Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“Penafsiran Surah Al-Baqarah Ayat 183, 184&185”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah TAFSIR AHKAM

DOSEN PENGAMPU : Dr. SAHMIAR PULUNGAN, M.Ag.,

Disusun oleh:

KELOMPOK 6 JURUSAN SIYASAH IV C

SATRIA : 0203172099
QORI DERMAWAN : 0203172105
IBNU ATSIR ZUHRI : 0203172116

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala,


karena berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Penafsiran Surah Al-Baqarah Ayat 183, 184&185”. Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah “Tafsir Ahkam”.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagui masyarakat dan


bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.

Medan. 23 April 2019

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i

DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ................................................................................1


B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................1
C. TUJUAN PEMBAHASAN.........................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. PENAFSIRAN SURAH AL-BAQARAH AYAT 183&184 ......................2


B. PENAFSIRAN SURAH AL-BAQARAH AYAT 185 ...............................5

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ........................................................................................... 12
B. SARAN ....................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 13


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Puasa pada bulan ramadhan merupakan salah satu dari lima rukun islam.
Dalam bahasa arab disebut shiyamatau shaum. Puasa atau shaum/ siyam menurut
istilah Al-Quran ialah suatu ibadah yang sangat penting dalam syari’at islam.
Yang pokok artinya adalah menahan. didalam peraturan syara’ dijelaskan
bahwa shiyam adalah menahan diri dari makan dan minum dan segala hal yang
membatalkan puasa pada waktu fajar sampai terbenamnya matahari, karena
menjunjung tinggi perintah Allah.

Maka setelah nenek moyang kita memeluk agama islam kita pakailah kata
puasa untuk menjadi arti dari pada shaum itu. Karena memang ketika belum
masuk islam, perintah puasa itu telah ada pada agama yang dianut sebelumnya.
Perintah kewajiban puasa bagi umat muslim dalam kitab suci Al-Quran
diantaranya tertuang dalam surat Al-Baqarah pada ayat 183, 184&185.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa alasan bagi seseorang untuk tidak diwajibkan berpuasa?
2. Berapa mengenai jarak perjalanan yang membolehkan seseorang untuk
berbuka puasa?
3. Hari-hari tertentu apa saja yang diwajibkan puasa?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui alasan bagi seseorang untuk tidak diwajibkan berpuasa.
2. Menegtahui jarak perjalanan yang memperbolehkan seseorang untuk
berbuka puasa.
3. Hari hari yang di wajibkan berpuasa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENAFSIRAN SURAH AL-BAQARAH AYAT 183-184

ُ‫علَى الَّ ِذيْنَ ي ُِط ْيقُ ْونَه‬ َ ‫سفَ ٍر فَ ِعدَّة ٌ ِ ِّم ْن اَي ٍَّام اُخ ََر َو‬
َ ‫على‬ َ ‫ضا ا َ ْو‬ً ‫ت َف َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِر ْي‬ ٍ ‫اَيَّا ًما َم ْعد ُْود‬
َ‫ص ْو ُم ْوا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ا ِْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُم ْون‬
ُ َ ‫ع َخي ًْرا فَ ُه َو َخي ٌْر لَّهُ َو ا َ ْن ت‬َ ‫ط َّو‬ َ َ ‫طعَا ُم ِم ْس ِكي ٍْن فَ َم ْن ت‬َ ٌ‫فِ ْديَة‬

Artinya : (yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit
atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak
hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang
berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang
miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

1. TAFSIR AYAT
Allah swt berfirman kepada orang orang yang beriman dari umat ini
sambil memerintahkan mereka untuk berpuasa. Yaitu menahan diri dari makan,
minum dan berjima` dengan niat ikhlas karena Allah Azza wa jalla. Karena di
dalam berpuasa terdapat banyak hikmah, di antaranya: mensucikan jiwa dari
akhlak akhlak yang hina dan membersihkan diri dari campuran-campuran
makanan yang kotor. Allah ta`ala menyebutkan, bahwa sebagaimana ia
mewajibkan puasa kepada umat islam, dia juga telah mewajibkannya kepada
orang orang yang datang sebelum mereka. Jadi mereka telah memiliki teladan
dalam hal puasa, dan agar mereka bersungguh sungguh dalam menunaikan
kewajiban tersebut secara lebih sempurna dari apa yang telah dilakukan oleh
orang-orang itu, sebagaimana Allah ta`ala berfirman :

