Anda di halaman 1dari 12

Puji syukur alhamdulillah, kami haturkan kehadirat Allah SWT yang semata-mata berkat rahmat, hidayah

dan ma’unah-Nya, penyusunan makalah ini dapat diselesaikan dengan tanpa menemui hambatan yang
berarti.

Kami yakin atas petunjuk-Nya pula sehingga berbagai pihak berkenan memberikan bantuan dan
kemudahan bagi kami. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama
kepada, Ibu Nina Agus hariati, M.H. selaku pembimbing matakuliah Studi Fiqih yang telah memberi
pengarahan dalam penyusunan makalah ini.

Makalah ini disusun dengan harapan dapat dimanfaatkan oleh para pembaca terutama para mahasiswa
untuk menambah khazanah baru tentang matakuliah Studi Fiqih.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan penyempurnaan. Karena itu, kritik konstruktif
dari pembaca sangat diharapkan demi sempurnanya makalah ini. Atas kritik dan saran dari pembaca,
kami ucapkan terima kasih.

Terakhir kami berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, termasuk kami.
Aamiin.

Kesimpulan

Puasa yang merupakan rukun Islam yang ke empat ialah suatu kewajiban bagi umat Islam baik yang tua
maupun yang muda, baik yang sakit maupun sehat, yang sibuk maupun senggang. Namun sesuai dengan
firman Allah SWT pada surah Al-Baqarah ayat 185. Yang artinya "Allah menghendaki kemudahan bagimu
dan tidak menghendaki kesukaran" Artinya Allah memberikan kemudahan bagi hambanya yang tidak
bisa melaksanakan ibadah termasuk ibadah puasa. Begitu juga dengan ibu hamil dan menyusui Islam
telah memberikan banyak kemudahan bagi ibu hamil dan menyusui untuk melaksanakan puasa karena
kondisi mereka yang apabila berpuasa maka akan merugikan dirinya dan janin ataupun anaknya.
Sehingga hukum yang mengatur akan hal tersebut tidak mewajibkan seorang ibu hamil dan menyusui
untuk berpuasa dan menggantinya dengan berpuasa dihari lain ataupun membayar fidyah. yang berat
melaksanakan puasa mendapatkan Rukhsah atau keringanan dari Allah SWT yaitu dengan
mengqada'nya.

Dari pendapat Ulama' diatas pendapat Ulama' Syafi'iyah lebih kuat dan lebih pantas untuk diamalkan
yang mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa ramadhan karena takut
atas keselamatan janin yang dikandungnya dan anaknya sekaligus kesehatan badannya maka ia wajib
qadha puasa juga membayar fidyah, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Karena kekhawatiran wanita tersebut bukan lantaran takut pada dirinya tapi khawatir atas janin dan
anak. Artinya di mana pada dasarnya ia mampu untuk melaksanakan berpuasa ramadhan tetapi karena
menimbang janin atau anak yang masih menyusui terpaksa tinggalkan puasa.

2. Karena Ulama Syafi'iyah mempunyai hadist pendukung lainnya yang setelah di telusuri dari pendapat
ulama hadist yang dipakai oleh Syafi'iyah adalah hadistnya shahih sedangkan Ulama Hanafiyah hasan,
dan juga lebih rasionalnya alasan yang digunakan oleh Syafi'iyah.3. Dalil yang dipakai oleh ulama
Hanafiyah adalah hanya satu hadist saja yaitu hadist hasan. Ulama Syafi'iyah memakai dalil al-qur'an
yang didukung oleh hadist shahih.

4. Rukhsah yang diambil oleh Syafi'iyah lebih spesifik yaitu melihat niat dari wanita hamil dan menyusui
tersebut sedangkan Hanafiyah memandang secara mutlak tanpa memandang niat sehingga membuka
kelonggaran yang luas bagi seorang wanita untuk meninggalkan puasa tanpa melihat latar belakangnya.
Jadi hendaknya wanita hamil dan menyusui harus memposisikan niatnya ketika mengamalkan rukhsah
yang diberikan oleh Allah SWT pada dirinya agar ia dapat mengamalkannya dengan tepat dan benar
serta terjauh dari keraguraguan.

