Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai orang muslim kita harus mengetahui hukum-huku fiqih, khususnya mengenai
puasa. Karena puasa merupakan suatu ibadah yang melatih kesabaran kita , selain itu puasa juga
bisa menjaga kesehatan jasmani serta rohani kita. Dalam ibadah puasa terdapat ganjaran pahala
yang sangat besar yang akan diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya yang mau
melaksanakan ibadah puasa.
Oleh karena itu pemakalah akan mencoba untuk memaparkan penjelasan dari ibadah
puasa beserta jenis dari puasa, supaya kita bisa mengetahui hukum-hukum seputar puasa baik itu
bagi orang yang umum ataupun orang yang udzur. Supaya puasa kita sesuai dengan apa yang di
sampaikan oleh Rosulullah SAW.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, rumusan masalah yang akan dibahas pada
pembahasan kali ini adalah:
1. Bagaimana pengertian Puasa?
2. Bagaimana jenis-jenis puasa menurut hukumnya?
3. Syarat dan Rukun Puasa?
4. Hal-hal yang membatalkan Puasa?
5. Hikmah Puasa?

C. Tujuan Pembahasan
Dari pembahasan yang akan di paparkan, tujuan dari makalah ini diantaranya adalah:
1. Mengetahui Definisi dari Puasa
2. Mengetahui Jenis – jenis puasa
3. Mengetahui Syarat Rukun Puasa
4. Mengetahui Hal hal yang membatalkan Puasa
5. Mengetahui Hikmah Puasa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Puasa
Puasa secara etimologi Puasa dari segi bahasa berarti menahan (imsak) dan mencegah
(kalf) dari sesuatu, dengan kata lain yang sifatnya menahan dan mencegah dalam bentuk apapun
termasuk didalamnya tidak makan dan tidak minum dengan sengaja (terutama yang beretalian
dengan agama).
Arti puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum secara bahasa berarti ’menahan
diri’(berpantang) dari suatu perbuatan. Perintah puasa sendiri difirmankan oleh Allah SWT pada
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183.

َ‫علَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡب ِلڪُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَت َّقُون‬ َ ِ‫ٱلصيَا ُم َك َما ُكت‬
َ ‫ب‬ ُ ‫علَ ۡي‬
ِ ‫ڪ ُم‬ َ ِ‫يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُواْ ُكت‬
َ ‫ب‬

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Sedangkan pengertian puasa secara terminologi adalah menahan dan mencegah diri dari
hal-hal yang mubah yaitu berupa makan dan berhubungan dengan suami istri, dalam rangka
Taqarub ilallahi (mendekatkan diri pada Allah swt,). Dalam hukum Islam puasa berarti menahan,
berpantang, atau mengendalikan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang
membatalkan diri dari terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib).
Jadi, pengertian puasa menuju sehat secara syar’i adalah menahan dan mencegah
kemauan dari makan, minum. Bersetubuh dengan istri, dan yang semisalnya sehari penuh, dari
terbit fajar siddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu maghrib), dengan tunduk
dan mendekatkan diri kepada Allah.
Ada juga yang mendefinisikan puasa dari segi syara’, puasa berarti menahan diri dari hal-
hal yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan pada siang
hari, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.
Dengan kata lain, Puasa adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa dua
macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan) serta menahan diri dari segala sesuatu
agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya . Hal itu dilakukan pada waktu yang telah
ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar kedua (fajar shadiq) sampai terbenam matahari, oleh orang
tertentu yang berhak melakukannya, yaitu orang muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak
nifas.
Puasa harus dilakukan dengan niat, yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan
perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu, tujuan niat adalah membedakan antara perbuatan
ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan. Seperti keterangan Hadits Nabi dalam kitab
Bulughul marram menyebutkan :

