Anda di halaman 1dari 14

MEMAHAMI AYAT- AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu:

Drs. H. Misran Nuryanto., M. Pd.I

Disusun Oleh:

Jihan Lutfi Sahira (20223415011)


Maimunah Afaf NurMuti’ah (20223415015)
Miftah Rahmawati (20223415016)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH (PGMI)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI) BANI SALEH
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
yang diberikan, sehingga kami bias menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Tersusunnya makalah ini tentu bukan hanya karena buah kerja keras kami semata,
melainkan juga atas bantuan dari berbagai pihak. Untukitu, kami ucapkan terima kasih
sebesar- besarnya kepada dosen pembimbing, teman-teman, serta orang tua yang selalu
mendoakan keberhasilan tersusunnya makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam makalahini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pembelajaran dan perbaikan di
masa yang akan datang. Dengan selesainya makalah ini, kami berharap dapat memberikan
manfaat dan pengetahuan yang berguna bagi kami dan para pembaca.

Bekasi, 3 Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................ii
BAB 1 ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 2
BAB II ....................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih ........................................................................ 3
B. Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih............................................................................. 5
C. Pendapat dan Sikap Para Ulama Mengenai Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat . 7
BAB III .................................................................................................................................... 10
PENUTUP ............................................................................................................................... 10
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 11

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah menyampaikan pesan dalam al-qur`an dengan berbagai cara dan bentuk dalalah
baik yang jelas ataupun dengan cara yang samar (mubham). Di antara bentuk keduanya
terdapat bentuk muhkam dan mutasyabih. Itusemua merupakan kerunia Allah Subhanahu
Wa Ta`aala kepada ummat manusia agar dapat memahami dengan elastis, syamil, dan
komprehensif.
Di antara gaya penyampaian al-qur`an terkadang menggunakan lafadz danuslub yang
berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu, yaitu sebagian lafadz serupa dengan sebagian
yang lain tetapi maknanya serasi dan cocok, tidak ada yang bersifat umum dan samar
(mutasyabih) dan dapat memberikan peluang bagi para mujtahid dan cendekiawan untuk
dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya dan disebut muhkam,
mengembalikan yang samar kepada yang jelas maknanya, mengembalikan masalah cabang
kepada masalah pokok, yang bersifat parsial kepada yang kulli.
Ayat yang menjadi dasar adanya Muhkam dan Mutasyabih adalah ayat ke-7 dari surat
Ali-`Imran:
al-Kitab (al-qur`an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat,
itulah pokok-pokok isi al-qur`an dan yanglain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-
orang yang hatinya condongkepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-
ayat yangmutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-
carita`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah, danorang-orang
yang mendalam ilmunya berkatA: “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidakmengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.”

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan yang dimaksud Muhkamat dan Mutasyabihat!
2. Apa saja jenis-jenis Muhkamat dan Mutasyabihat?
3. Bagaimana pendapat dan sikap para Ulama` mengenai ayat Muhkamat dan
Mutasyabihat?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memehami pengertian Muhkamat dan Mutasyabihat

2. Mengetahui dan memahami jenis-jenis Muhkamat dan Mutasyabihat

3. Mengetahui pendapat dan sikap para Ulama` mengenai ayat Muhkamat dan
Mutasyabihat

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih


Mukam secara Bahasa: jelas, tegas, tidak diragukan. Asal katanya dari hukum yaitu
pemisahan antara dua hal kebatilan dan kebenaran. Dari sini pula pengertian hikmah karena
bagi orang yang mengetahuinya akan menghidarkannya dari sesuatu yang tidak layak.

Pengertian muhkam menurut istilah: lafadz yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan
kuat berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunannya tertib dan tepat, serta pengertiannya
tidak sulit dan masuk akal.

Sedangkan pengertian mutasyabih secara bahasa berasal dari kata “tasyabaha” yang
berarti: serupa, mirip, sesuatu menyerupai yang lainnya.

Sedangkan pengertian mutasyabih menurut istilah adalah lafadz al-Qur’an yang artinya
sama atau menyerupai makna leter lijiknya. Sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia
karena bisa di ta’wilkan dengan berbagai macam penafsiran sehingga tidak dapat berdiri
sendiri karena susunannya kurang tegas atau samar sehingga menimbulkan kesulitan
disebabkan maksud ayat tersebut tidak jelas atau bertentangan dengan pengertian umum. Oleh
karenanya menurut pendapat ahlussunnah wal jamaah cukup diyakini saja keberadaannya
tanpa perlu mempertanyakan kaifiyahnya, merupakan rahasia Allah yang tidak diketahui
manusia. Berbeda dengan pemikiran Mutazilah yang berani menfsirkan ayat-ayat
mutasyabihat karena mereka menolak sama sekali antropomorfisme terhadap allah.

