Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIQH IBADAH

PUASA DI DAERAH UPNORMAL DAN RUKHSHAH PUASA


Di susun untuk memenuhi tugas makalah FIQH IBADAH semester II
DOSEN PENGAMPU :
Dr. BENI FIRDAUS, SHI, MA.

KELOMPOK 10 Oleh :

1. Ade Brilliant (1421023)


2. Reza Khairus Syawal (1421025)

KELAS HPI {A}


JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI [IAIN] BUKITTINGI 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Segala puji bagi Allah, swt, berkat Ridho Nya, penulis akhirnya mampu menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “ Puasa di-daerah Upnormal dan Rukhshah Puasa ”. Dalam menyusun
makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis alami, namun berkat dukungan,
dorongan dan semangat dari orang-orang terdekat, sehingga penulis mampu menyelesaikannya.
Oleh karena itu penulis pada kesempatan ini megucapkan terimakasih kepada teman-teman yang
memberikat semangat dan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikannya Dengan kerendahan
hati, penulis memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat dan kesalahan. Meskipun
demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah.

Wassalamualaikum wr.wb.

Bukittinggi, Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

KATA PENGANTAR

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian, Syarat, dan Rukun Puasa

1. Pengertian Puasa

2. Syarat Puasa

3. Rukun Puasa

B. Perbedaan Waktu Antar Wilayah/Negara saat Puasa

C. Rukhshah Puasa

1. Pengertian Rukhshah dan Bentuk-bentuknya

2. Orang yang Mendapatkan Rukhsah Puasa

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B.Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Secara etimologis, puasa adalah “al-imsak’ (menahan diri). Adapun secara


terminologis, yang dinamakan puasa adalah: “Menahan diri dari sesuatu yang dapat
membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari disertai
niat.” Hal tersebut merupakan defenisi dari Fuqaha’ (ulama fikih) dalam memahami
batasan waktu puasa sesuai firman Allah SWT. “QS. Al-Baqarah:187.” Pada
kenyatannya ketika kita aplikasikan rumusan defenisi puasa tersebut pada daerah-daerah
tertentu ternyata terjadi perbedaan secara signifikan antara daerah satu dengan daerah
lainnya, Misalnya daerah yang berada disekitar khatulistiwa, ia relatif mengalami
kestabilan antara waktu siang dengan malamnya. Akan tertapi terjadi perbedaan secara
kontras terhadap daerah-daerah yang berada disekitar kutub (utara-selatan). Semakin jauh
daerah tersebut dari daerah khatulistiwa, maka akan semakin kontras perbedaan
waktunya, dapat diartikan perbedaan panjang sian dan malamnya akan berbanding
terbalik tiap antar sisinya. Semakin dekat daerah tersebut dengan kutub maka akan
semakin ekstrim perbedaan waktunya, itulah yang dinamakan daerah/wilayah abnormal.
Untuk pengaplikasian waktu puasa di daerah abnormal yaitu dengan mengikuti waktu
puasa daerah Hijaz (Makkah-Madinah), atau dengan mengikuti daerah/Negara terdekat
yang ada batas antara siang dan malamnya.

Terkait dengan perbedaan waktu yang abnormal dalam menjalankan puasa, pasti ada saja
orang yang tidak mapu melaksanakan puasa hingga waktunya berbuka. Tidak hanya
karena batasan waktu saja, pasti ada banyak kendala lainnya sehingga terpaksa dalam
membatalkan puasa. Oleh karena itu, penulis juga akan membahas materi tentang
Rukhshah Puasa (keringanan dalam berpuasa). Allah itu Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang terhadap segala makhluknya, bahkan dalam berpuasa sekalipun, Allah tetap
memberikan keringanan terhadap makhluk-makhluknya.
B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Pengertian, syarat dan Rukun Puasa.

2. Perbedaan waktu Puasa antar Negara.

3. Rukhshah Puasa.

C. Tujuan Penulisan

Dari perumusan masalah di atas. Tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :

1. Untuk memahami lebih dalam tentang puasa.


2. Untuk menambah wawasan terhadap durasi berpuasa antar negara.
3. 3. Memahami lebih rinci tentang rukhshah puasa.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Syarat, dan Rukun Puasa

1. Pengertian puasa

Secara etimologis, puasa adalah “al-imsak’ (menahan diri). Adapun secara


terminologis, yang dinamakan puasa adalah: “Menahan diri dari sesuatu yang dapat
membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari disertai
niat.” Hal tersebut merupakan defenisi dari Fuqaha’ (ulama fikih) dalam memahami
batasan waktu puasa sesuai firman Allah SWT. “QS. Al-Baqarah:187.”

