Anda di halaman 1dari 36

TURUNNYA AL-QUR’AN DENGAN 7 HURUF

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

" Ulumul Qur’an "

Dosen Pengampu :

Dr. Agus Tasbih, M.M.

Disusun Oleh :
Abdul Karim Amrullah
Ahmad Fuad

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


KONSENTRASI PENDIDIKAN AL-QUR’AN
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PTIQ JAKARTA
2019 M. / 1441 H.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis persembahkan


kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta
kekuatan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi akhir
zaman, Rasulullah Muhamad SAW, begitu juga kepada keluarganya, para
sahabatnya, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta para umatnya yang
senantiasa mengikuti ajaran-ajarannya. Aamiin.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
tidak sedikit hambatan, rintangan serta kesulitan yang dihadapi. Namun
berkat bantuan dan motivasi serta bimbingan yang tidak ternilai dari berbagai
pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1. Dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan
makalah ini Bapak Dr. Agus Tasbih, M.M

ii
2. Teman-teman dan seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam
penyelesaian makalah.
Hanya harapan dan doa, semoga Allah SWT memberikan balasan
yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu
penuli menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya
dalam mengharapkan keridhaan, semoga makalah ini bermanfaat bagi
masyarakat umumnya dan bagi penulis khususnya, serta anak dan keturunan
penulis kelak. Aamiin
Jakarta, November 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……………………………………….......… i
Kata Pengantar ………………........……………………..…. ii
Daftar Isi …………………………………………..…. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………..…... 2
C. Tujuan Masalah …………………………………............ . 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Sab’atu Ahruf............................................................ 3
B. Hadits-Hadits Tentang Al-Qur’an Turun Dalam Tujuh Huruf .. 4
C. Pendapat Ulama Mengenai Sabatu Ahruf ................................. 6
D. Hikmah Turunnya Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf.................. 17
E. Pengertian Qira’at ..................................................................... 18
F. Syarat-Syarat Qira’at Dikatakan Shahih ................................... 19
G. Macam-Macam Qiraat .............................................................. 19
H. Tokoh-Tokoh Qira’at Sab’ah .................................................... 20
I. Perkembangan Sejarah Dalam Penyebaran Qira’at.................... 23
J. Hikmah Qira’at........................................................................... 25
K. Antara Ahruf Sab’ah dan Qira’at Sab’ah…………….…........ 26

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ……………………………………................... 27
B. Saran ……………………………………............................... 28

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………........ 29

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Makalah ini membahas tentang istilah tujuh huruf atau
sab’atu ahruf dalam Al-Quran. Membahas tentang perbedaan
pendapat para ulama tentang sab’atu ahruf, hadits tentang sab’atu
ahruf dan perbedaan antara sab’atu ahruf dengan qiro’at sab’ah.
Kedua duanya merupakan sebuah hasanah keilmuan islam yang
mempunyai pengertian yang berbeda. Bahkan ulama’ pun saling
berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkan arti tujuh
huruf. Namun yang perlu kita insafi bahwa keberaneka ragaman
penafsiran para ulama adalah sebuah rahmat dari Allah SWT, hal
ini seperti yang dikatakan “al ikhtilafu baina ummati rohmatun”.
Semoga makalah yang akan kami sampaikan dapat memberi
tambahan wawasan keilmuan kita tentang Alquran. Dengan
demikian semakin hauslah kita dengan ilmu ilmu yang berkaitan
dengan alquran dan akan semakan cintalah kita dengan kitab suci
kita ini. Berharap pula semoga kita kelak mendapat syafaatnya di
yaumil qiyaamah. Aamiin.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sab’atu ahruf
2. Bagaimana hadits-hadits tentang sab’atu ahruf

1
2

3. Bagaimana Pendapat Ulama tentang Sab’atu Ahruf


4. Apa Pengertian Qiroa’at
5. Bagaimana pendapat ulama tentang pembagian qiroat
6. Bagaimana hikmah mempelajari qiraat
7. Perbedaan sabatu ahruf dan qiroat sab’ah

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian sab’atu ahruf
2. Untuk mengetahui hadits-hadits tentang sab’atu ahruf
3. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang sab’atu ahruf
4. Untuk mengetahui pengertian qira’at sab’ah
5. Untuk mengetahui perbedaan antara sabatu ahruf dan qiraat sabah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sabatu Ahruf
Kata ‫ سبعة‬beramakna bilangan yang terletak antara enam dan
delapan1, sebagian ulama memahami bahwa kata ‫ سبعة‬adalah simbol yang
menunjukkan banyak dan tidak terbatas pada angka tujuh saja. Para
ulama secara umum cenderung berpendapat bahwa ‫ سبعة‬dalam hadis
adalah dalam arti tujuh yang sebenarnya bukan kiasan. Sedangkan kata
‫ احرف‬merupakan bentuk plural dari ‫ حرف‬yang dapat berarti pinggir dari
sesuatu, dan dapat pula berarti salah satu huruf dari huruf hijaiyah.2
Ulama’ berbeda pendapat mengenai tujuh hurf ini, hampir ada sekitar
40 pendapat ulama mengenai hal ini.3
Dalam konteks bahasa umum ketika disebut kata huruf, ungkapan ini
akan dapat langsung dipahami maknanya, akan tetapi ketika kata huruf
dihubungkan dengan al-Qur’an akan muncul banyak pendapat dalam
memahaminya. Perbedaan ini disebabkan karena tidak adanya informasi
yang tegas dari Nabi yang menjelaskan makna dan bentuk-bentuk huruf
ini.

1
Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Beirut : Dar al-Ayha’ al-Turats al-‘Arabiy, t.th), J.6, h156
2
Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Beirut : Dar al-Ayha’ al-Turats al-‘Arabiy, t.th), J.6, 128
3
Salim, Muhsin. “Ilmu Qira’at Tujuh”, (Jakarta: YATAQI, 2008), 27.

3
4

B. Hadits-Hadits Tentang Al-Qur’an Turun Dalam Tujuh Huruf


Munculnya konsep sab’atu ahruf dalam kajian ulum al-Qur’an
didasari oleh adanya hadis-hadis yang secara tekstual menjelaskan
tentang hal tersebut. Secara garis besar hadis-hadis yang
menginformasikan tentang turunnya al-Qur’an dengan 7 huruf dapat
diklasifikasikan kepada 3 kelompok; pertama, hadis-hadis yang
menggambarkan perbedaan para shahabat dalam membaca suatu ayat,
kemudian mereka mengklarifikasikan bacaan mereka masing-masing
kepada nabi, yang kemudian semuanya dibenarkan oleh nabi karena al-
Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf.
Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan
dalam tujuh huruf sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh 21 orang sahabat besar dengan berbagai jalur, di
antaranya Abu Bakar, 'Umar, 'Utsmân, Ibn Mas’ûd, Ibn Abbâs, Abu
Hurairah dan lain-lain.4 Di antaranya beberapa riwayat di bawah ini:

َ َْ َ َ ُ ْ َ َ َ ََّ ْ ْ ‫َر َوى ْال ُب َخار ُّي َو ُم ْسل ٌم َو َغ ْي ُر ُه َما َع ْن ُع َم َر‬


