ULIMUL QUR’AN II
DISUSUN OLEH:
2022-2023
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmatnya sehinga
makalah ini bisa diselesaikan dengan baik.
Dan kami ucapkan terima kasih kepada Ust. Sufyan Muttaqin, SQ. MA, yang telah memberikan kami
waktu untuk membuat karya tulis ini, serta teman-temanku yang berbahagia.
Ulumul Qur’an. Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan ntuk menambah wawasan serta
pengetahuan tentang mata kuliah yang saat ini sedang dipelajari.
Materi dalam makalah ini cukup menarik. Akan tetapi, penulis sadar bahwa pasti masih ada
kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca.
Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi para pembaca.
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………….
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………….
LATAR BELAKANG………………………………………………………..………………………….
RUMUSAN MASALAH………………………………………………………………………………
TUJUAN PENULISAN…………………………………………………………………………………
BAB 2 PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………
A. PENUTUP………………………………………………………………………………….…7
KESIMPULAN………………………………………………………………………………….… 7
BAB 3 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..8
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Al-qur’an yang terdiri dari beberapa surat dan ayat-ayat diturunkan untuk memberikan petunjuk
kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan
yang didasarkan pada keimanan kepada allah dan risalahnya. Juga memberitahukan hal-hal yang telah
lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-beritayang akan datang.
Sebagian besar ayat-ayat dalam al-qur’an pada mulanya diturunkan untuktujuan umum ini. Tetapi
kehidupan para sahabat bersama rasulullahtelah menyaksikan banyakperistiwa sejarah,bahkan kadang
terjadi diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur
bagi mereka. Kemudian bertanya kepada Rasululah untuk mengenai hukum hal itu. Maka ayat Al-Qur’an
turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul disampaikan kepada nabi.
Secara umum, ayat-ayat dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan pada dua bagian dilihat dari segi
sebab diturunkannya. Sekelompok ayat diturunkan tanpa dihubungkan dengan satu sebab secara
khusus. Sekelompok ayat lainnya diturunkan atau disangkut-pautkan dengan suatu sebab khusus.
Kelompok yang terakhir ini tidak banyak jumlahnya, tetapi mempunyai pembahasan khususdalam ‘Ulum
Al-Qur’an.
Rumusan Masalah
2. Yang Menjadi Pegangan Lafazd Yang Umum Bukan Sebab Yang Khusus.
Tujuan Penulisan
BAB 2 PEMBAHASAN
1. Sarih (jelas)
Ungkapan riwayat “sarih” yang memang jelas menunjukkan asbab annuzul dengan indikasi
menggunakan lafadz (pendahuluan).
ٓ
ون َفضْ اًل مِّن رَّ ب ِِّه ْم َو ِرضْ ٰ َو ًنا ۚ َوِإ َذا َ ِّين ْٱل َبيْتَ ْٱل َح َرا َم َي ْب َت ُغ َ ى َواَل ْٱل َق ٰلَِئدَ َوٓاَل َءٓام َ وا َش ٰ َٓع
َ ِئر ٱهَّلل ِ َواَل ٱل َّشه َْر ْٱل َح َرا َم َواَل ْٱل َه ْد ۟ ُّوا اَل ُت ِحل ۟ ِين َءا َم ُنَ ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱلَّذ
وا َعلَى ٱِإْل ْث ِم۟ وا َعلَى ْٱل ِبرِّ َوٱل َّت ْق َو ٰى ۖ َواَل َت َع َاو ُن ۟ صدُّو ُك ْم َع ِن ْٱل َمسْ ِج ِد ْٱل َح َرام َأن َتعْ َتد
