Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PUASA
“Ditujukan untuk memenuhi tugas”
Dosen: Drs. H. Abdul Kadir, M.A

Disusun
O
L
E
H
Kelompok III

M. Asrul
Ariyanti
Nurul Haliza. H

Semeter 3 PAI-B

Jurusan Pendidikan Agama islam

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUD DA’WAH WAL IRSYAD SIDENRENG RAPPANG


2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena berkat
rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Munasabah Al-quran. Makalah
ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Al-Quran. Dalam penulisan makalah ini
penulis menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan penulis
mengenai hal yang berkenaan dengan penulisan makalah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurnaoleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya
makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Pangkajene, 1 Januari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................ii
Daftar Isi..............................................................................................................................iii

BAB I (Pendahuluan)
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................1

BAB II (Pembahasan)
A. Pengertian Puasa......................................................................................................2
B. Syarat dan Rukun Puasa..........................................................................................4
C. Landasan Hukum Puasa...........................................................................................9

BAB III (Penutup)


A. Kesimpulan..............................................................................................................11

Daftar Isi..............................................................................................................................12

iii
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Konsepsi puasa dalam pemaknaan istilah seringkali dimaknai dalam pengertian
sempit sebagai suatu prosesi menahan lapar dan haus serta yang membatalkan puasa yang
dilakukan pada bulan ramadhan. Padahal hakekat puasa yang sebenarnya adalah menahan
diri untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.

Selain itu, puasa juga memberikan ilustrasi solidaritas muslim terhadap umat lain
yang berada pada kondisi hidup miskin. Dalam konteks ini, interaksi sosial dapat
digambarkan pada konsepsi lapar dan haus yang dampaknya akan memberikan
kemungkinan adanya tenggang rasa antar umat manusia.

Pengkajian tentang hakekat puasa ini dapat dikatakan universal dan meliputi
seluruh kehidupan manusia baik kesehatan, interaksi sosial, keagamaan, ekonomi, budaya
dan sebagainya. Begitu universal dan kompleksnya makna puasa hendaknya menjadi
acuan bagi muslim dalam mengimplementasikannya pada kehidupan sehari-hari. Dengan
pengertian lain puasa dapat dijadikan pedoman hidup.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
A. Apa yang dimkasud dengan puasa?
B. Bagaimana Syarat dan Rukun Puasa?
C. Bagaimana Landasan Hukum Puasa?
C. Tujuan Masalah
Tujuan dari rumusan diatas sebagai berikut:
A. Untuk mengetahui pengertian dari puasa
B. Untuk mengetahui apa syarat dan rukun puasa
C. Untuk mengetahui landasan hukum puasa

1
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Puasa

Secara etimologi, pengertian puasa, shaum ataupun shiyam, yakni “al-Imsaku ‘an
al-Syai” (‫ )اإلمساك عن الشيء‬yaitu mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Misalnya
menahan diri dari makan, minum, bercampur dengan istri, berbicara dan sebagainya.

Dalam pengertian yang lain, istilah al-shaum atau puasa memiliki arti yaitu ‫ترك‬
‫ الطعام والشرب والنكاح والكالم‬yaitu meninggalkan makan, minum, bercampur dengan isteri, dan
meninggalkan perkataan

Berkata Sufyan bin Uyaynah:

‫الصوم هو الصبر يصبر اإلنسان على الطعام والشرب والنكاح‬

"Puasa adalah melatih kesabaran, manusia bersikap sabar (menahan diri) dari
makan,minum, berhubungan seksual.”

Kemudian ia membacakan ayat:

‫نما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب‬

(QS. al-zumar, 39: 10. Lisan al-Arab, 12/350)

Arti seperti ini, misalnya disebutkan dalam al-Qur’an, bahwa Allah SWT,
memerintahkan kepada Siti Maryam, ibunda Nabi Isa AS sebagai berikut:

َ‫ُك ِلي َو ٱۡش َر ِبي َو َق ِّر ي َع ۡي نۖا َف ِإَّما َت َر ِيَّن ِمَن ٱۡل َب َش ِر َأَح دا َف ُقوِلٓي ِإِّن ي َن َذ ۡر ُت ِللَّر ۡح َٰم ِن َص ۡو ما َفَلۡن ُأَك ِّلَم ٱۡل َي ۡو َم ِإنِس ّيا‬

“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang
manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan
Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada
hari ini”. (QS. Maryam, 19:26).