‫يم‬ ٍ ِ ‫ك‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ام‬ ‫ش‬ ‫ه‬ِ ‫ت‬ ‫ع‬ ‫م‬ ِ ‫س‬ : ‫ال‬ ‫ق‬ ‫اب‬ِ ‫ط‬ ‫خ‬ ‫ال‬ ‫ن‬ِ ‫ب‬ ِ ِ
َّ َ َّ ُ َ ُ َ َ ْ ُ
َ َ َ ْ َ ُ َّ َ َّ ُ َ َ َ َ َ ْ َ َْ َ َ ْ ُ َ َ ُ َ َْ
– ‫اّلل – صلى اّلل علي ِه وسلم‬ ِ ‫ وكان رسول‬، ‫ان ” على غي ِر ما أقرأها‬ ِ ‫يقرأ سورة ” الفرق‬
َ ََ َ َ ْ ْ َ ُ ْ َ
َ َ َْ
ُ ْ َ َ ُ ُ ْ ََّ َُّ َ َ َ ْ َّ َ ُ ُ ْ َ ْ َُّ ْ َ
‫ ف ِجئت ِب ِه‬، ‫ ثم أمهلته حتى انصرف ثم لببته ِب ِرد ِائ ِه‬، ‫ ف ِكدت أن أعجل علي ِه‬، ‫أق َرأ ِنيها‬
ُ َّ َ
َ َ ُ َ َْ َ َ ُ ْ َ ُ ْ ُ َ َّ ْ َ َ ُ َّ ‫اّلل – َصَّلى‬ َّ َ
” ‫ ِ ِإني س ِمعت هذا يقرأ سورة‬، ‫اّلل‬ ِ ‫اّلل علي ِه َو َسل َم – فقلت َيا َر ُسول‬ ِ ‫َر ُسول‬
َ ْ َ َ ْ ُْ
ُْ َّ َ َ ُ َّ َّ َ َّ ُ َ َ َ َ َ ْ َ َْ َ َ
‫ ” أ ْر ِسله‬: – ‫اّلل عل ْي ِه َو َسل َم‬ ‫اّلل – صلى‬ ِ ‫ان ” على غي ِر ما أق َرأت ِنيها ! فقال َر ُسول‬ ِ ‫الفر‬
‫ق‬
َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ ُ َْ ُ ُ ْ َ َّ َ ْ َ َ َ َْ ْ
َ
: – ‫اّلل – صلى اّلل علي ِه وسلم‬ َ
ِ ‫اقرأ ” فقرأ ال ِقراءة ال ِتي س ِمعته يقرأ ; فقال رسول‬ َ َ َ
َ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ َّ ْ َ ْ ُ َ َ َ
ُ َ َ َ ُ ْ َ َ ْ ْ َ َ َُّ ْ َ ْ ُ َ َ َ
ْ
‫ هكذا أن ِزلت ِإن هذا القرآن أن ِزل على‬: ‫ اقرأ فقرأت فقال‬: ‫هكذا أن ِزلت ثم قال ِلي‬ َ َ
َ
ُ ْ َ ََّ َ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َْ َ
.‫سبع ِة أحر ٍف فاقرؤوا ما تيسر ِمنه‬
Artinya; Dikisahkan oleh ‘Umar bin Al-Khattab: Aku dengar
Hisham bin Hakim bin Hizam melafalkan Surat-al-Furqan dengan cara
yang berbeda dengan caraku. Rasul Allah telah mengajarkan padaku
(dengan cara yang berbeda). Lalu, aku hampir saja ingin bertengkar
dengan dia (pada saat sembahyang) tapi aku tunggu sampai dia selesai,
lalu aku ikat bajunya di sekeliling lehernya dan kuseret dan kubawanya
menghadap Rasul Allah dan berkata, “Aku telah mendengar dia
melafalkan Surat-al-Furqan dengan cara yang berbeda dengan yang kau
4
Muhammad ‘Abd al-Azhîm az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm Al-Qur’an
(Beirut: Dâr ‘Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), Jld I, hlm. 132.
5

ajarkan padaku.” Sang Rasul menyuruhku melepaskan dia dan meminta


Hisham melafalkannya. Ketika dia melakukan itu, Rasul Allah berkata,
“Itu (Surat-al-Furqan ) dilafalkan begitu.” Sang Rasul lalu meminta aku
melafalkannya. Ketika aku melakukannya, dia berkata, “Itu dilafalkan
begitu. Qur’an telah dinyatakan dalam tujuh cara yang berbeda, jadi
lafalkan dengan cara yang mudah bagimu.”.5
ُ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َ ُ َ َّ َ َ ُ ْ َ ُ َّ
َ َ َ َ ْ
‫ (أقر ِأني ِجب ِريل‬:‫اّلل صلى اّلل علي ِه وسلم قال‬ ِ ‫اس َر ِض َي اّلل عنهما أن رسول‬ َّ َ ْ َ
ٍ ‫ع ِن اب ِن عب‬
َ َ َ
ُ ْ َْ َ َ َ َ ْ َّ َ ُ َ َ ُ ُ َ ْ َْ ْ ََ ُ ُ ْ َ َ َ َ
ْ ‫َعلى َح‬
)‫يدني حتى انتهى ِإلى سبع ِة أحر ٍف‬ ِ ِ‫ز‬‫ي‬‫و‬ ‫ه‬ ‫يد‬‫ز‬ِ ‫ت‬ ‫س‬‫أ‬ ‫ل‬‫ز‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ف‬ ‫ه‬‫ت‬‫ع‬ ‫اج‬ ‫ر‬‫ف‬ ‫ف‬ ٍ ‫ر‬
“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a, Rasulullah Saw., bersabda :
”Jibril membacakan al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf kemudian
aku mengulanginya (setelah itu) senantiasa aku meminta tambah
sehingga menambahiku sampai dengan tujuh huruf”.6
Dari Ubay bin Ka’ab r,a ia berkata :
‫ان النبي صلى اّلل عليه وسلم كان عند اضاءة بنى غفار قال فاءتاه جبريل فقال ان اّلل‬

‫يامرك ان تقرىء امتك القران على حرف فقال اساءل اّلل معافاته ومغفرته وان امتى‬

‫لا تطيق ذالك ثم اتاه الثانية فقال ان اّلل يامرك ان تقرىء امتك القران على حرفين‬

‫فقال اساءل اّلل معافاته ومغفرته وان امتى لاتطيق ذالك ثم جاء الثالثة فقال ان اّلل‬

‫يامرك ان تقرىء امتك القران على ثلاثة احروف فقال اسال اّلل معافاته ومغفرته‬

‫وان امتى لا تطيق ذالك ثم جاءالرابعة فقال ان اّلل يامرك ان تقرىء امتك القران‬

‫على سبعة احروف فايما حرف قراو عليه فقد اصابوا‬

“Ketika Nabi berada dekat parit Bani Gaffar, ia didatangi Jibril


seraya mengatakan: Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-
qur’an kepada umatmu dengan satu huruf, ia menjawab: aku memohon
kepada Allah ampunan dan maghfirahNya, karena umatku tidak dapat
melaksanakan perintah itu, kemudian Jibril datang lagi untuk yang kedua
kalinya dan berkat: Allah memerintahkanmu agar membacakan qur’an
kepada umatmu dengan dua huruf, Nabi menjawab: aku memohon

5
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Jami’ Musnad Shahih al-Bukhari
hadis (al-Maktabah asy-Syamilah) Juz. 9 No. 2419
6
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Kutub, juz. 3,
2004), hlm. 1176
6

kepada Allah ampunan dan maghfirahNya, umatku tidak kuat


melaksanakannya, Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu
mengatakan: Allah memerintahkanmu agar membacakan qur’an kepada
umatmu dengan tiga huruf, Nabi menjawab: aku memohon Allah
ampunan dan maghfirahNya, sebab umatku tidak dapat
melaksanakannya, kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat
kalinya seraya berkata: Allah memerintahkan kepadamu agar
membacakan qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf
mana saja mereka membaca, mereka tetap benar. (HR. Muslim). 7
Hadis yang menerangkan masalah sab’atu ahruf diriwayatkan
oleh segolongan besar sahabat yang tidak terhitung. Bahkan sebagian
tokoh hadis mengatakan bahwa hadis mengenai masalah ini mencapai
derajat mutawatir. Yang berpendapat demikian, di antaranya ialah Abu
‘Ubayd al-Qasim ibnu Salam.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rasm (bentuk tulisan) yang
dipergunakan dalam mushaf Usmani, sudah mencakup sab’atu ahruf
itu. Al-Qadhi Abu Bakr ibnu al-ftayyib al-Baqilani mengatakan bahwa
masalah sab’atu ahruf ini muncul dan tersiar dari Rasulullah Saw dan
dikuatkan oleh para imam, kemudian diterapkan oleh Usman dan para
sahabat dalam mushaf, mereka menegaskan keshahihannya dan tidak
mau menggunakan harf yang tidak diriwayatkan secara mutawatir.8

C. Pendapat Ulama Mengenai Sabatu Ahruf


Berbicara tentang pandangan ulama mengenai sabʻatu ahruf kita akan
disuguhkan banyak pendapat. Ibnu al-Arabi (w. 543 H) pernah
menyatakan bahwa tidak ditemukan riwayat yang berbicara khusus
tentang tafsiran sabʻatu ahruf sehingga para ulama berbeda pandangan
mengenai hal itu.
Konsep sab’ah ahruf adalah salah satu konsep yang muncul
berdasarkan pemahaman terhadap riwayat-riwayat yang
menginformasikan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam 7 huruf. Makna
sab’ah ahruf yang diungkapkan oleh riwayat-riwayat tersebut dipahami
berbeda oleh para ulama. Adanya pemahaman bahwa al-Qur’an
diturunkan dengan sab’ah ahruf memunculkan asumsi bahwa ada
versiversi ayat al-Qur’an yang tidak dituliskan dalam mushhaf yang
disusun pada masa Usman bin Affan, karena hanya satu versi yang dipilih
dan ditampilkan. Untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam

7
https://library.islamweb.net/ar/library/index.php?page=bookcontents&ID=15&idfro
m=14&idto=14&flag=0&bk_no=48&ayano=0&surano=0&bookhad=0
8
S}ubh}i as}-Sal} ih, Maba>his\ fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Bairut: Da>r al-Ilmi, 1972), hlm.102
7

memahami hadis-hadis tujuh huruf tersebut perlu adanya kajian secara


teks dan konteks, Agar apa yang dimaksud oleh Rasul dengan 7 huruf
pada hadis tersebut dapat dimaknai sesuai dengan konteks kekinian,
setidaknya dapat menjadi alternatif pemahaman untuk meminimalisir
timbulnya perbedaan pendapat.
Di dalam al-Qur’an dan hadis, tidak terdapat nash yang menerangkan
makna dan maksud dari sab’atu ahruf tersebut. Maka di antara pendapat-
pendapat itu, ialah :
1. Al-Khalil Ibnu Ahmad berpendapat, bahwa yang dimaksudkan dengan
sab’atu ahruf ialah tujuh qira’ at , seperti perkataan Ibnu al-Jaziry :

‫كانت الشام تقرأ بحرف ابن عامر‬

2. Yang dimaksud dengan harf dalam pernyataan tersebut ialah qira’at.9


3. Abu Ja’far Muhammad Ibnu Sa’dan al-Nawawi, berpendapat bahwa
yang dimaksudkan dengan harf ialah makna dan jihah, tariqah.10
4. Abu Ubayd al-Qasim dan Ahmad ibnu Yahya Tsa’lab berpendapat
bahwa yang dimaksudkan dengan harf ialah bahasa, maka yang
dimaksudkan dengan sab’atu ahruf adalah tujuh bahasa dari tujuh
suku bangsa Arab. Tetapi bukan berarti, satu harf dapat dibaca
dengan tujuh bahasa, melainkan yang dimaksudkan ialah al-Qur’an
itu diturunkan dengan tujuh bahasa secara terpisah, yaitu sebagian
diturunkan dengan bahasa Quraisy, sebagian dengan bahasa Hudzayl,
sebagian lagi dengan bahasa Tamim, sebagian lagi dengan bahasa
Azd, dan bahasa Rubay’ah, sebagian lagi dengan bahasa Hawazin,
dan Sa’ad Ibnu Bakr dan seterusnya.
5. Abu Manshur Muhammad ibnu al-Azhar, al-Azhari (wafat tahun 370 H)
mengatakan bahwa pendapat itulah yang terpilih, pendapat ini
berlandaskan pada perkataan Usman, ketika memerintahkan kepada
para penulis mushaf :

‫ومااختلفتم أنتم وزيد فاكتبوه بلغة قريش‬


Al-Baihaqi juga membenarkan pendapat itu. Abu Bakr
Muhammad Ibnu Sirin al-Bashriy menegaskan bahwa hanya
diperbolehkan membaca al-Qur’an dengan harf yang telah
ditetapkan dalam mushaf Imam yang telah disepakati oleh para
sahabat.
9
Az-Zarkasyi, Al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, Juz I (Mesir : Tp, 1972), hlm. 213
10
Az-Zarkasyi , Al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n, Juz I hlm 213.
8

Ibrahim al-Abyari juga menggaris bawahi pendapat tersebut di


atas, dengan berlandaskan perkataan Umar :

‫نزل القرأن بلغة مضر‬

Bahasa Madar itu meliputi tujuh bahasa dari tujuh suku


bangsa Arab, yaitu Hudzayl, Kinanah, Qays, Dhibbah, Taym al-
Ribab, Asad ibnu Khuzaymah, dan Quraisy.11
6. Ibnu Abd al-Barri berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan
harf ialah wajah atau segi, tujuh harf berarti tujuh segi dari makna
yang sama, yang diungkapkan dengan lafal yang berbeda-beda,
seperti :

‫اقبل – هلما‬

‫ اسرع‬- ‫عجل‬

‫ امهل‬- ‫ اخر‬- ‫انظر‬

Misalnya ayat :
12
‫كلما أضاءلهم مشوافيه‬

Ubay bin Ka’ab, membacanya sebagai berikut :


‫كلما أضاء لهم سعوا فيه‬

Lafal ‫ مشوافيه‬diganti dengan ‫سعوافيه‬


Dua lafal itu maknanya sama, tetapi lafalnya berbeda.
13
‫للذين امنوا انظرونا‬

Lafal ‫ انظرونا‬,dibaca dengan ‫أمهلونا‬

Selanjutnya Ibnu Abd al-Barri berkata : demikianlah makna sab’atu


ahruf yang disebutkan dalam hadis-hadis, menurut para ahli fiqih
dan ahli hadis, seperti : Sufyan ibnu Uyainah, Ibnu Wahab,
Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, al Tahawi, dan lain-lainnya.

11
Ibrahim al-Abyariy, Tarikh al-Qur’an (Kairo: Dar al-Qalam, 1965), hlm. 84
12
QS. Al-Baqara : 20
13
QS. al-Hadid: 13
9

Tetapi mushaf Usman yang berada di tangan umat sekarang, adalah


satu harf.14
7. Abu al-Ma’ali meriwayatkan dari imam-imam fuqaha, bahwa yang
dimaksudkan dengan sab’atu ahruf ialah : muthlaq dan muqayyad,
‘am dan khas, nas dan mu’awwal, nasikh, mansukh, mujmal dan
mufassar, istisna, dan macam-macamnya.
8. Para qari’ berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan tujuh
harf ialah cara membaca al-Qur’an, yaitu : izhar dan idgham,
tafkhim, tarqiq, imalah dan isybah’, mad dan qashr, takhfif dan
talyin, dan tasydid.
9. Dr. Shubhi al Shalih berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan
sab’atu ahruf ialah tujuh wajah (tujuh segi). Maka pembaca
dibenarkan membaca al-Qur’an dengan salah satu segi dari tujuh
segi itu. Pendapat ini dikuatkan dengan penjelasan Rasulullah Saw.:

‫اقرأنى جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده حتى انتهى إلى سبعةأحرف‬

Maka satu lafal al-Quran, sekalipun dibaca dari beberapa


segi, tidaklah keluar dari tujuh segi yang tersebut di bawah ini,
yaitu :
a. Perbedaan dalam segi i’rab, yang mengakibatkan perubahan
makna atau tidak, seperti :

‫كلمات‬ ُ ‫فتلقى‬
‫آدم من ربه‬
ٍ

ٌ َ ‫فتلقى‬
Ayat ini dapat dibaca : ‫آدم من ربه كلمات‬

Perubahan segi bacaan di atas, membawa perubahan makna.


Di bawah ini contoh perubahan segi bacaan yang tidak
mengakibatkan perubahan makna :
َ
‫ولايضاركاتب ولاشهيد‬

Ayat ini dapat dibaca : ُ


‫ولايضاركاتب ولاشهيد‬

14
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an...., Juz I, hlm. 220.
10

Pada contoh pertama terjadi perubahan i’rab pada lafal


adamu, sebagai fa’il (subyek), menjadi adama sebagai maf’ul
bih (obyek), dan lafal kalimatin sebagai maf’ul bih (obyek),
menjadi kalimatun sebagai fa’il (subyek).

Sedang pada contoh yang kedua, terjadi perubahan pada


lafal yudharra huruf ra dibaca fathah, menjadi yudarru,
huruf ra dibaca dhammah.
b. Perbedaan dalam segi huruf
Perbedaan ini kadang-kadang membawa perubahan makna,
tetapi bentuknya tetap, seperti : ya’lamuna.
Ya’lamuna berarti mereka mengerti
Ta’lamuna berarti kamu mengerti

Dan kadang-kadang bentuknya berubah tetapi


maknanya tetap, seperti:
al- sirat ( ‫الصراط‬: (jalan)

al-sirat ( ‫السراط‬: (jalan)

al –musaytirun (‫المصيطرون‬: (yang menguasai)

al –musaytirun ( ‫المسيطرون‬: (yang menguasai )

Dua lafal tersebut di atas, masing-masing berubah dari huruf


shad menjadi huruf sin.
c. Perbedaan isim dari segi ifrad (bermakna satu) , tasniyah
(bermakna dua), jama’ (bermakna banyak , tiga atau lebih),
tazkir (menunjukkan laki-laki) atau ta’nis (menunjukkan
perempuan), seperti

‫والذين هم لأماناتهم راعون‬


11

Lafal ‫ لأ ماناتهم‬bentuk jama’, dapat dibaca dengan bentuk mufrad,

yaitu “ ‫لأ مانتهم‬. Dalam mushaf Usmani ditulis tanpa alif , yaitu

‫أمنتهم‬.

d. Perbedaan karena pergantian suatu kata dengan muradifnya, seperti:

1) ‫ كالعهن المنفوش‬dibaca dapat ‫كالصوف المنفوش‬

Kata ‫ العهن‬diganti dengan ‫ الصوف‬yang artinya sama, yaitu: bulu.