ُ‫لصيَا َم قَ ْب َل ا َ ْلفَجْ ِر فَ ََل ِصيَا َم لَه‬ ِ ‫ ( َم ْن لَ ْم يُبَ ِي‬:َ‫ ع َِن اَلنَّ ِبي ِ صلى هللا عليه وسلم قَال‬,‫ع ْنهَا‬
ِ َ‫ت ا‬ َّ َ ‫ََ َوع َْن َح ْفصَةَ أ ُ ِم ا َ ْل ُمؤْ ِمنِي َن َر ِض َي‬
َ ُ‫ّللَا‬
َ ‫ َو ِللد‬. َ‫ص َّح َحهُ َم ْرفُوعًا اِ ْب ُن ُخ َز ْي َمةَ َوا ْبنُ ِحبَّان‬
‫ ( ََل ِصيَا َم‬:ِ‫َّارقُ ْطنِي‬ َ ‫ َو‬,‫ِي إِلَى ت َ ْر ِجيحِ َو ْق ِف ِه‬ َ َّ‫ َو َما َل الن‬,ُ‫سة‬
ُّ ‫سائِ ُّي َواَلتِ ْر ِمذ‬ َ ‫) َر َواهُ ا َ ْل َخ ْم‬
) ‫ضهُ ِمنَ اَللَّ ْي ِل‬ْ ‫ِل َم ْن لَ ْم يَ ْف ِر‬

Dari Hafshah Ummul Mukminin bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Riwayat Imam
Lima. Tirmidzi dan Nasa'i lebih cenderung menilainya hadits mauquf. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban menilainya shahih secara marfu'. Menurut riwayat Daruquthni: "Tidak ada puasa bagi
orang yang tidak meniatkan puasa wajib semenjak malam."

Pengertian puasa banyak yang mendefinisikan, sedangkan menurut istilah banyak para
para pakar yang memberikan definisi antara lain menurut Yusuf Qardawi bahwa puasa adalah
menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri dan semisal sehari
penuh, dari terbitnya fajar siddiq hingga terbenamnya matahari, dengan niat tunduk dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT.

B. Jenis – Jenis Puasa


Puasa terdapat beberapa sesuai dengan hukumnya, dalam kajian ilmu fiqih jenis-jenis puasa
dilihat dari hukumnya terbagi menjadi 4, yaitu:
1. Puasa Fardlu / wajib
Puasa wajib adalah puasa yang harus dijalankan oleh umat Islam sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Puasa wajib jika tidak dilaksanakan akan mendatangkan dosa.
Namun, dalam kondisi tertentu puasa wajib bisa digantikan dengan membayar denda atau
fidyah.
a. Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa wajib yang dikerjakan bagi setiap muslim pada bulan
Rammadhan selama sebulan penuh. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agara kamu bertaqwa” (Q.S Al-Baqarah :
183).
Puasa Ramadhan juga termasuk dalam rukun Islam, sebagaimana tersebut dalam hadits
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a :
“Didirikan agama Islam itu atas lima dasar yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan
melainkan Allah dan Nabi Muhammada adalah utusan Allah, mendirikan shalat lima
waktu, mengeluarkan zakat, puasa bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah
bagi yang mampu jalannya” (H.R Bukhori dan Muslim).

b. Puasa Nadzar
Nadzar secara bahasa berarti janji. Puasa nadzar adalah puasa yang disebabkan karena
janji seseorang untuk mengerjakan puasa. Nazar adalah merupakan janji dari seseorang
kepada Allah swt. oleh sebab itu, segala sesuatu perbuatan yang hukumnya tidak wajib,
setelah dinazarkan maka hukumnya menjadi wajib untuk dilaksanakan. Sehingga puasa
nazar setelah dijanjikan maka hukumnya adalah menjadi wajib.

Hal ini berdasarkan dalil firman Allah swt. dalam al-Qur’an yang berbunyi:

‫يُوفُونَ بِٱلنَّ ۡذ ِر َويَ َخافُونَ يَ ۡو ٗما كَانَ ش َُّرهُۥ ُم ۡست َ ِط ٗيرا‬

Artinya: Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-
mana.
Rasulullah SAW pernah bersabda :

‫رواه البخارى‬.ُ‫َم ْن نَذَر ا َ ْن يُ ِط ْي َع هللاِ فَ ْليُ ِط ْعه‬

Barangsiapa bernadzar akan mentaati Allah (mengerjakan perintahnya), maka hendaklah


ia kerjakan (H.R Bukhari)

