Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

FIQIH
PUASA

Dosen: Dr. Ircham, LC.,M.Pd.I

Disusun oleh:
Ilhama Marga Refa (63040210169)
Sherli Pramitasari (63040210176)
Ainusy Syifa ( 63040210177)

MANAJEMEN BISNIS SYARIAH 2E


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN SALATIGA
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan karunianya

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata

kuliah fiqih dengan judul makalah puasa. Kami berharap dapat menambah wawasan dan

pengetahuan khususnya dalam bidang fiqih.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan baik

dalam segi penyusunan maupun dalam segi pemaparan materi maka oleh sebab itu kami sangat

mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari para pembaca untuk melengkapi segala

kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.

Atas selesai nya makalah ini kami berterima kasih terhadap bapak dosen yang telah

membimbing kami serta kepada segala pihak yang selalu mendukung kami.

IAIN Salatiga, 13 April 2022

Penulis
Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu rukun Islam yang harus kita yakini dan amalkan setiap muslim adalah puasa.
Dalam Islam, kita mengenal dua bentuk puasa, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Setiap
Muslim harus berpuasa seperti yang sebelum kita. Hari-hari yang dilarang puasa adalah tasyrik,
Idul Fitri dan Idul Adha. Menurut bahasa Arab, puasa disebut as-saum atau as-siyam, yang
artinya menahan diri. Ini berarti tidak makan atau minum dan berbuka puasa sejak fajar
sampai matahari terbenam. Muslim juga diperintahkan untuk menahan diri dari menggunakan
kata-kata umpatan, bergosip tentang orang lain, dll.
Puasa memiliki banyak aspek sosial, karena melalui ibadah ini, umat Islam berbagi penderitaan
orang lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan mereka seperti orang lain. Puasa juga
menunjukkan bahwa orang beriman sangat taat kepada Allah karena mampu makan atau minum.
Kewajiban puasa telah dikukuhkan dalam Al-Qur’an, Sunah, dan ijmak. Dalam Al-
Qur’an, Allah SWT. Berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” QS. Al-Baqarah
{2}: 183.Ayat ini diturunkan pada bulan Sya’ban tahun ke-2 H. Umat Islam pada tahun tersebut
secara resmi diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Adapun yang diserukan dalam ayat ini
adalah orang-orang mukmin, tidak manusia secara keseluruhan. Hal itu menunjukkan dua makna,
pertama puasa hanya diwajibkan pada orang-orang mukmin saja, karena iman itulah yang
menjadi dasar adanya perintah. Kedua, karena atas dasar imanlah puasa itu sah dalam arti
mendapatkatkan pahala dari Allah.
Agama Islam itu akan kuat dan kokoh apabila pemeluknya dapat melakukan kelima
rukun Islam tersebut dengan baik. Artinya tidak hanya memilih atau mengerjakan salah satu saja,
akan tetapi harus semuanya dikerjakan. Kaum Muslimin dari semua mazhab dan golongan sejak
periode Nabi SAW. hingga hari ini telah sepakat atas wajibnya puasa Ramadhan. Yakni fardhu
ain bagi tiap-tiap Muslim yang mukallaf tanpa kecuali, baik pada masa lalu maupun sekarang,
sehingga puasa Ramadhan termasuk kewajiban yang bersifat tawatur yaqini, yang diketahui
sebagai bagian integral dari agama, yang kewajibannya mengikat orang awam maupun khawas
tanpa memerlukan kajian dan dalil lagi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian puasa ?
2. Bagaimana syarat dan Rukun puasa?
3. Sebutkan dalil mengenai puasa?
4. Jelaskan jenis puasa ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi mengenai puasa.
2. Agar memahami apa saja syarat dan rukun puasa.
3. Untuk mengetahui dalil mengenai puasa.
4. Agar mengetahui jenis – jenis puasa.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Puasa
Secara etimologis, puasa berarti menahan. Allah Swt. menceritakan apa yang harus dikatakan
Maryam,

‫ص ًوما فَلَ ْن ُأ َِّكلِ َم ْال ْيَو َم إ ْن ِِّسيا‬


َْ ‫ان‬
ِ ‫لرحْ َم‬ ُ ْ‫َأحدًا فَقُولِي ِإنِّي َنَذر‬
َِّ ِ‫ت ل‬ َ ‫َر‬ِ ‫ َفِِّإ َما تَ َريِ َِّن ِمنَ ْالبَش‬.‫فَ ُكلِي َوا ْش َربِي َوقَِّ ِري َع ْيًنا‬

“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku
tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari itu,” (QS. Maryam [19]: 26).1
Sabda Rasulullah SAW :
( ‫صاِئ ُم‬ َّ ‫ اِ َذاَا ْقبَ َل اللَّ ْي ُل َوا ْدبَ َرا‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َيقُوْ ُل‬
َّ ‫لن َها ُر َو َغاَب ِت ال َّش ْمسُ فَقَ ْد َا ْفطَ َر ال‬ َّ ِ‫ْعت النَّب‬
َ ‫ى‬ ُ ‫َقال َس ِم‬
َ ‫ع َِن اب ِْن ُع َم َر‬
)‫رواه البخارى و مسلم‬