Saran

Pada akhir penulisan ini, penulis akan memberikan beberapa saran yang pertama Diharapkan kepada
wanita hamil dan menyusui bila puasa itu tidak memudaratkan pada janin atau anak yang sedang
menyusui hendaknya tetaplah berpuasa, karena mengqadha puasa merupakan sesuatu yang sangat
berat, lebih-lebih lagi di luar Ramadhan. Kemudian yang kedua Diharapkan kepada mahasiswa
mahasiswi untuk lebih giat menganalisa secara detail tentang permasalahan-permasalahan
khilafiyah,sehingga dapat memberikan masukan yang lebih mendekati ke arah kebenaran, sekaligus
mengembangkan ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat. Dan setiap ilmu di bidang apapun
yang kita dapatkan hendaklah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Irfan, Hwaa. “Fasting and Pragnancy”. 10/27/2003. http://www.ramadanpregnancy.pdf/h4.html.

Ahnan Mahtuf dkk, Risalah fiqih wanita,Surabaya: Terbit Terang, tt


Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2000

Fauzan Al-Saleh, Fiqih Sehari-Hari, Jakarta: Gema Insani Press, 2005

Hazm, Ibn, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz I. Beirut: Darul kutub al-Islamiyah,tt

Rifa’I, Muhammad, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, semarang :Toha putra,2006

Sufandi, Irfan, Ustadz, Ensiklopedi Puasa , Cet-I Sura Karta:Indiva Pustaka, 2008

Sufandi, Irfan, Ustadz, Ensiklopedi Puasa , Cet-I Sura Karta:Indiva Pustaka, 2008
Rifai'i, Moh. Fikih Islam Lengkap.Semarang: Karya Toha Putra, 1978.

Rahmat Ritonga dan Zainuddin. Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Latar belakang

Puasa Ramadhan merupakan rukun Islam yang ke-empat. Pelaksanaan puasa dilakukan selama satu
bulan penuh pada bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan dipercaya dapat menghapus dosa-dosa yang telah
diperbuat. Puasa Ramadhan wajib dilaksanakan bagi setiap umat Islam,baik orang tua, muda, musafir,
orang sakit, maupun wanita hamil dan menyusui. Kewajiban berpuasa Ramadhan termaktub dalam
surat alBaqarah (02) ayat 183

‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُک ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُوْ ن‬ َ ِ‫ٰيٓايُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُک ُم الصِّ يَا ُم َک َما ُكت‬

Artinya; "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 183)

Wanita hamil dan menyusui termasuk salah satu golongan yang terkena khitab dari keumuman perintah
puasa sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Baqarah (02) ayat 183 tersebut. Namun, pada ayat
setelahnya yaitu surat al-Baqarah (02) ayat 184

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َ  ‫ت ۗ فَ َم ْن كَا نَ ِم ْن ُك ْم َّم ِر ْيضًا اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّم ْن اَيَّا ٍم اُخَ َر‬
‫ۗ و َعلَى الَّ ِذ ْينَ ي ُِط ْيقُوْ نَهٗ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِكي ٍْن ۗ فَ َم ْن تَطَ َّو َع َخ ْيرًا فَه َُو َخ ْي ٌر‬ ٍ ‫اَيَّا ًما َّم ْع ُدوْ ٰد‬
َ‫لَّهٗ  ۗ  َواَ ْن تَصُوْ ُموْ ا خَ ْي ٌر لك ْم اِ ْن كنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬
ْ ُ ُ َّ

Artinya; "(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan
(lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari
yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik
baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 184)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak
berpuasa), maka wajib mengganti (mengqadha’) puasa sebanyak hari yang ditinggalkan. Sedang bagi
orang yang berat menjalankan puasa maka diwajibkan untuk membayar fidyah (memberik makan orang
miskin).

Wanita hamil dan menyusui menurut beberapa pendapat termasuk bagian dari orang yang berat
menjalankan puasa sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Baqarah (02) ayat 184 tersebut.
Sehingga konsekuensi dari pendapat tersebut yaitu jika wanita hamil dan menyusui tidak melaksanakan
puasa Ramadhan maka ia diwajibkan untuk membayar fidyah.

Adanya rukhsah untuk tidak berpuasa bagi wanita hamil dan menyusui tersebut memunculkan
perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait kewajiban yang harus dipenuhi oleh wanita hamil dan
menyusui. Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib mengganti
(mengqadha‟) puasanya. Sedang sebagian ulama lain mewajibkan mengganti (mengqadha’)puasa dan
membayar fidyah.

Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh adanya pandangan bahwa wanita hamil dan menyusui
disamakan hukumnya dengan wanita haid, nifas, orang sakit dan musafir. Sehingga hanya diwajibkan
mengganti (mengqadha‟) puasanya saja. Sedang sebagian ulama lain memandang bahwa wanita hamil
dan menyusui tidak dapat disamakan hukumnya dengan orang sakit akan tetapi disamakan dengan
orang yang berat menjalankan puasa sehingga selain diwajibkan mengganti (mengqadha’) puasanya juga
diwajibkan membayar fidyah .

Perbedaan pendapat tersebut mengakibatkan adanya kebingungan di masyarakat, khususnya bagi para
wanita hamil dan menyusui yang tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan terkait kewajiban
mengganti (mengqadha‟) puasa yang ditinggalkan saja atau mengganti puasa (mengqadha‟) puasa dan
membayar fidyah.Kondisi ini menarik penulis untuk menggali lebih dalam mengenai ketentuan puasa
bagi wanita hamil dan menyusui, faktor-faktor yang melatarbelakangi perbedaan pendapat, serta
menganalisa pendapat yang lebih rajih di antara pendapat para ulama.

Rumusan Masalah

Bagaimana

Tujuan

Untuk

Paparan Masalah

Di Lingkungan penulis tepatnya di kecamatan besuk kabupaten Probolinggo Jawa timur pada bulan
Ramadhan biasanya sebagian besar ibu Hamil dan menyusui tidak melaksanakan puasa. Dengan Alasan
khawatir terhadap keadaan kesehatan si anak dan kemudian mengqada' atau mengganti nya setelah
lebaran. Karenanya muncul paparan masalah bagaimana Hukum mengqada' puasa bagi ibu hamil dan
menyusui tersebut sangat mengundang perdebatan di kalangan paraulama dan masyarakat umum.
Beberapa ulama memahami bahwa ibu hamil dan menyusui dapat mengqada' puasa di kemudian hari
jika mereka tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan. Ahli agama, Ada yang berpendapat bahwa ibu
hamil dan menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa apabila merasa khawatir akan mengganggu
kesehatan bayi atau dirinya sendiri. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa wanita tersebut harus
tetap berpuasa dan mengqada' di kemudian hari.Paparan masalah yang muncul adalah tentang
bagaimana menentukan standar kesehatan dan keamanan bagi wanita hamil dan menyusui ketika
berpuasa. Apakah setiap wanita hamil atau menyusui harus menghindari berpuasa sepenuhnya demi
kesehatan bayi dan dirinya sendiri? Bagaimana Dalil yang menyatakan wajibnya puasa? Bagaimana
pendapat Ulama' Syafi'iyah dan Hanafiyah mengenai mengqada' puasa bagi ibu hamil dan menyusui?
Apakah wanita tersebut harus mengqada'seluruh puasa di kemudian hari ataukah dapat membayar
fidyah dan berpuasa sebanyak yang dia mampu? Dan masih banyak lagi yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu. Masalah-masalah yang muncul dalam hukum mengqada' puasa bagi ibu hamil dan
menyusui ini perlu dipertimbangkan untuk mencari solusi yang tepat dan adil bagi semua pihak.

Kajian Pustaka

Dasar Hukum Puasa

Dasar hukum puasa tercantum dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (02) ayat 183.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

َ‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُک ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُوْ ن‬


َ ِ‫صيَا ُم َک َما ُكت‬ َ ِ‫ٰيٓا يُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُک ُم ال‬

Artinya; "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 183)

Adapun dasar hukum puasa selain dari al-Qur‟an juga tercantum dalam hadits berikut:

‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ذكر شهر رمضان فقال؛ شهر كتب هللا عليكم صيامه وسننت لكم قيامه فمن صامه وقامه ٕا بمانا‬
‫واحتساباخرج من ذنوبه كيوم ولكنه ٔامه‬

Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut bulan Ramadhan dan berkata bahwa bulan itu
merupakan bulan yang diwajibkan oleh Allah atas kamu untuk berpuasa dan bulan yang aku sunatkan
kepadamu untuk melakukan shalat malam (tarawih). Barang siapa yang berpuasa dan melakukan
tarawih dengan penuh keimanan dan keikhlasan kepada Allah maka akan dibersihkan dosanya
sebagaimana hari ia dilahirkan oleh ibunya.

