Anda di halaman 1dari 11

Diskusi Ilmiah

KONSEKUENSI BAGI PENUNDA QODHO’ PUASA RAMADHAN HINGGA TIBA


RAMADHAN BERIKUTNYA

Disusun Oleh:

ATIKAH

NIM: 021.016.0393

Dipresentasikan pada:

Ahad, 19 Maret 2023

PROGRAM STUDI ISLAM JURUSAN FIKIH DAN USHUL FIKIH

MA’HAD ‘ALY HIDAYATURRAHMAN

SRAGEN

2023
KONSEKUENSI BAGI PENUNDA QODHO’ PUASA RAMADHAN HINGGA TIBA
RAMADHAN BERIKUTNYA

I. PENDAHULUAN
Berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf1.
Adapun bagi yang tidak bisa mengerjakannya karena alasan yang dibenarkan syar’i
seperti sakit, safar dan lain sebagainya terdapat rukhshah2 bagi mereka berupa
menggantinya di luar bulan Ramadhan dan membayar fidyah.3 Menangguhkan qodho’
puasa Ramadhan diperbolehkan selama bulan Ramadhan berikutnya belum tiba.
Lantas bagaimana dengan mereka yang tidak atau tidak mampu mengerjakan qodho’
puasa Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya? Hal ini masih menjadi pertanyaan bagi
masyarakat umum. Bahkan beberapa dari mereka masih ada yang menggampangkan
masalah ini. Oleh karena itu topik pembahasan tersebut cukup menarik untuk dibahas
karena dirasa urgent bagi masyarakat kita. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca sekalian, dan bisa membuka wawasan kita semua.

II. PEMBAHASAN
A. Definisi
1. Qodho’
Istilah qodho’ bukan termasuk kata baku bahasa Indonesia. Kata qodho’

diambil dari bahasa arab. Qodho’ (‫ضاء‬


َ َ‫ )ق‬merupakan masdar dari ِ ‫ ي ْق‬-‫ضى‬
-‫ضي‬ َ َ َ‫ق‬
ِ َ‫ ق‬-‫ضاء‬
‫ضيَّة‬ َ َ‫ ق‬yang artinya membayar atau melaksanakan. Adapun secara istilah
4 5

qodho’ bermakna melakukan sebuah kewajiban di luar waktu yang telah


ditetapkan6.


Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi ilmiah Ma’had Aly Hidayaturrahman pada Ahad, 19 Maret
2023.
1
Orang yang dibebani atau dikenai hukum syar’i
2
keringanan
3
Denda atau tebusan
4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), cet. 1, hlm. 1130
5
Ibrahim Musthafa, dkk. Al-Mu’jam Al-Wasîth, (Kairo:Al-Maktabah Al-Islamiyah, 201), hlm. 777
6
Muhammad Amin bin Abidin, Hasyiyyah Ibnu Abidin, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2016), jilid 2, hlm, 656

1
2. Puasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan shaum (‫الص ْوم‬


ّ ) yang merupakan
bentuk masdar dari ‫ص ْوما‬-
َ ‫يَص ْوم‬-‫ص َام‬
َ yang artinya menahan, mengekang7 atau

meninggalkan makan, minum, bersetubuh dan berbicara,8 dan bepergian9 .Secara


istilah arti dari puasa adalah menahan dari segala yang membatalkan puasa
dengan tujuan tertentu.10
Puasa menurut madzhab Hanafi adalah menahan dari perbuatan khusus
seperti makan, minum, dan bersetubuh dengan syarat-syarat khusus.11 Menurut
madzhab Maliki puasa berarti menahan dari syahwat perut dan kemaluan di
sepanjang siang disertai niat.12 Adapun menurut madzhab Syafi’i puasa berarti
menahan diri secara khusus dari sesuatu tertentu pada waktu tertentu bagi orang
tertentu.13 Sedangkan menurut madzhab Hanbali puasa merupakan sebuah
ungkapan dari menahan diri dari sesuatu tertentu dengan tujuan tertentu.14
Adapun puasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan
salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan,
minum, dan segala yg membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam
matahari.15

B. Landasan Hukum
1. Al-Qur’an
Mayoritas ulama mengistinbatkan hukum terkait penundaan qodho’
puasa Ramadhan berdasarkan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 184,

