagaimana ia mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri.”
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “atau beliau bersabda: ‘untuk
tetangganya, sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri.” Dan pada
riwayat Ahmad redaksinya berbunyi, “tidaklah sempurna iman seseorang di
antara kamu, kecuali mencintai sesuatu untuk orang lain sebagaimana ia
mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13, Muslim
no. 71, dan Ahmad no. 13875)37

34
Ibid., hlm. 112-115.
35
Ibid.
36
Ibid., hlm. 61-62.
37
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahîh Al-Bukhâri, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah,
2014), Juz. 1, hlm. 11; Imam Muslim, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2011),
Juz. 1, hlm. 74; dan Ahmad bin Hanbal, Musnad Al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasah
Al-Risâlah, 2001), Juz. 21, hlm. 353.
Dari hadits di atas, Faqihuddin juga menyimpulkan bahwa hadits

Anas bin Malik tersebut berisi penegasan tentang ajaran kesalingan sebagai

tolok ukur keimanan. Lebih sederhananya hadits tersebut bermakna,

“Bahwa seseorang akan dianggap beriman, jika sudah mencintai sesuatu

untuk orang lain sebagaimana ia mencintai sesuatu itu untuk dirinya

sendiri.”38

Landasan ketiga adalah tauhid. Menurut Faqihuddin,

memproklamasikan ketauhidan berarti menyatakan pengakuan akan keesaan

Allah dan menyatakan kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Oleh sebab itu,

konsep mubâdalah memiliki keterkaitan yang kuat dengan ajaran tauhid.

Sebab, konsep dasar mubâdalah adalah kesetaraan dan keadilan dalam relasi

manusia.

Pada dasarnya, Faqihuddin terinspirasi oleh Aminah Wadud39 dalam

menjadikan tauhid sebagai landasan teorinya. Sistem sosial patriarki40 yang

memusatkan eksistensi, pemikiran, pengetahuan, dan cara bertindak pada

satu golongan semata dan menafikan yang lain, termasuk dari tindakan

menyekutukan Allah. Sebab, ia bertentangan dengan kesetaraan dan

keadilan yang terkandung dalam tauhid.41

38
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirâ’ah Mubâdalah, hlm. 85.
39
Aminah Wadud. Ia adalah seorang feminis muslim yang terlahir dengan nama Maria Teasley di
Maryland, Amerika Serikat, pada 25 September 1952. Ia lahir dari keluarga penganut Kristen yang
taat. Karena ketertarikannya dengan Islam, khususnya dalam konsep keadilan gender, ia masuk
Islam pada tahun 1972. Ia memiliki teori penafsiran Al-Qur’an yang banyak menimbulkan
kontroversi di kalangan umat Islam.
40
Lawan dari kesalingan (resiprositi atau mubâdalah).
41
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirâ’ah Mubâdalah, hlm. 95-96.
4. Premis42 Dasar Teori Mubâdalah

Kerja metode mubâdalah adalah bagaimana mengungkap pesan

utama dari suatu teks, baik yang berbentuk umum tapi bias salah satu

gender, atau yang khusus laki-laki (mudzakkar) dan perempuan tidak disapa,

maupu perempuan (muannats) saja dan laki-laki tidak disapa, sehingga

pesan utama dari teks tersebut dapat diaplikasikan pada laki-laki dan

perempuan.

Faqihuddin menjelaskan bahwa metode pemaknaan mubâdalah

didasarkan pada tiga premis berikut,

Pertama, bahwa Islam hadir untuk laki-laki dan perempuan,

sehingga teks wahyunya juga harus menyapa keduanya. Hukum-hukumnya

juga datang untuk memberikan kemaslahatan bagi keduanya.

Kedua, bahwa prinsip relasi antara laki-laki dan perempuan adalah

kerja sama dan kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan.

Ketiga, bahwa teks-teks sumber Islam itu terbuka untuk dimaknai

ulang agar memungkinkan kedua premis sebelumnya tercermin dalam setiap

kerja interpretasi.

Premis dasar mubâdalah tersebut pada akhirnya akan mengantarkan

kepada pembagian teks-teks sumber Islam ke dalam tiga kelompok.