ۖ ‫احدَة ً َو َٰلَ ِك ْن ِليَ ْبلُ َو ُك ْم فِي َما آت َا ُك ْم‬


ِ ‫َّللاُ لَ َجعَلَ ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬ َ ‫ِل ُك ٍِّل َجعَ ْلنَا ِم ْن ُك ْم ِش ْر‬
َّ ‫عةً َو ِم ْن َها ًجا ۚ َولَ ْو شَا َء‬
ِ ‫فَا ْستَبِقُوا ْال َخي َْرا‬
َّ ‫ت ۚ إِلَى‬
َ‫َّللاِ َم ْر ِجعُ ُك ْم َج ِميعًا فَيُنَ ِبِّئ ُ ُك ْم بِ َما ُك ْنت ُ ْم فِي ِه ت َْخت َ ِلفُون‬

Artinya : Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu (Q. S. AL-MAIDAH : 48).

Oleh karena itu di dalam ayat ini Allah ta`ala berfirman, “hai orang-orang
yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [183]. Karena dalam berpuasa
dapat mencusikan tubuh dan menyempitkan jalan-jalan setan. Oleh karena itu
diriwayatkan di dalam kitab shahih al-bukhari dan shahih muslim : “wahai
sekalian para pemuda, barang siapa diantara kalian mampu menikah, maka
hendaknya dia menikah. Dan barang siapa yag belum mampu, maka hendaknya
dia berpuasa karena dia dapat menjadi tameng untuknya”.

Selanjutnya Allah SWT menjelaskan kadar puasa, dan sesungguhnya dia


tidak melakukan di setiap hari agar tidak menyulitkan diri sehingga tidak mampu
untuk menanggung dan menunaikannya. Akan tetapi dia dilakukan dalam
beberapa yang tertentu. Dahulu. Pada permulaan kedatangan islam, orang orang
berpuasa tiga hari dari setiap bulan. Kemudian hal itu di nasakh dengan puasa
bulan ramadhan, sebagaimana sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

Telah diriwayatkan dari mu`adz ibnu mas`ud, ibnu abbas radhiyallahu


anhum, dan selain mereka, bahwasannya puasa yang dahulu biasa dilakukan oleh
umat-umat yang datang sebelum kita adalah tiga hari setiap bulan.

Ibnu abi hatim rahimahullah meriwayatkan dari abdullah bin umar


radhiyallahu anhuma, ia berkata Rasulullah SAW bersabda, “puasa bulan
ramadhan telah Allah ta`ala wajibkan kepada umat-umat yang datang sebelum
kalian,” di sebuah hadis yang panjang yang diringkas demikian.

Selanjutnya Allah SWT menjelaskan hukum puasa yang berlaku di awal-


awal kedatangan islam. Alah ta`ala berfirman, “maka barang siapa diantara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.[184]
Yaitu orang-orang yang sakit dan orang yang safar tidak perlu berpuasa ketika
dalam keadaan sakit dan safar, karena itu dapat menyulitkan mereka berdua,
bahkan mereka boleh berbuka dan mengqadha sebanyak hari yang ditinggalkan
pada hari-hari yang lain. Adapun orang-orang sehat yang bermukim yang berat
melaksanakan puasa, maka dia boleh memilih antara puasa dan antara memberi
makan. Jika dia mau, dia boleh berpuasa; dan jika dia tidak mau di boleh berbuka
dan memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap harinya. Jika dia
memberi makan kepada lebih dari satu orang miskin setiap harinya, maka itu lebih
baik. Akan tetapi jika dia berpuasa, maka itu lebih afdhal dari pada memberi
makan.1

Fidyah puasa diperuntukkan bagi kaum jompo yang lemah.

Adapun orang tua renta dan pikun yang tidak mampu melaksanakan puasa,
maka di boleh berbuka dan tidak wajib mengqadha, karena memang kodisinya
tidak memungkinkannya untuk mengqadha. Akan tetapi akankah dia wajib
memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap harinya jika dia memiliki
kemampuan harta ketika dia berbuka? Dalam permasalahan ini ada dua pendapat:

Pertama, orang tua/pikun tidak wajib memberi makan karena dia tidak
mampu berpuasa lantaran usianya, sehingga dia tidak wajib membayar fidyah
sama seperti anak kecil yang belum baligh. Karena Allah ta`ala tidak
membebankan satu jiwa pun kecuali sebatas kemampuannya. Itu salah satu
pendapat Asy-syafi`i Rahimahullah.