2. Syarat puasa

a. Syarat wajib puasa

1. Baligh. 3. Berakal.

2. Islam. 4. Ada kemampuan secara fisik dan syara’1

b. Syarat sah puasa

1. Tetap islam saat berpuasa.


2. Tamyiz.
3. Bebas dari haid, nifas, dan wiladah ketika puasa.
4. Waktunya memungkinkan untuk berpuasa.2

3. Rukun puasa

1. Menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, mulai terbit fajar
hingga terbenamnya matahari.
2. Niat.
3. Berpuasa/melaksanakan puasa.
1
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Darul Ulum Press, Jilid IV, hlm. 9
2
Ibid, hlm. 10
B. Perbedaan Waktu Antar Wilayah/Negara saat Puasa

3
Duta.com
*Didapat dari berbagai sumber: Duta.com, Dream.co.id, Liputan6.com,Kompas.com,
Tribunnews.com
Berdasarkan tabel yang tercantum diatas, maka dapat kita ketahui bahwa adanya
perbedaan waktu antar wilayah saat berpuasa, dan durasi dalam melakasanakannya pun
ada yang lebih singkat waktu menahan laparnya, dan ada juga yang menahan lapar lebih
lama. Berdasarkan tabel diatas, waktu tersingkat dalam menahan adalah 11 jam 32 menit,
sedangkan durasi paling lama yaitu 21 jam 2 menit. Maka bersyukurlah bagi kita yang
tinggal di Indonesia,yang waktu menahannya hanya 13 jam saja.

C. Rukhshah Puasa
1. Pengertian Rukhsah dan Bentuk-bentuknya
a. Pengertian Rukhshah
Secara etimologi, Rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan kemurahan.
Sedangkan kata Rukhshah menurut terminologi adalah “sesuatu hukum yang diatur
syara’ karena ada satu udzur yang berat dan menyukarkan” atau “hukum yang telah
ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang
menyebabkan kemudahan.”

Dengan demikian, Rukhsah Puasa dapat diartikan dengan “suatu


keringanan/kompensasi bagi mereka yang tidak dapat menjalankan ibadah puasa ataupun
harus membatalkan puasanya dikarenakan suatu udzur.”

Mengenai kewajiban berpuasa, keringanan-keringanan, dan bagaimana cara untuk


membayar “utang” puasa, Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah (ayat 183-185)

‫ت فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم‬ ٍ ‫ َأيَّا ًما َم ْعدُودَا‬. َ‫م لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬aْ ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك‬
َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬ َ ِ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ٍ ‫خَر َو َعلَى الَّ ِذينَ يُ ِطيقُونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِك‬
ُ‫ين فَ َم ْن تَطَ َّو َع خَ ْيرًا فَه َُو خَ ْي ٌر لَه‬ َ ‫َم ِريضًا َأوْ َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن َأي ٍَّام ُأ‬
‫ت ِمنَ ْالهُدَى‬ ٍ ‫اس َوبَيِّنَا‬ِ َّ‫ضانَ الَّ ِذي ُأ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُرْ آنُ هُدًى لِلن‬ َ ‫ َش ْه ُر َر َم‬. َ‫ َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬a‫َوَأ ْن تَصُو ُموا‬
َ ‫ َأوْ َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن َأي ٍَّام ُأ‬a‫ضا‬
‫خَر ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر‬ ُ َ‫ان فَ َم ْن َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْلي‬
ً ‫ص ْمهُ َو َم ْن َكانَ َم ِري‬ ِ َ‫َو ْالفُرْ ق‬
َ‫م تَ ْش ُكرُون‬aْ ‫ ْال ِع َّدةَ َولِتُ َكبِّرُوا هَّللا َ َعلَى َما هَدَا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك‬a‫واَل ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر َولِتُ ْك ِملُوا‬.
َ

Terjemahan:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari
yang tertentu. Maka, barang siapa di antara kalian sakit atau berada dalam perjalanan (lalu
berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa), membayar
fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan
dengan kerelaan hati, itulah yang lebih baik baginya. Berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Oleh karena itu,
barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah ia ber-
puasa pada bulan itu, dan barangsiapa yang sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka),
(dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Allah meng-
hendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah
kalian mencukupkan bilangan (bulan) itu dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.”

