Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

”AYAT MUTLAQ DAN MUQAYYAD”


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Intensif Ulumul Quran
Dosen Pembimbing:
H. Hamli, M.Pd

Oleh:
Dhea Alfa Dilla (21.86232.00812)
Khairunnisa (21.86232.00841)
Nor’aida Riyani (21.86232.00885)
Saripatul Hidayah (21.86232.00907)

SEKOLAH TINGGI ILMU ALQURAN (STIQ) AMUNTAI


PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt, shalawat dan salam semoga selalu
tercurah keharibaan junjungan Nabi besar Muhammad saw. Beserta seluruh
keluarganya, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Alhamdulillah, dengan segala rahmat dan inayah-Nya makalah yang
berjudul “Ayat Al-Mutlaq dan Al-Muqayyad” sebagai salah satu tugas pada mata
kuliah Intensif Ulumul Quran program studi Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah Sekolah Tinggi Ilmu Al-Quran (STIQ) Amutai dapat diselesaikan.
Penulis sangat menyadari, dalam penulisan makalah ini banyak sekali
menerima bantuan, baik tenaga maupun pikiran. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan tersebut, terutama kepada
Muallim H. Hamli, M.Pd yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk
serta koreksi dalam penulisan makalah ini serta semua pihak yang telah memberi
bantuan, fasilitas, informasi, meminjamkan buku-buku dan literatur-literatur yang
penulis perlukan, sehingga makalah ini bisa diselesaikan.
Atas bantuan dan dukungan yang tak ternilai harganya tersebut penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-
tingginya teriring do’a yang tulus semoga Allah swt memberi ganjaran yang
berlipat ganda. Amin.
Akhirnya penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua dan
mendapat taufik serta inayah dari Allah swt.

Amuntai, tanggal 4 November 2022

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


KATA PENGANTAR .....................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1


A. Latar Belakang ........................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ...................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................3


A. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad .......................................... 3
B. Mutlaq dan Muqayyad Menurut Metode Mutakallimin.......... 6
C. Status Hukum Mutlaq dan Muqayyad..................................... 9

BAB III PENUTUP.....................................................................................16


A. Kesimpulan..............................................................................16
B. Saran .......................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nash yang menjadi dalil hukum Islam baik al-Quran sebagai sumber
hukum pertama maupun sunah Nabi SAW sebagai sumber kedua adalah yang
berbahasa arab. Untuk memeahaminya dengan baik membutuhkan kemampuan
memahami bahasa dan ilmu bahasa arab dengan baik pula.

Seseorang yang ingin mengistinbatkan atau mengambil hukum dari


sumber-sumber tersebut harus betul-betul mengetahui bahasa arab dengan seluk-
beluknya. Ia harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh
bahasa itu (dalalahnya). Begitu pula harus dipahami tentang cara-cara
mengutarakan sesuatu, apakah dengan bentuk majazi (qiyasan). Kesemuanya ini
harus ada kemampuannya dalam memahami hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya. Karena itulah ulama ushul menaruh perhatian yang besar sekali agar
nash atau dalil yang berbahasa arab itu dapat dipahami dengan baik dan sempurna.
Untuk itu mereka telah menciptakan beberapa qaidah lughawiyah untuk dapat
memahami nash atau dalil agar hukum-hukum dapat dipetik dari dalil yang
menjadi pegangan hukum tersebut.

Nash itu ada dua macam, yaitu yang berbentuk bahasa (lafdziyah) dan
yang tidak berbentuk bahasa arab (lafadz) adalah al-Quran dan as-sunnah dan
yang bukan berbentuk bahasa seperti istihsan dsb.

Sebagai bagian dari ulumul quran, mutlaq dan muqayyad penting


dipahami, keduanya adalah kajian untuk mempertegas maksud kandungan dari
redaksi ayat-ayat atau nash-nash alquran. Sebelum menelaah dan mengkaji dua
nomenklatur itu perlu dicatat bahwa telaah tentang mutlaq dan muqayyad
berkaitan dengan pengambilan atau penyimpuan putusan hukum dari Alquran,
maka tidak bisa dielekkan pembahasan ini akan bersinggungan dengan ushul
fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ayat Mutlaq dan Muqayyad?

1
2. Bagaimana pandangan Mutlaq dan Muqayyad menurut metode
mutakallimin?
3. Bagaimana Status Hukum Mutlaq dan Muqayyad?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk menjelaskan pengertian ayat Mutlaq dan Muqayyad.
2. Untuk menjelaskan Mutlaq dan Muqayyad menurut metode mutakallimin.
3. Untuk menjelaskan Status Hukum Mutlaq dan Muqayyad.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ayat Mutlaq Dan Muqayyad