2) ‫ وطلح منضود‬dibaca dengan ‫وطلع منضود‬

Kata talhin diganti dengan tal’in, yang artinya sama, yaitu: pohon
pisang. Memang ada persamaan makhraj huruf ‘ain dan huruf kha,
yaitu halq (rongkongan). Namun demikian pergantian itu kadang-
kadaenimbulkan bacaan yang syadz sebab bacaan itu tidak
mutawatir, seperti bacaan Ibnu Mas’ud pada ayat : ‫فاقطعوا اأيمانهما‬:
maka potonglah kedua tangan kanannya

Sebagai ganti ayat :

‫ فاقطعوا اأيديهما‬:maka potonglah kedua tangannya.


e. Perbedaan karena mendahulukan suatu kata atau
َ َُ ْ َ َُ ْ َ
mengakhirkannya, seperti : ‫ ف َيقتل ْون َو َيقتل ْون‬lalu mereka
َ ُُ ْ َ َُ ْ َ
dibunuh, dibaca ‫ ف ُيقتل ْون َو َيقتل ْون‬lalu mereka dibunuh dan
membunuh kadang-kadang juga menimbulkan bacaan yang
syadz, seperti bacaan Abu Bakr al- Sijistani :

‫وجاءت سكرة الحق بالموت‬

dan datanglah sakarah al-haq karena mati. Sebagai pengganti

‫ وجاءت سكرة الموة بالحق‬15:

15
QS. Qaf: 19
12

dan datanglah sakarah al-maut dengan sebenar-benarnya

f. Perbedaan karena adanya tambahan atau pengurangan suatu


huruf, seperti : 16‫وأعدلهم جنات تجرى تحتها الأنهار‬
dan Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya.
Dapat dibaca sebagai berikut :
‫وأعدلهم جنات تجرى من تحتها األنهار‬

Pada bacaan yang kedua, ditambah dengan huruf jar pada min

g. Perbedaan lahjah (dialek)


Perbedaan dalam membaca fathah dan imalah, seperti :
17
‫هل اتاك حديث موسى‬

18
‫بلى قادرين على أن نسوى بنانه‬

Pada kata-kata : ‫موسى‬,‫اتاك‬, dan ‫ بلى‬pada ayat tersebut di atas


dapat dibaca dengan fathah yang jelas, dan dapat juga dibaca
dengan imalah, yaitu fathah semu kasrah, seperti : ‫ موسى‬,‫ أ تيك‬dan ‫بلى‬

1) Perbedaan dalam membaca tarqiq dan tafthim, seperti:


‫بصيرا خيرا‬: Huruf ra pada kedua kata-kata itu, di baca tarqiq (tipis)

‫الصلاة‬, ‫الطلاق‬: Huruf lam pada kedua kata ini dibaca dengan
tafkhim (tebal)

2) Perbedaan dalam membaca huruf hamzah, dan tashil (tidak


mengucapkan huruf hamzah), seperti : ‫ قد افلح‬huruf hamzah dalam
lafal itu, dibaca dengan jelas, tetapi dapat juga tidak dibaca, dengan
cara memindahkan tanda fathah yang ada pada huruf hamzah

16
QS. al-Taubah: 100
17
QS. Taha: 9
18
QS. al-Qiyamah: 4
13

3) kepada huruf dal yang terletak pada akhir kata yang pertama, yaitu
qad, seperti : ‫قد افلح‬

h. Perbedaan karena mengkasrah huruf-huruf mudhara’ah, yang


biasanya dibaca fathah, seperti :

‫ لقوم يعلمون‬dibaca ‫لقوم يعلمون‬

‫ نحن ِنعلم‬dibaca ‫نحن نعلم‬

َ
‫ تسود وجوه‬dibaca ‫تسود وجوه‬

‫ ألم أعهد‬dibaca ‫ألم أعهد‬

i. Perbedaan karena mengganti sebagian huruf dengan huruf lainnya,


seperti :

‫حتى حين‬, kaum Hudzayl membacanya : ‫عتى عين‬

Huruf ‫ح‬pada kedua kata itu diganti dengan huruf ‫ع‬

j. Perbedaan karena membaca isyba’ pada huruf mim yang ada pada
dhamir jama’ mudzakar, yaitu dengan cara memanjangkan
bacaannya, seperti :

‫ عليهم دائرة السوء‬dibaca ‫عليهموا دائرة السوء‬

‫ ومنهم من يلمزك فى الصدقات‬dibaca ‫ومنهمو من يلمزك فى الصدقات‬

Huruf mim yang terdapatpada kata : ‫عليهم‬dan keduanya dibaca

‫ منهم‬dengan isyba’, yaitu dengan menambah huruf wawu, sesudah


huruf mim.

k. Perbedaan karena membaca isymam pada sebagian


harakat, yaitu membaca dhammah semu kasrah, seperti :
َ ُ َ
19
‫ َوغيض الماء‬dibaca ‫َو ِغيض الماء‬

19
S}ubh}i as}- S}a>lih, Maba>his\ fi> Ulu>m al-Qur’a>n, hlm. 113
14
14

10. Harf termasuk kata musykil yang tidak diketahui artinya. Secara
bahasa harf bisa berarti huruf alpabet, bisa juga berarti kata, pun
juga bisa berarti makna dan arah. Pendapat ini diungkapkan oleh
Ibnu Sa’dan al-Nahwi.

11. Maksud dari kata sab’ah dalam hadis bukanlah bermakna


bilangan angka tujuh. Namun yang dikehendaki berarti
kemudahan dan kelapangan. Angka tujuh seringkali diungkapkan
untuk menggambarkan sesuatu yang banyak melimpah. Begitu
juga angka 70 dalam puluhan dan 700 dalam ratusan. Pendapat ini
digawangi oleh Fudhail bin Iyadh (w. 544 H) sekaligus menjadi
sanggahan terhadap riwayat Ibnu Abbas ra.
12. Sabʻatu ahruf adalah tujuh sisi makna yang disepakati dengan
ُ َ َ ْ ْ
menggunakan lafal yang bermacam-macam seperti: – ‫أق ِبل – تعال – هلَّم‬
ْ ْ ْ َ
‫ع ِجل – أس ِرع‬. Pendapat ini dianut oleh Sufyan bin Uyainah, al-Thabari,
Ibnu Wahb dan lainnya.
13. Sabʻatu ahruf adalah tujuh dialek (bahasa). Ini digawangi oleh
Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, Tsa’lab, al-Baihaqi, Ibnu
Athiyyah dan al-Azhari. Namun pendapat ini dibantah karena
dialek (bahasa) Arab lebih dari tujuh.
14. Sabʻatu ahruf adalah tujuh macam kandungan al-Quran. Itu
semua meliputi halal, haram, muhkam, mutasyâbih, amr, nahy,
dan amtsâl. Pendapat ini dinilai lemah oleh sebagian ulama.
15. Sabʻatu ahruf –menurut Abu Syamah- adalah tujuh bab
pembicaraan al-Quran. Konon bab tersebut
mencakup muthlaq, muqayyad,
ʻâmm, khâshsh, nashsh, muawwal, nâsikh, mansûkh, mujmal, muf
assar, istitsnâ’ dan qasam.
16. Sabʻatu ahruf menurut pakar bahasa- adalah hadzf, shilah,
taqdîm,
ta’khîr, istiʻarah, tikrâr, kinâyah, haqîqah, majâz, mujmal, mufass
ar, dzhâhir, dan gharîb.
17. Sabʻatu ahruf –menurut pakar gramatika (nahwu) Arab-
adalah mudzakkar, muannats, syarth, jawâb, tashrîf, iʻrâb, qasam
dan jawabnya, jamʻ, mufrad, tashgîr, taʻdzhîm, dan perbedaan
perangkat nahwu.
18. Sabʻatu ahruf –menurut praktisi tasawuf- adalah tujuh
macam muʻâmalah shûfiyyah yakni zuhud, qanaah disertai
keyakinan dan kemantapan, berkhidmah dengan rasa malu dan
kedermawanan, kemurahan hati dibarengi rasa butuh (faqr) dan
15