ّ ‫عن ابن عمر قال ؛ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ؛ بني اإٕل سالم على خمس ؛ شها دة ان ال اله اال هللا‬
‫ واقام‬٫‫وان محمدا رسول هللا‬
‫ وصوم رمضان‬٫ ‫ و حج البيت‬٫‫الصالة وايتاء الزكة‬

‫رواه البخارى ومسلم واحمد‬


Artinya; "Dari Ibn Umar Berkata, Rasullah SAW bersabda. Islam di bangun atas limapondasi, yaitu
pertama Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah danmenngakui bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Kedua mendirikan shalatfardhu lima waktu. ketiga menunaikan zakat. keempat melaksanakan
ibadahhaji. Kelimapuasa pada bulan ramadhan. (HR.Bukhari, Muslim danAhmad)”

Kewajiban puasa Ramadhanbagi umat Nabi Muhammad SAW dimulai sejak tahun kedua Hijriyah. Ketika
itu Nabi Muhammad SAW baru saja diperintahkan untuk mengalihkan arah kiblat dari Baitul Maqdis di
Yerussalem-Israel ke Ka‟bah di Masjidil Haram (Makkah) . Sebelum adanya kewajiban puasa sebulan
penuh pada bulan Ramadhan, Nabi Muhammad SAW menjalankan puasa hari Asyura (10 Muharam)
sebagaimana orang-orang Quraisy. Para ulama sepakat bahwa hukum puasa pada bulan Ramadhan
adalah wajib.

Kondisi fisik seorang perempuan dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang
berbedabeda. Namun, pada dasarnya kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah
hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk perempuan hamil dan 2200-2600 kalori
perhari untuk perempuan menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi
para perempuan dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak
bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang.
Ada pula perempuan yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika
harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula perempuan yang memiliki buah hati yang lemah
kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung pada sang ibu. Kedua kondisi terakhir, memiliki
konsekuensi hukum yang berbeda.10 Hakekat Puasa dalam Kehamilan serta Hukumnya

1. Menurunnya tekanan darah,sampai yang bersangkutan pingsan, pusing, atau hilangnya konsentrasi

2. Muntah yang berkelanjutan, khususnya sampai ⅓ awal dari masa kehamilan. Muntah
tersebutmenyebabkan hilangnya cairan dan garam mineral, seperti sodium dan potassium. Hal tersebut
sangat berpengaruh pada pencernaan dan hilangnya nafsu makan

3. Meminum tablet yang dapat meningkatkan pembentukan kemih pada saat terjadi pembengkakan
pada kedua kaki yang bukan disebabkan sebagai gejala keracunan kehamilan. Pada saat inilah tablet-
tablet itu bekerja menghilangkan unsure potassium yang berbahaya bagi tubuh. Oleh karena itu, penting
sekali bagi orang yang mengalami gangguan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang kaya dengan usur
potassium, seperti jeruk, pisang, dan tomatdiharapkan makanan itu dapat meringankan perasaan
tertekan yang menimpanya, karena kurangnya kadar potassium dalam darah

4. Terjadinya perdarahan yang dirasakan pada saat kehamilan, baik ⅓ awal maupun ⅓ akhir dari
masakehamilan

5. Penyakit yang dirasakan pada saat dalam kondisi hamil, terutama penyakit ginjal. Hal ini disebabkan
karena pada saat seseorang menderita penyakit ginjal, maka akan terjadi pemusatan urine pada saat
yang bersangkutan berpuasa dalam kondisi udara sangat panas. Ini akan berakibat fatal dan bebahaya
pada penyakit ginjal yang dideritanya. Begitu pula penyakit jantung, penyakit diabetes yang tidak
teratur, dan penyakit membesarnya kelenjar gondok yang juga sangat membahayakan

6. Keguguran yang terjadi berulang kali atau kelahiran prematur. Ada bukti-bukti ilmiah yang
menunjukkan bahwa tidak mengkonsumsi makanan dalam jangka waktu yang lama dapat berakibat
terjadinya keguguran atau kelainin premature

7. Mengalami keracunan yang ditunjukkan dengan meningkatnya tekanan darah dan bertambahnya
berat badan yang disertai dengan pembengkakan pada kedua kaki. Hal itu sebagai akibat dari
tertahannya cairan dan garam yang dibarengi dengan peningkatan kadar protein pada air seni.

Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa

Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah
sanggup berpuasa. Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan
keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat: (Al-Baqarah (2):184)

َ  ‫ت ۗ فَ َم ْن كَا نَ ِم ْن ُك ْم َّم ِر ْيضًا اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّم ْن اَيَّا ٍم اُخَ َر‬
‫ۗ و َعلَى الَّ ِذ ْينَ ي ُِط ْيقُوْ نَهٗ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِكي ٍْن ۗ فَ َم ْن تَطَ َّو َع َخ ْيرًا فَه َُو خَ ْي ٌر‬ ٍ ‫اَيَّا ًما َّم ْع ُدوْ ٰد‬
‫لَّهٗ  ۗ  َواَ ْن تَصُوْ ُموْ ا ْي ٌر لك ْم اِن كنت ْم ت ْعل ُموْ ن‬
َ َ ُ ْ ُ ْ ُ َّ َ‫خ‬

Artinya : (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah (2):184)

Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa

Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari
puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang
yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya,
maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini
tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan
puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan
mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177), dinukil dari majalah Al
Furqon).

Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran
bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan

berdasarkan perkiraan yang lemah. Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada
kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain
ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena
tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman
ayat berikut

........  ‫ و َعلَى الَّ ِذ ْينَ ي ُِط ْيقُوْ نَهٗ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِكي ٍْن‬...........
َ

“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184).

Pandangan Hanafiyah tentang Wanita Hamil dan Menyusui Meninggalkan Puasa Ramadhan

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila seorang wanita dalam keadaan hamil dan menyusui di
bulan Ramadhan lalu ia meninggalkan puasa lantaran takut atas dirinya dan anaknya, atau takut atas
dirinya saja tidak atas anaknya, atau takut atas anaknya tidak atas dirinya maka wajib qadha dan tidak
wajib membayar fidyah atau kafarat. Karena sesungguhnya ia tidak berdosa dengan meninggalkan
puasa.(AlSarkhasi, n.d: 99)Dalam penetapan wajib qadha dan tidak wajib membayar fidyah atau kafarat
sebagai akibat hukum dari meninggalkan puasa Ramadhan lantaran hamil dan menyusui, ulama
Hanafiyah mendasari pendapatnya dengan beberapa alasan sebagai berikut :

1. Berdasarkan kepada firman Allah Swt:

........ ‫من َكانَ َم ِر ْيضًا اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّم ْن اَيَّا ٍم اُخر‬
ْ ‫و‬.....
َ

Artinya: “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185)

Dari ayat tersebut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang sakit atau orang yang dalam perjalanan
(musafir) boleh meninggalkan puasa bila memang tidak mampu untuk melakukan puasa atau memang
ada larangan dari medis demi keselamatan jiwanya tapi mereka wajib mengqadha puasanya tersebut
bila telah sembuh dari sakit yang dideritanya atau telah selesai melakukan perjalanan bagi si musafir.
Begitu juga dengan wanita hamil bila ia meninggalkan puasa Ramadhan karena khawatir atas dirinya
atau anaknya, secara mutlak ulama Hanafiyah menyatakan wanita hamil dan menyusui hanya
diwajibkan mengqadha puasa saja. Alasannya adalah karena wanita hamil tersebut sama kedudukannya
dengan simusafir. Musafir bila meninggalkan puasa Ramadhan maka ia tidak dikenakan kewajiban
kecuali qadha saja.