Maksud dari ayat itu menjelaskan, bahwa aku (Maryam) menahan diri dari
berbicara pada hari ini sebagai nadzar terhadap Tuhan Yang Maha Pengasih. Arti seperti

2
ini bisa dikembangkan lebih jauh, seperti menahan diri dari jenis makanan tertentu,
menahan diri dari melakukan suatu pekerjaan dan sebagainya. Menurut pengertian
terminologis, atau pengertian secara istilah syara’, puasa adalah:

ْ‫ِإلْم َس اُك َع ِن ْاَألْك ِل َو الُّش ْر ِب َو َغَش َي اِن الِّن َس اِء ِمَن اْلَفْج ِر ِإَلى اْلَم ْغ ِر ِب ِإْح ِتَس ابًا ِهَّلِل َو ِإْع َد اًد ا ِللَّنْف ِس َو َت ِه ـِيـْيئًة َلهَا ِلَت ْق َو ى ِهللا بِاْلُم َر اَقَبِة َو تْر ِبَي ِة‬
‫ْاِإلَر اَدِة‬

“Menahan diri dari makan, minum dan bersenggama, mulai terbit fajar sampai
terbenam matahari (Maghrib), karena mengharap keridhaan Allah dan menyiapkan diri
untuk bertaqwa kepada Allah dengan jalan muraqabah (merasa selalu diperhatikan
Allah) disertai mendidik kehendak dan keinginan,” (Rasyid Ridha, al-Manar, 1373 hal.
143).

Pengertian serupa dijelaskan dalam kitab Subul al-Salam:

‫ِإْلْم َس اُك َع ْن اَأْلْك ِل َو الُّش ْر ِب َو اْلِج َم اِع َو َغ ْي ِر ِهَم ا ِمَّما َو َر َد ِبِه الَّش ْر ُع ِفي الَّن َه اِر َع َلى اْلَو ْج ِه اْلَم ْش ُروِع َو َي ْت َب ُع َذ ِلَك اِإْلْم َس اُك َع ْن الَّلْغ ِو َو الَّر َفِث‬
‫َو َغ ْي ِر ِهَم ا ِمْن اْلَك اَل ِم اْلُم َح َّر ِم َو اْلَم ْك ُروِه ِلُو ُروِد اَأْلَح اِديِث ِبالَّن ْه ِي َع ْن َه ا ِفي الَّصْو ِم ِز َي اَد ًة َع َلى َغ ْي ِر ِه ِفي َو ْق ٍت َم ْخ ُصوٍص ِبُشُروٍط َم ْخ ُصوَص ٍة‬.

“Menahan diri dari makan, minum, jima’ (bercampur dengan istri) dan lain-lain
yang telah diperintahkan kepada kita untuk menahannya, sepanjang hari menurut cara
yang disyariat-kan. Demikian pula diperintahkan menahan diri dari ucapan yang
diharamkan atau dimakruhkan, karena ada hadis-hadis yang melarang hal itu, itu semua
berdasarkan waktu dan syarat-syarat yang telah ditetapkan,” (Subul al-Salam II, hal.
206).

Pengertian puasa seperti yang disebutkan di atas, baik secara etimologis maupun
terminologis, satu dan lainnya saling melengkapi. Berdasarkan uraian tersebut, menurut
hemat penulis, puasa adalah: “Meninggalkan makan, minum, bercampur dengan istri dan
segala yang membatalkannya mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, disertai
niat dan keikhlasan karena Allah SWT, dengan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan."

3
B. Syarat dan Rukun Puasa
Syarat puasa terbagi menjadi dua macam. Pertama adalah syarat wajib puasa,
dimana bila syarat-syarat ini terpenuhi, seseorang menjadi wajib hukumnya untuk
berpuasa. Kedua adalah syarat sah puasa, dimana seseorang sah puasanya bila memenuhi
syarat-syarat itu.
A. Syarat Wajib

Syarat wajib maksudnya adalah hal-hal yang membuat seorang menjadi wajib
untuk melakukan puasa. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi pada diri seseorang,
maka puasa Ramadhan itu menjadi tidak wajib atas dirinya. Atau malah sebaliknya,
puasa ramadhan hanya akan menjadi mubah, sunnah, atau malah haram.