19. berjuang, murâqabah dengan khauf, rajâ’ dan tadharruʻ, istighfar


dengan rida dan syukur, sabar dengan intropeksi dan mahabbah,
dan rindu dengan musyâhadah.
20. Sabʻatu ahruf adalah tujuh disiplin ilmu antara lain; ilmu
insyâ’ dan îjâd, ilmu tauhid, ilmu sifat dzat, ilmu
sifat fiʻl (tindakan), ilmu memaafkan dan azab, ilmu hasyr dan
hisab, dan ilmu nubuwat.
21. Ibnu Hibban mencatat tidak lebih dari 35 tafsiran dari sabʻatu
ahruf. Sebagian besar hampir mirip –jika tidak disebut sama-
dengan tafsiran yang telah dipaparkan sebelumnya. Kemiripan arti
itu meliputi; zâjir, âmir, halâl, harâm, amr, nahy, khabar, amtsâl,
waʻd, waʻîd, mawâʻidzh, ihtijâj, bisyârah, nidzârah, qashash,
targhîb, tarhîb, jadal, sirr, dzahr, bathn, raghm, ta’dîb,
iftitâh, had, ʻilm, fadhâil, ʻuqûbât, ʻatb, ibâhah, irsyâd, iʻtibâr,
muqaddam, farâidh, hudûd, maqdhiyy, nadb, dan hatm.
22. Sabʻatu ahruf ialah lafal khusus yang dikehendaki khusus, lafal
umum yang dikehendaki umum, lafal khusus yang dikehendaki
umum, lafal umum yang dikehendaki khusus, lafal yang tidak
perlu ditakwil lagi, lafal yang hanya dimengerti oleh orang-orang
khusus, lafal yang maknanya hanya diketahui oleh
ulama râsikhûn.
23. Sabʻatu ahruf adalah menampakkan rubûbiyyah, menegaskan
keesaan-Nya, mengagungkan ketuhanan-Nya, beribadah kepada-
Nya, menghindari kemusyrikan, senang pada pahala dan benci
pada siksa.
24. Sabʻatu ahruf adalah qiraat tujuh sahabat; Abu Bakar, Umar bin
al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Abdullah
bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Ubay bin Ka’b.
25. Sabʻatu ahruf ialah hamzah, imâlah, fath, kasr, tafkhîm, madd,
dan qashr.
26. Sabʻatu ahruf adalah mashdar, tashrîf, ʻarûdh, gharîb, sajʻ, dan
ragam dialek lainnya.
27. Sabʻatu ahruf adalah satu kalimat yang dapat di-iʻrâb dengan
tujuh macam sehingga maknanyatetap satu meskipun lafalnya
berbeda.
28. Sabʻatu ahruf ialah tujuh urutan abjad dalam arab yakni: ‫أ – ب – ج‬
‫– د – ر – س – ع‬.
29. Sabʻatu ahruf adalah tujuh nama Tuhan yang masyhur: – ‫الغفور‬
‫الرحمن – السميع – البصير – العليم – الحكيم‬.
30. Sabʻatu ahruf adalah ayat tentang sifat dzat Allah swt, ayat yang
diterangkan sunah, ayat tentang kisah para nabi dan rasul, ayat
tentang penciptaan, ayat tentang surga dan ayat tentang neraka.
16

31. Sabʻatu ahruf ialah ayat tentang sifat Tuhan Maha Pencipta, ayat
tentang penegasan keesaan-Nya, ayat tentang penegesan sifat-
sifat-Nya, ayat tentang penegasan para rasul, ayat tentang
penegasan kitab-kitab-Nya, ayat tentang penegasan Islam, ayat
tentang peniadaan kekufuran.
32. Sabʻatu ahruf adalah beriman kepada Allah swt, menjauhi syirik,
melaksanakan perintah, menghindari larangan, mantab dalam
keimanan, mengharamkan yang telah diharamkan Allah swt dan
taat kepada Rasul-Nya.
33. Menurut Jumhur Ulama yaitu pendapat Abu Al-Fadl Ar-Razi
yang paling mendekati kebenaran. Dia mengatakan bahwa arti
sabatu ahruf adalah tujuh wajah/bentuk. Maksudnya,
keseluruhan Al-Quran dari awal hingga akhir tidak akan keluar
dari tujuh wajah perbedaan berikut:
a. Perbedaan dalam bentuk Isim (Mufrad, Musanna, atau
Jama’)
b. Perbedaan dalam bentuk Fi’il (Madi, Mudari’, atau Amr)
c. Perbedaan dalam bentuk I’rab (rafa’, Nasab’, Jarr, atau
Jazam)
d. Perbedaan dalam bentuk Naqis (Kurang) atau Ziyadah
(tambah)
e. Perbedaan dalam bentuk taqdim dan Ta’khir (mendahulukan
dan mengemudiankan)
f. Perbedaan dalam bentuk Tabdil (pergantian huruf atau kata)
g. Perbedaan dalam bentuk dialek (lahjah) seperti bacaan Al-
Imalah, At-Taqlil, Al-Idgam, Al-Izhar dal lain-lain.20

Meskipun para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian sab’atu


aĥruf sebagaimana tertera di atas, namun yang jelas makna yang tersirat
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Pertama: Bahwa Allah Swt. memperbolehkan kepada ummat Nabi
Muhammad Saw. dalam hal membaca Al-Qur’an dengan berbagai
macam bacaan. Bacaan manapun yang mereka pilih adalah benar.
2. Kedua: Semua bacaan tersebut betul-betul telah diturunkan oleh Allah melalui
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad.

3. Ketiga: Tujuan diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah dalam


rangka memberikan keringanan kepada ummatnya Nabi Muhammad dalam
membaca Al-Qur‟an mengingat latar belakang budaya dan struktur masyarakat

20
Fatoni, Ahmad. “Kaidah Qiraat Tujuh.” Darul Ulum Press, 2007 hal.3-4.
17

4. yang beragam. Setelah Nabi Muhammad diberikan keringanan oleh Allah untuk
membaca Al-Qur‟an dengan tujuh huruf, Nabi mengajarkan kepada para
sahabat dengan ragam bacaan. Sehingga pernah terjadi kesalah pahaman di
antara mereka dan pernah mereka saling menyalahkan yang lainnya jika terjadi
perbedaan bacaan, bahkan di antara mereka ada yang sempat tertegun dan tak
mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Al-Qur‟an. Namun Nabi memberikan
penjelasan kepada mereka tentang pokok persoalan, sehingga mereka dapat
memahaminya. Pengajaran Nabi kepada para sahabatnya dengan beragam
bacaan terus berlangsung hingga Nabi wafat. Para sahabat yang mendapatkan
pelajaran AlQur‟an dari Nabi terus memegang bacaan mereka dan mengajarkan
cara pembacaan tersebut kepada para murid-murid mereka.

D. Hikmah Turunnya Al Quran dangan Tujuh Huruf


Turunnya Al Quran dengan tujuh huruf memiliki banyak hikmah di
antaranya adalah :
1. Untuk memberikan kemudahan kepada umat Islam,21 terkhusus
kepada bangsa Arab dimana Al Quran diturunkan di antara mereka,
yang memiliki banyak dialek walaupun mereka masih dalam satu ras.
2. Sebagai bukti bahwa Al Quran itu tetap terjaga dari perubahan dan
pemalsuan walaupun memiliki berbagai macam ragam cara bacanya.
3. Bukti kemukjizatan Quran bagi naluri atau watak dasar kebahasaan
orang Arab. Al Quran mempunyai banyak pola susunan bunyi yang
sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah
menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang Arab
dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama
yang telah menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan
tetap keberadaan Al Quran sebagai mukjizat yang ditantangkan
Rasulullah kepada mereka. Dan mereka tidak mampu menghadapi
tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan
terhadap bahasa melainkan kepada naluri kebahasaan mereka itu
sendiri.
4. Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan huklum-hukumnya.
Sebab perubahan-perubahan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan
kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan dari
padanya berbagai hukum. Hal inilah yang menyebabkan Qur’an
relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat

21
Hal ini sejalan dengan pendapat Ibnul Jazri, bahwa sebab turunnya Al Quran
dengan tujuh huruf (sa’batu ahruf) adalah untuk memberikan kemudahan terhadap umat ini
dan rahmat kepada mereka serta menjadi jawaban atas permohonan dari nabi mereka, lihat :
As Suyuthi, Al Itqan fii Ulumil Quran, hal. 132.
18