Dalam pengertian secara umum sebagaimana disebutkan di atas, muhkam dan mutasyabih
tidak menyisahkan persoalan di kalangan ulama. Tapi ketika muhkam dan mutasyabih ini di
lihat dari pengertiannya secara khusus (terminology) maka para ulama mulai membahas dan
memerdebatkannya.

Pengertian muhkam dan mutasyabih secara khusus ini mulai di perdebatkan ketika mereka
menafsirkan firman Allah Subhanahu Wa Ta`aala:

‫ش ِب ٰ َهتٌ ۖ َﻓﺄ َ ﱠمﺎ ٱ ﱠل ِذينَ ﻓِى ُقلُو ِب ِه ْم َز ْي ٌغ َﻓيَﺘﱠ ِبعُونَ َمﺎ‬ ِ َ ‫ﺐ مِ ْنهُ َءا ٰيَتٌ ﱡم ْح َﻜ ٰ َمتٌ هُنﱠ أ ُ ﱡم ٱ ْل ِﻜ ٰﺘ‬
َ ٰ َ‫ﺐ َوأ ُ َخ ُر ُمﺘ‬ َ َ‫علَ ْيكَ ٱ ْل ِﻜ ٰﺘ‬
َ ‫ِى أَن َز َل‬ ٓ ‫ه َُو ٱلﱠذ‬
ۗ ‫سخُونَ ﻓِى ٱ ْل ِع ْل ِم َيقُولُونَ َءا َم ﱠنﺎ ِب ِهۦ ُك ﱞل ِ ّمنْ عِن ِد َر ِبّنَﺎ‬ ِ ‫لر‬‫شبَهَ مِ ْنهُ ٱ ْبﺘِﻐَﺎ ٓ َء ٱ ْل ِﻔﺘْنَ ِﺔ َوٱ ْبﺘِﻐَﺎ ٓ َء تَﺄْ ِوي ِل ِهۦ ۗ َو َمﺎ يَ ْعلَ ُم تَﺄْ ِويلَ ٓهۥُ إِ ﱠﻻ ٱ ﱠ ُ ۗ َوٱ ٰ ﱠ‬ َ ٰ َ‫ت‬
۟ ُ‫َو َمﺎ َيذﱠ ﱠك ُر إِ ﱠﻻٓ أ ُ ۟ول‬
ِ َ‫وا ٱ ْﻷ َ ْل ٰب‬
‫ﺐ‬

3
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (AL-Qur’an) kepada kamu Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari- cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang- orang yang berakal.” (QS.
Ali-Imran [3:7])

Dari kajian yang mendalam atas ayat ini, para ulama memiliki keberagam pandangan
terhadap pengertian muhkam dan mutasyabih secara khusus (terminologis). Namun, dari
sekian banyak pendapat tersebut, yang terpenting diantaranya sebagai berikut:

1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan Mutasyabih hanya
diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
2. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih
mengandung banyak wajah.
3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa
memerlukan keterangan lain (takwil), sedang mutasyabih tidak demikian. Ia
memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.

Dari pemahaman ayat di atas pula, akhirnya para ulama membagi mutasyabihat menjadi
tiga macam:

1. Makna kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti sifat Allah, hari kiamat, dan
lain- lain.
2. Melalui penelitian, seperti ayat yang kandungannya bersifat umum, samar dari lahir
dari singkatnya redaksi.
3. Bahwa ayat-ayat mutasyabih, dapat diketahui oleh sebagian ulama dengan melakukan
penyucian diri.

Dari berbagai macam pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
muhkam adalah kekokohan lafadz ayat dan kemantapannya serta tidak akan terjadi
perselisihan dan kekurangan dalam al-qur`an. Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih
adalah penyerupaan antara bagian yang satu dari al-qur`an dengan bagian yang lain dalam hal
kebenaran,ketepatan, dan i`jaznya. Lebih jelasnya mutasyabih adalah sesuatu yang telah

4
diketahui artinya namun mustahil untuk dikatakan sebagaimana yang dimaklumi, seperti ayat-
ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta`aala.

B. Jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih


Muhkam dan Mutasyabih masing-masing dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu:
1. Muhkam.
a) Muhkam li dzatihi, yaitu muhkam yang semata-mata karena arti yang ditunjukinya
itu tidak mungkin dapat dimansukkan. Misalnya adalah keharusan beribadah hanya
kepada Allah Subhanahu Wa Ta`aala semata dan berbuat baik kepada kedua orang
tua, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam surat al-Isra` ayat 23:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmudengan sebaik-baiknya....”

b) Muhkam li ghairihi, adalah ayat-ayat yang belum dinasakh pada zaman Rasulullah,
sebagaimana dikemukakan oleh al-Baazdawi dalam Kasyfal-Asrar yang dikutip
oleh al-`Aks, “yang tidak dinasakh sehingga terputusnya wahyu dan Nabi telah
wafat, maka ini dinamakan muhkamli ghairihi, jenis ini mencakup al-dzahir, al-
nash, al-mufassar, dan al-muhkam”, karena masing-masing belum terkena nasakh
hingga muhkam yang disebabkan oleh terputusnya kemungkinan adanya nasakh.
Artinya dianggap muhkam ini karena suatu lafadz yang menunjukkan atas
keabadian berlakunya, sehingga tidak dapat dimansukhkan, atau muhkam karena
faktor luar bila tidak dapatnya lafadz itu dinasakh bukan karena nash atau teks nya
itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang menasakhnya.
Contohnya yakni muhkam yang terdapat pada (Q.S An-Nur [24]: 4):
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik(berzina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, makaderalah mereka delapan
puluh kali, dan janganlah kamu terimakesaksian mereka untuk selama-lamanya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak dapat menerima kesaksian orangyang berbuat
jarimah qodzaf untuk selama-lamanya karena pada ayat tersebut disertai lafadz
`abadan (selama-lamanya). Ketentuan tentang lafadz muhkam bila menyangkut
hukum, yakni wajib. Juga tidak pula dipahami dari lafadz tersebut melalui alternatif
lain, serta tidak mungkin pula dinasakh oleh dalil yang lain.

5
2. Mutasyabihat
a) Mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafadz huruf berupa huruf-huruf pada
permulaan beberapa surah dalam Al-Qur`an.
b) Mutasyabih yang terdapat dalam mafhum ayat seperti yang terdapat pada ayat-ayat
yang berbicara tentang sifat-sifat Allah.

Mutasyabih di Al-Qur’an ada dua jenis:

1. Hakiki, yaitu apa yang tidak diketahui hakikatnya oleh seorang pun, seperti hakikat
sifat Allah Azza wa Jalla. Meskipun kita mengetahui makna sifat-sifat ini, tetapi kita
tidak mengetahui hakikatnya dan kaifiyahnya, karena Allah berfirman:
‫طو َن بِ ِهۦ ِع ْل ًمﺎ‬
ُ ‫َو َﻻ يُحِ ي‬
“Dan mereka tidak bisa menjangkau-Nya.” (QS. Thoha [20]: 110)
Dan firman Allah:
‫يف ٱ ْل َخبِي ُر‬ َ ٰ ‫ﺼ ُر َوه َُو يُد ِْركُ ٱ ْﻷ َ ْب‬
ُ ِ‫ﺼ َر ۖ َوه َُو ٱللﱠط‬ َ ٰ ‫ﱠﻻ تُد ِْركُهُ ٱ ْﻷَ ْب‬
“Pandangan-pandangan tidak bisa menjangkau-Nya dan Dia menjangkau semua
pandangan, dan Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am [6]: 103)
Ketika Imam Malik ditanya tentang firman Allah, “Ar Rahman tinggi di atas Arsy,”
bagaimana tingginya Allah? Maka beliau menjawab:
“Istiwa (tinggi/bersemayam) sudah maklum, kaifiyahnya tidak diketahui, iman
kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”
Jenis ini tidak boleh ditanyakan tentang hakikatnya karena tidak mampunya akal
menjangkaunya.
2. Nisbi, yaitu apa yang tersamar bagi sebagian orang tetapi bukan sebagian yang lain.
Perkara tersebut menjadi jelas bagi orang-orang yang mendalam ilmunya, bukan
selainnya. Jenis ini boleh ditanyakan untuk memperjelas perkaranya, karena
memungkinkannya dijangkau. Tidak ditemukan di Al-Qur’an sesuatu yang tidak
jelas maknanya bagi manusia. Allah berfirman:
َ َ‫علَ ْيكَ ٱ ْل ِﻜ ٰﺘ‬
ٍ‫ﺐ تِ ْب ٰيَنًﺎ ِلّ ُﻜ ِّل ش َْىء‬ َ ‫َونَ ﱠز ْلنَﺎ‬
“Dan sungguh Kami telah menurunkan Al-Kitab kepadamu yang jelas bagi segala
sesuatu.” (QS. An-Nahl [16]: 89)
Contoh jenis ini diantaranya adalah firman Allah:
َ َ‫ﺐ ۚ إِ ﱠن ٰذَ ِلك‬
ٌ ‫علَى ٱ ﱠ ِ يَﺴ‬
‫ِير‬ ٰ
ٍ َ ‫ض ۗ إِنﱠ ذَ ِلكَ ﻓِى ِك ٰﺘ‬
ِ ‫ﺴ َمﺎ ٓءِ َوٱ ْﻷ َ ْر‬
‫أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَنﱠ ٱ ﱠ َ يَ ْعلَ ُم َمﺎ ﻓِى ٱل ﱠ‬
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi? Yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab

6
(Lauhul Mahfuz) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-
Hajj [22]: 70)
Ayat ini tersamar bagi kaum Jabariyah, di mana mereka memahami bahwa hamba
dipaksa dalam berbuat, dan menyangka bahwa ia tidak memiliki kehendak dan
kemampuan, dan mereka berpaling dari ayat-ayat yang menunjukkan bahwa hamba
memiliki kehendak dan kemampuan, dan bahwasanya perbuatan hamba ada dua,
ikhtiyari dan bukan ikhtiyari.

Adapun orang-orang yang mendalam ilmunya adalah orang-orang yang berakal, mereka tahu
bagaimana mengeluarkan ayat-ayat mutasyabih ini kepada makna yang dikaitkan dengan ayat
lainnya sehingga semua isi Al-Qur’an menjadi muhkam, tidak lagi mutasyabih.

C. Pendapat dan Sikap Para Ulama Mengenai Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai dua hal tersebut:

Pertama: ada yang menyatakan bahwa al-Qur’an seluruhnya muhkam dimana ayat-ayat
mutasyabihatus shifat harus di takwilkan dengan pengunaan bahasa yang pas dan sesuai
dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan Allah Subhanahu Wa Ta`aala di kuatkan
dengan (QS. Hud [11]:1):

ٍ ‫ﺼلَتْ ِمن لﱠدُنْ َح ِﻜ‬


ٍ ‫يم َخ ِب‬
‫ير‬ ٌ َ ‫ا ٓلر ۚ ِك ٰﺘ‬
ّ ِ ُ‫ﺐ أُحْ ِﻜ َمتْ َءا ٰيَﺘُهۥُ ث ُ ﱠم ﻓ‬

“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Tahu,”

Kedua: ada yang menyatakan semua ayat al-Qur‟an mutasyabihat tidak boleh di
takwirkan, hakikat maknanya harus di kembalikan sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wa
Ta`aala. Didukung dengan firman-Nya (QS. az-Zumar:23):

َ‫شبِ ًهﺎ ﱠمثَﺎن َِى تَ ْقشَعِ ﱡر مِ ْنهُ ُجلُو ُد ٱلﱠذِينَ يَ ْخش َْونَ َربﱠ ُه ْم ث ُ ﱠم تَلِي ُن ُجلُو ُدهُ ْم َوقُلُوبُ ُه ْم إِلَ ٰى ِذك ِْر ٱ ﱠ ِ ۚ ٰذَ ِلك‬
َ ٰ َ‫ث ِك ٰﺘ َبًﺎ ﱡمﺘ‬ َ ْ‫ٱ ﱠ ُ نَ ﱠز َل أَح‬
ِ ‫ﺴنَ ٱ ْل َحدِي‬
‫ض ِل ِل ٱ ﱠ ُ َﻓ َمﺎ لَهۥُ ِم ْن هَﺎ ٍد‬
ْ ُ‫شﺎ ٓ ُء ۚ َو َمن ي‬ َ َ‫هُدَى ٱ ﱠ ِ يَ ْهدِى بِ ِۦه َمن ي‬

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu
ayat- ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun.”

7
Ketiga: Sebagian mereka berpendapat ada yang muhkam dan ada pula yang mutasyabih,
didukung dengan (QS. al-Imran [3:7]):

ٌ‫ش ِب ٰ َهت‬ ِ َ ‫ﺐ ِم ْنهُ َءا ٰيَتٌ ﱡمحْ َﻜ ٰ َمتٌ هُ ﱠن أ ُ ﱡم ٱ ْل ِﻜ ٰﺘ‬


َ ٰ َ‫ﺐ َوأ ُ َخ ُر ُمﺘ‬ َ َ ‫علَ ْيكَ ٱ ْل ِﻜ ٰﺘ‬ َ َ‫ِى أ‬
َ ‫نز َل‬ ٓ ‫ه َُو ٱلﱠذ‬

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat”

