Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FIQIH

“PUASA II”

Dosen Pengampu:
Drs. H. Abd. Hamid As’ad, M.Pd.I

Disusun Oleh : (Kelompok 7)


 Salsa Bella Anjeli (21531138)
 Salsabila (21531139)
 Sasi Hanila (21531140)
 Sela Anggraini (21531141)
 Septi Tiara (21531142)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP
2022
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, puji
syukur atas kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan kenikmatan dan kesehatan kepada
kami, sehingga kami dapat menyelasaikan makalah fikih dengan tepat waktu. Kemudian,
shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita nabi
Muhammad SAW.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kuliah
kelompok pada mata kuliah fikih yang diampu oleh Bapak Drs. H. Abd. Hamid As’ad,
M.Pd.I. Selain itu, makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang Puasa, yang meliputi
macam-macam puasa dan permasalahan lain sekitar puasa.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuanya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari,
dalam penulisan makalah ini banyak memiliki kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Curup, 16 Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.................................................................................................

B. Rumusan Masalah ..........................................................................................

C. Tujuan ..............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Macam-macam puasa…………………........................ .......................................

B. Permasalahan lain sekitar puasa ………………………...........................,…………

a) Menentukan awal masuk Ramadhan……………………………………...........

b) Lailatul Qadar……………………………………………….……………….

c) Rukhsah orang yang boleh tidak puasa dan konsekuensinya ……………....

d) Hal-hal yang mengurangi nilai puasa …………………...……………………….

e) Hikmah atau rahasia puasa…………………………………………………………

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................................

B. Saran .............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Puasa ada empat macam yaitu puasa wajib, sunat, makruh dan haram. Puasa wajib
terdiri dari puasa ramadhan, kafarat, nazar, qadha. Sedangkan puasa sunat terdiri dari puasa
enam hari di bulan syawal, puasa senin-kamis, puasa arafah, puasa hari asyura, puasa sya’ban
dan puasa tengah bulan. Adapun puasa makruh terdiri dari puasa terus-menerus, kecuali
bulan sya’ban dan puasa setiap hari jum’at dan sabtu. Sedangkan puasa haram terdiri dari
puasa pada hari raya idul fitri, hari raya idul adha, dan hari-hari tasyrik.
Adapun pada makalah ini kami juga memaparkan permasalahan lain sekitar puasa
seperti, menentukan awal masuk Ramadhan, Lailatul Qadar, rukhsah orang yang boleh tidak
puasa dan konsekuensinya, hal-hal yang mengurangi nilai puasa seta hikmah (rahasia) puasa.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dalam makalah ini akan
membahas beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apa saja macam-macam puasa?
2. Apa saja permasalahan lain sekitar puasa?
C. TUJUAN
Dari rumusan masalah yang telah diuraikan, tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui macam-macam puasa.
2. Untuk mengetahui permasalahan lain sekitar puasa, seperti:
 Menentukan awal masuk Ramadhan
 Lailatul Qadar
 Rukhsah orang yang boleh tidak puasa dan konsekuensinya
 Hal-hal yang mengurangi nilai puasa
 Hikmah (rahasia) puasa
BAB II
PEMBAHASAN
A. MACAM-MACAM PUASA
Puasa bila ditinjau dari segi pelaksanaan, hukumnya dibedakan atas:
1. Puasa Wajib
Puasa wajib artinya adalah puasa yang mesti dikerjakan, apabila tidak dikerjakan maka
akan berdosa, yaitu:
a. Puasa Ramadhan, yaitu puasa yang dilaksanakan di bulan Ramadhan. Dasar hukumnya
adalah sebagaimana telah disebutkan terdahulu, yaitu firman Allah dalam surat Al-Baqarah/2
ayat 183, dan berdasar hadis Rasulullah Saw dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim dan Ahmad.
b. Puasa kafarat, yaitu puasa tebusan yang dilaksanakan karena melanggar suatu aturan yang
telah ditentukan syari’at Islam, yaitu:
1) Jika orang Islam dengan tidak sengaja membunuh orang Islam lain dan ia tidak cukup
mampu untuk menebus dengan memerdekakan seorang budak belian yang beriman, maka
ia diwajibkan menjalankan puasa dua bulan berturut-turut. Firman Allah dalam surat An-
Nisa’/4 ayat 92:

‫َو َما اَك َن ِل ُمْؤ ِم ٍن َأ ْن ي َ ْق ُت َل مُْؤ ِمنًا اَّل خ ََطًأ ۚ َو َم ْن قَتَ َل مُْؤ ِمنًا َخطَ ًأ فَتَ ْح ِري ُر َرقَبَ ٍة مُْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَ ٌة ُم َس ل َّ َم ٌة ىَل ٰ َأ ْههِل ِ اَّل َأ ْن‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
ٌ ‫ي َ َّصدَّ قُوا ۚ فَ ْن اَك َن ِم ْن ْقَو ٍم عَدُ ٍّو لَمُك ْ َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن فَتَ ْح ِري ُر َرقَبَ ٍة مُْؤ ِمنَ ٍة ۖ َو ْن اَك َن ِم ْن ْقَو ٍم بَيْنَمُك ْ َوبَيْهَن ُ ْم ِم‬
‫يثَاق فَ ِديَ ٌة‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
ِ‫ُم َسل َّ َم ٌة ىَل ٰ َأ ْههِل ِ َوحَت ْ ِر ُير َرقَ َب ٍة مُْؤ ِمنَ ٍة ۖ فَ َم ْن لَ ْم جَي ِدْ فَ ِص َيا ُم َشه َْر ْي ِن ُمتَ َتا ِب َعنْي ِ ت َْوب َ ًة ِم َن اهَّلل ِ ۗ َواَك َن اهَّلل ُ عَ ِلميًا َحكميًا‬
‫ِإ‬
Artinya:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan
hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah
ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada
Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