7
Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir..., hlm. 804
8
Jamaluddin Muhammad bin Mukrim bin Manzhur Al-Anshari, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2009), jilid 12. Hlm. 407
9
Wazarah Al-Auqaf wa Al-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, (Kuwait: t.p, 1993), jilid
28, hlm. 7
10
Ibid.
11
Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud Al-Kasani, Badai’ Al-Shanai’, (Mesir: Syirkah Al-Mathbu’at Al-
Ilmiyah, 1327 H), jilid 2, hlm. 75
12
Muhammad bin Ahmad bin Arafah Al-Dasuki, Hasyiyyah Al-Dasuki ‘ala Syarh Al-Kabir, (ttp: Dar Al-
Fikr, t.t), jilid 1, hlm. 509
13
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2011), cet. 2, jilid 7, hlm. 301
14
Alauddin Abu Al-Hasan Ali bin Sulaiman Al-Mardawi, Al-Inshaf fi Ma’rifah Al-Rajih min Al-Khilaf,
(Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-Arabi, 1955), cet. 1, jilid 3, hlm, 334
15
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/puasa diakses pada 12
Maret 2023 pukul 10.11

2
‫ٰت فَ َم ْن َكا َن ِمْنك ْم َّم ِريْضا اَْو َع ٰلى َس َف ٍر فَعِ َّدةٌ ِّم ْن اَََّّيٍم ا َخَر َو َعلَى الَّ ِذيْ َن‬
ٍ ‫اَََّّيما َّمعدود‬
ْ ْ
‫ع َخ ْْيا فَه َو َخ ْْيٌ لَّه َواَ ْن تَص ْوم ْوا َخ ْْيٌ لَّك ْم اِ ْن كْن ت ْم‬ ٍ‫ي ِطْي ق ْونَه فِ ْديَةٌ طَ َعام ِمسكِ ْ ن‬
َ ‫ي فَ َم ْن تَطََّو‬ ْ
‫تَ ْعلَم ْو َن‬
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu
sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti)
sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan
bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu
memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih
baik bagimu apabila kamu mengetahui”.
Tafsir dari ayat ini adalah seseorang yang sakit atau musafir tidak
berpuasa dalam keadaan tersebut. Karena di dalamnya terdapat
masyaqqah16. Keduanya diperbolehkan untuk berbuka serta mengganti
puasa yang ia tinggalkan di lain hari. Adapun untuk orang yang sehat yang
mukim akan tetapi berat utuk menjalankan ibadah puasa, maka ia boleh
memilih antara berpuasa ataupun berbuka namun dia harus memberi makan
orang miskin setiap harinya. Apabila ia memberi makan orang miskin lebih
banyak maka ini baik untuknya. Apabila ia berpuasa maka itu lebih utama
daripada memberi makan orang miskin.17
2. Hadits
Mengenai kebolehan menunda qodho’ puasa Ramadhan sampai
sebelum tiba Ramadhan berikutnya berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwasanya dia mendengar ibunda Aisyah
istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata:
ِ ِ ِ ‫ فَما أ‬، ‫ضا َن‬ ِ
‫ الش ْغل‬:‫ال ََْي َي‬ ْ ِ َّ‫َستَطيع أَ ْن أَقْضيَه إال‬
َ َ‫ ق‬.‫ِف َش ْعبَا َن‬ ْ َ َ ‫الص ْوم م ْن َرَم‬
َ ‫َكا َن يَكون َعلَ َّى‬
.‫اَّلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ
ِّ َِ‫ أ َْو ِبلن‬,ِ‫ب‬
َ ‫ب‬
ِ
ّ َِ‫م َن الن‬

16
Kesukaran atau kesulitan
17
Imaduddin Abu Fida’ Ismail bin Katsir Al-Dimasqi, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, (Kairo: Al-Maktabah
Al-Taufiqiyyah, t.t.), jilid 1, hlm. 293