Dari Ibnu Umar. Ia Berkata, “Saya telah mendengar Nabi besar SAW bersabda, ’Apabila
malam datang, siang lenyap, dan matahari telah terbenam, maka sesungguhnya telah datang
waktu berbuka bagi orang yang berpuasa’.” (HR.Bhukori dan Muslim)2
Menurut Terminologis (istilah) terdapat dalam Subul Al- Salam, para ulama fikih
mengartikan puasa sebagai berikut:

ِ ‫اِإل ْمسا َ َُكعنِاألكلَِوالَّشرْ بَوا ْلِج َما ِ َع َو ْغ‬:‫اَلصِّ يا َ ُم‬


‫يرهاَِم َّما َور َدبِ ِهالّشرْ ِعفِيْالَّنهَا‬
ِ‫كآلم ْال َم ْح َر ِم‬
ِ ‫ث َو َ ْغي ِرهَا ِمنَ ْال‬ ِ َ‫َعن اللَّ ْغ ِو وال َّرف‬
ِ ‫ك‬ ُ ‫ك اِإل ْم َسا‬ ِ ‫ر َعلَي ال َوح ِد ْال َم ْشر‬
َ ‫ُوع ََو ْيتَب ُع َِذلل‬
‫ص ٍة‬
َ ‫رط َمخصُ ْو‬ْ ٍ ْ‫ص ًوص ِب ُشرُو‬ ْ
ُ ‫ت َمخ‬ ٍ ‫َو ْال َم ْك ُر ْو ِه في َو ْق‬

“puasa adalah menahan dari makan, minum dan melakukan hubungan seksual suami isteri,
dan lain-lainnya, sepanjang hari menurut ketentuan syara’, disertai dengan menahan diri dari
perkataan yang sia-sia (membual), perkataan yang jorok dan lainnya, baik yang diharamkan
maupun yang dimakruhkan, pada waktu yang telah ditetapkan pula.
Dalam Islam, puasa adalah rukun Islam yang ketiga yang wajib dilaksanakan seorang muslim
yang mukallaf, bentuknya dengan menahan diri dari segala yang membatalkannya mulai dari
terbit fajar sampai terbenamnya matahari, dan wajib dilakukan sesuai dengan syarat, rukun,
dan larangan yang telah ditentukan.
Secara syara’, dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan bahwa:

‫وشرعا امساك عن مفطر بنية مخصوصة جميع نهار‬


Artinya, secara syara’, puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa,
dengan niat tertentu, mulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

B. Syarat dan Rukun Puasa


 Syarat Puasa
Seseorang dikatakan wajib menunaikan puasa apabila:
1. Sedang Sehat atau Tidak Dalam Keadaan Sakit, serta Sedang Menetap atau Tidak Dalam
Keadaan Bersafar Allah SWT berfirman:
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-
hari yang lain.” (QS Al Baqarah: 185).
2. Suci dari Haid dan Nifas
Ini berdasarkan hadis dari Mu’adzah yang pernah bertanya pada ‘Aisyah RA tentang hal
tersebut. Mu’adzah berkata:
“Saya bertanya kepada Aisyah ‘Kenapa gerangan perempuan yang haid mengqadha’
puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan
Haruriyah? ‘
Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab,
‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa
dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ salat’.”
3. Islam
Jumhur ulama berpendapat bahwa orang-orang kafir juga mukhaththab bi furu’isy
syar’iyyah (menjadi objek hukum-hukum syar’i dalam masalah furu’). Sehingga mereka
juga terkena kewajiban salat, puasa, dan zakat.
4. Baligh
Ketika orang anak menginjak usia balig, barulah ia terkena beban syariat.
Rasulullah SAW bersabda: “Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang
yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia
berakal.” (HR. An-Nasa`i no. 7307, Abu Dawud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143).
5. Berakal
Seseorang dikenai beban syariat ketika ia memiliki akal. Orang yang gila, pingsan, koma,
tidak dikenai beban syariat hingga kembali akalnya. Dasar dalilnya sama seperti dalil
baligh di atas.
6. Mukim (tidak sedang safar)
Orang yang sedang dalam perjalanan jauh, tidak ada kewajiban untuk berpuasa. Allah
SWT berfirman:
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS Al-
Baqarah: 184).
7. Mampu berpuasa
Orang yang tidak mampu berpuasa karena ada udzur seperti sakit, atau sudah tua, atau
uzur yang lain, maka tidak ada kewajiban berpuasa. Allah SWT berfirman:
“Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya.” (QS Al-Baqarah: 286).

 Rukun Puasa

Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai
pembatal puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam.” (QS Al Baqarah: 187).

1. Niat
Ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa niat adalah rukun puasa,
bukan syarat.Karena niat puasa selalu ada dalam diri seseorang, kecuali ia berniat
membatalkan puasanya. Sedangkan ulama Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat
bahwa niat adalah syarat sah puasa, bukan rukun.
Karena niat dilakukan sebelum fajar, di luar puasa. Terlepas dari perbedaan ulama
dalam masalah tersebut, orang yang berpuasa Ramadan wajib berniat di malam hari
sebelum fajar. Tidak sah puasa orang yang tidak berniat.
2. Menahan diri
Tentunya mampu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari
terbit fajar hingga tenggelam matahari. Sebuah hadist dari ‘Umar bin Khaththab RA
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika datang malam dari sini, dan telah pergi siang dari sini, dan terbenam matahari,
maka orang yang berpuasa boleh berbuka.” (HR Al-Bukhari no.1954, Muslim no.
1100).

Anda mungkin juga menyukai