2) Jika seorang suami melakukan dhihar terhadap isterinya, kemudian mereka hendak
menarik kembali ucapannya, maka sebelum keduanya bercampur (melakukan hubungan
suami isteri) diwajibkan memerdekakan seorang budak, bila tidak dapat memerdekakan
budak, maka wajib atasnya puasa dua bulan berturut-turut. Hal ini berdasarkan firman
Allah Swt yang tertera dalam surat Al-Mujadalah/58 ayat 3 dan 4:

Artinya:
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum
kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh
orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan
Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”.
3) Jika seorang bersumpah dengan sengaja dan kemudian dilanggarnya, maka kafarat
sumpah tersebut adalah memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian
kepada mereka (10 orang miskin), atau memerdekakan budak, bila ia tidak sanggup maka
kafaratnya berupa puasa selama tiga hari. Firman Allah dalam surat Al-Maidah/5 ayat
89:

Artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan
jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar
kamu bersyukur (kepada-Nya).”
4) Jika seseorang membunuh dengan sengaja binatang buruan (baik yang boleh di makan
atau tidak, kecuali burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing buas,
dalam satu riwayat termasuk ular) padahal ia sedang ihram, maka kafaratnya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya menurut
putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai kurban yang harus di bawa sampai ke
Ka’bah (untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah haram dan dagingnya
dihadiahkan kepada fakir miskin) atau kafaratnya memberi makan orang-orang miskin
(seimbang dengan harga binatang pengganti tersebut) atau dengan berpuasa seimbang
dengan makanan yang dikeluarkan yang diberikan kepada fakir miskin.
c. Puasa Nazar
Puasa nazar adalah puasa yang wajib dilakukan bagi orang yang bernazar sebanyak hari
yang dinazarkan. Contoh puasa nazar dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat Maryam/19 ayat 26:

‫فَلُك ِ ْي َوارْش َ يِب ْ َوقَ ّ ِر ْي َع ْينًا ۚفَ ِا َّما تَ َر ِي َّن ِم َن الْبَرَش ِ َا َحدً ۙا فَ ُق ْويِل ْ ٓ ِايِّن ْ ن ََذ ْر ُت ِل َّلرمْح ٰ ِن َص ْو ًما فَلَ ْن ُالَك ِ ّ َم الْ َي ْو َم ِان ْ ِس ًّيا‬
Artinya:
“Maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha
pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
d. Puasa Qadha.
Puasa qadha adalah puasa yang wajib dikerjakan karena meninggalkan puasa di bulan
Ramadhan karena uzur, sakit, atau dalam perjalanan, sebanyak hari yang ditinggalkan. Hal ini
berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 184:
Artinya:
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain.”
Sedangkan bagi yang tidak kuat puasa dan juga tidak sanggup mengqadha puasanya,
kepadanya diwajibkan membayar fidyah.
2. Puasa Sunat.
Puasa sunat terdiri dari:
a. Puasa enam hari di bulan Syawal. Sabda Rasulullah Saw dalam hadisnya dari Abu Ayub:

‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َم ْن َصا َم َر َمضَ َان مُث َّ َاتْ َب َع ُه ب ِِس ٍّت ِم ْن َش َّوالٍ فَاَك َن َّ َما َصا َم ادلَّ ه َْرلُك َّ ُه‬
ُ ‫هللا َصىَّل‬
ِ ‫ق َا َل َر ُس ْو ُل‬
ِArtinya:
“Rasulullah telah berkata; Barangsiapa puasa pada bulan Ramadhan, kemudian ia puasa
pula enam hari pada bulan Syawal adalah seperti puasa sepanjang masa”. (H.R. Muslim)
b. Puasa hari Senin dan hari Kamis. Ketentuan ini berdasar hadis Nabi Muhammad Saw dari
Siti Aisyah r.a:

‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ ي َ َت َح َّرى ِص َيا َم ْا ِالثْ ِننْي ِ َو ْاخلَ ِميْس‬


ُ ‫هللا َصىَّل‬
ِ ُّ ‫اكَ َن النَّيِب‬
Artinya:
“Nabi Muhammad Saw memilih waktu puasa pada hari Senin dan hari Kamis” (H.R. Abu
Daud)
c. Puasa hari Arafah (tanggal 9 bulan Zulhijjah, kecuali bagi orang yang sedang mengerjakan
ibadah haji tidak disunatkan). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang berasal dari
Abu Qatadah:

‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َم ْن َصا َم ي َ ْو َم َع َرفَ َة غُ ِف َرهَل ُ َسنَ ٌة َا َما َم ُه َو َسنَ ُة ب َ ْعدَ ُه‬
ُ ‫قَا َل ال َّ ِن ُّيب هللا َصىَّل‬
Artinya:
“Nabi Besar Saw telah bersabda: Barangsiapa yang berpuasa hari Arafah, maka akan
diampuni baginya dosa tahun yang ada di depannya dan tahun yang ada sesudahnya” (H.R
Ibnu Majah dan Ahmad)
d. Puasa hari Asyura (tanggal 10 bulan Muharram). Ketentuan yang menetapkan puasa Asyura
ini adalah berdasarkan hadis Rasulullah Saw yang berasal dari Abu Qatadah sebagai berikut:

ُ ‫السنَ َة ال َّ ِىت قَ ْبهَل‬ ِ ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ ِصي َا ُم ي َ ْو َم َعشُ َوراء ِا ِ ّىن َا ْحت َ ِس ُب عَ َىل‬
َّ ‫هللا َا ْن يَ ْك ُف َر‬ ُ ‫هللا َصىَّل‬
ِ ‫ق َا َل َر ُس ْو ُل‬
Artinya:
“Rasulullah Saw telah bersabda: “Berpuasa di hari Asyura, sesungguhnya aku
mengharapkan kepada Allah agar menghapuskan dosa selama setahun yang sebelumnya”
(H.R Ibnu Majah dan Ahmad)
e. Puasa bulan Sya’ban. Hal ini berdasarkan hadis yang berbunyi:

:‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ ي َ ُص ْو ُم ِم ْن َشهْ ٍر اَ ْكرَث َ ِم ْن َش ْع َب َان فَ ِان َّ ُه اَك َن ي َ ُص ْو ُم َش ْعب َا َن لُك َّ ُه َو ِىف ِر َوايَ ٍة‬ُ ‫ل َ ْم يَ ُك ِن ال َّ ِن ُّيب َصىَّل‬
‫اَك َن ي َ ُص ْو ُم َش ْعب َا َن ِاالَّ قَ ِل ْي ٌل‬
Artinya:
“Tidaklah Rasulullah Saw berpuasa dari suatu bulan yang lebih banyak daripada bulan
Sya’ban. Sungguh beliau berpuasa pada bulan Sya’ban, kecuali sedikit (beberapa hari saja
beliau tidak berpuasa)” (H.R.Bukhari dan Muslim)
f. Puasa tengah bulan (tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qomariyah). Hadis Nabi dari Abu Dzar:

َّ ‫ َاي َا َاب َذ ٍّر ِا َذا مُص ْ َت ِم َن‬: َ ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل‬


‫الش هْ ِر ثَاَل ثَة فَ ُص ْم ثَ َال َث َعرَش َ َة َو َا ْربَ َع َعرَش َ َة‬ ِ ‫ق َا َل َر ُس ْو ُل‬
ُ ‫هللا َص َّىل‬
‫َومَخ ْ َس َعرَش َ َة‬
Artinya:
“Rasulullah Saw bersabda: Hai Abu Dzar, apabila engkau hendak puasa hanya tiga
hari dalam satu bulan, hendaklah engkau puasa tanggal tiga belas, empat belas dan
limabelas” (H.R. Ahmad dan Nasa’i).

3. Puasa Makruh.
Puasa Makruh yaitu puasa yang dilakukan terus menerus sepanjang masa, kecuali pada
bulan Sya’ban. Di samping itu makruh mengerjakan puasa pada setiap hari Sabtu saja atau
tiap Jum’at saja. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan
oleh Bukhari:

‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ ِا َّن ِل َربِّك عَلَ ْي َك َحقَّا َواِل َ ْهكِل َ عَلَ ْي َك َحقَّا َو ِل َج َس ِدكَ عَلَ ْي َك َحق َّا فَ ُص ْم‬
ُ ‫هللا َصىَّل‬
ِ ‫قا َل َر ُس ْو ُل‬
‫َوقُ ْم َومَن ْ َوا ْء ِت َا ْهكَل َ َو َا ْعطِ لُك َّ ِذ ْى َح َّق َحقَّ ُه‬
Artinya:
“Tuhanmu mempunyai hak atasmu, yang wajib engkau bayar, begitu juga dirimu dan ahlimu
semua mempunyai hak yang wajib engkau bayar, maka dari itu hendaklah engkau berpuasa
sewaktu-waktu, berjaga malam sewaktu-waktu dan tidur di waktu yang lain. Dekatilah ahlimu
dan berikanlah hak mereka satu persatu” (H.R. Imam Bukhari).