5. (penyimpulan hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi


ketujuh huruf ini.22

E. Pengertian Qira’at
Qira’at ( ‫ )ﻗراءات‬secara etimologi merupakan isim mashdar dari kata
ً ‫ يَ ْق َرأ ُ – ﻗ َِرأَة‬- َ ‫ ﻗَ َرأ‬yang artinya baca, membaca.23 Yang kemudian ً ‫ ﻗ َِرأَة‬di
jamakkan menjadi ‫ﻗراءات‬. Az - Zarqani menyatakan ‫ ﻗراءات‬merupakan
bentuk mashdar Sama’iy (kata dasar tak beraturan).24
Sedangkan secara terminologi telah dikemukakan oleh para pakar
Al-Qur’an, diantaranya:
1. Menurut az-Zarqani dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-
Qur’an qiraat adalah suatu cara yang ditempuh oleh imam Qiraah
(qari’) yang dengannya ia berbeda dengan yang lainnya dalam hal
membaca Al-Qur’an disertai dengan kecocokan riwayat-riwayat dan
jalur-jalur darinya baik perbedaan itu dalam hal membaca atau
mengucapkan huruf ataupun caranya.
2. Menurut Imam Syihabbuddin al-Qatalani dalam kitab Lataif al-Isyarat
fi Funun al-Qiraat sebagaimana yang dikutip oleh Nur Faizah,
menjelaskan bahwa qiraat adalah suatu ilmu untuk mengetahui
kesepakatan serta perbedaan para ahli qiraat (cara pengucapan lafad
Al-Qur’an) yang menyangkut aspek lughat, i’rab, hadzf, isbat, fasl,
wasl yang diperoleh dengan cara periwayatan.25
3. Menurut Ali as-Sabuni dalam kitab at-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an
qiraat adalahsalah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur’an yang
dipakai oleh salah satu imam qura’ ang berbeda dengan lainnya dalam
hal ucapan berdasarkan sanad-sand sampai kepada Rasul.26
Jadi disimpulkan dari beberapa pendapat diatas bahwa qiraat
adalah ilmu yang membahas tentang perbedaan cara pengucapan lafadz-
lafadz, metode dan riwayat Al- Qur’an yang disandarkan oleh tujuh imam
qurra’ sebagai suatu madzab yang berbeda- beda dengan yang lainnya.

22
Manna’ al-Qahthan, Mabaahits Fi Ulumil Quran, (Mansyuraat Al ‘Ashril hadits,
Riyad, 1393 H/1973 M.), hal. 169.
23
Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap”, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 2007
24
Al-Zarqani, “Manahil Al-Urfan fi Ulum Al-Qur’an”, 43
25
Nur Faizah, “Sejarah Al-Qur’an”, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), 133
26
Ash-Shaabuuniy, Muhammad Ali, “Studi Ilmu Al-Qur’an”, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 1991), 374.
19

F. Syarat-syarat Qiraat Dikatakan Sahih


Untuk menangkal penyelewengan qiraat yang sudah muncul, para
imam dari kalangan salaf maupun khalaf telah menetapkan syarat qiraat
dapat dikatakan shahih.
Menurut Al-Jaziri dalam kitabnya An-Nasyr sebagaimana yang
dikutip oleh Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, sebagai berikut:
1. Qiraat harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab
2. Qiraat tidak menyalahi rasm utsmani
3. Memiliki sanad yang shahih (diriwayatkan oleh rawi yang adil dan
dhabit) serta diriwayatkan secara mutawattir.27
Jadi apabila ketiga persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka qiraah
itu kualitasnya dhaif (lemah), walaupun berasal dari imam yang dikenal.
Inilah aturan shahih yang telah ditetapkan oleh imam-imam, baik dari
kalangan salaf maupun khalaf.

G. Macam-Macam Qiraat
Sebagian ulama’ menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam
macam.28

1. Mutawatir adalah qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah


periwayatan yang banyak dari periwayatan yang banyak pula
sehingga mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Qiraat
yang tergolong mutawatir, yaitu qiraat sab’ah dan Asyrah.29
Qiraah mutawatir ini adalah qiraat yang sah dan dapat dijadikan
hujjah.

2. Masyhur adalah qiraat yang sanad-nya sahih yang diriwayatkan


oleh orang banyak,akan tetapi tidak sampai tingkatan mutawatir.
Disamping itu sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm
utsmani. Para ulama’ menegaskan Qira’at mutawatir dan masyhur

27
Al-Hasani, Muhammad bin Alawi Al-Maliki, “Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an”,
(Bandung: CV Pustaka setia, 1983), 45-46
28
Al-Qattan, Mana’ Khalil. “Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an”, terj. Mudzakir AS,
(Bogor: Litera Antar Nusa, 2016) hal.55
29
Ada yang mengatakan bahwa (asyrah) 3 yang melengkapi termasuk qira’at
masyhur
20

3. wajib dii’tiqodkan sebagai Al-Qur’an dan tidak dibenarkan untuk


diingkari sedikitpun.30
4. Ahad adalah qiraat yang tidak mencapai derajat masyhur, sanad-
nya sahih, akan tetapi menyalahi rasm utsmani atau pun kaidah
bahasa Arab. Qiraat ini tidak sah dibaca, termasuk didalamnya
Qira’at empat belas. seperti riwayat yang dikeluarkan oleh hakim
dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah.
5. Syadz (menyimpang) adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih.
Seperti qiraat ibnu Al-Sumaifi.

6. Maudhu (palsu) yaitu qiraat yang hanya dinisbatkan kepada orang


seseorang tanpanasal usul yang pati atau tidak sama sekali.
Misalnya qiraat yang dikumpulkan oleh Muhammad Jafar Al-
Khuza’i dan ia mengatakannya bersumber dari Abu Hanifah
Menurut Imam As-Suyuthi yang dikutip oleh Muhammad bin
Alawi Al-Maliki Al- Hasni, beliau menambahkan satu macam
qiraat yaitu:
7. Mudraz adalah adanya sisipan pada bacaan yang berfungsi sebagai
tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat. Contoh qiraat Abi
Waqqash.
Jadi penjelasan diatas menjelaskan macam-macam tingkatan jumlah
sanad dalam periwayatan qiraat dari Nabi SAW.

H. Tokoh-tokoh Qiraat Sab’ah

Nama-nama tujuh imam qiraat dan dikenal dua orang perawinya, yaitu
sebagai berikut:31

1. Imam Ibnu Amir di Damaskus (Syam)


Nama lengkapnya: Abdullah bin Amir al-Yahshabi (8-118 H).
Beliau membaca Al-Quran dan Mughirah bin Abi Syihab (dari
Utsman bin Affan) dan Abu Darda. Perawinya Hisyam dan Ibnu
Zakwan.
2. Imam Ibnu Katsir di Makkah
Nama lengkapnya: Abu Muhammad Abdullah bin Katsir (45-120

Muhsin, Salim. “Ilmu Qira’at Tujuh”, 22


30

Hasanuddin Af, “Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath


31

Hukum Dalam Al-Qur’an”, cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995). 146-149.
21

H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Abdullah ibn al-Sa’ib (dari Ubay
bin Ka’ab dan Umar bin Khattab), Mujahid ibn Jabar dan Dirbas (dari
Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit). Perawinya Al
Bazzi dan Qunbul.
3. Imam Ashim di Kufah
Nama lengkapnya: Abu Bakar Ashim bin Abi Najud al-Asadi (w.
129 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Abu Abd al-Rahman al-Simi
(dari Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Syu’bah dan Hafs
Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit). Perawinya Syu’bah
dan Hafs.
4. Imam Abu Amr di Bashrah
Nama lengkapnya: Abu Amir Zabban bin al-Ala’ bin Ammar (68-
154 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Hasan al-Bashri dari Abu al-
Aliyah dari Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab. Perawinya Ad
Duri dan As Susi
5. Imam Hamzah di Kuffah
Nama lengkap: Hamzah ibn Hubayb ibn al-Ziyyat al-Kufti (80-
156 H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Ali Sulaiman al- A’masy,
Said Ja’far As-Shadiq, Hamran ibn A’yan, Manhal ibn Amr dan lain-
lain. Perawinya Khalaf dan Khallad.
6. Imam Nafi’ di Madinah
Nama lengkap: Nafi ibn Abd al-Rahman ibn Abi Nu’aym al-
Laysi (w. 169 H). Beliau membaca dari Ali ibn Ja’far, Abd al-
Rahman ibn Hurmuz Muhammad ibn Muslim al-Zuhri dan lain-lain.
Perawinya Qolun dan Warsy.
7. Imam Al-Kisa’i di Kufah
Nama lengkapnya: Abu Hasan Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (w.
187 H). Beliau membaca dari Hamzah bin Hubaib, Syu’bah, Ismail ibn
Ja’far dan lain-lainnya. Perawinya Abul Harits dan Ad Duri.
Tujuh Imam tersebut itulah yang masyhur, kemudian ahli qiraat
tersebut terkenal dengan“Qiraat Sab’ah”, karena masing-masing
Imam memang teliti dalam meriwayatkan qiraat yang berasal dari
sahabat Nabi SAW.