2. Berdasarkan hadist Rasulullah SAW;

‫اخبرناعمروبن منصورقال حدثنامسلم بن ابراهيم عن وهيب بن خالدقال حدثنا عبدهللا بن سوادة القشيرى عن ٔابيه عن ٔانس بن مالك؛ رجل‬
‫منهم ٔانه ٔاتى النبي صلى هللا عليه وسلم با المدينه وهو يتغدى فقال له النبى صلى هللا عليه وسلم أن هللا عزوجل وضع للمسا فر الصيام‬
‫وشطر الصالة وعن الحبلى المرضع‬
‫رواه النساء ٕىي‬

Artinya : “Menceritakan Umar bin Mansyur ia berkata menceritakan muslim bin Ibrahim dari Wuhaibi
bin Khalid ia berkata menceritakan 'Abdullah bin Sawadah al-Qusyairi dari bapaknya dari Anas bin Malik:
seorang laki-laki dari mereka datang kepada Nabi SAW di Madinah dan Nabi dalam keadaan makan, lalu
Nabi SAW berkata kepada laki-laki itu: Mari kita makan!, Laki-laki itu menjawab: "Saya puasa ", Lalu Nabi
SAW bersabda kepada laki-laki itu: "Sesungguhnya Allah telah meringankan puasa bagi musafir dan
meringankan shalat. Dan juga Allah memberi keringanan kepada perempuan yang sedang menyusui dan
hamil". (HR. An-Nasa'i)

Berdasarkan hadist di atas ulama Hanafiyah berpandangan bahwa posisi serta kedudukan hukum
rukhshah pada musafir sama dengan hukum rukhshah bagi wanita hamil dan menyusui, karena 'athaf
antara dua kalimat di atas tanpa ada istiknaf.

Pandangan Syafi'iyah tentang Wanita Hamil dan Menyusui Meninggalkan Puasa Ramadhan

Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa wanita yang sedang mengalami masa kehamilan atau sedang
menyusui, jika ia takut akan dirinya dan anaknya atau takut atas keselamatan anaknya saja, lalu ia
tinggalkan puasa Ramadhan maka ia tidak berdosa, tetapi ia wajib qadha dan membayar fidyah
(memberi makan orang miskin) satu hari satu mud (Ibrahim, n.d: 178). Namun jika ia takut atas dirinya
saja maka ia wajib qadha dengan tidak membayar fidyah (Al-Bajury, n.d: 300). Pendapat yang kedua ini
sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah. Berdasarkan pernyataan seperti
keterangan di atas jelas bahwa ulama Syafi'iyah membagi kepada dua kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh seorang wanita hamil dan menyusui bila ia meninggalkan puasa Ramadhan, pertama
bila ia meninggalkan puasa lantaran takut pada dirinya maka ia wajib qadha saja. Kedua bila
meninggalkan puasa karena takut atas keselamatan anaknya dan dirinya maka ia wajib mengqadha
sekaligus wajib membayar fidyah. Dari dua pendapat ulama Syafi'iyah nyata bahwa golongan Syafi'iyah
menolak penetapan wajib qadha saja secara umum terhadap akibat hukum bagi wanita hamil dan
menyusui bila ia meninggalkan puasa Ramadhan

1. Penolakan ulama Syafi'iyah terhadap penetapan secara umum wajib qadha saja itu didasari oleh
beberapa alasan atau pertimbangan, sebagai berikut:1. Firman Allah Swt:“Dan atas orang-orang yang
merasa berat untuk mengerjakan puasa, wajib ia membayar fidyah, yaitu memberi makan orang
miskin”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 184)

........  ‫ و َعلَى الَّ ِذ ْينَ ي ُِط ْيقُوْ نَهٗ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِك ْي ٍن‬..........
َ

Artinya: “Dan atas orang-orang yang merasa berat untuk mengerjakan puasa, wajib ia membayar fidyah,
yaitu memberi makan orang miskin”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 184)

Menurut ulama Syafi'iyah bahwa melihat keumuman redaksi ayat maka wanita hamil dan menyusui
masuk dalam maksud sama statusnya dengan orang tua yang lanjut usia. Yaitu dari segi kondisinya yang
merasa berat atau lemah dalam melaksanakan puasa Ramadhan ketika dia hamil dan menyusui. Oleh
karenanya ia wajib mengqadha serta membayar fidyah

.2. Berdasarkan hadis Rasulullah yang diterima dari sahabat Rasulullah SAW yaitu:

a. Ibn Abbas
Menurut Ibnu Abbas bahwa bunyi surat al-Baqarah ayat 184 tentang "orang-orang yang merasa berat
melakukan puasa Ramadhan "Telah di dimansukh oleh ayat yang :sesudahnya yaitu:
َََّ
‫ َواَ ْن تَصُوْ ُم خَ ْيرٌلّ ُك ْم‬terkecuali wanita hamil dan menyusui, sebagaimana bunyi hadist di bawah ini:

‫حدثنا موسى بن اسماعيل ان عكرمة حدثه ٔان ابن عباس قال ؛ ٔاثبت الحبلى والمرضع‬

‫رواه ٔابودود‬

“Menceritakan Musa ibn Ismail bahwa Ikrimah telah menceritakannya bahwa Ibnu Abbas berkata:
"Tetap (ayat itu) bagi orang hamil dan menyusui”. (HR: Abu Daud).

b. Hadist Anas bin Malik

‫ عن عبدهللا بن سوادة عن ٔانس بن مالك رجال من بني عبدهللا بن كتب‬٫‫ حدثنا ٔابوهالل‬٫‫حدثنا ٔابوكريب ويوسف بن عيشة قال؛ حدثناوكيع‬
‫ فقال ؛ ادن فكل فقلت ؛ اني‬٫‫قال ؛ ٔاغارت علينا حيل رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فٔاتيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فوجدته يتغدى‬
‫ النبي صلى هللا عليه‬j‫ فقال؛ ادن ٔاحدثك عن الصوم ٔاوالصيام؛ ان هللا تعا لى وضع عن المسافر الصوم ٔاو الصيام و هللا لقدقالهما‬٫‫صا ٕىم‬
‫ فيا لهف نفسي ٔان ال ٔاكول طعمت من طعام النبي صلى هللا عليه وسلم‬٫‫وسلم كالهما ٔاو احداهما‬

‫رواه الترمذي‬

Artinya: “Menceritakan Abu Kuraib dan Yusuf bin 'Isa keduanya berkata: menceritakan Waki',
menceritakan Abu Hilal dari Abdullah bin Suwadah dari Anas bin Malik.Seorang laki-laki dari Bani
Abdullah bin Ka'bin berkata: Berhenti atas kami sekawanan kuda Rasulullah SAW, lalu aku menemui
Rasulullah, maka aku dapati beliau Rasul sedang makan, Rasul berkata: "Kemarilah kita maka", Lalu aku
menjawab: Aku puasa, lalu beliau Nabi bersabda: "Kemarilah, aku sampaikan padamu tentang puasa:
"Sesungguhnya Allah telah meringankan orang musafir hanya setengah shalat, dan meringankan puasa
bagi perempuan hamil dan perempuan menyusui. Demi Allah, Rasulullah SAW telah menceritakan
tentang keduanya atau salah satunya. "Alangkah mengeluh diriku, sebagaimana aku tidak mau makan
dari makanan Rasulullah SAW”. (HR: Turmudzi) (Saurah, n.d: 180-181).

c. Sunan Abu Daud

‫عن ابن عباس‬،‫عن سعيد ابن جبير‬،‫عن عورة‬،‫ عن قتادة‬٫‫عن سعيد‬٫‫ثناابن ٔابى عدى‬٫‫حدثناابن المثنى‬

‫َو َعلَى الَّ ِذينَ ي ُِطيقُونَهُُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِكيْن‬

‫قال ٔابودواد؛ يعنى على ٔاو ال دهما‬٫‫ والحياة والمرضع إذا خافتا‬٫‫ كل يوم مسكينا‬j‫قال؛ كانت وهمايطيقان الصيام ان يفطراويطعمامكان‬
٠‫اَفطرتا ؤاطعمتا‬٠

‫رواه ٔابواود‬

Artinya; “Menceritakan ibn mastna berdua ibn Abi 'Addiyi, dari Sa'id dari Qatadah dari 'Urwah dari Sa'id
ibn Jabir dari Ibn Abbas :( "Dan atas orang-orang yang merasa berat untuk mengerjakan puasa, wajib ia
membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin."), dia berkata:"Adalah ayat tersebut merupakan
rukhsah bagi wanita dan laki-laki lanjut usia. Dan keduanya berat untuk puasa maka ia wajib memberi
makan tiap-tiap hari satu orang miskin. Dan orang hamil dan menyusui apabila ia takut, kata Abu Daud
yaitu atas anak-anaknya., maka mereka berbuka maka mereka juga memberi makan (orang miskin)”.
(HR: Abu Daud) (Al-Sajsatani, 1952: 541)

d. Tartib Musnad Imam Syafi'i

‫ٔاخبرنا؛ٔابن عمر س ٕىل عن المرٔاة االمل إذا خافت على ولدها قال؛تفطروتطعم مكان كل‬٫‫ٔاخبرنا مالك بن ٔانس عن ما فع بن عبد الحارث‬
)‫ (ٔابرنا‬٫‫يوم مسكينا مدامن حنطة‬