4. Puasa Haram.
Puasa Haram yaitu berpuasa pada tanggal 1 Syawal (hari raya Idul Fitri), tanggal 10
Zulhijjah (hari raya Idul Adha), dan tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah (hari-hari tasyrik). Hal
ini berdasarkan sebuah hadis Nabi Muhammad Saw dari Anas:

‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس مَّل َ هَن َى َع ْن َص ْو ِم مَخ ْ َس َة َا َّاي ٍم ِىف الَّس نَ ِة ْيَو ُم ْال ِف ْط ِر َو ْيَو ُم النَّ ْح ِر َوثَاَل ثَ ُة َا َّاي ِم‬
ُ ‫َا َّن ال َّ ِن َّيب َص َّىل‬
‫الَّترْش ِ يْ ِق‬
Artinya:
“Bahwasanya Nabi Saw telah melarang berpuasa dalam lima hari setahun yaitu hari
raya idul fitri, hari raya idul adha dan hari-hari tasyrik” (H.R. Ad-Daruquthni)
B. PERMASALAHAN LAIN SEKITAR PUASA
a. Menentukan Awal Masuk Ramadhan
Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 185 Allah Swt berfirman:

‫َشه ُْر َر َمضَ َان اذَّل ِ ْٓي ُا ْن ِز َل ِف ْي ِه الْ ُق ْر ٰا ُن هُدً ى ِل ّلنَّ ِاس َوب َ ِ ّينٰ ٍت ِّم َن الْه ُٰدى َوالْ ُف ْرقَ ِۚان فَ َم ْن َشهِدَ ِم ْنمُك ُ الشَّ ه َْر فَلْ َي ُص ْم ُه‬
‫َۗو َم ْن اَك َن َم ِريْضً ا َا ْو عَىٰل َس َف ٍر فَ ِعدَّ ٌة ِّم ْن َااَّي ٍم ُاخ ََر ۗيُ ِريْدُ اهّٰلل ُ ِبمُك ُ الْيُرْس َ َواَل يُ ِريْدُ ِبمُك ُ الْعُرْس َ َۖو ِل ُتمْك ِلُوا الْ ِعدَّ َة‬
َ ‫َو ِل ُت َكرِّب ُ وا اهّٰلل َ عَىٰل َما ه َٰدىمُك ْ َولَ َعلَّمُك ْ ت َ ْش ُك ُر ْون‬

Artinya:

“…Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah dia
berpuasa...”

Memastikan masuknya bulan Ramadhan adalah dengan melihat bulan pada saat langit
cerah. Cara penyaksian ini dikenal dengan sebutan “ru’yah”. Pada zaman Nabi Saw dulu,
umat Islam menyaksikan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal (bulan). Melihat
bulan itu mereka lakukan secara mata telanjang. Hal ini disebabkan pada masa itu belum
ditemukan alat yang canggih untuk membantu melihat hilal. Berbeda dengan situasi zaman
sekarang, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dapat membuat
alat berupa teropong bintang untuk mengintai hilal.

Jika ternyata para sahabat tidak dapat menyaksikan kemunculan hilal, dikarenakan cuaca
tidak mendukung, seumpama mendung atau langit ditutup awan, maka Nabi Muhammad Saw
memberikan alternatif lain untuk memastikan masuknya bulan Ramadhan yaitu dengan cara
menggenapkan jumlah bilangan bulan Sya’ban sebanyak 30 hari. Penggenapan itu
berdasarkan pada perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi berkisar antara 29 dan 30
hari. Jika dalam hitungan 29 hari belum terlihat hilal, maka dipastikan satu bulan untuk bulan
itu adalah 30 hari, dan besoknya sudah dapat dipastikan awal bulan baru. Sebagaimana hadis
dari Abdullah Ibn Umar Nabi Saw bersabda:

‫ َال ت َُص ْو ُم ْوا َحىَّت ت رو ْاالهِ َال َل َواَل تَ ْف ُط ُر ْوا َحىَّت َتَر ْو ُه‬:‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َذ َك َر َر َم َض َان فَق َا َل‬
ُ ‫هللا َص َّىل‬ ِ ‫َا َّن َر ُس ْو َل‬
ُ ‫فَ ِا َّن مَغ َّ عَل َْيمُك ْ ف َا ْقدُ ُر ْواهَل‬

Artinya:

“Bahwasanya Rasulullah Saw menyebut bulan Ramadhan dan berkata: Jangan kamu
berpuasa sehingga kamu melihatnya. Jika mendung tak dapat kamu melihat bulan, maka
kadarkanlah (cukupkan bilangan bulan) baginya” (H.R. Bukhari dan Muslim)1

Berpijak dari hadis Nabi Saw di atas maka lahirlah ilmu hisab (hitung) atau dengan istilah
yang populer “ilmu astronomi”.

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa cara untuk menentukan masuknya bulan
Ramadhan dapat ditempuh dengan dua cara; ru’yah dan hisab. Namun persoalan kemudian
muncul adalah, kedua metode tersebut jarang menghasilkan hasil yang sama. Agaknya hal ini
dipicu oleh perbedaan metode yang digunakan sehingga memberi peluang kemungkinan

1
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jilid IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hal.305
hasilnya juga berbeda. Seperti yang sering mencuat terjadi di tengah-tengah masyarakat,
dalam hal ketika menentukan atau menetapkan awal Ramadhan dan hari raya idul fitri.