3
“Aku masih memiliki tunggakan puasa Ramadhan, dan aku tidak mampu
mengqodho’nya hingga datangnya bulan Sya’ban”. (H.R. Bukhari dan
Muslim).18
Hadits ini menunjukkan kebolehan mengakhiri qodho’ puasa Ramadhan
dengan syarat dikerjakan sebelum datang bulan Ramadhan selanjutnya, dan dia
tidak dikenai apapun selain kewajiban qodho’ tersebut. Waktu pelaksanaan
qodho’ puasa itu luas dan panjang selama sepuluh bulan hingga tibanya bulan
Sya’ban.
Oleh karena itu sebagian ulama mewajibkan membayar fidyah apabila dia
mengakhirkan qodho’ puasanya melebihi bulan Sya’ban. Dan bagi siapa yang
mengakhirkan qodho’ puasanya tanpa uzur syar’i hingga datang bulan Ramadhan
berikutnya maka ia wajib membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin
sebanyak hari yang ia tinggalkan.19
C. Konsekuensi Penunda Qodho’ Puasa Ramadhan Hingga Ramadhan
Berikutnya
Mayoritas ulama membedakan konsekuensi bagi mereka yang menunda qodho’
puasa Ramadhan hingga datang Ramadhan selanjutnya dengan dua keadaan; (1)
menunda karena uzur seperti sakit, safar, dan lain sebagainya, serta (2) menunda
tanpa uzur yang dibenarkan syari’at. Namun ada juga sejumlah ulama yang
menyamakan dua keadaan tersebut. Berikut terkait penjelasannya,
1. Penunda qodho’ puasa Ramadhan dengan uzur
a. Madzhab Hanafi
Bahwasanya Madzhab Hanafi tidak membedakan antara menunda
qodho’ puasa karena uzur atau tanpa uzur. Madzhab Hanafi memandang
keduanya sama. Apabila mengakhirkan qodho’ puasa hingga datang bulan
Ramadhan selanjutnya maka yang harus dia lakukan adalah berpuasa di bulan
Ramadhan saat itu karena pada saat itu adalah waktu untuk pelaksanaan puasa
di tahun tersebut. Kemudian dia melanjutkan qodho’ puasanya yang pertama
setelahnya karena saat itu adalah waktu qodho’.

18
Abu Abdillah, Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2014), juz 1, “Kitab Puasa”, hlm. 481, no. Hadits 1950. Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Nisaburi,
Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2011), juz 2, “Kitab Puasa”, hlm. 168, no. Hadits 151
19
Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Syarhu Al-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2003), juz 3, “Kitab Puasa”, hlm. 506, no. Hadits 1764

4
Menurut Hanafi tidak ada batasan untuk pelaksanaan qodho’. Oleh karena itu
dia tidak diwajibkan membayar fidyah.20 Karena mengakhirkan pelaksanaan
pada waktunya tidak mewajibkan adanya fidyah. 21
b. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki berpendapat apabila seseorang menunda pelaksanaan
qodho’ puasa Ramadhan hingga datang bulan Ramadhan di tahun berikutnya
karena uzur seperti sakit dan safar, maka kewajibannya hanya mengganti
puasa yang ia tinggalkan. Dia tidak diwajibkan untuk membayar fidyah
dikarenakan alasan dia mengakhirkan qodho’ puasanya tersebut bukan untuk
melalaikan. Akan tetapi apabila si sakit sembuh beberapa hari sebelum bulan
Ramadhan dan dia belum mengqodho’nya di hari tersebut, maka dia wajib
memberi makan orang miskin sebanyak hari sehat dia. Begitu juga musafir.
Apabila dia telah kembali dari safarnya dan belum mengerjakan qodho’ puasa
yang ia tinggalkan maka dia juga wajib untuk memberi makan orang miskin
sebanyak hari yang dia sia-siakan.22
c. Madzhab Syafi’i
Sebagaimana madzhab Maliki, madzhab Syafi’i juga berpendapat
apabila seseorang mengakhirkan qodho’ puasa Ramadhan hingga tiba
Ramadhan selanjutnya karena uzur yang masih berkelanjutan seperti sakit,
safar, dan lainnya, ia boleh menundanya selama masih adanya uzur dan dia
tidak diwajibkan untuk membayar fidyah.23 Begitupun apabila sudah berlalu
dua Ramadhan. Dia hanya diwajibkan mengqodho’ puasanya saja. Hal ini
dikarenakan uzur tersebut membolehkan seseorang untuk mengakhirkan
qodho’ puasanya.24
d. Madzhab Hanbali
Serupa dengan pendapat madzhab Syafi’I, apabila seseorang
mengakhirkan qodho’ puasa karena uzur maka ia hanya diwajibkan untuk
mengqodho’nya saja. Karena qodho’ hanya diwajibkan untuk orang yang