Contoh bacaan imam Qiro’ah dalam surah Al-Fatihah sebagai


berikut:32

32
Salim, Muhsin. “Ilmu Qira’at Tujuh” , 78
22

Nama Riwayat Kalimah Cara baca


Nafi’ Al Qalun dan ‫َم ِل ِك‬ Membaca mim kedua, tanpa
Madani Warsy alif

Qalun
‫علَ ْي ِه ُموا‬
َ
Dibaca dengan silah mim
jama’ dengan kadar 2 harakat,

Al Bazzi dan ‫َم ِل ِك‬ Membaca mim kedua, tanpa


Qunbul alif
Ibn Katsir Qunbul َ ‫الس َِرا‬
‫ط‬ Membaca Shod dengan Sin
Al Makki
Qunbul ‫ِس َراط‬ Membaca Shod dengan Sin
Al Bazzi dan
Qunbul
‫علَ ْي ِه ُموا‬
َ
Dibaca dengan silah mim
jama’ dengan kadar 2 harakat

‫الر ِحي َْم‬


َّ  Mengidghamkan huruf mim
pertama kedalam huruf
‫لك‬
ِ ‫َم‬ mim yang kedua bersama
Al – Suusi
dengung dua harakat
Abu Amr
(Idgham Kabir)
Al ‘Ala’
 Membaca mim tanpa alif

Al-Duuri
‫لك‬
ِ ‫َم‬ Membaca mim tanpa alif

Ibn Amr
Hisyam dan Ibnu
Zakwan
‫لك‬
ِ ‫َم‬ Membaca mim tanpa alif
Ad
Dimasqy

Syu’bah dan
Ashim Al Bacaan yang kita baca
Hafs
Kufi

Khollaf dan ‫لك‬


ِ ‫َم‬ Membaca mim tanpa alif
Khollad

Khollaf dan َ ‫الص َرا‬


‫ط‬ ِ Dibaca campuran shod dan zai
Hamzah Khollad atau di baca isymam
Al Kufi
Khollaf َ ‫ص َرا‬
‫ط‬ ِ
Dibaca campuran shod dan zai
atau di baca isymam
Khollaf dan ‫علَ ْي ُه‬
َ Ha’ dibaca dengan baris
Khollad ‫ْم‬ dlommah
23

Abu Harits dan


Kisa’I Al Bacaan seperti yang kita baca
Ad-duuri
Kufi

Catatan : sebagai pembeda, bacaan yang kita pakai adalah bacaan dari
Imam Ashim riwayat Imam Hafs.

I. Perkembangan Sejarah Dalam Penyebaran Qira’at

Pada masa sekarang, Qira’at telah tersebar ke berbagai negara-negara


Islam. Qira’at Hafs adalah Qira’at yang paling populer di dunia Islam,
bahkan hampir dipakai oleh seluruh umat islam di Dunia. Sedangkan,
qira’at-qira’at yang lain tersebar dalam jumlah yang sedikit. Rinciannya
adalah sebagai berikut:33

1. Qira’at riwayat Hafs al-Douri dari Abu Amr al-Basri adalah riwayat
terpopuler di Somalia, Sudan, Chad, Nigeria, dan Afrika Tengah pada
umumnya.

2. Qira’at riwayat Wars al Misri dari Nafi al-Madani adalah riwayat


yang populer di Aljazair, Maroko, Mauritania, Mali, Nigeria, Niger dan
sebagian Mesir, Chad, Libya, Tunisia

3. Qira’at riwayat Qolun dari Nafi’, merupakaan Qira’ah resmi negara


Libya dan mayoritas negara Tunisia.

4. Qira’at riwayat Hafs dari Ashim, merupakan Qira’at yang pada


awalnya tidak dikenal luas kemudian disebarkan oleh para pengikut
Hanafiyah Turki pada masa akhir dari kekhalifah Ustmani. Sehingga
qira’ah ini menjadi terkenal dan tersebar ke berbagai negara
kekuasaan Utsmaniyah.

Penyebaran Qira’at setelah munculnya pengelompokan Qira’at Sab’ah


oleh Imam Mujahid dapat dibagi menjadi beberapa fase. Yaitu:

1. Fase Abad ke-2 Hijriah, bacaan Qira’at Hafs berkembang pada fase ini
di Baghdad dan Makkah. Sampai waktu wafatnya Imam Hafs pada tahun
180 H, bacaannya telah menyebar seluruh Baghdad dan Makkah.34

2. Fase Abad ke-3 Hijriah, Imam Maki ibn Abi Tahlib mengatakan pada
awal tahun 200 H, Qira’ah Imam-Imam telah menyebar ke berbagai
negara. Qira’ah Abu Amr dan Ya’qub tersebar di Bashrah, Qira’ah

33
Muhammad Al-Amin, “Amakin Intisyari al-Qira’at al-Yaum”, Mauqi’ Syaikh
Muhammad Amin, http://www.ibnamin.com/recitations_current_places.htm , diakses 12
Januari 2018, 1.
34
Ibn Jazari, “Ghayatun Nihayah fi Thabaqatil Qurra’”, PDF e-book, 230.
24

3. Hamzah dan Ashim di Kuffah, Qira’ah Ibn Amir di Syam, Qira’ah Ibnu
Katsir di Makkah, Qira’ah Nafi’ di Madinah. Hal ini berlangsung
sampai tahun ke 300 H, kemudian ibn Mujahid Kisa’i dan
menghilangkan Ya’qub. 35

4. Fase abad ke-3 H tepatnya tahun 324 H bertepatan dengan wafatnya Ibn
Mujahid. Pada masa ini, riwayat syu’bah dari Ashim lebih masyhur
daripada qira’ah Hafs dari Ashim. Bahkan di kota Kuffah ini qira’ah
Hamzah lebih banyak dipakai dari pada qira’ah Ashim.36

5. Fase abad ke-4 H, Qira’at Ashim tersebar ke Yaman, Qira’at Ibn Katsir
di Makkah dan qira’ah Abu Amr di gunakan di berbagai wilayah
islam.37

6. Fase abad ke 5,6,7 H. Perkembangan qira’ah di berbagai tempat adalah


sebagai berikut:

a. Di Syam, qira’ah ibn Amir tersebar luas samapai abad ke 5 H,


kemudian diganti qira’ah Abu Amr sampai akhir abad ke 5 H. Ibnu
Jazari mengatakan, qira’ah ini dipakai oleh umat dalam segala
aktifitas ibadahnya, seperti shalat, tilawah dan lain-lain.38

b. Di Arab timur, Imam Abu Bakr ibn Arabi mengatakan, ketika


Dinasti Umayyah menguasai Maroko dan berusaha memisahkan
Maroko dari kekuasaan Abbasiyah, mayoritas orang Maroko
bermadzhab Auza’i. Kemudian oleh Umayyah hal tersebut dirubah
dengan menetapkan madzhab Maliki dan qira’ah Nafi di negara
Maroko. Hal tersebut tidak berubah sampai hari ini.39
c. Di Irak, qira’ah Wars dari Nafi’ sudah tersebar di negara ini,
qira’ah ini tersebar luas sampai pada tahun 833 H. Ibn Arabi
mengatakan bahwa qira’ah Qalun dari Nafi’ sudah tersebar di Irak
sejak Umayyah menguasai di Maroko. 40

8. Fase abad ke 8 dan ke 9 H, bacaan Abu Amr tersebar diberbagai


wilayah. Diantaranya, Syam, Hijaz, Yaman, Mesir. Bahkan disebutkan
bahwa tidak ditemukan seorang pun yang mengajarkan al-qur’an
kecuali dengan baacaan Abu Amr.41
9. Fase akhir abad ke 12 H, bacaan Ad-Duri dari Abu Amr ini dipakai
hampir semua orang-orang mesir sampai akhir abad ke 12 H.