Artinya; “Mengkhabarkan kepada kami oleh Malik bin Anas dari Nafi' bin Abdu al-Haris, mengkhabarkan
pada kami: Ibn Umar ditanya orang tentang wanita hamil bila (ia meninggalkan puasa ramadhan) karena
takut atas keselamatan anaknya, beliau menjawab: Ia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin
tiap hari satu mud dari gandum”. (AlKaustari, 1990: 278)

Dari keterangan hadist-hadist di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hadist pertama dan kedua
menafsirkan akan maksud ayat 184 surat al-Baqarah di mana wanita yang hamil dan menyusui bila
meninggalkan puasa Ramadhan itu tergolong sebagai salah satu golongan yang mendapat rukhsah
(keringanan) untuk tidak berpuasa, artinya boleh berbuka atau boleh meninggalkan puasa Ramadhan
ketika ia tidak mampu untuk menunaikannya. Maksudnya dispensasi yang diberikan Allah SWT bukan
semata-mata tertuju kepada orang tua lanjut usia saja tetapi juga pada wanita hamil dan menyusui.

Kemudian pada hadist yang ketiga lebih mempertegas tentang kewajiban yang harus dibayar oleh
wanita hamil dan menyusui ketika ia telah meninggalkan puasa Ramadhan lantaran ada kekhawatiran
terhadap keselamatan anak serta jiwa seorang ibu, kekhawatiran itu seperti lemahnya pertumbuhan
janin, menyebabkan keguguran terhadap kandungan, atau anak lemah baik dari fisik maupun mental.
Dengan bermacam bentuk kekhawatiran di atas maka Allah memberikan rukhsah pada seorang wanita
hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa, di mana seorang ibu boleh meninggalkan puasa Ramadhan.
Dengan ketentuan wanita itu wajib membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang-orang
miskin.

Pada hadis yang keempat menjelaskan bahwa seseorang bertanya kepada Ibnu Umar tentang wanita
hamil bila ia takut akan keselamatan janin yang dikandungnya maka apa yang harus ia lakukan? beliau
menjawab: "Boleh berbuka dan wajib memberikan makan orang miskin (membayar fidyah). Dari
keterangan Ibnu Umar r.a jelas bahwa perempuan hamil wajib membayar fidyah bila ia meninggalkan
puasa Ramadhan lantaran khawatir terhadap anaknya.

Dalam penulisan Makalah Studi kasus di masyarakat mengenai hukum mengqada'puasa bagi wanita
hamil dan menyusui penulis melibatkan beberapa Aspek;

1 . Analisis berdasarkan fikih; dalam analisis ini, penulis menerapkan hukum-hukum fiqih seperti dalil-
dalil yang mewajibkan puasa dan dalil-dalil mengenai Rukhsah atau keringanan bagi yang tidak mampu
untuk melaksanakan puasa dalil-dalil iniberdasarkan kepada dalil Al-Qur'an dan Hadist.

2. Analisis berdasarkan pendapat Ulama'; dalam analisis ini, penulis membahas mengenai pendapat-
pendapat ulama' Madzhab fiqih yang Mahsyur seperti Madzhab Hanafiyah dan Syafi'iyah. Penulis
membahas mengenai Argumen-argumen yang digunakan oleh kedua Madzhab tersebut mengenai
hukum mengqada' puasa bagi wanita hamil dan menyusui.

3. Analisis berdasarkan kesehatan; dalam analisis ini, penulis mempertimbangkan Faktor-faktor


kesehatan yang mempengaruhi wanita hamil dan menyusui dalam menjalankan ibadah puasa. Penulis
menganalisis mengenai kondisi kehamilan dan menyusui yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu
tersebut serta kesehatan bayi yang dikandung dan disusui.

Anda mungkin juga menyukai