20
Burhanuddin Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, Al-Hidayah Syarh Bidayah Al-Mubtadi’, (Kairo: Dar
Al-Islam, 2006), cet. 2, jilid 1, hlm. 320
21
Fakhruddin Utsman bin Ali Al-Zaila’i, Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Al-Daqaiq, (Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 2010), cet. 2, jilid 2, hlm. 197
22
Malik bin Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubro,(Kairo: Dar Al-Hadits, 2005), jilid 1, hlm. 320
23
Abu Muhammad Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Al-Tadzhib fi Fiqhi Al-Imam Al-Syafi’i, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1997), cet. 1, jilid 3, hlm. 180
24
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab, (Kairo: Maktabah Al-
Taufiqiyah, 2016), cet. 2, jilid. 6, hlm. 334

5
ٍ ِ ِ 25
lemah sebagaimana dilihat dari keumuman ayat “‫خر‬
َ‫ا‬ َ ‫”فَع َّدةٌ ّم ْن اَََّّيم‬. Adapun
orang tua yang sudah rentah dan lemah maka ia tidak wajib qodho’ akan tetapi
diwajibkan membayar fidyah.26

2. Penunda qodho’ puasa Ramadhan tanpa uzur


a. Madzhab Hanafi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam madzhab
Hanafi dua keadaan ini sama saja hukumnya. Hanya cukup mengqodho’nya
saja tanpa membayar fidyah.
b. Madzhab Maliki
Apabila seseorang melalaikan qodho’ puasa Ramadhan hingga datang
bulan Ramadhan selanjutnya tanpa uzur yang dibenarkan syariat, maka ia
berpuasa terlebih dahulu untuk bulan Ramadhan saat itu. Apabila ia sudah
menyelesaikan puasanya maka ia melanjutkan mengqodho’ puasa yang ia
tinggalkan di tahun lalu serta membayar fidyah berupa memberi makan orang
miskin.27
Maksud dari melalaikan disini bukan hanya dia yang mengakhirkan
qodho’ puasa di bulan sya’ban saja. Apabila dia mampu mengerjakannya di
bulan lain namun dia enggan untuk mengerjakannya pada bulan itu maka ia
termasuk ke dalam kategori yang melalaikan juga.28 Pendapat ini
mengqiyaskan orang yang menunda qodho’ puasa dengan mereka yang
melanggar sumpah. Sehingga membayar fidyah wajib atas mereka yang
menunda qodho’ puasa.29
c. Madzhab Syafi’i
Sependapat dengan madzhab Maliki, dikatakan dalam madzhab Syafi’i
bahwa apabila seseorang menunda qodho’ puasanya hingga Ramadhan
berikutnya tanpa uzur maka ia mendapatkan dosa. Dia harus berpuasa pada
tahun tersebut kemudian mengqodho’ puasa yang ia tinggalkan serta wajib

25
Al-Mardawi, Al-Inshaf ..., jilid 3, hlm, 334
26
Muwaffaquddin bin Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2008), cet. 1, jilid 2, hlm.
454
27
Malik bin Anas, Al-Mudawwanah..., jilid 1, hlm. 320
28
Muhammad Sakhal Al-Mujaji, Al-Muhadzdzab min Al-Fiqhi Al-Maliki wa Adillatihi, (Damaskus: Dar
Al-Qalam, 2010), cer. 1, jilid 1, hlm. 303
29
Abu Walid Al-Qurthubi Al-Andalusi, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, (Iskandariyah:
Dar Al-Aqidah, 2004), cet. 1, jilid 1, hlm. 372