۟ ُوا ۘ َو َت َع َاو ُن
ِ َ ُوا ۚ َواَل َيجْ ِر َم َّن ُك ْم َش َنـَٔانُ َق ْو ٍم َأن ۟ َحلَ ْل ُت ْم َفٱصْ َطاد
ب ْ هَّلل
ِ وا ٱ َ ۖ ِإنَّ ٱ َ َشدِي ُد ٱل ِع َقا هَّلل ۟ َُو ْٱلع ُْد ٰ َو ِن ۚ َوٱ َّتق
Artinya: “hai orang-orag yang beriman, janganlah kamu melanggar shi’ar-shi’ar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qala-id,
mereka mencari kurnia dan keridhoannya dari tuhannya dan apabila kamu telah
Asbab an-nuzul dari ayat ini; ibnu jarir mengetengahkan subuah hadits
dari ikrimah yang telah bercerita,” bahwa hatham bin hindun al-bakri datang
muka yang bertampang durhaka, dan ia pamit dariku dengan langkah yang
tujuan makkah. Tatkala para sahabat nabi saw. Mendengar beritanya, maka segolongan sahabat nabi
dari kalangan kaum muhajirin dan kaun ansar bersiapsiap keluar madinah untuk mencegat yang berada
dalam kafilahnya itu. Kemudian
Allah SWT. Menurunkan ayat,’ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar shiar-shiar
Allah...(QS. Al-maidah/5: 2) kemudian para sahabat mengurungkan niatnya (demi menghormati bulan
haji itu).
Hadits serupa ini di kemukakan pula oleh asadiy.” Ibnu abu khatim
mengetengahkan dari zaid bin aslam yang mengatakan, bahwa rasulullah saw.
Bersama para sahabat tatkala berada di hudaibiah, yaitu sewaktu orang-orang musyrik mencegah
mereka untuk memasuki bait al-haram peristiwa ini sangat
berat dirasakan oleh mereka, kemudian ada orang-orang musyrik dari penduduk
sebelah timur jazirah arab untuk tujuan melakukan umroh. Para sahabat nabi saw.
dipastikan asbab an-nuzul karena masih terdapat keraguan. Hal tersebut dapat berupa ungkapan
sebagai berikut:
ۡ ث لَّ ُكمۡ َف ۡأ ُتو ْا َح ۡر َث ُكمۡ َأ َّن ٰى شِ ۡئ ُتمۡۖ َو َق ِّدمُو ْا َأِلنفُسِ ُكمۡۚ َوٱ َّتقُو ْا ٱهَّلل َ َوٞ ن َِسٓاُؤ ُكمۡ َح ۡر
َ ٱعلَم ُٓو ْا َأ َّن ُكم ُّم ٰلَقُو ۗهُ َو َب ِّش ِر ۡٱلم ُۡؤ ِمن
ِين
Artinya: “istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, mak datangilah tanah
tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-
orang yang beriman.”(QS. Al-baqarah/2: 223).
Asbab an-nuzul dari ayat berikut ;dalam sebuah riwayat yang dikeluarkan
oleh abu daud dan hakim, dari ibnu abbas di kemukakan bahwa penghuni
kampung di sekitar yatsrib (madinah), tinggal berdampingan bersama kaum yahudi ahli kitab. Mereka
menganggap bahwa kaum yahudi terhormat dan berilmu, sehingga mereka banyak meniru dan
menganggap baik segala perbuatannya.Salah satu perbuatan kaum yahudi yang di anggap baik oleh
mereka ialah tidak menggauli istrinya dari belakang. Adapun penduduk kamping sekitar quraish
(makkah) menggauli istrinya dengan segala keleluasannya.Ketika kaum muhajirin (orang makkah) tiba di
madinah salah seorang dari mereka kawin dengan seorang wanita ansar (orang madinah).Ia berbuat
seperti kebiasaannya tetapi di tolak oleh istrinya dengan berkata: “kebiasaan orang sini, hanya
menggauli istrinya dari muka.” Kejadian ini akhirnya sampai pada nabi saw, sehingga turunlah ayat
tersebut di atas yang membolehkan menggauli istrinya dari depan, balakang, atau terlentang, asal tetap
di tempat yang lazim.