Kedua, inilah pendapat yanb shahih yang dianut mayoritas ulama, bahwa
orang tua/pikin wajib membayar fidyah untuk setiap harinya, sebagaimana yang
ditafsirkan oleh ibnu abbas Radhiyallhu Anhuma dadn selainnya dari kalangan
ِ ‫علَى الَّ ِذيْنَ ي‬
ulama salaf sesuai dengan qira`ah yang membacanya : ُ‫ُط ْيقُ ْونَه‬ َ ‫ َو‬yaitu
berat dalam melaksanakannya. Itu seperti yang dikatakan ibnu mas`ud
Radhiyallahu anhu dan ulama lainnya, dan itulah yang dipilih oleh al-bukhari
rahimahullah. Dia berkata, “adapun orang tua renta apabila tidak mampu

1
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (Jakarta: Darus Sunnah, 2017) Hlm.
489-494
melaksankan puasa, maka(perhatikanlah bahwa) Anas radhiyallahu anhu ketika
telah menua, dia tidak berpuasa satu atau dua tahun dan dia memberi makan roti
dan daging kepada satu orang miskin untuk setiap harinya. “Pendapat yang di
ta`liq oleh al-bukhari rahimahullah itu telah disanadkan oleh al-hafidz Abu ya`la
Al-Mushili rahimahullah dari Ayyub bin Abi Tamimah, ia berkata, “Anas
Rahimahullah pernah tidak mampu melaksanakan puasa, makadia membuat bubur
senampan besar dan mengundang tiga puluh orang miskin lalu dia memberi
mereka makan.hadis ini juga diriwayatkan oleh Abdun Bin Humai Rahimahullah.2

2. ASBANUN NUZUL

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d didalam kitab At-Thabaqat yang bersumber


dari mujahid : bahwa ayat ini turun berkenaan dengan maula Qais bin Assa-ib
yang memaksakan diri bershaum, padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya
ayat ini, ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang
miskin, selama ia tidak bershaum itu.3

B. PENAFSIRAN SURAH AL-BAQARAH AYAT 185

‫ش ِهدَ ِم ْن ُك ُم‬
َ ‫ان فَ َم ْن‬ِ َ‫ت ِ ِّمنَ ْال ُه َٰدى َو ْالفُ ْرق‬ ِ َّ‫ِي ا ُ ْن ِز َل فِ ْي ِه ْالقُ ْر َٰا ُن ُهدًى ِلِّلن‬
ٍ ‫اس َوبَيِ َِّٰن‬ ٓ ‫ضانَ الَّذ‬ َ ‫ش ْه ُر َر َم‬ َ
ُ‫سفَ ٍر فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن اَي ٍَّام اُخ ََر ي ُِر ْيدُ هللاُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َو ََل ي ُِر ْيد‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ضا ا َ ْو‬ ً ‫ص ْمهُ َو َم ْن َكانَ َم ِر ْي‬ ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
َّ ‫ال‬
َ‫ع َٰلى َما َه َٰدى ُك ْم َولَعَلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُر ْون‬ َ َ‫بِ ُك ُم ْالعُس َْر َو ِلت ُ ْك ِملُ ْوا ْال ِعدَّة َ َو ِلت ُ َكبِ ُِّروا هللا‬

Artinya : Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-


Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang
siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit
atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya)
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak mengendaki kesukaran bagimu.

2
Ibid., hlm. 494-496
3
Imam Jalaludin Al-Mahally & Imam Jalaludin As-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain Berikut
Asbabun Nuzul (Bandung : Penerbit Sinar Baru, 2007) Hl. 100
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.