6
membayar fidyah sebanyak satu mud setiap harinya. Hal ini disepakati oleh
imam Syafi’i serta semua ashab selain imam Al-Muzani. Beliau tidak
mewajibkan fidyah atas hal ini.30
d. Madzhab Hanbali
Sebagaimana madzhab Maliki dan Syafi’i, madzhab Hanbali juga
bersepakat bahwa seseorang tidak boleh mengakhirkan qodho’ puasa hingga
Ramadhan berikutnya tanpa uzur berdasarkan hadits dari ibunda Aisyah.
Karena orang yang memiliki tanggungan qodho’ puasa harus menyegerakan
pelaksanaannya.31 Hal ini dikarenakan ibadah puasa adalah ibadah yang
berulang setiap tahunnya dan dia wajib menyegerakan qodho’ puasanya.
Oleh sebab itu dia tidak boleh mengakhirkan qodho’ puasa yang pertama
hingga datang Ramadhan yang kedua sebagaimana shalat fardhu.32 Apabila
ia mengakhirkan qodho’ puasa tanpa uzur sedangkan waktu pelaksanaannnya
luas maka ia wajib mengqodho’ puasanya serta memberi makan orang
miskin.33

D. Ketentuan Fidyah
Membayar fidyah berupa memberi makan kepada orang miskin sebanyak hari
ia berbuka. Menurut madzhab hanafi, takaran fidyah adalah satu sha’ kurma atau
setengah sha’ gandum.34 Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Maliki kadarnya
adalah satu mud makanan pokok untuk satu hari.35 Adapun madzhab Hanbali takaran
fidyah adalah satu mud gamdum atau setengah sha’ kurma.3637 Akan tetapi Sufyan
Al-Tsauri berpendapat fidyahnya berupa dua mud setiap hari.38
Fidyah boleh diakhirkan akan tetapi tidak boleh didahulukan. Fidyah ini
diberikan ketika ia memulai qodho’ puasa yang ia tinggalkan karena safar ataupun
sakit baik di awal, maksudnya di akhir hari dia tidak berpuasa, ataupun di akhir
setelah berlalu hari-hari yang dia tinggalkan. Baik sebelum mengqodho’ puasanya,

30
Al-Nawawi, Al-Majmu’..., jilid. 6, hlm. 334
31
Abu Ishaq Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad Al-Hanbali, Al-Mubdi’ Syarh Al-Muqni’, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1997), cet. 1, jilid 3, hlm. 43
32
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2, hlm. 454
33
Ibrahim bin Muhammad Al-Hanbali, Al-Mubdi’..., jilid 3, hlm. 43
34
Al-Marghinani, Al-Hidayah..., jilid 1, hlm. 320
35
Mushthafa Al-Bugha, dkk, Al-Fiqhi Al-Manhaji, (Damaskus: Dar Al-Mushthafa, 2010), cet. 2, hlm.
202. Malik bin Anas, Al-Mudawwanah, jilid 1, hlm. 318
36
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2, hlm. 451
37
Satu sha’ sama dengan empat mud. Dalam madzhab Hanafi satu mud setara dengan 815,39 - 1.150
gram. Sedangkan menurut jumhur setara dengan 600 - 675 gram
38
Al-Nawawi, Al-Majmu..., jilid. 6, hlm. 334

7
bersamaan atau setelahya. Akan tetapi lebih baik untuk menyegerakannya.39 Apabila
ia belum mengeluarkan fidyah tersebut hingga ia menyelesaikan qodho’ puasanya, ia
tetap wajib untuk mengeluarkanya. Karena selesainya qodho’ puasa tidak
menyebabkan gugurnya kewajiban fidyah.40
Fidyah disesuaikan dengan jumlah hari dia berbuka. Dalam arti kata walaupun
sudah berlalu dua Ramadhan misalnya, maka jumlah fidyah tidak bertambah. Tetap
sama sebagaimana jumlah hari dia berbuka.41 Seseorang boleh memberikan seluruh
fidyahnya kepada satu orang miskin saja. Karena fidyah itu sama seperti kafarat
lainnya. Apabila dia telah membayar fidyah akan tetapi belum melaksanakan qodho’
puasa hingga berlalu dua Ramadhan berikutnya maka dia tetap wajib mengqodho’
serta membayar fidyah yang kedua.42