Pertama kali, mari kita membedakan antara dua hal, yaitu antara LAFADZ ayat dan SEBAB turunnya ayat.
Begitu pula kita perlu membedakan dengan UMUM dan KHUSUS, yang disebut “umum” dalam
pembahasan ini adalah (‘aam) yaitu yang mencakup seluruh manusia atau kaum muslimin, sedangkan
“khusus” yang berkaitan dengan person-person tertentu dan terbatas.
Karenanya, dalam kaitan antara LAFAL ayat dan SEBAB turunnya ayat, ada tiga kemungkinan yang bisa
terjadi yang masih-masing mempunyai konsekwensi atau hukumnya masing-masing. Tiga kemungkinan
tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama : Apa bila lafal ayat bersifat umum dan sebab turunnya pun secara umum. Maka yang diambil
adalah bahwa hukum ayat tersebut bersifat UMUM
Contoh dalam masalah ini adalah seperti firman Allah SWT:
هللا ُ ِيض َوالَ َت ْق َربُوهُنَّ َح َّتى َي ْطهُرْ َن َفِإ َذا َت َطهَّرْ َن َفْأ ُتوهُنَّ مِنْ َحي
َ َّْث َأ َم َر ُك ُم هللاُ ِإن ِ ِيض قُ ْل ه َُو َأ ًذى َفاعْ َت ِزلُوا ال ِّن َسآ َء فِي ْال َمح ِ ك َع ِن ْال َمح َ َو َيسْ َئ لُو َن
َ ين َو ُيحِبُّ ْال ُم َت َطه ِِّر
ين َ ُيحِبُّ ال َّت َّو ِاب
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri” (Albaqarah : 222)
Lafadz ” al-mahiid” di atas bersifat umum yang berarti semua wanita yang haid, begitu pula sebab
turunnya ayat itu bersifat umum, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik : bahwa orang-orang
Yahudi pada waktu itu, ketika istri-istri mereka sedang haidh mereka mengusirnya dari rumah, dan tidak
memberi mereka makan minum dan tidak berhubungan badan dengan mereka. Maka Rasulullah pun
ditanya masalah ini. Maka turunlah ayat di atas, dan Rasulullah SAW bersabda : ” Lakukan apa saja
selain jimak “ .
Jadi peristiswa atau pertanyaan dari sahabat kepada Rasul bersifat umum, mereka menanyakan secara
umum tentang bergaul dengan istri-istri mereka yang haid secara umum, bukan satu dua perempuan
atau istri mereka secara khusus. Karenanya, hukum ini juga berlaku umum bagi semua wanita haid.
Kedua : Apabila lafal ayat bersifat khusus dan sebab turunnya pun khusus pada perseorangan tertentu,
maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat tersebut bersifat KHUSUS
) ِإاَّل19( ) َو َما َأِل َح ٍد عِ ْندَ هُ مِنْ نِعْ َم ٍة ُتجْ َزى18( ) الَّذِي يُْؤ تِي َمالَ ُه َي َت َز َّكى17( َو َسي َُج َّن ُب َها اَأْل ْت َقى
Artinya : `Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya
untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu ni`mat kepadanya yang
harus dibalasnya, tetapi karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha TInggi. Dan kelak dia benar-
benar mendapat kepuasan.`
( al-Lail : 17-21 )
Ayat-ayat diatas diturunkan mengenai Abu Bakar. Kata al-atqa ( orang yang paling taqwa ) menurut
tasyrif terbentuk af’al untuk menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-‘adiyah ( kata sandang
yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya ), sehingga ia
dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Jadi secara lafal memang khusus dan
sebabnya adalah khusus, karena itu ayat ini harus ditafsiri khusus tentang Abu Bakar As-Shiddiq, bukan
umum kepada kaum muslimin.
Ketiga : Jika sebab ayat itu adalah hal khusus berkaitan dengan orang tertentu, sedang lafal ayat yang
turun berbentuk umum.