TAFSIR AYAT
Allah memuliakan bulan puasa di antara bulan-bulan lainnya dengan
memilihnya sebagai bulan diturunkannya al-Qur’an al-Adhim. Dia memberikan
keistimewaan ini pada bulan Ramadhan sebagaimana telah dinyatakan dalam
hadits bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan di mana kitab-kitab ilahiah
diturunkan kepada para Nabi.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu, meriwayatkan dari Watsilah bin


al-Asqa’, bahwa Rasulullah bersabda: “Shuhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim
diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada
tanggal 6 Ramadhan, Injil diturunkan pada tanggal 13 Ramadhan, dan al-Qur’an
diturunkan pada tanggal 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad)

Shuhuf Ibrahim, kitab Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan kepada nabi
penerimanya dalam satu kitab sekaligus. Sedangkan al-Qur’an diturunkan secara
sekaligus (dari Lauh Mahfuzh) ke Baitul Izzah di langit dunia, dan hal itu terjadi
pada bulan Ramadhan pada malam lailatul qadar. Sebagaimana firman-Nya: innaa
anzalnaaHu fii lailatil qadr (“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada
malam kemuliaan.”) (QS. Al-Qadar: 1)

Dia juga berfirman: innaa anzalaaHu fii lailatim mubaarakatin


(“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam yang penuh berkah.”)
(QS. Ad-Dukhan: 3)4

Setelah itu, al-Qur’an diturunkan bagian demi bagian kepada Rasulullah


sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Demikian diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
melalui beberapa jalur.

ْ ‫ت ِ ِّمنَ ْال ُهدَى‬


ِ ‫والفُ ْر َق‬
Sedangkan firman Allah: ‫ان‬ ِ َّ‫“( ُهدًى ِلِّلن‬Sebagai petunjuk
ٍ ‫اس َو َب ِيِّ َن‬
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
[antara yang hak dan yang batil].”) Ini merupakan pujian bagi al-Qur’an yang

4
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu` 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) hlm. 89-92
diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang beriman,
membenarkan, dan mengikutinya.

Wa bayyinaatin (“Dan penjelasan penjelasan.”) Yaitu Sebagai dalil dan


hujjah yang nyata dan jelas bagi orang yang memahami dan memperhatikannya.
Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawanya, berupa petunjuk yang
menentang kesesatan dan bimbingan yang melawan penyimpangan, serta
pembeda antara yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.

Dan firman-Nya: faman syaHida minkumusy syaHra falsamumHu


(“Barangsiapa di antara kamu hadir di negeri tempat tinggalnya] pada bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa.”) Ini merupakan kewajiban yang bersifat pasti bagi
orang yang menyaksikan permulaan bulan (Ramadhan), artinya bermukim di
tempat tinggalnya (tidak melakukan perjalanan jauh) ketika masuk bulan
Ramadhan, sedang ia benar-benar dalam keadaan sehat fisik, maka ia harus
berpuasa. Ayat ini menasakh dibolehkannya orang sehat yang berada ditempat
tinggalnya untuk tidak berpuasa tetapi mengganti puasa yang ditinggalkannya
dengan fidyah berupa pemberian makan kepada orang miskin untuk setiap hari ia
berbuka. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dan tatkala menutup masalah puasa, Allah kembali menyebutkan rukhsah


(keringanan) bagi orang yang sakit dan yang berada dalam perjalanan untuk tidak
berpuasa dengan syarat harus mengqadhanya. Dia berfirman: wa man kaana
mariidlan au ‘alaa safarin fa ‘iddatum min ayyaamin ukhara (“Dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka], maka [wajiblah baginya
berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”)
Artinya, barangsiapa yang fisiknya sakit hingga menyebabkannya merasa berat
atau terganggu jika berpuasa, atau sedang dalam perjalanan, maka diperbolehkan
baginya berbuka (tidak berpuasa). Jika berbuka, maka ia harus menggantinya pada
hari-hari yang lain sejumlah yang ditinggalkan.

Oleh karena itu Dia berfirman: yuriidullaaHu bikumul yusra wa laa


yuriiidu bikumul ‘usra (“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesulitan bagimu.”) Maksudnya, Dia memberikan keringanan
kepada kalian untuk berbuka ketika dalam keadaan sakit dan dalam perjalanan,
namun tetap mewajibkan puasa bagi orang yang berada di tempat tinggalnya dan
sehat. Ini tiada lain merupakan kemudahan dan rahmat bagi kalian.

Di sini terdapat beberapa permasalahan berkenaan dengan ayat tersebut di


atas:

Pertama, dalam sunnah telah ditegaskan bahwa Rasulullah pernah keluar


pada bulan Ramadhan untuk perang pembebasan kota Mekkah. Beliau berjalan
hingga sampai di al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyuruh orang-orang untuk
berbuka. Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih.