Di dalam kitab-kitab fiqih yang muktamad, para ulama telah melakukan berbagai
kajian tentang syarat-syarat yang mewajibkan seseorang untuk berpuasa di bulan
Ramadhan. Diantara syarat-syarat yang mewajibkan seseorang harus berpuasa antara
lain:

1. Beragama Islam
Jumhur ulama sepakat bahwa syarat wajib berpuasa yang pertama kali adalah
bahwa orang yang diwajibkan untuk berpuasa itu hanya orang yang memeluk
agama Islam saja. Sedangkan mereka yang tidak beragama Islam, tidak
diwajibkan untuk berpuasa1
2. Baligh
Syarat kedua yang menjadikan seseorang wajib untuk mengerjakan ibadah
puasa wajib adalah masalah usia baligh. Mereka yang belum sampai usia
baligh seperti anak kecil, tidak ada kewajiban untuk berpuasa Ramadhan.
Namun orang tuanya wajib melatihnya berpuasa ketika berusia 7 tahun.
Bahkan bila sampai 10 sudah boleh dikenakan sanksi. Hal itu sebagaimana
ketika melatih anak-anak untuk shalat.
Dari Ibnu Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Perintahkan anak-anak
kamu untuk mengerjakan shalat ketika berusia 7 tahun dan pukullah mereka
1
Ahmad Sarawat, Puasa: Syarat Rukun & Membatalkan (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hal. 8

4
karena tidak menegakkan shalat ketika berusia 10 tahun. Dan pisahkan
tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud dan Hakim)2.
3. Berakal
Syarat ketiga dari syarat wajib puasa adalah berakal. Sudah menjadi ijma’
ulama bahwa orang gila adalah orang yang tidak berakal, sehingga orang gila
tidak diwajibkan untuk mengerjakan puasa.
Dasarnya adalah potongan hadits di atas :
‫وع ن ال جُنِو ن ح ّت ِيْف يق‬
“Dari orang gila hingga waras.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizy)

Seorang yang dalam keadaan gila bila tidak puasa maka tidak ada tuntutan
untuk mengganti puasa yang ditinggalkannya ketika dia telah sembuh selama
masih hidup di dunia. Dan di akhirat kelak, tidak ada dosa yang harus
ditanggungnya karena meninggalkan kewajiban berpuasa.
Namun dalam kasus dimana seseorang secara sengaja melakukan sesuatu
yang mengantarkannya kepada kegilaan, maka wajib puasa atau wajib
menggantinya. Hal yang sama berlaku pada orang yang mabuk, bila
mabuknya disengaja. Tapi bila mabuknya tidak disengaja, maka tidak wajib
atasnya puasa.
4. Sehat
Orang yang sedang sakit tidak wajib melaksanakan puasa ramadhan. Namun
dia, wajib menggantinya dihari lain ketika nnati kesehatannya telah pulih.
Allh SWT berfirman:
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib menggantinya)
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-
Baqarah : 185).
Jenis penyakit yang membolehkan seseorang tidak menjalankan kewajiban
puasa Ramadhan adalah penyakit yang akan bertambah parah bila berpuasa.
Atau ditakutkan penyakitnya akan terlambat untuk sembuh.
5. Mampu

2
Ahmad Sarawat, Puasa: Syarat Rukun & Membatalkan (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hal. 14

5
Allah hanya mewajibkan puasa Ramadhan kepada orang yang memang masih
mampu untuk melakukannya. Sedangkan orang yang sangat lemah atau sudah
jompo dimana secara fisik memang tidak mungkin lagi melakukan puasa,
maka mereka tidak diwajibkan puasa. Allah SWT berfirman :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah,
yaitu memberi makan seorang miskin..” (QS. Al-Baqarah : 184)
6. Tidak dalam Perjalanan
Orang yang dalam perjalanan tidak wajib puasa. Tapi wajib atasnya
mengqadha‘ puasanya di hari lain. Allah SWT berfirman:
“...Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka (wajib
menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang
lain....” (QS. Al-Baqarah : 185).
Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan :
Bahwa Hamzah Al-Aslami berkata, ”Ya Rasulullah, Aku kuat tetap berpuasa
dalam perjalanan, apakah aku berdosa?”. Rasulullah SAW menjawab, ”Itu
adalah keringanan dari Allah, siapa yang berbuka maka baik. Dan siapa
yang lebih suka berpuasa maka tidak ada dosa”. (HR. Muslim dan An-
Nasai).
Namun menurut para ulama, tidak semua jenis perjalanan itu membolehkan
seseorang tidak puasa. Perjalanan yang membolehkan seseorang tidak
berpuasa ada syaratnya.
7. Suci dari Haid dan Nifas
Para ulama telah berijma’ bahwa para wanita yang sedang mendapat darah
haidh dan nifas tidak diwajibkan untuk berpuasa. Bahkan bila tetap dikerjakan
juga dengan niat berpuasa, hukumnya malah menjadi haram.
Dasar ketentuannya adalah hadits Aisyah radhiyallahuanha berikut ini :
‫كنا ُْن ؤُمر بقضاء ال ْص وم وال ُْن ؤُمر بقضاء ال صلة‬
“Kami (wanita yang haidh atau nifas) diperintahkan untuk mengqadha’
puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha; shalat.” (HR. Muslim)

6
B. Syarat Sah

Yang dimaksud dengan syarat sah adalah semua hal yang membuat ibadah
puasa menjadi sah hukumnya. Bila salah satu syarat ini tidak ada, maka ibadah itu
tidak sah hukumnya. Sedangkan syarat wajib adalah hal-hal yang bila terpenuhi
pada diri seseorang, puasa menjadi wajib atas dirinya.