Dalam kasus inilah, kaidah diatas menjadi perdebatan di antara ulama ushul, apakah yang dijadikan
pegangan adalah “lafal yang umum” ataukah “sebab yang khusus” . Berikut masing-masing pendapat
dan dalil-dalinya.
1) Jumhur ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan
sebab yang khusus, sehingga hukum/pelajaran yang diambil adalah umum berlaku pada semua orang.
Misalnya : ayat Li’an (prosesi sumpah antara suami istri untuk menolak dari tuduhan zina). yang turun
mengenai tuduhan Hilal bin Umaah kepada isterinya :
Dari Ibn Abbas, Hilal bin Umayah menuduh isterinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma
dihadapan Nabi.
Maka Nabi berkata : ‘ Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’
Hilal berkata : ‘Wahai Rasulullah , apa bila salah seorang diantara kami melihat seorang laki-
laki mendatangi isterinya; apakah ia harus mencari bukti `.
Rasulullah menjawab : ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu akan yang didera.’
Hilal berkata :Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnya perkataanku
itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.’
Maka turunlah Jibril as dan menurunkan kepada Nabi ayat :
) َو ْال َخا ِم َس ُـة َأنَّ لَعْ َن َة هَّللا ِ َعلَ ْي ِه6( ِين ٍ ش َهدَ ا ُء ِإال َأ ْنفُ ُس ُه ْم َف َش َهادَ ةُـ َأ َح ِد ِه ْم َأرْ َب ُع َش َهادَ ا
َ ت ِباهَّلل ِ ِإ َّن ُه لَم َِن الصَّا ِدق َ ُون َأ ْز َو
ُ اج ُه ْم َولَ ْم َي ُكنْ َل ُه ْم َ َوالَّذ
َ ِين َيرْ م
ان م َِنَ ب هَّللا ِ َعلَ ْي َها ِإنْ َك َ ِس َة َأنَّ غ
َ َض َ ) َو ْال َخام8( ين اب َأنْ َت ْش َهدَ َأرْ َب َع َش َهادَ ا ٍـ
َ ت ِباهَّلل ِ ِإ َّن ُه لَم َِن ْال َكاذ ِِب َ َو َي ْد َرُأ َع ْن َها ْال َع َذ7( ين َ ان م َِن ْال َكاذ ِِب
َ ِإنْ َك
9( ِين َ الصَّا ِدق
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
Sesungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika
dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat
kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.Dan
(sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
(QS Nuur 6-9)
Hukum yang diambil dari lafal yang umum ini : ” walladzi yarmuuna azwajahum” ( dan orang-orang yang
menuduh isterinya ) tidak hanya khusus mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula
pada kasus yang serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Inilah pendapat yang kuat dan paling sahih.
Pendapat ini sesuai dengan keumuman ( universalitas ) hukum-hukum syariat.
Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan
hukum ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat
tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat
mengenai hal itu berbeda-beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk
sebab-sebab khusus sudah populer dikalangan ahli.
2) Segolongan ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan
lafal yang umum, karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu
untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti qiyas dan sebagainya,
sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai
dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
Biasanya status hukum diterapkan bersamaan dengan turunya ayat tersebut, seperti halnya ayat yang
berkaitan dengan pengharaman khamar. Turunnya ayat tersebut secara otomatis memberlakukan
hukum keharamannya secara langsung. Tetapi ternyata terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang turun
lebih dulu, tetapi realisasi dari pesan atau hukum dari ayat Al-Qur’an tersebut muncul di kemudian
hari dalam rentang waktu yang cukup lama dari turunnya ayat tersebut.