Pertama, al-mabâdi’. Yaitu kelompok teks yang memuat ajaran

fundamental.43 Kedua, al-qawâ’id. Yaitu kelompok teks yang memuat


42
Premis atau asumsi adalah pernyataan mengenai apa yang dianggap benar sebagai landasan
kesimpulan. Lihat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
[online], https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/premis diakses pada Minggu 14 Mei 2023 pukul
13.00.
43
Contoh dari al-mabâdi’ adalah teks-teks tentang keimanan, ketakwaan, balasan amal bagi siapa
pun tanpa membedakan jenis kelamin, kenikmatan surga bagi siapa pun yang beriman dan beramal
ajaran prinsip tematikal.44 Ketiga, al-juz’iyyât.45 Yaitu kelompok teks yang

membicarakan ajaran dan norma yang bersifat implementatif dan

operasional.

Menurut Faqihuddin, pembagian teks ini sangat penting sebelum

memulai kerja interpretasi mubâdalah. Sebab, metode interpretasi

mubâdalah sebagian besar bekerja di kelompok al-juz’iyyât. 46

5. Cara Kerja Teori Mubâdalah

Cara kerja metode pemaknaan mubâdalah terhadap teks-teks sumber

Islam terdiri dari tiga langkah yang perlu dilalui. Pertama, menemukan dan

menegaskan prinsip-prinsip ajaran Islam dari teks yang bersifat universal

sebagai pondasi pemaknaan. Baik prinsip yang bersifat umum melampaui

seluruh tema (al-mabâdi) maupun bersifat khusus untuk tema tertentu (al-

qawâ’id). Prinsip-prinsip ini menjadi landasan inspirasi pemaknaan seluruh

rangkaian metode mubâdalah.

Sesuatu yang dikatakan prinsip adalah ajaran yang melampaui

perbedaan jenis kelamin. Misalnya, ajaran mengenai keimanan yang

menjadi pondasi setiap amal, bahwa amal kebaikan akan dibalas pahala dan

kebaikan tanpa melihat jenis kelamin, tentang keadilan yang harus

shalih, dan lain sebagainya. Lihat Faqihuddin Abdul Kodir, Qirâ’ah Mubâdalah, hlm. 197-198.
44
Contoh dari al-qawâ’id misalnya teks-teks yang bertema pernikahan dan relasi antara suami dan
istri, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang saling memberi kenyamanan (tarâdhin), saling
memperlakukan dengan baik (mu’âsyarah bi al-ma’rûf), saling berembuk bersama (musyâwarah),
dan lain sebagainya. (Ibid.)
45
Contoh dari al-juz’iyyât adalah teks dan produk hukum tentang relasi laki-laki dan permpuan
yang bersifat implementatif dan kasuisik. Misalnya adalah peran-peran yang harus dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan. Hal-hal yang termasuk al-juz’iyyât ini harus selalu dipastikan selaras
dengan al-mabâdi’ dan al-qawâ’id. (Ibid.)
46
Ibid., hlm. 195-196.
ditegakkan, tentang kemaslahatan dan kerahmatan yang harus ditebarkan,

kerja keras, bersabar, bersyukur, ikhlas, dan tawakal adalah baik dan

diapresisasi oleh Islam.

Pesan utama pada ayat-ayat prinsip ini, baik yang al-mabâdi maupun

al-qawâ’id, harus dipastikan masuk menjadi pondasi dalam proses

pemaknaan teks-teks yang parsial (al-juz’iyyât). Untuk ayat-ayat prinsip,

cukup dengan menemukan gagasan-gagasan utama dalam teks yang menjadi

basis kesalingan, keseimbangan, dan keadilan relasi antara laki-laki dan

perempuan (hanya menegaskan kesubjekan laki-laki dan prempuan.

Langkah kedua, yaitu menemukan gagasan utama yang terekam

dalam teks-teks yang akan kita interpretasikan. Langkah kedua ini, secara

sederhana, bisa dilakukan dengan menghilangkan subjek dan objek yang

ada di dalam teks. Lalu, predikat dalam teks menjadi makna atau gagasan

yang akan di-mubâdalah-kan antara dua jenis kelamin.

Ketiga, menurunkan gagasan yang ditemukan dari teks (yang lahir

dari proses langkah kedua) kepada jenis kelamin yang tidak disebutkan

dalam teks. Dengan demikian, teks tersebut tidak berhenti pada satu jenis

kelamin semata, tetapi juga mencakup jenis kelamin lain.47

C. ‘Iddah bagi Laki-Laki Perspektif Mubâdalah Faqihuddin Abdul Kodir

Menurut Faqihuddin, salah satu teks yang hanya menyinggung satu

jenis kelamin yaitu teks yang menjelaskan tentang ‘iddah, yaitu masa tunggu

untuk tidak boleh menikah bagi perempuan yang dicerai atau ditinggal mati

47
Ibid., hlm. 200-202.
oleh suami. Jika maksud dari ‘iddah ini bertujuan untuk ibadah atau

berhubungan dengan rahim saja, tentu ketentuan ini tidak bisa di-mubâdalah-

kan. Sebab pihak yang mengandung hanya perempuan saja. Akan tetapi jika

‘iddah juga bertujuan untuk memberi waktu untuk berfikir dan refleksi,

sekaligus memberi kesempatan agar pasangan bisa kembali, maka tentu bisa

diberlakukan teori mubâdalah.