III. PENUTUP
Dalam menetapkan konsekuensi bagi penunda qodho’ puasa Ramadhan hingga
datang bulan Ramadhan berikutnya kebanyakan ulama membaginya berdasarkan dua
keadaan; karena uzur syar’i atau bukan karena uzur syar’i.
Adapun bagi mereka yang mengakhirkan qodho’ puasa karena uzur seperti sakit dan
safar maka mereka hanya diwajibkan untuk mengqodho’ puasa yang mereka tinggalkan
tanpa diwajibkan untuk membayar fidyah. Sedangkan bagi manula mereka hanya
diwajibkan untuk membayar fidyah saja.
Sedangkan bagi mereka yang menunda qodho’ puasa tanpa uzur hingga tiba
Ramadhan selanjutnya maka dia tetap wajib mengqodho’ puasa yang ia tinggalkan serta
membayar fidyah sebanyak satu mud untuk satu hari. Fidyah boleh diserahkan sebelum,
bersamaan atau setelah ia melaksanakan qodho’ puasanya. Namun ada juga ulama yang
menyamakan dua kondisi yang telah disebutkan diatas. Mereka berpendapat bahwa
seseorang yang menunda qodho’ puasanya baik karena uzur ataupun tidak tetap wajib
untuk mengqodho’ puasa yang ia tinggalkan namun tidak mewajibkan fidyah. Wallahu
A’lam bis Shawwab.

39
Al-Mardawi, Al-Inshaf ..., jilid 3, hlm, 334. Ibrahim bin Muhammad Al-Hanbali, Al-Mubdi’..., jilid 3,
hlm. 43
40
Malik bin Anas, Al-Mudawwanah, jilid 1, hlm. 320
41
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2, hlm. 454
42
Al-Baghawi, Al-Tadzhib..., jilid 3, hlm. 180

8
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim.

Anshary, Jamaluddin Muhammad bin Mukrim bin Manzhur Al-. Lisan Al-‘Arab. Beirut: Dar

Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2009.

Baghawi, Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-. Al-Tadzhib fi Fiqhi Al-Imam Al-Syafi’i.

Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. 1997.

_______. Syarh Al-Sunnah. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2003.

Dasuki, Muhammad bin Ahmad ibn Arafah Al-. Hasyiyyah Al-Dasuki ‘ala Syarhi Al-Kabir.

t.tp: Dar Al-Fikr, t.t.

Dimasqi, Imaduddin Abu Fida’ Ismail bin Katsir Al-. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Kairo: Al-

Maktabah Al-Taufiqiyyah. t.t.

Hanbali, Abu Ishaq Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad Al-. Al-Mubdi’ Syarhu Al-Muqni’.

Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. 1997.

Islamiyah, Wazarah Al-Auqaf wa Asy-Syu’un Al-. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah. Kuwait: t.p.

1993.

Kasani, Alauddin Abu Bakar bin Mas’ud Al-. Badai’ Al-Shanai’. Mesir: Syirkah Al-Mathbu’at

Al-Ilmiyah. 1327 H.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.

Malik bin Anas. Al-Mudawwanah Al-Kubro. Kairo: Dar Al-Hadits. 2005.

Mardawi, Alauddin Abu Al-Hasan Ali bin Sulaiman Al-. Al-Inshaf fi Ma’rifah Al-Rajih min

Al-Khilaf. Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-Arabi. 1955.

Marghinani, Burhanuddin Ali bin Abi Bakar Al-. Al-Hidayah Syarh Bidayah Al-Mubtadi’.

Kairo: Dar Al-Islam. 2006.

Muhammad Amin bin Abidin. Hasyiyyah Ibnu Abidin. Kairo: Dar Al-Hadits. 2016.

Mujaji, Muhammad Sakhal Al-. Al-Muhadzdzab min Al-Fiqhi Al-Maliki wa Adillatihi.

Damaskus: Dar Al-Qalam. 2010.

9
Musthafa, Ibrahim, dkk. Al-Mu’jam Al-Wasîth. Kairo:Al-Maktabah Al-Islamiyah. 2011

Muwaffaquddin bin Qudamah. Al-Mughni. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2008.

Nawawi, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. Beirut: Dar

Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2011.

_______. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. Kairo: Maktabah Al-Taufiqiyah. 2016.

Qurthubi, Abu Walid Al-. Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid. Iskandariyah: Dar

Al-Aqidah. 2004.

Zaila’i, Fakhruddin Utsman bin Ali Al-. Tabyin Al-HaqaiqSyarh Kanzu Al-Daqaiq. Beirut: Dar

Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2010.

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/puasa diakses pada 12 Maret 2023 pukul 10.11 WIB.

10

Anda mungkin juga menyukai