Satu langkah bijak yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini adalah dengan turut
campur tangan pemerintah memberikan satu ketegasan. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh
“ijtihad al-hakim yurfa’u al-khilaf” (ijtihad yang dilakukan seorang hakim (pemimpin)
mengangkatkan perbedaan pendapat). Di samping itu ada pernyataan tegas yang dapat
disimak melalui firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’/4 ayat 59:

ِ‫آٰي َهُّي َا اذَّل ِ ْي َن ٰا َمنُ ْوٓا َا ِط ْي ُعوا اهّٰلل َ َو َا ِط ْي ُعوا َّالر ُس ْو َل َو ُاوىِل ااْل َ ْم ِر ِمنْمُك ْ ۚ فَ ِا ْن تَنَ َازعْمُت ْ يِف ْ يَش ْ ٍء فَ ُرد ُّْو ُه ِاىَل اهّٰلل ِ َو َّالر ُس ْول‬
‫ِا ْن ُك ْنمُت ْ تُْؤ ِمنُ ْو َن اِب هّٰلل ِ َوالْ َي ْو ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذكِل َ َخرْي ٌ َّو َا ْح َس ُن تَْأ ِويْاًل‬

Artinya:

“Hai orang yang beriman ikutilah Allah dan ikuti Rasul dan pemimpin di antara kamu…”.

Dalam persoalan agama bagi kita bangsa Indonesia berada di bawah naungan Menteri
Agama, oleh karena itu Menteri Agama-lah yang harus memastikan dan menetapkan awal
Ramadahan dan umat Islam Indonesia mesti mematuhinya sebagai lambang mematuhi
pemimpin.

b. Lailatul Qadar
Firman Allah Swt Yang artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan
tahukah kamu apakah malam kemulian itu? Malam kemudian itu lebih baik daripada seribu
bulan." (Al-Qadr: 1-3)
Maka dengan ayat-ayat tersebut teranglah bahwa yang dimaksud dengan kelebihan
malam qadar itu ialah ganda pahala amal ibadah pada malam itu lebih dari 29.500 ganda
sebab ayat itu menerangkan bahwa orang yang beramal ibadah pada satu malam itu akan
mendapat ganjaran lebih banyak daripada beramal ibadah seribu bulan. Inilah yang dimaksud
dengan kelebihan malam itu dari malam-malam yang lain, bukan seperti sangkaan
kebanyakan orang. Selain dari ibadah adalah baik pula dijadikan waktu untuk berdoa,
meminta kepada Allah tentang sesuatu yang kita ingini.
Dalam menentukan malam qadar itu timbul beberapa pendapat dari para ulama.
Yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat tadi ialah malam yang ganjil sesudah tanggal
dua puluh bulan Ramadan (malam 21, 23, 25, 27, 29), dan yang lebih masyhur ialah malam
27 Ramadan.
Sabda Rasulullah Saw.:
Dari Ibnu Umar, "Rasulullah Saw. telah berkata, "Barang siapa yang ingin menjumpai
malam qadar, hendaklah ia mencarinya pada malam dua puluh tujuh." (Riwayat Ahmad
dengan sanad yang sahih)
Rahasia malam qadar tidak ditentukan, yaitu supaya orang bersungguh sungguh beramal
karena mengharap-harapkannya.
c. Rukhsah orang yang boleh tidak puasa dan konsekuensinya
Menunaikan ibadah puasa hukumnya adalah wajib, penekanan kata wajib memberi
pengertian berdosa kalau ditinggalkan. Namun demikian, agama juga memberikan
keringanan (rukhsah) terhadap beberapa kelompok orang untuk tidak melaksanakan ibadah
puasa, tetapi ada beberapa konsekuensi hukum yang mesti mereka jalankan. Kelompok orang
itu adalah:
a. Orang yang dikategorikan pada golongan “yuthiq” yaitu orang-orang yang susah dalam
melaksanakan kewajiban puasa. Maksudnya adalah puasa bisa mereka lakukan tetapi
dalam menunaikannya ada kesulitan atau keberatan, ibaratkan menggeser batu besar
yang kalau diusahakan bisa dilakukan, tapi akan menghasilkan kepayahan bersangatan
bagi pelakunya. Mereka yang tergolong pada kelompok “yuthiq” adalah orang tua renta,
pekerja berat, seperti pekerja tambang, sopir, kuli di pasar dan sejenisnya. Terhadap
mereka ini dibolehkan untuk tidak berpuasa tapi harus membayar fidyah dengan memberi
makan orang miskin tiap harinya sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah/2
ayat 184:
‫َااَّي ًما َّم ْعدُ ْود ٍ ٰۗت فَ َم ْن اَك َن ِم ْنمُك ْ َّم ِريْضً ا َا ْو عَىٰل َس َف ٍر فَ ِعدَّ ٌة ِّم ْن َااَّي ٍم ُاخ ََر َۗوعَىَل اذَّل ِ ْي َن يُ ِط ْي ُق ْون َ ٗه ِفدْ ي َ ٌة َط َعا ُم‬
َ‫خرْي ٌ لَّمُك ْ ِا ْن ُك ْنمُت ْ ت َ ْعل َ ُم ْون‬
َ ‫ِم ْس ِكنْي ٍ ۗ فَ َم ْن ت ََط َّو َع َخرْي ً ا فَه َُو َخرْي ٌ هَّل ٗ َۗو َا ْن ت َُص ْو ُم ْوا‬