Menurut Faqihuddin, walaupun ‘iddah tidak bisa di-mubâdalah-kan,

menggunakan hukum fikih, ‘iddah bisa di-mubâdalah-kan menggunakan

etika fikih. Artinya, laki-laki secara moral juga bisa dianjurkan memiliki jeda

dan tidak melakukan pendekatan kepada perempuan yang lain. Begitu juga

dengan perempuan lain agar tidak melakukan pendekatan dengan laki-laki

tersebut, agar jika sang istri yang diceraikannya ingin kembali, atau laki-laki

itu sendiri yang ingin kembali, maka prosesnya akan lebih mudah.

Menurut Faqihudin, kesiapan psikologis perempuan yang dicerai akan

lebih mudah untuk kembali kepada suami yang tidak melakukan pendekatan

dengan perempuan lain. Ini berbeda jika suami memiliki hubungan dengan

perempuan lain, tentu akan lebih sulit untuk bisa kembali lagi.

Jika perempuan yang bercerai dan menjalani ‘iddah dilarang bersolek

yang bisa mempesona laki-laki lain, maka laki-laki yang mencerai juga

dilarang secara moral untuk melakukan hal-hal yang bisa memesona

perempuan lain. Tujuannya, agar memudahkan kesiapan psikologis dari

masing-masing pihak untuk terbuka dan kembali kepada ikatan pernikahan

semula.
Begitu juga terkait ‘iddah istri yang ditinggal mati oleh suaminya.

Disamping untuk mengosongkan kehamilan, juga sebagai penghormatan

terakhir istri kepada suami sekaligus bentuk cinta kepadanya dan

keluarganya. Karena Tujuan-tujuan ini lah, sebaiknya suami yang ditinggal

mati oleh istrinya untuk tidak melakukan pendekatan dengan perempuan lain

atau bahkan menikahinya sampai selesai 4 bulan 10 hari. Ini merupakan suatu

bentuk penghormatan kepada istri yang telah meninggal dan keluarganya.

Menurut Faqihuddin, menghormati seseorang yang telah berjasa dalam

hidupnya, merupakan suatu hal yang baik dan seharusnya dilakukan oleh laki-

laki dan perempuan.

Faqihuddin juga memandang bahwa isu larangan keluar rumah bagi

perempuan yang sedang menjalani ’iddah dan ihdâd itu kurang tepat.

Menurutnya, makna yang terkandung dalam QS. Ath-Thalaq [65]: 1 yang

lebih tepat adalah dilarang mengeluarkan perempuan tersebut dari rumah.

Sebab, anjuran untuk tidak mengeluarkan perempuan dari rumah adalah

untuk kepentingan suami dan istri. Artinya, sasaran dari ayat tersebut adalah

kedua belah pihak, yaitu agar tidak saling mengeluarkan karena merasa sudah

bercerai. Ini dimaksudkan untuk mempermudah rekonsiliasi karena masih

berada dalam satu rumah.

Adapun yang dilarang adalah membuka kemungkinan kepada laki-laki

lain yang dapat mengganggu proses rekonsiliasi, dan keluar rumah sering kali

menjadi media bagi hal tersebut. Menurut Faqihuddin, inilah persoalannya,

dan persoalan tersebut bersifat mubâdalah. Artinya, laki-laki juga dilarang


untuk melakukan pendekatan dengan perempuan lain selama masa ‘iddah

agar suami dan istri lebih mudah untuk kembali (rujû’). Ia mendukung

pendapatnya pendapatnya tersebut dengan menukil hadits Jabir h yang

mengisahkan tentang Rasulullah g yang mengizinkan bibi sahabat Jabir untuk

keluar memetik kurma padahal ia sedang menjalani ‘iddah. Menurutnya,

hadits ini menunjukkan bahwa wanita yang menjalani ‘iddah tidak dilarang

untuk keluar rumah.48

48
Ibid., hlm. 426-431.

Anda mungkin juga menyukai