Kedua, ada sebagian dari kalangan sahabat dan tabi’in yang mewajibkan
berbuka ketika dalam perjalanan. Hal itu didasarkan pada firman Allah: fa
‘iddatum min ayyaamin ukhara (“maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”)

Yang benar adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa hal
itu bersifat pilihan dan bukan keharusan, karena mereka pernah pergi bersama
Rasulullah pada bulan Ramadhan, Abu Sa’id al Khudri menceritakan: “Di antara
kami ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak.” Orang yang berpuasa tidak
mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela
orang yang berpuasa. Seandainya berbuka itu merupakan suatu hal yang wajib,
niscaya Rasulullah mengecam puasa sebagian dari mereka.

Bahkan ditegaskan bahwasanya Rasulullah pernah berpuasa dalam


keadaan seperti itu. Berdasarkan hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari dan
Muslim, diriwayatkan dari Abu Darda’, katanya, “Kami pernah berpergian
bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan ketika musim panas sekali, sampai
salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena
panas yang sangat menyengat. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali
Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.”

Ketiga, segolongan ulama di antaranya Imam Syafi’i berpendapat bahwa


puasa ketika dalam perjalanan itu lebih afdhal daripada berbuka. Hal itu
didasarkan pada apa yang pernah dikerjakan Rasulullah, sebagaimana disebutkan
pada hadits di atas. Dan sekelompok ulama lainnya berpendapat, berbuka puasa
ketika dalam perjalanan itu afdhal, sebagai realisasi rukhsah, dan berdasarkan
hadits bahwa Rasulullah pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan, maka
beliau pun menjawab: “Barangsiapa yang berbuka, telah berbuat baik. Dan
barangsiapa tetap berpuasa, maka tiada dosa baginya.” (HR. Muslim)

Kelompok ulama yang lain berpendapat, keduanya sama saja. Hal itu
didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Hamzah bin Amr
al-Aslami pernah bertanya: “Ya, Rasulullah, aku sungguh sering berpuasa,
apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan?” Maka Rasulullah pun
menjawab: “Jika engkau mau berpuasalah, dan jika mau berbukalah.” (Hadits
riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Ada juga yang berpendapat, jika keberatan untuk berpuasa, maka berbuka adalah
lebih baik. Berdasarkan Hadits Jabir, bahwa Rasulullah pernah menjumpai
seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya, “Mengapa dia ini?”
Orang-orang menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Beliau pun bersabda, “Bukan
termasuk kebajikan berpuasa ketika dalam perjalanan.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)

Keempat, mengenai masalah qadha puasa, apakah harus dilakukan secara


berturut-turut atau boleh berselang-seling. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

1. Qadha’ puasa itu harus dilakukan secara berturut-turut, karena qadha’


mengekspresikan pelaksanaan.
2. Tidak harus berturut-turut, jika menghendaki boleh berselang-seling
dan boleh juga secara berturut-turut. Demikian menurut pendapat
jumhur ulama salaf dan khalaf. Dan hal ini didasarkan pada banyak
dalil, karena pelaksanaan puasa secara berturut-turut hanyalah
diwajibkan dalam bulan Ramadhan, karena pentingnya
pelaksanaannya pada waktu itu. Ada pun setelah berakhirnya
Ramadhan yang dituntut adalah gadha’ puasa pada hari-hari lain
sejumlah yang ditinggalkan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:
fa ‘iddatum min ayyaamin ukhar (“Maka [wajiblah baginya berpuasa]
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”

Setelah itu, Allah Ta’ala berfirman: yuriidullaaHu bikumul yusra wa laa


yuriiidu bikumul ‘usra (“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesulitan bagimu.”)