Muthlaq menurut istilah ialah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz itu
apa adanya tanpa memandang jumlah maupun sifatnya. Muthlaq artinya makna
yang sebenarnya, atau suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa ada
yang membatasinya sehingga tujuan dari maknanya menjadi sempit. Dengan kata
lain, muthlaq adalah memahami lafazh sesuai dengan makana tekstualnya yang
tidak terdapat pembatasan makna di dalamnya, terdapat firman Allah dalam surat
Al-Mujadilah: 3 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ْ @ُ‫س@ ۗا ٰذلِ ُك ْم ت ُْو َعظ‬
ۗ ٖ @‫@ونَ ِب‬
‫@ه‬ َ ِّ‫َوالَّ ِذيْنَ يُ ٰظ ِه ُر ْونَ ِمنْ ن‬
َّ ‫س ۤا ِٕى ِه ْم ثُ َّم يَ ُع ْود ُْونَ لِ َما قَالُ ْوا فَت َْح ِر ْي ُر َرقَبَ@ ٍة ِّمنْ قَ ْب@ ِل اَنْ يَّتَ َم ۤا‬
‫َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُ ْونَ َخبِ ْي ٌر‬
"Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang
telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu berhubungan badan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah
Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
Makna dari hamba sahaya tersebut adalah mutlak hamba sahaya, tidak ada
kata lain yang menyifatinya, misalnya hamba sahaya yang kulitnya hitam atau
yang rambutnya keriting.
Muqayyad ialah lafaz yang menunjukkan pada hakikat lafaz tersebut dengan
dibatasi oleh sifat, keadaan, dan syarat tertentu. Atau dengan kata lain, lafaz yang
menunjukkan pada hakikat lafaz itu sendiri, dengan dibatasi oleh batasan, tanpa
memandang pada jumlahnya. Muqayyad adalah kata yang menunjukkan hakikat
sesuatu yang dipersempit atau dibatasi oleh pembatasan tertentu. Perumpamaan
Muqayyad salah satunya terdapat dalam surat An-Nisa : 92
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫س@لَّ َمةٌ اِ ٰلٓى‬َ ‫َو َما َكانَ لِ ُمْؤ ِم ٍن اَنْ يَّ ْقتُ َل ُمْؤ ِمنًا اِاَّل َخطَـ ًۚٔا َو َمنْ قَتَ َل ُمْؤ ِمنًا َخطَـًٔا فَت َْح ِر ْي ُر َرقَبَ@ ٍة ُّمْؤ ِمنَ@ ٍة َّو ِديَ@ةٌ ُّم‬
ْ @َ‫ص َّدقُ ْوا ۗ فَاِنْ َكانَ ِمنْ قَ ْو ٍم َع ُد ٍّو لَّ ُك ْم َو ُه َو ُمْؤ ِمنٌ فَت َْح ِر ْي@ ُر َرقَبَ@ ٍة ُّمْؤ ِمنَ@ ٍة ۗ َواِنْ َك@@انَ ِمنْ ق‬
‫@و ۢ ٍم‬ َّ َّ‫اَ ْهلِ ٖ ٓه آِاَّل اَنْ ي‬
ً‫ش ْه َر ْي ِن ُمتَتَ@@ابِ َع ْي ۖ ِن ت َْوبَ @ة‬
َ ‫صيَا ُم‬ ِ َ‫سلَّ َمةٌ اِ ٰلٓى اَ ْهلِ ٖه َوت َْح ِر ْي ُر َرقَبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ۚ ٍة فَ َمنْ لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬
َ ‫ق فَ ِديَةٌ ُّم‬
ٌ ‫بَ ْينَ ُك ْم َوبَ ْينَ ُه ْم ِّم ْيثَا‬
‫ِّمنَ هّٰللا ِ ۗ َو َكانَ هّٰللا ُ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬
"Tidak patut bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin, kecuali

3
karena tersalah (tidak sengaja). Siapa yang membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan
(membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh), kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (terbunuh) dari
kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, (hendaklah pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya mukminat. Jika dia (terbunuh) dari kaum (kafir)
yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, (hendaklah pembunuh)
membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan
hamba sahaya mukminah. Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya)
hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai (ketetapan) cara bertobat dari
Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
Sebagaiman dimaklumi, nash-nash Alquran sebagai rujuksn hukum seringkali
turun dalam bentuk mutlaq. Yaitu entitas penunjuk pada nomenklatur baik
individu, benda yang umum, tidak terbatas dan tidak diberikan kriketia sifat atau
syarat. Selain berupa mutlaq, persyariatan itu dibatasi oleh kisi-kisi sifat dan
kriteria tertentu. Namun pada hakikatnya nomenklatur individu itu masih meliputi
segala jenis. Pembatasan seperti itu diistilahkan dengan muqayyad. Dalam
konteks ulumul quran, Manna Khalil al Qattan menjelaskan definisi atau istilah
terminologi mutlaq dan muqayyad.
Menurut Qattan, mutlaq adalah bacaan yang menunjukkan suatu hakikat tanpa
suatu qayid atau pembatas. Jadi mutlaq hanya mengacu pada individu atau
nomenklatur yang tertentu. Hakikatnya, hal ihwal individu itu masih belum
terpermanai. Dalam bahsa inggris disebut dengan absolute. Pemaknaan absolute
dalam kamus ini lebih tepat dalam tema absolution, yang berarti pelepasan atau
pembebasan. Mutlaq sebagai lafadz biasanya, berbentuk nakiroh atau ism tanpa
alif dan lam. Misalnya lafadz roqobah dalam fatahriru roqobatin.
Mutlaq artinya makna yang sebenarnya, atau suatu lafadz yang menunjukkan
hakikat sesuatu tanpa ada yang membatasinya sehingga tujuan dari maknanya
menjadi sempit. Dengan kata lain, mutlaq adalah memahami lafadz sesuai dengan
makna tekstualnya yang tidak terdapat pembatasan makna didalamnya, terdapat
firman Allah dalam surah Al-Mujadilah:3