b. Bentuk-bentuk Rukhsah
1) Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib
atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila
melakukan perbuatan tersebut.
2) Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti mengurangi jumlah rakaat
shalat yang empat pada waktu qashar atau mengurangi waktunya pada shalat jama’
karena musafir
3) Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang lebih ringan
seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air atau tidak
bisa atau tidak boleh menggunakan air karena sakit dan lainnya, mengganti shalat berdiri
dengan duduk, berbaring atau isyarat, mengganti puasa wajib dengan memberikan makan
kepada fakir miskin bagi orang tua yang tidak bisa berpuasa atau orang sakit yang tidak
ada harapan sembuhnya.
4) Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya kewajiban seperti penangguhan
shalat Zuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir atau menangguhkan pelaksanaan puasa
ke luar bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir.
5) Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban seperti membayar zakat
fithrah beberapa hari sebelum hari raya padahal wajibnya adalah pada akhir Ramadhan
6) Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksasnakan shalat
ketika sakit atau dalam keadaan perang
7) Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan
meninggalkan perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar’i seperti bolehnya
memakan memakan bangkai, darah, dan daging babi pada asalnya haram. (karena dalam
keadaan terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkannya)

2. Orang yang Mendapatkan Rukhsah Puasa

Diantara golongan-golongan yang mendapatkan keringanan atau rukhsah puasa adalah:

a. Musafir

Dalam QS Al Baqarah ayat 184 Allah SWT dengan jelas memberikan keringanan bagi
orang yang sedang sakit atau yang dalam perjalanan (musafir).

ٍ ‫فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضًا َأوْ َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن َأي ٍَّام ُأ َخ َر َو َعلَى الَّ ِذينَ يُ ِطيقُونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِك‬
‫ين‬

Maka, barang siapa di antara kalian sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia
wajib berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah,
(yaitu) memberi makan seorang miskin.

Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, seperti:

Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam : “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?” -dia banyak melakukan safar- maka
Rasulullah SAW bersabda (yang artinya) : “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah
jika kamu mau” (HR Bukhari Muslim)

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku pernah melakukan safar
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa
tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa” (HR
Bukhari Muslim)

Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang


afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka
berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam (yang artinya): “Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang
diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat” (HR Ahmad)

Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha’
dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini
telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu
‘anhu. “Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka)
itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu
baik (baginya)” (HR Tirmidzi)

Lalu perjalanan seperti apakah sehingga seseorang yang melaksanakannya bias dikatakan
sebagai musafir?

Bila mengacu pada Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-
Syafi'iyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa minimal berjarak empat burud.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam
tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 KM.4

b. Sakit

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Al-
Baqarah : 185).

Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan
kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit

4
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al-Hafid, jilid 1 hal. 404
yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin
parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya.

c. Haid dan Nifas

Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan
berpuasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka
puasanya) tidak sah.

d. Kakek dan Nenek yang Lanjut Usia

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum berkata : “Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang
tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin.”

Diriwayatkan oleh Daruquthni dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid
dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat : “Orang-orang yang tidak mampu puasa harus
mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin” [Al-Baqarah : 184]. Kemudian beliau
berkata : “Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus
memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2 gantang gandum”.

e. Wanita Hamil dan Menyusui

Dari Anas bin Malik, ia (Al Ka’bi, pembantu Rasulullah SAW) berkata : “Kudanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau
bersabda, “Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa.
Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir,
menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa”.

Untuk mengganti puasa yang ditinggalkan oleh golongan-golongan yang disebutkan


diatas, yaitu dengan mengqodho pada waktu selain bulan Ramadhan dan bukan pada hari
yang diharamkan berpuasa. Begitu wajib mengqadha atau membayar utang puasanya
bagi orang-orang yang meninggalkannya sebab-sebab uzur yang telah disebutkan di atas.

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah 184:


‫وَ َعلَى الَّ ِذينَ يُ ِطيقُونَهُ فِ ْديَةُ طَ َعا ُم ِم ْس ِكي ٍن‬

“… Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…”

Fidyah atau kifarat satu orang miskin yang dimaksud dalam ayat di atas adalah memberi makan
untuk ukuran sehari dua kali makan yaitu siang dan malam.5

5
http://kabarwashliyah.com/2013/06/30/utang-puasa-yang-terlupakan-antara-qadha-dan-fidyah/

Anda mungkin juga menyukai