Imam Ahmad meriwayatkan, Muhammad bin Ja’far memberitahu kami,


dari Syu’bah, dari Abu at-Tayyah, katanya, aku pemah mendengar Anas bin
Malik berkata, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda: “Permudahlah dan
janganlah kalian mempersulit. Tenangkanlah dan janganlah membuat (orang)
lari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan pula dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa


Rasulullah pernah bertutur kepada Mu’adz dan Abu Musa ketika beliau mengutus
keduanya ke Yaman: “Sampaikanlah berita gembira dan janganlah kalian
menakut-nakuti, berikanlah kemudahan dan janganlah mempersulit, bersepakatlah
dan janganlah kalian berselisih.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan dalam kitab-kitab al-Sunan dan al-Musnad juga diriwayatkan, bahwa


Rasulullah bersabda: “Aku diutus dengan membawa agama tauhid yang ramah.”
(Dha’if: Lafazh ini dha’if sebagaimana disebutkan oleh Syaikh al-Albani dalam
Dha’iiful Jaami’ (2336) )

Dan firman-Nya: yuriidullaaHu bikumul yusra wa laa yuriiidu bikumul


‘usra wa litukmilul ‘iddata (“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesulitan bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya.”) Artinya, Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada kalian
untuk berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan, atau
disebabkan alasan-alasan lainnya yang semisal, karena Dia menghendaki
kemudahan bagi kalian. Dan perintah untuk mengqadha puasa itu dimaksudkan
untuk menggenapkan bilangan puasa kalian menjadi sebulan.

Firman Allah: wa litukabbirullaaHa ‘alaa maa Hadaakum (“Dan


hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu.”) maksudnya supaya kamu mengingat Allah sesuai ibadah kalian.
Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan
ibadab hajimu, maka berdzikirlah [dengan menyebut] Allah, sebagaimana yang
menyebut-nyebut [membangga-banggakan] nenek moyangmu, atau bahkan
berdzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al-Baqarah: 200)

Oleh karena itu, sunnah Rasulullah menganjurkan untuk bertasbih,


bertahmid, dan takbir setelah mengerjakan shalat wajib. Ibnu Abbas mengatakan:
“Kami tidak mengetahui berakhimya shalat Rasulullah kecuali dengan takbir.”

Untuk itu banyak ulama yang mengambil pensyari’atan takbir pada hari raya Idul
Fitri dari ayat ini: wa litukmilul ‘iddata wa litukabbirullaaHa ‘alaa maa Hadaakum
(“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”)

Bahkan Daud bin Ali al-Asbahani az-Zhahiri mewajibkan


pengumandangan takbir pada hari raya Idul Fitri, berdasarkan pada perintah dalam
firman-Nya: wa litukabbirullaaHa ‘alaa maa Hadaakum (“Dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”)

Sebaliknya, madzhab Abu Hanifah rahimahullahu menyatakan bahwa


takbir tidak disyariatkan pada hari raya Idul Fitri. Sementara ulama lainnya
menyatakan sunnah, dengan beberapa-perbedaan dalam rincian sebagian furu’ di
antara mereka.

Sedang firman-Nya: wa la’allakum tasykuruun (“Supaya kamu


bersyukur.”) artinya, jika kalian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah,
berupa ketaatan kepada-Nya, dengan menjalankan semua kewajiban dan
meninggalkan semua larangan-Nya serta memperhatikan ketentuan-Nya, maka
mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang bersyukur atas hal itu.5

5
Ibid., hlm. 92-98
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam ayat 183 mengandung kewajiban puasa bagi orang Islam tanpa
terkecuali. Dalam ayat 184 menjelaskan bagi orang yang menderita sakit atau
sedang melakukan perjalanan ia boleh berbuka atau membayar fidyah karena di
anggap azimah (kesukaran) bagi mereka. Yang dimaksud dengan fidyah yaitu
memberi makan fakir miskin setiap hari.

Dalam ayat 185 menjelaskan wajib berpuasa dengan sebab nampak hilal,
dikarenakan pada ayat pertama dan kedua tidak menjelaskan kapan puasa ini
dilaksanakan apa pada awal bulan atau pertengahan bulan sehingga dengan ayat
turun ayat ini menjelaskan secara jelas batas awal berpuasa.

B. SARAN

Dalam makalah ini masih banyak kekurangan,baik dari kapasitas


materinya yang kurang.mohon kritik dan saran yang membangun sebagai bahan
instropeksi kami dalam penyusunan sebuah makalah.
DAFTAR PUSTAKA

Syakir, Syaikh Ahmad. 2017. Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. Jakarta: Darus
Sunnah.

Al-Mahally, Imam Jalaludin & As-Suyuthi, Imam Jalaludin. 2007. Terjemah


Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul. Bandung : Penerbit Sinar Baru.

Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar Juzu` 1. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Anda mungkin juga menyukai