4
َّ ‫ِّس اِئ ِه ْم مُثَّ َيعُ ْو ُد ْو َن لِ َم ا قَ الُْوا َفتَ ْح ِر ْي ُر َر َقبَ ٍة ِم ْن َقْب ِل َأ ْن َيتَ َم‬
‫آس ا‬ ِ ِ ِ َّ
َ ‫َوالذيْ َن يُظَ اه ُر ْو َن م ْن ن‬
)3( ‫َذلِ ُك ْم ُت ْو َعظُْو َن بِِه َواللَّهُ مِب َا َت ْع َملُ ْو َن َخبِْيٌر‬
“Maka merdekakanlah hamba sayaha.” (QS. Al-Mujadilah:3)

Makna dari hamba sahaya tersebut adalah mutlak hamba sahaya, tidak ada
kata lain yang menyifatinya, misalnya hamba sahaya yang kulitnya hitam atau
yang rambutnya keriting. Muqayyad adalah kata yang menunjukkan hakikat
sesuatu yang dipersempit atau dibatasi oleh perbatasan tertentu. Pernyataan ini
meliputi pembebasan seorang budak tanpa terbatas mukmim atau kafir. Lafadz
roqobah adalah nakirah dala kalimat positif. Namun demikian ada juga yang
berbentuk mudhof wa mudhof ilaih.
Dengan demikian pengertian muqayyad adalah segala sesuatu yang memiliki
pembatas. Contoh pada surah Al-baqarah dalam dilaog nabi Musa dengan Bani

Israil tenteng perintah menyembelih sapi. ‫ ان اهلل ي أمركم ان ت ذحبو بق رة‬mereka


diminta untuk mnyembelih sapi tanpa kualifikasi, tanpa sesifikasi, tanpa atribut
dan tanpa pembatas awalnya, namun kemudian mereka menanyakan spesifikasi
sapi tersebut. Lalu, dijelaskanlah spesifikasi sapi itu ‫اهنا بقرة ال فارض وال بقرة‬

Kasus lain yang menunjukan pentingnya memahami mutlaq dan muqayyad


bila dirujuk dari kalimat yang diutarakan Az zuhri ahli hadis yang diminta Umar
ibn Abd Aziz mengkodifikasi hadis-hadis Nabi. Kalimat atau makalahnya yang
lengkap mengomentari perintah kebijakan penguasa tentang kodifiksi hadis
begini,
‫ان هؤالء العمراء اكرهونا علي كتابة االحاديث‬

Artinya, sesungguhnya mereka adalah penguasa itu memaksa kami menulis


hais-hadis. Namun kalimat ini oleh seorang orientalis Iqnass Gholdziher diubah
dari ‫ االحاديث‬menjadi ‫احاديث‬. Yang pertama jelas merujuk pada hadis-hadis nabi,

sedangkan yang kedua bisa jadi sembarang hadis atau yang diannggap hadis.
Perbedaan isim makrifat dan nakirah dalam konteks kalimat ungkapan Azzuhri
bisa berdampak fatal. Dengan menggunakan makrifat bererti bentuk muqayyad,
maka kita akan berasumsi kuat bahwa hanya hadis-hadis yang shohih yang benar-

5
benar beraalh dari nabi yang dikodifikasikan tim Az zuhri. Sedangkan nakiroh
bisa berarti mutlaq, berarti sembarang hadis baik yang jelas kesahihannya maupun
yang tidak jelas kesahihannya.1
Pengertian tentang mutlaq dan muqayyad yang diuraikan, ada baiknya
dilengkapi dengan wawasan ulama atau sarjana modern yang mengartikulasikan
keilmuannya dalam bahasa Inggris. Syekh Yasir Birjas, lulusan Universitas
Madinah, pengajar di Institute Al Maghrib tetapi tinggal di Amerika menjelaskan
berbagai kuliahnya.
Almutlaq the absolute (No retriction). It is a word is not limited, nor qualified in
its aplication. It includes everything with no retriction. So what do you do when
you find such a ruling in the quran or hadis. The absolute understanding of Ayah
or Hadis (Mutlaq) is applied, unless you bring eveidence that suggest any
retriction or qualification. Ruling mutlaq, the absolute ruling that it aludes to is
afflied as there is no qualification or retrection (muqayyad).
Mutlaq merupakan entitas tanpa batasan. Mutlaq adalah kata yang tidak
terbatas atau tidak dikualifikasikan dalam penerapan hukumnya. Mutlaq
menyangkut segala sesuatu yang tidak terbatas. Dengan pnegertian ini, apa yang
dilakukan ketika ditemukan bukti yang menguatkan bahwa pembatas atau
kualifikasi terhadap yang mutlaq tersebut.
Tentang muqayyad, menurut brijas bahwa pada dasarnya muqayyad adalah
kata sifat atau atribut mutlaq. Ketika mutlaq dibatasi atau diberi kualifikasi
dengan kata atau frase, maka mutlaq menjadi muqayyad.2
Perumpaan muqayyad salah satunya terdapat dalam surat An-Nisa:92

