Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah TAFSIR AHKAM
Disusun oleh:
SATRIA : 0203172099
QORI DERMAWAN : 0203172105
IBNU ATSIR ZUHRI : 0203172116
MEDAN 2018/2019
KATA PENGANTAR
Pemakalah
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN ........................................................................................... 12
B. SARAN ....................................................................................................... 12
A. LATAR BELAKANG
Puasa pada bulan ramadhan merupakan salah satu dari lima rukun islam.
Dalam bahasa arab disebut shiyamatau shaum. Puasa atau shaum/ siyam menurut
istilah Al-Quran ialah suatu ibadah yang sangat penting dalam syari’at islam.
Yang pokok artinya adalah menahan. didalam peraturan syara’ dijelaskan
bahwa shiyam adalah menahan diri dari makan dan minum dan segala hal yang
membatalkan puasa pada waktu fajar sampai terbenamnya matahari, karena
menjunjung tinggi perintah Allah.
Maka setelah nenek moyang kita memeluk agama islam kita pakailah kata
puasa untuk menjadi arti dari pada shaum itu. Karena memang ketika belum
masuk islam, perintah puasa itu telah ada pada agama yang dianut sebelumnya.
Perintah kewajiban puasa bagi umat muslim dalam kitab suci Al-Quran
diantaranya tertuang dalam surat Al-Baqarah pada ayat 183, 184&185.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa alasan bagi seseorang untuk tidak diwajibkan berpuasa?
2. Berapa mengenai jarak perjalanan yang membolehkan seseorang untuk
berbuka puasa?
3. Hari-hari tertentu apa saja yang diwajibkan puasa?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui alasan bagi seseorang untuk tidak diwajibkan berpuasa.
2. Menegtahui jarak perjalanan yang memperbolehkan seseorang untuk
berbuka puasa.
3. Hari hari yang di wajibkan berpuasa.
BAB II
PEMBAHASAN
ُعلَى الَّ ِذيْنَ ي ُِط ْيقُ ْونَه َ سفَ ٍر فَ ِعدَّة ٌ ِ ِّم ْن اَي ٍَّام اُخ ََر َو
َ على َ ضا ا َ ْوً ت َف َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِر ْي ٍ اَيَّا ًما َم ْعد ُْود
َص ْو ُم ْوا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ا ِْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُم ْون
ُ َ ع َخي ًْرا فَ ُه َو َخي ٌْر لَّهُ َو ا َ ْن تَ ط َّو َ َ طعَا ُم ِم ْس ِكي ٍْن فَ َم ْن تَ ٌفِ ْديَة
Artinya : (yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit
atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak
hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang
berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang
miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
1. TAFSIR AYAT
Allah swt berfirman kepada orang orang yang beriman dari umat ini
sambil memerintahkan mereka untuk berpuasa. Yaitu menahan diri dari makan,
minum dan berjima` dengan niat ikhlas karena Allah Azza wa jalla. Karena di
dalam berpuasa terdapat banyak hikmah, di antaranya: mensucikan jiwa dari
akhlak akhlak yang hina dan membersihkan diri dari campuran-campuran
makanan yang kotor. Allah ta`ala menyebutkan, bahwa sebagaimana ia
mewajibkan puasa kepada umat islam, dia juga telah mewajibkannya kepada
orang orang yang datang sebelum mereka. Jadi mereka telah memiliki teladan
dalam hal puasa, dan agar mereka bersungguh sungguh dalam menunaikan
kewajiban tersebut secara lebih sempurna dari apa yang telah dilakukan oleh
orang-orang itu, sebagaimana Allah ta`ala berfirman :
Artinya : Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu (Q. S. AL-MAIDAH : 48).