Persoalan yang terus menjadi masalah adalah apakah ayat-ayat mutasyabihat dibiarkan
saja seperti adanya dan cukup diimani maksud dan tujuannya, atau harus ditafsirkan karena
dikhawtirkan orang salah memahami maksud dan tujuan ayat tersebut. Menenggapi hal
tersebut terdapat beberapa perbedaan pendapat:

Pertama: Jumhur ulama dan sebagian kecil ahlul rayi’ menyatakan bahwa arti dan maksud
ayat-ayat mutasyabihat itu tidak perlu ditafsirkan, melainkan cukup diimani adanya dan
diserahkan kepada Allah saja makna dan maksudnya demi untuk mensucikannya. Pendapat
mereka didasarkan pada dalil Hadits, diriwayatkan Abu Qasim dan Ummu Salamah ketika
menafsirkan (QS. Thaha:5):

‫سﺘ َ َو ٰى‬ َ ُ‫لرحْ ٰ َمن‬


ْ ‫علَى ٱ ْلعَ ْر ِش ٱ‬ ‫ٱ ﱠ‬

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.”

Maka beliau berkata “cara bersembayam (istiwa’) Allah itu tidak dapat dinalar, tetapi
istiwa’ itu tidak samar dan mengakui termasuk bagian dari iman sebab mengingkarinya adalah
kufur”. Jadi mengimani istiwa’ adalah kewajiban tetapi mengetahui kaifiyah istiwa’ maupun
menafsirkannya bisa membuat kufur.

Dari Muhammad Ibnu Hasan mengatakan: “seluruh fuqoha dari timur dan barat sepakat
bahwa wajib mengimaninya pada ayat-ayat mutasyabihat dengan perlu menafsirkan dan
meragukannya” (riw. Al-Lalikay). Imam Turmidzi mengatakan bahwa demikian itulah semua
pendapat ahli ilmu, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Malik, Ibnu Mubarak, Ibnu Umayyah, Waki’
bin Jarrah.

Pendapat ahlus sunnah dan kebanyakkan ahli rayi berpendapat perlu menakwilkan ayat-
ayat mutasyabihat yang relevan dengan keagungan Allah, sebab mereka tidak boleh dalam al-
Qur’an ayat atau kalimat yang tidak bisa difahami oleh manusia, minimal harus diketahui oleh
orang-orang yang berilmu. Pendapat ini didasarkan atas riwayat al-Lalikay yang berbunyi:

8
“bahwa istiwa’ itu berarti menguasai” Riwayat dari Abu Ubaid yang menyatakan: “bahwa
istiwa’ itu naik”

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Muhkam adalah ayat yang jelas, tegas, dan tidak diragukan, dengan makna yang dapat
dipahami tanpa takwil. Mutasyabih adalah ayat yang memiliki kemiripan atau penyerupaan
dengan ayat lainnya, sehingga maknanya tidak dapat dipahami dengan jelas dan memerlukan
takwil atau penafsiran.

Muhkam terbagi menjadi Muhkam li dzatihi (muhkam dalam dirinya sendiri) dan Muhkam
li ghairihi (muhkam karena belum dinasakh). Sedangkan, Mutasyabih terbagi menjadi
mutasyabih hakiki (makna sejatinya tidak diketahui) dan mutasyabih nisbi (makna tersamar
bagi sebagian orang).

Pendapat beragam di antara ulama. Ada yang berpendapat bahwa seluruh Al-Qur'an adalah
muhkam, ada yang berpendapat bahwa semua ayat mutasyabihat harus diimani tanpa perlu
ditafsirkan, dan ada yang berpendapat perlu menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat yang relevan
dengan keagungan Allah.

Pendekatan terhadap ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur'an bervariasi di


kalangan ulama, tetapi pemahaman dan iman terhadap ayat-ayat ini tetap menjadi bagian
penting dari keyakinan dalam Islam.

10
DAFTAR PUSTAKA

Alma Amelia. (2019). Makalah Muhkam Mutasyabih. Retrieved from academia.com:


https://www.academia.edu/39262224/MAKALAH_Muhkam_Mutasyabih_B

Syaiful Arief. (2022). Ulumul Qur'an Untuk Pemula. Jakarta: Program Studi Ilmu Al-Qur'an
dan Tafsir Fakultas Usuluddin Insitut PTIQ Jakarta.

Syaikh Manna' Al-Qatthan. (2019). Dasar-Dasar Ilmu Qur'an. Jakarta: Ummul Qura.

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin. (2018). Dasar Ilmu Tafsir. Surabaya: Puataka
Syabab.

11

Anda mungkin juga menyukai