35
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqolani, “Fathul Bari” (www.library.islamweb.net),
diakses 14 Oktober 2019.
36
Muhammad Al-Amin, “Amakin…”, 2
37
Muhammad Al-Amin, “Amakin…” , 3.
38
Ibn Jazari, “Ghayatun…”, 380-381.
39
Muhammad Al-Amin, “Amakin” , 3.lihat juga “Ahkamul Quran li Ibn Arabi”, 199.
40
Muhammad Al-Amin, “Amakin” , 3.lihat juga “Ahkamul Quran li Ibn Arabi”, 199.
41
Ibn Jazari, “Ghayatun …”, 292.
25

10. Kemudian setelah itu, diganti olehbacaan Ashim ibn Najud yang
menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam sampai sekarang. Adapun
penyebab dari menyebarnya bacaan Hafs dari Ashim sejak akhir
abad ke 12 H hingga sekarang adalah berkuasanya Khilafah
Turki Usmani atas sebagian besar wilayah islam. Dimana bacaan
Hafs merupakan bacaan resmi yang digunakan oleh pemerintahan
Usmaniyah. Kemudian bacaan itu menyebar ke berbagai wilayah
kekuasaan Usmani seiring dengan pengutusan para Imam, Hakim dan
pembaca Al-Qur’an ke berbagai wilayah kekuasaannya. Selain itu,
menyebarnya bacaan ini juga tidak lepas dari Mushaf yang dicetak
oleh Turki Usmani yang ditulis dengan bacaan Hafs kemudian
disebarkan ke seluruh wilayah Islam.42

J. Hikmah Qiraat
Menurut Mannâ' al-Qaththân, di antara hikmahnya adalah sebagai
berikut:
1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab Suci Al-
Qur'an dari perubahan dan penyimpangan sekali pun mempunyai
sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan dan memudahkan umat Islam untuk membaca Al-
Qur'an.
3. Bukti mukjizat Al-Qur'an dari aspek bahasa, karena perbedaan
qirâât dapat menampung perbedaan makna tanpa harus
mengulang lafazhnya, seperti pada contoh membasuh kaki atau
mengusap kaki pada waktu wudhu' (Q. S. Al-Mâidah 5:6).
Perbedaan membaca arjulakum (dengan fathah pada lam) dan
arujulikum (kasrah pada lam). Jika dibaca dengan fathah berarti
membasuh kaki karena di'athafkan kepada aidiyakum, tetapi jika
dibaca dengan kasrah berarti mengusap kaki karena di'athafkan
kepada ruûsikum.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global pada ayat
lain. Misalnya kalimat yathhurna pada Surat Al-Baqarah ayat
َ ْ َّ َ ُ َْ َ
222 ‫ َولا تق َر ُبوهَّن حتى َيط ُه ْرن‬dibaca dalam qirâ'ah lain dengan
yaththaharna. Menurut jumhur ulama, perempuan yang haid baru
boleh dicampuri oleh suaminya apabila sudah suci dari haid
(bacaan yathhurna) dan sudah bersuci dengan mandi besar
(bacaan yaththahharna). Perbedaan qirâ'ah dalam kasus ini
menjelaskan apa yang masih mujmal atau global pada ayat.43

42
Muhammad Al-Amin, “Amakin…” , 4.
43
Manna’ Khalil Qathan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terjemahan Mudzakkir (Jakarta:
Litera Antar Nusa, cet ke-8 tahun 2004), hlm. 257-256.
26

K. Antara Ahruf Sab’ah dan Qira’at Sab’ah


Ahruf sab’ah dan qiraat sab’ah merupakan suatu hal yang
terdapat dalam pembahasan ilmu ulumul Qur’an. Kedua istilah
tersebut memiliki perbedaanbtersendiri. Namun keduanya sangat
berkaitan. Istilah ahruf sab’ah telah ada sejak Al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, hal tersebut sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya dalam sabda Nabi Muhammad saw yang
menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam Tujuh Huruf.
Sementara makna dari tujuh huruf tersebut para ulama berbeda
pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Adapun qiraat sab’ah adalah istilah yang muncul berkaitan
dengan bacaan para imam Qurra dalam melafazkan bacaan-bacaan
Al-Qur’an. istilah qiraat sab’ah tersebut muncul ketika banyak
bermunculan macam-macam bacaan Al- Qur’an. kemudian oleh
para imam-imam Qurra tersebut melakukan penelitian dengan
beberapa ketentuan yaitu kesesuaian qiraat tesebut dengan kaidah
Bahasa Arab, sesuai dengan mushaf Usmani, dan shahih sanadnya.
Berdasarkan syarat- syarat tersebut maka pada akhirnya ditetapkan
tujuh orang imam dan bacaannya yang sesuai dengan syarat qiraat
yang mutawatir.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ahruf sab’ah dan qiraat sab’ah memiliki makna yang
berbeda, namun kedua istilah tersebut saling berkaitan. Karena
pemahaman terhadap istilah ahruf sab’ah tersebut sebagai akibat
munculnya bermacam-macam bacaan. Macam- macam bacaan para
imam Qurra tersebut muncul setelah masa Tabiin yang bersumber
pada sahabat. Namun setelah dilakukan penelitian dengan syarat-
syarat tertentu, maka hanya tujuh qiraat yang diangap mutawatir
yaitu Qiraat Imam Nafi’, Abu Amr, Ashim, Ibnu Katsir, Al-Kisa’i,
Hamzah, dan Ibnu Amir. Karena jumlah para imam tersebut ada
tujuh imam, maka qiraat tersebut dikenal dengan qiraat sabah.
Dengan demikian bahwa ahruf sab’ah bukanlah qira’at sabah.
Menurut penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dari
sekian banyak pendapat ulama yang dikemukakan mengenai
pengertian atau pemaknaan tujuh huruf, pendapat nomor satulah
yang paling kuat. Yang mengatakan bahwa tujuh huruf yang
dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab
dalam mengungkapkan satu makna.
Sedangkan sangkaan bahwa tujuh huruf yang dimaksud
dalam hadis itu adalah qira’at sab’ah, maka hal itu adalah keliru.
Karena sudah dijelaskan bahwa Al Qur’an itu berbeda dengan
qira’at. Hal itu terjadi karena adanya kekaburan pada kaum awam
yang dikarenakan kesalahpaham tentang bilangan tujuh.

27
28

Dan Qira’at itu sendiri adalah adalah salah satu madzhab


pembacaan Al Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra
sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.
Istilah “tujuh sistem qira’at” tidak dikenal di negeri-negeri islam
ketika para ulama mulai menciptakan sistem qira’at. Istilah “tujuh
sistem qira’at” baru dikenal orang pada tahun ke-200 H, yaitu
setelah banyak orang di negeri- negeri islam menerima baik sistem
qira’at dari beberapa imam dan enggan menerimanya dari imam
yang lain.

B. Saran
Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa
banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Dengan sebuah
pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan dari banyaknya sumber
Penulis akan memperbaiki makalah tersebut . Oleh sebab itu penulis
harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam
kesimpulan di atas.
DAFAR PUSTAKA

Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqolani, “Fathul Bari”


(www.library.islamweb.net).
Al-Hasani, Muhammad bin Alawi Al-Maliki, “Mutiara Ilmu-Ilmu Al-
Qur’an”, (Bandung: CV Pustaka setia, 1983).
Al-Qattan, Mana’ Khalil. “Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an”, terj. Mudzakir
AS, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2016)
Ash-Shaabuuniy, Muhammad Ali, “Studi Ilmu Al-Qur’an”, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1991).
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz I (Mesir : Tp, 1972
Fatoni, Ahmad. “Kaidah Qiraat Tujuh.” Darul Ulum Press,2018
Hasanuddin Af, “Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap
Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an”, cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995).
https://library.islamweb.net/ar/library/index.php?page=bookcontents&ID
=15&idfrom=14&idto=14&flag=0&bk_no=48&ayano=0&surano=
0&bookhad=0
Ibn Jazari, “Ghayatun Nihayah fi Thabaqatil Qurra”, PDF e-book,.
Ibrahim al-Abyariy, Tarikh al-Qur’an (Kairo: Dar al-Qalam, 1965)
Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Beirut : Dar al-Ayha’ al-Turats al-‘Arabiy,
t.th
Muhammad ‘Abd al-Azhîm az-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm Al-
Qur’an (Beirut: Dâr ‘Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), Jld I

29
30

Muhammad Al-Amin, “Amakin Intisyari al-Qira’at al-Yaum”, Mauqi’


Syaikh Muhammad Amin, http://www.ibnamin.com/
recitations_current_places.htm
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Jami’ Musnad Shahih
al-Bukhari hadis (al-Maktabah asy-Syamilah) Juz. 9
Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap”,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 2007
Nur Faizah, “Sejarah Al-Qur’an”, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera,
2008),
Subhi as-Salih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Bairut: Dar al-Ilmi, 1972)
Salim, Muhsin. “Ilmu Qira’at Tujuh”, (Jakarta: YATAQI, 2008),

Anda mungkin juga menyukai