‫َو َم ا َك ا َن لِ ُم ْؤ ِم ٍن َأ ْن َي ْقتُ َل ُمْؤ ِمنًا ِإالَّ َخطًَئا َو َم ْن َقتَ َل ُمْؤ ِمنًا َخطًَئا َفتَ ْح ِر ْي ُر َر َقبَ ٍة‬

‫ص َّد ُق ْوا فَ ِإ ْن َك ا َن ِم ْن َق ْوٍم َع ُد ٍّو لَّ ُك ْم َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن‬


َّ َ‫ُمْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َس لَّ َمةٌ ِإىل َْأهلِ ِه ِإالَّ َأ ْن ي‬

‫َفتَ ْح ِر ْي ُر َر َقبَ ٍة ُمْؤ ِمنَ ٍة َوِإ ْن َك ا َن ِم ْن َق ْوٍم َبْينَ ُك ْم َو َبْيَن ُه ْم ِمْيثَ ٌق فَ ِديَ ةٌ ُّم َس لَّ َمةٌ ِإىَل َْأهلِ ِه‬

(‫ص يَ ُام َش ْهَريْ ِن ُمتَتَ ابِ َعنْي ِ َت ْوبَةً ِم َن اللَّ ِه َو َك ا َن اللَّهُ َعلِْيمًا‬
ِ َ‫وحَتْ ِرير ر َقب ٍة مْؤ ِمنَ ٍة فَمن مَل جَيِ ْد ف‬
ْ َْ ُ َ َ ُْ َ
1
Dewi Murni, “Mutlaq Dan Muqayyad,” Jurnal Syahadah VII (2019): 55.
2
Hidayatul Munawaroh, “Memahami Relasi Mutlaq dan Muqayyad Dalam Tafsir
Alquran,” Al-I’jaz 3 (2021): Hal. 52–53.

6
)92
“ dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang
lain, kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman.” (QS. An-Nisa: 92)
Yang termasuk muqayyad pada ayat tersebut adalah pembatasan atau
penyempitan makna dari kata “raqabathain” yang dipersempit oleh kata
“mu’minatin”.
Seperti kata binatang, burung, siswa, buku suatu lafadz tertentu yang belum
ada kaitan atau batasan dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan
jangkauannya,dsb. Lafadz-lafadz tersebut adalah untuk menyatakan kesatuan dari
suatu jenisnya termasuk aman saja tanpa dibatasi oleh apa dan bagaimana satuan
ini. Bila telah dibatasi oleh lafadz lain umpamanya bintang mamalia, burung
kakatua, siswa SMP, buku peajaran matematika dsb,. Maka lafadz tadi telah
menjadi lafadz muqayyad, artinya luas jangkauannya telah terbatas sedikit
daripada waktu masih mutlaqnya. Dengan demikian lafadz muqayyad dapat
dikatakan, yang artinya suatu lafadz tertentu yang ada batasan atau ikatam
dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Dengan kata lain sebenarnya lafadz muqayyad ialah lafadz mutlaq yang
diberikan kaitan dengan lafadz lain sehingga artinya lebih tegas da tebatas
datipada waktu masih mutlaq. Walaupun demikian keterbatasan lafadz muqayyad
seperti contoh diatas itu tidka pula menghilangkan jangkaunannya kepada sifat-
sifat lain, artinya sifat-sifat yang lain masih ada pada umpanya.3
Sebagaimana lafaz ‘âm dan khas, sesuatu yang muncul secara mutlaq dalam
teks Al-Quran akan tetap berada dalam status kemutlaqannya selama tidak ada
teks lain yang melakukan pembatasan terhadap kemutlaqannya itu. Demikian juga
sebaliknya, status teks yang muqayyad itu akan tetap dalam kemuqayyadannya.
Artinya bahwa apabila terdapat teks yang bersifat mutlaq, kemudian ditemukan
teks lain yang menqayyidkannya, maka statusnya akan berubah menjadi tidak
mutlaq lagi.
3
Rajiah, “Al-mutlaq dan Al-muqayyad Dalam Hukum Islam,” Jurnal Pilar 2 (2013):
Hal. 158–61.

7
B. Mutlaq Dan Muqayyad Menurut Metode Mutakallimin
Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa, dan kaidah
ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah
ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan
hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah ushuliyyah di
sebut juga dengan kaidah istinbat atau kaidah lughawiyyah.
Objek utama yang akan dibahas dalam Ushul fikih adalah Alquran dan
Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab
tersebut, para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang akan digunakan
dalam praktik penalaran fikih. Bahasa arab menyampaikan suatu pesan dengan
berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya. Untuk itu, para ahli telah
membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, di antaranya yang sangat penting
dan akan dikemukakan di sini adalah masalah muthlaq dan muqayyad.
Pengambilan hukum dari nas Alquran dan as-Sunnah bisa di tempuh melalui
pendekatan kaidah-kaidah ushuliyyah, kaidah berarti aturan umum. Ushuliyyah
berarti pokok dan menyeluruh, dengan demikian kaidah ushuliyyah adalah aturan
umum yang digunakan untuk menggali hukum. Kaidah usuliyyah berkaitan
dengan lafaz dan dalalahnya atau lebih tepatnya berkaitan dengan kebahasaan
(Arab). Pembahasan yang berkaitan dengan kebahasaan cukup banyak antara lain
muthlaq dan muqayyad.
Ibn Qudamah dalam kitabnya Raudhah al-Nazhir mendefinisikan muthlaq
sebagai berilkut :
‫املتناول لواحد البعينهباعتبار حقيقة شاملة جلنسه‬