c. Puasa Kafarat
Kafarat berasal dari kata dasar kafara yang artinya menutupi sesuatu. Puasa kafarat
secara istilah artinya adalah puasa untuk mengganti denda yang wajib ditunaikan yang
disebabkan oleh suatu perbuatan dosa, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga
tidak ada lagi pengaruh dosa yang diperbuat tersebut, baik di dunia maupun di akhirat.
Puasa kifarat (kafarat) diberlakukan atas pelanggaran yang dilakukan seorang
Muslim atas hukum Allah yang sudah berketetapan. Karena perbuatan yang ia lakukan
tersebut Allah masih memberikan maaf, di samping bertobat ia harus melakukan atau
membayar kafarat tersebut agar tobatnya diterima. Adapun pelanggaran yang dilakukan
seseorang sehingga
Ia harus membayar kafarat adalah
1) Hubungan badan di siang hari Ramadhan. Melakukan hubungan badan pada siang hari
di bulan Ramadhan adalah pelanggaran yang sangat berat hukumannya. Maka,
seseorang yang melanggar hal itu harus:
a) Berpuasa selama 60 hari berturut-turut tanpa terpisah sama sekali kecuali ada udzur
syar’I,
b) Apabila tidak mampu maka harus memberi makan kepada 60 orang miskin.Kifarat
wajib dilakukan berkali-kali bila pelanggaran yang menyebabkannya berkali-kali
dilakukan pada hari-hari yang berbeda. Sedang kalau dilakukan pada hari yang
sama, maka kifaratnya cukup satu kali saja. Kemudian apabila seseorang
melakukan pelanggaran yang mewajibkannya berkifarat dan langsung dia kifarati,
tetapi pada hari itu juga dia melakukan lagi perbuatan yang sama, maka cukuplah
baginya satu kifarat yang telah dia lakukan tadi, sekalipun dia menanggung dosa
besar tentunya. Dan Allah jualah Yang Lebih Tahu.
2) Membunuh seorang muslim tanpa disengaja. Kesalahan tersebut mewajibkan
pelaksanaan salah satu dari dua denda, yaitu diyat atau kifarat. Kifarat untuk itu ada dua
macam yaitu:
a) Memerdekan hamba beriman yang tidak ada cela pada dirinya yang menghambat
kerja atau usaha.
b) Puasa 2 (dua) bulan berturut--turut.
c) Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa jika seseorang karena tua atau sangat lemah
tidak kuat berpuasa, maka ia dapat menggantikannya dengan memberi makanan
untuk 60 orang miskin masing-masing 1 mud (+ 1 liter).
3) Seorang suami melakukan zhihar. Karena ucapan zhihar itu suami tersebut bergaul
dengan istrinya. Kemudian ia bermaksud menarik kembali ucapan zhiharnya itu karena
keinginannya untuk bergaul seperti sebelum terjadinya zhihar.
a) Wajib membayar kifarat, ialah memerdekakan seorang hamba atau jika ia tidak
mampu.
b) Berpuasa 2 bulan berturut-turut. Jika ia tidak kuat berpuasa, maka ia terkena hukum
wajib memberi makanan untuk orang-orang miskin sebanyak 60 orang masing-
masing 1 mud.
4) Bersumpah lantas dengan sengaja ia melanggar sumpahnya. Pelanggaran tersebut
menyebabkannya terkena kifarat sumpah, yaitu:
a) Wajib memerdekakan seorang hamba atau jika ia tidak mampu.
b) Wajib memberi makan/pakaian 1 orang miskin atau jika itupun ia tidak mampu.
c) Wajib berpuasa 3 hari
5) Seorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, baik yang halal maupun yang
haram. Kifaratnya adalah:
a) Menggantinya dengan hewan ternak yang seimbang dengan binatang buruan yg
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil dan disembelih sebagai hadya
(kurban) di tanah haram serta dagingnya diberikan kepada fakir miskin, atau jika
tidak mampu.
b) Memberi makanan kepada fakir miskin yang banyaknya sedemikian rupa sehingga
seimbang dengan hadya (hewan pengganti) tersebut atau,
c) Berpuasa sejumlah hari yang seimbang dengan makanan yang seharusnya ia
keluarkan (jumlah hari puasa itu adalah sebanyak mud yang diberikan kepada fakir
dan miskin. Mud tersebut dibanding seimbangkan dengan hewan yang disembelih
tadi).

d. Puasa Qadha
Puasa Qadha adalah menggantikan puasa wajib yang telah ditinggalkan sama ada
disengajakan mahupun tidak tanpa keuzuran. Puasa yang ditinggalkan wajib digantikan
sebanyak hari yang ditinggalkan.
Allah SWT. dalam firman-Nya:
“...Maka wajiblah dia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang
lain…”(Surah al-Baqarah, ayat 184).
Adapun niat puasa qadha adalah:

َ ‫غد ع َْن قَضَاء فَ ْر‬


‫ض َر َمضَانً ِللِ تَعَالَى‬ َ ‫نَ َويْتُ ص َْو َم‬
Aku niat puasa esok hari karena mengganti fardhu Ramadhan karena Allah Ta'ala.
2. Puasa Sunnah
Puasa Sunnah adalah menahan diri dari kegiatan makan dan minum, serta segala hal yang
membatalkannya mulai dari terbit fajar hingga terbenanmya matahari, dimana bagi yang
melaksanakannya akan mendapatkan pahala, dan bagi yang tidak melaksanakannya atau
meninggalkannya tidak akan mendapatkan dosa. puasa, serta membantu kita untuk menahan
hawa nafsu.
Dalam ajaran agama islam terdapat beberapa jenis puasa sunnah, yaitu:

a. Puasa Arafah
Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dikerjakan pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah bagi
mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji. Dalam sebuah hadist Rasulullah Sholallahu
Alaihi Wassalah telah bersabda yang artinya:
“Tiada amal yang soleh yang dilakukan pada hari-hari lain yang lebih disukai daripada
hari-hari ini (sepuluh hari pertama dalam bln Dzulhijjah).” (Hadist Riwayat al-Bukhari).
Dan dalam Taudhih Al-Ahkam, Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata:
“Puasa hari arafah adalah puasa sunnah yang paling utama berdasarkan ijma’ para
ulama.”
Adapun niat dalam melakukan puasa arafah adalah
ُ َ‫نَ َويْتُ ص َْو َم ع ََرفَة‬
‫سنَّةً ِللِ تَعَالَى‬
Artinya“Saya niat puasa Arafah , sunnah karena Allah ta’ala”

b. Puasa di Sembilan Hari Pertama Bulan Dzulhijjah


Di sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah, umat muslim dianjurkan untuk
memperbanyak amalan seperti berdzikir, istigfar, berdo’a, bersedekah, serta yang paling
ditekankan adalah melakukan puasa. Mengapa? Karena mengerjakan puasa di sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah sama seperti kita berpuasa selama setahun penuh serta seperti kita
mengerjakan sholat setiap malam yang sebanding dengan sholat pada malam Lailatul Qodar.

Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda, yang artinya:

”Tiada sebarang hari pun yang lebih disukai Allah dimana seorang hamba beribadat di
dalam hari-hari itu daripada ibadat yang dilakukannya di dalam 10 hari Zulhijah. Puasa
sehari di dalam hari itu menyamai puasa setahun dan qiamulail (menghidupkan malam) di
dalam hari itu seumpama qiamulail setahun.”

c. Puasa Tasu’a
Puasa Tasu’a adalah puasa sunnah yang dikerjakan pada tanggal 9 Muharam. Puasa ini
dilakukan untuk mengiringi puasa yang dilakukan pada keesokan harinya yaitu di tanggal 10
Muharram.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ketika Rasulullah Sshallallahu ‘Alaihi Wa
sallam sedang melaksanakan puasa Asyura, dan beliau memerintahkan para sahabat untuk
melakukan puasa di hari itu juga, ada beberapa sahabat yang berkata yang artinya:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya tanggal 10 Muharram itu, hari yang diagungkan orang
Yahudi dan Nasrani.” Lalu Rasulullah menjawab yang artinya “Jika datang tahun depan,
insyaaAllah kita akan puasa tanggal 9 (Muharram)”.”Ibnu Abbas melanjutkan, “Namun
belum sampai menjumpai Muharam tahun depan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sudah wafat.” (HR. Muslim 1916).
d. Puasa asyura (10 Muharram)
Ini adalah puasa sunnah yang dilakukan pada keesokan hari setelah melakukan puasa sunnah
Tasu’a. Imam As-Syafii dan pengikut madzhabnya, imam Ahmad, Ishaq bin Rahuyah, dan
ulama lainnya mengatakan bahwa dianjurkan menjalankan puasa di hari kesembilan dan
kesepuluh bulan Muharram secara berurutan.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam-
Bersabda yang artinya:

“Seutama-utama puasa setelah Ramadlan ialah puasa di bulan Muharram, dan seutama-
utama shalat sesudah shalat fardhu, ialah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

e. Puasa Syawal
Puasa syawal merupakan puasa sunnah yang dilaksanakan pada enam hari di bulan syawal
yang merupakan sunnah Nabi Muhammad Sholallahu alaihi Wassalam. Adapun untuk
pelaksanaannya bisa dilakukan secara berurutan maupun secara terpisah.
Keutamaan menjalankan puasa sunnah di enam hari pada bulan syawal adalah sesuai dengan
hadist nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam yang artinya:
“Siapa saja yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal, maka
itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad dan Muslim).

f. Puasa Senin – Kamis


Puasa senin kamis merupakan puasa sunnah yang paling sering dikerjakan oleh Rasulullah
sholallahu Alaihi Wassalam.
Dari Abu Harrairah Radiallahu Anhu pernah berkata:
“Bahwasanya Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak berpuasa pada hari Senin
dan Kamis.” Dan ketika Rasulullah ditanya tentang alasnnya, Beliau bersabda
“Sesungguhnya segala amal perbuatan dipersembahkan pada hari Senin dan Kamis, maka
Allah akan mengampuni dosa setiap orang muslim atau setiap orang mukmin, kecuali dua
orang yang bermusuhan.” Maka Allah pun berfirman “Tangguhkan keduanya.” (HR.
Ahmad)

g. Puasa Daud
Puasa daud adalah puasa sunnah yang dilakukan secara selang-seling, yaitu sehari berpuasa
dan sehari berbuka (tidak berpuasa). Dari Abdullah bin Amru radhialahu ‘anhu, Rasulullah
holallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda:
“Maka berpuasalah engkau sehari dan berbuka sehari, inilah (yang dinamakan) puasa Daud
‘alaihissalam dan ini adalah puasa yang paling afdhal. Lalu aku berkata, sesungguhnya aku
mampu untuk puasa lebih dari itu, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Tidak
ada puasa yang lebih afdhal dari itu. ” (HR. Bukhari No : 1840)

Dalam hadist lain, Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam juga bersabda:


“Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai
Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada
sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa
sehari.” (HR. Bukhari Muslim)

h. Puasa Sya’ban
Jenis puasa sunnah yang dianjurkan Rasulullah Sholallahu Alaihi Wassalam yang lainnya
adalah puasa di bulan Sya’ban. Dari Saidatina aisyah Radiallahu Anhu beliau berkata:
“Adalah Rasulullah saw berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan
beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah
melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya
tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari,
Muslim dan Abu Dawud).

Dari Usamah bin Zaid ra, dia berkata:


“Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan
dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda:
“Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan
bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya
menyukai amal saya diangkat, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. Nasa’i)

i. Puasa 3 Hari pada Pertengahan Bulan


Puasa ini dikenal dengan sebutan puasa Ayyamul Bidh, dimana pelaksanaanya adalah di 3
hari setiap pertengahan bulan, yaitu tanggal 13,14, dan 15. Dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasai, dan at-Tirmidzi, Rasulullah Sholallahu Alaihi
Wassalam bersabda:
“Wahai Abu Dzarr, jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah
pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah.”
Abu Hurrairah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
“Kekasihku yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan padaku tiga nasehat
yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati yaitu berpuasa tiga hari setiap bulannya,
mengerjakan shalat Dhuha, dan mengerjakan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari no.
1178)

j. Puasa di Bulan-bulan Haram (Asyhurul Hurum)


Ini merupakan puasa sunnah yang dilakukan di bulan-bulan haram, yaitu bulan Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharrom, dan Rojab. Mengapa demikian? karena bulan bulan tersebut
dimaksudkan untuk melepas sesuatu yang haram (meninggalkan sesuatu perbuatan yang
haram) dan mengamalkan puasa dan ibadah-ibadah lain pada bulan-bulan tersebut.
Dari Abi Bakrah RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Setahun ada dua belas bulan, empat darinya adalah bulan suci. Tiga darinya berturut-
turut; Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharam dan Rajab”. (HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu
Daud dan Ahmad)

k. Puasa bagi Pemuda yang Belum Menikah


Ini merupakan puasa sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap pemuda yang
belum menikah sebagai pengingat diri, terutama bagi pemuda yang memiliki syahwat tinggi.
Puasa ini bisa dilakukan kapan saja kecuali pada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa.
Rasulullah SAW bersabda: “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kalian yang
telah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaklah segera menikah, karena
menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa
yang belum mampu maka hendaklah shaum karena shaum akan menjadi perisai baginya.”
( HR. Bukhari dan Muslim)