Az-Zarkasyi menjelaskan phenomena seperti ini dengan sebuah tema pembahasan ”Taqadumu nuzul
ayat ‘ala hukmi”, ayat yang turun lebih dulu dari penerapan hukumnya. Maksudnya bukanlah sebuah
penundaan kewajiban secara sengaja dari pengamalan ayat tersebut. Melainkan, keunikannya disini, hal
tersebut terjadi karena ayat yang turun itu menggunkan sebuah diksi kalimat yang bersifat mujmal
sehingga memungkinkan lahirnya makna yang banyak dan interpretasi yang tidak tunggal.
Maka kemungkinan interpretasi tersebut di bawa kepada sebuah makna yang sangat relevan dengan
situasi dan kondisi waktu yang terkini. Maka hal ini menjadi dalil yang kuat diangkat pembahasan ini
dalam salah satu tema kecil dalam pembahasan ‘ulumul Qur’an.
Ayat ini dijadikan dalil tentang zakat fitrah, Imam Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang marfu
sampai kepada Rasulullah melalui Ibnu Umar, beliau berkata bahwa ayat tersebut turun mengenai zakat
di bulan Ramadhan, yaitu zakat fitrah. Dan Sebagian dari mereka mengatakan, ”sungguh kami tidak
mengetahui landasan dalil atas takwil ini, karena sesungguhnya surat ini adalah surat Makiyah,
sedangkan pada waktu di Mekah belum ada Hari raya dan belum ada syariat zakat fitrah.
Imam Al-Baghawi menjawab dalam karya tafsirnya, maka sungguh bisa saja terjadi ayat yang turun
duluan sedangkan realisasi dari hukum atau isi dari ayat tersebut datang di kemudian hari.
“Aku bersumpah dengan negeri ini (Mekah),dan engkau (Muhammad), bertempat di negeri (Mekah)
ini”.
Ungkap beliau, surat ini adalah surat makiyah, dan isi ayatnya terealisasi pada hari fathul Mekah atau
saat penaklukan kota Mekah. Sehingga Rasulullah berucap, “Aku menempatinya pada siang hari”.
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang”.
Ayat tersebut turun di Mekah, Umar Bin Khattab memberikan sebuah komentar, ”aku tidak mengetahui
berkaitan dengan kelompok yang akan dikalahkan dalam ayat tersebut, tetapi Ketika terjadi perang
Badar, Aku mendengar Rasulullah berkata “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan
mundur ke belakang.”.
Maka Ketika merenungkan apa yang dikatakan oleh penulis kitab Ab-Burhan bahwa sesungguhnya
bentuk redaksi asbabunuzul tersebut memberikan sebuah petunjuk asbabunuzul ayat tersebut atau bisa
jadi mengandung hukum-hukum atau peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari.
Terkadang salah seorang sahabat mengalami sebuah kajadian dan peristiwa yang cukup banyak dalam
kehidupan bersama Rasulullah. Uniknya, Ternyata Al-Qur’an pun turun berkali-kali membicarakan
sahabat yang sama tersebut dalam beberapa ayat Al-Qur’an.
Contohnya adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitabnya “Adabul
Mufrad”, terkait masalah kebaikan kepada kedua orang tua “birul walidain”. Dari Abi Waqas semoga
Allah meridhainya, dia berkata, empat ayat Al-Qur’an sungguh telah turun karena sebab diriku.