Artinya : Yang memberikan (pengertian) tentang satu (lafal) tidak dengan


sendirinya, dengan memperhatikan hakikat yang mencakup jenisnya.
Dan Al-Amidi dalam kitabnya al-Ihkam fi ushul al-Ahkam mendefinisikan
muthlaq sebagai berikut :
‫اللفظ الدال علي مدلول شانع يف جنسه‬

Artinya : Suatu lafal yang menunjukkan kepada tunjukan yang mencakup


seluruh jenisnya.

8
Contohnya dalam firman Allah :
‫فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا‬

Artinya: maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua


suami istri itu bercampur.
Dan dalam hadis :
)‫النكاح إال بويل وشاهدي عدل(رواه أمحد‬

Artinya : Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.
(Riwayat Ahmad)
Lafal ‫ )رقبة‬hamba) dalam ayat dan ‫ )ولي‬wali) dalam hadis di atas merupakan
lafal muthlaq karena mencakup keseluruhan jenis hamba dan wali.
Adapun muqayyad menurut Ibn Qudamah adalah :
‫املتناول ملعني او لغري معني موصوف يأمر زائد علي احلقيقة الشاملة جلنسه‬

Artinya : Yang memberikan (pengertian) tentang sesuatu yang tertentu atau


tidak tertentu namun telah diberi sifat dengan hal yang melebihi hakikat yang
mencakup keseluruhan jenisnya.”
Al-Amidi menyatakan bahwa muqayyad dapat ditinjau dari dua sisi : yang
pertama lafal yang menunjukkan kepada tunjukan tertentu seperti : ‫زيد وعم ر وهذا‬

‫ الرجال‬yang kedua lafal yang menunjukkan kepada sifat yang mempunyai tunjukan
muthlaq dengan sifat yang ditambahkan kepadanya, atau dengan kata lain, lafal
muthlaq yang diberikan kaitan dengan lafal lain sehingga artinya menjadi lebih
tegas dan terbatas dari pada waktu masih muthlaq, seperti : ‫دينار مصري ودرهم مكي‬.4

C. Status Hukum Mutlaq Dan Muqayyad


Berdasarkan lima bentuk relasi menurut Rachmat Syafe’i dan empat bentuk
relasi menurut Qottan, bentuk mutlaq dan muqayyad yang teruraiakan di atas, di
kalangan ulama ada yang bersepakat ada yang tidak bersepakat.
1. Jika hukum dan sebabnya sama, seperti dalam kasus kafarah puasa bagi
seorang muslim yang mengingkari sumpahnya, atau dalam pengharaman
darah, maka para ulama sepakat membawa lafazh mutlaq dibawa ke

4
Pulungan, 4–6.

9
muqayyad.
2. Jika hukum dan sebabnya berbeda, seperti dalam kasus tangan dalam
batasan berwudlu dan batasan tangan yang dipotong dalam kasus
pencurian, maka para ulama sepakat untuk tidak membawa mutlaq ke
muqayyad. Ijmak ulama memberlakukan mutlaq pada kemutlaqannya dan
muqayyad pada ke-muqoyaad-annya.
3. Sebagaimana, pada hukumnya berbeda tetapi sebabnya sama, seperti
dalam kasus batasan tangan yang dibasuh wudlu dengan batasan tangan
yang diusap untuk tayamum, maka para ulama sepakat pula bahwa tidak
boleh membawa lafaz mutlaq ke muqayyad. Masing-masing tetap pada
ke-mutlaq-annya dan ke-muqoyaad-annya.
Namun dalam kasus hukumnya sama, tetapi sebabnya berbeda, seperti dalam
kafarah dzihar dan pembunuhan tidak terenacana, masalah ini juga diperselisihkan
antara sebagian besar ulama dan Ulama hanafiah. Menurut ulama Hanafiah tidak
boleh membawa mutlaq pada muqayyad. Masing-masing berdiri sendiri.
Konsekuensi hukumnya pada kasus zihar, tidak mensyaratkan pembebasan hamba
sahaya mukmin. Sebaliknya pada jumhur ulama, disepakati wajib hukumnya
membawa mutlaq pada muqayyad. Dalam kasus ini ulama Syafiiayah memberi
catatan, mutlaq dibawa ke muqayyad apabila ada illah (alasan) atau hukum yang
sama. Caranya yaitu ditempuh dengan jalan qiyas.

Sebab terjadinya perselisihan atau cara memandang ayat-ayat yang berbeda


sehingga menghasilkan hukum yang berbeda. Bagi kalangan Hanafiah, ayat demi
ayat dan nash-nash itu berdiri sendiri dan masing-masing bisa menjadi hujjah.
Maka pembatasan yang mutlak tanpa dalil itu sendiri justru mempersempit yang
tidak diperintah. Sedangkan jumhur berpendapat bahwa ayat-demi ayat dalam satu
Al Quran adalah satu kesatuan yang saling berkaitan. Maka apabila ada satu kata
yang menjelaskan berarti hukum itu sama di setiap tempat kata itu berada.5

Ulama sepakat bahwa hukum yang muthlaq adalah mutlak untuk diamalkan
sesuai dengan eksistensi ke-muthlaqannya. Jika ada perintah pertama harus
memerdekakan hamba sahaya secara muthlaq, keharusan memerdekakan hamba
5
Dg Imang, “‘AM, KHAS, MUTHLAQ DAN MUQAYYAD,” Jurnal Hukum Diktum 14 (2016):
Hal.10.