Sedangkan syarat sah adalah syarat yang harus dipenuhi agar puasa yang
dilakukan oleh seseorang itu menjadi sah hukumnya dihadapan Allah SWT.

1. Niat
Para ulama selain Asy-Syafi'iyah, seperti Al- hanafiyah, Al-Malikiyah
dan Al-Hanabilah meletakkan niat sebagai syarat puasa 10. Sedangkan
As-Syafi'iyah tidak meletakkan niat sebagai syarat, melainkan justru
ditempatkan pada bagian rukun puasa.
Niat itu sendiri tempatnya di dalam hati bukan pada lidah. Seorang
yang melafadzkan niat di lidahnya belum tentu berniat di dalam
hatinya. Dan seorang yang meniatkan di dalam hati tanpa
melafadzkannya di lidah, sudah pasti berniat.
Al-Malikiyah mengatakan lebih utama untuk meninggalkan at-
talaffudz bin-niyah (melafadzkan niat). Sebaliknya jumhur ulama
selain Al-Malikiyah menyunnahkannya3.
2. Beragama Islam
Para ulama memandang bahwa keislaman seseorang bukan hanya
menjadi syarat wajib untuk berpuasa, tetapi juga sekaligus menjadi
syarat sah untuk berpuasa.
3. Suci dari Hadist dan Nifas
Seorang wanita yang mendapat haidh dan nifas, bila tetap berpuasa
maka puasanya tidak sah dan tidak diterima disisi Allah SWT. Bahkan
kalau dirinya tahu bahwa sedang mengalami haidh atau nifas tetapi,

3
Ahmad Sarawat, Puasa: Syarat Rukun & Membatalkan (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hal. 21

7
nekat ingin mnegerjakan puasa juga, maka hukunnya justru menjadi
haram.4
4. Pada hari yang Dibolehkan
Syarta sah yang yang terakhir untuk ibadah puasa adalah hanya boleh
dilakukan pada hari-hari yang dibolehkan berpuasa. Bila melakukan
puasa pada hari-hari yang dilarang, maka puasanya tidak sah bahkan
haram untuk dilakukan. Adapun hari-hari yang terlarang untuk
melakukan puasa anatara lain Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha, hari
Tasyrik yaitu, tanggal 11,12 dan 13 bulan Dzulhijjah

Puasa mempunyai dua rukun yang menjadi inti Ibadah, dimana tanpa
kedua rukun itu, maka puasa menjadi tidak sah disisi Allah SWT. Dua rukun
puasa itu adalah niat dan imsak, yaitu menahan diri dari mengerjakan dari segala
yang membatalkan puasa.

A. Niat
Niat adalah rukun yang pertama dari dua rukun puasa menurut jumhur ulama.
Namun beberapa ulama tidak memasukkan niat kedalam rukun puasa,
melainkan memasukkan kedalam syarat sah puasa.
B. Imsak
Rukun puasa yang kedua adalah imsak ( ‫)إمساك‬, yaitu menahan diri dari segala
yang membatalkan shalat, sejak dari terbitnya fajar hingga masuknya waktu
malam, yang ditandai dengan terbenamnya matahari. Batasan ini telah
ditegaskan Allah SWT di dalam Al-Quran yang artinya: "Dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanalah puasa itu sampai malam." (Q.S Al-Baqarah:
187)

4
Ahmad Sarawat, Puasa: Syarat Rukun & Membatalkan (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hal. 25

8
C. Landasan Hukum Puasa

Ibadah puasa Ramadhan diwajibkan berdasarkan ketetapan al-Qur’an, al-Sunnah


dan ijma’ umat Islam. Firman Allah SWT.:

َٰ ‫َأُّيَه ا ٱَّلِذيَن َء اَم ُنوْا ُك ِتَب َع َلۡي ُك ُم ٱلِّص َي اُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى ٱَّلِذيَن ِمن َق ۡب ِلُك ۡم َلَع َّلُك ۡم َت َّتُقوَن‬

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah, 2:183).

Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima, disyariatkan
pada hari Senin tanggal 2 Sya’ban, tahun kedua Hijriyah. Nabi s.a.w., bersabda:

ُ ‫ِنَي اِإْلْس اَل ُم َع َلى َخ ْم ٍس َش َهاَدِة َأْن اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهَّللا َو َأَّن ُم َح َّم ًد اَر ُسوُل ِهَّللا َو ِإَق اِم الَّص اَل ِة َو ِإيَت اِء الَّز َك اِة َو اْلَح ِّج َو َص ْو ِم‬
‫َر َمَض اَن‬

“Islam itu ditegakkan atas lima azas yaitu: (1) Bersaksi bahwa sesungguhnya
tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad
adalah utusan Allah. (2) Mendirikan shalat. (3) Menunaikan zakat. (4) Berhaji ke
Baitullah. (5) Berpuasa dalam bulan Ramadhan”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 7
dan Muslim: 19).

Dalam hadis yang lain Rasulullah SAW, bersabda:

َ‫ْن َص اَم َر َمَض اَن ِإيَم اًن ا َو اْح ِتَس اًبا ُغ ِفَر َلُه َم ا َتَقَّد َم ِمْن َذ ْن ِبِه‬

Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: "Siapa yang melaksanakan puasa
Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan, maka diampuni dosanya yang telah
berlalu”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 37 dan Muslim: 1266).

Dalam hadis yang lain Rasulullah SAW, bersabda:

ُ‫ُّل َعَم ِل اْب ِن آَد َم ُيَض اَع ُف اْلَح َس َن ُة َع ْش ُر َأْم َث اِلَه ا ِإَلى َس ْبعِم اَئ ة ِض ْع ٍف َق اَل ُهَّللا َع َّز َو َج َّل ِإاَّل الَّصْو َم َف ِإَّن ُه ِلي َو َأَن ا َأْج ِز ي‬
‫َأْط‬ ‫ُل‬ ‫ٌة‬ ‫ْط‬ ‫ٌة‬ ‫َأ‬ ‫َط‬
‫ِبِه َي َد ُع َش ْه َو َت ُه َو َع اَم ُه ِمْن ْج ِلي ِللَّصاِئِم َف ْر َح َت اِن َف ْر َح ِع ْن َد ِف ِر ِه َو َف ْر َح ِع ْن َد ِلَقاِء َر ِّبِه َو َلُخ وُف ِفيِه َي ُب ِع ْن َد ِهَّللا ِمْن ِر يِح‬
‫اْلِمْس ِك‬

“Amal setiap orang balasannya dilipat gandakan, setiap kebaikan dibalas dengan
sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali. Berfirman Allah SAW: “Kecuali puasa, karena

9
sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang langsung membalasnya,
karena ia (orang yang berpuasa) telah meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya
semata-mata untuk beribadah pada-Ku. Bagi orang yang berpuasa memperoleh dua
kebahagiaan, (1) kebahagiaan ketika ia berbuka dan (2) kebahagiaan ketika ia berjumpa
dengan Tuhannya. Sesungguhnya aroma mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih
harum dari parfum misk (kasturi)”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 6938 dan
Muslim: 1945).

10
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Dalam pengertian yang lain, istilah al-shaum atau puasa memiliki arti yaitu ‫ترك الطعام‬
‫ والشـــرب والنكـــاح والكالم‬yaitu meninggalkan makan, minum, bercampur dengan isteri, dan
meninggalkan perkataan. Pengertian puasa seperti yang disebutkan di atas, baik secara
etimologis maupun terminologis, satu dan lainnya saling melengkapi. Berdasarkan uraian
tersebut, menurut hemat penulis, puasa adalah: “Meninggalkan makan, minum, bercampur
dengan istri dan segala yang membatalkannya mulai dari terbit fajar sampai terbenam
matahari, disertai niat dan keikhlasan karena Allah SWT, dengan ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan." Dalam syarat puasa terbagi menjadi dua yaitu syarat sah dan juga syarat
wajib. Dalam rukun puasa pun ada dua yaitu niat dan imsak.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sarawat, L. M. (2018, Agustus 27). Puasa: Syarat, rukun yang membatalkan. Jakarta,
Indoenisa.

As-Shiyam. (2023, April 4). Pengertian dan Landasan Hukum Puasa Ramdhan. Indonesia.

Rahmi, A. (2015). Puasa dan hikmahnya Terhadap Kesehatan fisik dan Mental Spritua.

12

Anda mungkin juga menyukai