Oleh karena itu di dalam ayat ini Allah ta`ala berfirman, “hai orang-orang
yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [183]. Karena dalam berpuasa
dapat mencusikan tubuh dan menyempitkan jalan-jalan setan. Oleh karena itu
diriwayatkan di dalam kitab shahih al-bukhari dan shahih muslim : “wahai
sekalian para pemuda, barang siapa diantara kalian mampu menikah, maka
hendaknya dia menikah. Dan barang siapa yag belum mampu, maka hendaknya
dia berpuasa karena dia dapat menjadi tameng untuknya”.
Adapun orang tua renta dan pikun yang tidak mampu melaksanakan puasa,
maka di boleh berbuka dan tidak wajib mengqadha, karena memang kodisinya
tidak memungkinkannya untuk mengqadha. Akan tetapi akankah dia wajib
memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap harinya jika dia memiliki
kemampuan harta ketika dia berbuka? Dalam permasalahan ini ada dua pendapat:
Pertama, orang tua/pikun tidak wajib memberi makan karena dia tidak
mampu berpuasa lantaran usianya, sehingga dia tidak wajib membayar fidyah
sama seperti anak kecil yang belum baligh. Karena Allah ta`ala tidak
membebankan satu jiwa pun kecuali sebatas kemampuannya. Itu salah satu
pendapat Asy-syafi`i Rahimahullah.
Kedua, inilah pendapat yanb shahih yang dianut mayoritas ulama, bahwa
orang tua/pikin wajib membayar fidyah untuk setiap harinya, sebagaimana yang
ditafsirkan oleh ibnu abbas Radhiyallhu Anhuma dadn selainnya dari kalangan
ِ علَى الَّ ِذيْنَ ي
ulama salaf sesuai dengan qira`ah yang membacanya : ُُط ْيقُ ْونَه َ َوyaitu
berat dalam melaksanakannya. Itu seperti yang dikatakan ibnu mas`ud
Radhiyallahu anhu dan ulama lainnya, dan itulah yang dipilih oleh al-bukhari
rahimahullah. Dia berkata, “adapun orang tua renta apabila tidak mampu
1
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (Jakarta: Darus Sunnah, 2017) Hlm.
489-494
melaksankan puasa, maka(perhatikanlah bahwa) Anas radhiyallahu anhu ketika
telah menua, dia tidak berpuasa satu atau dua tahun dan dia memberi makan roti
dan daging kepada satu orang miskin untuk setiap harinya. “Pendapat yang di
ta`liq oleh al-bukhari rahimahullah itu telah disanadkan oleh al-hafidz Abu ya`la
Al-Mushili rahimahullah dari Ayyub bin Abi Tamimah, ia berkata, “Anas
Rahimahullah pernah tidak mampu melaksanakan puasa, makadia membuat bubur
senampan besar dan mengundang tiga puluh orang miskin lalu dia memberi
mereka makan.hadis ini juga diriwayatkan oleh Abdun Bin Humai Rahimahullah.2
2. ASBANUN NUZUL
ش ِهدَ ِم ْن ُك ُم
َ ان فَ َم ْنِ َت ِ ِّمنَ ْال ُه َٰدى َو ْالفُ ْرق ِ َِّي ا ُ ْن ِز َل فِ ْي ِه ْالقُ ْر َٰا ُن ُهدًى ِلِّلن
ٍ اس َوبَيِ َِّٰن ٓ ضانَ الَّذ َ ش ْه ُر َر َم َ
ُسفَ ٍر فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن اَي ٍَّام اُخ ََر ي ُِر ْيدُ هللاُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َو ََل ي ُِر ْيد َ علَى َ ضا ا َ ْو ً ص ْمهُ َو َم ْن َكانَ َم ِر ْي ُ َش ْه َر فَ ْلي
َّ ال
َع َٰلى َما َه َٰدى ُك ْم َولَعَلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُر ْون َ َبِ ُك ُم ْالعُس َْر َو ِلت ُ ْك ِملُ ْوا ْال ِعدَّة َ َو ِلت ُ َكبِ ُِّروا هللا
2
Ibid., hlm. 494-496
3
Imam Jalaludin Al-Mahally & Imam Jalaludin As-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain Berikut
Asbabun Nuzul (Bandung : Penerbit Sinar Baru, 2007) Hl. 100
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.