10
sahaya bersifat muthlaq. Akan tetapi, ketika hamba sahaya yang harus
dimerdekakan adalah hamba sahaya yang perempuan yang beriman, yang
diamalkan adalah muqayyad.6
Dalam pelaksanaan hukumnya, keberlakuannya dapat bersama-sama atau
masing-masing berdiri sendiri. Artinya yang muthlaq berlaku untuk yang muthlaq
dan yang muqayyad berlaku untuk yang demikian. Hal itu terjadi jika perintahnya
berdiri. Akan tetapi, jika perintahnya berada dalam satu rangkaian kalimat atau
dalam satu ayat Al-Qur’an, sebagaimana muqayyad-nya sebagai sifat bagi yang
muthlaq, maka pengemalannya dilakukan secara bersama-sama. Sebagaimana
pengamalan memerdekakan hamba sahaya sebagai yang muthlaq, artinya harus
hamba sahaya, sedangkan yang beriman adalah yang muqayyad jadi harus yang
beriman, tidak boleh yang kufur.Dengan demikian, hukum bagi yang muthlaq dan
yang muqayyad adalah sebagai berikut :
1. Hukumnya sama yaitu yang muthlaq di bawah kepada yang muqayyad,
misalnya yang muthlaq terdapat dalam surah Al Maidah ayat 3
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ُ‫ ة‬T‫ةُ َوالنَّ ِط ْي َح‬T َ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا اُ ِه َّل لِ َغي ِْر هّٰللا ِ بِ ٖه َو ْال ُم ْنخَ نِقَةُ َو ْال َموْ قُوْ َذةُ َو ْال ُمتَ َر ِّدي‬
ْ ‫ُح ِّر َم‬
‫رُوْ ا‬T َ‫س الَّ ِذ ْينَ َكف‬ َ ‫وْ َم يَ ِٕى‬TTَ‫ق اَ ْلي‬ ٌ ۗ ‫ب َواَ ْن تَ ْستَ ْق ِس ُموْ ا بِااْل َ ْزاَل ۗ ِم ٰذلِ ُك ْم فِ ْس‬ ِ ‫ص‬ ُ ُّ‫َو َمٓا اَ َك َل ال َّسبُ ُع اِاَّل َما َذ َّك ْيتُ ۗ ْم َو َما ُذبِ َح َعلَى الن‬
‫ْت لَ ُك ُم ااْل ِ ْساَل َم ِد ْينً ۗا فَ َم ِن‬ُ ‫ضي‬ ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِ ْي َو َر‬ ُ ‫اخ َشوْ ۗ ِن اَ ْليَوْ َم اَ ْك َم ْل‬
ُ ‫ت لَ ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم َواَ ْت َم ْم‬ ْ ‫ِم ْن ِد ْينِ ُك ْم فَاَل ت َْخ َشوْ هُ ْم َو‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ف اِّل ِ ْث ۙ ٍم فَا ِ َّن َ َغفُوْ ٌر ر‬
‫َّح ْي ٌم‬ َ ‫اضْ طُ َّر فِ ْي َم ْخ َم‬
ٍ ِ‫ص ٍة َغ ْي َر ُمت ََجان‬
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging
hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang
(sempat) kamu sembelih. (Diharamkan pula) apa yang disembelih untuk berhala.
(Demikian pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah), (karena) itu suatu
perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu. Oleh sebab itu, janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu
untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam
sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
6
Agus Miswanto, Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam (Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama, 2019), Hal. 12.