Artinya:
“…dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…”
Ukuran makan yang harus diberikan seharga makan mereka sehari-hari. Penekanan besar
kecil fidyah tergantung pada ukuran biaya harian yang dikeluarkan.
b. Orang sakit juga diberi keringanan meninggalkan ibadah puasa selama sakitnya,
dengan cacatan sakit itu akan bertambah parah atau berkemungkinan akan menimbulkan
penyakit baru lantaran mengerjakan puasa. Maksudnya ada dampak pelaksanaan puasa
terhadap kondisi fisik si sakit. Bagi orang ini diberi dispensasi untuk tidak melaksanakan
ibadah puasa tetapi harus mengganti dihari lain sebanyak hari puasa yang
ditinggalkannya. Istilah ini disebut dengan “mengqadha puasa”. Sebagaimana firman
Allah Swt dalam surat al-Baqarah/2 ayat 185:

‫َشه ُْر َر َمضَ َان اذَّل ِ ْٓي ُا ْن ِز َل ِف ْي ِه الْ ُق ْر ٰا ُن هُدً ى ِل ّلنَّ ِاس َوب َ ِ ّينٰ ٍت ِّم َن الْه ُٰدى َوالْ ُف ْرقَ ِۚان فَ َم ْن َشهِدَ ِمنْمُك ُ الشَّ ه َْر فَلْ َي ُص ْم ُه‬
‫َۗو َم ْن اَك َن َم ِريْضً ا َا ْو عَىٰل َس َف ٍر فَ ِعدَّ ٌة ِّم ْن َااَّي ٍم ُاخ ََر ۗيُ ِريْدُ اهّٰلل ُ ِبمُك ُ الْيُرْس َ َواَل يُ ِريْدُ ِبمُك ُ الْعُرْس َ َۖو ِل ُتمْك ِلُوا الْ ِعدَّ َة‬
‫َو ِل ُت َكرِّب ُ وا اهّٰلل َ عَىٰل َما ه َٰدىمُك ْ َولَ َعلَّمُك ْ ت َ ْش ُك ُر ْو َن‬