3. Puasa Makruh
Puasa makruh adalah puasa yang berpahala bila ditinggalkan, sedang bila dikerjakan maka tidak
berpahala dan tidak pula berdosa. Sesungguhnya manusia adalah hamba Allah Ta'ala. Dia wajib
menyembahNya sebagaimana yang Dia kehendaki. Seperti halnya puasa, berbuka pun
merupakan ibadah kepada-Nya. Manusia tidak boleh membantah ataupun menentang-Nya. Di
antara macam-macam puasa yang makruhuntuk dilaksanakan adalah :
a. Puasa hari Jum'at secara tersendiri:
Adapun dalilnya ialah hadits riwayat al-Bukhari (1884) dan Muslim (1144), bahwa Nabi
SAW bersabda:
ُ َ‫صو َم قَ ْبلَهُ ا َ ْوي‬
٠‫ص ْو َم بَ ْع َد ُه‬ ُ َ‫ص ْم ا َ َح ُد ُك ْم يَ ْو َم ا ْل ُج ْمعَ ِة اَِلَّ ا َ ْن ي‬
ُ َ‫َلَ ي‬

Artinya: "Jangan hendaknya seorang dari kamu sekalian berpuasa pada hari Jum’ at, kecuali
bila berpuasa pula hari sebelumnya, atau berpuasa hari sesudahnya."
b. Puasa hari Sabtu secara tersendiri
Dalilnya ialah hadits riwayat at-Tirmidzi (744) dia katakan hadits ini hasan, bahwa Nabi
SAW bersabda:
َ ُ‫ت اَِلَّ فِ ْي َما ا ْفت َ َرضَ اهللا‬
‫علَ ْي ُك ْم‬ ِ ‫س ْب‬ ُ َ ‫َلَ ت‬
َّ ‫ص ْو ُم ْوا يَ ْو َم ال‬
Artinya: "Janganlah kamu berpuasa pada hari Sabtu, selain puasa yang Allah wajibkan
kepadamu."
Begitu pula kata para ulama', berpuasa pada hari Ahad secara tersendiri adalah makruh,
karena umat Yahudi mengagungkan hari Sabtu, sedang umat Nasrani mengagungkan
Ahad. Lain halnya, bila hari Sabtu dan Ahad sekaligus dipuasai, itu tidak makruh, karena
masing-masing dari kedua umat itu tidak mengagungkan keduanya bersama-sama.

c. Puasa sepanjang tahun.


Makruhnya puasa sepanjang tahun adalah khusus bagi orang yang khawatir mendapat
bahaya, atau melalaikan hak orang lain: Al-Bukhari (1867) meriwayatkan:
"Bahwasanya Nabi SA W telah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda'.
(Suatu saat) Salman berkunjung kepada Abu Dar- da'. Maka dilihatnya Ummu Darda'
(isteri Abu Darda') berpakaian kumal, maka Salman bertanya kepadanya, "Kenapa
engkau?". Maka jawabnya: "Saudaramu, Abu Darda' tidak bergairah lagi kepada
dunia."
"Hai Abu Darda'," kata Salman kepadanya, "sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak
yang wajib kamu tunaikan, keluargamu mempunyai hak yang wajib pula kamu tunaikan,
dan dirimu pun mempunyai hak yang wajib kamu tunaikan. Maka, berilah hak kepada
tiap-tiap yang berhak menerimanya. "
Lalu, Abu Darda' menceritakan kepada Nabi SAW apa yang dikatakan oleh Salman itu.
Maka sabda Nabi SA W: "Salman benar."
Adapun bagi orang yang merasa takkan mendapat bahaya akibat puasa sepanjang tahun,
dan takkan melalaikan karenanya hak seseorang, maka puasa seperti itu tidak makruh,
bahkan mustahab baginya, karena puasa termasuk ibadat yang paling utama.