11
Contoh Muqayyad dalam surah Al An’am ayat 145 :
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫َّط َع ُمهٗ ٓ آِاَّل اَ ْن يَّ ُكوْ نَ َم ْيتَةً اَوْ َد ًما َّم ْسفُوْ حًا اَوْ لَحْ َم ِخ ْن ِزي ٍْر‬ َ ‫ي ُم َح َّر ًما ع َٰلى‬
ْ ‫طا ِع ٍم ي‬ َّ َ‫قُلْ ٓاَّل اَ ِج ُد فِ ْي َمٓا اُوْ ِح َي اِل‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ك َغفُوْ ٌر ر‬
‫َّح ْي ٌم‬ ٍ َ‫فَاِنَّهٗ ِرجْ سٌ اَوْ فِ ْسقًا اُ ِه َّل لِ َغي ِْر ِ بِ ٖ ۚه فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬
َ َّ‫اغ َّواَل عَا ٍد فَا ِ َّن َرب‬
"Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali
(daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia
najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain
Allah. Akan tetapi, siapa pun yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan
tidak melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Kedua ayat tersebut berisi sebab yang sama, yaitu “hendak makan”, dan berisi
hukum yang sama yaitu “haramnya darah”. Dengan demikian, yang diharamkan
ialah darah yang mengalir, sedangkan darah yang tidak mengalir, seperti hati dan
limpa tidak haram.
2. Berbeda hukum dan sebabnya (kebalikan nomor 1). Dalam hal ini
masing-masing muthlaq dan muqhayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Muqayyad tidak menjadi penjelasan bagi muthlaq. Jadi, berlaku masing-
masing seperti sanksi hukum bagi pezina muthlaq bagi pezina, demikian
pula sanksi hukum bagi pencuri, hanya muthlaq bagi pencuri.
3. Berbeda hukum, tapi sebabnya samaMisalnya yang muthlaq tentang
tayammum, bahwa tayammum ialah menyapu debu satu kali dan
mengusapkannya ke muka dan kedua tangan. Adapun yang muqayyad
berkaitan dengan surah Al Ma’idah ayat 6:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫ ُك ْم‬TT‫حُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس‬TT‫ق َوا ْم َس‬T ِ Tِ‫ ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬T ‫وْ هَ ُك ْم َواَ ْي‬TT‫لُوْ ا ُو ُج‬T ‫ ٰلو ِة فَا ْغ ِس‬T ‫الص‬
َّ ‫وا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى‬Tْٓ Tُ‫ا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمن‬TTَ‫ٰيٓاَيُّه‬
ْ‫ ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمنَ ْالغ َۤا ِٕى ِط اَو‬T‫ ۤا َء اَ َح‬T‫فَ ٍر اَوْ َج‬T‫ضى اَوْ ع َٰلى َس‬ ٓ ٰ ْ‫ ِْن َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوْ ۗا َواِ ْن ُك ْنتُ ْم َّمر‬Tۗ ‫َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَي‬
‫هّٰللا‬
‫ل َعلَ ْي ُك ْم‬T َ T‫ ُد ُ لِيَجْ َع‬T‫طيِّبًا فَا ْم َسحُوْ ا بِ ُوجُوْ ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْي‬ َ ‫ص ِع ْيدًا‬ َ ‫ٰل َم ْستُ ُم النِّ َس ۤا َء فَلَ ْم ت َِج ُدوْ ا َم ۤا ًء فَتَيَ َّم ُموْ ا‬
َ‫َه َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬Tٗ ‫ج و َّٰل ِك ْن ي ُِّر ْي ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمت‬
ٍ ‫ِّم ْن َح َر‬
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak
melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta
usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu

12
dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari
tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air,
bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu
dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu
agar kamu bersyukur."
Surah Al Ma’idah ayat 6 yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan.
Hadits yang muthlaq, karena bebbeda hukum yang dibicarakan, yaitu wudhu’
pada Al Ma’idah ayat 6 dan tayammum pada hadits, meskipun sebabnya sama,
yaitu hendak shalat atau karena hadats (tidak suci). Tangan bisa diartikan dari
ujung jari sampai pergelangan, atau sampai siku-siku, atau sampai bahu.
4. Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya. Dalam hal ini ada
dua pendapat:
▪ Menurut golongan Syafi’I, muthlaq dibawah kepada muqayyad.
▪ Menurut golongan Hanafiyyah dan Makiyah, muthlaqtetap pada
tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqayyad.
Contoh muthlaq :Dalam surah Al Mujadilah ayat 3 :
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ٰ ِ ۗ َّ ‫والَّ ِذين ي ٰظ ِهرو َن ِمن نِّساۤ ِٕى ِهم مُثَّ يعودو َن لِما قَالُوا َفتح ِري ر ر َقب ٍة ِّمن َقب ِل اَ ْن َّيتما‬
ُ‫ۤسا ٰذل ُك ْم ُت ْو َعظُ ْو َن بِهٖۗ َواللّ ه‬ ََ ْ ْ َ َ ُ ْ ْ َ ْ َ ُْ ُْ َ ْ َ ْ ْ ُ ُ َ ْ َ
‫مِب َا َت ْع َملُ ْو َن َخبِْيٌر‬

"Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang


telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu berhubungan badan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah
Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
Surah An-nisa ayat 92:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ٓ‫َو َما َكا َن لِ ُمْؤ ِم ٍن اَ ْن َّي ْقتُ َل ُمْؤ ِمنًا اِاَّل َخطَـًٔ ۚا َو َم ْن َقتَ َل ُمْؤ ِمنًا َخطَـًٔا َفتَ ْح ِر ْي ُر َر َقبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة َّو ِديَةٌ ُّم َس لَّ َمةٌ اِ ٰلٓى اَ ْهلِ ٖه‬

‫ص َّد ُق ْوا ۗ فَ اِ ْن َك ا َن ِم ْن َق ْوٍم َع ُد ٍّو لَّ ُك ْم َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن َفتَ ْح ِر ْي ُر َر َقبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة ۗ َواِ ْن َك ا َن ِم ْن َق ْو ۢ ٍم َبْينَ ُك ْم‬ َّ َّ‫آِاَّل اَ ْن ي‬