*Pertama*, terkait ibuku tercinta, sungguh ia telah bertekad bulat tidak mau makan dam minum
sehingga aku meninggalkan Rasulullah. Maka turunlah surat luqman ayat 15
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak
mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku
tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
*Kedua*, suatu Ketika, disudut hari, aku mengambil sebuah pedang dari rampasan perang, pedang itu
sungguh memukau hatiku, sehingga aku tertarik untuk memilikinya. sehingga aku pun berkata kepada
Rasulullah, ”Wahai paduka tuan, berikanlah pedang indah ini kepadaku!”. Maka turunlah ayat
ال قُ ِل ااْل َ ْن َفا ُل هّٰلِل ِ َوالرَّ س ُْو ۚ ِل َفا َّتقُوا هّٰللا َ َواَصْ لِح ُْوا َذاتَ َب ْي ِن ُك ْم َۖواَطِ ْيعُوا هّٰللا َ َو َرس ُْولَ ٗ ٓه اِنْ ُك ْن ُت ْم مُّْؤ ِم ِني َْن
ِ ۗ ك َع ِن ااْل َ ْن َف
َ َيسْ ـَٔلُ ْو َن
*Ketiga*, Ketika aku dirundung sakit yang parah, maka Rasulullah menjenguku, dan aku pun tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bertanya tentang suatu hal yang penting, yaitu tentang wasiat
hartaku, “Wahai Rasulullah boleh aku mewasiatkan separuh dari hartaku?, Maka Rasulullah
menjawab,”tidakk!”. Maka aku bertanya Kembali,”jika sepertiga?”, maka Rasulullah diam membisu,
Maka wasiat dengan sepertiga itu diperbolehkan.
ْن َوااْل َ ْق َر ِبي َْن ِب ْال َمعْ ر ُْو ۚفِ َح ًّقا َعلَى ْال ُم َّتقِي َْن
ِ ك َخيْرً ا ۖ ْۨال َوصِ َّي ُة ل ِْل َوالِدَ ي ُ ض َر اَ َحدَ ُك ُم ْال َم ْو
َ ت اِنْ َت َر َ ِب َعلَ ْي ُك ْم ا َِذا َح
َ ُكت
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia
meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik,
(sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah :180).
*Keempat*, sesungguhnya aku pernah minum khamar bersama segolongan kaum anshar. Maka salah
seorang pemuda dari mereka memukul hidung ku dengan tulang rahang unta, Maka aku mendatangi
Rasulullah untuk mengadukan hal tersebut, Maka turunlah firman Allah yang mengharamkan tentang
khamar.
Mana’ Al-Qathan mengangkat sebuah contoh lain tentang pembahasan ini, yaitu kesesuain sikap dan
keputusan Umar Bin Khattab dengan wahyu, dalam hal ini sungguh telah turun beberapa ayat
tentangnya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Umar Bin Khattab yaitu :
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada
takut hari-hari Allah karena Dia akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka
kerjakan”. (QS. Al-Jasiyah (45) Ayat 14).
َ صالِحً ا َفلِ َن ْفسِ ِه ۖ َو َمنْ َأ َسا َء َف َعلَ ْي َها ۖ ُث َّم ِإلَ ٰى َر ِّب ُك ْم ُترْ َجع
ُون َ َمنْ َع ِم َل
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah
kamu dikembalikan”
ٍ ْت ال َّن ِبيِّ َواَل َتجْ َهر ُْوا َل ٗه ِب ْال َق ْو ِل َك َجه ِْر َبعْ ضِ ُك ْم لِ َبع
ض اَنْ َتحْ َب َط اَعْ َمالُ ُك ْم َواَ ْن ُت ْم اَل َت ْش ُعر ُْو َن َ َٰ ٓيا َ ُّي َها الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا اَل َترْ َفع ُْٓوا اَصْ َوا َت ُك ْم َف ْوق
ِ ص ْو
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu
terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari”
Mengetahui ‘Asbâb an-Nuzûl’ sangat urgen sekali sebab ia dapat memberikan faedah yang banyak
sekali, diantaranya:
A. Menjelaskan bahwa al-Qur’an turun dari Allah Ta’ala, sebab Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam
biasanya ditanya tentang sesuatu, lalu terkadang beliau tidak menjawab hingga wahyu turun. Atau
gambarannya, bisa jadi beliau tidak mengetahui sesuatu yang terjadi, lantas wahyu turun menjelaskan
hal itu.