4. Puasa Haram
Ada puasa pada waktu tertentu yang hukumnya haram dilakukan, baik karena waktunya atau
karena kondisi pelakukanya.
a. Hari Raya Idul Fitri
Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu adalah hari
kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur
bahwa di hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada tingkat haram.
Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus membatalkan puasanya atau tidak
berniat untuk puasa.
b. Hari Raya Idul Adha
Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam.
Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan
Qurban dan membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat serta keluarga. Agar semuanya
bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari
besar.
c. Puasa hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah) Nabi Muhammad saw. Bersabda:
"Hari-hari tasyriq (yakni tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) adalah hari-hari untuk makan,
minum, dan berdzikir kepada Allah SWT." (HR.Muslim).
d. Puasa Wishol adalah berpuasa selama dua atau tiga hari berturut-turut tanpa berbuka. Nabi
Muhammad saw. bersabda : "Janganlah kalian berpuasa wishol." (HR. Bukhori) Dalam
hadits yang lain, beliau bersabda, "Hindarilah oleh kalian puasa wishol." (Jamaah ahli
hadits).
e. Puasa Dahr yaitu berpuasa selama satu tahun penuh tanpa berbuka sehari pun. Rasulullah
saw. bersabda : "Tidak dianggap berpuasa bagi orang-orang yang berpuasa untuk
selamanya." (HR. Muslim)

C. Syarat Dan Rukun Puasa


1. Syarat Puasa
Syarat Puasa dibagi Mennjadi 2 :
a. Syarat-syarat wajib puasa

i. Islam

ii. Baliqh dan berakal

iii. Suci dari haid dan nifas (ini ketentuan bagi wanita)
iv. Kuasa (ada kekuatan)

b. Syarat syarat sah puasa :


i. Islam

ii. Tamyiz

iii. Suci dari haid dan nifas


iv. Tidak didalam hari-hari yang di larang untuk berpuasa
2. Rukun Puasa

a. Niat
b. Meninggalkan segala membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam
matahari

D. Hal-hal yang membatalkan puasa


1. Memasukkan sesuatu kedalam lomba rongga mulut dengan sengaja, seperti
makan,minum.
2. Muntah dengan sengaja
3. Haid dan nifas
4. Gila walaupun sebentar
5. Mabuk atau pingsan sepanjang hari
6. Murtad yaitu keluar dari agama islam

E. Hikmah Puasa

1. Tanda terima kasih kepada Allah karena semu ibadah mengandung arti terima kasih
kepada Allah atas nikmat pemberiannya yang tidak terbatasbanyaknya.
2. Mendidik para mukmin supaya berperangai luhur dan agar dapatmengontrol
seluruh nafsu dalam keinginan manusia biasa.
3. Didikan persaan belas kasihan terhadap fakir miskin karena seseorang yang telah
merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan.
4. Mendidik jiwa agar bisa dan dapat menguasai diri sehingga mudah
menjalankan semua kebaikan dan meninggalkan larangan.
5. Ditinjau dari kesehatan, puasa sangat berguna untuk menjaga dan memperbaiki
kesehatan
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Puasa secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan secara
istilah, adalah menahan diri pada siang hari dari berbuka dengan disertai niat
berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar hingga terbenam
matahari. Puasa yang ditetapkan syariat ada 4 (empat) macam, yaitu puasa fardhu,
puasa sunnat, puasa makruh dan puasa yang diharamkan.
Beberapa hal yang bisa memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa,
diantaranya adalah sakit Wanita hamil dan menyusui termasuk yang terkena khitab
perintah shaum (puasa) dalam ayat shiyam, QS. Al Baqarah: 183. Namun, apabila
mereka khawatir atas bahaya bagi dirinya atau janin dan anak susuannya bila tetap
berpuasa, maka dibolehkan untuk berbuka.

B. Saran-saran
Mempelajari ilmu fiqih amatlah penting, dan seharusnya di tanamkan sejak
dini bagi seluruh pelajar islam di Indonesia, dan juga bagi orang yang bergama
islam yang masih awam, terutama mengenai bab puasa. Dengan mempelajari
masilul fiqhiyah kita dapat mengetahui hukum-hukum dari masalah tersebut.
Selanjutnya kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat
kami harapkan guna untuk memperbaiki makalah-makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

14
https://sumbarprov.go.id/home/news/7842-makna-hukum-hikmah-dan-
keutamaan-puasa-ramadhan

Hasyim, M. (2017). Analisis Makna Puasa atas Kecerdasan Emosional di Pondok


Pesantren Langitan Widang Tuban Jawa Timur. JALIE; Journal of Applied
Linguistics and Islamic Education, 1(2), 376-402.

Lase, M. (2020). Studi Takhrij Tentang Hadis Larangan Puasa Pada Hari Sabtu
Dalam Kitab Sunan Attirmidzi (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara).

15

Anda mungkin juga menyukai