Artinya:
“.. dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain…”
c. Musafir, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan atau berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang menentukan kondisi sakit dan
musafir di kalangan fukaha, namun yang diperkenankan untuk tidak berpuasa adalah
musafir yang memenuhi kriteria pelaksanaan shalat jama’ dan qashar. Yaitu, seukuran
empat farsah atau kurang lebih 96 km jarak tempuh, dan perjalanan tersebut bukan
untuk tujuan maksiat. Bagi musafir ini jika meninggalkan puasa mereka harus mengganti
dihari lain sebanyak hari yang ditinggalkan, dengan kata lain juga dikategorikan pada
orang yang mengqadha puasa. Tetapi, jika si musafir tersebut tetap berpuasa selama
dalam perjalanan, maka puasanya sah.
Hal tersebut berdasar hadis dari Hamzah al-Asalami yang berkata kepada Nabi Saw,
“Wahai Rasulullah aku sanggup berpuasa ketika dalam perjalanan, apakah aku berdosa
jika berpuasa?”. Menyikapi hal tersebut, Rasulullah menjawab:
Artinya:
“Berbuka (ketika seseorang melakukan perjalanan) adalah keringanan dari Allah.
Barangsiapa yang mengambilnya, itu adalah suatu kebaikan; dan barangsiapa yang
ingin berpuasa, tidak ada dosa baginya” (H.R. Muslim, An-Nasa’i dan Baihaqi)
d. Wanita hamil baik menyusui atau tidak. Mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa
dengan catatan jika khawatir pada keselamatan dirinya, maka dia digolongkan pada orang
“yuthiq”, sebagaimana kata Ibn Abbas ketika menafsirkan ayat “yuthiq” di atas. Mereka
harus memberi makan seorang fakir miskin pada setiap hari yang ditinggalkannya.
Menurut riwayat Abdurrazzaq, Ibnu Abbas menyuruh ibunya yang saat itu sedang hamil
agar tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Ia berkata, “Kedudukan ibu sama dengan orang
tua yang tidak sanggup berpuasa. Kerena itu janganlah berpuasa dan berilah makan
(kepada seorang miskin) setiap harinya sebanyak setengah sha’ gandum. (H.R.Ad-
Daraquthny).
Namun jika yang dikhawatirkan itu adalah keselamatan anaknya, dia harus
mengqadha puasanya karena dikategorikan pada orang yang “sakit”, namun pendapat
yang lebih kuat jika si ibu mengkhawatirkan keselamatan diri dan bayinya, maka dia
hanya dikenakan membayar fidyah. Hal ini berdasarkan hadis yang berbunyi:
”Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah menggugurkan kewajiban setengah shalat
bagi orang yang berpergian (musafir) dan menggugurkan kewajiban puasa bagi
musafir, wanita hamil dan menyususi” (H.R. Ahmad).
e. Wanita Haid dan Nifas wajib tidak berpuasa dan harus mengqadha puasa sebanyak hari
yang ditinggalkan. Ketentuan ini berpedoman pada hadis dari Aisyah: “Kami mengalami
haid pada masa Rasulullah Saw masih hidup, kami disuruh mengqadha puasa, tapi tidak
disuruh mengqadha shalat.” (H.R.Muslim).
Dengan kemajuan ilmu kedokteran ada ditemukan pil anti haid. Menangggapi persoalan
mengkonsumsi pil anti haid agar wanita dapat melaksanakan kewajiban puasa atau haji
secara sempurna, sebagian ulama mengharamkannya dengan alasan bahwa tindakan itu
menentang kodrat yang telah ditetapkan Allah Swt, dan wanita di zaman Rasul pun tidak
pernah menggunakannya. Di samping itu haid diketahui merupakan penyakit
sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 222:
‫َوي َْسـَٔلُ ْون ََك َع ِن الْ َم ِح ْي ِض ۗ قُ ْل ُه َو َا ًذ ۙى فَا ْعزَت ِ لُوا ال ِن ّ َس ۤا َء ىِف الْ َم ِح ْي ِۙض َواَل تَ ْق َرب ُ ْوه َُّن َحىّٰت ي َ ْطهُ ْر َن ۚ فَ ِا َذا‬
‫ت ََطه َّْر َن فَْأت ُْوه َُّن ِم ْن َح ْي ُث َا َم َرمُك ُ اهّٰلل ُ ۗ ِا َّن اهّٰلل َ حُي ِ ُّب التَّ َّوا ِبنْي َ َوحُي ِ ُّب الْ ُم َت َطهِّ ِر ْي َن‬
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.”
Ayat itu menjelaskan bahwa haid itu penyakit yang terdapat dalam tubuh wanita, oleh
karena itu penyakit harus dikeluarkan, jika ditahan akan membahayakan bagi kesehatan
wanita.
Akan tetapi, ada yang berpendapat bila wanita yang mengkonsumsi pil anti haid tidak
punya efek samping bagi dirinya, maka tidak ada masalah dan puasanya sah, selama
darah haid benar-benar tidak keluar. Golongan ini berargumen bahwa tujuan si wanita
bukan mematikan haid tetapi hanya menunda kedatangannya, dari segi nash tidak ada
yang menyuruh dan melarang.
d. Hal-hal yang mengurangi nilai puasa
1. Berkata dusta
Berkata dusta adalah menyampaikan sesuatu yang berlainan dengan kenyataan.
Jika dilhat dalam hal perbuatan, orang yang berdusta juga bisa berperilaku tidak sesuai
dengan perkataannya. Dusta merupakan dosa besar dalam Islam, induk dari banyak
maksiat lain. Jika seseorang sudah terlanjur berdusta, ia akan melakukan kebohongan lain
untuk menutupi yang pertama. Karena itu, jika orang berdusta selama ia berpuasa maka
ibadah puasanya tidak bernilai apa-apa di sisi Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, maka Allah tidak butuh
dari rasa lapar dan haus yang dia tahan,” (H.R. Bukhari).
2. Gibah, gosip, atau membicarakan keburukan orang lain
Kendati gibah tidak termasuk dusta, tapi membicarakan keburukan orang lain
termasuk perilaku tercela yang dilarang Islam. Seseorang yang bergosip atau
membicarakan keburukan orang lain dianalogikan seperti memakan bangkai saudaranya,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Hujurat ayat 12.
Jika seorang muslim bergibah, sedang ia berpuasa, maka ia hanya memperoleh lapar
dan haus saja, tidak ada pahala bagi ibadah puasanya. Hal ini ditegaskan dalam hadis
berikut: “Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa
adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan rofats. Apabila ada seseorang
yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, ‘Aku sedang puasa, aku
sedang puasa’,” (H.R. Ibnu Khuzaimah).