Contoh pertama (beliau tidak menjawab hingga wahyu turun-red), firman-Nya (artinya):
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:’Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.'” (Q.,s.al-Isrâ`:85)
Di dalam kitab Shahîh al-Bukhary dari Abdullah bin Mas’ud radliyallâhu ‘anhu bahwasanya seorang dari
bangsa Yahudi berkata, “Wahai Abal Qasim! (kun-yah/panggilan buat Nabi Muhammad-penj.,) apa itu
ruh?.” Lalu beliau diam. (di dalam lafazh riwayat yang lain disebutkan), “Lalu Nabi tidak berkomentar
dan tidak menjawab dengan sepatah katapun.” Dari situlah aku (yakni periwayat hadits ini, Ibnu Mas’ud-
red) mengetahui bahwa itu adalah wahyu yang sedang diwahyukan kepadanya. Lalu aku berdiri di
tempatku, dan tatkala wahyu sudah turun, beliau membaca ayat (artinya): “Dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah:”Roh itu termasuk urusan Rabb-ku…”. (Q.,s.al-Isrâ`:85)
Contoh kedua (beliau tidak mengetahui sesuatu yang terjadi lantas wahyu turun menjelaskan hal itu-
red) adalah firman-Nya (artinya):
“Mereka berkata:’Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan
mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.'”
(Q.,s.al-Munâfiqûn:8)
Di dalam kitab Shahîh al-Bukhary disebutkan bahwasanya Zaid bin Arqam radliyallâhu ‘anhu mendengar
Abdullah bin Ubay, kepala kaum Munafiqun mengatakan hal itu, dia ingin menyatakan bahwa dialah
yang dimaksud dengan ( األعزorang yang kuat) dan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam beserta para
shahabatnya sebagai ( األذلorang-orang yang lemah). Lantas Zaid memberitahukan kepada pamannya
perihal tersebut yang kemudian menginformasikan kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Nabi
Shallallâhu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil Zaid, lalu dia menginformasikan kepada beliau perihal apa
yang telah dia dengar itu. Kemudian beliau mengirim utusan kepada Abdullah bin Ubay dan para
pengikutnya (untuk mengkonfirmasikan hal itu-red), akan tetapi mereka malah bersumpah tidak pernah
mengatakan seperti itu. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam condong membenarkan ucapan mereka,
namun Allah menurunkan ayat yang justeru membenarkan ucapan Zaid sehingga jelaslah
permasalahannya bagi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
“Berkatalah orang-orang kafir:’Mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’;
demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur
dan benar).”
(Q.,s.al-Furqân: 32)
Demikian pula dengan ayat-ayat tentang ‘berita bohong’ (yang menerpa isteri Rasulullah ‘Aisyah
radliyallâhu ‘anha -red). Ayat-ayat tersebut membela pelaminan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan
menyucikannya dari kotoran yang dilumuri oleh para penyebar berita dusta.
C. Menjelaskan betapa ‘inayah Allah terhadap para hamba-Nya di dalam melapangkan kesulitan yang
mereka alami dan menghilangkan keperihan hati mereka.
Contohnya, ayat tentang ‘Tayammum’ sebagaimana terdapat di dalam kitab Shahîh al-Bukhâry bahwa
pernah cincin ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha hilang saat dirinya ikuatserta dalam sebagian perjalanan yang
dilakukan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Lalu karena itu, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan rombongan untuk bermukim dulu guna mencari cincin tersebut dan akhirnya
merekapun bermukim dalam kondisi tidak menemukan air. Mereka mengeluhkan hal itu kepada Abu
Bakar. Lalu Abu Bakar menyebutkan hadits tersebut…(di dalamnya terdapat), “Maka Allah turunkan ayat
Tayyammum, lalu mereka bertayammum.” Usaid bin Khudlair berkata, “Ini bukanlah keberkahan yang
pertama kalinya yang dilimpahkan kepada kalian, wahai Ali (keluarga besar) Abu Bakar!.”
Hadits tentang hal ini secara panjang lebar terdapat di dalam Shahîh al-Bukhâry.
“Sesungguhnya Shafâ dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah
haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya.”