ۗ ‫ص يَ ُام َش ْهَريْ ِن ُمتَتَ ابِ َعنْي ۖ ِن َت ْوبَةً ِّم َن ال ٰلّ ِه‬ ِ َ‫اق فَ ِدي ةٌ ُّمس لَّمةٌ اِ ٰلٓى اَهلِهٖ وحَتْ ِري ر ر َقب ٍة ُّمْؤ ِمنَ ۚ ٍة فَمن مَّل جَيِ ْد ف‬
ْ َْ َ َ ُْ َ ْ َ َ َ ٌ َ‫َو َبْيَن ُه ْم ِّمْيث‬

13
ِ ‫و َكا َن ال ٰلّه علِيما ح‬
‫كْي ًما‬ َ ًْ َ ُ َ
"Tidak patut bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin, kecuali
karena tersalah (tidak sengaja). Siapa yang membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan
(membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh), kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (terbunuh) dari
kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, (hendaklah pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya mukminat. Jika dia (terbunuh) dari kaum (kafir)
yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, (hendaklah pembunuh)
membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan
hamba sahaya mukminah. Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya)
hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai (ketetapan) cara bertobat dari
Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana."
Kedua ayat tersebut berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak,
sedangkan sebabnya berlainan, yang satu karena zhihar dan yang lain karena
pembunuhan tidak sengaja. Menurut golongan Syafi’I, kifarah zhihar ialah
membebaskan budak yang mukmin. Menurut golongan Hanafiyah dan Malikiyah,
kifarah zhihar ialah membebaskan budak yang telah melaksanakan shalat.
Pendapat kedua ini lebih kuat.
Perbedaan sebab tersebutlah yang menyebabkan adanya muthlaq dan
muqayyad.Syarat membawa kepada muthlaq muqayyad ialah apabila hanya
terdapat satu muqayyad. Kalau lebih dari satu muqayyad, muthlaq tetap pada
tempatnya sendiri. Lafazd muthlaq dan muqayyad masing-masing menunjukkan
kepada makna yang qath’iy dalalahnya. Karena itu bila lafadz itu muthlaq maka
harus diamalkan sesuai dengan muqayyadnya. Yang demikian itu berlaku selama
belum ada dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayyad dan dari
muqayyad ke muthlaq.
Adapun contoh-contohnya sbb:Pertama, Lafadz muthlaq yang diamalkan
sesuai dengan muthlaqnya karena tak ada dalil yang memalingkan artinya ke
muqqaiyyad seperti dalam surah An-Nisa ayat 23 tentang wanita-wanita yang
haram dikawini. Di sini disebut: lafadzadalah muthlaq yang memberikan
pengertian haran mengawini ibu si istri (mertua) baik ia telah mencampuri

14
ataupun belum.Kedua, lafadz muthlaq yang ada dalil lain yang menyebutkan ia
menjadi muqqaiyyad seperti dalam firman Allah surah An-Nisa: 11 tentang
kewarisan Lafadz di sini adalah muthlaq tanpa ada batas apakah wasiat itu
seperdua, sepertiga atau seluruh harta peninggalan.7

7
Enny Nazrah Pulungan, “Mutlaq dan Muqayyad Sebagai Metode Istinbat Hukum Dari
Alquran dan Hadis,” Tazkia 8 (2019): Hal. 6–7.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mutlaq adalah lafadz yang menujukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh suatu
batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Muqayyad adalah lafadz
yang menunjukkan satuansatuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang
mengurangi keseluruhan jangkauannya. Hukum mutlaq dapat digunakan sesuai
dengan kemutlaqannya. Lafadz muqayyad tetap dinyatakan muqayyad selama
belum ada bukti yang memutlaqannya.
Hukum mutlaq yang sudah dibatasi yaitu lafadz mutlaq jika telah ditentukan
batasannya maka ia menjadi muqayyad. Hukum muqayyad yang dihapuskan
batasannya yaitu lafadz muqayyad jika dihadapkan dalil lain yang menghapus
kemuqayyadannya maka ia menjadi muthlaq. Variasi ketentuan muthlaq dan
muqayyad. Hukum dan sebabnya sama maka yang muthlaq di bawah ke
muqayyad. Berbeda sebabnya namun sama hukumnya bagi jumhur syafi’iyah
menyatakan muthlaq dibawa ke muqayyad. Berbeda namun sama sebabnya maka
muthlaq dibawa ke muqayyad. Berbeda sebab dan hukumnya maka muthlaq tidak
dibawa ke muqayyad, masing-masing berdiri sendiri.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-qathan, Manna. “Studi Ilmu-Ilmu Alquran.” Litera Antar Nusa, 2013.


Imang, Dg. “‘AM, KHAS, MUTHLAQ DAN MUQAYYAD.” Jurnal Hukum
Diktum 14 (2016): 10.
Miswanto, Agus. Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam. Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama, 2019.
Munawaroh, Hidayatul. “Memahami Relasi Mutlaq dan Muqayyad Dalam Tafsir
Alquran.” Al-I’jaz 3 (2021).
Murni, Dewi. “Mutlaq Dan Muqayyad.” Jurnal Syahadah VII (2019).
Pulungan, Enny Nazrah. “Mutlaq dan Muqayyad Sebagai Metode Istinbat Hukum
Dari Alquran dan Hadis.” Tazkia 8 (2019).
Rajiah. “Al-mutlaq dan Al-muqayyad Dalam Hukum Islam.” Jurnal Pilar 2
(2013).

17

Anda mungkin juga menyukai