3. Adu domba dan fitnah
Akar dari perbuatan adu domba dan fitnah adalah kebencian. Adu domba dapat
berupa rasa tidak senang melihat orang lain rukun, lalu menyebarkan fitnah untuk
merusaknya. Jangankan pahala puasa, Islam mengancam orang yang melakukan adu
domba dengan balasan neraka di akherat. Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad SAW:
"Pelaku adu domba tidak akan masuk surga," (H.R. Muslim).
4. Bersumpah palsu
Perbuatan lain yang bisa merusak pahala puasa ialah bersumpah palsu. Menyatakan
sumpah, tapi berbohong merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Apalagi, jika
sampai membawa nama Allah SWT di awal sumpahnya maka perilaku itu termasuk salah
satu dari 3 dosa paling besar. Larangan bersumpah palsu ini dijelaskan Al-Quran dalam
surah Ali Imran ayat 77 sebagai berikut: "Sesungguhnya orang-orang yang menukar
janjinya [dengan] Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka
itu tidak mendapat bagian [pahala] di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan
mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak [pula] akan
mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih," (Ali Imran [3]: 77]
5. Tidak menjaga mata dari syahwat
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu tujuan puasa ialah menahan hawa nafsu,
tidak hanya lapar dan haus, melainkan juga syahwat. Karena itulah, orang yang
mengumbar syahwatnya ketika berpuasa, pahala puasanya akan gugur sehingga yang
tersisa lapar dan haus saja. Salah satu sumber syahwat yang utama ialah pandangan mata.
Apabila mata seseorang jelalatan, tidak menundukkan pandangan pada lawan jenis yang
bukan mahramnya, maka ia telah menodai ibadah puasanya. Karena itulah, seorang
muslim harus waspada dengan pandangan matanya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Pandangan merupakan salah satu anak panah iblis," (H.R. Al-Hakim dan Thabrani).
e. Hikmah Puasa
Ibadah puasa itu mengandung beberapa hikmah, di antaranya sebagai berikut
Tanda terima kasih kepada Allah karena semua ibadah mengandung arti terima kasih
kepada Allah atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya, dan tidak
ternilai harganya. Firman Allah Swt.:
‫َو ٰا ٰتىمُك ْ ِّم ْن لُك ِ ّ َما َس َالْ ُت ُم ْو ُهۗ َوا ِْن تَ ُع ْدُّوا ِن ْع َم َت اهّٰلل ِ اَل حُت ْ ُص ْوهَاۗ ِا َّن ااْل ِن ْ َس َان لَ َظلُ ْو ٌم َكفَّ ٌار‬
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu meng hinggakannya."
(Ibrahim: 34)
2. Didikan kepercayaan. Seseorang yang telah sanggup menahan makan dan minum dari
harta yang halal kepunyaannya sendiri, karena ingat perintah Allah, sudah tentu ia tidak
akan meninggalkan segala perintah Allah, dan tidak akan berani melanggar segala
larangan Nya.
3. Didikan perasaan belas kasihan terhadap fakir miskin karena seseorang yang telah
merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan Hal itu akan dapat mengukur kesedihan
dan kesusahan orang yang sepanjang masa merasakan ngilunya perut yang kelaparan
karena ketiadaan. Dengan demikian, akan timbul perasaan belas kasihan dan suka
menolong fakir miskin.
4. Guna menjaga kesehatan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa macam-macam puasa dapat dilihat dari
segi pelaksanaan, hukumnya dibedakan atas: puasa wajib, puasa sunat, puasa makruh dan
puasa haram. Adapun puasa wajib contohnya puasa ramadhan, kafarat, nazar dan qadha.
Sedangkan puasa sunat salah satunya contohnya puasa enam hari di bulan syawal, ada pula
puasa makruh adalah puasa yang dilakukann terus menerus sepanjang masa kecuali pada
bulan sya’ban. Yang terakhir puasa haram yaitu berpuasa pada tanggal 1 Syawal (hari raya
Idul Fitri), tanggal 10 Zulhijjah (hari raya Idul Adha), dan tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah
(hari-hari tasyrik).
Adapun permasalahan lain sekitar puasa seperti dengan menentukan awal masuk
ramadhan dengan metode yakni ru’yah dan hisab. Adapun lailatul qadar merupakan malam
yang sangat istimewa karena lebih baik dari seribu bulan. Dan ruksah orang yang boleh tidak
puasa dan konsenkuensinya seperti orang yang dikategorikan pada golongan yuthiq, orang
sakit, musafir, wanita hamil baik menyusui atau tidak, wanita haid dan nifas. Hal-hal yang
mengurangi nilai puasa antara lain seperti berkata dusta, ghibah, gossip atau membicarakan
keburukan orang lain, adu domba dan lain-lain. Sedangkan hikmah puasa antara sebagai
berikut: tanda terima kasih kepada allah, didikan kepercayaan, didikan perasaan belas
kasihan terhadap fakir miskin dan juga guna menjaga kesehatan.
B. SARAN
1. Sebagai seorang muslim yang taat kepada ajaran Allah, sebaiknya kita mengetahui dan
memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan puasa agar tidak keliru ketika menjalankan
puasa nantinya.
2. Kepada para pendidik, hendaknya selalu mengajarkan dan menanamkan pemahaman
tentang puasa kepada anak didiknya.
3. Ketika menjalankan ibadah puasa, sebaiknya selalu berserah diri kepada Allah dan selalu
berdoa kepada-Nya. Karena tantangan dan godaan ketika berpuasa tidaklah mudah bila
dirasakan. Serta selalu menghindari hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa dan dapat
memahami hikmah puasa.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Penulis: Abdul. “5 Hal Yang Merusak Pahala Puasa, Dalil Hadist, Dan Penjelasannya.”
Tirto.id, 24 Mar. 2022, amp.tirto.id/5-hal-yang-merusak-pahala-puasa-dalil-hadist-dan-
penjelasannya-gdX2. Accessed 17 May 2022.
Hamid, Abdul. Fikih Ibadah. Curup, LP2 STAIN CURUP, June 2011.
Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. 1986. Bandung, Indonesia Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2006.

Anda mungkin juga menyukai