TAFSIR AYAT
Allah memuliakan bulan puasa di antara bulan-bulan lainnya dengan
memilihnya sebagai bulan diturunkannya al-Qur’an al-Adhim. Dia memberikan
keistimewaan ini pada bulan Ramadhan sebagaimana telah dinyatakan dalam
hadits bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan di mana kitab-kitab ilahiah
diturunkan kepada para Nabi.
Shuhuf Ibrahim, kitab Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan kepada nabi
penerimanya dalam satu kitab sekaligus. Sedangkan al-Qur’an diturunkan secara
sekaligus (dari Lauh Mahfuzh) ke Baitul Izzah di langit dunia, dan hal itu terjadi
pada bulan Ramadhan pada malam lailatul qadar. Sebagaimana firman-Nya: innaa
anzalnaaHu fii lailatil qadr (“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada
malam kemuliaan.”) (QS. Al-Qadar: 1)
4
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu` 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) hlm. 89-92
diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba-Nya yang beriman,
membenarkan, dan mengikutinya.
Kedua, ada sebagian dari kalangan sahabat dan tabi’in yang mewajibkan
berbuka ketika dalam perjalanan. Hal itu didasarkan pada firman Allah: fa
‘iddatum min ayyaamin ukhara (“maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”)
Yang benar adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa hal
itu bersifat pilihan dan bukan keharusan, karena mereka pernah pergi bersama
Rasulullah pada bulan Ramadhan, Abu Sa’id al Khudri menceritakan: “Di antara
kami ada yang berpuasa dan ada juga yang tidak.” Orang yang berpuasa tidak
mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela
orang yang berpuasa. Seandainya berbuka itu merupakan suatu hal yang wajib,
niscaya Rasulullah mengecam puasa sebagian dari mereka.
Kelompok ulama yang lain berpendapat, keduanya sama saja. Hal itu
didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Hamzah bin Amr
al-Aslami pernah bertanya: “Ya, Rasulullah, aku sungguh sering berpuasa,
apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan?” Maka Rasulullah pun
menjawab: “Jika engkau mau berpuasalah, dan jika mau berbukalah.” (Hadits
riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Ada juga yang berpendapat, jika keberatan untuk berpuasa, maka berbuka adalah
lebih baik. Berdasarkan Hadits Jabir, bahwa Rasulullah pernah menjumpai
seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya, “Mengapa dia ini?”
Orang-orang menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Beliau pun bersabda, “Bukan
termasuk kebajikan berpuasa ketika dalam perjalanan.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Untuk itu banyak ulama yang mengambil pensyari’atan takbir pada hari raya Idul
Fitri dari ayat ini: wa litukmilul ‘iddata wa litukabbirullaaHa ‘alaa maa Hadaakum
(“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”)
5
Ibid., hlm. 92-98
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam ayat 183 mengandung kewajiban puasa bagi orang Islam tanpa
terkecuali. Dalam ayat 184 menjelaskan bagi orang yang menderita sakit atau
sedang melakukan perjalanan ia boleh berbuka atau membayar fidyah karena di
anggap azimah (kesukaran) bagi mereka. Yang dimaksud dengan fidyah yaitu
memberi makan fakir miskin setiap hari.
Dalam ayat 185 menjelaskan wajib berpuasa dengan sebab nampak hilal,
dikarenakan pada ayat pertama dan kedua tidak menjelaskan kapan puasa ini
dilaksanakan apa pada awal bulan atau pertengahan bulan sehingga dengan ayat
turun ayat ini menjelaskan secara jelas batas awal berpuasa.
B. SARAN
Syakir, Syaikh Ahmad. 2017. Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. Jakarta: Darus
Sunnah.