(Q.,s.al-Baqarah:158)
Yakni, dia melakukan sa’i diantara keduanya, sebab secara zhahir, firman Allah
()فال جناح عليه, “Maka tidak ada dosa baginya”. Mengindikasikan bahwa maksimal masalah melakukan sa’i
diantara keduanya tersebut tergolong ke dalam hal yang Mubah (boleh-boleh saja).
Di dalam Shahîh al-Bukhâriy dari ‘Ashim bin Sulayman, dia berkata, aku bertanya kepada Anas bin Malik
radliyallâhu ‘anhu tentang Shafa dan Marwah, dia berkata, “Kami dahulunya memandang bahwa kedua
hal tersebut (thawaf dan sa’i) termasuk perkara Jahiliyyah sehingga tatkala Islam datang, kami tetap
menahan untuk tidak melakukan keduanya, lantas turunlah firman Allah Ta’ala (artinya): “Sesungguhnya
Shafâ dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah” hingga firman-Nya (artinya): “mengerjakan sa’i di
antara keduanya.”
Dengan demikian diketahui bahwa Nafyul Junâh (penafian dosa) di dalam ayat tersebut, maksudnya
bukanlah untuk menjelaskan hukum tentang Sa’i, tetapi maksudnya untuk menafikan (meniadakan) rasa
risih yang mereka tampakkan tersebut dengan cara menahan diri dari melakukannya karena
memandang kedua hal itu (thawaf dan sa’i) merupakan bagian dari perkara Jahiliyyah. Sedangkan
hukum asal dari ibadah Sa’i dapat jelas dipahami melalui firman-Nya (artinya): “adalah sebagian dari
syi’ar Allah”
PENUTUP
Kesimpulan
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri” (Albaqarah : 222) Lafadz ” al-mahiid” di atas bersifat umum yang berarti semua wanita yang haid,
begitu pula sebab turunnya ayat itu bersifat umum, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik :
bahwa orang-orang Yahudi pada waktu itu, ketika istri-istri mereka sedang haidh mereka mengusirnya
dari rumah, dan tidak memberi mereka makan minum dan tidak berhubungan badan dengan mereka.
Kata al-atqa ( orang yang paling taqwa ) menurut tasyrif terbentuk af’al untuk menunjukkan arti
superlatif, tafdil yang disertai al-‘adiyah ( kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya
itu telah diketahui maksudnya ), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan.
1) Jumhur ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan
sebab yang khusus, sehingga hukum/pelajaran yang diambil adalah umum berlaku pada semua orang.
Hukum yang diambil dari lafal yang umum ini : ” walladzi yarmuuna azwajahum” ( dan orang-orang yang
menuduh isterinya ) tidak hanya khusus mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula
pada kasus yang serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain.
2) Segolongan ulama berpendapat : bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan
lafal yang umum, karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus.
Melainkan, keunikannya disini, hal tersebut terjadi karena ayat yang turun itu menggunkan sebuah diksi
kalimat yang bersifat mujmal sehingga memungkinkan lahirnya makna yang banyak dan interpretasi
yang tidak tunggal.
Anwar, Rosihon, Ulumul Quran. Cet, III. Bandung: Pustaka Setia, 2006
Channa AW, Dra liliek, Ulum Qur’an dan Pembelajarannya. Surabaya: Kopertais
IV Press, 2010
Diponegoro, 2004
Qattan, Manna’ Khlil al-, Mabahith Fi ‘Ulumi al-Qur’an, Alih Bahasa oleh
REFERENSI: https://alsofwa.com/148-quran-al-ibratu-bi-umumil-lafdzi-la-bi-khushushi-assabab-yang-
menjadi-patokan-adalah-keumuman-lafadz-dan-bukan-sebab-yang-khusus/
Muqaddimah Fit Tafsîr, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn, Hal.14-15.
REFERENSI: https://alhikmah.ac.id/asbabbun-nuzul/